You are on page 1of 22

1.

0 Pendahuluan

Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun
yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain
dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis
dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh
karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati
(hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama
peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya
nekrosis pada sel-sel hati.
Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda
peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang
dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E
(VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus
hepatitis B dan C.
Infeksi virus-virus hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di Indonesia.
Hepatitis akut walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis C, dapat
menyebabkan penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk jangka waktu yang cukup
panjang. Hepatitis kronik selain juga dapat menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien,
lebih lanjut dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati dan
kanker hati.
Pengelolaan yang baik pasien hepatitis akibat virus sejak awal infeksi sangat penting
untuk mencegah berlanjutnya penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.
Akhir-akhir ini beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak yang berubah
dengan cepat sehingga perlu dicermati agar dapat memberikan pengobatan yang tepat.

2.0 Anatomi dan Histologi Hepar

Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia
terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas,
yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan
atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas
organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan

1
dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan
v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen
anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen.

Macam-macam ligamennya:

1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen dan


terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig. falciformis ;
merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan bagian dari
omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sebelah
proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan
duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari
Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri–kanan dan Lig coronaria posterior kiri-kanan :
Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri-kanan : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior
dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan
melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang
normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus
kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi
hepar secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.

2.1 Hepar Secara Mikroskopis


Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan
elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenchym hepar
mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar seperti spons
yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk
ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut
berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang
meliputinya terediri dari sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang

2
artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain . Lempengan
sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada
pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli. Di tengah-tengah
lobuli terdapat 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang
menyalurkan darah keluar dari hepar). Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap
tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang
mengandung cabang-cabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan
A.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak
percabangan Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-
sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke
dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar, air keluar dari saluran empedu
menuju kandung empedu.

2.2 Fisiologi Hepar


Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi
tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hati
yaitu :

i. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat


Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein saling berkaitan
1 sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi

3
glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati
kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen
menjadi glukosa disebut glikogenelisis. Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber
utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa
monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai
beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP,
dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat
diperlukan dalam siklus krebs).

ii. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak


Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis
asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES


2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol.
Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.

iii. Fungsi hati sebagai metabolisme protein


Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses deaminasi, hati
juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan proses transaminasi, hati
memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya
organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi
urea. Urea merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di
dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang. β – globulin hanya dibentuk di
dalam hati. Albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000.

iv. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah


Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X.
Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsik, bila
ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus

4
isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K
dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.

v. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin


Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K

vi. Fungsi hati sebagai detoksikasi


Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi,
reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat
racun, obat over dosis.

vii. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas


Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui
proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai imun
livers mechanism.

viii. Fungsi hemodinamik


Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/
menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di
dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi
oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada
waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk
mempertahankan aliran darah.

3.0 Hepatitis Akut

Hepatitis akut merupakan infeksi sistemik yang mempengaruhi terutama hati. Hampir
semua kasus disebabkan oleh virus ini yaitu : hepatitis virus A (HAV), hepatitis virus B
(HBV), dan hepatitis virus C (HCV), virus hepatitis B berhubungan dengan virus hepatitis D
dan hepatitis E. Kecuali virus hepatitis B, merupakan virus DNA, walaupun memiliki
perbedaan pada jenis penyebab hepatitis ini, gejala yang timbul, angka kematian hampir
sama pada semuanya.

3.1 Hepatitis A

Hepatitis A merupakan virus RNA dari jenis hepatovirus dari picornavirus familiy.
Masa inkubasi berkisar 4 minggu, perkembangannya terbatas pada hepar saja, tetapi virus

5
dapat ditemukan di hepar, cairan empedu, feses dan darah pada masa inkubasi lanjut dan
masa sebelum badan menjadi kuning dan menimbulkan gejala (preikterik). Tetapi pada saat
keluhan timbul, virus akan berkurang secara bertahap di darah dan feses. Pemeriksaan
antibodi hepatitis A (anti-HAV) dapat dilakukan pada masa akut (dimana terjadi peningkatan
enzim hati dan virus masih ditemukan dalam feses). Antibodi yang pertama kali muncul
adalah IgM dan bertahan selama 6 – 12 bulan. Pada saat infeksi sudah mulai mereda, IgG
menjadi lebih dominan. Sehingga penegakkan diagnosa hepatitis A dilakukan dengan
pemeriksaan IgM pada masa akut. Hepatitis A ditransmisikan melalui rute fekal-oral,
penyebaran orang perorang, sangat berhubungan dengan kebersihan lingkungan dan
kepadatan penduduk. Penyebaran yang hebat terjadi akibat kontaminasi pada air minum,
makanan, susu dan buah-buahan. Penyebaran dapat terjadi pula dalam keluarga atau institusi.
Angka kejadian hepatitis ini cukup tinggi di negara berkembang tetapi berkurang sejalan
dengan kemajuan suatu negara, kemungkinan akibat meningkatknya kesadaran masyarakat
untuk hidup bersih dan sehat. Angka kejadian lebih sering pada masa anak-anak, tetapi
berdasarkan penelitian lain keluhan yang diakibatkan oleh infeksi virus ini lebih sering terjadi
pada masa remaja. Tempat-tempat yang biasa tinggi angka hepatitis A yaitu tempat penitipan
anak, perawatan intensive neonatus, homoseksual dan pengguna obat-obat terlarang.
Walaupun jarang tetapi penyebaran hepatitis A dapat melalui tranfusi darah dan komponen
darah.

