You are on page 1of 38

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU


“Bronkitis Kronis”

Oleh:
Muhammad Rizqi Kholifaturrohmy
H1A 013 041

Pembimbing Fakultas
dr. I Komang Gerudug, M.PH.
dr. Ika Primayanti, M.Kes.
dr. Qudratini Fitriana

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
PUSKESMAS GUNUNGSARI KABUPATEN LOMBOK BARAT
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat
pada waktunya. Laporan kasus mengenai “Bronkitis Kronis” ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Puskesmas Gunung Sari.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan
kepada penulis.

1. dr. I Komang Gerudug, M.PH., selaku pembimbing


2. dr. Ika Primayanti, M.Kes., selaku pembimbing
3. dr. Qudratini Fitriana, selaku pembimbing
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini


masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan menambah


pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca. Terima kasih.

Mataram, Januari 2019

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 6
2.1 Definisi .............................................................................................................. 6
2.2 Gambaran Penyakit akibat Merokok Rikesdas 2013 ........................................ 6
2.3 Klasifikasi Bronkitis .......................................................................................... 8
2.4 Epidemiologi .................................................................................................... 8
2.5 Etiologi .............................................................................................................. 9
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................................. 10
2.7 Patofisiologi ...................................................................................................... 11
2.8 Penegakan Diagnosis......................................................................................... 12
2.9 Penatalaksanaan ................................................................................................ 15
2.10 Pencegahan ...................................................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................................. 20
3.1 Identitas Pasien ...................................................................................................... 20
3.2 Anamnesis .............................................................................................................. 20
3.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................................. 22
3.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................................... 24
3.5 Diagnosis ................................................................................................................ 24
3.6 Penatalaksanaan ..................................................................................................... 25
3.7 Prognosis ................................................................................................................ 25
BAB IV PENELUSURAN (HOME VISIT) ....................................................................... 26
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................................... 36
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 43

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar


di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran
napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis
masih menduduki peringkat tertinggi. Kemajuan dalam bidang diagnostik dan
pengobatan menyebabkan turunnya insidens penyakit saluran napas akibat infeksi.
Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan
masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur
rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta
adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis kronik.
Peningkatan kasus PTM kemungkinan akan terus berlanjut seiring dengan
perubahan life style atau perilaku masyarakat seperti kurang olahraga atau
aktifitas fisik, pola makan dengan gizi tidak seimbang, lebih banyak
mengkonsumsi fast food atau junk food, perokok dan lingkungan yang tidak bebas
asap rokok. Merokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih dianggap
sebagai perilaku yang wajar, bagian dari kehidupan sosial dan gaya hidup, tanpa
memahami risiko dan bahaya kesehatan terhadap dirinya dan orang serta
masyarakat di sekitarnya. Para perokok tidak menyadari bahwa mereka terjerat
dalam konidisi ketergantungan yang sangat sulit dilepaskan. Tingkat penyebaran
yang tinggi terhadap perokok pemula terutama generasi muda, bahkan di
Indonesia di berbagai wilayah tertentu, merokok sudah dimulai pada usia balita.
menurut hasil survey GATS 2011, prevalensi perokok di Indonesia nomor 2
terbesar di dunia.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telan menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. Seiring dengan majunya tingkat
perekomian dan industri otomotif, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari
tahun ke tahun di Indonesia. Selain mobil-mobil baru, mobil tua yang
mengeluarkan gas buang yang banyak dan pekat, banyak beroperasi di jalanan.
Gas buang dari kendaraan tersebut menimbulkan polusi udara. Tujuh puluh
sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan
bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%. Dengan
meningkatnya Jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko terhadap
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) maka diduga jumlan penyakit tersebut
juga akan meningkat.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun
1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,
sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit jantung
dan kanker (WHO,2002). Di Amerika Serikat dibutunkan dana sekitar 32 juta
US$ dalam setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan jumlah pasien
sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. Hasil survei
penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit
propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK urutan pertama
penyumbang angka kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (833%),
kanker paru (30%) dan lainnya (2%).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Bronkitis adalah penyakit respiratorius di mana membran mukosa pada
jalur bronkus di paru-paru mengalami inflamasi. Karena mukosa bronkus tersebut
membengkak (edema) dan menebal sehingga akan mempersempit saluran nafas
yang menuju paru-paru. Hal ini dilihat dari gejala batuk yang diikuti pengeluaran
dahak dan dapat juga disertai keluahn lainnya seperti sesak nafas. Bentuk dari
penyakit ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu bronkitis akut (berlangsung kurang dari 3
minggu) dan bronkitis kronik yang frekuensinya hilang timbul selama periode
lebih dari 2 tahun.
Faktor yang meningkatkan risiko terkena bronchitis antara lain:
a. Merokok
b. Daya tahan tubuh yang lemah, dapat karena baru sembuh dari sakit
atau kondisi lain yang membuat daya tahan tubuh menjadi lemah.
c. Gastroesophageal reflux disease.
d. Terkena iritan, seperti polusi, asap atau debu.

