Professional Documents
Culture Documents
Pendekatan Diagnostik
pada Pasien Proteinuria
Disusun Oleh :
Aan Anjarwati
1006755941
Pembimbing
Dr. Bambang Setiyohadi, Sp.PD - KR
NOVEMBER 2010
ii
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman orisinalitas ii
Lembar Persetujuan iii
Daftar Isi iv
Bab 1 Pendahuluan 3
Bab 4 Pembahasan 22
Bab 5 Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 25
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum:
Mengetahui diagnosis dini dan tatalaksana proteinuria ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1. Proteinuria1,2
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai
normalnya lebih dari 150 mg/24 jam atau 140 mg/m2 pada anak-anak. Dalam keadaan
normal, protein bisa terdapat di dalam urin sampai dengan sejumlah tertentu yang masih
dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mg/hari (pada anak-anak 140 mg/m 2), tetapi ada
juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih dari 200 mg/hari.
Sejumlah protein ditemukan pada urin pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala,
ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang
serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan penyebab/penyakit dasarnya. Adanya prevalensi proteinuria yang
ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mg/hari pada
beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria
persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya
hanya sedikit di atas nilai normal. Sedangkan dikatakan proteinuria masif bila terdapat
protein di urin melebihi 3400 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri dari albumin.
Proteinuria ≥150
Batas proteinuria-neftorik >3500
Ekskresi Albumin
Ekskresi albumin normal 2-30
Microalbuminuria 30-300
Macroalbuminuria >300
Sumber : Kashif, Waqar. Proteinuria : How to evaluate an important finding. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/117853-print. Diakses 16 November 2010
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas
pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati
kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus
mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya
untuk menembus dinding glomerulus. Akan tetapi jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran
protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal)
secara bebas di saring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal
ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin sekitar 30 mg/hari; sisa
protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall, Imunoglobulin A dan
Urokinase) atau adanya sejumlah kecil β-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim-enzim dan
hormon-hormon pepti da.
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang menghalangi sel
maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap
protein besar (>100 kDal) sementara foot processes dari epitel/podosit akan memungkinkan
lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini
5
ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang
bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif ini akan menghalangi transpor molekul
anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change
menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin
selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang
berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau
proteinuria bermakna.
Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria
abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada
diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi
monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat
dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat
dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan-kelainan
yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila
ekskresi protein urin total melebihi 3,5 garm sehari, sering dihubungkan dengan
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5
gram ini dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa
penyakit ginjal yang lain.
Penyebab proteinuria masif ini sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang
cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-penyakit glomerulus. Terdapat 3 proteinuria
patologis : 1). Proteinuria glomerulus, misalnya mikroalbuminuria, protein klinis; 2).
Proteinuria tubular; 3). Overflow proteinuria.
2.3.1.1 Mikroalbuminuria1,7
Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30 mg/hari. Bila albumin di urin
antara 30-300 mg/hari atau 30-350 mg/hari disebut mikroalbuminuria.
Pada studi epidemiologi, mengatakan tes albuminuria dan protein sebagai indikator
penyakit ginjal, kardiovaskular dan risiko mortalitas dalam populasi umum. Dimana albumin
mungkin dapat digunakan untuk skrining penyakit ginjal dan kardiovaskular.
Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial, dan beberapa penyakit
glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif mesangial difus). Mikroalbuminuria
7
merupakan suatu marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal
ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik.
Tes yang sesuai untuk mendeteksi albumin dalam urin harus dapat mengidentifikai
rasio ekskresi albumin dalam urin yang dapat memprediksi gejala nefropati. Dari riwayat
perjalanan studi yang dilakukan pada sekelompok pasien berkesimpulan bahwa peningkatan
ekskresi albumin adalah prediktor kuat dari gejala klinik nefropati. Pada setiap studi,
sensitivitas dan spesifisitas dari tes menggunakan metode retrospektif pada level cutoff yang
akan memberikan hasil positif pada setiap perkembangan yaitu rasio ekskresi albumin
dalam urin >200 µg/menit atau proteinura positif dengan dipstik setelah observasi kira-kira 6
sampai 14 tahun.7
Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal,
tetapi berguna juga sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya
dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien-pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh
proteksi/perlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu
para dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin urin, berapa angka normalnya,
kadar abnormalnya, dan berapa kadar terendah yang harus kita capai. Peningkatan ekskresi
albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum.