3.2 Hepatitis B

Hepatitis B merupakan virus DNA, memiliki famili yang hampir sama pada virus
binatang yaitu hepadnavirus. Virus hepatitis ini memiliki protein permukaan yang dikenal
sebagai hepatitis B surface antigen (HbsAg). Konsentrasi HbsAg ini dapat mencapai
500µg/mL darah 109 partikel per milimeter persegi. Dari HbsAg ini dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis bergantung kepada jenis gen didalamnya, dan di setiap geografis memiliki
dominasi gen yang berbeda-beda. Asia di dominasi oleh genotip B dan C. Kemampuan
infeksi, produksi, perusakan hati bergantung pada jenis genotip ini. Genotip B berhubungan
dengan progresifitas yang hebat dari kerusakan hati, dengan gejala yang timbul sering
terlambat, dan berhubungan dengan timbulnya kanker hati. Dari pemeriksaan lain ditemukan
bahwa hepatitis B memiliki antibodi HbeAg di dalam inti selnya, sehigga apabila pasien
dengan HbsAg positif disertai dengan HbeAg positif memiliki kemampuan infeksi dan
menularkan melalui darah (tranfusi darah , ibu-bayi yang dikandung) lebih dari 90%. Dalam

6
perjalanan penyakit hepatitis B HbeAg akan menurun sejalan dengan perbaikan dari penyakit
tersebut, tetapi apabila dalam 3 bulan tetap positif berarti terjadi suatu infeksi kronis yang
dapat menuju ke arah keganasan.

Penderita dengan HBV akan memiliki kadar HbsAg dalam serum yang meningkat
sejalan dengan perjalanan penyakit, dan akan menurun setelah 1 – 2 bulan dari akhir gejala,
dan hilang dalam 6 bulan. Setelah HbsAg menghilang akan timbul antibodinya (anti-HBs)
yang akan bertahan dalam tubuh selamanya yang berfungsi untuk mencegah infeksi hepatitis
B kembali. Antibodi lain yang dihasilkan tubuh akibat infeksi hepatitis B adalah anti-HBc,
memiliki fungsi yang sama dengan antibodi hepatitis lainnya tetapi apabila ditemukan dalam
pemeriksaan tidak memberikan makna yang cukup kuat adanya infeksi virus hepatitis. Pada
proses infeksi akut hepatitis B akan timbul juga immunoglobulin yaitu IgM anti-HBc dalam
serum, dan apabila terjadi infeksi kronis akan timbul IgG anti-HBc. Pada penderita hepatitis
B, 1 – 5% memiliki angka HbsAg yang rendah untuk dapat terukur, sehingga pemeriksaan
IgM anti-HBc dapat digunakan. Pemeriksaan serum HbeAg dapat memperkirakan tingkat
replikasi dan virulensi virus hepatitis B. Infeksi hepatitis B dapat terjadi di luar hati yaitu
pada kelenjar getah bening, sumsum tulang, sel-sel limfosit, limpa dan pankreas.
Kepentingan kondisi ini adalah bahwa tubuh memiliki ”cadangan” hepatitis B walaupun
penderita sudah dilakukan transplantasi jantung. Pada awalnya Hepatitis B diperkirakan
penyebaran melalui produk darah, tetapi setelah dilakukan berbagai penelitian, penyebaran
darah tidak terlalu efektif, penyebaran yang paling efektif hepatitis B adalah melalui
hubungan seksual dan ibu-bayi yang dikandungnya. Kondisi ini yang menyebabkan tingginya
angka hepatitis B di sub-Sahara Afrika. Resiko tinggi menderita infeksi ini adalah petugas
kesehatan, penderita yang membutuhkan tranfusi berulang (hemofilia), napi, dan keluarga
dari penderita hepatitis ini.

