You are on page 1of 38

PORTOFOLIO STASE THT I,November 2018

Nama : Rizki Taufiqurrahman


NPM : 1707601080009
Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : Ny. S
Umur : 24 tahun
Diagnosis : Mixed Tumor Parotis
Operasi : Parotectomy
DPJP Anestesi : dr. Masry, SpAn
DPJP Bedah : dr. Benny Kurnia, SpTHT-KL
Tanggal Operasi : 1 November 2018

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan benjolan di rahang kiri sejak 1 tahun sebelum
masuk rumah sakit, benjolan awalnya diraskan kecil dan semakin lama semakin membesar,
sekarang benjolan diraskan sebesar telur ayam, nyeri benjolan tidak ada, sesak tidak ada,
sebelumnya pasien belum pernah menjalani tindakan operasi. Alergi obat dan makanan
disangkal. Riwayat minum obat 6 bulan dan batuk tidak ada, Riwayat hipertensi, Diabetes
Mellitus, asma, sakit jantung, liver dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit penyerta dan penyakit
dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini pasien sedang tidak
demam, batuk dan pilek. Pasien dengan indeks massa tubuh diatas normal (Obesitas,s BB 90
kg, TB 170 cm, IMT 31.14), riwayat tidur mengorok disangkal, kelelahan di siang hari karena
kurang tidur disangkal, terbangun tengah malam karena sesak napas tidak ada.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 130/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 78 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 20 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,8⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 90 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 167 cm wheezing maupun ronkhi
IMT : 31,14 Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, motorik baik, sensorik
baik

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 16 Oktober
HB 11.4 Ht 34 Leuko 10.300 Na 145 K 3.7 Cl 108
CT 7 BT 2 Ur 29 Cr 0.88 CXR :-

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- Obesitas, IMT 32 Stop Bang Score Low Risk of OSA
- Anemia, Hb 11.4 g/dl
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia umum
 Posisi supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18
G yang disambungkan ke Ringer lactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 130/80 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.45 dilakukan ,pemberian ko-induksi fentanyl 200 microgram dan induksi
menggunakan propofol 150 mg tirtrasi, fasilitasi intubasi dengan Rocuronium 50 mg
 Dilakukan intubasi ETT No. 7.5, jenis kingking, evaluasi posisi dan kedalam ETT,
kemudian di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi ETT baik, ventilasi dipindahkan ke ventilator, dengan TV 500
cc, RR 16 x/menit, PEEP 5
 Kemudian dimasukkan kassa tampon faring 2 pcs, diberikan pelindung mata dan wajah,
kemudian pasien diposisikan dalam posisi supine
 Maintenance menggunakan gas sevofluran 2-3 volume% sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi dan dan intubasi, TD 105/65 mmHg, frekuensi nadi
60x/menit, dan saturasi O2 99%.
 Pukul 09.20 dilakukan insisi
 Pemberian deksamethasone 10 mg IV dan ondansetron 4 mg IV untuk PONV, asam
traneksamat 1000 mg IV untuk koagulasi, maintenance fentanyl dan atracurium sesuai
kebutuhan pasien
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 90-100 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 60-70 kali per menit.
 Pukul 11.30 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 79 x per menit, saturasi O2 99%.

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena
 Dilakukan weaning dari ventilator dengan pemberian neostigmine dan sulfas atropine,
setelah pernapasan kembali spontan dan adekuat, dilakukan ekstubasi pada keadaan
awake. Setelah ekstubasi pernapasan 16 kali per menit, kedalaman adekuat, saturasi
O2 dapat dipertahankan di 99%.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 2 jam 45 mnt


Lama operasi : 2 jam
Total cairan masuk : 1500 cc kristaloid
Perdarahan : 200 cc
Urin output : 0.5 cc/kgBB/Jam

Pembahasan

Manajemen anestesia pada operasi parotidektomi pada pasien dengan obesitas

Pasien dengan disproporsi berat badan dan tinggi badan dimana terjadi peningkatan indeks
massa tubuh diatas normal memiliki resiko pembiusan intra operatif maupun post operatif.
Pemeriksaan kunjungan pre anestesi harus mencakup riwayat ko morbid pasien seperti
hipertensi, iskemik heart disease, diabetes, hiperkolesterolemia dan refluks gastrik. Klasifikasi
disproporsi tinggi badan dan berat badan dapat dilihat pada table di bawah.

Pada pasien ini, dengan tinggi badan 167 cm dan berat badan 90 Kg, memiliki IMT 32 dan
digolongkan dalam Class I Obesity

Pada pasien dengan obesitas juga harus diperhatikan ada tidaknya riwayat dan resiko
terjadinya OSA (Obstructive sleep apnoe), yaitu terhentinya aliran udara pada saat tidur,
sehingga udara tidak dapat masuk karena penurunan tonus otot dan kolaps dari jalan napas
bagian atas. Tingat severity dari OSA dapat dinilai dengan AHI (apnoe/Hypopnoe Score).

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Dari anamnesis pada pasien ini tidak didapatkan terjadinya OSA dimana pasien tidak pernah
mengeluhkan riwayat sesak napas dan terbangun pada saat tidur.