2.2 Gambaran Penyakit akibat Merokok Rikesdas 2007


Penilaian sebuah rumah tangga dikatakan telah melaksanakan perilaku
hidup bersih dan sehat adalah bila rumah tangga telah melaksanakan 10 indikator
perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga, menurut hasil dari profil
Kesehatan NTB pada tahun 2017, sebanyak 35.322 (41.88%)rumah tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat. Pada tahun 2016 sebanyak 14.198 (33,55%)
rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat.
Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan prevalensi beberapa faktor
risiko penyakit tidak menular, seperti obesitas umum 19,1% (terdiri dari berat
badan lebih 8,8% dan obesitas 10,3%), kurang aktivitas fisik 48,2%, gangguan
mental emosional 11,6%, perokok setiap hari 23,7%, dan konsumsi alkohol 12
bulan terakhir 4,6%.
PHBS di rumah tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota
rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan
sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di
Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga Sehat.Rumah tangga
sehat berarti mampu menjaga, meningkatkan, dan melindungi kesehatan setiap
anggota rumah tangga dari gangguan ancaman penyakit dan lingkungan yang
kurang kondusif untuk hidup sehat.
2. 3 Klasifikasi
1) Bronkitis Akut5,7
Bronkitis akut biasanya terjadi dalam waktu yang cepat (kurang
dari 3 minggu) dan membaik dalam beberapa minggu. Bentuk dari
bronkitis akut ini sering menyebabkan serangan batuk dan produksi
sputum yang dapat juga disertai oleh infeksi saluran nafas atas. Dalam
beberapa kasus, virus merupakan penyebab tersering infeksi walaupun
terkadang bakteri juga dapat menyebabkannya. Jika kondisi seseorang
tersebut baik, maka proses peradangan membran mukosa tersebut akan
pulih dalam beberapa hari
2) Bronkitis Kronik7,8
Secara klinis didefinisikan sebagai batuk harian dengan produksi
sputum selama paling kurang selama 3 bulan dalam periode waktu 2
tahun. Bronkitis kronik ini merupakan gangguan jangka panjang yang
serius yang sering membutuhkan pengobatan medis secara teratur. Pada
bronkitis kronis terdapat inflamasi dan pembengkakan pada dinding lumen
saluran nafas yang menyebabkan penyempitan dan obstruksi jalur udara
yang masuk. Inflamsi ini akan merangsang produksi mukus di mana
menyebabkan obstruksi saluran nafas yang lebih berat lagi dan akan
meningkatkan resiko infeksi oleh bakteri pada paru-paru.

2. 4 Epidemiologi
Bronkitis akut sangat umum terjadi pada seluruh belahan dunia manapun
dan merupakan 5 alasan teratas penyebab seseorang mencari pengobatan
medis di negara-negara yang memang mengumpulkan data mengenai
penyakit ini. Tidak ada perbedaan ras terhadap kejadian bronkitis ini
meskipun lebih sering terjadi pada populasi dengan status sosioekonomi
rendah dan orang-orang yang tinggal di daerah urban dan industri11
Di Indonesia belum ada data mengenai prevalensi penyakit bronkitis.
Sebagai pembanding, di US pada studi cohort tahun 2012, 5.858 orang
dewasa, pada 34.6% didiagnosis mengalami bronkhitis kronik.
2. 5 Etiologi
1. Infeksi Virus, Bakteri, dan Mikroorganisme lain pada Bronkitis Akut
Bronkitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi seperti spesies
jamur (Mycoplasma), Clamydia pneumonia, Streptococcus pneumonia,
Moraxella catarrhalis. dan Haemophilus influenza serta virus seperti
influenza, adenovirus, rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus
influenza tipe A dan B, virus parainfluenza, dan Coxsackie virus. Paparan
zat iritan seperti polusi, zat kimia, dan rokok tembakau dapat juga
menyebabkan iritasi bronkus akut.14,17
Bordetella pertussis harus dipertimbangkan sebagai agen penyebab
bronkitis akut pada anak-anak yang tidak mendapatkan vaksinasi secara
lengkap meskipun studi terbaru melaporkan bahwa bakteri ini juga dapat
menjadi agen penyebab pada orang dewasa14,17

2. Penyebab Bronkitis Kronik


Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi timbulnya
bronkhitis, yaitu : rokok, infeksi dan polusi. Selain itu terdapat pula
hubungannya dengan faktor keturunan dan status sosial11,13,14,18
a. Rokok
Merokok merupakan faktor predisposisi yang meyebabkan
bronkitis kronik. Faktor resiko umum terhadap eksaserbasi akut
dari bronkitis kronik adalah meningkatnya usia dan berkurangnya
Volume Ekspirasi Paksa (VEP). Sebanyal 70-80% ekserbasi akut
dari bronkitis kronis diperkirakan akibat infeksi pernafasan.
Merokok diperkirakan menyumbang 85-90% kasus dari
bronkitis dan PPOK. Studi menunjukkan bahwa merokok dapat
mengganggu pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag
alveolar, dan meyebabkan hipertrofi dan hiperplasia dari glandula
pensekresi mukus. Merokok juga dapat meningkatkan resistensi
saluran nafas melalui jalur vagal yang dimediasi oleh konstriksi
otot polos.
b. Infeksi
Eksasebasi bronkhitis disangka paling sering diawali dengan
infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder
bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophilus
influenza dan Streptococcus pneumoniae
c. Polusi
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor
penyebab, tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
Zat-zat kimia dapat juga menyebabkan bronkitis adalah zat-zat
pereduksi O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon,
aldehid, ozon.
d. Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan
berperan atau tidak, kecuali pada penderita defesiensi alfa -1-
antitripsin yang merupakan suatu masalah dimana kelainan ini
diturunkan secara autosom resesif.
e. Faktor sosial ekonomi
Kematian pada bronkhitis ternyata lebih banyak pada
golongan sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor
lingkungan dan ekonomi yang lebih buruk.

