Professional Documents
Culture Documents
dialami anak usia sekolah dasar pada saat ini. Contoh gangguan
(lebih sering dikenal dengan retardasi mental), gangguan perilaku, cerebral palsy
orangtua yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2006 sampai 2008,
Collaborating Centre for Mental Health (2009) masalah ADHD mencapai puncak
pada usia anak sekolah sekitar 7-12 tahun, misalnya dengan munculnya kesulitan
pada kota atau provinsi tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saputro
(2004) ditemukan bahwa prevalensi ADHD pada anak usia sekolah di Kota
pada siswa sekolah dasar di Kota Yogyakarta adalah 5,47% (Hayati, 2014), di
2
Bantul 3,5% (Dewi, 2011), dengan proporsi jenis kelamin laki-laki dibandingkan
dengan perempuan adalah 4:1. Penelitian yang dilakukan oleh Wimbarti, Dewi
merupakan salah satu kasus yang paling sering dirujuk ke psikolog sekolah.
ADHD tidak hanya sekedar satu atau bahkan dua gejala seperti yang tergambar
pada atensi, dan biasanya disertai dengan impulsivitas atau aktivitas yang
impulsif.
tetap bertahan dalam satu tugas, kurang mampu mendengarkan, dan kerap
impulsif muncul dalam bentuk aktivitas berlebihan, tampak gelisah, tidak dapat
duduk diam, mengganggu aktivitas orang lain dan kesulitan untuk menunggu
giliran, dimana gejala ini terlihat berlebihan untuk tahap perkembangan di usia
3
Tidak ada faktor tunggal dalam menyebabkan ADHD. Faktor yang dinilai
berperan besar sebagai penyebab ADHD adalah faktor genetik sebesar 2%-9%
(Kerig & Wenar, 2006; Brock, Jimerson & Hansen, 2009; Santrock, 2011;
2006; Wilcutt dkk., 2005). Fungsi eksekutif merupakan proses kognitif yang
penting untuk mencapai perilaku kompleks yang mengarah pada tujuan, termasuk
proses regulasi diri seperti melakukan perencanaan dan monitoring (Johnson &
Reid, 2011). Jika melihat lebih dalam lagi, yakni ke bagian otak, yaitu prefrontal
daerah otak yang paling sering diteliti dalam ADHD (Fuster, 1989). Penelitian
yang menggunakan alat untuk melihat pencitraan struktur otak menemukan bahwa
ukuran lobus frontalis kanan pada individu dengan ADHD lebih kecil dari ukuran
normal (Castellanos dkk., 1996). Jaringan yang fungsinya terganggu (lesi) pada
orbito frontal mengakibatkan disinhibisi sosial maupun impulsivitas, dan lesi pada
4
kerja, maupun perhatian. Bagian cingulate cortex memainkan peran penting dalam
aspek motivasi perhatian dan dalam merespon seleksi maupun inhibisi. Bagian-
gejala ADHD.
sosial anak ADHD. Anak ADHD sering bermasalah dalam hubungan sosial
Seirngkali anak ADHD dilabel sebagai anak yang bandel atau sulit diatur dan
tampak sebagai anak yang menunjukkan perilaku agresif. Hal ini didukung oleh
yang agresif (Becker dkk., 2012; Connor dkk., 2010; Kitchens, Rosen & Braaten,
1999).
lain yang dapat dilakukan dengan berbagai cara (Baron & Branscombe, 2012;
Dodge, Coie & Lynam, 2006; Essa, 2014; Hudley, 2008). Beberapa ahli memiliki
menjadi overt (tampak) dan covert aggression (tidak tampak), ada yang
membaginya menjadi agresi verbal dan non verbal, ada juga yang
mengelompokan menjadi reaktif dan proaktif, serta ada juga yang membaginya
5
menjadi agresi fisik, verbal dan relasional (Shechtman, 2009). Penelitian ini lebih
agresif anak ADHD juga dilakukan oleh Kitchens dkk. (1999). Penelitiannya
menemukan bahwa anak ADHD lebih mudah marah, depresi dan agresif bila
dibandingkan dengan anak non ADHD. Sama seperti yang ditemukan oleh
Connor dkk. (2010) bahwa dari semua pengukuran perilaku agresif, didapati
bahwa anak ADHD lebih agresif dibandingkan kelompok kontrol dalam penelitian
ADHD pada masa kanak-kanak, akan melakukan agresi fisik bila ADHD
Defiant Disorder.
daripada perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Khumas, Hastjarjo & Wimbarti (1997) yang menemukan bahwa anak laki-laki
Fantasi agresi dapat berkembangan menjadi perilaku agresif pada anak. Pada anak
6
ADHD, hal serupa juga ditemukan. Banaschewski (2015) dan Zuccheti dkk.
