You are on page 1of 4

THE SUBTLE ART FOR NOT GIVING A FUCK FOR LOVE

Apakah kamu akan bertemu seseorang yang tepat di saat yang tepat, tak ada yang tahu. Namun
sebaiknya kamu tidak menggantungkan kebahagiaan di tangan orang lain. Bagaimana pun, suatu
hari nanti orang-orang yang kamu cintai akan pergi. Percayalah pada diri sendiri bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Bersyukurlah dengan apa yang kamu punya saat ini, maka kebahagiaan akan
mengikutimu.
Beda halnya ketika kamu para cewek sudah bisa berpikir layaknya wanita dewasa, pandanganmu
akan cinta dan sebuah hubungan pasti akan jauh berbeda. Wanita dewasa sudah jauh dari kata
drama dalam hidupnya. Mereka bisa melihat segalanya dengan lebih bijak dibandingkan cewek-
cewek yang masih labil pemikirannya.
Tak perlu berharap orang lain akan mencintai dan memujinya, wanita yang dewasa selalu menaruh
harapan terbesar itu pada dirinya sendiri. Dia akan selalu mencintai dan mendukung dirinya sendiri
melebihi siapa pun di dunia ini.
Tidak ada kata rendah diri, tidak ada kata putus asa, tidak ada yang mampu mematahkan wanita
dewasa hanya dengan hal-hal kecil semacam patah hati dan jatuh hati. Ia terlalu kuat untuk itu.
Cewek selalu identik dengan baperan dan jawaban "terserah" yang kemudian diikuti dengan
ngambek kalau tidak dimengerti maunya. Pokoknya cewek selalu dipandang sebagai sosok
manusia paling drama.
Wanita dewasa sudah jauh-jauh hari meninggalkan sikap yang menyebalkan seperti ini, mereka
punya pilihan yang jelas dalam setiap hal. Mereka pun tidak ragu untuk mengeluarkan pendapat
dengan tegas.
Saat usiamu sudah bertambah banyak, mungkin kamu akan tertawa bila menengok ke belakang
saat kamu masih begitu kekanak-kanakan. Kini kamu tahu, dalam sebuah hubungan, kematangan
emosi dan pengendalian diri justru menjadi hal utama yang akan membawa hubunganmu ke tahap
selanjutnya.
Ah, sekarang kamu sudah tahu bahwa sebelum hubungan resmi menjadi ikatan pernikahan, banyak
hal lain yang harus diurusi oleh pasanganmu. Dunianya bukan hanya tentang kamu, dan
pekerjaannya tak akan selesai jika dia hanya beredar di sekitarmu. Bagaimanapun, kamu tahu,
untuk menyiapkan masa depan berdua, untuk saat ini kalian memang tidak bisa terus bersama.
Di mana titik balik kehidupan seseorang? Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di
lingkungan yang kental kebudayaan, dan dari kecil dimanjakan oleh dongeng-dongeng putri
bergaun indah melewati mata kaki, pernikahan adalah jawaban dari pertanyaan tadi.
Perempuan, selalu dimuarakan pada pernikahan. Seolah ia dilepas dari rahim orang tua, mengalir
bersama sungai kehidupan, untuk berakhir di muara pernikahan.
Coba kita urai pelan-pelan.
Di lingkungan yang kental kebudayaan, perempuan dipersiapkan sebagai calon ibu rumah tangga
yang ideal. Perempuan diwajibkan menjaga keperawananannya agar harganya tidak cacat,
kemudian dilatih untuk memasak dan membersihkan rumah agar nilai jualnya lebih tinggi, bahkan,
perempuan juga disekolahkan agar ia bisa memiliki harga di atas rata-rata.
Dan yang lebih aneh lagi, perempuan dituntut memiliki pekerjaan yang mapan, agar ia dilirik
keluarga berstatus sosial tinggi. Seperti barang jualan, seperti itu ia diperlakukan. Seolah ia
dilahirkan, dididik, dibesarkan, hanya untuk diserahkan ke lingkaran pernikahan dengan harga jual
yang membanggakan. Itulah, yang setidaknya, saya pribadi rasakan.
Ibu saya sering berkata. “Jadilah perempuan yang sukses, agar jodohmu juga lelaki sukses.” Seolah
saya selama ini belajar dengan giat hanya untuk memikat laki-laki hebat.

