You are on page 1of 39

BAB 1

PENDAHULUAN

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum

dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix

terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya

Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih

medial dekat dengan Plica ileocaecalis.

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran

histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada

submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.

Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun terjadi peningkatan

rasio pada usia 15-30 tahun yaitu sekitar 23 kasus per 10.000 penduduk, dan menurun

seiring bertambahnya usia.

Penyebab yang tepat belum diketahui namun diperkirakan penyebabnya adalah

obstruksi parsial dan peningkatan produksi mukus, sedangkan CA merupakan

penyebab sekunder.

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith

merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan

1
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang

lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang

mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama

Oxyuris vermicularis.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum

dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix

terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya

Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih

medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus

mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu

berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix

ditentukan oleh lokasi Caecum.2,3,4

Gambar 1. Appendix vermicularis4)

3
Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran

histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada

submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.

Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata

panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada

dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada

gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut

yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.2,3

4
Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,

Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan

Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan

komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya

tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau

penyakit imunodefisiensi lainnya.2

5
Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung
dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivat cabang
inferior dari arteri ileocoli yang merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain
arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat
kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena
ileocoli berjalan ke vena mesenterik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal.
Drainase limfatik berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli.
Persarafan apendiks merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenterik
superior (simpatis)

Gambar 4. Vaskularisasi apendix5

6
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar
umbilicus.

Gambar 5. Inervasi Appendix12

2.2 INSIDENSI

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun terjadi peningkatan rasio

pada usia 15-30 tahun yaitu sekitar 23 kasus per 10.000 penduduk, dan menurun seiring

bertambahnya usia.5

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

2.3.1 Obstruksi

Penyebab yang tepat belum diketahui namun diperkirakan penyebabnya adalah

obstruksi parsial dan peningkatan produksi mukus, sedangkan CA merupakan

penyebab sekunder.11

7
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith

merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan

Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang

lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang

mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama

Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat

disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit

seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.

Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti

measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat

pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar

yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid,

khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus

alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya

Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma,

stress psikologis, dan herediter.6

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.

Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada

kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta

gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7)

8
Gambar 6. Appendicitis (dengan fecalith) 8)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi

normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada

Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan

tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf

aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut

tengah atau di bawah epigastrium. 2)

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan

bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi

tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan

tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual,

muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa

9
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri

yang khas ke RLQ. 2,6,7 )

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan

suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah

dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.

Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi

perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7)

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan

gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB,

dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis,

khususnya pada anak-anak.6

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang

dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri

tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan

muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul

mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi

perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi

gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut

semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan

10
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan

iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri

melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis

akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat

inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum

parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada

lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada

kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang

berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat

inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan

penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di

punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter

atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada

testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi

Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi

urine.

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis

difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan

kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi

Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan

11
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi

perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus

lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,

sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.

Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk

terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi

abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6

Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering

dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi

Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess

pelvis.6

2.3.2 Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.

Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis

anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang

normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika

pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding

lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis

acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 1,2,7)

12
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan

lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.
2)
Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada

Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri

ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix,

Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes

fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria

dapat ditemukan. 1,2,7)

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta 2)


Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan

non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali

pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan

13
laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi.

Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai

akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah

terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus

Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari

secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam.

Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal

masih kontroversi. 2,6)

2.3.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene 7)

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan

kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan

kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma

Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara

orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt

mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora

normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Pada sebagian besar pasien nyeri perut merupakan keluhan utama mereka,

berupa nyeri yang konstant pada daerah preumbilical atau epigastric, kemudian sesuai

14
perkembangan penyakit nyeri menjadi jelas dan terlokalisir di kuadran kanan bawah

dekat titik Mc Burney1.

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan

nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri

perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang

disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-

rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi

anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang

panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah

tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal


1,2,3,7,8
Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya

suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga

> 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai

muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh

stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah

anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
2,8
diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen

mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

15
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak

pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada

beberapa pasien terutama anak-anak. 2,3,8 Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi

Appendix.12,13

Tabel 2. Gejala Appendicitis acuta 9)

Gejala* Frekuensi (%)

Nyeri perut 100


Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian 50
demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

2.5 Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya

ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan

pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2

kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.10

16
Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2
Gejala Klinik Value
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan

bedah sebaiknya dilakukan.2

Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang

menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal

pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus

biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat

diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan

peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.2,3

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu

tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga

Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,

17
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala

muntah, demam, dan nyeri.8

2.6 Pemeriksaan Fisik

Penting untuk diingat bahwa posisi apendiks bervariasi. Dari 100 pasien yang

menjalani pemeriksaan CT scan tiga dimensi (3-D) dasar usus buntu terletak di titik

McBurney hanya pada 4% pasien; 36% di basis berada dalam jarak 3 cm; 28% 3-5 cm

dari titik McBurney; dan, pada 36% pasien, basis usus buntu lebih dari 5 cm dari titik

McBurney. 9

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat

inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik

Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal

yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat

konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi

dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur

Appendix.