cenderung dialami oleh siswa berjenis kelamin perempuan dan hal tersebut lebih
perilaku agresif dibandingkan anak perempuan. Selain itu, didapati juga bahwa
anak ADHD lebih senang menggunakan kekuatan fisik untuk menghadapi sesuatu
wujud dari defisit fungsi sosial pada anak ADHD. Bagwell dkk. (2001)
membuat anak mengalami kesulitan sosial dalam jangka panjang. Anak yang
memiliki perilaku agresif biasanya ditolak secara sosial, bahkan tidak jarang
bertambah marah, lebih memberontak dan lebih agresif (Shechtman, 2009). Anak
ADHD seringkali dengan cepat dijauhi atau ditolak atau diabaikan oleh teman-
teman seusia mereka karena menunjukkan sejumlah perilaku agresif dan perilaku
tidak patuh (Davidson, Neale & Kring, 2006; White & Kistner, 2011). Hal ini
juga ditemukan oleh Hoza dkk. (2000) bahwa anak ADHD sangat lemah dalam
kemampuan sosial serta menunjukkan rasa frustrasi dan putus asa dalam
membangun interaksi dengan anak lain. Anak ADHD memiliki risiko yang tinggi
7
untuk mengalami gangguan dalam perkembangan yang mempengaruhi banyak
ADHD berelasi sosial dengan teman sebayanya (Ekornas dkk., 2011). Dalam
ADHD jarang memiliki teman dekat dan lebih sering ditolak di kelasnya (Bagwell
dkk., 2001; Hodgens, Cole & Boldizar, 2000; Hoza dkk., 2005). Penelitian
longitudinal yang dilakukan oleh Mrug dkk. (2012) bahkan menemukan bahwa
penolakan dari teman sebaya terhadap anak yang mengalami ADHD saat duduk di
sekolah dasar akan berdampak negatif 4 sampai 5 tahun kemudian, misalnya saja
saat memasuki masa remaja mereka akan lebih sering terlibat dalam kenakalan
Masalah dengan teman sebaya memang tidak ditemui pada semua anak
rasa toleransi frustrasi yang rendah kerap dialami sehingga tidak mengherankan
aturan dan aktivitas yang lainnya yang tidak hanya terbatas di sekolah namun juga
ADHD kemungkinan besar berdampak pada hubungan teman sebaya yang kurang
baik pada anak ADHD (Linnea dkk., 2012). Pada anak laki-laki, gejala
8
perempuan lebih disebabkan oleh gejala inatensi (Zuccheti dkk., 2015).
Ketidakstabilan emosi, agresi dan perilaku sebagai hal yang memediasi gejala
illusory bias (Mikami, Calhoun & Abikoff, 2010; Rizzo, Steinhausen &
pada aspek-aspek sosial, perilaku serta akademis pada anak ADHD berdampak
kepada persepsi diri dan harga diri mereka yang muncul dalam bentuk coping
yang maladaptif dan tingkat ketidaksetujuan yang tinggi terhadap kritik yang
diberikan orang lain (Rizzo, 2011). Kaiser dkk. (2008) dan Hoza dkk. (2010)
menemukan bahwa estimasi diri berlebih pada anak ADHD erat kaitannya dengan
menilai terlalu tinggi performa mereka pada suatu tugas atau situasi dimana
diri mengenai kompetensi diri dengan kompetensi secara aktual, dimana anak
tinggi dari kemampuan sesungguhnya (Hoza dkk., 2002). Owens dkk. (2007)
memiliki persepsi diri yang terlalu positif bila dibandingkan dengan indikator
eksternal dari kompetensi yang sesungguhnya, yang dalam kasus ini terjadi pada
9
terhadap diri sendiri dimana penilaian terhadap diri lebih tinggi dari kompetensi
ditemukan dalam populasi umum, namun dampak negatif dari adanya PIB ini
memang lebih banyak ditemukan pada anak yang mengalami ADHD (Mooney,
2015).
