You are on page 1of 294

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AIR

Oleh:

Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan


Angkatan 2015

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
LAPORAN PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AIR

Sebagai Salah Satu Syarat Lulus Praktikum Fisiologi Hewan Air


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya

Oleh:

Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan


Angkatan 2015

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
i

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air ini disusun


Sebagai Salah Satu Syarat Lulus Praktikum Fisiologi Hewan Air
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya

Oleh:

Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan


Angkatan 2015

Dosen Mata Kuliah Koordinator Asisten

Dr. Ir. Arning Wilujeng Ekawati, MS Riyan Apriyanto


NIP.19622825 198603 2 001 NIM. 135080500111104
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air ini disusun


Sebagai Salah Satu Syarat Lulus Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya

Oleh:

Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan


Angkatan 2015

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Aliffia Sindra Novemma Aninditya Nur Safitri


NIM. 135080501111039 NIM. 145080500111019

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Anissa Zalsabilla Attaibatus Sholiha


NIM. 145080500111028 NIM. 145080501111002

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Bella Intan Wahyuni Berliana Restyanova


NIM. 145080501111052 NIM. 135080107111003

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Billy Juliadi Dhea Shofura Wijayanti


NIM. 145080501111073 NIM. 145080500111045
iii

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Desta Inas Fauziyah Dewandaru Talang


NIM. 145080507111008 NIM. 145080100111045

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Dewi Wulandari Diani Kusumaningrum


NIM. 135080107111012 NIM. 145080500111048

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Febby Hadi Setyawan Galih Dandung Akbar G.


NIM. 135080501111020 NIM. 135080500111033

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Hanum Anggraini Rangga Idris Affandi.


NIM. 145080101111047 NIM. 145080500111018

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Rosita Hasna D. Siska Dwi Satya M.


NIM. 145080100111002 NIM. 145080500111031

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Sungging Gilar Kusuma Syaiful Anam


NIM. 135080501111067 NIM. 135080101111012
iv

Asisten Praktikum Asisten Praktikum

Uswanul Oktafa Zahroul Laela


NIM. 135080500111030 NIM. 135080100111017
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan

Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air. Laporan ini merupakan salah satu syarat

lulus praktikum Fisiologi Hewan Air. Laporan Praktikum ini disusun sebagai bukti

telah melaksanakan praktikum Fisiologi Hewan Air.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini, baik

dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan

pengalaman. Kami megharapkan laporan ini bermanfaat bagi para pembaca.

Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar lebih baik untuk

kedepannya.

Terimakasih

Malang, November 2016


vi

RINGKASAN

Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan Angkatan 2015. Laporan


Praktikum Fisiologi Hewan Air (dibawah bimbingan Tim Asisten Fisiologi
Hewan Air 2016)

Ikan adalah hewan air yang memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang
tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan
organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Perubahan yang
terjadi pada parameter kualitas air akan menimbulkan respon pada ikan. Materi
pada praktikum Fisiologi hewan Air meliputi osmoregulasi, respirasi, sistem
pencernaan, pewarnaan tubuh dan fototaksis, hematologi, sistem saraf,
endokrinologi serta pewarnaan dan pengamatan gonad.
Praktikum Fisiologi Hewan Air dilaksanakan pada tanggal 24 September-
23 Oktober 2016, di Laboratorium Budidaya Ikan, Gedung D lantai 1 dan
Laboratorium Hidrobiologi Divisi Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, Gedung
C lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Metode
yang digunakan dalam praktikum Fisiologi Hewan Air adalah metode
eksperimen. Metode eksperimen adalah prosedur penelitian yang dilakukan
untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dua variabel atau lebih, dengan
mengendalikan pengaruh variabel yang lain. Metode ini dilaksanakan dengan
memberikan variabel bebas secara langsung kepada objek penelitian untuk
diketahui akibatnya di dalam variabel terikat.
Salinitas memberikan pengaruh pada daya tahan hidup ikan baik untuk
yang bersifat stenohalin dan eurihalin. Perbedaan suhu pada memberikan
pengaruh terhadap bukaan operkulum pada ikan, dimana semakin tinggi suhu
bukaan operkulum akan semakin banyak, selain itu suhu juga memberikan
pengaruh terhadap kandungan DO di perairan, dimana semakin tinggi suhu, DO
semakin rendah. Pemberian pakan yang berbeda juga memilki pengaruh
terhadap daya cerna ikan, dimana pakan dari bahan hewani memiliki daya cerna
yang lebih baik daripada pakan buatan dan pakan nabati. Waktu yang diperlukan
untuk mengosongkan lambung untuk pakan hewani juga relatif lebih cepat
daripada pakan buatan dan pakan nabati. Pemberian warna dengan
menggunakan gelombang warna paling tinggi memberikan hasil penyerapan
warna yang lebih lama dari warna yang lain. Pengaruh dari pemberian cahaya
pada ikan yang mermiliki sifat nokturnal dan memiliki warna gelap cenderung
memberikan respon fototaksis negatif, sedangkan untuk ikan yang memiliki sifat
diurnal dan memiliki warna tubuh yang cerah cenderung memberi respon
fototaksis positif. Komposisi darah pada ikan lele (Clarias gariepinus) yaitu
leukosit, eritrosit, dan trombosit. Jumlah sel darah yang paling dominan adalah
erotrosit. Jumlah leukosit pada ikan yang sakit akan lebih banyak dari pada ikan
yang sehat sehingga sistem peredaran darah terganggu dan mempengaruhi
kondisi fisiologi ikan. Kondisi fisiologi ikan yang kurang baik akan mengakibatkan
respon ikan terganggu, sehingga sistem saraf lambat dalam merespon
rangsangan. begitupula pada udang. Fungsi sistem saraf selain menanggapi
rangsangan, juga dapat merangsang perkembangan gonad pada ikan.
Kematangan gonad pada ikan dapat ditingkatkan dengan pemberian hipofisa
melalui teknik hipofisasi. Ikan yang diberi perlakuan hipofisasi akan mempercepat
waktu pematangan gonadnya. Tingkat kematangan gonad dapat diketahui
melalui beberapa cara, salah satunya dengan pemberian asetokarmin untuk
memperjelas bentuk dari sel telur dibawah mikroskop.
vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

RINGKASAN ...................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 5
1.4 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Osmoregulasi ............................................................................................. 8
2.1.1 Pengertian osmoregulasi ..................................................................... 8
2.1.2 Pengertian Osmosis............................................................................. 8
2.1.3 Pengertian Difusi ................................................................................. 9
2.1.4 Transpor pada Membran ................................................................... 10
2.1.5 Organ-organ Osmoregulasi................................................................ 11
2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Osmoregulasi .............................. 15
2.2 Respirasi .................................................................................................. 16
2.2.1 Pengertian Respirasi.......................................................................... 16
2.2.2 Mekanisme Respirasi......................................................................... 17
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respirasi ..................................... 19
2.2.4 Sumber Oksigen dalam Perairan ....................................................... 20
2.2.5 Pengaruh Suhu terhadap Respirasi ................................................... 20
2.2.6 Perbedaan Respirasi Ikan Demersal dan Ikan Pelagis....................... 21
2.3 Sistem Pencernaan .................................................................................. 22
2.3.1 Definisi Pencernaan ........................................................................... 22
2.3.2 Pengertian Digestibility ...................................................................... 23
2.3.3 Pengertian Gastric Evacuation Time (GET) ....................................... 23
2.3.4 Proses Pencernaan ........................................................................... 24
2.3.5 Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan pada Ikan dan Gambar ..... 25
2.3.6 Perbedaan Ikan Menurut Kebiasaan Makan ...................................... 26
2.3.7 Jenis Pakan ....................................................................................... 28
2.3.8 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pencernaan ............................... 30
2.3.9 Hubungan Digestibility dan Gastric Evacuation Time ......................... 30
2.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis ............................................................ 31
2.4.1 Pengertian Fototaksis ........................................................................ 31
2.4.2 Pengertian Pewarnaan Tubuh pada Ikan ........................................... 31
2.4.3 Macam-Macam Fototaksis ................................................................. 32
2.4.4 Sistem Kerja Sel Cone dan Sel Rod .................................................. 32
2.4.5 Sistem Kerja Sel Cone dan Sel Rod pada Krustasea ......................... 33
2.4.6 Pengaruh Cahaya terhadap Pergerakan Ikan dan Krustasea ............ 34
2.4.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Warna pada Ikan ........................ 35
viii

2.5 Hematologi ............................................................................................... 36


2.5.1 Pengertian Hematologi ...................................................................... 36
2.5.2 Perbedaan Darah Ikan dan Darah Krustasea .................................... 36
2.5.3 Komponen Penyusun Darah .............................................................. 37
2.5.4 Fungsi Darah ..................................................................................... 40
2.5.5 Mekanisme Pembekuan Darah .......................................................... 40
2.5.6 Sistem Peredaran Darah ................................................................... 41
2.5.7 Perhitungan Darah............................................................................. 42
2.5.8 Perhitungan Hemoglobin ................................................................... 45
2.6 Sistem Saraf ............................................................................................. 46
2.6.3 Pengertian saraf ................................................................................ 46
2.6.2 Morfologi otak ikan ............................................................................. 46
2.6.3 Morfologi Krustasean ......................................................................... 47
2.6.4 Fungsi Masing-masing Sirip pada Ikan .............................................. 48
2.6.5 Sistem Saraf pada Ikan dan Fungsinya.............................................. 49
2.6.6 Sistem Saraf pada Krustasea dan Fungsinya .................................... 49
2.7 Endokrinologi ............................................................................................ 50
2.7.1 Pengertian Endokrin .......................................................................... 50
2.7.2 Pengertian Hormon ............................................................................ 51
2.7.3 Fungsi Hormon .................................................................................. 52
2.7.4 Kelenjar Penghasil Hormon ............................................................... 52
2.7.5 Macam – macam Hormon dan Fungsinya.......................................... 53
2.7.6 Alur Hormonal Reproduksi ................................................................. 54
2.7.7 Proses Pemijahan pada Ikan ............................................................. 55
2.7.8 Pengertian Hipofisa ........................................................................... 57
2.7.9 Pengertian Hipofisasi ......................................................................... 58
2.7.10 Teknik Penyuntikan Hormon pada Ikan ........................................... 59
2.7.11 Saraf Ikan Donor dan Ikan Resipien ................................................ 60
2.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina ............................................. 61
2.8.1 Pengertian Gonad pada Ikan ............................................................. 61
2.8.2 Ciri Induk Matang Gonad ................................................................... 63
2.8.3 Tingkat Kematangan Gonad Induk Jantan ......................................... 64
2.8.4 Tingkat Kematangan Gonad Betina ................................................... 65
2.8.5 Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Gonad............................... 66
2.8.6 Pengertian Gonad Indeks .................................................................. 67
2.8.7 Pengertian Gonado Somatic Indeks................................................... 68
2.8.8 Teknik Pewarnaan Gonad Betina....................................................... 69

3. METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat beserta Fungsi ................................................................................... 70
3.1.1 Osmoregulasi .................................................................................... 70
3.1.2 Respirasi............................................................................................ 71
3.1.3 Sistem Pencernaan............................................................................ 71
3.1.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis...................................................... 73
3.1.5 Hematologi ........................................................................................ 74
3.1.6 Sistem Saraf ...................................................................................... 77
3.1.7 Endokrinologi ..................................................................................... 78
3.1.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina ...................................... 79
3.2 Bahan beserta Fungsi............................................................................... 79
3.2.1 Osmoregulasi .................................................................................... 79
3.2.2 Respirasi............................................................................................ 80
3.2.3 Sistem Pencernaan............................................................................ 81
3.2.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis...................................................... 82
ix

3.2.5 Hematologi ........................................................................................ 83


3.2.6 Sistem Saraf ...................................................................................... 85
3.2.7 Endokrinologi ..................................................................................... 86
3.2.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina ...................................... 86
3.3 Prosedur Kerja.......................................................................................... 87
3.3.1 Osmoregulasi .................................................................................... 87
3.3.2 Respirasi............................................................................................ 90
3.3.3 Sistem Pencernaan ........................................................................... 92
3.3.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis...................................................... 97
3.3.5 Hematologi ........................................................................................ 99
3.3.6 Sistem Saraf .................................................................................... 105
3.3.7 Endokrinologi ................................................................................... 109
3.3.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina .................................... 113

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Analisis Hasil .......................................................................................... 118
4.1.1 Osmoregulasi .................................................................................. 118
4.1.2 Respirasi.......................................................................................... 125
4.1.3 Sistem Pencernaan ......................................................................... 127
4.1.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis.................................................... 130
4.1.5 Hematologi ...................................................................................... 137
4.1.6 Sistem Saraf .................................................................................... 142
4.1.7 Endokrinologi ................................................................................... 147
4.1.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina .................................... 148
4.2 Analisa Grafik ......................................................................................... 150
4.2.1 Respirasi.......................................................................................... 150
4.2.2 Sistem Pencernaan ......................................................................... 151
4.3 Faktor Koreksi ........................................................................................ 153
4.4 Manfaat dibidang Perikanan ................................................................... 154

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 156
5.2 Saran ...................................................................................................... 158

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 160

LAMPIRAN...................................................................................................... 179
x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.Transpor Aktif. ................................................................................................ 10

2. Transpor Pasif. .............................................................................................. 11

3. Insang Ikan. ................................................................................................... 12

4. Ginjal Ikan Teleostei dan Elasmobranchi. ...................................................... 13

5. Usus Ikan....................................................................................................... 14

6. Proses Difusi Ion-Ion Garam pada Ikan. ........................................................ 15

7. Mekanisme Pernafasan pada Ikan. ................................................................ 18

8. Saluran Pencernaan pada Ikan. ..................................................................... 26

9. Sistem Kerja Sel Cone dan Sel Rod. ............................................................. 33

10. Sel Cone dan Sel Rod ................................................................................. 34

11. Eritrosit pada Oreochromis niloticus............................................................. 37

12. Leukosit. ...................................................................................................... 38

13. Trombosit..................................................................................................... 39

14. Morfologi Otak Ikan. ..................................................................................... 47

15. Morfologi Krustasean. .................................................................................. 48

16.Testis pada Ikan ........................................................................................... 62

17. Ovarium pada Ikan....................................................................................... 62

18. Pengambilan Sampel Darah. ..................................................................... 100

19. Mekanisme Metode Smear ........................................................................ 101

20. Bidang Pandang Perhitungan Eritrosit pada Haemocytometer................... 103

21. Haemocytometer ....................................................................................... 104

22. Sahli Haemometer ..................................................................................... 105

23. Pemberian Perlakuan pada Ikan ................................................................ 107

24. Pemberian Perlakuan pada Udang ............................................................ 109


xi

25. Pemotongan Kepala Ikan ........................................................................... 110

26. Pengambilan Hipofisa. ............................................................................... 111

27. Penyuntikan Pada Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio). ................................ 113

28. Pengambilan Gonad ikan mas (Cypinus carpio) betina. ............................. 115

29. Penimbangan Gonad ................................................................................. 115

30. Pewarnaan Sampel Telur........................................................................... 116

31. Grafik Respirasi ......................................................................................... 150

32. Grafik Digestibility ...................................................................................... 151

33. Grafik Gastric Evacuation Time.................................................................. 152


xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Fungsi Materi Pengamatan Empedu .............................................. 70

2. Alat dan Fungsi Materi Toleransi Salinitas ................................................... 70

3. Alat dan Fungsi Materi Respirasi ................................................................. 71

4. Alat dan Fungsi Materi Digestibility .............................................................. 71

5. Alat dan Fungsi Materi GET (Gastric Evacuation Time) ............................... 72

6. Alat dan Fungsi Materi Pewarnaan Tubuh ................................................... 73

7. Alat dan Fungsi Materi Fototaksis ................................................................ 74

8. Alat dan Fungsi Materi Pengambilan Sampel Darah .................................... 74

9. Alat dan Fungsi Materi Pembuatan Film Darah Tipis ................................... 75

10. Alat dan Fungsi Materi Perhitungan Eritrosit ................................................ 75

11. Alat dan Fungsi Materi Perhitungan Leukosit ............................................... 76

12. Alat dan Fungsi Materi Perhitungan Hemoglobin ......................................... 76

13. Alat dan Fungsi Materi Keseimbangan Tubuh Ikan ...................................... 77

14. Alat dan Fungsi Materi Sistem Saraf Udang ................................................ 77

15. Alat dan Fungsi Materi Endokrinologi ........................................................... 78

16. Alat dan Fungsi Materi Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina ............ 79

17. Bahan dan Fungsi Materi Pengamatan Empedu .......................................... 80

18. Bahan dan Fungsi Materi Toleransi Salinitas ............................................... 80

19. Bahan dan Fungsi Materi Respirasi ............................................................. 81

20. Bahan dan Fungsi Materi Digestibility .......................................................... 81

21. Bahan dan Fungsi Materi GET (Gastric Evacuation Time) ........................... 82

22. Bahan dan Fungsi Materi Pewarnaan Tubuh ............................................... 82

23. Bahan dan Fungsi Materi Fototaksis ............................................................ 83

24. Bahan dan Fungsi Materi Pengambilan Sampel Darah ................................ 83


xiii

25. Bahan dan Fungsi Materi Pembuatan Film Darah Tipis ............................... 84

26. Bahan dan Fungsi Materi Perhitungan Eritrosit ............................................ 84

27. Bahan dan Fungsi Materi Perhitungan Leukosit ........................................... 84

28. Bahan dan Fungsi Materi Perhitungan Hemoglobin ..................................... 85

29. Bahan dan Fungsi Materi Keseimbangan Tubuh Ikan .................................. 85

30. Bahan dan Fungsi Materi Sistem Saraf Udang ............................................ 86

31. Bahan dan Fungsi Materi Endokrinologi....................................................... 86

32. Bahan dan Fungsi Materi Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina ........ 87
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skema Kerja ................................................................................................ 179

2. Data Hasil Praktikum ................................................................................... 197

3. Dokumentasi ................................................................................................ 248

4. Terminologi .................................................................................................. 275


1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Azwar et al. (2016), air merupakan lingkungan dimana hewan

(ikan) itu hidup akan sangat menentukan proses-proses fisiologis yang terjadi

pada ikan. Ikan adalah hewan air yang memiliki beberapa mekanisme fisiologis

yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan

perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter kualitas air akan

menimbulkan respon dari ikan. Pergerakan-pergerakan dan tingkah laku hewan

(ikan) hanya merupakan serangkaian upaya untuk mempertahankan keadaan

statis agar dapat bertahan hidup dan bukan didasarkan oleh naluri dan insting.

Menurut Balsisserotto et al. (2007), ikan hidup di lingkungan yang bisa

berubah dan mereka harus beradaptasi pada perubahan ini, seperti perubahan

salinitas air. Ikan bisa beradaptasi dengan salinitas lingkungan dengan

mekanisme yang dikenal sebagai osmoregulasi. Ikan air tawar dan laut

cenderung bertahan di arus air untuk menjaga plasma osmolariti agar tetap

konstan. Organ yang terlibat dalam osmoregulasi adalah ginjal, insang, dan usus

yang telah mengalami perubahan ciri secara fungsional pada banyak spesies

ikan. Organ yang digunakan dalam proses osmoregulasi, fungsi lainnya akan

terpengaruh, misalnya dalam kasus fungsi kekebalan tubuh.

Menurut Fernandes et al. (2012), proses pengambilan oksigen atau

pernafasan dari air melalui insang dan dari udara melalui organ penghirup udara

telah berkembang diantara ikan teleostei. Ikan yang memiliki sifat amfibi dapat

menghirup udara dapat menggunakan organ penghirup udara untuk mengambil

udara pada saat di dalam air maupun di luar air. Pernapasan pada ikan dapat

dibedakan yakni ikan yang bernafas secara fakultatif yang mampu mengambil
2

udara saat berada di permukaan air atau di luar perairan dengan bernafas dan

mengambil udara melalui oksigen terlarut dalam air.

Menurut Khostajeh (2012), struktur pencernaan pada ikan teleostei

bervariasi dikarenakan perbedaan faktor. Fungsi dari struktur pencernaan

meliputi penyerapan nutrisi, sekresi hormon, proteksi imun, transfer air dan

garam untuk homeostatis mineral. Pencernaan merupakan pengaturan energi

dan pertukaran material antara lingkungan dengan medium internal. Struktur

pencernaan juga dipengaruhi oleh kebiasaan makanannya. Ikan spesies

karnivora panjang usus lebih pendek sekitar 20% dari panjang tubuh, sementara

pada spesies herbivora panjang saluran pencernaan 20 kali panjang tubuhnya.

Menurut Chen dan Engret (2014), fototaksis merupakan contoh dari

kemampuan menggambarkan suatu objek. Objek yang terbentuk oleh intensitas

cahaya dalam titik yang berbeda membentuk visual yang dapat secara langsung

mempengaruhi arah gerak hewan. Pergerakan ikan yang bersifat fototaksis

negatif seperti pada larva Calliphora dan pergerakan yang tidak teratur pada ikan

buta. Daerah gelap dapat mempengaruhi reseptor pada otak yang juga

berpengaruh terhadap cahaya.

Menurut Bastiawan et al. (2001) dalam Mas’ud (2013), darah sangat

bermanfaat sebagai alat diagnostik di dalam menetapkan status kesehatan ikan.

Aspek dari infeksi adalah terjadinya pada perubahan gambaran darah. Darah

mengalami perubahan yang serius khususnya apabila terkena penyakit infeksi.

Pemeriksaan darah dapat digunakan sebagai indikator untuk keparahan suatu

penyakit tertentu. Parameter yang dapat memperlihatkan perubahan patologi

pada darah antara lain adalah pada kadar hematrokit, hemoglobin, jumlah sel

darah merah dan jumlah sel darah putih.

Sistem saraf vertebrata dan invertebrata mempunyai tujuan yang sama,


3

yaitu untuk menerima rangsangan dari lingkungannya. Berdasarkan pernyataan

Castro dan Huber (2007) dalam Muhammad et al. (2012), bahwa sistem saraf

vertebrata dan invertebrata memiliki susunan yang kompleks. Sistem saraf yang

memiliki susunan komplek lebih berpusat kesatu atau beberapa ganglia untuk

mengkoordinasikan dan menyimpan informasi yang diterima dari lingkungan,

misalnya moluska dan arthropoda.

Endokrinologi adalah studi tentang kelenjar tertentu yang dikenal sebagai

kelenjar endokrin dan bagaimana kelenjar ini mengatur fisiologi dan perilaku

individu hewan dan populasi. Sistem endokrin dasar untuk kemampuan

organisme untuk beradaptasi dengan lingkungannya baik ekologi dan hal evolusi.

Ekologi dan evolusi sebagai perantara kimia antara lingkungan dan organisme.

Fisiologi dalam satu waktu melihat sistem saraf dan endokrin sebagai unit

peraturan diskrit masing-masing dengan hubungan kimia. Neurontransmitter

dilepaskan dari neuron mudah dibedakan dari suatu hormon yang disekresikan

ke dalam darah (Yadav, 2008).

Menurut McBride et al. (2013) dalam Mirghiyasi et al. (2016), kematangan

gonad biasanya digolongkan dengan metode makroskopis. Pengamatan secara

makroskopik dapat dilakukan dalam penentuan tingkat reproduksi secara detail.

Pengamatan secara makroskopik dilakukan dengan cara memeriksa karakter

seperti ukuran gonad, warna, tekstur. Pengamatan makroskopik dapat dilakukan

dengan pengamatan histologis. Pengamatan histologi gonad merupakan teknik

mikroskopis yang menghabiskan waktu yang lama, akan tetapi dapat

memberikan penilaian yang tepat dan menggambarkan proses yang lebih rinci

dari oogenesis dan kematangan gonad. Analisis secara histologi pada gonad

dapat memberikan penentuan lebih tepat. Pengamatan secara unit seluler dapat

digunakan untuk mengamati pertumbuhan folikel dan jaringan ovarium serta

dapat memgamati penggolongan dan penafsiran tingkat reproduksi.