3.3 Hepatitis D

Virus hepatitis delta atau HDV, merupakan virus RNA yang memiliki sifat infeksi
tambahan dan membutuhkan bantuan dari virus hepatitis B (HBV) untuk melakukan replikasi
dan ekspresi. Hepatitis D dapat terinfeksi bersamaan dengan hepatitis B atau pada pasien
yang sebelumnya sudah terinfeksi hepatitis B. Pada infeksi akut, akan terdapat peningkatan
IgM anti-HDV dan akan hilang dalam 30 – 40 hari. Pada penderita dengan infeksi kronis
HDV, akan terdapat peningkatan titer dari IgM dan IgG anti-HDV. Penyebaran infeksi

7
hepatitis D sudah mendunia, dan memiliki dua jenis bentukan epidemologi. Di daerah
mediteranian (Afrika, Eropa selatan, Timur), HDV endemik pada penderita hepatitis B,
penyebarannya terutama akibat kontak erat antar orang. Di daerah yang tidak endemik
hepatitis B penyebaran hepatitis D melalui tranfusi darah dan produknya, terutama penderita
hemofilia dan para pengguna obat-obatan terlarang.

3.4 Hepatitis C

Hepatitis C virus merupakan RNA virus yang merupakan genus Hepacivirius dari
famili Flaviridae. Pada saat terjadi infeksi, paling mudah diketahui dengan pemeriksaan
secara genetik melihat adanya HCV RNA. HCV RNA dapat diketahui beberapa hari setelah
terjadi infeksi sebelum timbul anti-HCV dan berlangsung selama infeksi masih terjadi.
Penyebaran hepatitis C yang utama adalah darah. Penggunaan skreening hepatits B pada
donor darah mengurangi penyebaran hepatitis ini dibandingkan tahun 1980-an, tetapi dengan
ditemukannya pemeriksaan HCV RNA semakin menurunkan angka penyebarannya. Jalan
lain yang memungkinkan adalah melalui jarum suntik diantara pengguna obat-obatan,
hubungan seksual, ibu-bayi yang dikandung. Penelitian lain menyebutkan bahwa penyebaran
terjadi pada pelaku seksual yang berganti-ganti pasangan, tetapi tidak dengan pasangan tetap.
Infeksi ini tidak menyebar melalui susu ibu. Diantara populasi umum, petugas kesehatan
memiliki angka insidensi yang tinggi, kemungkinan disebabkan kecelakaan kerja.
Kelompok lain yang memiliki insidensi tinggi adalah penderita dengan hemodialisis teratur,
transplantasi organ, dan yang membutuhkan tranfusi dalam terapi kemoterapi untuk kanker.

3.5 Hepatitis E

Merupakan hepatitis yang di transmisikan dan terjadi terutama di India, Asia, Afrika
dan pertengahan Amerika. Virus ini dapat ditemukan di kotoran, cairan empedu dan hati,
dieksreksikan melalui kotoran manusia pada masa inkubasi. Respon imun baik IgM anti-
HEV dan IgG anti-HEV dapat di ketahui segera setelah terjadi infeksi, dan akan mengalami
penurunan dalam 9 – 12 bulan. Hepatitis ini menyebar di India, Asia, Afrika dan Amerika
tengah. Memiliki penyebaran yang sama dengan hepatitis A yaitu melalui oral-fekal. Kasus
yang paling sering terjadi apabila sudah didapatkan kontaminasi pada persediaan air minum
setelah terjadi banjir. Angka kejadian tinggi pada muda dewasa, dan mereka yang memiliki
gangguan kekebalan tubuh.

8
Tabel 1: Perbedaan antara hepatitis A, B, C, D, dan E

9
3.6 Gejala Klinis

Masa inkubasi masing-masing hepatitis berbeda. Secara umum hepatitis A memiliki


masa inkubasi 15 – 45 hari (± 4 minggu), hepatitis B dan D masa inkubasi 30 – 180 hari (± 4
– 12 minggu), hepatitis C masa inkubasi 15 – 160 hari (± 7 minggu) dan hepatitis E masa
inkubasi 14 – 60 hari (± 5 – 6 minggu). Gejala awal hepatitis bersifat umum dan bervariasi.
Gangguan pencernaan seperti mual,muntah, lemah badan, pusing, nyeri sendi dan otot, sakit
kepala, mudah silau, nyeri tenggorok, batuk dan pilek dapat timbul sebelum badan menjadi
kuning selama 1 – 2 minggu. Demam yang tidak terlalu tinggi antara 38,0 ᵒC – 39,0 ᵒC lebih
sering terjadi pada hepatitis A dan E. Keluhan lain berupa air seni menjadi berwarna seperti
air teh (pekat gelap) dan warna feses menjadi pucat terjadi 1 – 5 hari sebelum badan menjadi
kuning. Pada saat timbul gejala utama yaitu badan dan mata menjadi kuning (kuning kenari),
gejala-gejala awal tersebut biasanya menghilang, tetapi pada beberapa pasien dapat disertai
kehilangan berat badan (2,5 – 5 kg), hal ini biasa dan dapat terus terjadi selama proses ifeksi.
Hati menjadi membesar dan nyeri sehingga keluhan dapat berupa nyeri perut kanan atas, atau
atas, terasa penuh di ulu hati. Terkadang keluhan berlanjut menjadi tubuh bertambah kuning
(kuning gelap) yang merupakan tanda adanya sumbatan pada saluran kandung empedu.

