You are on page 1of 22

KEPERAWATAN MANDIRI

KEBIJAKAN PRAKTIK KEPERAWATAN MANDIRI

Disusun oleh :
Kelompok 2

ARDHIYANSYAH EFFENDI 1614401056

AHMAD ARWANDI TANJUNG 1614401057

MITA OKTAVIYANI 1614401059

PENI MIYARTI 1614401060

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

DIII KEPERAWATAN

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Mandiri.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak
terimakasih pada semua teman yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas
makalah ini sehinggga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dan
tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dosen kami yang telah
membimbing kami.

Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini


dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.

Bandar Lampung, 28 Januari 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan .


Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga
perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik
keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat
menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat
realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan
.Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada
maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa
terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep
obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung
puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan
pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%),
dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering
sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama
24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang
bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang
bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang
dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas
yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas,
sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan
pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai
puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini,
maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak
mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara
professional.
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya
tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering
diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang
memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.
Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan
semakin tinggi .
Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan
tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku
penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional
Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan
profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara
telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.
Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai
memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting
terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992
disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan
merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya,
karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya
tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU
Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat
ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan
melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI
memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI.
Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU
Keperawatan berada pada urutan 250-an pada program Legislasi Nasional
(Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak
diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan
Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah
yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada
masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien
disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah
keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.
Dan pasal 2 berbunyi :
“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada
nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan
perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

B. Rumusan Masalah
Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah
ini adalah:
1. Apakah Praktik Keperawatan itu?
2.
C. Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan diatas maksud dan tujuan inipun
dirumuskan guna memperoleh suatu deskripsi tentang:
1 Praktik Keperawatan itu
2. Undang-Undang Praktik Keperawatan itu penting
3. PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
4. Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik
keperawatan
5. Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan
6. Landasan Hukum Profesi Perawat
7. Perkembangan Perjuangan Undang-Undang Keperawatan
8. Isi RUU Keperawatan
9. Penjelasan RUU Keperawatan
10. Pemecahan Masalah RUU Keperawatan
D. Manfaat
Dalam penyusunan makalah ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak. Adapun manfaat penyusunan itu diantaranya :
1. Berfungsi sebagai literatur-literatur bagi pelajar yang ingin memperdalam
wawasan tentang masalah Landasan Hukum Praktik keperawatan
2. Para pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang Ruu Keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat
maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan


system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan
sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan
pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok

B. Tujuan Praktik Keperawatan


Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk:
1. Memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan
pemberi jasa pelayanan keperawatan.
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang
diberikan oleh perawat.

Lingkup praktik keperawatan


• Memberikan asuhan keperawatan pada individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan sederhana dan
kompleks.
• Memberikan tindakan keperawatan langsung, pendidikan, nasehat,
konseling, dalam rangka penyelesaian masalah kesehatan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam upaya memandirikan sistem
klien
• Memberikan pelayanan keperawatan di sarana kesehatan dan tatanan
lainnya.
• Memberikan pengobatan dan tindakan medik terbatas, pelayanan KB,
imunisasi, pertolongan persalinan normal dan menulis permintaan
obat/resep.
• Melaksanakan program pengobatan secara tertulis dari dokter
• Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 KEPMENKES
NO.1239/2001:

Registrasi & praktik perawat


Mengatur :
• SIP (Surat Ijin Perawat)
• SIK (Surat Ijin Kerja)
• SIPP (Surat Ijin Praktik Perawat