Temuan pemeriksaan fisik meliputi : 9

1. Rebound tenderness : Nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah

saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya

18
dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney

Temuan paling spesifik

2. RLQ tenderness: Hadir dalam 96% pasien, tapi tidak spesifik

3. LLQ Tenderness: merupakan manifestasi utama pada pasien dengan

inversus situs atau pada pasien dengan lampiran panjang yang

meluas ke LLQ.

4. Bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang hadir dengan

hemiscrotum yang meradang

5. Pada wanita hamil, nyeri tekan RLQ dan nyeri yang mendominasi

pada trimester pertama, namun pada paruh akhir kehamilan kuadran

kanan atas (kanan) nyeri dapat terjadi.

Tanda-tanda aksesori pada pasien :9

1. Rovsing Sign (nyeri RLQ dengan palpasi LLQ): memberi kesan

iritasi peritoneal

2. Obturator sign (nyeri RLQ dengan rotasi internal dan eksternal

pinggul kanan yang dilipat): Memberi kesan apendiks yang

meradang terletak jauh di hemipelvis kanan.

3. Psoas sign (nyeri RLQ dengan perpanjangan pinggul kanan atau

dengan fleksi pinggul kanan terhadap resistensi): Mengacu bahwa

usus buntu meradang terletak sepanjang otot psoas kanan.

19
4. Dunphy sign (nyeri tajam pada RLQ yang disebabkan oleh batuk ):

Memberi kesan peritonitis lokal

2.7 Diagnosis 9

Riwayat klasik Appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri

di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau

abscess Appendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik

maupun penunjang.

Tes laboratorium berikut tidak memiliki temuan yang spesifik untuk

apendisitis, namun mungkin membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien

dengan atipikal presentasi:

 CBC

 C-reaktif Protein (CRP)

 Tes fungsi hati dan pankreas Urinalisis (untuk membedakan radang usus buntu

dari kondisi saluran kemih)

 Beta-hCG urin (untuk membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik

dini pada wanita usia subur)

 Asam 5-hydroxyindoleacetic urin (5-HIAA)

CBC

 WBC> 10.500 sel / μL: 80-85% orang dewasa dengan radang usus buntu

20
 Neutrofilia> 75-78% pasien

 Kurang dari 4% pasien dengan radang usus buntu memiliki jumlah WBC

kurang dari 10.500 sel / μL dan neutrofilia kurang dari 75%

Pada bayi dan pasien lanjut usia, jumlah WBC sangat tidak dapat

diandalkan karena pasien ini mungkin tidak melakukan respon normal terhadap

infeksi. Pada wanita hamil, leukositosis fisiologis membuat jumlah CBC tidak

berguna untuk diagnosis radang usus buntu.

C-reaktif Protein (CRP)

 Tingkat CRP> 1 mg / dL umum terjadi pada pasien dengan radang usus

buntu

 Kadar CRP yang sangat tinggi pada pasien dengan radang usus buntu

menunjukkan perkembangan penyakit gangren, terutama jika dikaitkan

dengan leukositosis dan neutrofilia.

 Pada orang dewasa yang memiliki gejala lebih dari 24 jam, tingkat CRP

normal memiliki nilai prediksi negatif 97-100% untuk apendisitis.

Urinary 5-HIAA

Tingkat HIAA meningkat secara signifikan pada apendisitis akut dan menurun

saat peradangan bergeser ke nekrosis pada usus buntu. Oleh karena itu,

penurunan tersebut bisa menjadi tanda peringatan awal perforasi usus buntu.

21
CT Scan

CT scan dengan media kontras oral atau dubur Gastrografin enema telah

menjadi studi pencitraan yang paling penting dalam evaluasi pasien dengan

presentasi atipikal apendisitis. CT abdomen dosis rendah mungkin lebih baik

untuk mendiagnosis anak-anak dan orang dewasa muda yang terpapar radiasi

CT yang menjadi perhatian khusus.

