You are on page 1of 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes, 2016).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan
nodus limfe. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Gejala yang akan muncul
bila seseorang terinfeksi penyakit TB adalah batuk produktif yang lebih
dari 3 minggu, nyeri dada dan hemoptisis. Gejala sistemik yang dapat
dialami oleh penderita TB seperti demam, menggigil, keringat malam,
kelemahan, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan.
Pengobatan TB terdiri dari dua tahap yaitu tahap awal dan lanjutan
(Kemenkes, 2016).
2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya
penanggulangan TB telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995.
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta
kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan.
Dengan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah
perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif
dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan
480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari
9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia
15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun. Jumlah kasus TB di Indonesia
menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru
pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun
(41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV
positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case
Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per
100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya
314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO
diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TBRO
dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan
pengobatan ulang. (Pedoman Nasional TB, 2016).
3. Etiologi
Penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis, yang berbentuk batang, bersifat aerob dan tahan asam. Di
Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan
merupakan negara dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah
India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Tuberkulosis paru menyerang 9,4
juta orang dan telah membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya
(WHO, 2017).
4. Klasifikasi Tuberkulosis
a. Tuberkulosis paru :
Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier
TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra
paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan
tulang.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi
pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus
diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium
tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TB terberat.
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT
namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
i. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
ii. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
iii. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan
lost to follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
iv. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
1. Mono resistan (TB MR):
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
2. Poli resistan (TB PR):
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3. Multi drug resistan (TB MDR):
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT
lini pertama lainnya.
4. Extensive drug resistan (TB XDR):
Adalah TB MDR yang sekaligus juga Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin).
5. Resistan Rifampisin (TB RR):
Mycobacterium Tuberculosis resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan:
a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
b) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
a) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b) Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien
TB dengan HIV positif.
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan
hasil tes HIV terakhir.
5. Patogenesis
a. Kuman Penyebab TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M.
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai
MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.
Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain
adalah sebagai berikut (Pedoman Nasional TB, 2016):

• Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.

• Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,


berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah
mikroskop.

• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein


Jensen, Ogawa.

• Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam


jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra
violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar
kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.

• Kuman dapat bersifat dorman.

6. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala
tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes, 2007). Gejala
klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (PDPI, 2016).
a. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala
sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala
respiratorik terdiri dari (PDPI, 2016):
1). Batuk produktif ≥ 2 minggu.
2). Batuk darah.
3). Sesak nafas.
4). Nyeri dada.
b. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :
1). Demam.
2). Keringat malam.
3). Anoreksia.
4). Berat badan menurun
7. Diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar
keluhan pasien.
Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien
dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB
yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan
orang yang bekerja dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan
paparan infeksi paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, juga menentukan potensi penularan dan menilai
keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak
yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun
tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal
rawat inap bilamana pasien menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM)
TB Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert
MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth
Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb). Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin hasil
pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang
berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung
terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan
sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau
pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut
serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung
ke laboratorium.
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pemeriksaan foto toraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB
ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus
dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan
mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat nasional
maupun internasional.
d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
3. Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa
Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:
a. Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat tes cepat
molekuler
b. Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak
memiliki akses ke tes cepat molekuker. (Pedoman Nasional TB, 2016).
Gambar 1. Alur diagnosis TB (Pedoman Nasional TB, 2016)

8. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lainsuara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa,
kelainan pemeriksaan fisik tergantungdari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess” (PDPI, 2016).
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologik
1). Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(broncho alveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).
2). Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-
turut atau dengan cara:
a). Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b). Dahak Pagi ( keesokan harinya )
c). Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum
dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat
dibuat sediaan apus kering digelas objek atau untuk kepentingan
biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam
pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan)
yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan
pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada
jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat
dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
3). Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan
lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik
dan biakan.
a). Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan
Kinyoun Gabbett
b). Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
c). lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
(1). 2 kali positif, 1 kali negatif →Mikroskopik positif
(2). 1 kali positif, 2 kali negatif →ulang BTA 3 kali ,
kemudian
(3). bila 1 kali positif, 2 kali negatif →Mikroskopik positif
(4). bila 3 kali negatf →Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan
skala bronkhorst atau IUATLD
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
1). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a). Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
b). Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
c). Bayangan bercak milier
d). Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2). Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
a). Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
b). Kalsifikasi atau fibrotik
c). Kompleks ranke
d). Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
c. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi
canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.
Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Pada pemeriksaan deteksi M.tuberculosis tersebut di atas,
bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru
sesuai dengan organ yang terlibat
d. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain:
1).Enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Teknik ini merupakan
salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik
ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu
yang cukup lama.
2).Mycodot. Uji ini mendeteksi antibodi anti mikobakterial di dalam
tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan
(LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik.
Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM
dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit,
maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi
dengan mudah
3).Uji peroksidase anti peroksidase (PAP). Uji ini merupakan salah
satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji
Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tuberculosis. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung
dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis.
f. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura
perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah
g. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru
dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening
dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan
hasil berupa granuloma dengan perkejuan.
h. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam
pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai
indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam
keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
i. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari
uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari
uji yang didapat besar sekali atau bula.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif,
terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif
mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
10. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Panduan yang digunakan adalah ;
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/ (HRZE)/
5(HR)E
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Panduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini
ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid,
Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid dan etambutol.
Catatan:
Pengobatan TB dengan panduan OAT Lini Pertama yang
digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun
dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada
dosis terapi yang telah direkomendasikan.
Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang dalam proses
pengadaan oleh Program TB Nasional.
Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket
untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid
(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas
dalam bentuk blister. Panduan OAT ini disediakan program untuk pasien
yang tidak bisa menggunakan panduan OAT KDT.
Panduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien.
Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien untuk satu
(1) masa pengobatan. Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien untuk satu (1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu (Pedoman Nasional TB,
2016):
1) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
2) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
11. Hasil Pengobatan
Merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA
positif dan negatif. Dikategorikan menjadi :
a. Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur
positif sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau
kultur negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali
pemeriksaan sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks,
gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan.
b. Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau
kultur pada akhir pengobatan.
c. Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun
penyebabnya selama dalam pengobatan.
d. Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada
bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
e. Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus
dalamwaktu dua bulan berturut-turut atau lebih.
f. Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan
pelaporan berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui).
B. Strategi Dots
Istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat
diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. Setiap
hari oleh PMO (Pengawas Menelan Obat). Tujuannya mencapai angka
kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping
obat jika timbul dan mencegah resistensi.
Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen:
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang, dari tingkat
negara hingga daerah, terhadap program tuberkulosis nasional yang
permanen dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan primer, dengan
pimpinan teknis dari suatu unit pusat.
2. Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosis penyakit TB
melalui pemeriksaan dahak penderita tersangka TB.
3. Pengawas menelan obat (PMO) akan ikut mengawasi penderita minum
seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini untuk memastikan penderita telah
benar minum obat dan bisa diharapkan akan sembuh pada saat akhir
pengobatan. PMO merupakan orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh
penderita maupun petugas kesehatan.
4. Pencatatan dan pelaporan merupakan bagian dari sistem surveillance
penyakit TB untuk mendeteksi kasus dan keberhasilan pengobatan.
5. Paduan obat jangka pendek yang benar termasuk dosis dan jangka waktu
pengobatan yang tepat, sangat penting dalam keberhasilan pengobatan
penderita. Kelangsungan persediaan obat jangka pendek harus selalu
terjamin.

C. Indikator Nasional Penanggulangan TB


Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat
ukur kinerja dan kemajuan program (marker of progress). Dalam menilai
kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator yaitu indikator dampak,
indikator utama dan indikator operasional.
a. Indikator Dampak
Merupakan indikator yang menggambarkan keseluruhan dampak atau
manfaat kegiatan penanggulangan TB. Indikator ini akan diukur dan di
analisis di tingkat pusat secara berkala. Yang termasuk indikator dampak
adalah:
1) Angka Prevalensi TB
2) Angka Insidensi TB
3) Angka Mortalitas TB
b. Indikator Utama
Indikator utama digunakan untuk menilai pencapaian strategi nasional
penanggulangan TB di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Adapun
indikatornya adalah (Pedoman Nasional TB, 2016) :
1) Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection
2) rate/CDR) yang diobati
3) Angka notifikasi semua kasus TB (case notification
4) rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk
5) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
6) Cakupan penemuan kasus resistan obat
7) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
8) Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV
Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di
atas, juga harus memantau indikator yang dicapai oleh Kabupaten/Kota
yaitu:
1) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CDR
2) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CNR
3) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
4) keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
5) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target
6) indikator cakupan penemuan kasus TB resistan obat
7) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
8) keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
9) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target
10) indikator persentase pasien TB yang mengetahui status HIV