Albuminuria dapat dipakai sebagai “alat yang berharga” untuk menentukan risiko
perkembangan lebih lanjut gagal gagal ginjal, tanpa dipengaruhi adanya faktor-faktor risiko
lain kardiovaskular. Sehingga peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan
penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan
epidemiologi pada negara-negara sangat berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan
II, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis
mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah
karena adanya disfungsi endotel yang luas.
Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg
perhari, terdiri dari β-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit-penyakit
yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah renal tubular acidosis (RTA),
sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, akibat cangkok ginjal.
lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan
fungsi ginjalnya.
Transient
Functional
Persistent
Postural
Immunoglobulin A nephropathy
Membranoproliferative glomerulonephritis
Secondary glomerulopathies
Acute poststreptococcal glomerulonephritis
Malignancy
Drugs (gold, nonsteroidal anti-inflammatory drugs, heroin,
penicillamine)
Infections (human immunodeficiency virus; hepatitis A, B, C)
Obesity
Reflux nephropathy
Sumber : Kashif, Waqar. Proteinuria : How to evaluate an important finding. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/117853-print. Diakses 16 November 2010
Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan
tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali :
a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman/penuntun proteinuria (IVB)
b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten : ikuti follow up berikutnya.
Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein
urin 24 jam 2-3 x untuk menyingkirkan proteinuria intermiten.
a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda umur kurang dari 30 tahun, harud di-
follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow
up tiap 6 bulan.
b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria.
1. Jika proteinuria <3 gram/24 jam, perlu dikonfirmasi dengan imaging ginjal yang
cukup untuk menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas anatomi ginjal dan
penyakit ginjal polikistik.
2. Juga pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk
menyingkirkan multipel mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap
6 bulan.
3. Jika proteinuria lebih dari 3 gram/24 jam, lanjutkan ke-I A.
2.6. Cara mengukur protein di dalam urin1
Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan
bermakna. Metode dengan dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil
positif palsu bila pH>7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi dengan darah.
Sedangkan urin yang sangat encer menutupi adanya proteinuria pada pemeriksaan dipstik.
Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi
negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menetukan protein Bence Jones pada urin
pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar
seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini,
dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur
mikroalbuminuria (30-300 mg/hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus
yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini. Derajat
proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas pada ginjal yang
berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler
glomerulus, tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektifitas dinding glomerulus
mencegah transportasi albumin, globulin, dan protein dengan berat molekul besar lainnya
14
untuk menembus dinding glomerulus. Akan tetapi, jika sawar ini, terdapat kebocoran protein
plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus).
Proteinuria
Deteksi dengan dipstik
Proteinuria Proteinuria
Ortostastik/Postural Non Ortostastik
Follow up Follow up
tiap 1-2 thn Tiap 6 bulan
15
Proteinuria yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi
kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari
protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari; sisanya protein pada urin akan disekresi
oleh tubulus (Tamm Horsfall, Imnuglobulin A dan urokinase) atau adanya sejumlah kecil β-2
mikroglobulin, apoprotein, enzim-enzim dan hormon-hormon peptida.
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang menghalangi sel
maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap
protein besar (>100 kDal) sementara foot processes dari epitel atau podosit akan
memungkinkan lewatnya air dan solut kecil untuk transport melalui saluran yang sempit.
Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, asam partat, dan asam
16
sialat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif ini akan menghalangi
transport molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit
perubahan minimal menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi
kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran
basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria
non selektif atau proteinuria bermakna.
Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria adalah produksi yang terjadinya
berlebihan dari protein abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Hal ini biasanya
sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (multipel mieloma dan limfoma) yang
dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel
plasma (multipel mieloma) dapat dihubungkan dengan
Pemeriksaan Urin Dipstiksejumlah besar ekskresi rantai pendek
Proteinuria
di urin, yang mana tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini
dihasilkan kelainan-kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya
pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein
Ekskresi urin
protein 24 jam total melebihi 3,5 g sehari, sering
Atau rasio protein urin pagi (mg/g)
dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Sindrom Nefrotik) akan
tetapi ekskresi melebihi 3,5 g ini dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom
nefrotik pada beberapa
30-300 mg/haripenyakit ginjal300-3500
yang lain.
mg/hari >3500 mg/hari
Atau Atau Atau
30-350 mg/g 300-3500 mg/g >3500 mg/g
Elektroforesis
protein urin
Keterangan skema
Pendekatan pasien dengan proteinuria. Pemeriksaan proteinuria sering diawalin dengan
pemeriksaan dipstik yang positif pada pemeriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional
mendeteksi mayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300
mg/hari. Akan tetapi, pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein
urin 24 jam atau rasio protein pagi/kreatinin (mg/gr).
Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari
glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung pada asal protein urin.
Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Protein tubular
seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang
abnormal seperti rantai ringan/pendek kappa/lambda telah siap disaring karena ukurannya
yang kecil.
18
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Wanita 29 tahun datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 3 hari sebelum
masuk Rumah Sakit. Sejak 15 bulan sebelum masuk Rumah Sakit (sekitar bulan Juni 2009)
saat pasien hamil anak kedua, pasien di rawat di lantai 6 RSCM dengan keluhan bengkak
seluruh badan. Sehabis melahirkan bengkak membaik. Pasien dapat beraktivitas seperti biasa,
demam disangkal. Saat di rawat, dikatakan pasien menderita penyakit sindrom nefrotik dan
harus kontrol teratur ke poli ginjal RSCM.
Sejak 4 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengalami keluhan yang sama,
berupa bengkak di lengan, kaki, muka, buang air kecil (BAK) mengalami masalah, berobat
ke poli ginjal, setelah minum obat, keluhan berkurang.
19
Sejak 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh sesak napas yang
memberat. Sesak napas dirasakan saat beraktivitas, tidur lebih nyaman dengan 3 bantal,
kadang malam hari terbangun karena sesak, pasien hanya dapat berjalan sekitar 100 meter,
keluhan buang air kecil seperti kencing berwarna teh, nyeri saat berkemih, dan produksi urin
sedikit disangkal. Buang air besar mencret, warna kehitaman, bercampur darah juga
disangkal. Kemudian pasien di rawat selama 2 minggu di RSCM lantai 6. Obat yang
diberikan pada saat pulang adalah 1 muran 2x50 mg, prednison 1x60 mg (sudah diminum
rutin selama 7 bulan), Covet D3 3x1 tab, captopril 3x25 mg, Omeprazol 2x0,4 mg.
Sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien merasakan sesak yang semakin
memberat, pasien tidak dapat berjalan, hanya dapat berbaring. Sesak napas tidak disertai
napas yang berbunyi, nyeri dada disangkal, muntah/batuk darah (-), batuk (-), demam (-).
Tidur lebih nyaman dengan posisi setengah duduk, sering terbangun karena sesak, terdapat
bengkak yang ditemukan di tungkai dan muka, perut membesar. Keluhan mual dan muntah
disangkal. Saat masuk ruang rawat, sesak dan bengkak berkurang.
Riwayat hipertensi selama hamil anak kedua. Tekanan darah sistolik bisa sampai 180
mmHg. Berat badan anak-anaknya pada saat lahir tidak normal (bayi kecil). Setelah lahir,
tekanan darah turun dan membaik . Diabetes mellitus, penyakit jantung, asma, alergi
obat/makanan, riwayat maag, riwayat sakit kuning, riwayat minum jamu, minum alkohol,
IVDU, dan sex bebas disangkal. Pada keluarga terdapat hipertensi pada ibu pasien, diabetes
mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, asma, disangkal oleh pasien.
Dalam pemeriksaan fisik, ditemukan kesadaran pasien compos mentis, TD 130/90
mmHg, suhu 37,5 °C, nadi 88 x/menit, pernapasan 24 x/menit. Tinggi badan 140 cm dan
berat badan 40 kg, sehingga IMT pasien 20,41 kg/m2. Konjungtiva pucat, JVP 5+0 cmH2O.
Pada auskultasi paru ditemukan rhonki basah halus di seluruh lapang paru. Abdomen pasien
lemas, perut kanan tegang, nyeri tekan epigastrium dan hipogastrium, hati teraba 2 jari di
bawah arcus costae dan 2 jari di bawah pusat, nyeri tekan (+), tepi tumpul, permukaan rata.
Limpa tidak teraba.
EKG pasien (18 Oktober 2010) berada dalam batas normal. Foto rontgen thorax
pasien (18 Oktober 2010) menunjukkan corakan bronkovesikuler pada kedua paru
meningkat dengan tanda-tanda kranialisasi, tampak cairan di fisura minor. Kesan dari
pemeriksaan foto thorax adalah sesuai dengan tanda-tanda bendungan paru.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 18 Oktober menunjukkan trombositosis
(trombosit = 426.000 /µL), hiponatremia (Na+ = 128 pada 13 Agustus dan meningkat hingga
20
133,12 pada 16 Agustus), hipoalbuminuria (Albumin = 1,1 g/dL pada 18 Oktober), dan
peningkatan kadar kreatinin (Kreatinin darah = 1,6 mg/dL). Urinalisis pada 15 Agustus
menunjukkan warna agak keruh, hematuria (+2), proteinuria (+3), leukosituria (6-8/LPB).