Ultrasonografi

 Ultrasonografi mungkin menawarkan alternatif yang lebih aman

sebagai alat diagnostik utama untuk radang usus buntu, dengan CT Scan

yang digunakan pada kasus-kasus di mana ultrasonogram negatif atau

tidak meyakinkan.

 Pada pasien anak-anak, kebijakan klinis American College of

Emergency Physicians (ACEP) merekomendasikan ultrasonografi,

namun bukan pengecualian, dari apendisitis akut; untuk secara definitif

menyingkirkan apendisitis akut, ACEP merekomendasikan CT

 Apendiks yang sehat biasanya tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi;

Ketika usus buntu terjadi, ultrasonogram biasanya menunjukkan

struktur tubular tak terkompres berdiameter 7-9 mm

22
 Ultrasonografi vagina sendiri atau dikombinasikan dengan pemindaian

transabdominal mungkin berguna untuk menentukan diagnosis pada

wanita usia subur.

2.8 Penatalaksanaan 9

Appendektomi tetap satu-satunya pengobatan kuratif radang usus buntu, namun

pengelolaan pasien dengan massa usus biasanya biasanya dibagi menjadi 3 kategori

pengobatan berikut: 9

 Pasien dengan phlegmon atau abses kecil: Setelah terapi antibiotik intravena

(IV), operasi usus buntu interval dapat dilakukan 4-6 minggu kemudian.

 Pasien dengan abses yang didefinisikan dengan lebih baik: Setelah drainase

perkutan dengan antibiotik IV dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan

kateter di tempat.

 Apendektomi interval dapat dilakukan setelah fistula tertutup. Pasien dengan

abses multikompartmental: Pasien ini memerlukan drainase bedah dini.

Meskipun banyak kontroversi mengenai pengelolaan apendisitis akut

nonoperatif, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan

kondisi ini. Antibiotik yang dipertimbangkan untuk pasien dengan radang usus buntu

harus menawarkan cakupan aerobik dan anaerobik penuh. Durasi administrasi terkait

erat dengan tahap radang usus buntu pada saat diagnosis, mempertimbangkan temuan

23
intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa penelitian, antibiotik

profilaksis harus diberikan sebelum setiap usus buntu. Bila pasien menjadi afebris dan

jumlah sel darah putih (WBC) normal, pengobatan antibiotik dapat dihentikan.

Cefotetan dan cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik antibiotik.

Non Bedah

Terapi non bedah mungkin berguna saat appendectomy tidak dapat diakses

atau bila prosedurnya berisiko tinggi. Laporan anekdot menggambarkan keberhasilan

antibiotik IV dalam mengobati apendisitis akut pada pasien tanpa akses terhadap

intervensi bedah .

Dalam sebuah penelitian prospektif terhadap 20 pasien dengan apendisitis yang

terbukti dengan ultrasonografi, gejala dipecahkan pada 95% pasien yang menerima

antibiotik saja, namun 37% dari pasien ini mengalami apendisitis rekuren dalam 14

bulan.

Uji coba Appendicitis Acuta (APPAC), yang membandingkan terapi antibiotik

dengan appendectomy dalam pengobatan 530 pasien dengan apendisitis akut tanpa

komplikasi yang dikonfirmasi oleh computed tomography (CT), tidak dapat

menunjukkan inferioritas manajemen antimikroba versus pembedahan.

Antibiotik pra operasi

24
Antibiotik praoperasi telah menunjukkan kemanjuran dalam menurunkan

tingkat infeksi luka pasca operasi dalam banyak penelitian prospektif terkontrol, dan

obat ini harus diberikan bersamaan dengan konsultan bedah. Cakupan gram-negatif

dan anaerob spektrum luas ditunjukkan. Pasien dengan alergi penisilin harus

menghindari antibiotik tipe beta-laktamase dan sefalosporin. Carbapenem adalah

pilihan yang baik pada pasien ini.Pasien hamil harus menerima kategori kehamilan

antibiotik A atau B.9

Medikamentosa

Tujuan terapi adalah untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi.

Dengan demikian, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan radang usus

buntu, dan semua itu. Agen yang sedang dipertimbangkan harus menawarkan cakupan

aerobik dan anaerobik penuh. Durasi administrasi berhubungan erat dengan stadium

radang usus buntu pada saat diagnosis.Agen antibiotik efektif dalam mengurangi

tingkat infeksi luka pasca operasi dan dalam memperbaiki hasil pada pasien dengan

abses usus atau septikemia. The Surgical Infection Society merekomendasikan untuk

memulai antibiotik profilaksis sebelum operasi, menggunakan agen spektrum yang

tepat selama kurang dari 24 jam untuk apendisitis nonperforasi dan kurang dari 5 hari

untuk apendisitis perforasi. Regimen memiliki khasiat yang kurang lebih sama, jadi

pertimbangan harus diberikan pada fitur seperti alergi obat, kategori kehamilan (jika

ada), toksisitas, dan biaya.