D. Cara Menghitung Dan Analisa Indikator


Indikator yang harus dianalisa secara rutin (triwulan dan tahunan) adalah sebagai
berikut;
a. Indikator Dampak
1) Angka kesakitan (insiden) karena TB
Insiden adalah jumlah kasus TB baru dan kambuh yang muncul
selama periode waktu tertentu. Angka ini menggambarkan jumlah
kasus TB di populasi, tidak hanya kasus TB yang datang ke pelayanan
kesehatan dan dilaporkan ke program. Angka ini biasanya diperoleh
melalui penelitian cohort atau pemodelan (modelling) yang dilakukan
setiap tahun oleh WHO.
2) Angka kematian (mortalitas) karena TB
Mortalitas karena TB adalah jumlah kematian yang disebabkan
oleh TB pada orang dengan HIV negatif sesuai dengan revisi terakhir
dari ICD-10 (international classification of diseases). Kematian TB di
antara orang dengan HIV positif diklasifikasikan sebagai kematian
HIV. Oleh karena itu, perkiraan kematian TB pada orang dengan HIV
positif ditampilkan terpisah dari orang dengan HIV negatif. Angka ini
biasanya diperoleh melalui data dari Global Report.

Catatan:
Angka ini berbeda dengan data yang dilaporkan pada hasil
akhir pengobatan di laporan TB.08. Pada laporan TB.08, kasus TB
yang meninggal dapat karena sebab apapun yang terjadi selama
pengobatan TB sedangkan mortalitas TB merupakan jumlah kematian
karena TB yang terjadi di populasi.
b. Indikator Utama
1) Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang
diobati
Adalah jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di antara
perkiraan jumlah semua kasus TB (insiden).
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan x 100%
Perkiraan jumlah semua kasus TB

Perkiraan jumlah semua kasus TB merupakan insiden dalam per


100.000 penduduk dibagi dengan 100.000 dikali dengan jumlah penduduk.
Misalnya:
perkiraan insiden di suatu wilayah adalah 200 per 100.000 penduduk dan
jumlah penduduk sebesar 1.000.000 orang maka perkiraan jumlah semua
kasus TB adalah (200:100.000) x 1.000.000 = 2.000 kasus. CDR
menggambarkan seberapa banyak kasus TB yang terjangkau oleh
program.