2. 6 Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala Penderita Bronkhitis:
a. Sesak nafas / Dispnea
Sesak nafas atau dispnea adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan
gejala yang sering di jumpai pada penderita bronkhitis. Tanda objektif
yang dapat di amati dari sesak nafas adalah nafas yang cepat,
terengahengah, bernafas dengan bibir tertarik kedalam (pursed lip),
hiperkapnia (berkurangnya oksigen dalam darah), hiperkapnia atau
meningkatnya kadar karbondioksida dalam darah.
b. Nafas berbunyi
Bunyi mengi (wheezing) adalah suara pernafasan yang di sebabkan oleh
mengalirnya udara yang melalui saluran nafas sempit akibat kontriksi atau
ekskresi mucus yang berlebihan.
c. Batuk dan sputum
Batuk adalah gejala paling umum pada penderita bronkhitis, seringkali
pada penderita bronkhitis mengalami batuk- batuk hampir setiap hari serta
pengeluaran dahak sekurang- kurangnya 3 bulan berturut- turut dalam satu
tahun dan paling sedikit 2 tahun.
d. Nyeri dada.
Nyeri dada sering sekali terjadi pada penderita bronkitis karena ada
inflamasi pada bronkus. Pada penderita bronkitis rasa nyeri di dada di
rasakan dengan tingkat keparahan penyakit.
e. Nafas cuping hidung
Pada balita dan anak- anak penderita bronkhitis kadang terjadi adanya
nafas cuping hidung, tetapi tidak semua penderita bronkhitis mengalami
hal tersebut.Dengan adanya cuping hidung berarti terdapat gangguan pada
sistem pernafasan yang menyebabkan kepayahan dalam bernafas.

2. 7 Patofisiologi
Selama episode bronkitis akut, jaringan yang melapisi lumen bronkus
megalami iritasi dan membran mukosa menjadi hiperemis dan edema
sehingga mengganggu fungsi mukosiliar bronkus. Akibatnya, saluran nafas
menjadi menjadi sempit akibat debris dan proses inflamasi. Respon akibat
produksi mukus yang banyak ini akhirnya ditandai dengan batuk
produktif.11,12
Dalam kasus pneumonia mycoplasma, iritasi bronkus menyebabkan
perlekatan organisme (Mycoplasma pneumonia) pada mukosa saluran
respirasi yang akan membuat sekresi mukosa semakin kental. Bronkitis akut
biasanya berlangsung kurang lebih 10 hari. Jika inflamasinya terus berlajut ke
bawah hingga ujung cabang bronkus, bronkiolus dan kantung alveolus, maka
akan menyebabkan bronkopneumonia. Bronkitis kronik dihubungkan dengan
produksi mukus yang berlebihan sehingga menyebabkan batuk berdahak
selama lebih dari 3 bulan atau lebih dalam periode waktu minimal 2 tahun.
Epitel alveoli merupakan target maupun tempat awal inflamasi pada bronkitis
kronik.8
Infiltrasi netrofil dan distribusi perubahan jaringan fibrotik peribronkial
disebabkan oleh aktivitas dari interleukin 8 (IL-8), colony-stimulating factors,
dan kemotaktik serta sitokin proinflamatori lainnya. Sel epitel saluran nafas
akan melepaskan mediator inflamasi ini sebagai respon terhadap toksin, agen
infeksi, dan stimulus inflamasi lainnya serta untuk mengurangi pelepasan
produk regulasi seperti angiotensin-converting enzim ataupun
endopeptidase.8,16
Bronkitis kronik dapat dikatagorikan sebagai bronkitis kronik sederhana,
bronkitis mukopurulen kronik, ataupun bronkitis kronik yang disertai
obstruksi. Produksi sputum (industri) menandakan adanya bronkitis kronik
sederhana. Produksi sputum purulen yang persisten ataupun berulang tanpa
adanya penyakit supuratif lokal seperti bronkiektasis, menunjukkan adanya
bronkitis mukopurulen kronik.8,17
Bronkitis kronik dengan obstruksi harus dibedakan dengan asma.
Perbedaannya dibedakan berdasarkan riwayat penyakit di mana pasien yang
dikatakan mengalami bronkitis kronik dengan obstruksi memilki riwayat
batuk produktif yang lama dan onset mengi (wheezing) yang munculnya
belakangan. Bronkitis kronik dapat terjadi akibat serangan dari bronkitis akut
berulang atau dapat juga muncul perlahan-lahan karena merokok berat atau
inhalasi dari udara yang terkontaminasi oleh polutan di lingkungan. Jika orang
tersebut lebih sering batuk daripada biasanya, kemungkinan lapisan bronkus
yang menghasilkan lendir (mukus) sudah mengalami penebalan dan
penyempitan saluran nafas yang menyebabkan sulit untuk bernafas. Karena
fungsi silia untuk menyaring udara bersih dari zat iritan dan benda asing
terganggu, saluran bronkus akan cenderung mengalami infeksi lebih jauh
hingga menyebabkan kerusakan jaringan.8,18
2. 8 Penegakan Diangnosis
1. Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk mendapatksan gejala sebagai berikut :
a. Batuk berdahak.
Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan tidak berdahak,
tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih
atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
b. Sesak nafas
Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin hebat.
Terutama pada musim dimana udara dingin dan berkabut.
c. Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).
d. Wheezing (mengi).
Saluran napas menyempit dan selama bertahun-tahun terjadi sesak
progresif lambat disertai mengi yang semakin hebat pada episode
infeksi akut
e. Wajah, telapak tangan atau selaput lendir berwarna kemerahan
Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot,
demam ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis berat, setelah
sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi
selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu

2. Pemeriksaan fisik
a. Bila ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi
maupun inspirasi disertai bising mengi.
b. Pursed lips breathing
c. Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shape chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
d. Iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah.
e. Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
f. Pada pembesaran jantung kanan, akan terlihat pulsasi di dada kiri
bawah di pinggir sternum.
g. Pada cor pulmonal terdapat tanda-tanda gagal jantung kanan dengan
peninggian tekanan vena, hepatomegali, refluks hepato jugular dan
edema kaki
h. Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di
sentral dan perifer.
3. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang mendukung diangnosis adalah
sebagai berikut:
a. Cultures dan Staining.
Mendapatkan kultur sekresi pernapasan untuk virus influenza,
Mycoplasmapneumoniae, dan Bordetella pertussis ketika organisme
ini diduga. Metode kultur dan tes imunofluoresensi telah
dikembangkan untuk diagnosis laboratorium pneumoniaeinfection
dengan mendapatkan usap tenggorokan. Kultur dan gram stainning
dari dahak sering dilakukan, meskipun tes ini biasanya tidak
menunjukkan pertumbuhan atau flora saluran pernapasan normal.
Kultur darah dapat membantu jika superinfeksi bakteri dicurigai.
b. Kadar Procalcitonin.
Kadar procalcitonin mungkin berguna untuk membedakan
infeksi bakteri dari infeksi nonbakterial. Penelitian telah menunjukkan
bahwa tes tersebut dapat membantu terapi panduan dan mengurangi
penggunaan antibiotik
c. Sitologi sputum.
Sitologi sputum dapat membantu jika batuk persisten.
d. Radiografi Dada.
Radiografi dada harus dilakukan bagi pasien yang fisik temuan
pemeriksaan menunjukkan pneumonia. Pasien tua mungkin tidak
memiliki tanda-tanda pneumonia, karena itu, radiografi dada dapat
dibenarkan pada pasien, bahkan tanpa tanda-tanda klinis lain
infeksi.Pemeriksaan radiologi Ada hal yang perlu diperhatikan yaitu
adanya tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel
keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah
ataupun tramline shadow yang menunjukkan adanya penebalan
dinding bronkus.
e. Bronkoskopi.
Bronkoskopi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan adanya
aspirasi benda asing, tuberkulosis, tumor, dan penyakit kronis lainnya
dari pohon trakeobronkial dan paru-paru.
f. Tes Influenza.
Tes influenza mungkin berguna. Tes serologi tambahan, seperti
bahwa untuk pneumonia atipikal, tidak ditunjukkan.
g. Spirometri.
Spirometri mungkin berguna karena pasien dengan bronkitis
akut sering memiliki bronkospasme signifikan, dengan penurunan
besar dalam volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1). Ini
biasanya menyelesaikan lebih 4-6 minggu.
h. Temuan histologis.
Sel piala hiperplasia, sel-sel inflamasi mukosa dan submukosa,
edema, fibrosis peribronchial, busi lendir intraluminal, dan otot polos
peningkatan temuan karakteristik di saluran udara kecil pada penyakit
paru obstruktif kronis.
2. 9 Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan pada
pasien bronkitis22 :
1) Tuberkulosis paru ( penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru
berupa bronkitis )
2) Abses paru ( terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar )
3) Penyakit paru penyebab hemoptosis misalnya karsinoma paru
4) Fistula bronkopleural dengan emfisema
5) Bronkiektasis
Namun berdasarkan kemiripan gambaran radiologi, bronkiektasis dapat
menjadi diagnosis banding dari bronkitis kronik ini.

2. 10 Penatalaksanaan
1. Pengobatan non farmakologi 23
Istirahat dan meningkatkan kualitas hidup seperti menjaga pola makan
yang baik, makan dan minuman yang bergizi dan intake cairan yang cukup.

2. Pengobatan Farmakologi23
a. Pemberian antibiotik

Obat Dosis

Amoxicillin 500 mg every (q) 8 hours

Amoxicillin/clavulanic acid 250 mg to 500 mg q 8 hours

Ampicillin 250 to 500 mg q 7 hours

Azithromycin 500 mg daily

Cefdinir 300 mg q 12 hours

600 mg q 24 hours

Clarithromycin 500 mg q 12 hours

Doxycycline 200 mg q 24 hours

100 mg twice daily

Erythromycin 250 to 333 mg 3 to 4 times daily

Trimethoprim/sulfamethoxazole 160/800 mg twice daily


b. Antitusive
Obat Dosing Adverse effects

Benzonatate 100 to 200 mg 3 times daily Gastrointestinal upset

Codeine 10 to 20 mg every 4 to 7 hours Gastrointestinal upset, nausea, drowsiness, constipation

Hydrocodone 5 mg every 4 to 7 hours Gastrointestinal upset, nausea, drowsiness, constipation

Dextromethorphan 30 mg every 12 hours Gastrointestinal upset

Kriteria Penggunaan farmakologis di Bronkitis Akut

Agent Criteria

Antibiotics Diagnosed pertussis

Elevated procalcitonin

Elevated C-reactive protein

Respiratory illness >1 week

High risk patients

Comorbid cardiac or respiratory disease (CHF,

COPD, and asthma)

Bronchodilators Troublesome cough

Bronchospasm

Airway hyperresponsiveness

Airflow obstruction at baseline

Wheezing

FEV1<80% predicted
Antitussive Cough with discomfort

Protussives Airway secretion clearance desired which does not

delay healing

Over-the-ounter Fever (acetaminophen and NSAIDs)

Nasal congestion (nasal spray and oral decongestants)


c. Beta 2 agonis

Pengaruh albuterol, khususnya dihirup. Pasien dengan


bronkitis akut mungkin memiliki bronchospasme dan pengobatan
dengan bronkodilator merupakan cara yang efektif. Terapi beta-2-
agonist dalam mengurangi batuk pada pasien dengan batuk yang
berat dan saluran napas hyperresponsiveness.