3.6.1 Ikterus (jaundice)

Pada masa penyembuhan, gejala kuning ini akan berangsur-angsur hilang, tetapi
pembesaran hati dan peningkatan kadar enzim hati masih terjadi, kondisi ini bervariasi antara
2 – 12 minggu, dan biasanya lebih lama pada infeksi hepatitis B dan C (3 – 4 bulan).
Infeksi hepatitis B akan diperberat apabila bersamaan dengan infeksi ini terjadi infeksi
hepatitis D atau terjadi infeksi hepatitis D pada kasus infeksi kronis hepatitis B. Pada pasien
dengan gangguan sistem pertahanan tubuh, penderita yang mengalami infeksi hepatitis B
tidak terjadi perbaikan, bahkan terjadi peningkatan dari HbeAg yang berarti terjadi aktivasi
replikasi kembali. Pada kondisi ini terjadi perubahan genetik dari hepatitis B (mutasi)
sehingga infeksi akan lebih berat.

10
3.6.2 Penyebab Ikterus

I. Ikterus prahepatik

Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada hemolisis sel
darah merah (ikterus hemolitik). Kapasitas sel hati untuk mengadakan konjugasi terbatas
apalagi bila disertai oleh adanya disfungsi sel hati, akibatnya bilirubin indirek akan
meningkat, dalam batas tertentu bilirubin direk juga meningkat dan akan segera diekskresikan
ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan didapatkan peninggian kadar urobilinogen di
dalam tinja.

Peningkatan pembentukan Bilirubin dapat disebabkan oleh :

1. Kelainan pada sel darah merah

2. Infeksi seperti malaria, sepsis dan lain-lain

3. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang berasal dari dalam
tubuh seperti yang terjadi pada reaksi tranfusi dan eritroblastosis fetalis.

II. Ikterus Pasca Hepatik ( obstruktif )

Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peningkatan bilirubin konjugasi larut
dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan mengalami regurgitasi kembali ke
dalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah. Selanjutnya akan masuk ke ginjal dan
diekskresikan sehingga kita menemukan bilirubin dalam urin. Pengeluaran bilirubin kedalam
saluran pencernaan berkurang, sehingga akibatnya tinja akan berwarna dempul karena tidak
mengandung sterkobilin. Urobilinogen dalam tinja dan dalam air kemih akan menurun.
Akibatnya penimbunan biliruin direk, maka kulitdan sklera akan berwarna kuning kehijauan.
Kulit akan terasa gatal, penyumbatan empedu (kolestasis) dibagi dua, yaitu intrahepatik bila
penyumbatan terjadi antara sel hati dan duktus kholedous dan ekstra hepatik bila sumbatan
terjadi di dalam duktus koledokus.

III. Ikterus Hepatoselular (hepatik)

Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehingga bilirubin direk
akan meningkat. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di dalam hati
sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian akan
menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam darah. Bilirubin direk ini larut

11
dalam air sehingga mudah diekskresikan oleh ginjal ke dalam air kemih. Adanya sumbatan
intrahepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang
kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat, karena sterkobilinogen menurun.

Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan :

1. Hepatitis oleh virus, bakteri, parasit

2. Sirosis hepatitis

3. Tumor

4. Bahan kimia seperti fosfor, arsen

5. Penyakit lain seperti hemokromatasis, hipertiroidi dan penyakit nieman pick

3.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan enzim hati yaitu SGOT dan SGPT, akan terjadi peningkatan yang
bervariasi selama masa sebelum dan sesudah timbul gejala klinis. Peningkatan kadar enzim
ini tidak berhubungan jumlah kerusakan dari sel hati. Puncak peningkatan bervariasi antara
400 – 4000 IU, dan biasanya terjadi pada saat timbul gejala kuning, dan menurun sejalan
dengan perbaikan penyakit. Kuning yang terlihat pada kulit atau bagian putih mata apabila
kadar bilirubin lebih dari 2,5 mg/dL. Kadar bilirubin sendiri sebenarnya terdiri atas
penjumlahan bilirubin direk dan indirek. Kadar bilirubin > 20 mg/dL merupakan petanda
adanya infeksi hepar yang berat. Pada pasien dengan gangguan komponen darah, terjadi
pemecahan sel darah yang hebat sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin > 30 mg/dL,
tetapi hal ini tidak berhubungan dengan prognosis yang buruk. Peningkatan kadar gamma
globulin biasa terjadi pada infeksi akut hepatitis. Serum IgG dan IgM terjadi peningkatan
pada sepertiga pasien dengan infeksi ini. Tetapi peningkatan IgM merupakan karakteristik
dari fase akut hepatitis A.