2) Angka notifikasi semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang


diobati per 100.000 penduduk
Adalah jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di
antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu.
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang diobati dan
dilaporkan x 100.000
Jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah
penduduk tertentu
Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan
kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan kasus dari
tahun ke tahun di suatu wilayah.
3) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
Adalah jumlah semua kasus TB yang sembuh dan pengobatan
lengkap di antara semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan. Dengan
demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan
semua kasus dan angka pengobatan lengkap semua kasus.
Angka ini menggambarkan kualitas pengobatan TB.
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang sembuh dan
pengobatan lengkap x 100%
Jumlah semua kasus TB yang diobati dan
dilaporkan
Angka kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85%
sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90%.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan
lainnya tetap perlu diperhatikan, meninggal, gagal, putus berobat (lost to
follow up), dan tidak dievaluasi.
a) Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih
dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment
yang tinggi di masa yang akan datang yang disebabkan karena
ketidakefektifan dari pengendalian tuberkulosis
b) Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena
peningkatan kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi
kasus pengobatan ulang antara 10-20% dalam beberapa tahun.
c) Angka gagal tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum
ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10%
untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
4) Cakupan penemuan kasus TB resistan obat
Adalah jumlah kasus TB resisten obat yang terkonfirmasi resistan
terhadap rifampisin (RR) dan atau TB-MDR berdasarkan hasil
pemeriksaan tes cepat molekuler maupun konvensional di antara perkiraan
kasus TB resisten obat.
Rumus:
Jumlah kasus TB yang hasil pemeriksaan tes
cepat molekuler maupun konvensionalnya
menunjukkan resistan terhadap rifampisin (RR)
dan atau TB-MDR x100%
Perkiraan kasus TB resisten obat
Berdasarkan estimasi WHO, perkiraan kasus TB resisten obat
diperoleh dari 2% dari kasus TB paru baru ditambah 12% dari kasus TB
paru pengobatan ulang. Indikator ini menggambarkan cakupan penemuan
kasus TB resisten obat.
5) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
Adalah jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan rifampisin dan
atau TB MDR) yang menyelesaikan pengobatan dan sembuh atau
pengobatan lengkap di antara jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan
rifampisin dan atau TB MDR) yang memulai pengobatan TB lini kedua.
Rumus:
Jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan
rifampisin dan atau TB MDR) yang dinyatakan
sembuh dan pengobatan lengkap x 100%
Jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan
rifampisin dan atau TB MDR) yang memulai
pengobatan TB lini kedua
Indikator ini menggambarkan kualitas pengobatan TB resisten obat.
6) Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV
Adalah jumlah pasien TB yang mempunyai hasil tes HIV yang
dicatat di formulir pencatatan TB yang hasil tes HIV diketahui termasuk
pasien TB yang sebelumnya mengetahui status HIV positif di antara
seluruh pasien TB. Indikator ini akan optimal apabila pasien TB
mengetahui status HIV ≤15 hari terhitung dari pasien memulai
pengobatan.
Rumus:
Jumlah pasien TB yang mempunyai hasil tes HIV
yang dicatat di formulir pencatatan TB yang hasil
tes HIV diketahui termasuk pasien TB yang
sebelumnya mengetahui status HIV positif x 100%
Jumlah seluruh pasien TB terdaftar (ditemukan
dan diobati TB)
Angka ini menggambarkan kemampuan program TB dan HIV
dalam menemukan pasien TB HIV sedini mungkin. Angka yang tinggi
menunjukan bahwa kolaborasi TB HIV sudah berjalan dengan baik, klinik
layanan TB sudah mampu melakukan tes HIV dan sistem rujukan antar
TB dan HIV sudah berjalan baik. Angka yang rendah menunjukan bahwa
cakupan tes HIV pada pasien TB masih rendah dan terlambatnya
penemuan kasus HIV pada TB.
c. Indikator operasional
1) Persentase kasus pengobatan ulang TB yang diperiksa uji
kepekaan obat dengan tes cepat molekuler atau metode konvensional
Adalah jumlah kasus TB pengobatan ulang yang diperiksa dengan
uji kepekaan terhadap OAT dengan tes cepat molekular atau metode
konvensional di antara jumlah pasien TB pengobatan ulang yang tercatat
selama periode pelaporan.
Rumus:
Jumlah kasus TB pengobatan ulang yang diperiksa
dengan uji kepekaan terhadap OAT x 100%
Jumlah pasien TB pengobatan ulang yang tercatat
selama periode pelaporan
Indikator ini digunakan untuk menghitung berapa banyak kasus
pengobatan ulang yang diperiksa dengan uji kepekaan obat.
2) Persentase kasus TB resistan obat yang memulai pengobatan
lini kedua
Adalah jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan rifampisin dan