4

Fisiologi hewan air adalah Ilmu yang mempelajari fungsi, mekanisme dan

cara kerja dari organ, jaringan dan sel dari suatu organisme (ikan sebagai hewan

air). Osmoregulasi penting dilakukan terutama oleh organisme air, karena

terdapat keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan. Ikan bernafas

menggunakan insang sebagai organ respirasi untuk membantu mengikat oksigen

yang terlarut dalam air dan membuang kelebihan karbondioksida. Sistem

pencernaan pada ikan tentu saja berbeda dengan hewan darat lainnya, secara

umum alat-alat pencernaan ikan meliputi, rongga mulut, pangkal tenggorokan

(faring), kerongkongan (esofagus), lambung, usus, anus. Ikan memiliki sifat

fototaksis positif dan negatif. Pengaruh sistem respon pada ikan berpengaruh

pada warna perairan atau cahaya yang gelap atau terang. Kondisi darah ikan

umumnya berfungsi sebagai standar untuk mempelajari fisiologi, patologi dan

toksikologi ikan. Perubahan darah tergantung pada jenis ikan, umur, siklus

kematangan gonad dan penyakit. Sistem saraf pada ikan mempunyai tiga

macam peranan vital, yaitu orientasi terhadap lingkungan luar, menerima

stimulus dari luar dan meresponnya, mengatur agar kerja sekalian sistem dalam

tubuh bersesuaian, dengan bantuan kerja kelenjar endokrin dan tempat ingatan

dan kecerdasan. Sistem endokrin disusun oleh kelenjar-kelenjar endokrin.

Kelenjar endokrin mensekresikan senyawa kimia yang disebut hormon. Hormon

merupakan senyawa protein yang mengatur kerja proses fisiologis tubuh.

Perbedaan seks sekunder ikan biasanya lebih terlihat pada gonadnya untuk

membedakan apakah ikan itu jantan atau betina.


5

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang terdapat pada Praktikum Fisiologi Hewan Air

adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaruh salinitas yang berbeda terhadap proses

osmoregulasi pada ikan?

b. Bagaimanakah pengaruh perlakuan suhu yang berbeda terhadap proses

respirasi pada ikan?

c. Bagaimanakah pengaruh pakan yang berbeda terhadap nilai Digestibility dan

Gastric Evacuation Time (GET) pada ikan?

d. Bagaimanakah pengaruh pemberian warna yang berbeda terhadap

perubahan warna pada tubuh ikan?

e. Bagaimanakah pengaruh pemberian cahaya terhadap fototaksis pada ikan

yang berbeda?

f. Bagaimanakah komposisi penyusun darah pada ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus)?

g. Bagaimanakah pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap respon saraf

ikan dan udang?

h. Bagaimana pengaruh pemberian hipofisa pada laju keluarnya sel telur dari

ovarium ke perairan?

i. Bagaimana pengaruh penambahan asetokarmin dalam menentukan tingkat

kematangan gonad pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) betina?

1.3 Tujuan

Tujuan dilakukannya Praktikum Fisiologi Hewan Air adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh salinitas yang berbeda terhadap proses

osmoregulasi pada ikan.


6

2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan suhu yang berbeda terhadap proses

respirasi pada ikan.

3. Untuk mengetahui pengaruh pakan yang berbeda terhadap nilai Digestibility

dan Gastric Evacuation Time (GET) pada ikan.

4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian warna yang berbeda terhadap

perubahan warna tubuh pada ikan.

5. Untuk mengetahui pengaruh pemberian cahaya terhadap fototaksis pada

ikan yang berbeda.

6. Untuk mengetahui komposisi penyusun darah pada ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus).

7. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap respon saraf

ikan dan udang.

8. Untuk mengetahui pengaruh pemberian hipofisa pada laju keluarnya sel telur

dari ovarium ke perairan.

9. Untuk mengetahui pengaruh penambahan asetokarmin dalam menentukan

tingkat kematangan gonad pada ikan mas (Cyprinus carpio) betina.

1.4 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi dan Respirasi

dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 24 September 2016, pukul 06.00 - 18.00

WIB. Praktikum materi Pencernaan dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 1

Oktober 2016 pukul 07.00 – 18.00 WIB di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi

Reproduksi Ikan, gedung D Lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Brawijaya, Malang. Praktikum materi Pewarnaan tubuh dan

fototaksis, Hematologi dan Sistem Saraf dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal

15 Oktober 2016 pukul 06.00 – 21.00 WIB dan hari Minggu tanggal 16 Oktober

2016 pukul 06.00 – 12.00 WIB di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi
7

Ikan dan Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Penyakit dan Kesehatan Ikan,

gedung D Lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya,

Malang. Praktikum materi Endokrinologi dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 2

Oktober 2016 pukul 06.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi

Reproduksi Ikan, gedung d lantai 1 dan Laboratorium Hidrobiologi Divisi

Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, gedung C lantai 1, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang. Praktikum materi Pewarnaan

Tubuh dan Pengamatan Gonad Betina pada hari Minggu tanggal 23 Oktober

2016 pukul 06.00 – 12.00 WIB di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi

Ikan, gedung D lantai 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Brawijaya, Malang.
8

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osmoregulasi

2.1.1 Pengertian osmoregulasi

Osmoregulasi adalah proses adaptasi untuk menjaga keseimbangan

cairan dan elektrolit dalam tubuh ikan terhadap lingkungan yang berubah-ubah.

Osmoregulasi penting baik untuk ikan laut maupun ikan air tawar. Ikan laut

membutuhkan asupan air tinggi, karena banyaknya air yang hilang dalam proses

osmosis maupun pergerakan air keluar tubuh ikan. Ikan air tawar tidak

memerlukan asupan air tinggi, tetapi mereka perlu secara aktif menyerap ion dari

lingkungan dikarenakan rendahnya konsentrasi ion dibandingkan lingkungannya.

Ikan laut dan ikan air tawar memiliki adaptasi yang berbeda pada proses

osmoregulasi, sehingga jumlah penyerapan unsur yang mungkin tersedia dari

lingkungan berbeda (Webb et al., 2012).

Menurut William et al. (2013), osmoregulasi adalah proses homeostasis

yang penting untuk mengatur cairan tubuh. Osmoregulasi juga mengatur

konsentrasi ion untuk memelihara fungsi-fungsi dari organ. Identifikasi

komponen-komponen molekuler yang terlibat dalam proses ini sangat penting

untuk memahami fungsi dasar sel. Ilmu yang mempelajari tentang mekanisme

osmoregulasi pada ikan euryhaline sangat penting, karena ikan euryhaline

adalah ikan yang hidup di rentang salinitas yang berubah-ubah. Ikan euryhaline

harus memiliki sistem osmoregulasi yang berkembang dengan baik untuk

transportasi cairan dan ion.

2.1.2 Pengertian Osmosis

Menurut Wimalawansa (2013), osmosis didefinisikan sebagai bagian

spontan atau difusi pasif dari air atau pelarut yang melalui membran

semipermeable akibat tekanan osmotik. Cairan bergerak dari konsentrasi rendah


9

ke konsentrasi tinggi melewati membran semipermeabel. Proses osmosis,

larutan dengan konsentrasi rendah tertarik menuju larutan dengan konsentrasi

tinggi, sehingga terjadi titik seimbang pada konsentrasi larutan.

Menurut Helfer et al. (2014), osmosis adalah pergerakan air (pelarut)

melalui membran semipermeabel dari larutan berkonsentrasi lebih tinggi menuju

larutan berkonsentrasi lebih rendah. Larutan yang konsentrasi pelarutnya lebih

tinggi disebut dengan larutan pemberi, sedangkan larutan yang konsentrasi

pelarutnya lebih rendah disebut dengan larutan penerima. Membran

semipermeabel memungkinkan lewatnya pelarut dari larutan pemberi dan

menahan molekul zat terlarut dan ion. Tekanan osmotik adalah tekanan yang

akan menghentikan pergerakan larutan yang melalui membran semipermeabel

sampai kedua larutan tersebut mencapai keseimbangan.

2.1.3 Pengertian Difusi

Difusi adalah pergerakan molekul dari konsentrasi yang lebih tinggi ke

konsentrasi lebih rendah. Difusi terjadi pada molekul-molekul kecil, bersifat

hidrofobik, molekul tanpa muatan seperti oksigen atau karbon dioksida. Zat yang

larut pada lemak, seperti alkohol, juga mampu masuk melalui membran. Molekul

yang larut pada air masuk melewati membran secara pasif melalui pori-pori

dengan proses yang disebut difusi terfasilitasi (Kettler et al., 2014).

Menurut Tanziyah (2015), proses difusi bertujuan untuk menyeimbangkan

konsentrasi cairan dalam tubuh. Proses difusi pada molekul yang berukuran

besar dapat melewati membran sel tanpa bantuan protein pembawa, sedangkan

pada proses difusi terfasilitasi membutuhkan bantuan protein pembawa, jadi

difusi berlangsung secara spontan. Proses difusi molekul yang berukuran kecil

dapat melewati membran sel tanpa bantuan protein pembawa, sedangkan pada

proses difusi terfasilitasi membutuhkan bantuan protein pembawa. Difusi dengan

protein pembawa mengangkut molekul polar seperti asam amino dan glukosa.
10

2.1.4 Transpor pada Membran

a. Pengertian Transpor Aktif beserta gambar

Proses yang terjadi dalam tubuh hewan selalu menyertakan perubahan

energi. Transpor aktif pada ikan merupakan bagian dari osmoregulasi dimana

perpindahan energi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Transpor aktif

membutuhkan sumber energi secara langsung yang berasal dari pemecahan

Adenosin Trifosfat (ATP). Proses traspor aktif membutuhkan banyak energi.

Transpor aktif juga digunakan oleh ikan untuk menjaga konsentrasi garam dalam

tubuhnya. Kadar garam yang lebih di dalam tubuh ikan harus digunakan atau

diekskresikan (Pamungkas, 2012).

Transpor aktif merupakan kemampuan suatu sel untuk mempertahankan

konsentrasi internal molekul kecil yang berbeda dari konsentrasi lingkungannya.

Misalnya, dibanding dengan sekelilingnya, sel hewan memiliki konsentrasi ion

natrium yang jauh lebih sederhana. Membran plasma membantu

mempertahankan perbedaan konsentrasi yang besar dengan memompakan

natrium ke luar dari sel dan kalium kedalam selnya (Campbell et al., 2002).

Transpor aktif disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Transpor Aktif (Sudjadi dan Laila, 2006).

b. Pengertian Transpor Pasif beserta gambar

Menurut Dancygier (2010), transpor pasif dapat didefinisikan sebagai

pergerakan molekul dari larutan berkosentrasi tinggi menuju larutan

berkosentrasi rendah. Kation dan anion bergerak sepanjang gradien yang


11

bermuatan listrik dari negatif ke positif. Pergerakan ini berjalan secara kontinyu

hingga keadaan seimbang. Bentuk paling sederhana dari pergerakan ini adalah

difusi bebas.

Transpor pasif lebih bergantung pada gradien konsentrasi dibandingkan

dengan produksi energi untuk memindahkan molekul. Salah satu jenis transpor

pasif adalah difusi sederhana, yang sepenuhnya disebabkan oleh gradien

konsentrasi. Sistem difusi pasif juga membutuhkan protein pembawa tanpa

menggunakan ATP (Naoki et al., 2012). Transpor pasif disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Transpor Pasif (Dancygier, 2010).

2.1.5 Organ-organ Osmoregulasi

a. Insang

Insang ikan merupakan organ penting bagi proses pertukaran gas,

regulasi ionik, penyesuaian asam-basa, serta ekskresi limbah nitrogen. Sel

mitokondria, sel pembatas, sel-sel mukosa, dan sel-sel neuroepithelial terdspst

pada insang ikan. Sel pembatas berfungsi dalam pertukaran gas makhluk hidup

dan menyusun 90% dari insang. Sel mitokondria ini bertanggung jawab untuk

regulasi ion dan asam-basa (Oğuz, 2015).

Menurut Nofyan et al. (2011), insang berperan dalam proses respirasi,

keseimbangan asam basa, regulasi ionik dan osmotik karena adanya jaringan

ephitelium branchial yang menjadi tempat berlangsungnya transport aktif antara


12

organisme dan lingkungan. Insang merupakan organ yang rentang terhadap

toksin. Insang merupakan organ pertama tempat penyaringan air yang masuk

kedalam tubuh ikan. Air yang mengandung toksikan seperti minyak mentah akan

memberikan dampak pada jaringan ikan tersebut. Toksikan dapat menyebabkan

kerusakan jaringan organisme terutama pada organ yang peka seperti insang

dan usus, kemudian ke jaringan bagian dalam yaitu hati dan ginjal. Insang ikan

disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Insang Ikan. (1) Insang Ikan Karnivora dan (2) Insang Ikan Herbivora
(Alsafy, 2013)

b. Ginjal

Ginjal merupakan organ penting pada proses osmoregulasi. Ginjal

berfungsi menjaga konsentrasi zat terlarut dan jumlah air dalam tubuh ikan.

Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, diketahui bahwa mikro RNA

berperan dalam patogenesis berbagai penyakit ginjal, seperti nefropati diabetik,

hipertensi, glomerulonefritis dan kanker. Mikro RNA-21 pada mamalia dilaporkan

berperan sangat nyata bagi ginjal. Gangguan mikro RNA ini berpengaruh dalam

beberapa proses patologis, seperti fibrosis ginjal, diabetes yang berujung

kerusakan ginjal dan kanker ginjal (Yan et al., 2016).

Ginjal ikan-ikan euryhaline memfilter plasma pada tingkat rendah untuk

menghemat air dan sekresi elektrolit pada saat di laut. Cairan pada tubulus

berkontribusi besar terhadap pembentukan urin, sebagai rute sekretori utama


13

untuk menyerap Mg2+, Ca2+ dan SO42-. Filter ginjal berkerja pada tingkat tinggi

dan menyerap kembali hampir semua zat terlarut yang tersaring pada saat

berada pada air tawar, sehingga menghasilkan urin encer bervolume besar.

Berdasarkan penjelasan di atas, beberapa perubahan histologis terjadi di dalam

ginjal selama adaptasi osmotik yang menyebabkan perubahan dalam efisiensi

pengeluaran, laju filtrasi glomerulus, dan produksi urin pada lingkungan

hiperosmotik atau hipoosmotik (Chenari et al., 2011). Gnjal teleostei dan

elasmobranchii disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Ginjal Ikan Teleostei dan Elasmobranchi (Davidson, 2011).

c. Usus

Menurut Grosell (2011), saluran pencernaan dapat menunjang

kelulushidupan dalam lingkungan hiperosmotik, termasuk peningkatan aktivitas

minum, peningkatan kapasitas penyerapan air, peningkatan aktivitas Na+/K+-

ATPase serta peningkatan beberapa aktivitas enzim yang memungkinkan zat

terlarut maupun air oleh epitel usus. Keberadaan ion H+ dalam usus ikan

teleostei berfungsi sebagai penyaring dasar atau utama saat sekresi yang

terbentuk untuk keseimbangan air dan garam yang terlihat berlawanan atau

kelebihan salah satunya. Pelepasan ion H+ dan pengambilan ion Cl- melalui

pertukaran anion pada epitel usus tidak hanya terjadi pada ikan teleostei laut,
14

namun juga terjadi pada ikan air tawar.

Menurut Genz et al. (2011), keadaan hipersalinitas menyebabkan pola

sistem hipoosmoregulasi bekerja. Perubahan aktivitas minum, tekanan osmotik

cairan, penyerapan oleh epitel usus dan konsentrasi Na+ maupun Cl- serta

aktivitas Na+/K+-ATPase terjadi pada usus dan insang. Tiga respon usus

terhadap proses osmoregulasi saat keadaan hipersalinitas adalah peningkatan

aktivitas minum, peningkatan penyerapan Na+ maupun Cl- oleh epitel usus dan

tingginya konsentrasi ion Mg2+ dan SO42- pada lumen usus. Salinitas tinggi

mengakibatkan Na+, Cl- dan air diserap masuk, sedangkan Mg2+ serta SO42-

menjadi ion-ion dominan di cairan usus sehingga berpotensi membatasi

penyerapan air oleh epitel usus. Usus ikan disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Usus Ikan (Canan et al., 2012).

d. Kulit Ikan

Menurut Pamungkas (2012), ikan air tawar harus selalu menjaga dirinya

agar garam tidak melarut dan lolos ke dalam air. Garam-garam dari lingkungan

perairan akan diserap oleh ikan menggunakan energi metaboliknya. Ikan

mempertahankan keseimbangannya dengan tidak banyak minum air, kulitnya


15

diliputi mucus melakukan osmosis lewat insang menghasilkan urin yang encer

dan memompa garam melalui sel-sel khusus pada insang. Kulit ikan umumnya

merupakan lapisan kedap sehingga garam di dalam tubuhnya tidak mudah bocor

ke dalam air. Ikan air laut banyak kehilangan air dari dalam tubuh melalui kulit

dan kemudian akan mendapatkan garam-garam dari air laut yang masuk lewat

mulutnya.

Permukaan kulit ikan berperan penting dalam pengaturan homeostasis

garam dan air sebagai pembatas antara tubuh dan lingkungannya. Epitel kulit

memiliki fungsi penting untuk mengisolasi bagian yang berbeda antara komposisi

osmotik dan ioniknya. Kulit adalah lapisan penghalang penting untuk mengurangi

ion dan air bagi ikan teleostei laut dan tawar untuk mengatur keseimbangan

osmotik yang berbeda. Konsentrasi ion ikan elasmobranchii sedikit lebih tinggi

daripada ikan teleostei, sehingga kulit cenderung berperan dalam mengurangi

difusi ion dan urea (Glover et al., 2013). Proses Difusi Ion-ion garam pada ikan

disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Proses Difusi Ion-Ion Garam pada Ikan (Kwong et al., 2014).

2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Osmoregulasi

Salinitas merupakan faktor lingkungan dalam bentuk tekananan osmotik

yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisme akuatik. Pengaruh tekanan

osmotik pada pertumbuhan maupun reproduksi ikan dapat terjadi melalui

osmoregulasi. Salinitas berperan sebagai masking factor atau faktor yang dapat
16

memodifikasi faktor lingkungan lain melalui suatu mekanisme pengaturan tubuh

organisme akuatik karena pengaruh osmotik dapat mempengaruhi fisiologis

organisme. Penggunaan energi untuk melakukan berkaitan erat dengan tingkat

kerja osmotik yang dilakukan ikan dalam upayanya untuk melakukan respon

terhadap perubahan tekanan osmotik media. Tingkat kerja osmotik yang semakin

rendah akan menurunkan penggunaan energi untuk osmoregulasi, sehingga

proses reproduksi akan semakin meningkat (Darwisito et al., 2015).

Penggunaan energi yang berhubungan dengan osmoregulasi sangat

dibutuhkan oleh organisme akuatik. Kebutuhan energi yang dibutuhkan untuk

osmoregulasi besar, sehingga menyebabkan pembagian energi yang

dipergunakan untuk pertumbuhan akan semakin kecil, sehingga pertumbuhan

ikan terhambat. Pemanfaatan pakan dalam kaitannya dengan proses

osmoregulasi ikan sangat erat. Tingkat konsumsi pakan akan menurun pada

kondisi media yang hipoosmotik dan hiperosmotik. Penurunan tingkat kerja

osmotik ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan nutrien organik dan

anorganik di dalam haemolymp yang digunakan sebagai bahan untuk

pembentukan jaringan somatik (Gilles, 2004 dalam Kursistiyato et al., 2013).

2.2 Respirasi

2.2.1 Pengertian Respirasi

Respirasi atau pertukaran udara adalah salah satu proses yang yang

penting untuk menjaga keberadaan udara dalam tubuh seluruh makhluk hidup

bertulang belakang, termasuk ikan. Pengangkutan oksigen bersamaan dengan

proses metabolisme materi organik seperti glukosa dan lipid untuk energi pada

proses biokimia pada sel untuk perawatan tubuh sel. Oksigen dapat digunakan

untuk pertumbuhan, pergerakan, reproduksi, dan pertahanan dari penyakit.

Insang merupakan organ yang berperan pada pertukaran udara. Air akan
17

melewati lamellae insang, sehingga oksigen pada lamella insang akan berikatan

dengan hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah dan melepaskan

karbondioksida untuk berikatan dengan air dan membentuk HCO 3-. Sel darah

merah juga memiliki fungsi penting dalam pengangkutan oksigen (Farrel, 2011).

Sistem respirasi atau pernapasan adalah proses pengikatan oksigen (O2)

dan pengeluaran karbon dioksida (CO2) oleh darah melalui permukaan alat

pernapasan. Oksigen sebagai bahan pernapasan dibutuhkan oleh sel untuk

berbagai reaksi metabolism. Kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh

kemampuannya memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya. Proses

pernapasan pada ikan adalah dengan cara membuka dan menutup mulut secara

bergantian dengan membuka dan menutup tutup insang. Mulut ikan membuka,

mengakibatkan air masuk ke dalam rongga mulut sedangkan tutup insang

menutup. Oksigen yang terlarut dalam air masuk secara difusi ke dalam

pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam insang, sedangkan pada waktu

tutup insang membuka, air rongga mulut keluar melalui insang. Bersamaan

dengan keluarnya air melalui insang, karbondioksida dikeluarkan. Pertukaran

oksigen dan karbondioksida terjadi pada lembaran insang (Mahyuddin, 2007).

2.2.2 Mekanisme Respirasi

Menurut Svobodová et al. (1993), ikan mendapatkan oksigen yang

mereka gunakan untuk proses metabolisme dari oksigen yang terlarut dalam air.

Daya larut oksigen di perairan rendah dan tergantung pada suhu menyebabkan

Ikan harus memiliki mekanisme pernapasan yang luas dan efisien. Mekanisme

pernapasan pada saat oksigen rendah adalah air mengalir melalui saringan dari

plat paralel, masing - masing plat, atau lamela sekunder, yang terdiri dari

lembaran tengah sel pilar dengan sisi cekung yang membentuk ruang darah.

Respon ikan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah adalah melalui dua cara:

aliran darah dapat naik dengan membuka lamela sekunder untuk meningkatkan
18

efektifitas area pernapasan dan konsentrasi sel darah merah dapat ditingkatkan

untuk menaikkan kapasitas oksigen di darah per volume, selanjutnya untuk

mengurangi volume plasma darah di waktu yang singkat dan dengan melepas

kelebihan sel darah merah dari limpa untuk jangka waktu yang panjang. Waktu

yang bersamaan, karbondioksida berdifusi dari darah ke ruang interlamela dan

pada saat ikan beristirahat, cadangan pernapasan lebih dari cukup untuk

kebutuhan oksigen dalam darah. Kecepatan ventilasi naik untuk membawa lebih

banyak air untuk kontak dengan insang. Mekanisme pernafasan pada ikan

disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme Pernafasan pada Ikan (Park et al., 2014).

Menurut Rahmawati (2012) dalam Putra et al. (2014), proses respirasi

pada ikan adalah dengan membukanya mulut, sehingga terdapat sedikit tekanan

negatif dalam rongga mulut maupun rongga insang, begitu mulut ditutup, tekanan

dalam rongga mulut meningkat (menjadi positif), air didorong masuk rongga

insang dan selanjutnya mendorong operkulum sehingga air keluar rongga

insang. Tekanan dalam rongga mulut dari rongga insang menjadi lebih kecil

daripada tekanan air di luar tubuh, sehingga tutup insang menutup kembali. Air

masuk ke dalam rongga maka oksigen yang terlarut dalam air masuk berdifusi ke

dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam insang dan karbondioksida

di keluarkan.
19

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respirasi

a. Faktor Internal

Menurut Putra et al. (2014), insang merupakan komponen penting dalam

proses pertukaran gas yang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang

mengeras dengan beberapa filamen insang didalamnya. Filamen insang terdiri

atas banyak lamela yang merupakan tempat pertukaran gas. Kerusakan struktur

mikroanatomi insang menyebabkan ikan sulit bernafas sehingga kandungan

oksigen dalam darah menjadi berkurang. Kandungan oksigen yang rendah pada

perairan akan mengakibatkan ikan mengalami hipoksia sebagai akibat kerusakan

lamela sekunder insang.

