You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintah memegang peranan penting dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat pada


suatu negara. Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat
sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin
ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai
proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan jika pada periode ini
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga
mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot tajam.

Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani Multiple


Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang
memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit
langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha. Kebijakan moneter merupakan
instrumen yang sangat diandalkan dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang ada pada suatu
negara. Dengan demikian, kebijakan moneter sangatlah penting dalam pembangunan dan
pengembangan suatu negara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Analisa Mengenai Pilihan Mengenai Kebijakan Moneter
2. Analisa Mengenai Kelembagaan
3. Analisa Mengenai Kasus Capital Flight Dan Cara Mencegahnya
4. Analisa Mengenai Devaluasi

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Analisa Mengenai Pilihan Mengenai Kebijakan Moneter
2. Mengetahui Analisa Mengenai Kelembagaan
3. Analisa Mengenai Kasus Capital Flight Dan Cara Mencegahnya
4. Analisa Mengenai Devaluasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Analisa Mengenai Pilihan Mengenai Kebijakan Moneter

1. Kebijaksanaan Moneter

Yang dimaksud dengan kebijaksanaan moneter adalah setiap kebijaksanaan yang diambil
oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia atau bersama-sama di dalam bidang keuangan atau
bidang moneter degan harapan mempengaruhi sektor riil, khususnya menunjang pembangunan
ekonomi. Oleh karena kebijaksanaan moneter dalam arti luas ini juga menyangkut kebijaksanaan
dalam bidang keuangan negara (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan hal yang
terakhir ini merupakan subjek pembicaraan tersendiri.

2. Tujuan Kebijaksanaan Moneter

Tujuan kebijaksanaan moneter mestinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat


melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini mungkin dapat dicapai dengan berbagai
kebijaksanaan, baik di sektor moneter maupun kebijaksanaan di sektor riil. Kebijaksanaan di
sektor moneter itu sendiri mungkin berupa mengendalikan jumlah uang yang beredar (likuiditas
perekonomian), atau menjaga stabilitas nilai rupiah, menstabilkan tingkat bunga, melaksanakan
kebijaksanaan untuk mengurangi atau menghapus pencucian uang (Money Laundering), laju
pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs valuta asing, dan sebagainya, di mana Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter tersebut
berdasarkan undang-undang. Tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah ini
tercantum dalam UU tentang Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah
adalah kestabilan terhadap hargaharga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk
mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijaksanaan
moneter dengan inflasi sebagai sasaran utamanya (Inflation Targeting Frameiuork) dengan
menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat
penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia
juga menjalankan kebijaksanaan nilai tukar untuk mengurangi perubahan nilai tukar yang
berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam kerangka inflasi
sebagai sasaran utamanya, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada
publik dan kebijaksanaan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan
oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijaksanaan moneter dilakukan
secara melihat ke depan (forward looking), artinya perubahan kebijaksanaanmoneter dilakukan
melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang
telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijaksanaan moneter juga ditandai oleh
transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara Operasional, kebijaksanaan
moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan
memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.
Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.

1. Alat Kebijaksanaan Moneter Secara operasional, pengendalian sasaran kebijaksanaan


moneter dapat menggunakan instrumen-instrumen berikut:
a. operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah maupun valuta asing,
b. penetapan cadangan wajib minimum,
c. penetapan tingkat diskonto,
d. pengaturan kredit atau pembiayaan,
e. kebijaksanaan lain yang dianggap perlu.

Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip
Syariah (prinsip bagi hasil).

a. Operasi Pasar Terbuka (OPT). Alat kebijaksanaan ini juga dikenal dalam bahasa Inggris

sebagai Open Market Operation, di mana Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli atau penjual
di pasar surat berharga atau di pasar devisa. Instrumen yang digunakan dalam OPT meliputi :
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan SBI Syariah (SBIS), Surat-surat berharga, Penempatan
berjangka (term deposit) oleh Bank dan/atau pihak lain di BI, dan Valuta asing.