Peniliaian resiko OSA dapat dilakukan dengan menggunakan STOP BANG Score

Penilaian STOP Bang score pada pasien ini adalah 2, dimana pasien laki-laki, dengan
hipertensi, pasien ini digolongkan dalam low risk of OSA

Superficial parotidektomi adalah tindakan mengambil jaringan dari parotis sebelah lateral dari
nervus facialis. Berikut rangkuman manajemen anestesi pada tindakan parotidektomi

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE THT I, November 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : AH
Umur : 17 tahun
Diagnosis : Tonsilitis Kronis
Operasi : Tonsilektomi
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Lili Septiani, SpTHT-KL
Tanggal Operasi : 9 November 2018

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri menelan sejak 1 tahun yang sebelum
masuk rumah sakit, keluhan dirasakan hilang timbul disertai demam, sebelumnya pasien belum
pernah menjalani tindakan operasi. Alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat batuk tidak
ada, Riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, asma, sakit jantung, liver dan ginjal disangkal.
Riwayat penyakit penyerta dan penyakit dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi
goyang. Saat ini pasien sedang tidak demam, batuk dan pilek.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 110/70 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 87x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 18 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,8⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 50 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 163 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, sensorik baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 25 Maret 2016
HB 13,5 Ht 41 Leuko 11,2 CXR : -
Ur 28 Cr 0.52 BT 3 CT 7

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- Leukositosis 11.200 mm3

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 General Anestesi
 Posisi Rose Position
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18
G yang disambungkan ke Ringerlactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 127/77 mmHg, frekuensi nadi 89 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.9, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.15 diberikan ko-induksi midazolam 2 mg dan fentanyl 100 mcg, kemudian
dilakukan induksi dengan menggunakan propofol 100 mg titrasi dan fasilitasi intubasi
menggunakan rocuronium 40 mg
 Dilakukan intubasi ETT no 7, jenis non kingking, diposisikan ditengah kemudian
dievaluasi dan difiksasi, pasien diposisikan pada rose position
 Hemodinamik setelah induksi, TD 100/65 mmHg, frekuensi nadi 77x/menit, dan saturasi
O2 99%.
 Pukul 08.30 dilakukan insisi
 Pemberian deksamethasone 5 mg IV dan ondansetron 4 mg IV untuk PONV
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 110-120 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 70-80 kali per menit.
 Pukul 09.30 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 73 x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan tramadol 100 mg
intra vena
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 1 jam 15 menit


Lama operasi : 1 jam
Total cairan masuk : 1000 cc kristaloid

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Perdarahan : 200 cc
Urin output : Tidak diperiksa

Pembahasan

Manajemen anestesia pada operasi Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil, berasal dari bahasa
latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu, serta dari bahasa
yunani ektomi yang berarti eksisi. Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000
tahun yang lalu. Cornelius celcus seorang penulis dan peneliti Romawi yang pertama
memperkenalkan cara melepaskan tonsil dengan menggunakan jari dan disarankan memakai
alat yang tajam, jika dengan jari tidak berhasil.
Tahun 1867 dikatakan bahwa sejak tahun 1000 sebelum masehi orang Indian asiatik sudah
terampil dalam melakukan tonsilektomi. Frekuensi tindakan ini mulai menurun sejak
ditemukannya antibiotik untuk pengobatan penyakit infeksi.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan ketrampilan dan ketelitian
yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika, tonsilektomi digolongkan operasi
mayor karena kekhawatiran komplikasi, sedangkan di Indonesia tonsilektomi digolongkan
operasi sedang karena durasi operasi pendek dan tidak sulit.
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi
belum ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1993-2003)
menunjukan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak
kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 ( 152 kasus).
Beragam teknik terus berkembang mulai dari abad ke-21, diantara teknik tersebut adalah
diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi
dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Keseluruhan teknik ini
mempunyai keuntungan serta kerugian tersendiri dan masih terjadi perdebatan dalam pemilihan
teknik yang terbaik.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.
Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich
von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita
lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,
dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole
dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan
diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas
kebawah sampai kedinding atas esofagus. otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan
harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas
untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada
dasar lidah dan lateral dinding faring.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang
kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada
muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas
kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung
walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring,
sehingga sering menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan
nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:
1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,
2. Jolikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Perdarahan tonsil didapatkan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Arteri Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A palatina
asenden,
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya A palatina desenden,
3. Arteri lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsalis,
4. Arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh Arteri.
Lingualis dorsal dan bagian posterior oleh Arteri palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh Arteri tonsilaris, kutub atas tonsil diperdarahi oleh Arteri
faringeal asenden dan Arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui vena disekitar kapsul tonsil,vena lidah dan pleksus faringeal serta akan menuju v
jugularis interna.
Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dibagian

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
atas dan saraf glosofaringeus dibagian bawah. Aliran limfe dari dari tonsil akan menuju
rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior dibawah M
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus.
Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada.
Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil merupakan
organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limposit yang sudah
disentisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan
untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and
Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

1. Indikasi absolut
 Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
 Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali
jika dilakukan fase akut.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
 Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