Menurut Neelima et al. (2016), respirasi akuatik adalah suatu sistem

untuk memenuhi kebutuhan serapan O2 dalam kondisi yang bersekala. Respon

yang senantiasa berubah dalam pernapasan mungkin disebabkan oleh kesulitan

bernafas akibat dari gangguan metabolisme oksidatif. Insang adalah organ

pernapasan utama bagi ikan jika adanya racun yang berada pada perairan

tersebut, maka insang akan terpengaruh pertama. Faktor internal respirasi pada

ikan adalah organ pernapasan ikan itu sendiri yaitu insang.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan

tempat hidup ikan serta dapat mempengaruhi kehidupan dari ikan tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Ikeda (2016), menunjukan bahwa massa tubuh

dan suhu adalah faktor utama untuk menilai tingkat pernapasan, kedalaman

habitat juga merupakan faktor tambahan untuk menilai tingkat pernapasan ikan

mesopelagic dan ikan bathypelagic. Jenis ikan tertentu menunjukan bahwa

tekanan hidrostatik dapat memberikan efek kecil pada tingkat pernapasan jika

melebihi rentang dari kondisi pada habitat alaminya. Perairan yang asam akan
20

kurang produktif karena kandungan oksigen terlarutnya rendah, yang berakibat

aktivitas pernapasan ikan meningkat dan nafsu makan menurun.

Menurut Francis dan Floyd (2009) dalam Sipahutar et al. (2013),

temperatur air mempengaruhi kelarutan oksigen. Kenaikan temperatur dapat

menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen di perairan. Ikan yang mengalami

kekurangan oksigen maka sistem fisiologis dalam tubuhnya tidak akan berfungsi

dengan baik sehingga dapat menyebabkan stres. Stres dapat berdampak pada

keadaan jaringan dan menimbulkan efek patologis pada hati, limpa, dan insang

sebagai alat pernapasan ikan.

2.2.4 Sumber Oksigen dalam Perairan

Menurut Patty (2014), oksigen terlarut merupakan unsur senyawa kimia

yang sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme dalam suatu

perairan. Oksigen juga merupakan salah satu penunjang utama kehidupan serta

indikator kesuburan perairan. Sumber utama oksigen dalam perairan adalah dari

udara melalui proses difusi dari hasil proses fotosintesis fitoplankton. Oksigen

terlarut digunakan oleh organisme perairan dalam proses respirasi. Kadar

oksigen terlarut dalam suatu perairan akan menurun akibat proses pembusukkan

bahan organik, respirasi, dan reaerasi terhambat.

Oksigen adalah salah satu faktor paling penting di semua jenis ekosistem.

Sumber utama oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) berasal dari atmosfer dan

fotosintesis. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) merupakan parameter penting

yang mempengaruhi proses metabolisme seluruh organisme air. Oksigen terlarut

(Dissolved Oxygen) sangat dibutuhkan oleh organisme yang mempunyai sistem

pernafasan respirasi aerobik. Respirasi aerobik terjadi di dalam mitikondria dan

membutuhkan energi (Wetzel, 1975 dalam Ravindar et al., 2013).

2.2.5 Pengaruh Suhu terhadap Respirasi

Menurut Enzor et al. (2013), suhu merupakan salah satu faktor yang
21

penting dalam pengaturan seluruh proses kehidupan dan penyebaran

organisme, proses metabolisme tejadi hanya dalam kisaran tertentu.

Peningkatan suhu pada lingkungan, mengakibatkan kebutuhan oksigen juga

meningkat dan organisme harus meningkatkan konsumsi oksigen untuk

mengimbangi peningkatan kebutuhan ini. Kebutuhan oksigen yang tidak

terpenuhi mengakibatkan terjadinya hipoksia pada jaringan, sintesis protein

melambat, menghentikan pertumbuhan dan reproduksi. Penggunaan

metabolisme anaerobik telah didokumentasikan sebagai alat umum untuk

melawan stres fisiologis yang mengiringi suhu lingkungan yang meningkat.

Mengingat kapasitas glikolitik terbatas dari notothenioids, terdapat sedikit

keraguan bahwa respon stres awal melibatkan perombakan tempat penyimpanan

energi, dan karenanya, peningkatan tingkat metabolisme, sampai homeostasis

seluler dapat lagi tercapai.

Menurut Aboagye dan Allen (2014), suhu sangat berpengaruh pada

proses respirasi di suatu perairan. Suhu yang sangat tinggi dapat menyebabkan

hipoksia. Penyebab hipoksia antara lain adalah meningkatnya suhu yang

berakibat pada global warming dan kelebihan nutrien yang masuk dari lahan

pertanian. Hipoksia dalam lingkungan perairan bisamengakibatkan stres pada

ikan dan akan berpotensi membunuh ikan tersebut. Suhu yang tinggi

menyebabkan permintaan akan konsumsi oksigen meningkat dan menurunkan

kadar oksigen terlarut. Semakin tinggi suhu di perairan maka kadar oksigen

terlarutnya akan semakin menurun.

2.2.6 Perbedaan Respirasi Ikan Demersal dan Ikan Pelagis

Menurut Brown (2013), ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar

hidupnya menempati dasar perairan, sedangkan ikan pelagis adalah ikan yang

hidupnya di permukaan air. Ikan laut (pelagis) membiarkan mulutnya terbuka dan

menggunakan gerakan majunya untuk mengalirkan air melalui insang. Ikan


22

pelagis ditandai dengan berkurangnya branchiostegial yang bergantung pada

gerak maju mereka saat berenang untuk membasahi insang mereka, ada

permukaan pernafasan luas yang dibagi secara halus untuk ventilasi dengan

sebuah lorong yang relatif lambat dari air. Ikan demersal yang memiliki alat

pernapasan tambahan akan melakukan gerakan naik ke permukaan untuk

mengambil oksigen langsung ke udara saat kandungan oksigen di perairan

rendah. Ikan demersal di sisi lain memiliki area insang lebih kecil tetapi ini

cenderung terlihat lebih luas, tubulus lebih panjang yang secara kuat mendapat

irigasi dari pompa branchiostegial.

Menurut Hughes (1965), beberapa ikan tidak membuat gerakan

pernapasan aktif saat berenang, namun mengandalkan arus yang masuk mulut

sebagai hasil dari gerakan mereka. Mekanisme ini ditemukan di beberapa ikan

dimana mereka tidak mampu mempertahankan oksigenasi yang penuh dalam

darah ketika tidak bisa berenang aktif dalam akuarium. Aliran air yang terdapat di

insang seringkali disebabkan oleh tekanan yang lebih besar dalam mulut dan

dianalogikan sebagai mekanisme tekanan-pompa. Ikan pelagis tidak bergantung

pada arus yang dihasilkan dari gerakan renangnya. Mereka lebih banyak

berpengaruh pada tekanan pompa buccal daripada pompa hisap untuk ventilasi

insangnya. Ikan yang menghabiskan sebagian atau seluruh hidupnya di dasar

laut sangat bergantung pada mekanisme pompa hisap.

2.3 Sistem Pencernaan

2.3.1 Definisi Pencernaan

Menurut Kamal (1994) dalam Hartono et al. (2015), pencernaan adalah

proses yang terjadi didalam saluran pencernaan dengan memecah bahan pakan

menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana. Pemecahan senyawa kompleks

menjadi senyawa sederhana agar dapat diabsorbsi melalui dinding saluran


23

pencernaan. Pecahan senyawa kompleks kemudian masuk kedalam darah dan

diedarkan keseluruh tubuh.

Pencernaan dapat diartikan sebagai persiapan penyerapan makanan.

Pencernaan merupakan pengurangan ukuran partikel secara mekanik

(penggilingan oleh gigi faring atau tenggorokan), enzim pelarut organik, pelarutan

pH anorganik dan emulsifikasi lapisan lemak. Penyerapan makanan mencakup

berbagai proses yang memungkinkan ion dan molekul melewati membran pada

saluran usus ke dalam darah menjadi energi utama untuk melakukan

metabolisme (Lovell, 2012).

2.3.2 Pengertian Digestibility

Kecernaan adalah salah satu cara mengukur efisiensi pakan bagi tubuh

ikan. Faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan meliputi ukuran ikan serta

kondisi fisiologi ikan. Pengukuran kecernaan merupakan usaha menentukan

jumlah zat pakan yang diserap dalam saluran pencernaan (Agustono, 2014).

Menurut Marzuqi dan Anjusary (2013), kemampuan ikan mencerna

sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrien yang terdapat dalam pakan.

Pemanfaatan nutrien berupa protein dan lemak pada pakan sangat erat

hubungannya dengan proses pencernaan. Daya cerna pakan dari suatu

organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah komposisi

pakan, pemberian pakan dan jumlah konsumsi pakan.

2.3.3 Pengertian Gastric Evacuation Time (GET)

Menurut Bascinar dan Cakman (2011), Gastric Evacuation Time dapat

diartikan sebagai jumlah pakan yang dikonsumsi pada waktu tertentu. Data ini

nantinya akan digunakan untuk memperkirakan porsi pakan yang tepat untuk

ikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi Gastric Evacuation Time yaitu suhu,

ukuran ikan, tipe pakan, jumlah pakan dan kualitas pakan.

Menurut De et al. (2016), Gastric Evacuation Time merupakan komponen


24

esensial untuk memperkirakan nilai pakan ikan, energi dan kegiatan ikan. GET

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu air, ukuran tubuh ikan dan

komposisi pakan. Suhu perairan dan komposisi pakan adalah faktor yang paling

berpengaruh terhadap GET (Gatric Evacuation Time).

2.3.4 Proses Pencernaan

a. Fisika

Menurut Day et al. (2011), hampir semua hewan vertebrata mempunyai

saluran pencernaan dengan beberapa fungsi dasar yang sama, seperti esofagus

untuk mengolah, lambung untuk mencerna, usus sebagai penyerap dan rektum

sebagai tempat dikeluarkannya zat sisa, dan dibantu oleh organ pencernaan

tambahan seperti hati, empedu dan pankreas. Fungsi utama dari lambung

adalah menerima makanan dan mencernanya baik secara mekanis maupun

kimia melalui denaturasi protein dan proses hidrolisis. Ikan herbivora melakukan

pencernaan secara mekanis yang dilakukan oleh sepasang rahang kuat pada

faring serta gerakan cepat melalui usus yang pendek agar dapat terserap secara

maksimal.

Menurut Onyeche et al. (2013), pada pencernaan fisika, panjang mulut

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya makanan yang masuk

ke dalam tubuh ikan. Jenis ikan tertentu memiliki struktur seperti gigi di bagian

belakang tenggorokan yang berfungsi untuk mencincang atau melumat makanan

menjadi lebih kecil sebelum ditelan. Proses ini bertujuan untuk membuat

makanan menjadi lebih mudah dicerna oleh tubuh dengan bantuan enzim. Ikan

predator umumnya memiliki mulut yang lebih besar daripada omnivora.

b. Kimia

Menurut Xiong (2011), proses pencernaan kimia, pencernaan karbohidrat

dimulai dari lambung karena adanya aktifitas enzim amilase. Akivitas enzim

amilase tertinggi terjadi di pankreas dan bagian arterior dari usus. Enzim
25

protease memiliki aktivitas tertinggi pada bagian arterior usus berbeda dengan

enzim amilase. Aktivitas dari enzim pepsin juga tinggi sehingga menyebabkan

pada beberapa ikan memiliki lambung yang lebih berotot.

Menurut Grossel et al. (2011), pencernaan adalah proses hidrolisis dan

solubilisasi dari nutrien polimer yang dicerna menjadi molekul dan elemen yang

sesuai untuk transpor ke seluruh dinding intestinal. Enzim pencernaan

disekresikan dari lambung dan eksokrin pankreas sebagai enzim hidrolisis utama

untuk makanan polimer kompleks, seperti protein, lemak, karbohidrat ke fragmen

yang lebih sederhana. Hasil pecahan sederhana tersebut, akan dicerna oleh

epitelium yang terdapat di intestinal pencernaan. Proses ini akan menghasilkan

molekul kecil yang cukup untuk diabsorbsi seperti peptida, asam amino,

monosakarida dan asam lemak.

2.3.5 Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan pada Ikan dan Gambar

Menurut Hassan et al. (2014), sistem pencernaan memiliki dua fungsi

yaitu, sebagai saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Saluran

pencernaan, struktur pencernaan ikan meliputi mulut, esofagus, perut dan usus.

Organ kelenjar pencernaan ikan terdiri dari hati dan pankreas.

a. Mulut

mulut terdapat rahang dan gigi yang berguna untuk menghancurkan

makanan.

b. Esofagus

Esofagus berguna untuk jalan masuknya makanan menuju usus.

c. Perut

Perut berguna untuk mencerna dan menyimpan makanan, selain itu perut

dapan digelembungkan agar dapat menampung banyak makanan.


26

d. Usus

Usus adalah tempat terjadinya proses pencernaan selanjutnya dimana sari

makanan diserap oleh enzim pada usus.

Menurut Namulawa et al. (2011), sistem pencernaan pada ikan teleostei

berbentuk seperti pipa yang berlapis. Sistem pencernaan pada ikan terdiri dari

mulut, faring, esofagus, perut, usus dan rektrum. Struktur dari perut ikan

herbivora berbeda dengan struktur perut kanivora. Herbivora memiliki perut yang

kecil namun pada karnivora memiliki struktur perut yang kuat. Ikan karnivora

dapat mencerna makanan yang lebih berat dari pada ikan herbivora. Saluran

Pencernaan pada ikan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Saluran Pencernaan pada Ikan (Vajhi et al., 2012).

2.3.6 Perbedaan Ikan Menurut Kebiasaan Makan

a. Herbivora

Menurut Zuliani et al. (2016), kebiasaan makan ikan dapat diprediksi dari

perbandingan panjang saluran pencernaannya dengan panjang total tubuhnya.

Ikan herbivora saluran pencernaannya beberapa kali panjang tubuhnya dapat

mencapai lima kali panjang tubuhnya, sedangkan panjang usus ikan karnivora

lebih pendek daripada panjang total tubuhnya dan panjang usus ikan omnivora

hanya sedikit lebih panjang daripada total panjang tubuhnya. Panjang usus relatif

untuk ikan herbivora yaitu > 3.

Menurut Naquib et al. (2011), pada ikan-ikan herbivora sering ditemukan

adanya saluran pencernaan termodifikasi seperti perut asam, usus yang panjang
27

dan adanya pyloric caeca. Ikan herbivora tertentu tidak memiliki lambung pada

saluran pencernaannya. Proses hidrolisis asam tidak berperan dalam

pencernaan dinding sel tumbuhan. Ikan-ikan yang tidak memiliki saluran

pencernaan mengandalkan sebuah organ penggiling pada faring untuk memecah

dinding sel tumbuhan.

b. Karnivora

Menurut Pond dan Bell (2005), karnivora adalah organisme atau makhluk

hidup yang mendapatkan energi yang berasal dari daging atau jaringan hidup

makhluk hidup lain. Hewan karnivora tidak dapat membuat makannya sendiri

(fotosintesis) melainkan memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan memakan

mangsanya. Ikan karnivora memiliki kekurangan yakni tidak mampu mensintesis

niacin dari tryptophan. Contoh ikan yang merupakan ikan karnivora adalah Ikan

Rainbow trout dan Ikan Coho salmon.

Menurut Murtidjo (2002), ikan pemakan daging disebut dengan karnivora.

Banyaknya spesies ikan karnivora, terdapat perbedaan jumlah makanan yang

dikosumsi. Jenis makanan yang dikonsumsi didasarkan pada ukuran dan

nutrisinya. Ikan karnivora pemakan udang-udangan akan relatif membuang sisa-

sisa maknaan yang tidak tercerna. Ikan karnivora adalah ikan pemakan daging

yang relatif lebih sedikit membuang makanan yang yang tidak tercerna.

c. Omnivora

Menurut Kordi (2010), ada beberapa ikan yang termasuk ke dalam

golongan ikan pemakan segala atau yang disebut omnivora. Ikan yang termasuk

golongan omnivora antara lain ikan bawal air tawar, ikan betok, ikan gurame,

ikan mujaer, ikan nila, ikan patin, ikan sepat dan ikan tambakan. Fase larva

hingga dewasa, kebiasaan makan beberapa ikan berubah mengikuti tingkatan

umur dan penyesuaian bukaan mulut ikan. Ikan nila pada fase benih memakan
28

fitoplankton dan zooplankton seperti Rototaria, Copepoda, dan Clodocera. Fase

juvenile ditemukan macam-macam jasad didalam perut ikan nila seperti

Soelastrum, Scenedesmus, Dictiota, Oligochaeta, larva Chironomous dan

sebagainya. Ikan nila dewasa mengumpulkan makanan dengan bantuan mucus

(lendir) sehingga makanan akan membentuk gumpalan agar tidak mudah keluar.

Menurut Corbet (1961) dalam Omondi et al. (2013), ikan pemakan segala

disebut ikan omnivora. Ikan yang termasuk golongan omnivora yaitu Lungfishes,

Proptopterus spp telah diklasifikasikan sebagai hewan omnivora. Makanan

utama dari ikan tersebut adalah serangga, Krustasea, Annelida, Molusca, ikan

kecil, detritus dan bahan organik lain diperairan.

2.3.7 Jenis Pakan

a. Pakan Alami

Menurut Basri (2013) dalam Maryam et al. (2015), pakan alami adalah

pakan ikan yang berupa organisme air seperti, fitoplankton dan zooplankton.

Pakan alami mempunyai kandungan gizi yang lengkap, mudah dicerna dalam

saluran pencernaan, tidak menyebabkan penurunan kualitas air. Contoh dari

pakan alami adalah kelompok Cladocera. Kelompok ini paling sering digunakan

sebagai pakan alami karena ukurannya yang kecil, perkembangan cepat, serta

mengandung nutrisi tinggi.

Menurut Coroian et al. (2015), pakan alami mengandung banyak protein,

asam amino bebas, lemak dan vitamin. Kandungan-kandungan tersebut berguna

bagi pertumbuhan dan perkembangan ikan. Ikan mas yang berada di kolam

biasanya memakan pakan alami yang berupa zooplankton (Rotifera, Cladocera,

dan Copepoda).

b. Pakan Buatan

Pakan buatan adalah campuran dari berbagai sumber bahan baku yang
29

disusun secara khusus berdasarkan komposisi yang dibutuhkan untuk digunakan

sebagai pakan. Berdasarkan tingkat kebutuhannya pakan buatan dibagi menjadi

3 yaitu pakan tambahan, pakan suplemen, dan pakan utama. Pakan tambahan

adalah pakan buatan yang diberikan apabila kebutuhan pakan alami kurang

mencukupi bagi ikan. Pakan suplemen merupakan pakan buatan yang dibuat

untuk memenuhi nutrisi tertentu yang tidak disediakan oleh pakan alami. Pakan

buatan sebagai pakan utama merupakan pakan yang sengaja dibuat untuk

menggantikan sebagian besar atau keseluruhan pakan alami atau pakan yang

berasal dari alam (Devani dan Basriati, 2015).

Kegiatan budidaya, pemberian pakan buatan menjadi sangat penting.

Pakan yang diberikan harus kontinyu (terus-menerus), cukup, bermutu dan

memenuhi kebutuhan gizi ikan. Pakan buatan perlu penambahan kandungan-

kandungan yang tidak terdapat dalam pakan alami. Contohnya penambahan

exogenous enzyme pada pakan yang mengandung asam filtrate yang dapat

menghambat penyerapan nutrisi (Rachmawati dan Samidjan, 2014).

c. Pakan Tambahan

Menurut Ajiboye et al. (2012), pakan tambahan dapat dikatakan sebagai

pakan yang dapat mendukung pertumbuhan. Pakan tambahan mengandung

nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan, contohnya antioksidan. Pakan tambahan juga

berfungsi sebagai stimulan pertumbuhan dan penyuplai nutrisi seperti vitamin,

asam amino dan fosfolipid.

Menurut Karpagam dan Krishnaveni (2014), terdapat banyak jenis pakan

tambahan yang tersedia yang dapat meningkatkan pertumbuhan yang digunakan

sebagai pakan tambahan dengan tambahan bahan kimia, seperti hormon dan

antibiotik yang dapat mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan.

Tanaman adalah salah satu sumber pakan alami yang murah dan aman

dibandingkan dengan bahan kimia. Khasiat produk tersebut dapat merangsang


30

aktivitas seperti anti stres, tonik, anti mikroba, perangsang pertumbuhan,

meningkatkan stimulasi, dan stimulasi imun dalam kegiatan budidaya.

2.3.8 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pencernaan

Menurut Hanif et al. (2014), pembudidaya ikan yang ingin

memaksimalkan konsumsi pakan, pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan

harus memperhatikan nafsu makan dan tingkat kekenyangan ikan yang

dibudidayakan. Ikan memiliki perbedaan interval optimum untuk mencerna

makanannya sesuai dengan waktu pengosongan isi perut ikan. Konsumsi pakan

ikan dipengaruhi oleh sejumlah faktor diantaranya adalah ukuran tubuh,

ketersediaan pakan, laju pengosongan lambung, suhu, air, aktivitas dan

kesehatan tubuh ikan.

Menurut Rankin et al. (1983), Gastric Evacuation Time (GET) terjadi

karena 2 faktor yaitu suhu, jenis pakan yang dimakan, serta waktu pengosongan.

Pengosongan dimulai ketika makanan yang ada dalam perut benar-benar

kosong, perut bekerja dengan cara berbeda. Ransang terjadi karena

merenggangnya dinding perut oleh isi makanan, pada saat perut ikan terisi perut

merenggang.

2.3.9 Hubungan Digestibility dan Gastric Evacuation Time

Menurut Yurbo Wu (2013), Gastric Evacuation Time atau proses

pengosongan lambung pada ikan berubah sesuai dengan frekuensi pemberian

pakan. Menurunnya GET biasanya diikuti oleh menurunnya tingkat kecernaan.

Perubahan GET sangat penting karena dapat mempengaruhi efektifitas frekuensi

pakan.

Menurut Geremew et al. (2015), pakan berserat kasar tinggi cenderung

memiliki kandungan nutrisi yang susah dicerna. Kerja enzim sulit untuk mencerna

komponen-komponen yang berserat kasar. Kecernaan yang melambat dapat

meningkatkan Gastric Evacuation Time (GET). Kadar serat yang dapat


31

ditoleransi oleh ikan berkisar antara 8-12%. Akan tetapi, bila hal ini terus

berlanjut, pertumbuhan ikan akan terganggu.

2.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

2.4.1 Pengertian Fototaksis

Menurut Randel dan Jekely (2016), fototaksis merupakan pergerakan

menuju (positif) atau menjauhi (negatif) sumber cahaya. Fototaksis positif

umumnya terjadi pada tahap awal larva ikan pelagis maupun ikan benthic.

Fototaksis pada larva akan berubah menjadi fototaksis negatif pada saat larva

memasuki tahap akhir dan larva akan bermigrasi ke zona benthic sebelum

tahapan larva berakhir.

Menurut Bond (1996) dalam Massure et al. (2015), fototaksis merupakan

pergerakan menuju atau menjauhi sumber cahaya. Fototaksis positif merupakan

pergerakan menuju sumber cahaya. Fototaksis negatif merupakan pergerakan

menjauhi cahaya. Respon ikan terhadap cahaya dapat berubah sesuai dengan

tahap perkembangan ikan. Fototaksis membantu ikan untuk mencari makan dan

menghindari bahaya.

2.4.2 Pengertian Pewarnaan Tubuh pada Ikan

Menurut Burhanuddin (2014), pewarnaan merupakan suatu upaya ikan

untuk mengaburkan pandangan terhadap tubuh ikan. Permukaan tubuh ikan

mempunyai garis-garis warna atau corak kontras yang tidak teratur, sehingga

garis-garis tersebut akan cenderung mengaburkan padangan hewan lain. Ikan

kupu-kupu (Forcipinger longirostris) yang hidup di daerah karang mampu

memecahkan warna tubuhnya menjadi bentuk organ tubuh, warna demikian

dipergunakan untuk memecah bentuk atau mengaburkan bentuk asli ikan.

Menurut Magellan dan Swartz (2012), pewarnaan kripsis merupakan

karakteristik yang dimiliki suatu organism untuk melindungi dirinya agar tidak
32

dikenali oleh predator. Contoh dari pewarnaan kripsis adalah kamuflase.

Kamuflase merupakan suatu kemampuan organisme agar terlihat sama dengan

lingkungannya. Kemampuan kamuflase bergantung pada habitat organisme itu

sendiri. Keberhasilan kamuflase bergantung pada karakteristik organisme

dengan lingkungan tempat hidupnya.