atau TB-MDR) yang terdaftar dan yang memulai pengobatan lini kedua di
antara jumlah kasus TB yang hasil pemeriksaan tes cepat molekuler
maupun konvensionalnya menunjukkan resistan terhadap rifampisin (RR)
dan atau TB-MDR.
Rumus:
Jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan
rifampisin dan atau TB-MDR) yang terdaftar dan
yang memulai pengobatan lini kedua x 100%
Jumlah kasus TB yang hasil pemeriksaan tes
cepat molekuler maupun konvensionalnya
menunjukkan resistan terhadap rifampisin (RR)
dan atau TB-MDR
Indikator ini menggambarkan berapa banyak kasus TB yang
terkonfirmasi TB RR dan atau TB-MDR yang memulai pengobatan.
3) Persentase pasien TB-HIV yang mendapatkan ARV selama
pengobatan TB
Adalah jumlah pasien TB-HIV baru dan kambuh yang
mendapatkan ARV selama periode pengobatan TB baik yang
melanjutkan ARV sebelumnya atau baru memulai ARV di antara
seluruh pasien TB-HIV. Indikator ini akan optimal apabila pasien
TB mendapat ART ≤8 minggu terhitung dari pasien memulai
pengobatan TB. Data ini merupakan bagian dari pasien yang
dilaporkan di TB.07 dan dilaporkan seperti laporan TB.07.
Rumus:
Jumlah seluruh pasien TB HIV baru dan kambuh
yang mendapatkan ARVselama periode pengobatan
TB baik yang melanjutkan ARV sebelumnya atau
baru memulai ARV x 100%
Jumlah seluruh pasien TB baru dan kambuh HIV
selama periode yang sama
Indikator ini menggambarkan berapa banyak pasien TB
HIV yang mendapatkan ARV. Target untuk indikator ini adalah
100%.
4) Persentase laboratorium mikroskopik yang mengikuti uji
silang
Adalah jumlah kabupaten/kota yang mencapai target untuk
indikator persentase laboratorium mikroskopis yang mengikuti uji
silang 4 kali dalam 1 tahun di antara jumlah seluruh kabupaten/kota.
Rumus:
Jumlah kabupaten/kota yang mencapai target
untuk indikator persentase laboratorium
mikroskopis yang mengikuti uji silang 4 kali
dalam 1 tahun x 100%
Jumlah seluruh kabupaten/kota
Indikator ini menggambarkan partisipasi uji silang pemeriksaan
mikroskopis.
5) Persentase laboratorium mikroskopis yang mengikuti uji
silang dengan hasil baik
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti uji silang 4 kali
dalam 1 tahun dengan hasil baik di antara jumlah laboratorium
mikroskopis yang mengikuti uji silang 4 kali dalam 1 tahun.
Rumus:
Jumlah laboratorium mikroskopis yang mengikuti
uji silang 4 kali dalam 1 tahun dengan hasil baik
dengan hasil baik x 100%
Jumlah laboratorium mikroskopis yang mengikuti
uji silang 4 kali dalam 1 tahun
Indikator ini menggambarkan kualitas uji silang dari
laboratorium yang berpartisipasi untuk pemeriksaan uji silang.
6) Cakupan penemuan kasus TB anak
Adalah jumlah seluruh kasus TB anak yang ditemukan di
antara perkiraan jumlah kasus TB anak yang ada disuatu wilayah
dalam periode tertentu.
Rumus:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang ditemukan x 100%
Perkiraan jumlah kasus TB anak
Perkiraan jumlah kasus TB anak adalah 12% dari perkiraan jumlah
semua kasus TB (insiden). Angka perkiraan jumlah kasus TB anak ini,
didasarkan pada “Mathematical modelling Study” yang dilakukan oleh
Dodd et al, dipublikasikan di Lancet pada tahun 2014, dimana
Indonesia masuk ke dalam kategori 22 negara dengan beban TB anak
tinggi. Indikator ini menggambarkan berapa banyak kasus TB anak
yang berhasil dijangkau oleh program di antara perkiraan kasus TB
anak yang ada
7) Jumlah kasus TB yang ditemukan di Populasi Khusus
(Lapas/Rutan, Asrama, Tempat Kerja, Institusi Pendidikan,
Tempat Pengungsian)
Adalah jumlah seluruh kasus TB yang ditemukan dan diobati di
populasi khusus.
8) Cakupan anak < 5 tahun yang mendapat Pengobatan
Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)
Adalah jumlah anak < 5 tahun yang mendapatkan pengobatan
pencegahan TB yang tercatat dalam register TB.16 di antara perkiraan
anak < 5 tahun yang memenuhi syarat diberikan pengobatan
pencegahan di kabupaten/ kota selama setahun.
Rumus:
Jumlah anak < 5 tahun yang dilaporkan
mendapatkan pengobatan pencegahan TB
Perkiraan jumlah anak < 5 tahun yang x 100%
memenuhi syarat diberikan pengobatan
pencegahan TB
Perkiraan jumlah anak < 5 tahun yang memenuhi syarat
diberikan PP INH= jumlah pasien TB yang akan diobati x proporsi
BTA positif baru (yaitu 62%) x jumlah pasien TB BTA positif baru
yang memiliki anak (yaitu 30%) x jumlah anak < 5 tahun (yaitu 1
orang) x jumlah anak < 5 tahun yang tidak sakit TB (yaitu 90%).
Indikator ini menggambarkan berapa banyak anak < 5 tahun yang
mendapatkan PP INH di antara anak < 5 tahun yang seharusnya
mendapatkan PP INH.
9) Persentase kasus TB yang ditemukan dan dirujuk oleh
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan
Adalah jumlah semua kasus TB yang dirujuk oleh masyarakat
atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat (TB 01) di antara semua
kasus TB.
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang dirujuk oleh
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan
yang tercatat (TB 01) x 100%
Jumlah semua kasus TB
Indikator ini menggambarkan kontribusi dari masyarakat
atau organisasi kemasyarakatan dalam menemukan dan merujuk
kasus TB.
(Pedoman Nasional TB, 2016)