2. 11 Komplikasi
Komplikasi pada bronkitis akut dan kronis yaitu :
1. Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik
2. Pada anak yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan
gizi kurang dapat terjadi Othithis Media, Sinusitis dan Pneumonia.
3. Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi.
4. Bilasekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasis atau
Bronkietaksis.
5. Pada bronkitis kronik dapat terjadi gagal napas kronik maupun akut
6. Pembesaran jantung kanan (dilatasi atau hipertrofi) yang disebabkan oleh
karena kelainan-kelainan fungsi atau struktur paru.
7. Hipertensi pulmonal karena adanya peningkatan abnormal tekanan arteri
pulmonal

2. 12 Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat atau
mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal
dari penyakit yang mendasari. Umumnya dubia ad bonam.
2.13 Pencegahan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Peningkatan Perilaku HidupBersih dan Sehat Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang yang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Dengan
demikian masyarakat dapat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri terutama
dalam tatanan masing-masing dan masyarakatdapat menerapkan cara-cara hidup
sehat dengan menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Rumah
tangga merupakan unit terkecil dalam lingkungan, sehingga perilaku hidup yang
bersih dan sehat selayaknya harus diterapkan dan ditanamkan kepada seluruh
anggata keluarga. Pada akhirnyakeluarga yang sehat akan membentuk masyarakat
yang sehat pula. PHBS di rumah tangga adalah upaya untuk memberdayakan
anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup
bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga Sehat.Rumah
tangga sehat berarti mampu menjaga, meningkatkan, dan melindungi kesehatan
setiap anggota rumah tangga dari gangguan ancaman penyakit dan lingkungan
yang kurang kondusif untuk hidup sehat.
Hasil pemantauan rumah tangga pada tahun 2017, dari 84.340 rumah
tangga yang dipantau (6,3% dari jumlah rumah tangga yang ada) sebanyak 35.322
(41.88%)rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat.Pada tahun 2016 dari
42.324 rumah tangga yang dipantau (3,2% dari jumlah rumah tangga yang ada)
sebanyak 14.198 (33,55%) rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat.
Rumah tangga yang dipantau tahun 2017 sedikit meningkat daripada rumah
tangga dipantau tahun 2016. Pencapaian rumah tangga yang ber-PHBS di Provinsi
NTB masih sangat rendah sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan capaian tersebut. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan
memberikan penyuluhan tentang pentingnya PHBS kepada masyarakat umum,
anak sekolah, ibu balita dll, melakukan pemantauan PHBS secara rutin dan
menyeluruh untuk semua rumah tangga yang ada. Selain itu perlu juga merangkul
kader, tokoh masyarakat dan para pengambil kebijakan untuk ikut serta
menggerakkan masyarakat dalam berperilaku hidup bersih dan sehat.

1. Faktor Risiko (bersama) Penyakit Tidak Menular

Bukti-bukti dari berbagai studi dan penelitian dari selurun dunia baik
Klinik, laboratorium maupun berbasis populasi menunjukan bahwa penyakit tidak
menular utama termasuk PPOK memiliki faktor risiko bersama (common risk
factors) (WHO, 2005). Faktor risiko bersama yang paling penting adalah
penggunaan tembakau, diet tidak sehat dan seimbang, konsumsi energi yang
berlebihan, dan tidak atau kurang melakukan aktivitas fisik. Dalam perkembangan
selanjutnya akan terekspresi dalam bentuk faktor risiko perantara melalui
peningkatan tekanan darah, peningkatan glukosa darah, lipid darah yang abnormal
(terutama /ow-density lipoprotein-LDL cholesterol), kelebihan berat badan (Index
Masa Tubuh >25 kg/m2) dan obesitas (Index Masa Tubuh >30 kg/m2).
Faktor-faktor fisik utama baik yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak
dapat dimodifikasi seperti umur dan hereditas sangat terkait dengan meningkatnya
penyakit jantung, stroke, penyakit paru kronik (PPOK, Asma bronkial), diabetes
melitus dan beberapa jenis kanker tertentu.
Anak-anak tidak dapat memilih lingkungan dimana mereka hidup,
termasuk diet, lingkungan bermain dan paparan terhadap asap tembakau. Mereka
juga memiliki kemampuan yang terbatas untuk dapat memahami konsekuensi
jangka panjang terhadap perilakunya. Oleh karenanya secara lebih dini anak-anak
mudah terpapar dengan asap rokok dan perilaku tidak sehat sebelum mencapai
usia cukup dewasa.

2. Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah hal-hal yang
berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada
seseorang atau kelompok tertentu.
Faktor risiko tersebut meliputi: a. Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku
(Kebiasaan) merokok, dan c. Faktor lingkungan (polusi udara).

a. Faktor pejamu (host)


Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 7
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru
dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-
anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga
berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.
b. Perilaku (Kebiasaan) Merokok
Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalens tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalan pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan
perokok aktif bernubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok
menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik.
Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor
risiko PPOK.
c. Faktor Lingkungan (Polusi Udara)
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti
asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat
nyamuk bakar, dan lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas
buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran
hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja (bahan
kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun).
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 35 tahun
Alamat : Desa Sesela, Kecamatan Gunung Sari
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 9 Januari 2019

II. Anamnesis
Keluhan utama: Batuk lama
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli dewasa Puskesmas Gunung Sari dengan keluhan batuk
berdahak dan berdarah berdarah sejak 1 bulan. Keluhan ini juga disertai dengan
pusing, dan mual muntah. Pasien merasa sesak nafas ketika batuk, dan merasa
nyeri di bagian ulu hati, Batuk dan sesak ini dari hari ke hari semakin memberat
dan tidak ada perbaikan.Menurut keterangan pasien menyangkal pernah terkena
penyakit TB, pasien mengeluh badannya terasa panas ketika malam hari,saat
batuknya kumat pasien tidak mau makan karena nyeri di ulu hati. BAB dan BAK
pasien tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien memiliki riwayat batuk pilek berulang sejak tahun 2016 dan tidak
pernah berobat ke Fasilitas Kesehatan. Riwayat hipertensi, penyakit jantung,
maupun asma disangkal.
Riwayat pengobatan TB disangkal, riwayat kontak dengan pasien TB
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Istri pasien, dan anak pasien memiliki gejala batuk pilek berulang, dan
sembuh 3-4 hari setelah mengkonsumsi obat. Riwayat hipertensi, penyakit
jantung, dan asma pada keluarga disangkal.