2.4.3 Macam-macam Fototaksis

Menurut Johnson dan Rhyne (2015), fototaksis adalah pergerakan

organisme dikarenakan respon terhadap rangsangan cahaya yang berperan

penting dalam migrasi. Larva bergerak menuju sumber cahaya (fototaksis positif)

pada saat intensitas cahaya rendah dan bergerak menjauhi cahaya (fototaksis

negatif) pada saat intensitas cahaya tinggi. Fototaksis positif membantu larva

untuk tetap berada di kolom perairan untuk penyebaran larva, sedangkan

fototaksis negatif dapat membantu larva melakukan perpindahan kedaerah dasar

untuk mencari makan.

Menurut Ghorai dan Panda (2013), pada perubahan dalam pola

biokonveksi yang disebabkan oleh intensitas cahaya berhubungan dengan

fototaksis. Mikroorganisme motil berenang mendekati sumber cahaya atau bisa

disebut dengan fototaksis positif dan ketika intensitas rendah maka ikan akan

berenang menjauhi sumber cahaya yang disebut dengan fototaksis negatif.

Fototaksis pada ikan yang membedakan antara fototaksis positif dan fototaksis

negatif adalah pada tingkah laku ikan saat ada cahaya.

2.4.4 Sistem Kerja Sel Cone dan Sel Rod

Menurut Ali (1976) dalam Brown et al. (2013), ikan yang aktif pada malam

hari selalu mengutamakan organ penglihatan dalam mencari makanan dan

memiliki kemampuan adaptasi terhadap gelap. Indera utama penerima

rangsangan cahaya pada ikan adalah mata. Retina mata ikan memiliki

fotoreseptor (penerima rangsangan cahaya) yang terdiri dari dua tipe yaitu
33

pigmen cone dan pigmen rod. Pigmen cone berfungsi dalam penglihatan pada

kondisi terang/intensitas tinggi. Pigmen rod berfungsi dalam penglihatan saat

kondisi gelap.

Menurut Emerson et al. (2013), sel fotoreseptor pada vertebrata

merupakan jenis sel yang khusus untuk menerima dan memproses cahaya,

sebagai tahap awal dalam penglihatan. Jenis sel fotoreseptor ada dua yaitu sel

rod dan sel cone. Sel rod digunakan jika intensitas cahaya rendah, sedangkan

sel cone digunakan saat intensitas cahaya tinggi. Sel cone memiliki peranan

penting dalam mentajamkan pengelihatan. Sistem kerja sel cone dan sel rod

disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Sistem Kerja Sel Cone dan Sel Rod (Zupanc dan Sirbulescu, 2011).

2.4.5 Sistem Kerja Sel Cone dan Sel Rod pada Krustasea

Menurut Jenkins (2014), mata udang mantis jauh lebih sensitif terhadap

warna. Mata udang mantis berfungsi membantu mencari mangsa dan

menghindari bahaya di dalam batu karang yang berwarna-warni di habitat tempat

tinggalnya. Mata udang mengalami pekembangan yang lebih matang dari pada

hewan di filum lainnya. Retina mata udang memiliki dua jenis reseptor cahaya

yaitu sel rod dan sel cone. Sel rod berperan dalam penglihatan ketika keadaan

gelap namun tidak dapat membedakan warna. Sel cone berperan dalam

penglihatan saat terang dan membedakan dapat warna. Sel cone bersifat sensitif

terhadap warna yang berbeda. Jumlah sel cone pada mata hewan bervariasi,

udang mantis memiliki 12 sel kerucut.


34

Menurut Susanto et al. (2012), kemampuan udang windu untuk melihat

suatu benda atau obyek di dalam air tergantung pada aktivitas retina matanya.

Retina mata udang windu terdapat sel rod dan sel cone yang mampu menyerap

cahaya dengan baik, Sel cone berfungsi pada saat kondisi intensitas cahaya

terang. Sel rod berfungsi pada saat kondisi intensitas rendah atau gelap.

Pemilihan warna umpan sangat menentukan keberhasilan menjaring di laut. Sel

cone dan sel rod disajikan dalam Gambar 10.

Gambar 10. Sel Cone dan Sel Rod (Matsuda, 2014)

2.4.6 Pengaruh Cahaya terhadap Pergerakan Ikan dan Krustasea

Menurut Susanto dan Hermawan (2013), ikan nila merupakan hewan

nokturnal atau aktif pada malam hari. Ikan nila dapat beradaptasi terhadap

perubahan cahaya lingkunan karena memiliki jumlah sel kon dan sel rod ganda

pada retinanya. Ikan nila memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap

kecerahan dan warna perairan. Kondisi intensitas cahaya lingkungan yang

rendah ikan nila memiliki sensitivitas tinggi terhadap cahaya biru dan hijau.

Warna cahaya memilik pengaruh terhadap pertumbuhan ikan nila. Cahaya warna

merah dan biru dapat mempercepat laju pertumbuhan pada ikan nila. Cahaya

warna kuning tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju

pertumbuhan.

Menurut Forward (1974) dalam Johnson (2015), pada penelitian larva

bentik krustasea menunjukkan nadanya pola berlawanan antara fototaksis


35

negatif pada intensitas cahaya rendah dan fototaksis positif pada intensitas

cahaya tinggi. Pola tersebut juga dipelajari pada larva meroplankton cacing pita.

Peralihan fototaksis negatif pada tingkat cahaya rendah merupakan komponen

dari respon bayangan yang digunakan untuk menghindari predastor dan respon

perilaku dalam migrasi vertikal.

2.4.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Warna pada Ikan

Said et al. (2005) dalam Sembiring et al. (2013), menyatakan bahwa

selain faktor makanan, lingkungan pemeliharaan dapat mempengaruhi

penampakan warna pada ikan. Ikan yang dipelihara pada kondisi terang akan

memberikan reaksi warna yang berbeda dengan ikan yang dipelihara di tempat

gelap karena adanya reaksi melanosom yang mengandung pigmen melanofor

terhadap rangsangan cahaya yang ada, oleh karena itu pola warna yang ada

pada benih ikan klon biak selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga

dipengaruhi oleh faktor pakan, lingkungan atau adanya interaksi genotip dengan

lingkungan.

Menurut Fuji (1969) dalam Shapoori et al. (2012), salah satu daya tarik

yang paling menarik bagi makhluk laut adalah keindahan warna yang mereka

miliki. Warna-warna ini disebabkan oleh makanan dan lingkungan di sekitar ikan.

Ikan harus diberi makan dengan makanan yang dapat menghasilkan warna yang

tepat untuk mereka. Warna pada ikan disebabkan oleh kromatofor yang terdiri

dari kromatin yang biasanya ditemukan pada kulit. Empat kelompok kromatin

utama yaitu (melanin, purin, preidum dan karotenoid) menghasilkan warna pada

jaringan dan kulit pada hewan dan tumbuhan. Karotenoid yang larut dalam

lemak, menghasilkan warna kuning kemerahan pada kulit. Karotenoid juga dapat

menghasilkan warna oranye dan hijau.


36

2.5 Hematologi

2.5.1 Pengertian Hematologi

Menurut Klontz (1994) dalam Noercholis et al. (2013), berpendapat

bahwa hematologi adalah ilmu yang mempelajari aspek anatomi, fisiologi dan

patologi darah. Darah adalah cairan yang terkandung dalam sistem

kardiovaskular. Unsur cairan darah adalah plasma dan unsur-unsur pembentuk

darah adalah eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah antara lain (1)

oksigenasi jaringan, (2) gizi jaringan, (3) pemeliharaan keseimbangan asam-

basa, dan (4) pembuangan produk limbah metabolisme dari jaringan. Disfungsi

pada darah dapat memiliki efek buruk pada aktifitas fisiologis dari seluruh tubuh.

Hematologi digunakan sebagai indeks kesehatan ikan di sejumlah

spesies ikan untuk mendeteksi perubahan fisiologis sesuai perbedaan kondisi

stres seperti polutan, penyakit, logam berat dan hipoksia dan lain sebagainya.

Parameter hematologi berkaitan erat dengan respon hewan terhadap lingkungan.

Indikasi untuk mengetahui bahwa lingkungan di mana ikan hidup dapat

memberikan beberapa pengaruh pada karakteristik darah. Ikan sangat

berpengaruh pada lingkungannya dan rentan terhadap perubahan fisik dan kimia

yang dapat tercermin dalam komponen darah mereka (Ekanem et al., 2012).

2.5.2 Perbedaan Darah Ikan dan Darah Krustasea

Menurut Pal dan Goswami (2007), perbedaan antara darah vertebrata

dan darah invertebrata dilihat dari komposisinya, yaitu darah vertebrata

mengandung plasma pada sel darah putih, sel darah merah dan trombosit yang

tetap. Eritrosit pada invertebrata tidak terbentuk, leukosit dan trombosit

tersuspensi dalam plasma. Pigmen pernafasan pada vertebrata sering

ditemukan di sel darah merah.

Darah ikan dan udang memiliki perbedaan yang cukup nyata. Darah ikan

tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel darah merah
37

(eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Udang memiliki

sistem sirkulasi darah terbuka, karenanya darah dan sel darahnya disebut

hemolimp dan hemosit (Shahkar et al., 2015).

2.5.3 Komponen Penyusun Darah

a. Sel Darah

 Eritrosit

Eritrosit adalah korpuskel-korpuskel kecil yang memberi warna merah

pada darah. Sel darah merah merupakan sel darah yang paling banyak

jumlahnya dibandingkan dengan sel lainnya, dalam keadaan normal mencapai

hampir separuh dari volume darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin,

yang memungkinkan membawa oksigen dari insang dan mengantarkannya ke

seluruh jaringan tubuh (Fawcett, 2002 dalam Putri et al., 2013).

Menurut Yilmaz et al. (2015), sel-sel darah merah ikan dianggap sebagai

tempat sirkulasi didalam inti sel. Sel darah merah ikan adalah sel inti dari

hemoglobin ikan, bentuknya oval, rata, dan seperti lempeng atau gepeng.

Ukuran inti selnya berbeda-beda antara setiap spesies secara signifikan. Bentuk

yang paling jelas adalah bentuk sabit yang terdapat menyebar pada ikan.

Konsentrasi tinggi hemoglobin (Hbs) dalam sel darah merah mengoptimalkan

transportasi oksigen atau (O2) ke dalam jaringan. Eritrosit pada Oreochromis

niloticus disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Eritrosit pada Oreochromis niloticus (Harabawy dan Mosleh,


2014)
38

 Leukosit

Menurut Moyle dan Cech (2004) dalam Royan et al. (2014), leukosit

merupakan sel darah yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Leukosit

membantu membersihkan tubuh dari benda asing. Faktor yang mempengaruhi

jumlah sel darah putih adalah kondisi dan kesehatan ikan. Kondisi kesehatan

ikan yang menurun akan menghasilkan lebih banyak leukosit. Leukosit yang

dihasilkan untuk memfagosit bakteri dan mensintesa bakteri.

Menurut Noercholis et al. (2013), leukosit merupakan sel darah yang

mempunyai fungsi menghilangkan benda asing (termasuk mikroorganisme

patogen). Bentuk sel darah putih adalah lonjong hingga bulat. Leukosit terdiri dari

agranulosit dan granulosit. Agranulosit yang terdiri dari monofit dan limfosit,

sedangkan granulosit terdiri dari heterofil, eosinofil, dan basofil. Faktor-faktor

yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah kondisi dan kesehatan ikan. Leukosit

disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Leukosit (Triphathi, 2014).

 Trombosit

Trombosit terbentuk didaerah sumsum tulang belakang. Fungsi trombosit

adalah untuk membantu menghentikan proses pendarahan. Trombosit adalah

bagian yang terkecil dari tiga besar jenis sel, dan hanya sekitar 20% dari

diameter sel darah merah, yang terdapat paling banyak pada sel darah.
39

Kapasitas trombosit normal adalah 150,000- 350.000 per mikroliter darah, tetapi

karena trombosit sangat kecil, maka dari itu trombosit hanya sebagian kecil dari

penyusun volume darah (Okoroiwu et al., 2015).

Menurut Sharma et al. (2014), trombosit pada ikan sebanding dengan

trombosit darah mamalia yaitu memainkan peran penting dalam pembekuan

darah dan mencegah kehilangan darah dari pendarahan. Trombosit juga

berperan dalam aksi fagositosis. Penurunan trombosit, tampaknya tidak mampu

untuk berkontribusi pada aktivitas fagositosis ikan di bawah toksisitas Mangan

(Mn) tapi tetap tersedia untuk fungsi utama mereka yaitu pembekuan darah

selama keadaan darurat seperti cedera jaringan perdarahan selama keracunan

logam. Trombosit disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Trombosit (Ito et al., 2014).

b. Plasma Darah

Menurut Maqsood dan Benjakul (2011), plasma darah ikan mengandung

1,2-3% lipid, terutama ditemukan sebagai lipoprotein, yang bisa menjadi sumber

lipid teroksidasi. Komponen dalam plasma darah yang mampu menghambat

oksidasi lipid. Pendarahan pada ikan dapat menyebabkan berkurangnya

sebagian besar darah dari jaringan.

Plasma darah terdiri dari protein yang memiliki variasi berat molekul dan

fungsi. Perbedaan ini tergantung individu dan lingkungan hidupnya terutama

pada tekanan osmotik koloid, suhu maupun pH. Plasma darah juga merupakan

perantara untuk mentransfer copper, iron, iodine dan lipid. Plasma darah
40

merupakan cairan yang jernih berisikan mineral terlarut, hasil pencernaan yang di

absorbsi, hasil buangan jaringan, enzim, antibody dan zat terlarut. Ikan memiliki

kadar protein plasma yang rendah dibandingkan dengan vertebrata pada tingkat

tinggi (Burhanuddin, 2014).

2.5.4 Fungsi Darah

Darah merupakan cairan tubuh khusus pada hewan untuk menyalurkan

zat yang diperlukan seperti nutrisi dan oksigen ke sel-sel serta mengangkut sisa

metabolism dari sel-sel yang sama. Darah terdiri dari plasma dan beberapa jenis

sel. Sel-sel itu termasuk eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan

trombosit (trombosit). Darah memiliki peran penting dalam sistem kekebalan

tubuh setiap organisme. Perubahan parameter darah dapat digunakan sebagai

penentuutama status kesehatan organisme (Amrevuawho et al., 2014).

Menurut Satyantini (2014), sesuai dengan fungsi darah untuk

mengangkut nutrien dan oksigen, maka pada ikan dengan gambaran darah yang

lebih baik diharapkan mampu mendistribusikan nutrien dan oksigen dengan

optimal keseluruh tubuh. Oksigen dan nutrien akan digunakan sel untuk respirasi

dan menghasilkan karbondioksida yang akan selalu bergerak oleh darah untuk

dibawa ke insang. Darah akan selalu bergerak karena memiliki peran yang

sangat penting di tubuh.

2.5.5 Mekanisme Pembekuan Darah

Eosinofil memainkan peran utama di fagositosis. Antigen atau kompleks

antibodi dan terlibat dalam peradangan gumpalan terbentuk dalam kondisi

normal mengalami kontraksi. Serum yang dinyatakan dari bekuan darah

akhirnya gumpalan menjadi lebih padat. Tingginya persentase protrombin, zat

pembekuan darah bertanggung jawab untuk pembekuan darah dan zat yang

disebut tromboplastin yang dirilis oleh trombosit yang juga bertanggung jawab

untuk pembekuan darah. Peningkatan konsentrasi toksikan dan apabila


41

konsentrasi tosikan membuat darah membutuhkan waktu lebih yang lama untuk

proses membeku (Jayaprakas dan Shettu, 2013).

Menurut Arasu et al. (2016), mekanisme pembekuan darah memainkan

peran penting untuk mencegah pendarahan dengan proses yang disebut

koagulasi melalui bantuan trombosit. Mekanisme pembekuan darah adalah

proses mendasar baik pada mamalia dan vertebrata non-mamalia, serupa

denganikan dan mamalia yang lebih tinggi. Pembekuan darah umumnya diawali

dengan peristiwa koagulasi yang melibatkan konversi fibrinogen menjadi fibrin

beku yang tidak larut. Reaksi ini dikatalisis oleh protease sering yang disebut

trombin, yang akan terlepas setelah mengalir kebawah pada proses proteolitik.

Trombin yang dihasilkan pada ikan melibatkan berbagai faktor koagulasi dibantu

oleh vitamin K, sehingga membentuk fibrin beku.

2.5.6 Sistem Peredaran Darah

a. Sistem Peredaran Darah Terbuka

Menurut Monahan-Earley et al. (2013), sistem peredaran darah terbuka

terjadi pada arthropoda (serangga dan krustasea) dan moluska non-

Cephalopoda (kerang dan siput). Sistem peredaran darah terbuka memiliki

volume darah yang lebih besar dan tingkat aliran dan tekanan yang rendah.

Kecepatan dan tekanan darah turun secara tiba-tiba setelah darah dari jantung

dan pembuluh memasuki hemocoel. Sistem terbuka memberikan aliran ke organ

secara berlanjut, sehingga jaringan hati kurang menerima oksigen.

Menurut Reece et al. (2014), dalam sistem peredaran darah terbuka,

cairan peredaran darah disebut hemolymph, juga cairan interstitial yang

menggenangi sel-sel tubuh. Arthropoda, seperti belalang dan beberapa moluska,

termasuk kerang, memiliki sistem peredaran darah terbuka. Kontraksi jantung

memompa hemolymph melalui pembuluh peredaran darah ke sinues saling

berhubungan dengan ruang yang mengelilingi organ. Pertukaran kimia pada


42

sinues terjadi antara hemolymph dan sel-sel tubuh. Relaksasi jantung menarik

hemolymph kembali melalui pori-pori yang dilengkapi dengan katup yang

menutup saat jantung berkontraksi.

b. Sistem Peredaran Darah Tertutup

Sistem peredaran darah tertutup dibatasi oleh ruang vaskuler yang

berbeda. Inflata ditutup dan terbatas pada sistem vaskular. Darah dalam kondisi

sirkulasi tertutup, air, protein darah, dan sel-sel darah putih meresap pada

berbagai tingkat melalui dinding pembuluh menjadi bening. Sirkulasi darah

terbuka dan tertutup termasuk parameter kuantitatif yang menggambarkan

tingkat atau tingkat darah disaring sebelum mencapai sel. Inflata sebanding pada

sirkulasi tertutup vertebrata (Davidson, 2007 dalam Konrad, 2015).

Menurut Reece et al. (2014), dalam sistem peredaran darah tertutup,

cairan peredaran darah yang disebut darah akan mengalir dalam pembuluh dan

terpisah dari cairan interstitial. Jantung memompa darah ke dalam pembuluh

besar yang bercabang ke pembuluh yang lebih kecil untuk masuk ke organ.

Pertukaran kimia antara darah dan cairan interstitial, serta antara cairan

interstitial dan sel-sel tubuh. Annelida dan semua vertebrata memiliki sistem

peredaran darah tertutup. Keuntungan dari sistem peredaran darah tertutup

adalah dapat berjalan pada tekanan yang tinggi, yang memungkinkan

pengiriman O2 dan nutrisi ke sel-sel lebih efektif.

2.5.7 Perhitungan Darah

a. Eritrosit

Menurut Yanto (2015), perhitungan sel darah merah atau eritrosit

berdasarkan metode Klontz yaitu sampel darah diambil dari tabung eppendorf

dengan menggunakan alat hisap eritrosit berupa kapiler dengan batu kecil di

dalamnya berwarna merah hingga garis menunjukkan 0,5 ml. Sampel darah

ditambah dengan larutan hayem hingga larutan mencapai 101 ml, setelah itu
43

larutan dihomogenkan dengan cara menggoyangkannya dengan bentuk angka

delapan. Darah dibuang dua tetes untuk membuang gelembung udara, lalu

diteteskan pada kamar hitung yang ditutup dengan cover glass. Cover glass

diamati di bawah miroskop dengan pembersaran 10x10 dengan lapang pandang

di kotak kecil pada kamar hitung hemacytometer dan dilakukan perhitungan

dengan rumus:

Jumlah eritrosit = n X 104 sel/mm3

Prosedur perhitugan jumlah eritrosit diukur menurut Blaxhall dan Daisley

(1973) dalam Hartika et al. (2014), pertama darah dihisap dengan pipet yang

berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1 (pipet untuk mengukur jumlah

sel darah merah), lalu tambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101,

pengadukan darah didalam pipet dilakukan dengan mengayunkan tangan yang

memengang pipet seperti membentuk angka delapan selama 3-5 menit sehingga

darah tercampur rata. Dua tetes pertama larutan darah dalam pipet dibuang,

selanjutnya teteskan pada haemocytomer tipe Neubauer dan tutup dengan gelas

penutup. Jumlah sel darah merah dihitung dengan bantuan mikroskop dengan

pembesaran 400 x. Jumlah eritrosit total dihitung sebanyak 4 kotak kecil dan

jumlahnya dihitung c rumus:

∑ eritrosit =

b. Leukosit

Perhitungan total leukosit dilakukan menurut metode Svobodova dan

Vyuksova (1991) dalam Lubis et al. (2016), darah pada vakutainer yang telah

dicampur dengan EDTA dihisap dengan pipet hingga tanda 0,5 dan ujung pipet

dibersihkan dengan tisu yang sama hingga mencapai batas angka 11. Pipet

kemudian dikocok kurang lebih selama tiga menit hingga homogen. Larutan yang
44

telah dihomogenkan dibuang dua atau tiga tetes larutan sebelum dimasukkan ke

kamar hitung. Larutan yang telah dimasukkan kekamar hitung ditunggu selama

satu menit, setelah itu leukosit dihitung menggunakan perbesaran 10 atau 40 kali

pada lensa obyektif. Leukosit dihitung menggunakan rumus:

Total leukosit = Jumlah sel terhitung x 50 sel/

Prosedur perhitungan jumlah leukosit diukur menurut Blaxhall dan Daisley

(1973) dalam Putra (2015), pertama darah sampel dihisap dengan pipet yang

berisi bulir pengaduk berwarna putih sampai skala 0,5. Sampel darah

ditambahkan larutan Turk’s sampai skala 11, pipet diayun membentuk angka 8

(sama dengan pengadukan untuk perhitungan jumlah sel darah merah) selama

3-5 menit sehingga darah bercampur rata. Dua tetes pertama larutan darah dari

dalam pipet dibuang, kemudian teteskan larutan pada haemochytometer, setelah

itu tutup dengan gelas penutup. Cairan akan memenuhi ruang hitung secara

kapiler. Jumlah sel darah putih atau leukosit total dihitung dengan bantuan

mikroskop dengan perbesaran 400x. Jumlah leukosit total dihitung dengan cara

menghitung sel yang terdapat dalam 4 kotak kecil dengan jumlah dihitung

menurut rumus:

Menurut Oktafiani et al. (2013), perhitungan analisis sel leukosit diambil

dengan 80µ1 homogenate dan ditambahkan 80µ1 tryphan blue sebagai pewarna

sel kemudian dipipeting. Sebanyak 10 µ1 dari hasil suspensi diletakkan pada

hemocytometer lalu diamati. Perhitungan dilakukan dengan mengamati sel hidup

pada 5 kotak hemocytometer dengan metode zigzag. Hasil dari perhitungan sel

diolah untuk mendapatkan jumlah sel leukosit absolute menggunakan

persamaan berikut: ∑ Total sel = ∑ sel x fp x 104 x 5


45

2.5.8 Perhitungan Hemoglobin

Menurut Okoriwu et al. (2015), prinsip ketika seluruh darah diencerkan

dalam tabung reaksi yang mengandung kalium ferricyanide dan potasium

sianida, sel merah hemolysed dan hemoglobin yang teroksidasi dari fericyanide

ke methaemoglobin yang lebih dikonversi ke dalam larutan yang kemudian

dibaca di spektrofotometer pada panjang gelombang 540Nm. Prosedur 0.02ml

darah diukur dengan hati-hati dengan mikropipet dan dibagikan ke dalam tabung

reaksi yang mengandung 4ml cairan ini. Larutan yang diperoleh dicampur dan

dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit. Spektrofotometer itu ditetapkan pada

panjang gelombang 540Nm. Absorbansi standar cyan methaemoglobin diperoleh

dan kemudian absorbansi berbagai sampel diperoleh berturut-turut. Konsentrasi

hemoglobin dalam sampel diperoleh melalui perhitungan di bawah ini:

Konsentrasi Hemoglobin (g/dl) =

Menurut Oluwakemi et al. (2015), 10μL dari sampel darah dimasukkanke

dalam tabung reaksi yang bersih dengan bantuan pipet mikro, 2.5ml reagen

hemoglobin ditambahkan, campuran dan didiamkan selama 3 menit. Tabung

reaksi lain adalah berlabel kosong dan di dalamnya, reagen dicampur dengan

10μL air suling. Tabung ketiga dengan label standar dan 10μL dicampur dengan

2.5ml pereaksi diperkenalkan ke dalamnya. Absorbansi dibaca di

spektrofotometer dengan besar 540Nm. Konsentrasi hemoglobin dapat diperoleh

menggunakan formula ini digunakan:

Konsentrasi Hemoglobin (g / dl) =


46

2.6 Sistem Saraf

2.6.3 Pengertian saraf

Menurut Kasumyan (2011), bahwa pada ikan jenis telesostei memiliki

sistem saraf. Sistem saraf pada reseptor reseptor yang terletak pada serabut

saraf trigerminal dan spinal. Respon terminal terdiri dari berbagai macam serabut

saraf. Saraf tersebar dalam dermis, epidermis, dan jaringan atau organ. Saraf

saraf terdiri dari sel sachwan, terdiri dari membrane seluler dan sel jaringan.