2. Indikasi relatif
 Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
 Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
Kontraindikasi
1. Riwayat penyakit perdarahan.
Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
2. Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol.
3. Anemia.
4. Infeksi akut.
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi
kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka
pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
diseksi :
1. Guillotine. Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta
kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya
terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi. Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter. Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil
disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi
berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi
saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi. Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung
kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu,
daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik. Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation. Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk
mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan
membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma
tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma
dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil.
Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul
pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan
sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy. Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi
parsial yang dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider
endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak
ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam
membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP). Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan
infeksi kronik dan rekuren.
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum,
sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat
ditemukan berupa :
 Laringospasme
 Gelisah pasca operasi
 Mual muntah
 Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
 Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
 Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah
 Perdarahan. Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan
Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat
perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena
perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
 Nyeri. Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-
21 hari setelah operasi
Komplikasi lain. Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir,
lidah, gigi dan pneumonia

Analgesia pascaoperasi yang cukup paling baik diberikan dengan kombinasi analgesic ringan
dan dosis rendah dari opioid. Paracetamol dan NSAID memiliki feel morphine-sparing.
Perhatian terhadap adanya potensi perdarahan perioperatif diabaikan secara luas, dengan
perkecualian ketorolac, yang harus dihindari. Dosis tunggal deksametasone 0,1-0,5 mg/kg juga
menunjukkan penurunan penggunaan analgesia pascaoperasi. Dosis regular parasetamol dan
NSAID setelah operasi memberikan analgesia yang baik.

Insiden PONV setelah adenotonsilektomi bisa setinggi 70% dan pendekatan multimodal
diindikasikan untuk mengatasi hal ini. mengurangi kelaparan, menghindari penggunaan N2O
dan analgesia yang seimbang dengan pemberian profilaksis antiemetic mengurangi insiden
PONV. Kombinasi ondansetron 0,1-0,2 mg/kb dan deksametason 0,1-0,5 mg/kg (maksimal 8
mg) intraoperatif telah menunjukkan penuruanan secara besar insiden PONV. Pemberian cairan
intraoperatif juga telah menurunkan insiden nausea pascaoperasi.

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE THT I, 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Tn. MR
Umur : 21 tahun
Diagnosis : OMSK Tipe Aman
Operasi : Tympanomastoidectomy
DPJP Anestesi : dr. Mujahidin, Sp.An KAKV
DPJP Bedah : dr. Iqbal, SpTHT-KL
Tanggal Operasi : 22 November 2018

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan Nyeri telinga sebelah kiri yang sudah dirasakan
6 bulan ini, Nyeri hilang timbul dan pasien juga mengeluhkan telinga berdengung serta
penurunan pendengaran. sebelumnya pasien belum pernah menjalani tindakan operasi. Alergi
obat dan makanan disangkal. Riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, asma, sakit jantung, liver
dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit penyerta dan penyakit dahulu lain disangkal. Tidak ada
gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini pasien sedang tidak demam, batuk dan pilek.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 110/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 83 x/menit Airway: Clear, mallampati 1, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 18 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,5⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 100% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 60 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 168 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, motoric baik, sensorik
baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium Oktober
HB 12 Ht 34 Leuko 9.300 Na 140 K 4 Cl 105
CT 7 BT 2 Ur 14 Cr 0.76 CXR :-

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 1
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia umum
 Posisi supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 10.30 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18
G yang disambungkan ke Ringer lactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 120/70 mmHg, frekuensi nadi 92 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.5, saturasi O2 100% room air
 Pukul 10.45 dilakukan pemberian ko-induksi midazolam 2 mg dan fentanyl 100
microgram dan induksi menggunakan propofol 100 mg tirtrasi, Rocuronium 40 mg
 Dilakukan intubasi ETT No. 7, jenis kingking, evaluasi posisi dan kedalam ETT,
kemudian di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi ETT baik, ventilasi dipindahkan ke ventilator, dengan TV 400
cc, RR 14 x/menit, PEEP 5
 Kemudian dimasukkan kassa tampon faring 1 pcs, diberikan pelindung mata dan wajah,
kemudian pasien diposisikan dalam posisi supine
 Maintenance menggunakan gas sevofluran 2-3 volume% sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi dan dan intubasi, TD 98/60 mmHg, frekuensi nadi
75x/menit, dan saturasi O2 100%.
 Pukul 11.00 dilakukan insisi
 Pemberian deksamethasone 10 mg IV dan ondansetron 4 mg IV untuk PONV, asam
traneksamat 1000 mg IV untuk koagulasi, maintenance fentanyl dan atracurium sesuai
kebutuhan pasien
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 80-90 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 70-85 kali per menit.
 Pukul 13.00 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 85 x per menit, saturasi O2 100%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena, Tramadol 100 mg

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
 Dilakukan weaning dari ventilator dengan pemberian neostigmine dan sulfas atropine,
setelah pernapasan kembali spontan dan adekuat, dilakukan ekstubasi pada keadaan
dalam. Setelah ekstubasi pernapasan 16 kali per menit, kedalaman adekuat, saturasi
O2 dapat dipertahankan di 98%.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 2 jam 15 mnt


Lama operasi : 2 jam
Total cairan masuk : 1000 cc kristaloid
Perdarahan : 50 cc
Urin output :-