Pasien didiagnosis dengan sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia, hipertensi
grade II dengan hipertension heart disease (HHD), riwayat edema pulmoner, Acute Kidney
Injury (AKI), dan hiperlipidemia. Pasien diberikan oksigen 3 liter/menit nasal kanul jika
sesak, furosemid 2x20 mg (IV), prednison 2 mg/kg/hari diberikan dosis tunggal (5-0-0),
simvastatin 1x10 mg, balans cairan -300 cc/hari, restriksi cairan max 1000 cc/hari, diet
albumin, captopril 3x25 mg, ascardia 1x80 mg.
BAB IV
PEMBAHASAN
Tingginya hasil protein urin 24 jam menunjukkan adanya gromerulonefritis. Pada sindrom
nefrotik lebih dari 85% adalah proteinuria albumin yang termasuk proteinuria selektif. Untuk
mengetahui jenis proteinuria perlu dilakukan pemeriksaan mikroskop elektron. Selain itu, ada
juga pemeriksaan elektroforesis protein urin untuk mengetahui bentuk proteinuria
(glomerulus, tubular, atau abnoral tergantung pada asal urin). Sayangnya pada pasien tidak
dilakukan pemeriksaan elektroforesis protein urin karena dana pasien yang terbatas.1,2
Setelah diperiksa protein urin 24 jam, perlu dilakukan USG abdomen. USG dapat
memberikan keterangan tentang ukuran, bentuk, letak dan struktur anatomi dalam ginjal.
Pada pasien sindrom neftorik mempunyai potensi untuk timbul gagal ginjal akut Adanya
gagal ginjal dapat dilihat dengan USG abdomen. Hasil USG abdomen pada pasien
memberikan gambaran korteks yang hiperekoik yang merupakan gambaran khas pada gagal
ginjal. Mekanisme gagal ginjal akut pada pasien yaitu terjadinya edema internal yang
menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Untuk menentukan penyebab sindrom nefrotik
apakah karena glomerulonefritis primer atau sekunder perlu dilakukan biopsi ginjal. Dari
anamnesis, faktor risiko penyebab sekunder dapat disingkirkan (seperti pemakaian narkoba,
hepatitis virus B dan C, sifilis, TBC, keganasan, pemakaian obat-obatan disangkal). Hal ini
terbukti dari hasil yang non reaktif pada pemeriksaan HbsAg dan anti HCV. Pada pasien telah
dilakukan biopsi ginjal, tertulis kesimpulan yang menyatakan biopsi hanya mengandung 1-2
glomerulus sehingga sukar dinilai. Walaupun hasil biopsi mengatakan hal tersebut, diagnosis
ke arah sindrom nefrotik masih dapat ditegakkan. Karena adanya manifestasi klinik yang
khas pada pasien seperti edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia.
Rendahnya kadar albumin pada pasien berhubungan dengan sindrom nefrotik.
Hipoalbuminemia pada pasien disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan
tekanan onkotik plasma. Adanya hipoalbuminemia menurut teori underfill menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema pada pasien. Edema pada pasien juga disebabkan oleh retensi
natrium (teori overfill). Retensi natrium pada ginjal menyebabkan cairan ekstravaskular
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal
juga menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan
pada pasien sindrom nefrotik.6,11
22
Pada pasien terjadi peningkatan kolesterol total yang disebabkan oleh meningkatnya
LDL, lipoptotein utama pengangkut kolesterol. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi
akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun..6
Proteinuria masif adalah prediktor dari proses cepat gagal ginjal. Hubungan ini sangat
berkaitan sebab-akibat, sehingga penurunan proteinuria adalah tujuan utama terapi. Ada 3
intervensi untuk menurunkan proteinuria yaitu dengan ACE inhibitors, NSAID, dan diet
rendah protein.11
Pada pasien diberikan obat diuretik golongan furosemid 2x20 mg (IV), untuk
meningkatkan pengeluaran natrium dan air. Selain dengan cara farmakologi, edema juga
dapat ditatalaksana non farmakologi yaitu dengan balans cairan -300 cc/hari dan restriksi
cairan max 1000 cc/hari. Kemudian prednison 2 mg/kg/hari diberikan dosis tunggal (5-0-0),
untuk menekan gejala inflamasi. Golongan statin (Simvastatin 1x10 mg) diberikan untik
menurukan trigliserida yang disebabkan oleh peningkatan VLDL. Hipertensi pada pasien
diterapi dengan captopril 3x25 mg dan untuk mengatasi hipoalbuminemia diberikan diet
albumin.