Sistem saraf terdiri atas serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf

yang saling terhubung. Sistem saraf bertugas mengkoordinasikan tubuh. Menurut

Olsson (2011), sistem saraf terdiri dari berbagai kelas-kelas sel saraf, masing-

masing memiliki fungsi yang berbeda antara lain saraf sensori, intersensorik dan

saraf motorik. Sistem saraf terbagi menjadi 2, yaitu secara morfologi dan

fungsinya. Sel-sel saraf dapat dibedakan dari ukuran dan terbentuk atas sinyal

transmisi serta senyawa kimia lainnya.

Konsentrasi Hemoglobin (g / dl) =

2.6.2 Morfologi otak ikan

Menurut Rahardjo et al. (2011), otak ikan memiliki bagian bagian yang

memiliki fungsi, antara lain:

1. Telensefalon (otak depan) berfungsi sebagai penghiduan berupa bulbus

olfaktorus. Saraf utama adalah saraf olafaktori (saraf cranial I) yang

berhubungan dengan hidung sebagai penerima rangsang.

2. Diensefalon (otak antara) berfungsi sebagai pusat korelasi antara pesan

masuk dan pesan keluar yang berkaitan dengan homeostatis dan sistem

endrokin.

3. Mesensefalon (otak tengah) berfungsi sebagai pusat penglihatan. Tektum

optikum merupakan organ koordinator yang melayani rangsang penglihatan


47

Serebellum (otak belakang) berfungsi mengatur keseimbangan tubuh dalam air,

mengatur tegangan otot dan daya orientasi terhadap ruang.

Ikan memiliki beberapa bentuk serta ukuran otak yang berfungsi

menerima informasi dari rangsangan sensorik dari luar maupun dalam. Otak ikan

dibagi menjadi beberapa bagian. Menurut Broglio et al. (2003); Ullmann et al.

(2010) dalam White and Brown (2015), menerangkan bahwa otak ikan dibagi

menjadi sepuluh bagian yang mengontrol fungsi spesifik; terdiri dari lobus

olfaktori, telenchepalon, tectum optic, mesencephalon, dienchepalon, pituitary,

hypothalamus, cerebellum, sumsum tulang belakang, batang otak dan masih

banyak lagi bagian yang bertugas mengkoordinasikan rangsang yang diterima.

Morfologi otak ikan disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Morfologi Otak Ikan (Meredith et al., 2013).

2.6.3 Morfologi Krustasea

Berdasarkan morfologinya, sistem saraf pada krustasea pada umumnya

berbeda dengan sistem saraf ikan. Sistem saraf pada udang terlihat lebih

sederhana. Menurut Young (1959) dalam Muhammad et al. (2012), morfologi

sistem saraf udang (krustasea) terdiri dari otak dorsal dan tali saraf ventral,

dengan otak punggung lebih lanjut yang dapat dijelaskan dalam protodeuto dan

tritocerebrum.
48

Anatomi otak krustasea disusun oleh dari tiga ganglia pertama pada

ventral tali saraf. Bagian-bagian tersebut antara lain protocerebrum di daerah

anterior otak, deutocerebrum di bagian tengah, dan tritocerebrum di bagian

posterior. Fungsi dasar dari otak krustasea berhubungan dengan aktivitas sel

photoreceptive yang terletak di mata, yang terhubung dengan protocerebrum dan

juga dengan aktivitas chemoreceptive dan sensilla mechanoreceptive terletak di

antenula dan antena, yang terhubung dengan masing-masing deutocerebrum

dan tritocerebrum (Ammar et al., 2013). Morfologi krustasea disajikan pada

Gambar 15.

Gambar 15. Morfologi Krustasean (Tinikul et al., 2011).

2.6.4 Fungsi Masing-masing Sirip pada Ikan

Ikan memiliki sirip dengan berbagai fungsinya. Menurut Campbell (2003),

pada sirip kaudal (ekor) berfungsi mendorong tubuhnya ke depan. Fungsi utama

sirip dorsal adalah untuk menstabilkan tubuh. Fungsi sirip pektoral (di depan) dan

pelvis (dibelakang) yang berpasangan memberikan daya angkat dalam air.

Menurut Maia dan Wilga (2013), sirip dorsal dan anal memiliki fungsi yang

berbeda. Fungsi ini berhubungan sesuai dengan penempatannya pada tubuh.

Sirip dorsal anterior berperan penting sebagai stabilisator selama ikan berenang,

sementara posterior penempatannya di sirip dorsal dan sirip anal yang berfungsi
49

sebagai pendorong. Sirip dorsal pertama berfungsi sebagai stabilisator yang

memungkinkan ikan dapat bergerak bebas, sedangkan sirip dorsal kedua

sebagai pendorong dan pergerakan ikan.

2.6.5 Sistem Saraf pada Ikan dan Fungsinya

Fungsi utama sistem saraf sangat berkaitan satu sama lain. Salah

satunya terhadap tingkah laku dan adaptasi ikan yang diawali dengan tanggapan

pada rangsang yang diperoleh. Rangsang yang telah diterima berupa impuls

akan diteruskan ke sistem saraf pusat, pesan-pesan tersebut lalu diubah di

sistem saraf pusat, lalu impuls ini ditransmisikan ke pusat eferen agar

menghasilkan reaksi tingkah laku pada ikan. Impuls (informasi) ini kemudian

dikirimkan oleh reseptor dan ditransmisikan melalui akson yang digunakan

sebagai impuls atau sebagai informasi (Hoar dan Randall, 1970).

Sistem saraf berperan dalam memperoleh impuls (informasi) dari

lingkungan dan memberikan respon balik. Respon diberikan dengan cara

melepaskan impuls ke jaringan otot atau kelenjar. Respon otot pada ikan

seringkali menghasilkan gerakan seluruh tubuh. Sistem saraf dikelompokkan

menjadi dua sistem berdasarkan pengendaliannya, yakni sistem serebrospinal

dan sistem otonomik. Sistem serebrospinal meliputi saraf pusat yang terdiri atas

otak dan sumsum tulang punggung (spinal cord), dan sistem saraf perifer yang

terdiri atas saraf spinal, saraf cranial, dan organ indera (pandangan, bau,

pendengaran, sistem lateralis, sentuhan, rasa dan pelacakan listrik dan suhu).

Sistem otonomik meliputi ganglia dan serat yang terdapat pada bagian simpatetik

dan parasimpatetik (Rahardjo et al., 2011).

2.6.6 Sistem Saraf pada Krustasea dan Fungsinya

Menurut Hollman et al. (2015), sistem saraf pusat (ssp) krustasea

terbentuk dari ganglia, yaitu protocerebrum, deutocerebrum dan trito cerebrum.

Serabut saraf yang berasal dari fotoreseptor menuju ganglia optik terdiri dari
50

ganglion lamina, medulla eksternal dan internal. Medulla internal diikuti oleh

medulla terminal terletak pada bagian protocerebrum lateral. Deutocerebrum

terdiri dari lobus penciuman (OL), yang berdekatan dengan saraf OL, berfungsi

menerima rangsangan langsung dari reseptor di antena dan langsung dari

fotoreseptor.

Sistem saraf krustasea terdiri dari otak dorsal anterior yang merupakan

penghubung tangga tali ventral dengan rantai ganglia yang menghubungkan

jalannya impuls untuk menghasilkan tanggapan (Bullock & Horridge 1965 dalam

Ungerer et al., 2011). Sistem saraf ini berbentuk seperti simpul tali sederhana.

Sistem saraf pada krustasea ini lebih sederhana dibanding saraf organisme

lainnya.

2.7 Endokrinologi

2.7.1 Pengertian Endokrin

Sistem endokrin terdiri dari kelenjar endokrin dan jaringan penghasil

hormon, hormon dan reseptor hormon. Kelenjar endokrin termasuk kelenjar

pineal, kelenjar pituitari, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, kelenjar timus dan

kelenjar adrenal. Kelenjar dan jaringan dari sistem endokrin sebagian besar

terpisah satu sama lain, mereka bekerja sebagai sebuah sistem yang

terintegrasi. Kelenjar endokrin menghasilkan hormon, atau transpor kimia, yang

disekresi ke dalam cairan interstitial, berdifusi ke dalam kapiler darah dan

dilakukan melalui sistem peredaran darah ke organ target. Reseptor dari organ-

organ sasaran adalah molekul yang terdiri dari protein yang mengikat secara

khusus dengan hormon untuk merangsang perubahan fisiologis tertentu dalam

sel target. Endokrin dan sistem saraf bekerja sama untuk mengelola dan

mengkoordinasikan sistem tubuh lainnya (Johnstone, 2014).


51

Menurut Bjelobaba (2015), sistem endokrin mengontrol reproduksi,

pertumbuhan dan perkembangan, homeostasis, dan metabolisme. Hormon hasil

dari sistem endokrin yang dilepaskan langsung dari sel ke dalam sirkulasi, oleh

karena itu hormon mempengaruhi jaringan dan sel yang jauh dari siklus sekresi.

Siklus sekresi dapat terhubung langsung dengan neuron lain melalui sinapsis,

beberapa neuron mensekresikan bahan kimia yang bertindak sebagai hormon.

Sistem tersebut disebut dengan neuroendokrin, dan yang dihasilkan disebut

neurohormon. Sistem endokrin atau neuroendokrin yang paling primitif terdiri sel

endokrin dan neuroendokrin tunggal.

2.7.2 Pengertian Hormon

Hormon adalah zat yang bersirkulasi dalam tubuh dengan bantuan organ

hormon (kelenjar hormon). Hormon diatur oleh sel-sel saraf, karena endokrin

juga berfungsi sebagai neural messenger. Kelenjar hormon memproduksi

hormon, bahkan bertindak di sel yang lain atau di dalam sel satunya tanpa

melalui sistem peredaran darah. Ruang lingkup hormon gonad lebih lebar dalam

intracelluler messenger. Perkembangan dalam tubuh juga dapat dipengaruhi

oleh beberapa hal, salah satunya yaitu hormon pertumbuhan. Hormon steroi dan

hormon tiroid juga mempengaruhi pada perkembangan embrio. Parakrin (dari sel

hormon yang lain ke sel hormon yang aslinya) atau autokrin merupakan salah

satu cara kerja hormon (Marcdante dan Kliegman, 2015).

Hormon adalah substansi kimia yang diproduksi di dalam tubuh melalui

organ, sel-sel organ atau sel-sel yang tersebar dimana memiliki efek regulasi

tertentu pada aktivitas organ. Hormon yang diproduksi di satu lokasi dalam tubuh

dan yang menggerakan aktivitas hormon merupakan sistem hormon. Hormon

dilengkapi dengan sintesis hormon di sel non-kelenjar dan oleh distribusi topologi

beberapa hormon, contohnya, pengiriman parahormonal hormon ke sel-sel

sekretorik sendiri. Hormon tertentu dapat menggerakan aktivitas organ pada sel
52

asalnya, mengatur sintesis dan sekresi organ dalam sistem autokrin. Hormon

endokrin umumnya yaitu insulin, tiroksin, dan kortisol (Burtis et al., 2012).

2.7.3 Fungsi Hormon

Menurut Mohammadzadeh et al. (2014), bahwa hormon berfungsi

sebagai pengendalian pertumbuhan ikan. Hormon sebagai sistem pengontrol

pertumbuhan dan metabolisme ikan teleostei yang disebut sebagai hormon

pertumbuhan dan berperan pentig dalam regulasi pertumbuhan dan penyerapan

gizi pada ikan. Penyerapan gizi dapat mempengaruhi transportasi hormon dalam

darah, aktivitas jaringan perifer, mengikat reseptor dan regulasi hormon endokrin

pada saraf. Penyerapan protein, lemak dan karbohidrat berperan dalam regulasi

hipofisis dan tiroid hormon.

Menurut Cohen et al. (2012) dalam Almeida et al. (2014), bahwa fungsi

hormon pada ikan secara umum memiliki peran sebagai kontrol adaptasi

fisiologis organisme terhadap lingkungannya. Hormon dapat berinteraksi

terhadap sistem satu sama lain bila dilihat dari segi fisiologisnya. Hormon dapat

mengendalikan rangkaian sifat morfologi serta perilaku ikan. Ikan dapat

menanggapi terhadap kondisi lingkungan dan dapat menyesuaikan diri sesuai

dengan perubahan lingkungan.

2.7.4 Kelenjar Penghasil Hormon

Menurut Enayatmehr et al. (2013), sistem endokrin sebagian besar

ditemukan di berbagai hewan. Sistem endokrin terdiri dari kelenjar yang

mengeluarkan hormon, dan reseptor yang mendeteksi dan bereaksi terhadap

hormon. Ikan terdiri dari berbagai kelenjar yang terletak di seluruh tubuh, antara

lain kelenjar pituitari, tiroid, corpuscles stanning, pankreas, saraf khromaffin,

intrarrenal, dan gonad. Kelenjar pituitari memiliki hormon yang dapat

merangsang kerja organ tiroid, dapat memberikan efek rangsangan pada tiroksin.

Kelenjar tiroid khususnya kalsitonin yang target organnya insang dan ginjal
53

memberikan dampak regulasi dan metabolisme kalsium. Hipokalsin pada

kelenjar sel darah satannius yang target organnya insang berdampak di

homeostasis kalsium. Insulin di kelenjar pankreas dengan target organnya

adalah semua sel, berdampak pada permeabilitas peningkatan glukosa. Hormon

saraf khromaffin pada adrenalin yang target organnya merupakan sirkulasi

memberikan dampak terhadap vasodilasi insang dan sistem vasokonstriksi.

Corticosteroid dalam kelenjar intrarenal yang target organnya insang dan ginjal

berdampak pada stres dan osmoregulasi. Androgen dan estrogen dalam kelenjar

gonad yang organ targetnya banyak, termasuk otak, berdampak pada reproduksi

dan tingkah laku.

Menurut Malyz-Cymborska dan Andronowska (2016), Luteinizing

hormone dan FSH yang glikoprotein polipeptida hormon, diproduksi dan disekresi

oleh anterior hipofisis sel kelenjar. Luteinizing hormone dan FSH, umumnya

dikenal sebagai gonadotropin, kontrol gamet dan produksi hormon seks dalam

gonad dengan mengikat tertentu reseptor membran, hormon luteinizing /

chorionic reseptor gonadotropin (LH / CGR) dan reseptor FSH (FSHR). Hormon

Gonadotropin adalah hormone pituitary yang berperan dalam produksi telur dan

sperma. Gonadotropin pada hipofisa ikan adalah FSH (Follikel Stimulating

Hormone) dan semacam LH (Luteinizing Hormone) pada mamalia. FSH dan LH

bekerja sama untuk menstimulasi pematangan folikel dan pelepasan estrogen

pada individu betina, serta menstimulasi pelepasan androgen oleh sel-sel

interstitial pada individu jantan untuk mematangkan sperma.

2.7.5 Macam – macam Hormon dan Fungsinya

Hormon PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadothropin) dan HCG (Human

Chorionic Gonadothropin) merupakan jenis-jenis hormon gonadotropin yang

sangat penting dalam proses reproduksi. PMSG memiliki daya kerja merangsang

terbentuknya folikel, merangsang pertumbuhan sel-sel interestrial dan


54

merangsang terbentuknya sel-sel lutea. PMSG banyak mengandung unsur daya

kerja FSH dan sedikit LH sehingga baik digunakan untuk menginduksi proses

vitellogenesis (pematangan gonad) karena proses vitellogenesis sangat

dipengaruhi oleh FSH. HCG merupakan jenis hormon yang umum digunakan

untuk menstimulasi ovulasi pada ikan (Tahapari dan Dewi, 2013).

Gonadotropin, Folikel Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing

Hormone (LH), yang diproduksi di sel gonadotropin hipofisis, merupakan kunci

dalam kontrol endokrin vertebrata merangsang kelenjar tiroid dan reproduksi

sebagai bagian dari gonad hipotalamus-hipofisis (sumbu HPG). Gonadotropin-

releasing hormone (GnRH) dari neuron hipotalamus merangsang sintesis dan

pelepasan FSH dan LH, yang berfungsi mengikat reseptor secara spesifik, FSHR

dan LHR, dalam gonad, merangsang steroidogenesis dan gametogenesis.

Reseptor ini ada di dalam jaringan dan juga di luar HPG, FSH dan LH bisa

terlibat dalam banyak proses fisiologis, meskipun fungsi non-reproduksi.

Rangsangan dan stimulasi oleh GnRH, pelepasan FSH dan LH dikendalikan oleh

gonad yang saling mempengaruhi loop dan merangsang adapun faktor

penghambat dari otak, seperti kisspeptin, neuropeptide oksigen, dopamin dan

gonadotropin-hambat hormon, dan dari dalam hipofisis melalui sinyal parakrin

termasuk sistem aktivin / inhibin / follistatin. Neurohormonnya hipotalamus untuk

sistem portal eminensia median terdapat di tetrapoda, sedangkan pada ikan sel

hipofisis endokrin anterior secara langsung dipersarafi oleh pembukaan axo

hipotalamus untuk kontrol dari sel-sel endokrin individual (Weltzein et al., 2014).

2.7.6 Alur Hormonal Reproduksi

Menurut Bugar et al. (2013), mengatakan bahwa, dalam pematangan

gonad akhir dipengaruhi oleh hormon LH yang terdapat dalam tubuh ikan.

Hormon gonadotropin akan merangsang kelenjar hipotalamus untuk melepaskan

GnRH. Kelenjar hipofisis bekerja mensekresikan hormon GtH-II (LH) untuk


55

memicu hormon steroid. Hormon steroid ini dapat memberikan rangsangan untuk

pembentukan faktor perangsang kematangan gonad (Maturation Promating

Factor) yang menyebabkan inti sel telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian

terjadi peleburan inti telur. Lapisan folikel akan pecah dan telur keluar menuju

rongga ovari (terjadi proses ovulasi telur).

Menurut Kusuma et al. (2012), faktor lingkungan seperti penyinaran dan

suhu dapat mempengaruhi alur hormonal reproduksi pada ikan dalam

perkembangan oosit. Rangsangan penyinaran dan suhu terhadap ikan

selanjutnya di tanggapi oleh hipotalamus dan melepaskan Gonadotropin

Relesing Hormone (GnRH). Hormon GnRH merangsang hipofisis untuk

melepaskan hormon gonadotropin. Hormon gonadotropin meningkat yang

selanjutnya disalurkan oleh darah melalui kapiler darah. Hormon tersebut

berperan dalam pematangan akhir oosit serta ovulasi.

2.7.7 Proses Pemijahan pada Ikan

a. Secara Alami

Ikan membuat sarang selama waktu reproduksi dan menjaga sarangnya

pada habitat alaminya, biasanya ikan bertelur dua kali dalam setahun yaitu pada

bulan Mei sampai Juli dan bulan September sampai November. Lubang sarang

memiliki diameter 0,7 m dengan kedalaman 0,3 m. Budidaya ikan di wilayah

tropis, ikan mudah stress ketika terjadi perubahan kualitas air sehingga

mempengaruhi proses pemijahannya. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan

dalam proses pemijahan secara alami ini adalah waktu yang dibutuhkan induk

jantan dan betina saat proses memijah (Rahman et al., 2013).

Induk jantan akan mendekati betina saat ikan mencapai matang gonad

yang ditempatkan pada kolam yang sama. Musim kawin pada induk jantan dan

betina umumnya terjadi pada bulan April sampai Juli. Kualitas air yang digunakan

mempengaruhi proses pemijahan secara alami oleh ikan. Jika pH air yang
56

digunakan dalam keadaan stabil maka proses pemijahan akan berlangsung

cepat, dan sebaliknya jika pH air terlalu rendah atau terlalu tinggi maka proses

pemijahan akan berlangsung lambat (Rahman et al., 2013).

b. Secara Semi Buatan

Pemijahan secara semi buatan, indukan diberi suntikan perangsang.

Penyuntikan dilakukan dengan mengurut induk betina pada bagian posterior

perut sampai akhir anterior secara perlahan untuk mengetahui induk matang

gonad, selain pengamatan fisik untuk induk matang gonad dengan ciri (menonjol

papilla genital, melebar dan perut menggembung). Induk jantan memproduksi

sprema dan induk betina menghasilkan sel telur setelah diurut lembut. Induk

betina kemudian diukur berat panjang dan ditimbang kembali setelah pemijahan.

Pengukuran berat dan panjang ikan dilakukan untuk membantu dalam ukuran

clutch telur terhadap penetasan dan persentase hidup. Pemijahan dilakukan

dengan memberi dua dosis ovaprim (0,2 dan 0,5 ml / kg) dari induk betina dan

jantan. Pemijahan dan penetasan ditentukan oleh suhu dan dosis ovaprim yang

optimal. Fekunditas relatif dan tingkat pembuahan dilakukan dengan mengalikan

berat rata-rata satu telur terhadap berat badan yang hilang setelah pemijahan.

Tingkat fertilisasi telur ditentukan setelah 2 jam fertilisasi dan secara acak

mengambil sampel dalam cawan petri dan telur dibuahi memiliki inti utuh dihitung

untuk menghitung persentase pembuahan (Orina et al., 2014).

Pemijahan semi buatan dilakukan sebagai alternatif untuk menggantikan

pemijahan buatan yang tidak dapat dilakukan dalam menghasilkan benih pada

ikan. Induk ikan uji yang digunakan dalam pemijahan semi buatan atau semi

alami ini berasal dari hasil domestikasi dan pematangan yang telah berhasil

dilakukan sebelumnya. Pemijahan semi buatan dilakukan dengan cara

menggabungkan sepasang ikan yang telah matang gonad (TKG IV) ke dalam
57

akuarium yang telah dilengkapi dengan sistem air mengalir agar memudahkan

proses pemijahan semi buatan (Sukendi et al., 2012).

c. Secara Buatan

Menurut Muhammad et al. (2003) dalam Yasin (2013), pemijahan ikan di

alam terjadi sekali dalam setahun pada musim penghujan dan beberapa ikan

termasuk ikan yang sangat sulit memijah secara alami dalam lingkungan

budidaya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah

dengan dilakukan peningkatkan produktivitas budidaya melalui pemijahan

dengan teknologi rangsangan hormon untuk reproduksi ikan betok dalam rangka

penyediaan benih secara kont aeinu. Benih yang baik dalam usaha budidaya

dapat diperoleh dengan pemijahan buatan menggunakan sistem suntik (induced

spawning) melalui rangsangan hormon yang terkandung dalam ovaprim dengan

level dosis yang optimal. Penggunaan ovaprim yang mengandung LHRHa+ anti

dopamin, berfungsi sebagai hormon regulator yang bekerja secara langsung

mempengaruhi organ target melalui sistem hipotalamus-hipofisis-gonad dan

diyakini dapat berfungsi sebagai pemicu proses teknologi pemijahan.

Menurut Saptiani et al. (2016), pemijahan ikan secara buatan dirangsang

dengan hormon GnRH (Ovaprim, Syndel Laboratories Ltd.) secara intramuskuler.

Dosis yang diberikan adalah 0,3 mL/kg yang dicampur dengan 0,2 mL NaCl.

Induk ikan yang sudah memijah dipindah secara hati-hati. Telur-telur ikan yang

dihasilkan diseleksi dan dipilih yang sehat untuk dimasukan ke akuarium

percobaan dengan volume air empat liter. Telur-telur yang tidak sehat dan tidak

menetas segera disingkirkan agar tidak terkontaminasi mikroba.