Pembahasan

Telinga Tengah berhubungan dengan orofaring melalui Tuba Eustachii. Kalau tuba ini
terganggu akibat trauma, edema, inflamasi, atau kelainan kongenital, lubang angin (venting)
normal dari tekanan telinga tengah tidak terjadi. Pada keadaan ini, konsentrasi N2O yang tinggi
dapat meningkatkan tekanan telinga tengah sampai 300-400 mmHg dalam waktu 30 menit.
Sebaliknya, pemberhentian tiba-tiba dari N2O dapat menimbulkan resorpsi yang cepat dan
menimbulkan tekanan negatif dalam telinga tengah. Perubahan ini dapat mengakibatkan
perubahan anatomi telinga tengah, ruptur membran timpani, disartikulasi stapes artificial,
kerusakan/disrupsi graft, dan mual muntah pascabedah (PONV). Pada pasien ini tidak
digunakan pemberian gas N2O mengingat dapat meningkatkan tekanan di telinga tengah.

Selama pembedahan, kepala pasien sering dalam posisi elevasi dan diputar pada satu
sisi. Posisi kepala yang ekstrim harus dinilai sebelum operasi untuk menentukan batas rentang
pergerakan, terutama pada pasien artritis atau penyakit serebrovaskuler. Mata harus ditutup
dengan plester.

Tindakan bedah mikro pada telinga memerlukan hemostasis adekuat. Anestetika volatil
dan alpha atau beta adrenergik antagonis bagus untuk mempertahankan tekanan darah rerata
60-70 mmHg. Elevasi kepala 150 untuk menurunkan bendungan vena dan pemberian epinefrin
lokal untuk vasokonstriksi umumnya dapat memperbaiki kondisi lapangan operasi.

Pada pasien ini dilakukan teknik Hipotensi terkendali dengan Elevasi kepala 15 derjat dan
pemberian agen Volatil anestesi sevofluran

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE OBGYN I, Agustus 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : Ny. N
Umur : 45 tahun
Diagnosis : AUB Hiperplasia Endometrium
Operasi : Total Histerectomy
DPJP Anestesi : dr. Mujahidin, SpAn KAKV
DPJP Bedah : dr. Sarah Ika, Sp.OG
Tanggal Operasi : 1 Agustus 2018

Anamnesis:
Pasien dirawat di Arafah 2 ruang rawat kebidanan dan dikonsulkan dari bagian kebidanan untuk
rencana operasi laparotomi histerektomi total. Pada anamnesis, pasien dengan riwayat operasi
tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan dan obat. Pasien dengan
riwayat penyakit darah tinggi selama 1 tahun, riwayat penyakit penyerta seperti asma, diabetes,
penyakit jantung, penyakit paru, ginjal dan hati disangkal. Saat ini, pasien tidak ada demam,
batuk atau pilek. Nyeri dada, sesak napas, pingsan dan stroke disangkal. Pasien tidak memiliki
gigi goyang ataupun gigi palsu.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 145/90 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 84 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 20 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,8⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 65 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 160 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, motorik baik, sensorik
baik

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 14 July 2018
HB 13,4 Ht 34 Leuko 10.000 Na 143 K 3.6 Cl 107
CT 7 BT 2 Ur 29 Cr 0.88 CXR : Cardiomegali Negatif
PT 0,9 APTT: 1,04

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- HT stage 1, TD: 145/90, Mets > 6, EKG: NSR 85 bpm, Cxr: Cardiomegali -, Th: -
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Persiapan PRC 500 cc
- Terapi Hipertensi dengan Amlodipin 1 x 10 mg
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia umum
 Posisi supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan dan kiri
no 18 G yang disambungkan ke Ringer lactat, dipasang alat monitor tekanan darah,
EKG dan pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 170/90 mmHg, frekuensi nadi 104 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.6, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.30 dilakukan ,pemberian Midazolam 2 mg dan ko-induksi fentanyl 150
microgram dan induksi menggunakan propofol 100 mg tirtrasi dan pemberian
Rocuronium 40 mg
 Dilakukan intubasi ETT No. 7, jenis kingking, evaluasi posisi dan kedalam ETT,
kemudian di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi ETT baik, ventilasi dipindahkan ke ventilator, dengan TV 450
cc, RR 12 x/menit, PEEP 5
 Kemudian diberikan pelindung mata, kemudian pasien diposisikan dalam posisi supine
 Maintenance menggunakan gas sevofluran 2-3 volume% sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi dan dan intubasi, TD 95/65 mmHg, frekuensi nadi 68
x/menit, dan saturasi O2 100%, Kemudian di berikan Efedrin 10 mg
 Pukul 08.45 dilakukan insisi
 Pemberian ondansetron 4 mg IV untuk PONV, asam traneksamat 1000 mg IV untuk
koagulasi, maintenance fentanyl dan atracurium sesuai kebutuhan pasien
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 100-130 mmHg, dengan diastolik 70-90
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 80-90 kali per menit.
 Pukul 11.30 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 150/80 dengan frekuensi
nadi 93 x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram dan tramadol 100 mg intra vena