BAB V
KESIMPULAN
Wanita 29 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari
sebelum masuk Rumah Sakit. Bengkak di seluruh tubuh, terdapat paroxysmal nocturnal
dyspneu (PND), dyspneu on effort (DOE) dan ortopnoe. Dirawat dengan diagnosis edema
pulmonder dengan sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia, hipertensi grade II dengan
hipertension heart disease (HHD), Acute Kidney Injury (AKI), dan pemanjangan APTT.
Tatalaksana yang diberikan di ruang rawat yaitu oksigen 3 liter/menit nasal kanul jika
sesak, furosemid 2x20 mg (IV), prednison 2 mg/kg/hari, , simvastatin 1x10 mg, balans cairan
-300 cc/hari, restriksi cairan max 1000 cc/hari, diet albumin, captopril 3x25 mg.
Dengan demikian, usaha pendekatan pasien secara diagnostik dengan menelusuri
adanya proteinuria. Adapaun pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pasien yaitu
pengukuran urin secara dipstik, pengukuran urin 24 jam, USG abdomen dan biopsi ginjal.
Ditambah dengan informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Setelah memeriksa hal
23
tersebut, proteinuria yang terjadi pada pasien dapat diketahui diagnosisnya yaitu diagnosis
sindrom nefrotik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bawazier, Lucky A. Proteinuria. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD, 2006. h. 519-23.
3. Projosudjadi dkk. Deteksi dan Pencegahan Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia. Diakses
tanggal16 November 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/237378-
print.
4. Harun, Sjaharuddin. Nasution, Sally. Edema Paru Akut. Dalam: Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD,
2006. h. 1651-53.
24
5. Effendi, Ian. Pasaribu, Restu. Edema Patofisiologi dan Penanganannya. Dalam: Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen IPD, 2006. h. 515-518.
6. Prodjosujadi, Wiguno. Sindrom nefrotik. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD, 2006. h. 558-560.
9. Go, Alan S, Fang, Margaret C, etc. Impact of Proteinuria and Glomerular Filtration Rate
on Risk of Tromboembolism in Atrial Fibrilation : The Anticoagulation nd Risk Factors in
Atrial Fibrilation (ATRIA) Study. In : Circulation Journal of The American Heart
Association. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/119/10/1363. Diakses pada tanggal 23
November 2010.
10. Atkins, Robert C, Briganti, Esther M, Zimmet, Paul Z. etc. Association between
Albuminuria and Proteinuria in the General Population : The AusDiab Study. In :
Nephrology dialysis Transplant. Dinduh dari :
http://ndt.oxfordjournals.org/content/18/10/2170.full.pdf+html. Diakses pada tanggal 23
November 2010.
11. Orth, Stephan., Ritz, Eberhard. The Nephrotic Syndrome. In : The New England Journal
of Medicine. Diunduh dari :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199804233381707. Diakses pada tanggal 2
November 2010.
12. Haraldsson, Borje. Nystrom, Jenny. Deen, William M. Properties of the Gromerular
Barrier and Mechanisms of Proteinuria. Diunduh dari :
http://physrev.physiology.org/cgi/reprint/88/2/451. Diakses pada tanggal 6 Desember
2010.
25
13. Herbert, Lee A., R.N., Charleston, etc. Proteinuria. In : National Kidney and Urologic
Disease Information Clearinghouse. Diunduh dari :
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/pdf/proteinuria.pdf. Diakses pada tanggal 6
Desember 2010.
LAMPIRAN
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Nilai Normal 18/10 21/10 23/10
26
Hb 13 – 16 g/dl 12 12,4
Ht 20 – 40 % 37 39,1
MCV 82 – 92 fl 81 84,3
MCH 25 – 35 pg 27 26,7(↓)
Diff Count
Rutin dan
hitung jenis
Hemostasis
Jumlah
Retikulosit
Absolut 25.000-75.000/uL
Relatif 0,50-2,00%
KIMIA
DARAH
Bersihan
Kreatinin
Kreatinin 0,70
Darah