You are on page 1of 3

Dalam keadaan normal, respon imun host pada infeksi bakteri relatifnya lokal, dengan

respon inflamasi terkontrol yang menyebabkan pembersihan bakteri dan debris. Namun
sepsis, merupakan sindrom klinis dimana disregulasi dari respon inflamasi ini
menyebabkan keterlibatan sistemik luas dan kerusakan jaringan normal. Sepsis merupakan
hasil akhir dari banyak interaksi sangat kompleks yang meilbatkan patogen yang
menginvasi imun, inflamasi, dan respon koagulasi host.

Mediator Inflamasi jalur sepsis di mulai dari satu titik infeksi, dimana organisme memicu
kaskade imunoinflamasi host. Molekul yang ditemukan di dinding sel bakteri gram- positif
dan gram-negatif disebut pola molecular terasosiasi pathogen yang pertama berikatan
dengan pola reseptor pengenal (PRRs) yang berlokasi di permukaan sel imun innate
seperti makrofag. Famili protein PRR remasuk Toll-like receptor (TLR) dan nucleotide-
bindin oligomerization domain (NOD). Dengan organisme gram-positif, peptidoglikan
berikatan dengan reseptor membrane TLR-2 makrofag. Endotoksin (lipopolisakarida
[LPS]) dari organisme gram -negatif pertama harus berikatan dengan LPS-binding protein
(LPB) di plasma. LPB lalu memfasilitasi transport LPS e CD14, sebuah membran reseptor
makrofag. Akhirnya, kompleks PS/CD14 berikatan ke TLR-4. Patogen kompleks PRR
inisiasi jalur sinyal intraselular dengan pertama- tama mengaktivasi cytosolic nuclear
factor κB (NF-κB). Ketika teraktivasi (NF-κB) bergerak dari sitoplasma ke nukleus,
berikatan dengan protein promotor yang memfasilitasi aktivasi skala besar dari sistem
imun dan gen inflamasi. Aktivasi dari gen tersebut menyebabkan pelepasan berbagai
sitokin, termasuk tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1), yang
merupakan pro-inflamasi; sitokin pro-inflamasi dilepaskan oleh polymorphonuclear
leukocytes (PMNs) menyebabkan rekrutmen PMNs tambahan termasuk makrofag dan
peningkatan ekspresi molekul adhesi pada PMNs dan permukaan sel endothel. Hal ini
menyebabkan agregasi dan marginasi sel-sel diatas ke endothel vaskular. PMNs lalu
migrasi ke tempat jejas spesifik lewat urutan langkah berikut: rolling, adhesi, diapedesis,
dan kemotaksis. Sel inflamasi yang teraktivasi lalu bisa membunuh organisme yang
melawan. Namun, selain itu, neutrofil ini, termasuk monosit, makrofag dan platelet,
melepaskan mediator lain yang menghasilkan kerusakan endothel. Hasilnya adalah
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular dan ketidakseimbangan koagulasi.
Sitokin anti-inflamasi seperti IL-10, yang menghambat pekepasan TNF- dan IL-1,
dihasilkan bersamaan dengan sitokin pro-inflamasi untuk meregulasi proses inflamasi.
Konsep dibalik patofisiologi sepsis lebih banyak terfokus pada aktivasi respon inflamasi
pada infeksi yang tidak terkontrol. Berbagai percobaan obat-obatan mencoba menargetkan
penghambat untuk berbagai mediator pro-inflamasi termasuk pengobatan dengan
methylprednisolone dosis tinggi, antibody anti-endotoksin, reseptor TNF terlarut (agonis
TNF), dan ibuprofen telah gagal untuk mendemonstrasikan perbaikan pada kelangsungan
hidup pasien. Bukti tersebut memberi kesan bahwa konsep dimana sepsis disebabkan oleh
respon inflamasi yang tak terkontrol mungkin terlalu sederhana.
Imunosupresi Oleh Sepsis
Persepsi yang lebih baru dari sepsis adalah bahwa respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi
hadir berdampingan bersama. Respon predominan dapat berbeda pada masing masing
individu, begitu juga dengan waktu. Dalam mayoritas kasus, sepsis dapat dikarakteristikan
oleh fase inflamasi awal sebagai respon terhadap infeksi akut. Respon ini, menyebabkan
masa imunosupresi oleh sepsis yang memanjang. Fase berikutnya dikarakteristikan oleh
persistensi patogen primer dan perkembangan selanjutnya dari superinfeksi sekunder.
Imunosupsresi dalam sepsis disebabkan oleh berbagai mekanisme, termasuk (a) apoptosis
sel imun efektor, (b) peningkatan ekspresi molekul kostimulasi seperti Programmed Death
1 (PD-1), (c) penurunan ekspresi antigen presenting complex HLA-DR, (d) peningkatan
regulasi Sel T, dan (e) perubahan dari populasi sel fenotipe inflamasi tipe 1 helper T (Th1)
ke populasi sel anti-inflamasi tipe 2 helper T (Th2) yang produksi IL-10. Imunoterapi di
kemudian hari kemungkinan besar akan dilakukan secara individu, dan perdasarkan
penanda molekul spesifik atau temuan klinis yang dapat secara akurat mengkarakterisasi
status imun dari masing – masing pasien sepsis.
Koagulasi dan Inflamasi
Penekanan terbaru telah ditempatkan dalam aktivasi bersamaan kaskade inflamasi dan
sistem koagulasi pada sepsis. Produk bakterial dan sitokin pro-inflamasi menyebabkan
ketidakseimbangan mekanisme hemostatis dan hiperkoaguabilitas melewati 3 jalur utama:
(a) kerusakan endothel dengan Tissue Factor (TF) terpapar, menyebabkan produksi
trombin; (b) kerusakan sistem antikoagulan termasuk antitrombin dan iystem protein C;
(c) kerusakan fibrinolisis akibat utama dari peningkatan aktivitas plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Dalam bentuk berat, hal ini dapat bermanifestasi sebagai Koagulopati
intravaskular diseminata (DIC) dengan trombosis mikrovaskular. Investigasi terkait terapi
antikoagulan pada pasien dengan sepsis berat menunjukan kegagalan besar, termasuk
pengganti fisiologis antithrombin-III, tissue factor-pathway inhibitor, dan, yang terbaru
rekombinan protein C teraktivasi, Protease Activated Receptors (PARs) telah diidentifikasi
sebagai molekul tersering yang menghubungkan kaskade inflamasi dan sistem koagulasi
pada sepsis. Secara spesifik, PAR1 dikatakan memiliki peran penting dalam ptogenesis
penyakit ini. Literatur terbaru memberi kesan bahwa aktivasi PAR 1 oleh Protein C
terkativasi (APC) menghasilkan efek anti-inflamasi dan sitoprotektif disamping dari sifat
antikoagulan dari protein ini. Konsep ini mendorong investigasi – investigasi baru pada
penatalaksanaan sepsis untuk menargetkan obat APC mutan yang kurang sifat
antikoagulannya namun masih memiliki kapasitas aktivasi PAR1.

You might also like