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
 Dilakukan weaning dari ventilator dengan pemberian neostigmine dan sulfas atropine,
setelah pernapasan kembali spontan dan adekuat, dilakukan ekstubasi pada keadaan
dalam. Setelah ekstubasi pernapasan 14 kali per menit, kedalaman adekuat, saturasi
O2 dapat dipertahankan di 99%.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 3 jam


Lama operasi : 2 jam 30 mnt
Total cairan masuk : 2000 cc kristaloid
Perdarahan : 500 cc
Urin output : 0.5 cc/kgBB/Jam

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE OBGYN I, Agustus 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Ny. W
Umur : 35 tahun
Diagnosis : G2P1 hml 40-41 minggu, JPKTH, BSC 1x, Susp. Macrosemia
Operasi : Sectio Cesarea
DPJP Anestesi : dr. Zafrullah, SpAn KNA
DPJP Bedah : dr. Cut Meurah Yeni, Sp.OG
Tanggal Operasi : 3 Agustus 2018

Anamnesis:
Pasien dirawat di Arafah 3 ruang rawat kebidanan dan dikonsulkan dari bagian kebidanan untuk
rencana operasi section cesarea dengan indikasi macrosemia. Pada anamnesis, pasien
dengan riwayat operasi tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan dan
obat. riwayat penyakit penyerta seperti asma, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, penyakit
paru, ginjal dan hati disangkal. Saat ini, pasien tidak ada demam, batuk atau pilek. Nyeri dada,
sesak napas, pingsan dan stroke disangkal. Pasien tidak memiliki gigi goyang ataupun gigi
palsu.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 120/70 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 93 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 20 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,3⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 70 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 158 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, motorik baik, sensorik
baik

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 25 July 2018
HB 10,4 Ht 31 Leuko 11.900 Trom 306.000 PT 1,1 APTT: 1,3
CT 7 BT 2 Ur 29 Cr 0.88 Na 139 K 3.9 Cl 109
Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
CXR : Cardiomegali Negatif

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- Kehamilan
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Spinal Anestesia
 Posisi supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kiri no 18 G
yang disambungkan ke Ringer lactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 140/80 mmHg, frekuensi nadi 99 x/menit, frekuensi
napas 20 x/menit, suhu 37.2, saturasi O2 99% room air
 Kami siapkan alat dengan persiapan set Spinal dengan back up GA. Persiapan airway,
mesin anestesi dan obat-obatan. Sebelum tindakan, pasien kami berikan premedikasi
ondansetron 4 mg IV. Pasien lalu kami posisikan untuk duduk dengan memeluk bantal,
punggung lurus kepala menunduk. Kemudian, kami melakukan indakan aseptik dan
antiseptik. Anestesi spinal dengan jarum spinal Quincke 27 G, regimen Bupivacaine
0.5% Heavy 12.5 mg, ditambah dengan adjuvan fentanyl 25 mcg. Spinal dilakukan di
celah intervetebrae L4-5. Setelah melakukan pungsi, didapatkan aliran CSF, kami
menginjeksikan regimen, needle dicabut, pasien segera dibaringkan. Sambil co-Loading
dengan Ringer fundin 1000 cc, Tekanan darah diukur kembali, TD 110/61, HR 96 x/m,
RR 18 x/m, SpO2 99%, pasien composmentis. Oksigen dengan nasal cannule 3 l/m
dipasang. Kemudian kami mengevaluasi level blok spinal dengan meminta pasien untuk
mengangkat lurus kakinya. Didapatkan pasien dengan Bromage scale 3. Setelah itu,
kami mencoba mengetes sensasi nyeri dan dingin pada pasien, didapatkan level blok
sudah sampai ke T6 , blok subarachnoid kami nilai sudah adekuat. Operasi bisa
dilakukan. Sebelum mulai insisi, kami evaluasi keadaan pasien lagi: pasien
composmentis, TD 105/70 mmHg, HR 96 x/m, RR 18 x/m, SpO2 99 %. Urin output
inisial 50 cc (dibuang).
 Pada pukul 08:30 sejawat obgyn melakukan insisi. 10 menit setelah Spinal, tekanan
darah sempat turun sampai dengan 88/58 mmHg, kami pun menginjeksikan Efedrin 10
mg IV, keudian kami evaluasi lagi 2 menit kemdian, TD kembali naik 101/62 mmHg.
 Pada pukul 08:45, bayi laki-laki lahir dengan BB 4900 gram, APGAR score 9/10,
langsung menangis. Operator mengecek konraksi uterus, cukup adekuat. Kami
memasukkan oksitosin drip 20 Unit dengan tetesan 20-30 gt/m, kemudian kami
memasukkan Asam tranexamat 1000 mg IV. Pukul 08:47, operator mngeluarkan
placenta dengan komponen sempurna, kemudian evaluasi kontraksi dan perdarahan,
Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
saat itu kontraksi kurang adekuat. Kami memasukkan methilergometrin 0.2 mg IV Bolus,
3 menit selanjutnya dilakukan evaluasi hemodinamik. Didapatkan kontraksi uterus
bagus, TD 104/73 mmHg, HR 94 x/m, RR 18 x/m, SpO2 99%. Perdarahan didapatkan
300 cc, urinn output 250 cc. Cairan kristaloid yang kami berikan 1500 ml. Selama
operasi pasien sadar penuh, tenang dan tidak ada mual muntah. Setelah kulit mulai
dijahit, pasien kami berikan analgetik Post operasi Parasetamol 1 g IV, Tramadol100 mg
IV.. Pada pukul 10.05, luka operasi ditutup, pasien kami pindahkan ke ruang pemulihan
dalam kondisi stabil. VAS 0-1.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 1 jam 30 mnt