E. Problem Solving Cycle


Problem Solving Cycle (siklus solusi masalah) merupakan proses
mental yang melibatkan penemuan masalah, analisis dan pemecahan masalah.
Tujuan utama dari pemecahan masalah adalah untuk mengatasi kendala dan
mencari kendala dan mencari solusi yang terbaik dalam menyelesaikan
masalah.
Problem Solving adalah gabungan dari alat, ketrampilan, dan proses.
Disebut alat dikarenakan dapat membantu dalam memecahkan masalah
mendesak atau untuk mencapai tujuan, disebut skills karena dengan sekali
mempelajarinya maka dapat menggunakan berulang kali, disebut proses
karena melibatkan sejumlah langkah. Problem Solving Cycle merupakan
proses yang terdiri atas langkah-langkah berkesinambungan yang terdiri atas
analisis situasi, perumusan masalah secara spesifik, penentu prioritas
masalah, penentuan tujuan, memilih alternatif terbaik, menguraikan alternatif
terbaik menjadi rencana operasional dan melaksanakan rencana kegiatan serta
mengevaluasi hasil kegiatan. Langkah-langkah dalam Problem Solving Cycle
yaitu:
1. Analisis Situasi
Tujuan Analisis Situasi
a. Memahami masalah kesehatan secara jelas dan spesifik
b. Mempermudah penentuan prioritas
c. Mempermudah penentuan alternatif masalah
Analisis situasi meliputi analisis masalah kesehatan dan faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan tersebut. Teori HL Blum
telah mengembangkan suatu kerangka konsep tentang hubungan antar-
antar faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Teori HL Blum
analisis situasi terdiri dari analisis derajat ksehatan, analisis aspek
kependudukan, analisis perilaku kesehatan dan analisis lingkungan.
2. Identifikasi Masalah
Masalah merupakan kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Cara perumusan masalah yang baik adalah jika rumusan tersebut jelas
menyatakan adanya kesenjangan. Kesenjangan tersebut ditemukan secara
kualitatif dan dapat pula secara kuantitatif. Penentuan masalah dapat
dengan cara membandingkan dengan yang lain, monitor tanda-tanda
kelemahan, membandingkan capaian saat ini dengan tujuan atau dengan
capaian sebelumnya, checklist, brindstorming, dan dengan membuat daftar
keluhan. Penyebab masalah dapat dikenali dengan menggambarkan
diagram sebab akibat atau diagram tulang ikan. Diagram tulang ikan
(diagram Ishikawa) adalah alat yang digambarkan untuk menggembarkan
penyebab-penyebab suatu masalah secara rinci. Diagram ini memberikan
gambaran umum suatu masalah dan penyebabnya. Diagram tersebut
memfasilitasi tim untuk mengidentifikasi sebab masalah sebagai langkah
awal untuk menentukan fokus perbaikan, pengembangan ide pengumpulan
data dan atau mengembangkan alternatif solusi.
3. Prioritas Masalah
Penentuan prioritas masalah adalah suatu proses yang dilakukan
oleh sekelompok orang dengan menggunakan metode tertentu untuk
menentukan urutan masalah dari yang paling penting sampai kurang
pentingmetode USG. Langkah penentuan prioritas masalah ditentukan
dari:
a. Menetapkan kriteria
b. Memberikan bobot masalah
c. Menentukan skoring tiap masalah
4. Alternatif Solusi
Alternatif solusi dapat diketahui dengan metode brainstorming.
Brainstorming merupakan teknik pengembangan ide dalam waktu yang
singkat yang digunakan untuk mengenali adanya masalah, baik yang telah
terjadi maupun yang potensial terjadi, menyusun daftar masalah,
menyusun alternatif pemecahan masalah, menetapkan kriteria untuk
monitoring, mengembangkan kreativitas, dan menggambarkan aspek-
aspek yang perlu dianalisis dari suatu pokok bahasan.
5. Pelaksanaan Solusi Terpilih
Solusi yang paling tepat dapat dipilih dengan menggunakan 2 cara
yaitu teknik skoring dan non skoring. Pada teknik skoring dilakukan
dengan memberikan nilai terhadap beberapa alternatif solusi yang
menggunakan ukuran (parameter). Pada teknik non skoring menggunakan
alternatif solusi didapatkan dari diskusi kelompok sehingga teknik ini
disebut juga nominal group technique (NGT).
Parameter scoring adalah:
a. Realitas
b. Dapat dikelola (managable)
c. Teknologi yang tersedia dalam melaksanakan solusi (technical
feasibility)
d. Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk melakukan
solusi (resources availaibility)
1). Scoring
Masing-masing ukuran tersebut diberi nilai berdasarkan
justifikasi kita, bila alternatif solusi tersebut realistis diberi nilai 5
paling tinggi dan bila sangat kecil diberi nilai 1. Kemudian nilai-nilai
tersebut dijumlahkan. Alternatif solusi yang memperoleh nilai
tertinggi (terbesar) adalah yang diprioritaskan, masalah yang
memperoleh nilai terbesar kedua memperoleh prioritas kedua dan
selanjutnya
2). Non Scoring
Memilih prioritas masalah memempergunakan berbagai
parameter, dilakukan bila tersedia data yang lengkap. Bila tidak
tersedia data, maka cara menetapkan prioritas masalah yang lazim
digunakan adalah teknik non scoring.
3). Delphi technique yaitu alternatif solusi didiskusikan oleh