2.7.8 Pengertian Hipofisa

Kelenjar hipofisis merupakan kelenjar yang terletak di bawah otak,

melekat pada hipotalamus dengan suatu tangkai yang pendek. Hipofisis ini

dibagi menjadi dua bagian yaitu adenohypophysis dan neurohypophysis.


58

Kelenjar hipofisis di bawah kendali otak akan memproduksi hormon-hormon yang

berperan dalam proses reproduksi pada ikan misalnya hormon gonadotropin

(GTH) yang berperan dalam gonad ikan untuk menghasilkan gamet. Kelenjar

hipofisis juga memproduksi dopamin yang sebaliknya akan menghambat proses

sekresi hormon gonadotropin, tetapi bila dopamin ini dihalangi dengan

antagonisnya maka peran dopamin akan terhenti, sehingga proses sekresi

gonadotropin tetap berjalan. Antagonis dopamin yang dapat ditambahkan dalam

induksi ovulasi antara lain domperidon, pimozide, reserpin, metoclopramide,

haloperidol dan isofloxythepin (Yousefian dan Seyed, 2011).

Kelenjar pituitari, juga biasa disebut hipofisa adalah kelenjar endokrin

seukuran kacang, dengan rata-rata berat 0,5 g, mengendalikan banyak fungsi

penting dari tubuh. Kelenjar ini terletak di rongga tulang, dinamai juga sebagai

sela tursika, di ruang bawah tengkorak antara saraf optik. Kelenjar hipofisa

mengatur berbagai kegiatan kelenjar endokrin masing-masing yang berhubungan

dengan emosi dan regulasi suasana hati sebagian atau lengkap. Hipotalamus-

hipofisa-adrenal (HPA) diaktifkan untuk mengatur fungsi perifer tubuh, misalnya

fungsi imunologi dan metabolisme. Hormon glukokortikoid memiliki efek regulasi

pada neurogenesis, mempertahankan neuron, menerima memori baru, menjaga

emosional. Hormon glukokortikoid juga dapat mempengaruhi fungsi beberapa

struktur otak seperti hippocampus serta kelenjar ini memiliki efek yang signifikan

pada otak ikan (Atmaca, 2013).

2.7.9 Pengertian Hipofisasi

Penerapan terapi hormonal digunakan untuk menginduksi pemijahan

yang didasarkan pada pemberian Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH).

Penambahan ovaprim, GnRH analog, dan sintetik dapat dengan domperidone

atau menggunakan metode hipofisasi. Hipofisa komersial ikan mas diekstrak

(CCPE) dan disuntikkan ke dalam otot punggung atau intramuskular. Budidaya


59

ikan air tawar dalam pemijahan buatan biasanya dilakukan dengan hipofisasi.

Metode hipofisasi selain ekonomis dan menguntungkan, memiliki efisiensi tinggi

dan menghasilkan telur dengan tingginya tingkat fertilisasi. Metode hipofisasi

digunakan dalam bidang budidaya (Arantes et al., 2011).

Menurut Akankali et al. (2011), menyatakan bahwa hipofisasi merupakan

suatu teknik yang digunakan untuk merangsang ikan agar ikan cepat melakukan

pemijahan melalui penggunaan hormon. Hormon yang digunakan tersebut

diproduksi dalam kelenjar hipofisa. Kelenjar hipofisa diaplikasikan dengan cara

mengekstraknya dari ikan donor. Pengawetkan kelenjar hipofisa dapat dilakukan

dengan menggunakan metode kering dan metode basah. Bahan yang digunakan

dalam mengawetkan kelenjar hipofisa yaitu dengan menggunakan larutan

alkohol atau cerine. Ekstrak kelenjar hipofisa ini dapat digunakan baik untuk ikan

betina maupun ikan jantan. Dosis yang digunakan dalam mengaplikasikan

ekstrak hipofisa ini bervariasi, karena tidak ada dosis standar untuk semua jenis

ikan. Penggunaan dosis agar lebih efisien dianjurkan kurang lebih 2-6 mg/kg

dari berat tubuh ikan.

2.7.10 Teknik Penyuntikan Hormon pada Ikan

Teknik penyuntikan hormon pada ikan ada tiga cara, yaitu pada intra

muscular (penyuntikan kedalam otot), intra peritorial (pada rongga perut), dan

pada intra cranial (penyuntikan bagian otak ikan). Teknik penyuntikkan yang

paling umum dan mudah dilakukan adalah intra muskular. Penyuntikan pada

bagian ini tidak merusak organ yang penting bagi ikan dalam melakukan proses

metabolisme seperti biasanya dan tingkat keberhasilan lebih tinggi dibandingkan

dengan lainnya. Penyuntikan secara intra-muskuler, yaitu jarum suntik

dimasukkan kedalam otot punggung sedalam ±2 diatas gurat sisi dengan

kemiringan 450 dan dibawah sirip punggung bagian depan dengan selang waktu

suntukan pertama dengan selang waktu suntikan kedua adalah 8-11 jam.
60

Penyuntikan dengan menggunakan dosis ovaprim 0,3 ml, 0,5 ml serta 1,0 ml

dilakukan pada induk betina dengan kemiringan 40°- 45°dan kedalaman jarum ±

1 cm (Idrus, 2016).

Penyuntikan hormon pada ikan, terlebih dahulu ditimbang bobot tubuh

induk untuk menentukan dosis. Dosis yang digunakan yaitu 0,125 ml per kg.

Penyuntikan pada induk betina dilakukan sebanyak dua kali, dimana penyuntikan

pertama sebanyak 1/3 bagian dan penyuntikan ke dua 2/3 bagian dengan selang

waktu 6 jam setelah penyuntikkan pertama. Penyuntikan induk jantan dilakukan

pada saat bersamaan dengan penyuntikan kedua pada induk betina.

Penyuntikan pertama dilakukan pada bagian punggung kiri dan penyuntikan

kedua pada bagian punggung kanan dengan sudut kemiringan 30-400C, hal ini

agar hormon yang disuntikkan dapat merata (Burmansyah et al., 2013).

2.7.11 Syarat Ikan Donor dan Ikan Resipien

Jenis ikan resipien maupun donor yang berhasil dalam fertilisasi

tergantung pada kualitas sperma dan gonad serta jenis kelamin dari penerima.

Ikan yang akan didonorkan juga harus bisa membuahi ikan resipien atau dengan

spesies yang sama, jika ikan yang digunakan sebagai resipien bertubuh kecil,

maka untuk ikan donor usahakan memiliki tubuh yang lebih besar dari ikan

resipien. Keberhasilan benih ikan yang terbuahi dan menetas dalam jumlah yang

besar apabila ikan resipien yang digunakan memenuhi sarat. Ikan resipien yang

digunakan berumur 1-2 tahun dan telah mencapai matang gonad. Sperma yang

digunakan berasal dari induk jantan berusia 1-2 tahun. Ikan resipien digunakan

induk betina yang berusia 2 tahun yang telah matang gonad (Sato et al., 2013).

Menurut Suriansyah (2013), ikan donor yang digunakan ekstrak kelenjar

hipofisa harus sudah matang gonad dan pemberian ekstrak kelenjar hipofisa

untuk pemijahan ikan betok 0,002 ml/gram. Pemberian ekstrak kelenjar hipofisa

ini cukup ideal karena ikan betok dalam keadaan normal untuk melakukan proses
61

pemijahan. Ekstrak kelenjar hipofisa dapat merangsang pematang akhir gonad

ikan betok yang dipijahkan secara alami, namun menyebabkan ikan dalam

kondisi tidak normal unruk mengatur hormon, salah satunya hormon untuk

reproduksi. Ikan yang dipakai untuk donor lebih baik pada ikan yang sudah

matang gonad.

2.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina

2.8.1 Pengertian Gonad pada Ikan

a. Testis

Testis adalah organ reproduksi pada ikan jantan, dimana bentuk testis ini

terdiri dari sel germinal dalam berbagai tahap diferensiasi yang mengalami

beberapa proses pembelahan sampai terjadi proses pelepasan spermatozoa.

Kondisi sel-sel tersebut sangat penting untuk pengembangan generasi

mendatang dan mempengaruhi keturunan. Organ ini dipengaruhi secara

langsung oleh proses reproduksi seperti spermatogenesis (Vergilio et al., 2015).

Menurut Wang et al. (2011), testis merupakan organ gonad jantan yang

memiliki struktur sangat teratur. Testis tesusun dari sel spermatogonia dan sel

spermatogenik terdiferensiasi yang terletak pada kantong seminiferous.

Spermatogonia adalah satu atau sekumpulan sel yang terletak pada bagian

terluar. Kantong seminiferous berisi berbagai sel germinal pada berbagai stadia

spermatogenesis. Spermatogenesis pada sel germinal berlangsung secara

bertahap dalam setiap kantong, diawali dengan spermatosit primer (meiosis I),

spermatosit sekunder (meiosis II), spermatid (meiosis selesai) dan sperma

(terdiferensiasi secara morfologi). Testis pada ikan disajikan pada Gambar 16.
62

Gambar 16.Testis pada Ikan (Ibor et al., 2016)

b. Ovarium

Ovari merupakan organ reproduksi pada ikan betina. Organ ini

merupakan organ penghasil telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Keng Po Lai et

al. (2016), ovari merupakan organ yang berperan penting untuk reproduksi pada

ikan. Ovari dikendalikan oleh regulasi hormon dari hipofisis otak seperti hormon

pituitari.

Menurut Murtidjo (2001), Ikan memiliki dua bagian ovarium yang menjadi

satu dan memendek yang terletak di bawah gelembung renang. Bentuk ovarium

pada kan betina umumnya memanjang. Letak ovarium ikan ada yang melekat

langsung pada dinding rongga tubuh sebelah dorsal dan ada pula yang

menggantung pada rongga tubuh. Ovarium pada ikan disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Ovarium pada Ikan (Ibor et al., 2016)


63

2.8.2 Ciri Induk Matang Gonad

a. Ciri Induk Jantan Matang Gonad

Menurut Saputra et al. (2015), induk jantan yang matang gonad memiliki

beberapa ciri-ciri yang menandakan bahwa ikan tersebut matang gonad. Ciri-ciri

induk jantan yang matang gonad yaitu warna tubuh lebih gelap dari biasanya.

Lubang urogenital dapat berubah menjadi kemerah-merahan. Perbedaan ikan

jantan matang gonad dan ikan betina matang gonad adalah bagian bawah perut

induk jantan memiliki bentuk yang rata sedangkan pada induk betina matang

gonad bagian bawah perutnya membesar.

Menurut Panda (2016), induk jantan dan induk betina yang matang gonad

mudah untuk dibedakan. Induk jantan yang matang gonad sirip dadanya akan

berubah menjadi kasar. Perut ikan jantan yang matang gonad akan rata dari

pada induk betina yang matang gonad. Ikan jantan yang matang gonad akan

mengeluarkan sperma dari lubang urogenital ketika ditekan bagian perutnya.

b. Ciri Induk Betina Matang Gonad

Menurut Kavitha et al. (2012), ciri-ciri induk betina matang gonad adalah

adanya telur yang dapat dilihat dengan mata secara langsung. Telur induk betina

yang matang gonad berwarna kuning terang sampai kemerahan. Ovarium terlihat

penuh ketika ikan betina matang gonad. Tubuh bagian bawah ikan tampak lebih

besar ketika induk ikan betina matang gonad.

Menurut Burmansyah et al. (2013), ciri-ciri induk betina matang gonad yaitu

tubuh besar dan lebar kesamping, warna badan agak gelap, sirip, punggung

lebih pendek. Ciri umum induk betina matang gonad adalah bagian bawah perut

agak melengkung. Induk ikan betina matang gonad akan mengeluarkan telur

yang berwarna transparan ketika di stripping pada bagian perutnya, dan alat

kelaminnya berwarna kemerah-merahan.


64

2.8.3 Tingkat Kematangan Gonad Induk Jantan

a. Tingkat Kematangan Gonad menurut Tester dan Takata

Tingkat kematangan gonad ikan yang dikemukakan oleh Tester dan

Takata (1953) dalam Kordi dan Tamsil (2010), adalah sebagai berikut:

1. Tidak masak. Gonad sangat kecil seperti benang dan transparan. Penampang

gonad pada ikan jantan pipih dengan warna kelabu. Penampang gonad ikan

betina tampat bulat dengan warna kemerah-merahan.

2. Permulaan masak. Gonad mengisi seperempat rongga tubuh. Warna gonad

pada ikan jantan kelabu atau putih dan berbentuk pipih, sedangkan pada ikan

betina berwarna kemerahan atau kuning dan berbentuk bulat. Telur tidak

tampak.

3. Hampir masak. Gonad mengisi setengah rongga tubuh. Gonad pada ikan

jantan berwarna putih, pada ikan betina kuning. Bentuk telur tampak melalui

dinding ovary.

4. Masak. Gonad mengisi tiga perempat rongga tubuh. Gonad jantan berwarna

putih berisi cairan berwarna putih. Gonad betina berwarna kuning, hampir

bening atau bening. Telur mulai terlihat. Kadang-kadang dengan tekanan

halus pada perutnya maka akan ada yang menonjol pada lubang

pelepasannya.

5. Salin. Hampir sama dengan tahap kedua dan sukar dibedakan. Gonad jantan

berwarna putih, kadang-kadang dengan bintik cokelat. Gonad betina

berwarna merah, lembek dan telur tidak tampak.

b. Tingkat Kematangan Gonad menurut Kaya dan Haster

Tingkat kematangan gonad ikan jantan oleh Kaya dan Hasler (1972)

dalam Kordi dan Tamsil (2010) adalah:

1. Testis regresi. Dinding gonad dilapisi spermatogonia awal dan sekunder.

Sperma sisa mungkin masih tersisa.


65

2. Perkembangan spermatogonia, sama dengan Tingkat I, hanya proporsi

spermatogonia sekunder bertambah dibanding dengan yang primer. Sperma

sisa kadang-kadang masih terlihat.

3. Awal aktif spermatogenesis. Cyste spermatocyte timbul dan kemudian seakin

bertambah. Cyste spermatid dan spermatozoa juga mulai keluar.

4. Aktif spermatogenesis. Semua tingkat spermatogenesis ada dlam jumlah yang

banyak. Spermatozoa bebas mulai terlihat dalam rongga seminiferous.

5. Testis masak. Lumn penuh dengan spermatozoa. Pada dinding lobute penuh

dengan cyste bermacam-macam tingkat.

6. Testis regresi. Rongga seminiferous masih berisi spermatozoa. Dinding lobute

penuh dengan speratogonia yang tidak aktif. Ukuran testis mengerut karena

sperma dikeluarkan

2.8.4 Tingkat Kematangan Gonad Betina

a. Tingkat Kematangan Gonad menurut Devados

Menurut Devados (1969) dalam Abraham et al. (2011), TKG dibagi

menjadi lima tahap yaitu:

Tingkat I (belum masak) : Ovarium menempati ¼ dari rongga tubuh.

Berwarna kuning pucat dan transparant denganinti

yang jelas. Diameter ovarium 2,25 – 10,1 µm.

Tingkat II (belum masak) : Ovarium menempati kurang dari 1⁄3rongga tubuh.

Warna kuning pucat, transparan dengan inti tidak

jelas. Diameter ovarium 3,37 – 13,5 µm.

TingkatIII (hampir masak) : Ovarium menempati 1⁄3 – 1⁄2 darirongga tubuh,

dapat dilihat, berwarna kuning, diameter ovarium

berkisar 13,5 – 31,12 µm.

Tingkat IV (masak) : Ovarium menempati 1⁄3 – ¾ dari rongga tubuh,

berwarna kuning, telur granular, terlihat jelas


66

dalam ovarium. Ovarium berdiameter 27,0 – 50,6

µm.

Tingkat V (masak betul) : Ovarium menempati¾ rongga tubuh, warna kuning

cerah, terlihat jelas, berdiameter 43,8 – 79,87 µm.

b. Tingkat Kematangan Gonad menurut Nikolsky

Tingkat kematangan gonad yang diklasifikasikan menurut Nikolsky (1963)

dalam Olurin dan Savage (2011) adalah:

Tingkat I : Belum matang, individu muda yang belum terlibat dalam

reproduksi, gonad berukuran sangat kecil.

Tingkat II : Masa istirahat, produk seksual belum berkembang, gonad

brukuran kecil tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Tingkat III : Hampir masak, telur dapat dibedakan dengan mata,

testes berubah menjadi menjadi transparan menjadi pucat.

Tingkat IV : Masak, matang gonad telah mencapai bobot maksimal,

tetapi produk belum keluar dan harus ditekan (distrip).

Tingkat V : Reproduksi/mijah, bila perut diberi sedikit tekanan produk

seksualnya akan menonjol keluar dari lubang reproduksi.

Berat gonad menurun cepat dari awal memijah sampai

selesai.

Tingkat VI : Salin, produk seksual telah habis, lubang genital

meradang, gonad mengempis dan ovari menyisakan sisa

telur dan testes menyisakan sisa sperma.

2.8.5 Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Gonad

Menurut Ismail et al. (2011), faktor internal yang mempengaruhi

kematangan gonad salah satunya adalah hormon. Hormon-hormon tersebut di

antaranya testosteron (T), 17b-estradiol (E2) 17,20b-dihidroksi-4-pregnen-3-satu

dan 11-keto-testosteron (11KT). Hormon pada ikan betina yaitu 17b-estradiol


67

(E2) yang merupakan faktor yang mengontrol vitellogenin di hati. Peningkatan

sekresi 11-keto-testosteron (11KT) akan menstimulasi spermatogenesis, di mana

testosteron (T) menentukan perkembangan gonad jantan.

Menurut Sarkar dan Bhavna (2011), terdapat beberapa faktor eksternal

yang mempengaruhi kematangan gonad. Faktor eksternal tersebut di antaranya

periode penyinaran dan suhu di perairan. Kedua faktor tersebut dapat

meransang dan menunda kematangan gonad. Suhu yang tinggi dan lamanya

periode penyiaran berefek terhadap akhir kematangan ovari, ovulasi, dan

oviposisi. Periode penyinaran menetukan waktu pematangan gonad.

2.8.6 Pengertian Gonad Indeks

Menurut Ouréns (2012), gonad indeks (GI) adalah rasio antara gonad dan

ukuran tubuh yang digunakan secara luas untuk menggambarkan dan

menganalisis siklus reproduksi pada hewan laut. Prinsip dasar ini dapat

menentukan waktu matangnya gonad berdasarkan ukurannya. Akumulasi nutrisi

dalam gonad sebelum gametogenesis sebagai bahan produksi gamet untuk

pertumbuhan gonad, sehingga nilai GI tinggi. Pelepasan gamet mengakibatkan

ukuran gonad menyusut dan nilai GI juga menurun. Menurut Farley et al. (2013),

perhitungan gonado indeks sebagai berikut:

Keterangan:

GI = gonado indeks

GW = berat gonad

FL = panjang total ikan

= konstanta

Menurut Azevedo et al. (2012), Gonad Indeks dapat dianggap sebagai

GSI. Gonadal indeks digunakan untuk mengetahui variasi tingkat kematangan


68

gonad pada sampel penelitian. Kesamaan kondisi gonad antar individu bisa

menjadi ciri khas suatu spesies. Menurut Tan (2002) dalam Alamsyah et al.

(2013), dalam menghitung indeks gonad untuk menentukan kematangan gonad

berdasarkan nilai indeks gonad adalah sebagai berikut:

Keterangan:

GI = Indeks gonad

W = Berat gonad (g)

= Panjang ikan (cm)

= Konstanta

2.8.7 Pengertian Gonado Somatic Indeks

Menurut Mishra dan Saksena (2012), gonadosomatik indeks adalah

persentase berat ovarium dengan berat tubuh yang digunakan sebagai indeks

kematangan ikan. Gonadosomatik indeks memiliki peranan penting untuk

mengevaluasi potensi reproduksi ikan dan memperkirakan musim pemijahan dari

spesies. Penggunaan gonadosomatic indeks adalah sebagai indikator tingkat

kematangan gonad dan volume gonad yang ada di tubuh ikan.

Gonadosoamtic indeks = x 100

Menurut Alhasmehi et al. (2012), selain jenis kelamin, nutrisi, fase

reproduksi pada setiap spesies ikan dapat mempengaruhi tingkat unsur.

Umumnya gonado somatik indeks (GSI) bergantung pada ukuran kematangan

gonad yang tepat dan kesiapan pemijahan yang berhubungan dengan

konsentrasi unsur. GSI juga dapat menunjukkan perkembangan gonad secara


69

luas. Menurut Griffiths et al. (2008) dalam Alhasmehi et al. (2012), perhitungan

GSI menggunakan persamaan sebagai berikut:

2.8.8 Teknik Pewarnaan Gonad Betina

Menurut Adebiyi et al. (2013), untuk pewarnaan gonad betina dari

masing-masing sampel dipotong menjadi tiga bagian lalu sampel gonad disimpan

dalam botol sampel dan direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam. Sampel

jaringan dipindahkan ke etanol 70% dan diproses menggunakan metode

histologis secararutin. Jaringan yang dikehendaki diiris 4µm, lalu diletakkan pada

kaca dan diberi warna menggunakan teknik pewarnaan Haematoxylin dan Eosin

(H dan E). jaringan yang sudah diberi pewarna dikeringkan dan kemudian dilihat

di mikroskop cahaya.

Pewarnaan gonad betina menurut Rowinskiet et al. (2010) dalam McBride

et al. (2013), 1 cm3 jaringan segar dipotong pada bagian tengah dari sisi lobus

ovarium dan direndam dalam larutan buferformalin 10%. Jaringan gonad

kemudian diberi larutan preservasi dengan 70% etil alkohol. Sub sampel kering

selanjutnya ditingkatkan konsentrasi etil alkohol dan dimasukkan dalam lilin.