Genogram Keluarga Pasien

47th 45th 39th 36th

35th 30th

4th 11th

Keterangan :
: Laki-Laki

: Perempuan

: Pasien

: Meninggal

: Tinggal satu rumah


Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya tidak pernah berobat untuk keluhan batuknya, tetapi
sebelumnya pasien sudah diperiksakan untuk sputum dahak, dan hasilnya negatif
TBC.

Riwayat Ekonomi dan Lingkungan:


Pasien merupakan keluarga dengan ekonomi menengah kebawah.
Pemasukan keuangan didapatkan dari pasien Pasien tinggal bersama istri dan dua
orang anak. Jarak antar rumah sangat berdekatan. Untuk air minum, pasien
menggunakan air sumur yang dimasak. Untuk keperluan MCK, pasien juga
menggunakan air sumur, dan menggunakan kamar mandi yang terletak di dalam
rumah pasien. Pasien dan anggota keluarga lainnya selalu BAB di kamar mandi.
Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor gas. Pasien memasak di
dapur yang berada di dalam rumah pasien. Pasien merupakan anggota keluarga
yang merokok di rumah, dan di lingkungan pasien banyak tetangga yang
merokok.

III. Pemeriksaan Fisik


KU/Kesadaran : Baik/Composmentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frek. Nadi : 85 x/menit
Frek. Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,6 º C
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 161 cm
Status Gizi : Normal
Status Generalis
Kepala-Leher
Kepala : Deformitas (-)
Rambut : Hitam, lebat, distribusi merata
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)
Telinga : Deformitas pinna (-), serumen (-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
Tenggorok : Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1, detritus (-)
Gigi & mulut : Karies dentis (-), sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Paru
Inspeksi:
1. Bentuk & ukuran: bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris.
2. Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider
nevi (-), vena kolateral (-), massa (-).
3. Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tidak tampak hipertrofi SCM,
otot bantu abdomen tidak aktif dan hipertrofi (-).
4. Iga dan sela iga: pelebaran ICS (-).
Palpasi:
1. Trakea: tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra.
2. Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
3. Gerakan dinding dada: simetris kiri dan kanan.
4. Fremitus vocal: simetris kiri dan kanan.
Perkusi:
1. Sonor seluruh lapang paru.
2. Batas paru-hepar  Inspirasi: ICS VI, Ekspirasi: ICS IV; Ekskursi: 2 ICS.
3. Batas paru-jantung:
a. Kanan: ICS II linea parasternalis dekstra
b. Kiri: ICS IV linea midclavicula sinistra
Auskultasi:
1. Cor: S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
2. Pulmo:
a. Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru.
b. Rhonki (+/+).
c. Wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi:
1. Bentuk: simetris
2. Umbilicus: masuk merata
3. Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput medusae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-)
4. Distensi (-)
5. Ascites (-)
Auskultasi:
1. Bising usus (+) normal
2. Metallic sound (-)
3. Bising aorta (-)
Perkusi:
1. Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)
2. Nyeri ketok (-)
3. Nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi:
1. Nyeri tekan epigastrium (-)
2. Massa (-)
3. Hepar/lien/ren: tidak teraba
4. Tes Undulasi (-), Shifting dullness (-)

Ekstremitas: Ekstremitas atas dan bawah akral hangat +/+, edema -/- petekie -/-

Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa


IV. Pemeriksaan Penunjang
BTA Sputum S (-) P (-)
V. Diagnosis
Bronkitis Kronis
VI. Tatalaksana
Tujuan Terapi
 Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki
kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari
faktor risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk
dalam penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk
mengenal penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan
kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam
lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi
kebutuhan cairan.
 Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan
komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi
dan rehabilitasi.
a. Farmakologi
 Amoxicillin 500 mg 3x1
 Codeine 20mg 3x1
b. Konseling
 Menghentikan kebiasaan merokok.
 Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.
 Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.
VII. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
Denah Rumah Pasien

Rumah tetangga
(±4m)

Halaman
Depan
S
Kamar Tidur
Ruang Tamu

Kamar Tidur Halaman


Belakang
Ruang
Keluarga

WC Dapur
BAB IV

KERANGKA KONSEP MASALAH PASIEN

BIOLOGIS

MELITUS
 Riwayat batuk lama, dan

berulang
DIABETES
 Batuk selama 2 tahun tidak

pernahMELITUS
diobati

DIABETES LINGKUNGAN
PERILAKU
MELITUS
Fisik
 Merokok sejak  Asap dalam
pembakaran rokok
Bronkitis
usia remja , dan
tingkat konsumsi
DIABETES Non-Fisik
rokok Kronis  Lingkungan tetangga
MELITUS
 Perilaku hidup memiliki Kebiasaan
tidak bersih dan merokok
tidak sehat  Sosial ekonomi
DIABETES rendah
PELAYANAN  Pendidikan rendah
MELITUS
KESEHATAN
 Pengetahuan rendah

Poskesdes dan Puskesmas tidak


DIABETES
memberikan penyuluhan tentang
bahaya merokok sehingga kesadaran
MELITUS
tentang penyakit rendah.