Kalau pada satu ketika Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi
kelebihan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar
uang antar bank (PUAB) turun dengan drastis, maka Bank Indonesia akan melaksanakan operasi
pasar terbuka kontraksi, yakni menyerapikuiditas dan bank dan pihak lain (broker di bursa surat
berharga) yang rm ngalami kelebihan likuiditas. Kebijaksanaan yang diambil

dalam OPT kontraksi ini adalah:

I. Menerbitkan dan kemudian menjual SBI/SBIS kepada peserta bursa (bank umum atau
broker) sehingga likuiditas yang berlebihan terserap ke Bank Indonesia. Kegiatan ini
secara rutin dilaksanakan Mingguan, di mana jangka waktu SBI bervariasi dari 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan dan maksimum 12 bulan, sedangkan untuk SBI Syariah hanya dengan
jangka waktu 1 bulan. Baik SBI maupun 3815 mempunyai nomina] Rp100 juta dengan
jumlah nominal minimum yang dikeluarkan oleh BI sebesar Rp1.000 juta (atau 10 lembar
SBI/SBIS). Tingkat bunganya sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat wajar (fair)
sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui tender yang kompetitif untuk SBI dan
non kompetitif untuk SBIS
II. Fine tune kontraksi, yakni kegiatan menarik likuiditas yang berlebihan di bank umum
atau masyarakat namun dilaksanakan harian dan tidak reguler dengan jangka waktu
bervariasi dari 1 hari sampai 3 bulan sesuai dengan keadaan kelebihan dana yang
dirasakan oleh peserta bursa, nilai nominal minimum adalah Rp100 juta dan maksimum
yang disimpan di BI Rp1.000 juta. Tingkat bunganya bervariasi sesuai dengan jangka
waktunya dan bersifat wajar (fair) sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui
mekanisme tender yang kompetitif.

III. Menerbitkan dan menjual Surat Utang Negara (SUN) atau reverse repo SUN. Kegiatan
ini dilaksanakan secara reguler mingguan, jangka waktu utang negara adalah bervariasi
sampai 12 bulan dengan nominal Rp100 juta dan nominal minimum yang dikeluarkan
adalah Rp1.000 juta. Tingkat bunganya sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat
wajar (fair) sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui tender yang kompetitif.

IV. Sterilisasi valuta asing dengan membeli USD dalam rupiah di pasar spot USD dalam
rupiah ataupun melakukan swap beli di pasar berjangka valuta asing (USD dengan
rupiah). Sebaliknya kalau Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi
kekurangan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga
di pasar uang antar bank (PUAB) naik dengan drastis, maka Bank Indonesia akan
melaksanakan operasi pasar terbuka ekspansi, yakni memompakan

3. Sifat Kebijaksanaan Moneter dan Hasilnya

Bekerjanya transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Tenggang
waktu masing-masing jalur berbeda dengan yang lain. jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih
cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat.
Kebijaksanaan moneter yang kurang kuat memerlukan Waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan kebijaksanaan yangkuat. Misalnya penurunan tingkat bunga yang tidak banyak akan
memakan waktu yang lebih lama dibandingkan penurunan tingkat bunga yang besar. Demikian
juga misalnya kenaikan bunga yang hanya 1 persen setahun, akan memakan waktu yang jauh
lebih lama dibandingkan kenaikan tingkat bunga sebesar 80 persen setahun Seperti pada akhir
pemerintahan Sukarno, atau sebesar 60 persen Setahun pada akhir pemerintahan Suharto.

Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan
transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi,
respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. ]uga, apabila
perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku
bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspons dengan menaikkan
penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu
direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian
sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat
berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
Kesimpulannya adalah bahwa kebijaksanaan moneter yang kurang kuat mungkin kurang atau
tidak efektif sedangkan kebijaksanaan moneter yang kuat sering bersifat malapetaka bagi
perekonomian. Oleh karena itu kebijaksanaan moneter harus bersifat sedang dan sesuai dengan
kondisi perekonomian.

2.2 Analisa Mengenai Kelembagaan

2.3 Analisa Mengenai Kasus Capital Flight Dan Cara Mencegahnya

Capital Flight sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonom. Secara teoritis capital
flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang
dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahunh ini penggunaan kata capital flight sering
dikaitkan pada negara-negara sedang berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar
(capital outflow) yang diiringi oleh adanya peningkatan hutang luar negeri.

Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang
mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara
sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut
dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada
umumnya modal dinegara sedang berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar dapat
berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya
menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi.Sementara Cuddington (1986) mengartikan
capital flight sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik
yang tercatat mauipun yang tidak tercatat.

Hampir tidak mungkin tidak memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama
bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut
devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas
moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya
capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Apapun untuk melakukan
estimasi mengenai capital flight dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a) Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran
b) Pendekatan Residual
c) Pendekatan Deposito Bank

Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh,
keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan estimasi
besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah diteliti adalah
pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari
dari Universitas Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009.

Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi
pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara.
Kemudian capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan
juga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006
kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada
tahun 2008 karena adanya krisis global yang juga melanda Indonesia.

Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar
capital flight dapat diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka
Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara yang dapat
dilakukan adalah:

1) Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan
modal dan aset milik orang asing.
2) Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi
yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar
yang stabil).
3) Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor

You might also like