Diagnosis hepatitis B ditegakkan melalui pemeriksaan HbsAg, tetapi terkadang


kadarnya terlalu rendah untuk dapat dideteksi sehingga memerlukan pemeriksaan IgM anti-
HBc. Kadar HbsAg tidak berhubungan dengan berat dari penyakit., bahkan terdapat tendensi
terdapat hubungan terbalik antara kadar HbsAg dan kerusakan hati. Pertanda lain yang
penting untuk infeksi hepatitis B ini adalah HbeAg. Pemeriksaan yang lebih baik lagi adalah

12
HBV DNA yang merupakan indikasi adanya replikasi hepatitis B. Marker ini penting untuk
follow up penderita dengan hepatitis B dengan terapi kemoterapi antivirus (interferon atau
lamivudine). Terdapat hubungan antara peningkatan titer ini dengan derajat kerusakan hati.

Diagnosis hepatitis C melalui pemeriksaan anti-HCV pad a saat fase akut, tetapi akan
menghilang bersamaan dengan penyembuhan infeksi ini. Diangosis hepatitis D melalui
pemeriksaan anti-HDV, yang menunjukkan aktifnya hepatitis D. Tetapi positifnya
pemeriksaan ini sering sangat cepat, karena kada anti-HDV ini akan hilang bersamaan
dengan menurunnya kadar HbsAg. Pemeriksaan lain yang mendukung adalah adanya HDV
RNA.
Biopsi hati jarang diperlukan atau di indikasikan pada infeksi virus hepatitis, kecuali
apabila dicurigai adanya proses kronis.

Diagram 1: Perjalanan penyakit hepatitis A

13
Diagram 2: Perjalanan penyakit hepatitis B

Diagram 3: Perjalanan penyakit hepatitis C

14
Bagan 1: Jalur tatalaksana hepatitis

3.8 Terapi

Infeksi virus hepatitis A akan mengalami penyembuhan sendiri apabila tubuh cukup
kuat. Sehingga pengobatan hanya untuk mengurangi keluhan yang ada, disertai pemberian
vitamin dan istirahat yang cukup. Infeksi virus hepatitis B pada dewasa sehat 99% akan
mengalami perbaikan. Tetapi apabila infeksi berlanjut dan menjadi kronis pemberian analog
nukleosida (lamivudin) dapat memberikan hasil yang baik. Infeksi virus hepatitis C jarang
mengalami penyembuhan spontan, sehingga diperlukan pemberian antivirus dengan -
interferon monoterapi memberikan hasil yang baik hingga 70%. Perawatan di rumah sakit
atau dengan isolasi diperlukan apabila penderita mengalami komplikasi dari hepatitis ini.

15
3.8.1 Rekomendasi Umum

 Pasien dapat rawat jalan selama terjamin hidrasi dan intake kalori yang cukup.
 Tirah baring tidak lagi disarankan.
 Tidak ada diet yang spesifik atau suplemen yang memberikan hasil efektif.
 Protein dibatasi hanya pada pasien yang mengalami ensefalopati hepatik.
 Selama fase rekonvalesen diet tinggi protein dibutuhkan untuk proses penyembuhan.
 Alkohol harus dihindari dan pemakaian obat-obatan diatasi.
 Obat yang dimetabolisme di hati harus dihindari.
 Pasien diperiksa setiap minggu selama fase awal penyakit dan terus dievaluasi sampai
sembuh.
 Harus terus dimonitor terhadap kejadian ensefalopati seperti keadaan somnolen,
mengantuk, dan asteriks.
 Pasien yang menunjukkan gejala hepatitis fulminan harus segera dikirim ke pusat
transplantasi.
 Pasien dengan hepatitis akut tidak memerlukan rawatan isolasi.
 Orang yang merawat pasien hepatitis akut A dan E harus selalu mencuci tangannya
dengan sabun dan air.
 Masa protombin serum petanda yang baik untuk menilai dekompensasi hati.
 Memonitor konsentrasi transminase serum
 Anti mual muntah dapat membantu menghilangkan keluhan.
 Orang yang kontak erat dengan pasien hepatitis B akut seharusnya menerima vaksin
hepatitis B.