25
1. Penicillin

Penicillins adalah antibiotik bakterisida yang bekerja melawan organisme

sensitif pada konsentrasi yang cukup dan menghambat biosintesis dinding

sel mucopeptide.

2. Sefalosporin

sefalosporin secara struktural dan farmakologis berhubungan dengan

penisilin. Mereka menghambat sintesis dinding sel bakteri, sehingga

aktivitas bakterisida.

3. Aminoglikosida

Aminoglikosida memiliki aktivitas bakterisida yang bergantung pada

konsentrasi. Agen ini bekerja dengan mengikat ribosom 30S, menghambat

sintesis protein bakteri.

4. Karbapenem

Karbapenem secara struktural terkait dengan penisilin dan memiliki

aktivitas bakterisida yang luas. Karbapenem mengerahkan efeknya dengan

menghambat sintesis dinding sel, yang menyebabkan kematian sel. Mereka

aktif melawan organisme gram negatif, gram positif, dan anaerobik.

2.9 Diagnosis Banding

Akurasi keseluruhan untuk mendiagnosis apendisitis akut sekitar 80%, yang

sesuai dengan tingkat appendektomi negatif rata-rata 20%. Akurasi diagnostik

26
bervariasi menurut jenis kelamin, dengan kisaran 78-92% pada pasien pria dan 58-85%

pada pasien wanita.Sejarah klasik anoreksia dan nyeri periumbilikal diikuti oleh rasa

mual, kuadran kanan bawah (RLQ), dan muntah terjadi hanya pada 50% kasus. Muntah

yang mendahului rasa sakit adalah sugestif dari obstruksi usus, dan diagnosis radang

usus buntu harus dipertimbangkan kembali.9

Diagnosis banding apendisitis sering merupakan tantangan klinis karena radang

usus buntu dapat meniru beberapa kondisi perut .Pasien dengan banyak kelainan

lainnya hadir dengan gejala yang mirip dengan radang usus buntu, seperti berikut ini:9

 Penyakit radang panggul (PID) atau abses tubo-ovarium

 Endometriosis Kista ovarium atau torsi

 Ureterolithiasis dan kolik ginjal

 Degenerasi leiomiomata uterus

 Divertikulitis

 Penyakit Crohn

 Colonic carcinoma

 Cholecystitis Bakteri enteritis

 Adenitis mesenterika dan iskemia

 Omental torsion

 Biliary colic

 Kolik ginjal

27
 Infeksi saluran kemih (ISK)

 Gastroenteritis

 Enterocolitis

 Pankreatitis

 Ulkus duodenum

Misdiagnosis pada wanita usia subur

Apendisitis salah didiagnosis pada 33% wanita yang tidak hamil. Kesalahan

diagnosis yang paling sering terjadi adalah PID, diikuti oleh gastroenteritis dan infeksi

saluran kemih. Dalam membedakan nyeri apendiks dari PID, anoreksia dan onset nyeri

lebih dari 14 hari setelah menstruasi menunjukkan radang usus buntu. PID sebelumnya,

keputihan, atau gejala kencing menunjukkan PID. Pada pemeriksaan fisik, nyeri di luar

RLQ, nyeri tekan serviks, keputihan, dan urinalisis positif mendukung diagnosis PID.9

Meskipun apendektomi negatif tampaknya tidak mempengaruhi kesehatan ibu

atau janin, penundaan diagnostik dengan perforasi meningkatkan morbiditas janin dan

maternal. Oleh karena itu, evaluasi agresif terhadap apendiks diperlukan pada wanita

hamil.9

Tingkat gonadotropin korion beta-human gonadotropin (beta-hCG) berguna

dalam membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik dini. Namun,

sehubungan dengan jumlah WBC, leukositosis fisiologis selama kehamilan membuat

28
penelitian ini kurang bermanfaat dalam diagnosis daripada di lain waktu, dan tidak ada

parameter WBC yang dapat membedakan yang tepat dikutip dalam literatur.

Misdiagnosis pada anak-anak

Apendisitis salah didiagnosis pada 25-30% anak-anak, dan tingkat kesalahan

diagnosis awal berbanding terbalik dengan usia pasien. Kesalahan diagnosa yang

paling umum adalah gastroenteritis, diikuti oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas

dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah.