sekelompok orang yang mempunyai keahlian yang sama. Melalui
diskusi tersebut akan menghasilkan solusi paling mungkin bagi
pemecahan masalah yang disepakati bersama.
4). Delberg technique yaitu menetapkan solusi paling mungkin melalui
diskusi kelompok namun peserta diskusi terdiri dari para peserta
yang tidak sama ahlinya maka sebelumnya dijelaskan dulu sehingga
mereka mempunyai persepsi yang sama terhadap alternatif solusi
terhadap masalah yang akan dibahas. Hasil diskusi ini adalah solusi
paling mungkin bagi pemecahan masalah yang disepakati bersama.
6. Langkah-langkah implementasi solusi
a. Menyusun POA (plan of action)
b. Efektifitas
c. Efisiensi
d. Produktifitas
7. Evaluasi solusi yang dilaksanakan:
a. Hasil yang dicapai sesuai dengan rencana (masalah terpecahkan)
b. Terdapat kesenjangan antara berbagai ketetapan dalam rencana dengan
hasil yang dicapai (tidak seluruh masalah besar teratasi)
c. Hasil yang dicapai lebih dari yang direncanakan (masalah lain ikut
terpecahkan)
d. Untuk mengetahui berbagai faktor yang mendukung serta menghambat
dari permasalahan cakupan penemuan kasus TB, dilakukan kajian
secara seksama dengan analisis SWOT dengan unsur-unsur sebagai
berikut:
1). Kekuatan
Yang dimaksud dengan kekuatan (strengh) adalah berbagai
kelebihan yang bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi,
yang apabila dimanfaatkan akan berperan besar tidak hanya dalam
memperlancar berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan oleh
organisasi tetapi juga dalam mencapai tujuan yang dimiliki oleh
organisasi.
2). Kelemahan
Yang dimaksud dengan kelemahan (weakness) adalah
berbagai kelemahan yang bersifat khas, yang dimiliki oleh suatu
organisasi, yang apabila dimanfaatkan akan berperan besar tidak
hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh organisasi tetapi juga dalam mencapai tujuan yang
dimiliki oleh organisasi.
3). Kesempatan
Yang dimaksud dengan kesempatan (opportunity) adalah
peluang yang bersifat positif yang dihadapi oleh suatu organisasi
yang apabila dapat dimanfaatkan akan besar perannya dalam
mencapai tujuan organisasi.
4). Hambatan
Yang dimaksud dengan hambatan (threat) adalah kendala yang
bersifat negatif yang dihadapi oleh suatu organisasi yang apabila
berhasil diatasi akan besar perannya dalam mencapai tujuan organisasi
tersebut.
B. Program Nasional Penjaringan TB
1. PISPK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga)
Program Indonesia Sehat merupakan salah satu program dari Agenda ke-
5 Nawa Cita, yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Program
ini didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program Indonesia Pintar,
Program Indonesia Kerja, dan Program Indonesia Sejahtera. Program Indonesia
Sehat selanjutnya menjadi program utama Pembangunan Kesehatan yang
kemudian direncanakan pencapaiannya melalui Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2015-2019, yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kesehatan R.I. Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015.Sasaran dari Program
Indonesia Sehat adalah meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang
didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan.
(Kemenkes,2016)
Konsep KeluargaPendekatan keluarga adalah salah satu cara
Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah
kerjanya dengan mendatangi keluarga. Puskesmas tidak hanya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga
keluar gedung dengan mengunjungi keluarga di wilayah
kerjanya.Keluarga sebagai fokus dalam pendekatan pelaksanaan program
Indonesia Sehat karena menurut Friedman (1998), terdapat Lima fungsi
keluarga, yaitu:
1. Fungsi afektif (The Affective Function) adalah fungsi keluarga yang
utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota
keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk
perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga.
2. Fungsi sosialisasi yaitu proses perkembangan dan perubahan yang
dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan
dalam lingkungan sosialnya. Sosialisasi dimulai sejak lahir. Fungsi ini
berguna untuk membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma
tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan dan
meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
3. Fungsi reproduksi (The Reproduction Function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4. Fungsi ekonomi (The Economic Function) yaitu keluarga berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
5. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (The Health Care
Function) adalah untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota
keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi
Dalam rangka pelaksanaaan Program Indonesia Sehat telah
disepakati adanya 12 indikator utama untuk penanda status kesehatan
sebuah keluarga. Kedua belas indikator utama tersebut adalah sebagai
berikut.