Lama operasi : 1 jam
Total cairan masuk : 1500 cc kristaloid
Perdarahan : 300 cc
Urin output : 0.5 cc/kgBB/Jam

Pembahasan
Keuntungan dari anestesi spinal pada kelahiran caesar adalah:
1. Teknik yang sederhana
2. Kecepatan Induksi
3. Reliabel
4. Paparan minimal terhadap fetus
5. Kelahiran dengan kesadaran penuh
6. Mengurangi risiko aspirasi

Kekurangan dari Bius Spinal:


1. Kejadian yang sering yaitu hipotensi
2. Mual dan muntah intraoperatif
3. Kemungkinan nyeri kepala setelah tusukan dural
4. Durasi kerja yang pendek

Karena kejadian yang tinggi terhadap hipotensi maka dapat dilakukan prehidrasi atau
ekspansi volum akut 1000-1500 mL dari cairan elektrolit atau sebanyak 10 -30 mL/kg.
Walaupun ada beberapa ahli yang memberikan Dextrosa (Dextrosa 1% dan cairan
kristaloid). Kegunaan vasopresor seperti Efredin pada pasien yang hipotensif sangat
berguna. Walau tidak secara rutin diberikan untuk setiap tindakan kita. Untuk itu jika terjadi
hipotensi post spinal maka yang dapat kita lakukan adalah memberikan bolus cairan
kristaloid dan diikuti pemberian Efedrin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian phenylephrine menurunkan risiko asidosis neonatal dibandingkan dengan
pemberian efedrin

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE OBGYN I, Agustus 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Ny. B
Umur : 38 tahun
Diagnosis : Sisa Plasenta
Operasi : Kuretase
DPJP Anestesi : dr. Eka Adhiany, SpAn
DPJP Bedah : dr. Roziana, Sp.OG
Tanggal Operasi : 8 Agustus 2018

Anamnesis:
Pasien dirawat di ruang rawat kebidanan dan dikonsulkan dari bagian kebidanan untuk rencana
operasi Kuretase. Pada anamnesis, pasien dengan riwayat kuretase 1 minggu yg lalu. Pasien
tidak memiiki riwayat alergi terhadap makanan dan obat. riwayat penyakit penyerta seperti
asma, diabetes, Hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, ginjal dan hati disangkal. Saat ini,
pasien tidak ada demam, batuk atau pilek. Nyeri dada, sesak napas, pingsan dan stroke
disangkal. Pasien tidak memiliki gigi goyang ataupun gigi palsu.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 110/60 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 87 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 20 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,8⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 65 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 160 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, motorik baik, sensorik
baik

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 4 Agustus 2018
HB 9,9 Ht 25 Leuko 9.000, Tromb 204.000 CXR : -
PT 1,09 APTT: 1,14

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- Anemia, 9,9 gr/dl
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Persiapan PRC 250 cc
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Sedasi
 Posisi Lithotomi
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18
G yang disambungkan ke Ringer lactat dan Loading 500 cc, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG dan pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 100/60 mmHg, frekuensi nadi 105 x/menit, frekuensi
napas 20x/menit, suhu 36.6, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.30 dilakukan ,pemberian Midazolam 2 mg dan ko-induksi fentanyl 100
microgram dan induksi menggunakan propofol 50 mg Titrasi
 Dilakukan tatalaksana Airway dengan nasal kanul dengan O2 3 liter/mnt
 kemudian pasien diposisikan dalam posisi lithotomi
 Maintenance menggunakan Propofol 20-30 mg sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi, TD 90/55 mmHg, frekuensi nadi 89 x/menit, dan saturasi
O2 98%, Kemudian di berikan Efedrin 5 mg
 Pukul 08.15 dilakukan tindakan
 Pemberian ondansetron 4 mg IV untuk PONV, asam traneksamat 1000 mg IV untuk
koagulasi
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 100-130 mmHg, dengan diastolik 70-90
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 80-90 kali per menit.
 Pukul 09.00 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 93 x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram dan tramadol 100 mg intra vena
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 45 mnt


Lama operasi : 30 mnt
Total cairan masuk : 1000 cc kristaloid
Perdarahan : 200 cc

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Urin output :-

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE ORTHOPAEDI 1, September 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : Tn. JF
Umur : 38 tahun
Diagnosis : Dislokasi Elbow Joint
Operasi : Rekontruksi
DPJP Anestesi : dr. Imai Indra, SpAn
DPJP Bedah : dr. Zulkarnaen, SpOT
Tanggal Operasi : 24 September 2018