Anak-anak dengan radang usus buntu yang salah terdiagnosis lebih mungkin

dibandingkan rekan mereka yang muntah sebelum onset rasa sakit, diare, konstipasi,

disuria, tanda dan gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan kelesuan atau

iritabilitas. Temuan fisik cenderung tidak didokumentasikan pada anak-anak dengan

kesalahan diagnosa dibandingkan pada orang lain termasuk suara usus; tanda

peritoneal; temuan dubur; dan temuan telinga, hidung, dan tenggorokan.9

Pertimbangan pada pasien lansia

Apendisitis pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun menyumbang 10%

dari semua appendectomies. Kejadian misdiagnosis meningkat pada pasien lanjut usia.

Pasien yang lebih tua cenderung mencari perawatan medis kemudian dalam

perjalanan penyakit; Oleh karena itu, durasi gejala yang melebihi 24-48 jam sebaiknya

29
tidak menghalangi klinisi dari diagnosis. Pada pasien dengan kondisi komorbid,

penundaan diagnostik berkorelasi dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.9

2.10 Teknik operasi Appendectomy 12

Berdasarkan anatomi dinding perut anterior, ada tiga sayatan berikut dapat

digunakan saat melakukan Open Appendectomy :

 Sayatan McBurney-McArthur

 Sayatan Lanz

 Sayatan Pararectus (Jalaguier, Battle, Kammerer, Lennander, Senn).

a. Open Appendectomy

1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

2. Dibuat sayatan kulit:

Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:

30
a. Pararectal/ Paramedian

Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot

disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M.

rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu

penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi

hernia cicatricalis.

sayatan M.rectus abd.


M.rectus abd.
ditarik ke medial

2 lapis

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting

Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke

medial bawah.

31
Keterangan gambar:

Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua

mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis

externus.

2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral

bawah.

Keterangan gambar:

Dari tepi rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah dengan

seratnya ke arah lateral.

3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

32
Keterangan gambar:

Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak

terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus

dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di

antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras

akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf.

4. Peritoneum dibuka.

33
Keterangan gambar:

Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.

Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di

bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah

pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama

pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang

lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat.

5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk

mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan

klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke

jaringan sekitarnya).

Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:

Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem,

kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

34
Keterangan gambar:

Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem

Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium

seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas

mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak

diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi.

6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih

kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem

dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan

benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan

bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).

35
7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem dengan pisau yang diolesi

betadine/povidone iodine

Sisa Appendix ditanam di dalam dinding sekum dengan pertolongan

pinset anatomi di dorong ke dalam dan jahitan dieratkan. Kemudian dibuat

jahitan penguat di atasnya memakai benang 3.0 . Setelah yakin perdarahan tidak

ada pada sekum, baru sekum dikembalikan ke kavum abdomen.

36
Peritoneum di tutup dengan jahitan jelujur festoon dengan palin catgut

no.1 atau 1.0 . m. Obliqus internus dan m.transversus dengan chromic Catgut

no.1 secara tumpul atau benang absorbable no. 1 (Vicryl, polysorb, dexon). M.

obliqus externus dan aponeurosisnya ditutup secara simpul dengan chromic

catgut no.1 secara simpul. Lemak ditutup dengan jahitan simpul Catgur plain

3.0. Kulit jahitan dengan benang sutera 2.0 atau 3.0 secara simpul.

Appendectomy Retrograde :

- Dikerjakan bila appendiks melekat ke dalam dan sukar dicari

- Mencari pangkal appendiks yakni pada pertemuan ketiga taenia coli

- Dengan krom klem (klem bengkok) atau sonde, pangkal appendiks

dipisahkan dari sekum dengan cara Blunt Dissecsion

Kemudian kita ikat pangkal appendiks dengan chromic catgut setelah

dilakukan crush

- Appendiks dibagian distal dari ikatan dikocer dan dipotong dengan pisau

no.20 yang telah kita olesi betadine.

- Pangkal appendix ditanam didalam dinding sekum dalam jahitan Tabach

Zaaknaad

- Kemudian appendiks dibebaskan kearah distal dengan hati-hati terutama

saat memotong meso appendiks.

b. Laparoscopic Appendectomy

37
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk

pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat

berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan

menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari

Appendicitis acuta.1)

Gambar 7. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy 1)

2.11 KOMPLIKASI POST OPERASI 1)

1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena


benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.

38
2. Hernia cicatricalis.

3. Ileus

4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah


Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli
retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

39

You might also like