Di lingkungan sekolah pun, teman-teman saya, sejak kecil, sudah memiliki impian untuk menikah
dengan lelaki yang mereka sebut ‘pangeran’. Tentu saja karena kami, kebanyakan membaca
dongeng yang happy ending disimbolkan dengan pernikahan.
Segala penderitaan perempuan seolah akan berakhir hanya jika ia menikah dengan ‘pangeran’,
maka itulah yang melekat dalam pikiran teman-teman saya semasa kecil. Seolah tak akan ada lagi
air mata dan bentakan orang dewasa yang kami terima jika sudah menikah nanti. Persis Cinderella
yang terlepas dari cengkraman ibu dan saudara tirinya setelah ia menikah.
Waktu kecil, saya tak menentang dua kalangan tersebut. Kalangan kaum tua yang mempersiapkan
putri mereka untuk menjadi seorang ‘istri’ lelaki sukses, kemudian yakin bahwa putri mereka
bahagia selamanya di rumah menantu mereka hingga maut menjemput.
Dan kalangan teman-teman masa kecil saya yang yakin bahwa jika kita menikah dengan pangeran,
kita bisa mendapatkan semua yang tidak kita dapatkan dari orang tua, tidak akan kena marah, dan
tinggal di istana megah. Saya tak sepenuhnya menyetujui mereka juga. Saya hanya belum memiliki
alasan untuk menentangnya.
Barulah, ketika saja dalam masa remaja, segala pertanyaan saya tentang, ‘apakah ending novel
saya atau titik balik hidup saya adalah pernikahan’ terjawab. Jawaban saya, ketika itu, adalah tidak.
Dan semakin saya beranjak dewasa, saya semakin yakin, bahwa pernikahan, belum tentu menjadi
happy ending bagi saya. Saya bukanlah Cinderella. Mungkin orang lain bisa memiliki
keberuntungan setingkat Cinderella. Tapi ini hidup saya, jadi biarkan saya berpendapat demikian.
Ketika saya remaja, barulah semesta menunjukkan sosok yang sesungguhnya pada saya. Bahwa
betapa mengerikannya masa depan, betapa seramnya kehidupan ‘orang tua’, dan betapa angkernya
sebuah rumah tangga.
Ketakutan saya itu dimulai oleh orang tua saya sendiri. Figur yang selama ini meninabobokan saya
dengan pernikahan yang indah, pernikahan yang akan saya tempuh di masa depan, justru
menjungkirbalikkan sendiri kerangka masa depan dalam bayangan saya.
Bagaimana saya melihat dua orang yang saling mencintai, berubah jadi saling membenci, terus
berdebat, bahkan mengkambinghitamkan anak sebagai penyebab kisruhnya hubungan mereka.
Bagaimana mereka menciptakan neraka, menggantikan surga yang saya pikir ‘takkan runtuh’.
Broken Home membuat anak memandang pernikahan sebagai hal yang menakutkan.
Lalu saya mulai melihat ‘rumah-rumah’ yang lain. Melalui cerita fiksi, tontonan, dan yang paling
utama, adalah pengalaman teman-teman labil saya, yang juga menjadi korban dari
ketidakmampuan orang tua menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Saya semakin bergidik,
mengetahui ada cerita pernikahan yang lebih seram ketimbang pernikahan orangtua saya.
Mungkin, waktu itu saya masih muda, masih remaja, belum dewasa, dan mudah saja men-judge
pernikahan sebagai hal yang menakutkan.
Tapi ketika saya dewasa, ketika dihadapkan pada kenyataan yang lebih mengerikan, saya pun tahu,
bahwa ketakutan saya tak berubah. Ketika saya mulai jatuh cinta, dan membayangkan hal-hal
seindah pernikahan, segalanya berbalik jadi hal yang menyakitkan ketika saya merasakan
pengkhianatan. Mungkin, itulah yang dirasakan ibu saya.
Bahwa cinta wanita tak menjamin cinta lelaki memberi porsi yang sama. Atau, bagi pihak lelaki,
mungkin bisa jadi sebaliknya. Yang jelas, pernikahan menjadi hal yang menakutkan, ketika kita
sadar, bahwa dua orang yang awalnya mengumbar cinta dalam porsi yang sama, di kemudian
waktu bisa berubah, menjadi satu pihak saja yang setia mencinta.
Ketika saya beranjak dewasa, Ibu saya berkata. “Pernikahan bukan sesuatu yang salah, begitu pun
cinta. Hanya saja, kadang, kita tak mampu melewati ujiannya. Bisa jadi karena salah memilih
pasangan, atau masanya yang sudah habis.”
Saya yakin, untuk perempuan yang baru dewasa seperti saya, masalahnya adalah karena salah
memilih pasangan. Tapi untuk ukuran ibu saya, tentu alasannya adalah yang kedua. Masa
mencintai bagi orang tua saya sudah habis.
Kelak saya kembali bertanya pada beliau, “Lalu apa yang disebut jodoh atau cinta sejati jika cinta
bisa terkikis?” Ibu saya pun tak tahu. Beliau pun tak mengerti, pria seperti apa yang harus saya
cari, agar saya tidak takut menjalani masa depan dengannya.
Semakin saya berpikir, saya semakin menemukan jawaban, setidaknya untuk saya sendiri. Saya
harus mencari lelaki, yang saya yakin, bahwa saya akan mencintainya, apapun yang terjadi. Ketika
saya menemukannya, di situlah titik balik kehidupan saya—mungkin.
Meski di banyak titik, saya masih takut pada pernikahan, dan berharap, orang-orang yang
mengatakan bahwa ‘perempuan harus menikah di usia segini’ paham, bahwa pernikahan bukan
masa depan yang mudah dibayangkan oleh seorang anak korban broken home.
Dan lelaki juga harus memahami, betapa besar trauma seorang perempuan yang pernah
menyaksikan, betapa terlukanya hati seorang ibu, dan menyiksa dirinya, dengan bertahan hidup
bersama lelaki, yang tak mencintainya lagi, dan ia pun tak bisa lagi mencintainya.
Takut pada pernikahan bukan berarti saya tidak akan melakukannya. Hanya saja, bagi saya,
pernikahan bukan dongeng Cinderella yang indah, ataupun khayalan gadis sosialita yang bermimpi
jadi Nyonya. Pernikahan adalah masalah cinta.

You might also like