3.9 Prognosis

Secara keseluruhan hampir seluruh pasien yang pada awalnya sehat dan terinfeksi
hepatitis A akan mengalami penyembuhan secara penuh tanpa adanya efek samping. Hampir
sama pada hepatitis B, 95 – 99% pasien akan mengalami penyembuhan secara penuh.
Penderita dengan penyakit pemberat sebelumnya, usia lanjut lebih cenderung akan
mengalami hepatitis yang berat. Gejala tambahan yang dapat timbul berupa cairan berlebih
pada rongga perut (asites), bengkak anggota gerak, dan kerusakan otak, dan ini prognosis
tidak akan terlalu baik. Beberapa petanda yang dapat menunjukkan adanya kerusakan hati
yang berat adalalah rendahnya kadar serum albumin, hipoglikemia dan tingginya kadar

16
bilirubin. Penderita-penderita ini memerlukan perawatan rumah sakit. Angka kematian
hepatitis A dan B berkisar 0,1% tetapi meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Hepatitis
C memiliki angka kematian yang lebih rendah lagi. Pada kasus infeksi yang luas hepatitis E
(India) angka kematian hanya mencapai angka 1 – 2 % saja. Angka kematian tinggi pada
penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh mencapai angka 5%.

3.10 Komplikasi dan Efek Samping

Beberapa penderita hepatitis A mengalami hepatitis berulang beberapa bulan setelah


sembuh dari hepatitis sebelumnya. Kejadian berulang ini ditandai dengan timbulnya kembali
gejala, peningkatan enzim-enzim hati, badan menjadi kuning, terdapatnya virus hepatitis A
didalam feses. Variasi lain yang jarang dialami adalah hambatan aliran dari cairan emepdu,
ditandai dengan badan bertambah kuning (kuning pekat) disertai kulit menjadi gatal.
Hepatitis A merupakan penyakit yang akan sembuh sendiri dan jarang menjadi kronis.
Pada masa awal infeksi virus hepatitis B, akan didapatkan tanda-tanda peradangan biasa
seperti nyeri sendi, gatal-gatal, pembengkakan pembuluh darah, dan terkadang dapat terjadi
bak berdarah dan bak mengeluarkan protein (5 – 10%). Gejala ini timbul sebelum timbul
keluhan badan menjadi kuning. Gejala-gejala ini sering membuat salah diagnosa menjadi
penyakit rematoid. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah fulminant hepatitis (kerusakan
hati yang hebat), kondisi ini jarang, tetapi paling sering ditemukan pada penderita dengan
hepatitis B, D dan E. Hepatitis B paling sering mengalami komplikasi ini karena sifatnya
yang sering menjadi kronis dan diperberat dengan infeksi hepatitis D. Gejala yang timbul
berupa gangguan kesadaran hingga koma. Hati menjadi kecil dan terjadi kegagalan fungsi
pembekuan darah. Gejala lain yang timbul berupa bingung, disorientasi, kontak tidak
adekuat, perut menjadi kembung karena volume air yang besar didalam rongga perut (asites)
dan pembengkakan anggota gerak. Didapatkan peningkatan bilrubin yang tinggi, dan
kegagalan sistem pembekuan darah akan menyebabkan perdarahan dari saluran cerna yang
ditandai oleh bab berwarna hitam atau darah dan muntah berwarna hitam. Gejala yang lebih
berat adalah penekanan batang otak akibat pembengkakan otak, gagal nafas, gagal fungsi
jantung, gagal ginjal dan berakhir pada kematian. Angka kematian mencapai 80%, sehingga
salah satu terapi adalah transplantasi hati.

17
3.10.1 Hepatitis Fulminant

Penderita hepatitis B, selama beberapa bulan akan terjadi penurunan kadar HbsAg
tetapi tidak menghilang seluruhnya. Beberapa kemungkinan yaitu (1) pembawa virus
(carrier), (2) hepatitis ringan atau sedang, (3) hepatitis kronis sedang atau berat dengan /
tanpa sirosis hepatis. Neonatus, anak dengan Down’s syndrome, penderita dengan
hemodialisia kronis, dan penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh paling sering
menjadi pembawa virus ini. Komplikasi yang paling sering dari infeksi hepatitis B, adalah
menjadi kronis, beberapa gambaran klinis dan pemerkisaan laboratorium didapatkan : (1)
tidak didapatkan penyembuhan yang sempurna dari gejala yang ada (mual, muntah, lemah
badan dan pembesaran hati), (2) Gambaran nekrosis dari hasil biopsi hati, (3) kegagalan
enzim hati, bilirubin dan globulin untuk kembali ke batas normal dalam 6 – 12 bulan setelah
sembuh, (4) HbeAg yang menetap selama 3 bulan atau HbsAg menetap selama 6 bulan
setelah infeksi hepatitis. Penderita hepatitis C, menjadi kronis sebanyak 85 – 90% kasus.
Walaupun sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala yang berat tetapi 20%
mengalami sirosis (pembatuan) hati dalam 10 – 20 tahun setelah infeksi pertama. Kematian
terjadi setelah 20 tahun, sehingga salah satu pilihan terapi adalah transplantasi ginjal.