Sampel yang telah kering kemudian dilakukan pengirisan tipis (5µm) dari jaringan

yang diberi warna baik menggunakan trichrome Schiffs-Mallory atau hematoxylin

dan eosin.
70

3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat beserta Fungsi

3.1.1 Osmoregulasi

a. Pengamatan Empedu

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Osmoregulasi pengamatan empedu adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Alat dan Fungsi Materi Pengamatan Empedu


No Alat Fungsi

1 Toples kapasitas 3 L Untuk wadah media dan objek yang diamati


yaitu empedu
2 Timbangan Oz Untuk alat penimbang empedu dengan
ketelitian 10-1
3 Stopwatch Untuk menghitung waktu pengamatan empedu
setiap 20 menit selama 2 jam
4 Nampan Untuk wadah empedu saat ditimbang
5 Freezer Untuk tempat penyimpanan empedu agar tetap
segar
6 Baskom Untuk wadah mencairkan empedu
7 Kamera Digital Untuk alat dokumentasi
8 Penggaris Untuk menghomogenkan empedu dengan
larutan
9 Gunting Untuk memotong benang kasur
10 Timbangan Digital Untuk alat penimbang ikan dengan ketelitian
10-2

b. Toleransi Salinitas

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Osmoregulasi pengamatan toleransi salinitas adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Alat dan Fungsi Materi Toleransi Salinitas


No Alat Fungsi

1 Toples kapasitas 3 L Untuk wadah media dan objek yang diamati


2 Penggaris Untuk mengukur panjang ikan
3 Nampan Untuk wadah alat dan bahan
4 Stopwatch Untuk menghitung waktu pengamatan ikan
setiap 20 menit selama 2 jam
5 Seser Untuk mengambil ikan yang ada di akuarium
6 Akuarium Untuk wadah ikan sebelum pengamatan
7 Aerator set Untuk menyuplai oksigen pada akuarium
8 Kabel roll Untuk menyambungkan ke sumber listrik
71

9 Beaker glass Untuk tempat ikan saat mau ditimbang


10 Timbangan digital Untuk menimbang NaCl dengan ketelitian 10-2
11 Kamera digital Untuk alat dokumentasi saat praktikum

3.1.2 Respirasi

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Respirasi

adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Alat dan Fungsi Materi Respirasi


No Alat Fungsi

1 Nampan Untuk meletakkan ikan nila (Oreochromis niloticus)


saat ditimbang dan untuk tempat saat membedah
ikan serta untuk tempat alat-alat
2 Thermometer Untuk mengukur suhu dalam akuarium
3 Stopwatch Untuk menghitung waktu pengamatan
4 Aerator set Untuk menyuplai oksigen
5 DO meter Untuk mengukur nilai DO awal dan akhir
6 Freezer Untuk tempat penyimpanan es batu
7 Seser Untuk mengambil ikan nila (Oreochromis
niloticus)
8 Kabel roll Untuk menyambungkan ke sumber listrik
9 Beaker glass Untuk wadah kalibrasi DO meter
10 Akuarium Untuk wadah ikan nila (Oreochromis niloticus)
sebelum pengamatan
11 Handtally counter Untuk menghitung bukaan operkulum
12 Kamera digital Untuk dokumentasi saat praktikum
13 Toples kapasitas 3 L Untuk tempat media pengamatan
14 Baskom Untuk wadah ikan nila (Oreochromis niloticus)
sebelum pengamatan
15 Heater masak Untuk mengatur suhu air pada media

3.1.3 Sistem Pencernaan

a. Digestibility

Alat yang digunakan pada praktikum Fsiologi Hewan Air materi Sistem

Pencernaan tentang Digestibility adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Alat dan Fungsi Materi Digestibility


No Alat Fungsi

1 Toples kapasitas 3 L Untuk wadah objek pengamatan


2 Timbangan digital Untuk menimbang sampel ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan ketelitian 10-2
3 Stopwatch Untuk menghitung lama waktu pengamatan
72

4 Akuarium Untuk media ikan sebelum diamati


5 Seser Untuk mempermudah penangkapan ikan
6 Aerator Untuk menyuplai oksigen
7 Nampan Untuk tempat alat bahan dan tempat
membedah ikan
8 Kabel roll Untuk meghubungkan aliran listrik
9 Sectio set Untuk membedah ikan yang diamati
10 Desikator Untuk menghilangkan uap air
11 Freezer Untuk pembekuan cacing darah (Chironomus
sp.)
12 Gunting Untuk memotong kain saring
13 Selang sifon Untuk menyifon sisa feses dan pakan
14 Saringan teh Untuk menyaring sisa pakan dan feses
15 Kamera digital Untuk mendokumentasikan saat pengamatan
berlangsung
16 Bak Untuk wadah mata lele (Azolla pinnata)
17 Kalkulator Untuk menghitung Digestibility pada ikan
18 Oven Untuk menghilangkan kadar air pada feses dan
pakan
19 T aerator Untuk membuat cabang selang aerator
20 Selang aerator Untuk mengalirkan udara dari aerator
21 Batu aerasi Untuk membentuk gelembung aerasi di dalam
toples 3 L
22 Loyang Untuk tempat feses saat dioven
23 Beaker glass Untuk wadah penimbangan metode kering

b. GET (Gastric Evacuation Time)

Alat yang digunakan pada praktikum Fsiologi Hewan Air materi Sistem

Pencernaan tentang GET (Gastric Evacuation Time) adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Alat dan Fungsi Materi GET (Gastric Evacuation Time)


No Alat Fungsi

1 Nampan Untuk meletakkan ikan nila (Oreochromis


niloticus) saat ditimbang dan untuk tempat saat
membedah ikan serta untuk tempat alat-alat
2 Desikator Untuk menyerap uap air pada kain saring 15x15
cm setelah di oven
3 Kabel roll Untuk menyambungkan listrik pada aerator dan
timbangan
4 Kamera digital Untuk mendokumentasikan saat pengamatan
berlangsung
5 Beaker glass Sebagai wadah ikan saat ditimbang
6 Akuarium Sebagai wadah ikan nila (Oreochromis
niloticus) sebelum pengamatan
7 Selang aerator Untuk mengalirkan udara dari aerator
8 Batu aerasi Untuk membentuk gelembung aerasi di dalam
toples 3 L
73

9 Aerator Untuk menyuplai oksigen didalam toples 3 L


10 T Aerator Untuk membuat percabangan pada selang
aerator
11 Sectio set Untuk membedah ikan nila (Oreochromis
niloticus)
12 Toples 3 L Sebagai wadah air dan objek yang akan diamati
13 Stopwatch Untuk menghitung waktu pengamatan GET
14 Timbangan digital Untuk menimbang berat pakan dan berat
lambung ikan dengan ketelitian 10-2
15 Lap basah Untuk pengondisian agar ikan tidak stres dan
tetap hidup
16 Seser Untuk menangkap dan mengambil ikan dari
akuarium
17 Gunting Untuk menggunting kertas buram dan kain
18 saring dengan ukuran 15x15 cm
19 Bak Untuk ikan sebelum pengamatan

Freezer Untuk pembekuan cacing darah (Chironomus


sp.)

3.1.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

pewarnaan tubuh sebagai berikut:

Tabel 6. Alat dan Fungsi Materi Pewarnaan Tubuh


No Alat Fungsi

1 Akuarium Untuk tempat ikan sementara sebelum diberi


perlakuan
2 Lampu cahaya putih Untuk penerangan
3 Fitting lampu Untuk wadah lampu cahaya putih
4 Aerator Untuk suplai oksigen dalam toples
5 T aerator Untuk membuat percabangan pada selang
aerator
6 Selang aerator Untuk mengalirkan oksigen ke toples
7 Batu aerasi Untuk membentuk gelembung aerasi di dalam
toples 3 L
8 Kamera Digital Untuk alat dokumentasi
9 Toples 3 L Untuk wadah ikan saat pengamatan
10 Stopwatch Untuk menghitung waktu pengamatan
11 Kabel roll Untuk menyambungkan ke sumber listrik
12 Gunting Untuk menggunting sterefoam
13 Seser Untuk mengambil ikan
14 Nampan Untuk wadah alat dan bahan
74

b. Fototaksis

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi fototaksis

adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Alat dan Fungsi Materi Fototaksis


No Alat Fungsi

1 Senter cahaya putih Untuk rangsangan cahaya saat pengamatan


fototaksis
2 Akuarium Untuk tempat ikan saat pengamatan
3 Aerator set Untuk suplai oksigen dalam Akuarium
4 Kabel roll Untuk menghubungkan arus listrik
5 Seser Untuk mengambil ikan
6 Gunting Untuk menggunting plastik hitam
7 Ember Untuk wadah ikan sebelum diamati
8 Kamera digital Untuk alat dokumentasi

3.1.5 Hematologi

a. Pengambilan Sampel Darah

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Pengambilan Sampel Darah disajikan pada tabel berikut:

Tabel 8. Alat dan Fungsi Materi Pengambilan Sampel Darah


No. Alat Fungsi

1 Spuit 3 ml Untuk mengambil Na-Sitrat dan darah ikan lele dumbo


(Clarias gariepinus)
2 Nampan Untuk meletakkan alat dan bahan yang digunakan pada
saat praktikum
3 Seser Untuk membantu mengambil ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
4 Lap basah Untuk mengondisikan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
agar tidak stress
5 Sprayer Untuk wadah Na-Sitrat dan alkohol 70%
6 Ember Untuk wadah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
7 Tube 1,5 ml Untuk wadah darah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
8 Kamera Untuk mendokumentasikan kegiatan selama praktikum
digital
9 Akuarium Untuk tempat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
sebelum pengamatan
75

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Pembuatan Film Darah disajikan pada tabel berikut

Tabel 9. Alat dan Fungsi Materi Pembuatan Film Darah Tipis


No. Alat Fungsi

1 Pipet tetes Untuk mengambil larutan Na-Fis


2 Objek glass Untuk wadah sampel darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
3 Spuit 3 ml Untuk mengambil darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
4 Washing bottle Untuk wadah akuades
5 Mikroskop binokuler Untuk mengamati sampel darah dengan
perbesaraan 400 kali
6 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan
pada saat praktikum
7 Tube 1,5 ml Untuk wadah darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
8 Kamera digital Untuk mendokumentasikan kegiatan selama
praktikum

c. Perhitungan Eritrosit

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Perhitungan Eritrosit disajikan pada tabel berikut:

Tabel 10. Alat dan Fungsi Materi Perhitungan Eritrosit


No. Alat Fungsi

1 Haemocytometer Untuk alat bantu menghitung eritrosit


2 Mikroskop Untuk mengamati sampel darah ikan lele dumbo
binokuler (Clarias gariepinus) dengan perbesaraan 400 kali
3 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan
pada saat praktikum
4 Tube 1,5 ml Untuk wadah darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
5 Cover glass Untuk menutup sampel darah pada objek glass
6 Kamera digital Untuk mendokumentasi kegiatan selama
praktikum
7 Pipet toma Untuk mengambil sampel darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
8 Handtally counter Untuk menghitung jumlah eritrosit
9 Washing bottle Untuk wadah akuades
76

d. Perhitungan Leukosit

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Leukosit disajikan pada tabel berikut:

Tabel 11. Alat dan Fungsi Materi Perhitungan Leukosit


No. Alat Fungsi

1 Haemocytometer Untuk alat bantu menghitung leukosit


2 Mikroskop Untuk mengamati sampe darah ikan lele dumbo
binokuler (Clarias gariepinus) dengan perbesaraan 40 kali
3 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang akan
digunakan
4 Tube 1,5 ml Untuk wadah darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
5 Cover glass Untuk menutup sampel darah pada objek glass
6 Kamera digital Untuk mendokumentasi kegiatan selama
praktikum
7 Pipet toma Untuk mengambil sampel darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
8 Handtally counter Untuk menghitung jumlah leukosit
9 Washing bottle Untuk wadah akuades

e. Perhitungan Hemoglobin

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Hematologi

tentang Hemoglobin disajikan pada tabel berikut:

Tabel 12. Alat dan Fungsi Materi Perhitungan Hemoglobin


No. Alat Fungsi

1 Pipet tetes Untuk mengambil larutan HCl 0,1 N


2 Pipet sahli Untuk mengambil sampel darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
3 Beaker glass Untuk wadah akuades yang digunakan untuk
pengenceran
4 Washing bottle Untuk wadah akuades
5 Sahli Untuk perhitungan hemoglobin
haemometer
6 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan
pada saat praktikum
7 Tube 1,5 ml Untuk wadah sampel darah ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus)
8 Tabung sahli Untuk tempat menghomogenkan darah ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) dengan HCl
9 Kamera Digital Untuk mendokumentasikan kegiatan selama
praktikum
77

3.1.6 Sistem Saraf

a. Keseimbangan Tubuh Ikan

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem

Saraf tentang Kesetimbanagn Tubuh Ikan disajikan pada tabel berikut:

Tabel 13. Alat dan Fungsi Materi Keseimbangan Tubuh Ikan


No. Alat Fungsi

1 Toples 3 liter Untuk wadah ikan nila (Oreochromis niloticus)


selama pengamatan
2 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan
pada saat praktikum
3 Sectio set Untuk memotong bagian tubuh ikan nila
(Oreochromis niloticus) pada saat perlakuan
universal
4 Pipet tetes Untuk mengambil minyak cengkeh dalam skala
kecil
5 Botol vial Untuk wadah minyak cengkeh
6 Seser Untuk membantu mengambil ikan nila
(Oreochromis niloticus)
7 Penggaris 30 cm Untuk membuat kejutan, arus dan bunyi

8 Akuarium Untuk wadah ikan selama pemeliharaan


9 Kamera digital Untuk mendokumentasikan kegiatan selama
praktikum
10 Lap basah Untuk pengondisian ikan nila
(Oreochromis niloticus) agar tidak stress

b. Sistem Saraf Pada Udang

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem

Saraf tentang Sistem Saraf Pada Udang disajikan pada tabel berikut:

Tabel 14. Alat dan Fungsi Materi Sistem Saraf Udang


No. Alat Fungsi

1 Kamera digital Untuk mendokumentasikan kegiatan selama


praktikum
2 Toples 3 L Untuk wadah udang galah
(Macrobrachium rosenbergii) yang diamati
3 Akuarium Untuk wadah udang selama pemeliharaan

4 Seser Untuk mengambil udang galah


(Macrobrachium rosenbergii)
5 Sectio set Untuk memotong bagian tubuh udang galah
(Macrobrachium rosenbergii) pada saat
perlakuan universal
6 Pipet tetes Untuk mengambil minyak cengkeh
78

7 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan


pada saat praktikum
8 Penggaris 30 cm Untuk membuat kejutan, arus dan bunyi
9 Botol vial Untuk wadah minyak cengkeh

3.1.7 Endokrinologi

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Endokrinologi disajikan pada tabel berikut:

Tabel 15. Alat dan Fungsi Materi Endokrinologi


No. Alat Fungsi

1 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan pada


saat praktikum
2 Talenan Untuk alas saat memotong ikan mas
(Cyprinus carpio)
3 Timbangan Oz Untuk menimbang ikan mas (Cyprinus carpio)
dengan ketelitian 10ˉ¹
4 Seser Untuk mengambil ikan mas (Cyprinus carpio)
5 Pisau Untuk memotong kepala ikan mas (Cyprinus carpio)
6 Tissue Grinder Untuk menghancurkan hipofisa
7 Rak Tabung Untuk menempatkan tabung reaksi
Reaksi
8 Kamera Digital Untuk mendokumentasikan kegiatan selama
praktikum
9 Lemari es Untuk menyimpan supernatan
10 Termometer Untuk mengukur suhu air di dalam akuarium
akuarium
11 Bak Untuk wadah ikan mas (Cyprinus carpio) jantan
sebelum dipotong kepalanya dan betina sebelum di
suntik supernatant
12 Lap basah Untuk pengondisian ikan mas (Cyprinus carpio) agar
tidak stress
13 Sentrifuge Untuk menghomogenkan memisahkan supernatant
dengan residu
14 Spuit 3 ml Untuk menyuntikkan supernatan ke induk betina
15 Akuarium Untuk wadah ikan mas (Cyprinus carpio) selama
pengamatan
16 Heater Untuk menstabilkan suhu air di dalam akuarium
akuarium
17 Sectio set Untuk membedah ikan mas (Cyprinus carpio)
18 Tabung reaksi Untuk wadah hipofisa pada saat disentrifugasi
19 Kabel roll Untuk menghubungkan aerator ke sumber listrik
20 Senter Untuk sumber pencahayaan saat pengamatan
21 Meteran jahit Untuk mengukur panjang ikan mas
(Cyprinus carpio) yang akan diamati
22 Sprayer Untuk wadah alkohol 70%
79

3.1.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina disajikan pada tabel berikut:

Tabel 16. Alat dan Fungsi Materi Pewarnaan dan Pengamatan Gonad
Betina
No. Alat Fungsi

1 Akuarium Untuk tempat ikan mas (Cyprinus carpio)


sebelum pengamatan
2 Seser Untuk mengambil ikan mas (Cyprinus carpio)
dalam akuarium
3 Bak Untuk wadah ikan mas
(Cyprinus carpio) sebelum dibedah
4 Washing bottle Untuk wadah akuades
5 Timbangan OZ Untuk menimbang gonad dengan ketelitian 10-1
6 Lap basah Untuk pengondisian agar ikan tidak stress
7 Telenan Untuk alas pada saat membedah ikan mas
(Cyprinus carpio)
8 Pisau Untuk memotong kepala ikan mas (Cyprinus
carpio)
9 Sectio set Untuk membedah ikan saat pengambilan gonad
10 Kamera digital Untuk mendokumentasikan kegiatan selama
praktikum
11 Nampan Untuk tempat alat dan bahan yang digunakan
pada saat praktikum
12 Mikroskop Untuk mengamati telur ikan mas (Cyprinus
binokuler carpio) betina
13 Pipet tetes Untuk mengambil asetokarmin
14 Objek glass Untuk alas sampel telur pada saat pengamatan
gonad
15 Kalkulator Untuk membantu menghitung nilai GSI dan GI
16 Timbangan Untuk menimbang gonad dengan ketelitian 10-2
digital

3.2 Bahan beserta Fungsi

3.2.1 Osmoregulasi

a. Pengamatan Empedu

Bahan yang digunakan pada praktikum fisiologi hewan air materi

osmoregulasi pengamatan empedu sebagai berikut:


80

Tabel 17. Bahan dan Fungsi Materi Pengamatan Empedu


No Bahan Fungsi

1 Empedu sapi Sebagai objek yang diamati


2 Benang kasur Sebagai bahan untuk mengikat empedu
3 Kertas label Sebagai pemberi tanda pada toples
4 Garam grasak Sebagai bahan larutan untuk mengatur salinitas
yang telah ditentukan
5 Tisu Sebagai pembersih alat dan meja
6 Air bersalinitas (0 ppt, Sebagai media objek yang diamatin
30 ppt, 45 ppt dan 60
ppt)
7 Trash bag Sebagai wadah sisa hasil praktikum
8 Plastik bening Sebagai wadah mencairkan empedu

b. Toleransi Salinitas

Bahan yang digunakan pada praktikum fisiologi hewan air materi

osmregulasi toleransi salinitas sebagai berikut:

Tabel 18. Bahan dan Fungsi Materi Toleransi Salinitas


No Bahan Fungsi

1 Ikan nila (Oreochromis Sebagai ikan yang diamati toleransi salinitasnya


niloticus)
2 Ikan lele (Clarias Sebagai ikan yang diamati toleransi salinitasnya
gariepinus)
3 Ikan damsel biru Sebagai ikan yang diamati salinitasnya
(Chrysiptera cyane)
4 Garam grasak Sebagai pembuatan larutan dengan salinitas
yang telah ditentukan
5 Kertas label Sebagai pemberi tanda jumlah salinitas pada
toples
6 Tisu Sebagai pembersih alat dan meja
7 Air bersalinitas(0 ppt, Sebagai media objek yang diamati
30 ppt, 45 ppt, 60 ppt)
8 Trash bag Sebagai wadah sisa hasil praktikum
9 Air tawar Sebagai media hidup ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) dan ikan nila (Oreochromis niloticus)
10 Air laut Sebagai media hidup ikan damsel biru
(Chrysiptera cyanea)

3.2.2 Respirasi

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Respirasi adalah sebagai berikut:


81

Tabel 19. Bahan dan Fungsi Materi Respirasi


No Bahan Fungsi

1 Ikan nila (Oreochromis Sebagai objek yang diamati


niloticus)
2 Es batu Sebagai penurun suhu air sesuai perlakuan
3 Akuades Sebagai pengkalibrasi DO meter
4 Kertas label Sebagai pemberi tanda pada toples
5 Tisu Sebagai pembersih alat dan meja
6 Plastik bening Sebagai penutup toples agar tidak ada udara
masuk
7 Karet gelang Sebagai pengikat plastik
8 Air panas Sebagai media hidup ikan pengamatan

3.2.3 Sistem Pencernaan

a. Digestibility

Bahan yang digunakan dalam praktikum Fisiologi Hewan Air materi

sistem pencernaan tentang Digestibility sebagai berikut:

Tabel 20. Bahan dan Fungsi Materi Digestibility


No Bahan Fungsi

1 Ikan nila Sebagai objek yang diamati Digestibilitynya


(Oreochromis
niloticus)
2 Lumut jaring Sebagai pakan alami bersifat nabati
(Chaetomorfa sp.)
3 Cacing darah Sebagai pakan alami bersifat hewani
(Chironomus sp.)
4 Cacing sutra (Tubifex Sebagai pakan alami bersifat hewani
sp.)
5 Mata lele (Azolla Sebagai pakan alami bersifat nabati
pinnata)
6 Pelet Sebagai pakan buatan
7 Kertas label Sebagai penanda pada toples
8 Tisu Sebagai pembersih alat dan bahan
9 Kertas buram Sebagai alas saat menimbang
10 Trash bag Sebagai wadah sisa hasil praktikum
11 Air tawar Sebagai media tempat hidup ikan
12 Kertas saring Sebagai menyerap air pada sisa pakan dan
feses

b. GET (Gastric Evacuatin Time)

Bahan yang digunakan dalam praktikum Fisiologi Hewan Air materi

sistem pencernaan tentang GET (Gastric Evacuation Time) sebagai berikut:


82

Tabel 21. Bahan dan Fungsi Materi GET (Gastric Evacuation Time)
No Bahan Fungsi

1 Ikan nila Sebagai objek yang diamati GET nya


(Oreochromis
niloticus)
2 Lumut jaring Sebagai pakan alami bersifat nabati
(Chaetomorfa sp.)
3 Cacing darah Sebagai pakan alami bersifat nabati
(Chironomus sp.)
4 Cacing sutra (Tubifex Sebagai pakan alami bersifat hewani
sp.)
5 Mata lele (Azolla Sebagai pakan alami bersifat nabati
pinnata)
6 Pelet Sebagai pakan buatan
7 Kertas label Sebagai penanda pada toples
8 Tisu Sebagai membersihkan alat dan bahan
9 Kertas buram Sebagai alas saat menimbang
10 Trash bag Sebagai wadah sisa-sisa bahan praktikum
11 Air tawar Sebagai media tempat hidup ikan

3.2.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

pewarnaan tubuh adalah sebagai berikut:

Tabel 22. Bahan dan Fungsi Materi Pewarnaan Tubuh


No Alat Fungsi

1 Ikan sepat siam Sebagai objek pengamatan


(Trichogaster
tricopterus)
2 Plastik warna merah Sebagai perlakuan warna merah
3 Plastik wana hijau Sebagai perlakuan warna hijau
4 Plastik warna biru Sebagai perlakuan warna biru
5 Plastik warna kuning Sebagai perlakuan warna kuning
6 Plastik warna ungu Sebagai perlakuan warna ungu

8 Kertas label Sebagai penanda perlakuan


9 Selotip Sebagai alat bantu untuk menempelkan plastik
pada toples
10 Trash bag Sebagai pengondisian gelap
11 Karet gelang Sebagai mengikat plastik pada toples
83

b. Fototaksis

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

fototaksis adalah sebagai berikut:

Tabel 23. Bahan dan Fungsi Materi Fototaksis


No Bahan Fungsi

1 Lobster air tawar Sebagai objek yang diamati


(Cherax
quadricarinatus)
2 Ikan mas koki Sebagai objek yang diamati
(Cyprinus carpio)
3 Ikan black ghost Sebagai objek yang diamati
(Apteronotus albifrons)
4 Ikan guppy (Poecilia Sebagai objek yang diamati
reticullata)
5 Ikan gurame Sebagai objek yang diamati
(Osphronemous
gourame)
7 Trash bag Sebagai penutup sisi akuarium agar tidak ada
cahaya masuk
8 Kertas buram Sebagai penanda di akuarium
9 Selotip Sebagai perekat plastik hitam pada akuarium
10 Sterefoam Sebagai alas dan penutup pada akuarium saat
pengamatan fototaksis

3.2.5 Hematologi

a. Pengambilan Sampel Darah

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Pengambilan Sampel Darah, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 24. Bahan dan Fungsi Materi Pengambilan Sampel Darah


No Bahan Fungsi

1 Ikan lele dumbo Sebagai objek yang diambil sampel darahnya


(Clarias gariepinus)
2 Alkohol 70% Sebagai pengondisian aseptis
3 Na sitrat 0,1 ml Sebagai antikoagulan
4 Kapas Sebagai pengondisian steril
5 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah digunakan
6 Kertas label Sebagai penanda tube

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi


84

Hematologi tentang Pembuatan Film Darah Tipis, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 25. Bahan dan Fungsi Materi Pembuatan Film Darah Tipis
No Bahan Fungsi

1 Sampel darah ikan lele Sebagai objek yang akan diamati


dumbo (Clarias gariepinus)
2 Larutan Giemsa Sebagai pewarna darah yang bersifat
basa
3 Akuades Sebagai pembilas sisa methanol dan
giemsa
4 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah
digunakan
5 Kertas label Sebagai penanda sampel darah

c. Perhitungan Eritrosit

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Perhitungan Eritrosit, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 26. Bahan dan Fungsi Materi Perhitungan Eritrosit


No Bahan Fungsi

1 Larutan Hayem Sebagai larutan yang digunakan untuk


memperjelas eritrosit
2 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah
digunakan
3 Akuades Sebagai pembilas objek glass setelah
perhitungan
4 Sampel darah ikan lele Sebagai objek yang diamati
dumbo (Clarias gariepinus)
5 Kertas label Sebagai penanda tube
6 Na-Sitrat Sebagai antikoagulan agar pipit toma
tidak tersumbat

d. Perhitungan Leukosit

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Perhitungan Leukosit, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 27. Bahan dan Fungsi Materi Perhitungan Leukosit


No Bahan Fungsi

1 Sampel darah ikan lele Sebagai objek yang akan diamati


dumbo (Clarias gariepinus)
2 Larutan Turk Sebagai larutan untuk memperjelas
pengamatan leukosit
3 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah
digunakan
85