DIABETES

MELITUS

DIABETES
1. Faktor Genetik dan Biologis
Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 7
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan
paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa
anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.
Pada pasien ini, faktor genetik/ biologis yang dapat mempengaruhi
pasien sehingga beresiko terkena Bronkitis adalah batuk lama dan selama
2 tahun tidak pernah diobati, batuk berulang ini dapat menyebabkan
kerusakan pada anatomi dari saluran napas, dan menyebabkan berbagai
resiko dari penyakit akibat saluran napas.
2. Faktor Perilaku
Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalens tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalan pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan
perokok aktif bernubungan dengan angka kematian. Perokok pasif dan
merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
Pasien merupakan perokok aktif dan berat, rokok telah teruji
bahwa zat-zat yang terkandung dan berbahaya dalam rokok dapat
menyebabkan rusaknya saluran pernapasan, dan mengiritasi saluran napas,
apabila proteksi pada saluran napas tidak baik, infeksi pada saluran
pernapasan akan lebih mudah mengenai pasien.
Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan menyebabkan
70% kematian karena penyakit paru kronik dan enfisema. Lebih dari
setengah juta penduduk Indonesia menderita karena penyakit saluran
pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau pada tahun 2001.
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response. Hubungan dose response tersebut dapat dilinat pada Index
Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok perhari dikalikan jumlah
hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkhitis 10 bungkus tahun
artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita
bronkhitis kronik minimal setelan 10 tahun merokok. Kanker paru minimal
20 bungkus tahun artinya kalau sehari mengkonsumsi sebungkus rokok
berarti setelah 20 tahun merokok ia bisa terkena kanker paru.
Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya disebut
asap rokok utama (main stream smoke), sedang asap yang berasal dari
ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (side stream
smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama yang
dihembuskan lagi oleh prokok dan asap rokok sampingan disebut asap
rokok lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco Smoke (ETS).
Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih
tigggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau terbakar
pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat
pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak
bahan kimia. Oleh karena itu ARL berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada
kadar pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia
berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari
aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane
(bahan bakar ringan), kadmium (aki kKendaraan), karbon monoksida (asap
knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), methanol
(bensin roket), naftalen (Kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil
Klorida (plastik).

3. Faktor Lingkungan
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti
asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat
nyamuk bakar, dan lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas
buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran
hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja (bahan
kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun). Pajanan yang terus menerus oleh
gas dan bahan kimia hasil industri merupakan faktor risiko lain PPOK.
Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebin
kecil dibandingkan asap rokok.
Indonesia (temasuk pulau Lombok) merupakan negara dengan
konsumsi rokok yang termasuk tinggi konsumsi rokok di negara Indonesia
merupakan nomor dua di dunia. ISPA atau infeksi Saluran Pernapasan
Atas merupakan penyakit yang lazim dan menjadi masalah yang sangat
tinggi di Indonesia, berbagai penyakit akibat pernapasan pun menjadi
kendala, karena tingginya konsumsi rokok di Indonesia.
Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh
bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga
merupakan faktor risiko lainnya. Riwayat infeksi berat semasa anak—anak
berhubungan dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan
pernapasan saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
hiperesponsif jalan napas dan infeksi virus. Status sosioekonomi
merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan
dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk
atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi.
4. Faktor Pelayanan Kesehatan
Perlunya kegiatan pada puskesmas seperti program P2P (Program
Pemberantasan Penyakit), dan PTM (Penyakit Tidak Menular) dan peran
aktif dari puskesmas sangat diperlukan sebagai agen Promotif dan
Preventif dari tenaga kesehatan.
Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan memberikan pelayanan
kepada masyarakat, terutama sebagai media Promotif dan Preventif,
himbauan tentang penyakit dan faktor resiko penyakit perlu
dimaksimalkan untuk mencegah berbagai penyakit, dan masalah
kesehatan.
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Aspek Klinis