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan tangan kiri nyeri dan tidak bisa di luruskan setelah
setelah terjatuh di kamar mandi 1 bulan yang lalu, Sebelumnya pasien datang ke dukun patah
untuk di urut tetapi tangan pasien tetap tidak bisa diluruskan. pasien belum pernah menjalani
tindakan operasi. Alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat batuk tidak ada, Riwayat
hipertensi, Diabetes Mellitus, asma, sakit jantung, liver dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit
penyerta dan penyakit dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini
pasien sedang tidak demam, batuk dan pilek.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 120/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 78 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 18 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,2⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 100% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 60 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 165 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, sensorik baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 30 Agustus 2018
HB 12,7 Ht 47 Leuko 10400 Tromb 306.000 BT 3 CT 7
Ur 28 Cr 0.52 CXR : -

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 1
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 General Anestesi dengan LMA
 Posisi pasien supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 16.30 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18
G yang disambungkan ke Ringer lactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 130/80 mmHg, frekuensi nadi 74 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.45 dilakukan ,pemberian ko-induksi fentanyl 100 microgram dan induksi
menggunakan propofol 150 mg tirtrasi, dilakukan insersi LMA
 Dilakukan insersi LMA, evaluasi posisi LMA, kemudian di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi LMA baik, ventilasi dilakukan secara manual sampai pasien
bernafas spontan dan adekuat
 Kemudian diberikan pelindung mata dan wajah, kemudian pasien diposisikan dalam
posisi supine
 Maintenance menggunakan gas sevofluran 2-3 volume% sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi, TD 105/65 mmHg, frekuensi nadi 70x/menit, dan saturasi
O2 97%.
 Pukul 16.45 dilakukan insisi
 Pemberian deksamethasone 10 mg IV dan ondansetron 4 mg IV untuk PONV, asam
traneksamat 1000 mg IV untuk koagulasi, maintenance fentanyl sesuai kebutuhan
pasien
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 90-100 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 60-70 kali per menit.
 Pukul 18.00 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 79 x per menit, saturasi O2 98%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram dan tramadol 100 mg intra vena

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
 Dilakukan ekstubasi pada keadaan dalam. Setelah ekstubasi pernapasan 16 kali per
menit, kedalaman adekuat, saturasi O2 dapat dipertahankan di 99%.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE ORTHOPAEDI 1, September 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Tn. RD
Umur : 58 tahun
Diagnosis : OA Knee dextra
Operasi : TKR Dextra
DPJP Anestesi : dr. Zafrullah, SpAn KNA
DPJP Bedah : dr. Armia, SpOT
Tanggal Operasi : 25 September 2018

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri lutut kaki kanan, nyeri dirasakan selama 3
tahun ini dan semakin memberat sehingga pasien susah untuk berjalan, Sebelumnya pasien
belum pernah menjalani tindakan operasi. Alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat batuk
tidak ada, Riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, asma, sakit jantung, liver dan ginjal disangkal.
Riwayat penyakit penyerta dan penyakit dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi
goyang. Saat ini pasien sedang tidak demam, batuk dan pilek.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 120/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 92 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 18 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,9⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 100% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 68 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 164 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, sensorik baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 28 Agustus 2018
HB 12,1 Ht 46 Leuko 9300 Tromb 326.000 Na 148 K 4 Cl 114
Ur 28 Cr 0.52 CXR : Cardiomegali -
BT 3 CT 7

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- Hipernatremia 148
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia Neuroaxial (Subarachnoid block)
 Posisi pasien supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 12.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18 G
yang disambungkan ke Ringer fundin, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 140/90 mmHg, frekuensi nadi 89 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.9, saturasi O2 99% room air
 Pukul 12.15 dilakukan subarachnoid block dengan lokasi puncture di L4-L5, injeksi
bupivacaine 0.5% heavy 15 mg dan Adjuvan clonidin 30 mcg
 Dievaluasi ketinggian block mencapai T10
 Hemodinamik setelah subarachnoid block, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 90x/menit,
dan saturasi O2 99%.
 Pukul 12.30 dilakukan insisi
 Pemberian ondansetron 4 mg IV untuk PONV
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 100-120 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 80-90 kali per menit.
 Pukul 15.00 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 93x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan tramadol 100 mg
intra vena
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Lama pembiusan : 3 jam 0 menit
Lama operasi : 2 jam 30 menit
Total cairan masuk : 1500 cc kristaloid
Perdarahan : 300 cc
Urin output : 0.7 cc/kgBB/Jam

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
PORTOFOLIO STASE ORTHOPAEDI 1, September 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Tn. YH
Umur : 32 tahun
Diagnosis : Open Fraktur Cruris Dextra
Operasi : ORIF
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Onarisa, SpOT
Tanggal Operasi : 1 September 2018

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan luka robek dan deformitas di kaki kanan setelah
kecelakaan lalu lintas, Sebelumnya pasien belum pernah menjalani tindakan operasi. Alergi obat
dan makanan disangkal. Riwayat batuk tidak ada, Riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, asma,
sakit jantung, liver dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit penyerta dan penyakit dahulu lain
disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini pasien sedang tidak demam, batuk
dan pilek.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 120/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 89 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 18 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 37,2⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 100% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 75 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 175 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, sensorik baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 30 Agustus 2018
HB 12,7 Ht 47 Leuko 15400 Tromb 356.000 BT 3 CT 7
Ur 28 Cr 0.52 CXR : -