3.11 Pencegahan

Hepatitis A

Pemberian immunoglobulin atau virus yang dilemahkan dapat mencegah terjadinya


infeksi ini. Pemberian dapat diberikan efektif dari sejak pasien terpapar virus sampai 2
minggu setelahnya. Pemberian vaksin ini dianjurkan pada anak dengan resiko tinggi.
Profilaksis ini tidak diperlukan pada penderita dewasa yang sering kontak (kantor, pabrik,
sekolah dan rumah sakit) yang biasanya sudah memiliki imunitas. Pemberian ini dapat
diberikan pula pada tentara, petugas kesehatan, pemelihara primata, pekerja laboratorium,
dan mereka yang akan berpergian ke daerah yang sedang mengalami endemi hepatitis ini.

18
Hepatitis B

Pemberian dapat berupa immunoglobulin atau komponen virus. Profilaktik untuk


preexposure hepatitis B diberikan pada tenaga kesehatan, pasien hemodialisis, petugas
pengembangan orang-orang cacat, pengguna obat-obatan terlarang, pelaku seks bebas,
penderita yang membutuhkan tranfusi berulang, ibu yang hamil. Pemberian vaksin dapat
diberikan juga setelah terpapar dari hepatitis B tetapi pemberian berupa rekombinasi vaksin.
Pemberian vaksin hepatitis B dapat mencegah infeksi hepatitis D, selain itu tidak ada sediaan
vaksin untuk hepatitis D.

Hepatitis C

Tidak ada vaksin yang efektif untuk mencegah terjadinya infeksi hepatitis C, sehingga
pencegahannya adalah dengan menjaga keamanan darah pada proses donor dan tranfusi
darah, dan perubahan pola gaya hidup.

3.12 Pengobatan Hepatitis Kronik

Hepatitis B
Tujuan pengobatan pada hepatitis kronik karena infeksi VHB adalah menekan
replikasi VHB sebelum terjadi kerusakan hati yang ireversibel. Saat ini, hanya interferon-alfa
(IFN-α) dan nukleosida analog yang mempunyai bukti cukup banyak untuk keberhasilan
terapi. Respon pengobatan ditandai dengan menetapnya perubahan dari HBeAg positif
menjadi HBeAg negatif dengan atau tanpa adanya anti-HBe. Hal ini disertai dengan tidak
terdeteksinya DNA-VHB (dengan metode non-amplifikasi) dan perbaikan penyakit hati
(normalisasi nilai ALT dan perbaikan gambaran histopatologi apabila dilakukan biopsi hati).
Umumnya pengobatan hepatitis B dibedakan antara pasien dengan HBeAg positif dengan
pasien dengan HBeAg negatif karena berbeda dalam respon terhadap terapi dan manajemen
pasien. Pengobatan antivirus hanya diindikasikan pada kasus-kasus dengan peningkatan
ALT.
Interferon mempunyai efek antivirus, antiproliferasi dan immunomodulator. Cara
kerja interferon dalam pengobatan hepatitis belum diketahui dengan pasti. Pada pasien
dengan HbeAg positif, pemberian IFN-α 3 juta unit, 3 kali seminggu selama 6-12 bulan dapat
memberi keberhasilan terapi (hilangnya HBeAg yang menetap) pada 30 – 40 % pasien.
Pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi dengan melihat perubahan HBeAg tidak bisa

19
digunakan. Untuk pasien dalam kelompok ini, respon terapi ditandai dengan tidak
terdeteksinya DNA-VHB (dengan metode non-amplifikasi) dan normalisasi ALT yang
menetap setelah terapi dihentikan. Respon menetap dapat dicapai pada 15 – 25% pasien.
Penggunaan interferon juga dapat menghilangkan HBsAg pada 7.8% pada pasien dengan
HBeAg positif dan 2 – 8% pada pasien dengan HBeAg negatif. Hilangnya HBsAg tidak
tercapai pada penggunaan lamivudin. Penggunaan pegylated-interferon alfa 2a selama 48
minggu pada pasien hepatitis B kronik dengan HBe-Ag negatif setelah 24 minggu follow-up
59 % pasien menunjukkan transaminase normal dan 43 % dengan DNA VHB yang rendah (<
20.000 copy/mL) dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan lamivudine saja (44 %
dengan transaminase normal dan 29 % dengan DNA VHB rendah).
Lamivudin lebih kurang menimbulkan efek samping dibandingkan dengan inteferon
dan dapat digunakan per oral sehingga lebih praktis untuk pasien. Lamivudin digunakan
dengan dosis 100 mg per hari, minimal selama 1 tahun. Kebehasilan terapi dengan
menghilangnya HbeAg dicapai 16-18% pasien. Angka keberhasilan terapi dapat lebih besar
bila jangka waktu pengobatan ditambahkan namun bersamaan dengan itu, timbulnya VHB
mutan juga menjadi lebih besar yang dapat menghambat keberhasilan terapi. Studi jangka
panjang penggunaan lamivudin menunjukkan obat ini dapat menurunkan angka kejadian
komplikasi akibat hepatitis kronik berat atau sirosis. Studi semacam ini belum ada pada
interferon walaupun angka keberhasilan serokonversi lebih besar dari pada lamivudin.
Nukleosida analog lain seperti adefovir memberikan angka keberhasil terapi yang lebih
kurang sama dengan lamivudin tetapi kurang menimbulkan mutan sehingga dapat digunakan
apabila ditakutkan akan timbulnya virus mutan atau apabila pada penggunaan lamivudin
sudah timbul virus mutan. Entecavir memberikan angka keberhasilan serokonversi yang
hampir sama dengan lamivudin.

Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C kronik pada dasarnya adalah dengan menggunakan inteferon
dan ribavirin. Inteferon monoterapi saja tidak dianjurkan karena relatif rendahnya angka
keberhasilan terapi. Keputusan pemberian interferon harus didasari dengan adanya
peningkatan ALT dan RNA VHC yang positif dalam serum. Konsensus penanganan hepatitis
C di Eropa dan Amerika menekankan untuk perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada
pasien hepatitis C kronik bisa sangat fluktuatif dan adanya fibrosis yang signifikan tidak bisa

20
diketahui tanpa dilakukan biopsi. Fibrosis pada pasien hepatitis C kronik sangat menentukan
terjadinya sirosis hati dan komplikasi penyakit hati lanjut.
Keberhasilan terapi dengan interferon akan lebih baik pada mereka yang terinfeksi
VHC dengan genotip 2 dan 3 dibandingkan dengan genotip 1 dan 4. Lama terapi juga
berpengaruh dimana pemberian inteferon dan ribavirin selama 48 minggu, akan
menghasilkan angka keberhasilanterapi yang lebih baik dari pada 24 minggu. Fried MWet al,
membandingkan pemberian interferon (IFN) alfa-2b dan ribavirin dengan pegylated
interferon (peg-IFN) alfa-2a (40KD) dan pegylated interferon (peg-IFN) alfa-2b (40KD) plus
ribavirin pada suatu multicentered clinical trial. Mereka mendapatkan keberhasilan terapi
yang menetap (sustain response) pada 56 % pasien yang diberikan peg-IFN alfa2-b +
ribavirin dibandingkan dengan 44 % pada pasien yang mendapat terapi standar IFN-alfa 2b +
ribavirin dan 29 % pada pasien yang mendapat peg-IFN alfa 2a saja.
Walaupun dalam konsensus beberapa asosiasi hepatologi dunia indikasi pengobatan
untuk hepatitis C kronik adalah adanya peningkatan ALT namun disadari bahwa perubahan
ALT pada keadaan ini bersifat fluktuatif sehingga pada beberapa kasus dapat ditemukan ALT
yang normal pada saat pemeriksaan sedangkan diluar saat pemeriksaan mungkin terjadi
peningkatan ALT yang tidak diketahui. Jacobson IM et al, mencoba memberikan inteferon
alfa-2b konvensional dan ribavirin pada pasien hepatitis C dengan ALT normal namun
terbukti hepatitis kronik pada biopsi hati. Mereka mendapatkan angka keberhasilan yang
menetap (sustain response) hilangnya RNA VHC pada 32 % pasien. Tingkat keberhasilan ini
lebih kurang sama dengan pasien hepatitis kronik C yang mendapat terapi inteferon atas dasar
meningkatnya ALT.

21
3.13 Kesimpulan

Pengobatan hepatitis akut dan kronik pada dewasa, mengalami perubahan dan
kemajuan yang pesat sehingga harus senantiasa dicermati perubahannya agar dapat memberi
pelayanan yang terbaik pada pasien dengan hepatitis kronik.

4.0 Daftar pustaka :

1. Sulaiman A, Budihusodo U, Noer HMS. Infeksi Hepatitis C virus pada donor darah
dan penyakit had di Indonesia, Simposium Hepatitis C, Surabaya, Desember, 1990.

2. Field HA, Maynard JE. Sērodiagnosis of acute viral hepatitis. AHO/83.16. 1983.

3. Ali Sulaiman. Epidemiologi infeksi virus hepatitis B di Indonesia. Majalah


Kedokteran Indonesia.1989; 39 (11) : 652-63.

4. Soewignyo, Mulyanto. Epidemiologi Infeksi Hepatitis Virus B di Indonesia. Acta


Medica Indon 1984; 15 : 215–28.

5. A.Sanityoso. Hepatitis Virus Akut. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. 427-442.

22

You might also like