5.1.1 Pembahasan Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis
Berdasarkan anamnesis, diketahui batuk berdahak dan berdarah berdarah
sejak 1 bulan. Keluhan ini juga disertai dengan pusing, dan mual muntah. Pasien
merasa sesak nafas ketika batuk, dan merasa nyeri di bagian ulu hati, keluhan
yang dialami pasien merupakan salah satu gejala dari gejala obstruktif pada paru,
dan gejala selama 1 bulan serta berulang selama 2 tahun dapat digolongkan
menjadi gejala kronis.
5.1.2 Pembahasan Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pasien meiliki gejala batuk lama disertai dahak,
pada pemeriksaan penunjang juga TB pada pasien dapat disingkirkan. batuk
berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan sering menderita infeksi
pernapasan (misalnya flu) Ronchi haru-kasar, bengek atau mengi atau sesak Batuk
biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak
berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau
kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
5.1.3 Pembahasan Terapi
Di Puskesmas Gunung Sari pasien diberikan obat Antibiotik berupa
Amoxicillin 500mg yang diminum 3 kali setiap hari, terapi Antibiotik umumnya
tidak diindikasikan untuk pasien bronkitis kronik. Terapi telah terbukti memiliki
sifat anti – inflamasi dan mungkin memiliki peran dalam pengobatan bronkitis
kronik. Codeine 20mg yang diminum 3x setiap hari, pemberian Antitusive, dapat
menekan batuk, dan diharapkan dengan obat ini keluhan pada pasien dapat
berkurang, terapi beta-2-agonist dalam mengurangi batuk pada pasien dengan
batuk yang berat dan saluran napas hyperresponsiveness.
5.2 Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat
Timbulnya suatu penyakit pada seorang individu dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. H.L. Bloom memperkenalkan paradigma hidup sehat yang terdiri atas
faktor genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor
lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan.:
5. Faktor Genetik dan Biologis
Pada pasien ini, faktor genetik/ biologis yang dapat mempengaruhi
pasien sehingga beresiko terkena Bronkitis adalah batuk lama dan selama
2 tahun tidak pernah diobati, batuk berulang ini dapat menyebabkan
kerusakan pada anatomi dari saluran napas, dan menyebabkan berbagai
resiko dari penyakit akibat saluran napas.
Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 7
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan
paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa
anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.
6. Faktor Perilaku
Pasien merupakan perokok aktif dan berat, rokok telah teruji
bahwa zat-zat yang terkandung dan berbahaya dalam rokok dapat
menyebabkan rusaknya saluran pernapasan, dan mengiritasi saluran napas,
apabila proteksi pada saluran napas tidak baik, infeksi pada saluran
pernapasan akan lebih mudah mengenai pasien.
Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalens tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalan pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan
perokok aktif bernubungan dengan angka kematian. Perokok pasif dan
merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan menyebabkan
70% kematian karena penyakit paru kronik dan enfisema. Lebih dari
setengah juta penduduk Indonesia menderita karena penyakit saluran
pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau pada tahun 2001.
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response. Hubungan dose response tersebut dapat dilinat pada Index
Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok perhari dikalikan jumlah
hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkhitis 10 bungkus tahun
artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita
bronkhitis kronik minimal setelan 10 tahun merokok. Kanker paru minimal
20 bungkus tahun artinya kalau sehari mengkonsumsi sebungkus rokok
berarti setelah 20 tahun merokok ia bisa terkena kanker paru.
Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya disebut
asap rokok utama (main stream smoke), sedang asap yang berasal dari
ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (side stream
smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama yang
dihembuskan lagi oleh prokok dan asap rokok sampingan disebut asap
rokok lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco Smoke (ETS).
Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih
tigggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau terbakar
pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat
pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak
bahan kimia. Oleh karena itu ARL berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada
kadar pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia
berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari
aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane
(bahan bakar ringan), kadmium (aki kKendaraan), karbon monoksida (asap
knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), methanol
(bensin roket), naftalen (Kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil
Klorida (plastik).
7. Faktor Lingkungan
Indonesia (temasuk pulau Lombok) merupakan negara dengan
konsumsi rokok yang termasuk tinggi konsumsi rokok di negara Indonesia
merupakan nomor dua di dunia. ISPA atau infeksi Saluran Pernapasan
Atas merupakan penyakit yang lazim dan menjadi masalah yang sangat
tinggi di Indonesia, berbagai penyakit akibat pernapasan pun menjadi
kendala, karena tingginya konsumsi rokok di Indonesia.
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti
asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat
nyamuk bakar, dan lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas
buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran
hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja (bahan
kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun). Pajanan yang terus menerus oleh
gas dan bahan kimia hasil industri merupakan faktor risiko lain PPOK.
Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebin
kecil dibandingkan asap rokok.
Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh
bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga
merupakan faktor risiko lainnya. Riwayat infeksi berat semasa anak—anak
berhubungan dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan
pernapasan saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
hiperesponsif jalan napas dan infeksi virus. Status sosioekonomi
merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan
dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk
atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi.
8. Faktor Pelayanan Kesehatan
Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan memberikan pelayanan
kepada masyarakat, terutama sebagai media Promotif dan Preventif,
himbauan tentang penyakit dan faktor resiko penyakit perlu
dimaksimalkan untuk mencegah berbagai penyakit, dan masalah
kesehatan.
BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan
Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan sebagai
inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada
permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi dari cairan
inflamasi. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik dan pembentukan sputum.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Pada Puskesmas
Gunung Sari, program yang terkait dengan kasus Bronkitis adalah Program
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) ISPA dan PTM atau penyakit
tidak menular. Kerjasama atau kemitraan lintas program di Puskesmas Gunung
Sari juga dilakukan dalam rangka mengatasi faktor risiko Penyakit tersebut.
6.2 Saran
1. Pada Pelayanan Kesehatan
Perlu lebih mengoptimalkan upaya promotif yaitu melalui sosialisasi program
pemerintah seperti P2P dan PTM, serta mengenai PHBS Pendidikan Hidup
Bersih dan Sehat, juga terus aktif mensosialisasikan program puskesmas
terkait penyakit saluran napas ke masyarakat di wilayah kerja. Upaya kuratif
juga perlu lebih memperhatikan keluhan dan kondisi klinis pasien.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan tentang PPOK, Kegiatan
pokok Puskesmas terkait penyakit tersebut:
1. Melaksanakan surveilans kasus (termasuk kematian) penyakit kronik
dan degeneratif lainnya
2. Membangun dan memantapkan jejaring kerja dan melakukan
koordinasi secara berjenjang dan berkesinambungan
3. Memfasilitasi pertemuan lintas program/lintas sektor
4. Melaksanakan penemuan dan tatalaksana kasus penyakit kronik dan
degeneratif lainnya
5. Melaksanakan KIE melalui berbagai metode dan media penyuluhan
6. Membina partisipasi masyarakat dalam pencegahandan
penanggulangan penyakit kronik dan degeneratif lainnya
7. Memfasilitasi Kemandirian masyarakat dalam pengendalian penyakit
kronik dan degeneratif lainnya
8. Mengirimkan laporan hasil program secara rutin ke kekabupaten/kota
2. Pada Masyarakat
Meningkatkan kesadaran tentang penyakit tidak menular seperti dan saluran
napas, dan meningkatkan kesadaran untuk pergi ke layanan fasilitas kesehatan
terdekat.

You might also like