Rizki taufiqurrahman
Anestesiologi dan Terapi Intensif Unsyiah
Kesan :
ASA 2
- Leukositosis 15400
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia Neuroaxial (Subarachnoid block)
 Posisi pasien supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 13.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18 G
yang disambungkan ke Ringer fundin, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 110/70 mmHg, frekuensi nadi 85 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.9, saturasi O2 99% room air
 Pukul 10.15 dilakukan subarachnoid block dengan lokasi puncture di L4-L5, injeksi
bupivacaine 0.5% heavy 15 mg
 Dievaluasi ketinggian block mencapai T10
 Hemodinamik setelah subarachnoid block, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 70x/menit,
dan saturasi O2 99%.
 Pukul 13.30 dilakukan insisi
 Pemberian ondansetron 4 mg IV untuk PONV
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 110-120 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 60-70 kali per menit.
 Pukul 14.30 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 650x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan tramadol 100 mg
intra vena
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 1 jam 30 menit


Lama operasi : 1 jam
Total cairan masuk : 1500 cc kristaloid
Perdarahan : 400 cc
Urin output : 0.5 cc/kgBB/Jam

Pembahasan

Manajemen anestesia pada ortopedi

Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik local kedalam cairan


serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Tergantung dosis, local
anestetik dapat menghasilkan efek anesthesia ringan sampai dengan komplit pada daerah
dermatom atau seluruh tubuh.
Tehnik ini telah dilakukan awal abad dua puluh dan dokter dan penderita memutuskan bukan
berarti menghindari komplikasi-komplikasi anestesi umum. Setelah 1950, penggunaan
anesthesia berkurang di AS, anesthesia umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi
pasien. Pada 1975 telah dipertimbangkan bahwa faedah anestesi spinal dan epidural,
memberikan keuntungan terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan yang simple terhadap
anestesi umum, membuat tehnik ini penting pada penanganan penderita.

Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum anestesi
spinal atau epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien dan
beberapa kontraindikasi terhadap tehnik regional.

Banyak operasi pada ekstremitas bawah , pelvis, abdomen bagian bawah dan perineum dapat
dilakukan dengan anestesi spinal. Operasi daerah diatas abdomen, dada, bahu dan ekstremitas
atas dapat ditangani dengan anestesi spinal dengan kesulitan yang besar. Walaupun tempat
operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus pasien tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya ,
efek operasi atau spinal anesthesia yang tinggi mungkin akan mempengaruhi pernapasan,
sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.

Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit disekitar
tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin kesalahan lebih banyak jika
terdapat kelainan anatomic seperti scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi
pada tempat punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit neurology yang ada sebelumnya yang
ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat untuk mencegah kesalahan
diagnosis kelainan neurology post anestesi.

Diantara sedikit kontra indikasi absolut anesthesia spinal adalah pasien menolak dan infeksi
pada tempat insersi jarum anestesi spinal. Juga untuk penderita yang menderita koagulopati
yang berat dan ditakutkan terjadinya hematoma epidural. Tehnik ini juga tidak diindikasikan
pada pasien-pasien dengan gangguan pembekuan., hal ini dapat dilindungi dengan pemberian
heparin sesudahnya.

Jika hipovolemia tidak dikoreksi sebelum anestesi spinal, penekanan saraf sympatis
menghasilkan katastropik hipotensi, juga perdarahan dan dehidrasi harus ditangani sebelum
anesthesia dilakukan. Baktemremia tidak merupakan kontra indikasi absolut terhadap anestesi
spinal, penderita dapat diberikan antibiotik, tapi tehnik ini dihindari jika pasien ditakutkan
adanya bakteremia blood borne yang dilihat pada hematoma epidural yang kecil dan
membentuk abses. Herniasi discus vertebra atau pembedahan tulang sebelumnya tidak
temasuk kontra indikasi spinal anesthesia, walaupun jaringan parut dapat menghalangi
penusukan jarum yang berisi anestesi local atau pengaruhnya terhadap peningkatan akan
terjadinya trauma akar saraf. Dalam kasus ini kekhawatiran akan terjadinya eksaserbasi sakit
belakang atau radikulitis, pasien dan ahli naestesi akan memilih anestesi umum. Walaupun
sedikit bukti bahwa anestesi spinal menyebabkan keadaan penyakit neurology bertambah jelek.
Banyak yang menghindari tehnik ini bila terjadi eksaserbasi kelainan yang ada sebelumnya pada
post operasi.

Seperti pada anestesi umum, obat-obatan, perlengkapan serta mesin anestesi disiapkan
sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen melalui nasal kanula atau masker
untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pemberian sedatif dan
narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum, bahkan pasien cukup sadar
untuk melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan
penusukan jarum atau injeksi anestetik dapat menggambarkan trauma akar saraf.

Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone.
Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan fleksi vertebra, pasien menjadi lelah
bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan tersebut operator dan asisten
harus memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk mendapatkan keadaan yang
stabil. Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk
menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan bakterisidal,
penutup steril, sarung tangan dan secara hati-hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk
perlengkapan spinal. Untuk mncegah kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label
dan konsentrasi diperhatikan dengan hati-hati.

You might also like