PIB berangkat dari teori konsep diri milik Harter (1999). Konsep diri
merupakan payung dari istilah “diri” yang lain. Konsep diri secara umum
Dalam perkembangan konsep diri, terdapat berbagai tahap yang terdiri dari dari
dengan persepsi diri. Pada masa kanak-kanak awal, seseorang diajarkan untuk
seseorang semakin bisa menyadari kelemahan dan kelebihan diri serta melakukan
penelitian yang dilakukan oleh Adler dkk. (2008) menemukan bahwa persepsi diri
pada orang dewasa lebih akurat dibandingkan ketika masih anak-anak. Jadi
pada anak dengan ADHD (Evangelista dkk., 2008; Owens dkk., 2007; Fefer,
10
2013; Siu, Yan & Ho, 2016). Penelitian yang dilakukan Evangelista dkk. (2008)
menemukan bahwa anak ADHD menganggap diri mereka jauh lebih baik dari
anak lain dalam segala bidang, bila dibandingkan dengan anak non ADHD. Fefer
(2013) melakukan penelitian terhadap remaja ADHD dan mendapati hal serupa,
dimana terjadi kesenjangan skor antara persepsi diri dan penilaian guru pada
bidang akademik dan sosial yang menunjukkan bahwa anak ADHD memang
memiliki PIB. Penelitian lain juga menemukan bahwa anak ADHD seringkali
mengalami kegagalan dalam menilai kompetensi diri mereka sendiri, dalam hal ini
menilai terlalu tinggi, pada bidang akademik, sosial dan perilaku (DuPaul, 2010;
pada anak ADHD, namun penjelasan yang paling memungkinkan adalah karena
adanya defisit executive function (Hoza dkk., 2001; Owens & Hoza, 2003; Owens
dkk., 2007). Defisit executive function (EF) sendiri sebenarnya menjadi ciri yang
khas pada anak ADHD. Penelitian yang dilakukan oleh McQuade dkk. (2011)
menemukan bahwa cognitive deficit, dalam hal ini EF, berperan dalam
menimbulkan PIB pada anak ADHD. Fungsi kognitif yang diteliti menjadi
mediator PIB dengan ADHD adalah executive processes, working memory, broad
merencanakan dan meregulasi perilaku agar sesuai dengan tujuan, yang pada anak
pada inhibisi dan fungsi eksekutif pada anak ADHD mungkin berpengaruh pada
anak ADHD yang berdampak pada kemampuannya untuk menilai secara akurat
11
kompetensi dan performa diri sendiri, dengan menggunakan informasi
sampai saat ini. Penelitian Chad dan Martinussen (2015) menemukan bahwa
individu dalam performa dalam melakukan sebuah tugas dan juga evaluasi
terhadap tugas tersebut. Anak yang memiliki defisit pada working memory akan
hubungan yang signifikan terhadap defisit EF. PIB akademik berkaitan dengan
conceptual flexibility, PIB sosial berkaitan dengan monitoring, dan PIB perilaku
Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah penelitian yang dilakukan
hanya satu dari fungsi eksekutif yang dapat berkontribusi terhadap munculnya
PIB. Biasanya gangguan yang terjadi selama proses eksekutif itulah yang dapat
lingkungannya.
12
Selain hal tersebut, ditemukan penyebab lain dari adanya PIB pada anak
ADHD lebih disebabkan oleh self protection yang digunakan sebagai cara coping
anak ADHD (Diener & Milich, 1997). PIB dianggap sebagai cara coping anak
persepsi diri yang jauh lebih tinggi dari penilaian orang lain atau kompetensi
sesungguhnya yang mereka miliki. Hal ini dilakukan karena anak ADHD menolak
Anak ADHD yang memiliki PIB akan menaksir terlalu tinggi kompetensi
mereka, padahal kenyataan di lapangan belum tentu demikian, sehingga hal ini
dapat berdampak pada munculnya perilaku agresif (Jiang & Johnston, 2014).
dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam situasi sosialnya (Hudley, 2008). PIB
sendiri erat kaitannya dengan bagaimana seseorang menerima umpan balik dari
umpan balik mengenai dirinya atau resisten terhadap saran, kurang memiliki
tinggi dapat mengarah kepada perilaku agresif. Mereka meyakini bahwa respon
penilaian diri yang terlalu tinggi dapat menyebabkan munculnya perilaku agresi
dari waktu ke waktu. Penelitian yang dilakukan Sallee juga menemukan bahwa
13
penilaian berlebih pada relasi diri dengan teman sebaya memiliki dampak negatif,
semenjak 15 tahun terakhir, jumlahnya tidak terlalu banyak. PIB mulai diteliti
tahun 1983 oleh Taylor, tahun 1985 oleh Harter dan dilanjutkan oleh Hoza, dkk.
tahun 1993 (Golden, 2009). Penelitian PIB selama ini banyak dilakukan di Barat
namun belum ada penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia, begitu pula
penelitian mengenai PIB pada anak ADHD. Mikami dkk. (2010) mengemukakan
bahwa kehadiran PIB pada anak ADHD dapat berdampak kepada kurangnya
keefektifan intervensi. Oleh karena itu dirasa perlu untuk melakukan penelitian
Variabel bebas
Variabel tergantung
Status gangguan
(ADHD dan non
ADHD)
Perilaku agresif
Jenis positive
illusory bias(PIB)
illusory bias pada anak ADHD dan non ADHD serta melihat perbedaan perilaku
agresif berdasarkan status gangguan yang dialami anak dan jenis positive illusory
14
kontribusi pada keilmuan psikologi pendidikan dan perkembangan. Manfaat untuk
praktisi di bidang psikologi adalah memahami indikasi PIB pada anak ADHD
sehingga menjadi bahan pertimbangan saat melakukan intervensi saat pada anak
ADHD. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, terdapat dua
Ha1 : terdapat perbedaan frekuensi anak ADHD dan non ADHD yang
Ha2 : perilaku agresif antara anak ADHD lebih tinggi dari anak non
METODE
perbedaan frekuensi anak ADHD dan non ADHD yang mengalami positive
illusory bias. Variabel bebas untuk hipotesis ini adalah status gangguan dan
diajukan dalam penelitian ini adalah perilaku agresif anak ADHD lebih tinggi dari
anak non ADHD sesuai dengan jenis positive illusory bias yang dimiliki. Variabel
bebas untuk hipotesis ini adalah status gangguan dan jenis positive ilusory bias,
penelitian ini status gangguan dibagi menjadi dua yaitu anak dengan gangguan