a. Keluarga mengikuti program Keluarga Berencana (KB)


b. Ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan
c. Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap
d. Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif
e. Balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan
f. Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai
standar

g. Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur


h. Penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak
ditelantarkan

i. Anggota keluarga tidak ada yang merokok

j. Keluarga sudah menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional


(JKN)

k. Keluarga mempunyai akses sarana air bersih


l. Keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat.
Berdasarkan indikator tersebut, dilakukan penghitungan Indeks Keluarga
Sehat (IKS) dari setiap keluarga.
Salah satu indikator utama PISPK adalah penderita tuberkulosis
paru mendapatkan pengobatan sesuai standar.
Uraian secara garis besar kegiatan yang dilakukan dalam masing-
masing area prioritas adalah (Kemenkes, 2017)

(1). Identifikasi terduga TB di antara anggota keluarga, termasuk anak dan


ibu hamil.

(2). Memfasilitasi terduga TB atau pasien TB untuk mengakses pe-


layanan TB yang sesuai standar.

(3). Pemberian informasi terkait peng- endalian infeksi TB kepada anggota


keluarga, untuk men- cegah penularan TB di dalam keluarga dan
masyarakat

(4). Pengawasan kepatuhan peng- obatan TB melalui Pengawas Menelan


Obat (PMO).

You might also like