C. Perkembangan Praktik Keperawatan Di Indonesia


1. TAHUN 1963
Perawat adalah pelaksana perintah dokter dalam pengobatan
pasien (UU No : 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan).
2. TAHUN 1979
Pembagian tenaga kesehatan menjadi medis dan
paramedis.Paramedis dibagi dua yaitu paramedis perawat (perawat
dan bidan ) dan non Perawat.
Permenkes No : 262/Per/VII/1979
3. TAHUN 1980
Bidan diijinkan untuk melakukan praktik swasta (Persalinan dan KB)
Permenkes No : 363/Menkes/XX/1980
4. TAHUN 1992 - Sekarang
Keperawatan sebagai profesi dengan kewenangan tertentu :
a. UU No. 23 Th. 1992 tentang Kesehatan
b. PP No. 32 Th. 1996 tentnag Tenaga Kesehatan
c. Kepmenkes 1239 Th. 2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat
d. Kepmenkes 900 Th. 2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan
D. Kebijakan Nasional Praktik Keperawatan Mandiri
Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Peraturan lain dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas
kesehatan, serta pada Pasal 5 ayat (2) disebutkan setiap orang mempunyai hak
dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. Dan karena itu,
terselenggaralah upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk
Upaya Kesehatan Perseorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat seperti
yang dilakukan oleh perawat dalam melakukan praktik mandiri. Semakin
maraknya dibuka praktik mandiri perawat merupakan salah satu dampak dari
disyahkannya Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Di
satu sisi hal tersebut menunjukkan upaya kontribusi perawat dalam
meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Adanya praktik mandiri perawat
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang terjangkau dan sesuai dengan pilihannya. Namun, di sisi lain
pendirian praktik mandiri perawat perlu ditinjau ulang mengenai urgensi,
kompetensi dan regulasi yang mendasarinya. Hal ini menjadi hal yang
penting untuk dikritisi karena pelaksanaan praktik mandiri sering ditemukan
perawat melakukan tindakan invasif seperti pemberian obat parenteral,
hechtingluka bahkan sampai melakukan bedah minor. Padahal tindakan-
tindakan tersebut bukan merupakan kewenangan perawat. Hal tersebut dapat
terjadi karena banyak perawat yang belum memahami batasan dan wewenang
praktik mandiri perawat, sehingga tindakan yang dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan kebijakan. Lahirnya Undang-Undang No. 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan seharusnya dapat memberikan kejelasan dan
mengontrol praktik mandiri perawat di masyarakat. Undang-Undang ini
menjadi tantangan bagi perawat untuk membuktikan bahwa perawat adalah
profesi tenaga kesehatan yang mampu menyelenggarakan pelayanan
keperawatan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan
terjangkau oleh perawat yang memiliki etik dan moral tinggi, sertifikat,
registrasi dan lisensi. Dengan tuntutan semacam itu maka profesi perawat
harus dapat menjawabnya dengan memberikan pelayanan secara profesional.
Sehingga perawat yang melakukan praktik mandiri hendaknya memahami
hak dan batasan wewenangnya, serta akan lebik baik jika memiliki sertifikat
keilmuan tertentu, seperti perawatan luka, perawatan stoma, dll. Syarat dan
ketentuan dalam membuka praktik mandiri perawat yang tertuang dalam
Undang-Undang Keperawatan tersebut yaitu (1) perawat yang menjalankan
praktik keperawatan wajib memiliki izin; (2) izin diberikan dalam bentuk
SIPP; (3) untuk mendapatkan SIPP, perawat harus melampirkan rekomendasi
dari organisasi profesi perawat dalam hal ini adalah Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI); (4) SIPP masih berlaku apabila STR masih
berlaku dan perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam
SIPP; (5) SIPP hanya berlaku untuk satu tempat praktik dan diberikan kepada
Perawat paling banyak untuk dua tempat; (6) Perawat yang menjalankan
praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan.
Sedangkan ketentuan SIPP tidak berlaku apabila dicabut berdasarkan
ketentuan Perundang-undangan, habis masa berlakunya dan atau atas
permintaan perawat; atau perawat meninggal dunia. Uraian yang tercantum
dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tersebut memberikan gambaran
yang jelas bagi perawat yang ingin menangkap peluang untuk membuka
praktik mandiri perawat. Hal yang menjadi kendala yaitu undang-undang
sudah dua tahun disyahkan namun sampai saat ini belum memiliki pentunjuk
pelaksanaan, sehingga masih belum bisa diimplementasikan dengan baik.
Crinson (2009) dalam Ayuningtyas (2014) mengungkapkan bahwa kebijakan
akan jauh lebih bermanfaat apabila dilihat sebagai petunjuk untuk bertindak
atau serangkaian keputusan atau keputusan yang saling berhubungan satu
sama lain. Kebijakan praktik mandiri perawat dapat menjadi lebih baik dan
bermanfaat jika serangkaian kebijakan yang ada saling mendukung dan
memiliki petunjuk teknis yang jelas dalam menjalankannya. Dari masalah
yang muncul dan kritisasi kebijakan yang melandasi praktik mandiri perawat,
dapat diusulkan beberapa hal, yaitu perawat beserta PPNI berupaya keras
untuk mendorong anggota DPR agar segera membuat petunjuk teknis
pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan agar
Undang-Undang ini dapat segera diimplementasikan dengan baik dan
menjadi payung hukum yang kuat bagi terselenggaranya praktik mandiri
keperawatan. Dimana hal-hal yang bersifat teknis dapat dijelaskan dengan
lebih rinci dan dapat dibuat panduan pelaksanaan praktik mandiri perawat.
Hal ini bertujuan agar tugas dan wewenang perawat yang membuka praktik
mandiri dapat diuraikan dengan jelas, sehingga tidak menimbulkan kasus
pelanggaran hukum saat perawat menjalankan praktinya. Organisasi Profesi
PPNI juga perlu membuat draft panduan praktik mandiri perawat yang
mencangkup kompetensi perawat untuk dapat melaksanakan tugas dan
wewenang sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan. Hal ini diperlukan agar masyarakat mendapatkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas. Selain itu, sosialisasi PPNI selaku organisasi
profesi juga perlu ditingkatkan agar perawat yang sudah atau hendak
melakukan praktik mandiri perawat dapat menjalankan langkah-langkah
sesuai dengan peraturan yang ada agar memenuhi syarat yang syah dan
tanggungjawab serta tanggung gugat untuk dibukanya praktik mandiri
perawat. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu Peraturan Daerah sebagai
hiearki kebijakan lebih lanjut perlu mensinkronkan isi kebijakannya sesuai
dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang telah
disyahkan. Serta mejadikan Undang-Undang tersebut sebagai landasan
hukum keluarnya Peraturan Daerah agar sejalan dengan konsep praktik
mandiri perawat yang diusung dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan. Dan terakhir adalah peningkatan kegiatan pembinaan
dan pengawasan Pemerintah Daerah terhadap praktik mandiri perawat yang
merupakan amanat Permenkes Nomor 17 Tahun 2013. Tindakan pembinaan
dan pengawasan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan
PPNI Kabupaten dan Provinsi. Melalui tindakan tersebut diharapkan
pelaksanaan penyelenggaraan praktik mandiri sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah diatur, perawat menjalankan praktik sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki. Berbagai rekomendasi yang dapat dilakukan
untuk mendukung upaya praktik mandiri perawat sangat membutuhkan
keterlibatan PPNI sebagai organisasi profesi keperawatan. Persatuan dan
kepedulian perawat untuk mendukung PPNI sangat dibutuhkan agar peran
dan fungsi PPNI dapat berjalan dengan baik demi terwujudnya pelayanan
kesehatan yang profesional melalui praktik mandiri perawat.

E. Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan


Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik
Keperawatan dibutuhkan. Yaitu:
1. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar
dalam peningkatan derajat kesehatan.
Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa
terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya
belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan
cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi
keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang
tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang
teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan,
lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama
berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait
lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas,
efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan
kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

2. Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa


Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23
tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau
ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak
memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan
dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang
Registrasi dan Praktik Perawat.

3. Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan


kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat.
Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan
kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada
diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih
holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan
sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat
membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan
keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan
kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan
penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
F. PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik
Keperawatan
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang
Praktik Keperawatan. Hal ini disebabkan karena
1. Pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu,
adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi
keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik
keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan
di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik;
bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang
dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup,
dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan
kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan
keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu,
keluarga, kelompok dan komunitas)

2 Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan


keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan
keperawatan yang formal dan terstandar menuntut perawat untuk
akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya.
Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk
digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik.
Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi
yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini
akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten,
karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam
Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya.
Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian
kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat
yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik.
Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan
masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan
mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar

3. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan


derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan
kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan
hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian
tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian
perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat
juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional,
semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi
luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-
Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan
profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi,
pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang,
optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal,
keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap


tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain
sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta
RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan
tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum
termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita.
Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi
global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board
sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan,
pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk
melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota
komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan
memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi
(mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung
kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi
oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan
Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia,
Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board.
Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum
lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena
itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita
tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan.
Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi
Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan
RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu
masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih
dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

G. Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan


praktik keperawatan :

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan


Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan
bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan
kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.


UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini
membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana
meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam
tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah,
termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas
dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan
tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan
terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU
ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga
kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini
juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam
menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai
jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat
ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung
jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana
muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada
pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah,
tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan
sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga
diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan
pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib
kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem
rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak
menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa
dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja
pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari
aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan
tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979


Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis
keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek
hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi
terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980


Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara
tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan
mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi
tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati
orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB.
Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi
keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik
swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau
mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan
mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal
tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang
pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka
seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau
pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986,


tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan
sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya
atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu.
Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan,
yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan,
Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini
menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung
kepada pangkat/golongan atasannya

7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992


Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk
praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar
praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi
kesehatan termasuk keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-
hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan
atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum
bagi tenaga kesehatan.
2. 5. Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan

1.Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan
praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
2.Tugas Keperawatan
1.Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
2.Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk
melindungi masyarakat
3. Wewenang
1.Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
2.Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi
keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
3.Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
4.Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh
perawat
5.Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan keperawatan

2.6. Landasan Hukum Profesi Perawat


Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan
dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma
agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma
hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan
terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam
berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan,
sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan
pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di
bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. Perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit
dari pemerintah
2. Perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. Perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan
tindakan tertentu.

Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan
penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas
profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan
hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena
itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam
konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan
perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam
melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi
dengan system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan
keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai
tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan. Peraturan lain dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, serta pada
Pasal 5 ayat (2) disebutkan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Upaya kesehatan
diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi individu atau masyarakat. Semakin maraknya dibuka praktik mandiri
perawat merupakan salah satu dampak dari disyahkannya Undang-Undang No.
38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Di satu sisi hal tersebut menunjukkan
upaya kontribusi perawat dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Adanya praktik mandiri perawat memberikan kesempatan bagi masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan sesuai dengan
pilihannya. Namun, di sisi lain pendirian praktik mandiri perawat perlu ditinjau
ulang mengenai urgensi, kompetensi dan regulasi yang mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Ayuningtyas. D (2014). Kebijakan kesehatan : Prinsip dan praktik.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada UU NO 36 Tahun 2014Tentang Tenaga
Kesehatan UU No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan Permenkes No 17 Tahun
2013 Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat

You might also like