4 Na-Sitrat Sebagai anti koagulan


5 Kertas label Sebagai penanda tube
6 Akuades Sebagai pembilas objek glass setelah
perhitungan

e. Perhitungan Hemoglobin

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Hematologi tentang Perhitungan Hemoglobin, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 28. Bahan dan Fungsi Materi Perhitungan Hemoglobin


No Bahan Fungsi

1 Sampel darah ikan lele Sebagai objek yang diamati


dumbo (Clarias gariepinus)
2 Larutan HCl 0,1N Sebagai pemisah asam hematin dari
globin
3 Akuades Sebagai pengencer
4 Na-Sitrat Sebagai antikoagulan agar pipet sahli
tidak tersumbat
5 Kertas label Sebagai penanda tube

3.2.6 Sistem Saraf

a. Keseimbangan Tubuh Ikan

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem

Saraf tentang keseimbangan tubuh ikan, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 29. Bahan dan Fungsi Materi Keseimbangan Tubuh Ikan


No Bahan Fungsi

1 Ikan nila Sebagai objek yang diamati


(Oreochromis niloticus)
2 Minyak cengkeh Sebagai obat bius alami
3 Kertasl label Sebagai penanda toples
4 Air tawar Sebagai media hidup ikan
5 Tisu Sebagai pembersih alat-alat yang telah
digunakan

b. Sistem Saraf pada Udang

Bahan–bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Sistem Saraf tentang sistem saraf pada udang disajikan pada tabl berikut:
86

Tabel 30. Bahan dan Fungsi Materi Sistem Saraf Udang


No Bahan Fungsi

1 Udang galah Sebagai objek yang diamati


(Macrobrachium rosenbergii)
2 Air tawar Sebagai media hidup udang galah
(Macrobrachium rosenbergii)
3 Minyak cengkeh Sebagai obat bius alami
4 Kertas label Sebagai penanda toples
5 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah
digunakan

3.2.7 Endokrinologi

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Endokrinologi, disajikan pada tabel berikut:

Tabel 31. Bahan dan Fungsi Materi Endokrinologi


No Bahan Fungsi

1 Induk ikan mas Sebagai ikan donor yang diambil hipofisanya


(Cyprinus carpio) jantan
2 Induk ikan mas Sebagai ikan resipien yang disuntik supernatan
(Cyprinus carpio) betina
3 Hipofisa Sebagai bahan pembuatan supernatan
4 Supernatan Sebagai larutan yang disuntikkan pada ikan
mas resipien
5 Na-Fis Sebagai larutan isotonis dan pengencer
hipofisa
6 Alkohol 70% Sebagai pengondisian aseptis
7 Kertas Aluminium foil Sebagai penutup tabung reaksi dan menjaga
agar suhu tetap stabil
8 Kertas label Sebagai penanda spuit dan tabung reaksi
9 Kertas saring Sebagai alas hipofisa setelah diambil
10 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah digunakan
11 Kapas Sebagai pengondisian steril dan penutup
tabung reaksi agar supernatan tidak tumpah
12 Sterofoam Sebagai alas dan penutup akuarium
13 Air tawar Sebagai media hidup ikan mas
(Cyprinus carpio)
14 Trash bag Sebagai tempat pembuangan kotoran setelah
praktikum

3.2.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi

Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina, disajikan pada tabel berikut:


87

Tabel 32. Bahan dan Fungsi Materi Pewarnaan dan Pengamatan Gonad
gBetina
No Bahan Fungsi

1 Induk ikan mas Sebagai objek yang akan diambil gonadnya


(Cyprinus carpio)
betina
2 Air tawar Sebagai media hidup ikan mas (Cyprinus carpio).
3 Kertas buram Sebagai alas gonad pada saat penimbangan
4 Gonad ikan mas Sebagai objek yang diamati
(Cyprinus carpio)
5 Tisu Sebagai pembersih alat-alat setelah digunakan
6 Akuades Sebagai pembilas objek glass
7 Asetokarmin Sebagai pewarna pada gonad
8 Kertas label Sebagai penanda objek glass dan pipet
9 Trash bag Sebagai tempat pembuangan kotoran setelah
praktikum

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Osmoregulasi

a. Pengamatan Empedu

Prosedur kerja pada praktikum fisiologi hewan air tentang pengamatan

empedu sapi, langkah pertama yang dilakukan adalah disiapkan alat dan bahan.

Alat-alat yang digunakan adalah toples kapasitas 3 L, timbangan OZ, stopwatch,

nampan, freezer, baskom, kamera digital, penggaris gunting, kamera digital, dan

timbagan digital. Bahan-bahan yang digunakan adalah empedu sapi, benang

kasur, kertas label, tisu, garam garasak (NaCl), Air bersalinitas (0 ppt, 30 ppt, 45

ppt dan 60 ppt), Trash bag, dan plastik bening.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah disiapkan toples bening

yang telah diisi air sebanyak 2,25 L bagian agar saat empedu dimasukkan

kedalam toples airnya tidak tumpah. Toples yang digunakan adalah toples

bening dan cembung yang bertujuan untuk mempermudah dan memperjelas

pengamatan empedu didalam toples saat pengamatan. NaCl ditimbang

menggunakan menggunakan timbangan digital ketelitian 10-2 dengan sesuai

toleransi yang ditentukan. Cara menggunakan timbangan digital sebagi berikut


88

ditancapkan kabel ke stop kontak, tekan tombol “ON” untuk menghidupkan

timbangan, lalu ditaruh nampan sebagai alas pada timbangan dan tekan “ZERO”

tunggu sampai muncul angka nol (0). Diletakkan NaCl yang akan ditimbang,

tekan “OFF” untuk mematikan timbangan digital. Rumus untuk menentukan

garam yang dibutuhkan dengan salinitas yang sudah ditentukan dan volume air

dalam toples, dapat dihitung menggunakan sebagai berikut:

Salinitas X Volume air = Massa air(gr)

Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah empedu sapi ditimbang dan

dicatat hasilnya sebagai berat awal (w0) dengan menggunakan timbangan OZ

dengan ketelitian 10-1 untuk mengetahui berat awal (w0). Cara menggunakan

timbangan OZ yaitu,pertama timbangan disambungkan dengan sumber listrik.

Tekan tombol “ON” dan letakkan nampan diatas timbangan tekan lagi tombol

“ZERO” setelahnya, lalu letakkan empedu sapi diatas timbangan dan lihat angka

yang berada dilayar timbangan dan catat hasilnya. Langkah selanjutnya, setelah

diketahui berat dari empedu sapi, kemudian dikonversikan satuan nya kesatuaan

gram dengan cara:

Berat empedu sapi X 0.031X 28,75

Dipilih empedu sapi sebagai bahan pengamatan karena memiliki

membrane semi-permeabel yaitu membrane yang hanya dapat dilewati oleh

cairan tertentu. Tahapan selanjutnya, empedu sapi dalam pengamatan empedu

diikat dengan tali kasur yang gunanya memudahkan dalam memasukkan

maupun mengeluarkan empedu selama pengamatan dan mencegah cairan yang

ada dalam empedu keluar, dimasukkan kedalam toples yang telah diisi air 2,25 L

dengan salinitas 0 ppt pada meja 1, salinitas 15 ppt pada meja 2, salinitas 30 ppt

pada meja 3, salinitas 45 ppt pada meja 4 dan salinitas 60 ppt pada meja 5.
89

Perlakuan salinitas yang berbeda bertujuan untuk mengetahui perubahan

empedu sapi disetiap meja dengan salinitas yang berbeda setiap 20 menit sekali

selama 2 jam. Perubahan yang diamati adalah perubahan bentuk, perubahan

warna empedu dan keadaan atau warna air. Pengamatan setiap 20 menit sekali

selama 2 jam selesai, empedu sapi diangkat keluar dari toples dan diletakkan

diatas nampan, lalu ditimbang (wt) dengan timbangan OZ. Mekanisme

penggunaan timbangan OZ yaitu, pertama timbangan disambungkan dengan

sumber listrik. Langkah selanjutnya, tekan tombol “ON” dan letakkan nampan

diatas timbangan tekan lagi tombol “ZERO” setelahnya, lalu letakkan empedu

sapi diatas timbangan dan lihat angka yang berada dilayar timbangan dan catat

hasilnyauntuk mengetahui berat empedu akhir (wt).

b. Toleransi Salinitas

Prosedur kerja pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi

mengenai toleransi salinitas, langkah pertama yang dilakukan adalah

menyiapkan alat dan bahan. Alat yang digunakan adalah toples kapasitas 3 L,

penggaris, beaker glass, nampan, stopwatch, seser, aerator set, akuarium, kabel

roll, timbangan digital dan kamera digital. Bahan yang digunakan adalah air

bersalinitas (0 ppt,30 ppt, 45 ppt, 60 ppt), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan

lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan damsel (Chrysiptera cyanea), garam grasak

(NaCl), kertas label, tisu, trash bag, air tawar dan air laut.

Disiapkan toples bening yang cembung dengan ukuran 3 L, bertujuan

untuk mempermudah pengamatan dan memperjelas pengamatan difusi. Toples

berkapasitas 3 L diisi dengan air bersalinitas sebanyak 2, 25 L atau ¾ dari toples

agar air tidak tumpah saat ikan dimasukkan. Perlakuan salinitas untuk meja 1

sebesar 0 ppt, meja 2 sebesar 15 ppt, meja 3 sebesar 30 ppt, meja 4 sebesar 45

ppt dan meja 5 sebesar 60 ppt. Cara membuat air bersalinitas yang berbeda

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:


90

Jumlah berat garam hasil dari perhitungan diatas, ditimbang

menggunakan timbangan digital. Cara menimbang dengan timbangan digital

yaitu colokkan ke stop kontak dan tekan tombol “ON”. Letakkan kertas diatas

timbangan digital sampai muncul “ZERO”. Letakkan garam diatas kertas dan

catat hasil lalu campurkan dengan air ditoples diaduk dengan penggaris. Diambil

ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan ikan

damsel (Crysiptera cyanea) dari akuarium menggunakan seser. Tujuan

digunakan ikan yang berbeda-beda ialah untuk mengetahui perbedaan toleransi

salinitas masing-masing ikan yang digunakan. Ikan ditimbang dengan timbangan

digital dengan ketelitian 10-2.

Mekanisme penimbangan ikan dilakukan dengan metode basah, yaitu

dengan cara ditekan tombol “ON”, beaker glass yang berisi air diletakkan di

timbangan lalu tekan “ZERO”, untuk mengembalikan ke angka nol. Ikan

diimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian dilihat dan dicatat hasilnya

sebagai W o. Langkah selanjutnya, ikan dimasukkan ke dalam toples masing-

masing perlakuan. Ikan diamati tingkah lakunya setiap 20 menit selama 2 jam

dengan menggunakan stopwatch untuk memudahkan menghitung waktu

pengamatan. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 jam untuk memperoleh hasil

yang maksimal dan dapat dibandingkan toleransi ikan terhadap salinitas berbeda

dalam satuan waktu. Timbang berat akhir ikan setelah pengamatan selesai

menggunakan timbangan digital dan dicatat hasilnya sebagai wt.

3.3.2 Respirasi

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Respirasi yang pertama adalah

menyiapkan alat dan bahan. Alat-alat yang digunakan adalah termometer

akuarium, heater masak, beaker glass, stopwatch, aerator set, DO meter,

nampan, seser, kabel roll, akuarium, freezer, hand tally counter, kamera digital,

baskom dan toples kapasitas 3 L. Bahan-bahan yang digunakan adalah ikan nila
91

(Oreochromis niloticus), plastik, karet gelang, es batu, kertas label, tisu, air panas

akuades.

Langkah kedua, toples bening kapasitas 3 L diisi air ¾ bagian lalu

dimasukkan termometer dalam toples. Tujuan menggunakan toples bening dan

cembung untuk mempermudah dan memperjelas pada saat pengamatan.

Ditunggu media air sampai pada suhu perlakuan, yaitu pada meja 1 dengan suhu

28°C, meja 2 dengan suhu 29°C, meja 3 dengan suhu 30°C, meja 4 dengan

suhu 31°C dan meja 5 dengan suhu 32°C. Suhu yang terlalu tinggi pada toples

dapat diturunkan dengan penambahan es batu, tetapi jika suhu terlalu rendah

dapat dinaikkan dengan penambahan air hangat. Langkah selanjutnya diukur DO

awal dengan DO meter. Cara menggunakan DO meter yaitu DO meter dikalibrasi

dengan akuades, lalu DO meter dimasukkan ke dalam air, tekan tombol

“ON/OFF” kemudian tunggu hingga “ready” pada layar dan nilai DO akan muncul

kemudian dicatat hasilnya. Empat ekor ikan nila (Oreochromis niloticus)

dimasukkan ke dalam toples, sebelumnya ikan harus di aklimatisasi terlebih

dahulu selama 5 menit yang bertujuan agar ikan tidak stres saat dilakukan

pemindahan dari akuarium ke toples berkapasitas 3 L. Ikan pertama dijadikan

sebagai ikan kontrol dan tiga ikan lainnya dimasukkan ke dalam satu toples.

Tujuan ketiga ikan dimasukkan ke dalam satu toples adalah untuk

membandingkan konsumsi oksigen antara ikan kontrol dengan ikan perlakuan

tersebut. Dimana satu dari ketiga ikan tersebut dijadikan sebagai objek

pengamatan dan ikan lainnya sebagai pembanding konsumsi oksigen.

Langkah selanjutnya, toples ditutup menggunakan plastik bening dan

diikat dengan karet gelang. Perlakuan tersebut bertujuan untuk mencegah udara

masuk ke dalam toples agar tidak terjadi difusi udara yang dapat mempengaruhi

hasil yang diperoleh. Langkah selanjutnya, dihitung bukaan mulut operkulum

selama 1 menit setiap 10 menit sekali dengan pengulangan 3 kali menggunakan


92

handtally counter, pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan

hasil yang akurat. Dicatat hasil bukaan operkulum dan dihitung rata-ratanya. DO

akhir diukur menggunakan DO meter dan dicatat sebagai DOt. Alasan mengapa

diukur DOo dan DOt adalah agar mengetahui seberapa banyak O2 yang

dikonsumsi oleh ikan. Dicatat hasil dan dihitung total DO menggunakan rumus

sebagai berikut:
DO = DO0 – DOt

3.3.3 Sistem Pencernaan

a. Digestibility

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi sistem Pencernaan tentang

Digestibility, langkah pertama yang harus di lakukan adalah mempersiapkan alat

dan bahan. Alat yang digunakan sebagai berikut toples 3 L, T aerator, selang

sifon, kamera digital, timbangan digital, selang aerator, stopwatch, seser, aerator,

nampan, sectio set, oven, beaker glass, akuarium, Loyang, gunting, freezer,

desikator, saringan teh, kalkulator, batu aerasi, bak dan kabel roll. Bahan yang

digunakan adalah ikan nila (Oreochromis niloticus), lumut jaring (Chaetomorfa

sp.), mata lele (Azolla pinata), cacing sutra (Tubifex sp.), cacing darah

(Chironomous sp.), pelet, air tawar, kertas saring, tisu, kertas saring 15x15cm2,

kertas buram, trash bag dan kertas label.

Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang akan digunakan diadaptasikan

selama 24 jam dengan cara dipuasakan, tujuan ikan dipuasakan selama 24 jam

agar mengetahui daya cerna ikan secara optimal. Langkah selanjutnya disiapkan

toples bening 3 L dan isi air sebanyak 2,25 L agar saat dimasukan ikan air tidak

tumpah. Tujuan menggunakan toples bening agar mudah diamati dengan jelas

saat ikan mengeluarkan feses. Toples di pasang aerator terlebih dahulu, dengan
93

cara dihubungkan dengan T aerator dan selang aerator. Tujuannya agar oksigen

dapat tersebar merata di dalam toples. Disiapkan ikan nila (Oreochromis

niloticus) dan ditimbang berat awal dengan timbangan digital ketelitian 10-2

menggunakan metode basah. Cara menggunakan timbangan digital pertama

ditancapkan kabel ke stopkontak, tekan tombol “ON” untuk menghidupkan

timbangan, lalu diletakkan beaker glass yang berisi air pada timbangan dan

tekan “ZERO” tunggu sampai muncul angka nol (0). Diletakkan ikan yang akan

ditimbang, dilihat dan dicatat hasilnya kemudian tekan “OFF” untuk mematikan

timbangan digital. Tujuannya untuk mengetahui jumlah pakan yang akan

diberikan pada ikan yaitu sebesar 5% dari berat tubuh ikan. Pemberian pakan

sebanyak 5% dari berat tubuh ikan diasumsikan bahwa sudah memenuhi

lambung ikan. Langkah selanjutnya, pakan diberikan sesuai perlakuan pada

meja 1 menggunakan mata lele (Azolla pinnata), pada meja 2 menggunakan

cacing darah (Chironomous sp.), pada meja 3 cacing sutra (Tubifex sp.), pada

meja 4 menggunakan pellet sebagai pakan buatan, pada meja 5 menggunakan

lumut jaring (Chaetomorfa sp.). Tujuan digunakan pakan yang berbeda untuk

mengetahui daya cerna ikan yang paling tinggi dari kelima pakan tersebut.

Tujuan menggunakan ikan nila (Oreochromis niloticus) karena ikan nila

(Oreochromis niloticus) bersifat omnivora, yaitu pemakan segala baik hewani

maupun nabati.

Pakan ditimbang menggunakan timbangan digital, tujuannya untuk

mendapatkan berat pakan sesuai dengan kebutuhan ikan nila (Oreochromis

niloticus). Cara menimbang pakan dengan timbangan digital menggunakan

metode kering, pertama ditekan tombol “ON” kemudian disiapkan kertas alas

untuk menimbang dan diletakkan diatas timbangan. Tekan “ZERO” hingga

muncul angka “0”, diletakkan pakan dan didapatkan hasil. Hasil tersebut

didapatkan dengan cara mengalikan 5% dari berat tubuh ikan. Ikan diberi pakan
94

sedikit demi sedikit sampai kenyang (adlibitum) dan ditunggu selama 3 jam untuk

mengeluarkan feses. Ikan yang mengeluarkan feses dalam selang waktu 3 jam

maka dilakukan penyifonan. Cara penyifonan, pertama selang dimasukkan ke

dalam toples, kemudian air disedot keluar toples, selang diarahkan ke pakan

atau feses yang ada di dalam toples agar keluar dan tersaring di kain saring,

apabila tidak mengeluarkan feses maka ikan tersebut dibedah.

Cara pembedahan ikan, pertama mata ikan ditutup menggunakan lap

basah agar ikan tidak stres, ditusuk medula oblongata agar ikan mati, karena

medula oblongata adalah tempat Saraf. Ikan dibelah dari lubang urogenital

diteruskan ke linea lateralis, lalu diteruskan ke belakang operkulum dan

dilanjutkan dibagian sirip dorsal menggunakan sectio set. Usus diurut 2-3 cm dari

anus dan diambil sisa feses. Tujuan diurut 2-3 cm diasumsikan sudah tercerna

dengan sempurna.

Kain saring 15 × 15 cm di oven dengan suhu 100°C selama 15 menit.

Tujuannya untuk menyerap kadar air dalam kain. Cara menggunakan oven,

pertama hubungkan stop kontak dengan arus listrik, putar tombol pada posisi “I”

(tegak lurus). Putar suhu yang telah ditentukan yaitu 100°C. Diputar waktu

tombol kira-kira 15 menit. Bahan dimasukkan setelah mencapai suhu yang

ditetapkan (100°C). Kain saring dikeluarkan dari oven setelah 15 menit dan putar

tombol pada posisi nol “0”. Artinya semua tombol waktu dan suhu diputar pada

posisi nol, cabut stop kontak dari sumber listrik untuk mematikan alat.

Langkah selanjutnya, di desikator selama 15 menit, untuk menghilangkan

kadar uap air. Cara menggunakan desikator, pertama dibuka tutup desikator

dengan cara digeser lalu diangkat. Dimasukkan kain saring yang akan di

desikator, tutup kembali desikator dan rapatkan klep. Bagian desikator yang

menyerap kadar uap air adalah silica gel yang terletak pada bagian bawah

desikator. Tutup desikator dibuka, kain saring dikeluarkan dan ditimbang


95

menggunakan timbangan digital. Tujuan kain saring ditimbang untuk mengetahui

beratnya, karena kain saring tersebut akan dijadikan alas untuk menimbang

feses dan sisa pakan. Kain saring diletakkan dalam saringan teh, sisa pakan dan

feses diletakkan di kain saring yang berbeda. Bahan (kain saring, sisa pakan dan

feses) tersebut di oven, tujuannya untuk menyerap kadar air dalam bahan, lalu

ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 10-2. Dihitung

Digestibility menggunakan rumus sebagai berikut:

Digestibility =

Keterangan:

- BTM: Berat Total Pakan yang di makan (gram).

- BTF: Berat Total Feses.

- BTM: Penjumlahan dari sisa pakan kering dan sisa pakan basah.

b. GET

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem Pencernaan tentang Gastric

Evacuation Time, langkah awal yang harus dilakukan adalah menyiapkan alat

dan bahan. Untuk alat yang digunakan adalah toples kapasitas 3 L, timbangan

digital, stopwatch, seser, aerator, T aerator, sectio set, nampan, kabel roll, selang

aerator, freezer, kamera digital, akuarium, lap basah, beaker glass, gunting, bak,

desikator dan batu aerasi. Bahan yang digunakan adalah ikan nila (Oreochromis

niloticus), lumut jaring (Chaertomorfa sp.), mata lele (Azolla pinnata), cacing

darah (Chironomous sp.), cacing sutra (Tubifex sp.), pelet, air tawar, kertas label,

kertas buram, tisu dan trash bag.

Ikan nila (Oreochromis niloticus) disiapkan dan diadaptasikan terlebih

dahulu dengan dipuasakan selama 24 jam sebelum diamati. Tujuan ikan

dipuasakan, agar saat pengamatan lambung ikan dalam keadaan kosong,


96

sehingga saat diamati ikan dapat makan dengan optimal. Toples bening dengan

kapasitas 3 L diisi air sebanyak 2,25 L agar saat ikan dimasukkan air tidak

tumpah. Tujuan menggunakan toples bening agar mudah diamati dengan jelas.

Di pasang aerator pada masing-masing toples sebagai penyuplai oksigen.

Diambil empat ekor ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ditimbang

menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 10-2 menggunakan metode

basah. Cara menggunakan timbangan digital pertama ditancapkan kabel ke

stopkontak, tekan tombol “ON” untuk menghidupkan timbangan, lalu diletakkan

beaker glass yang berisi air pada timbangan dan tekan “ZERO” tunggu sampai

muncul angka nol (0). Diletakkan ikan yang akan ditimbang, dilihat dan dicatat

hasilnya kemudian tekan “OFF” untuk mematikan timbangan digital. Tujuannya

untuk mengetahui jumlah pakan yang akan diberikan pada ikan yaitu sebesar 5%

dari berat tubuh ikan. Pemberian pakan sebanyak 5% dari berat tubuh ikan

diasumsikan bahwa sudah memenuhi lambung ikan. Empat ekor ikan nila

(Oreochromis niloticus) dengan ukuran yang sama dimasukkan ke dalam empat

toples yang berbeda. Tujuan menggunakan ikan nila (Oreochromis niloticus)

karena termasuk hewan omnivora dan memiliki sistem pencernaan yang

lengkap. Satu ekor ikan nila (Oreochromis niloticus) dijadikan sebagai ikan

kontrol yang akan dibedah untuk diambil lambungnya dan tiga ekor ikan lainnya

digunakan sebagai pembanding. Ikan diberi pakan 5% dari berat tubuh ikan dan

pakan tersebut ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 10-2.

Cara menggunakan timbangan digital dengan metode kering, pertama

disambungkan dengan arus listrik, disiapkan beaker glass yang digunakan untuk

menimbang dan diletakkan diatas timbangan. Ditekan tombol “ON” dan tekan

tombol “ZERO” hingga muncul angka nol “0”. Diletakkan pakan dan dicatat

hasilnya.

Ikan nila (Oreochromis niloticus) diberi perlakuan pakan yang berbeda,


97

meja 1 diberi pakan mata lele (Azolla pinnata) sebagai pakan alami nabati, meja

2 cacing darah (Chironomous sp.) sebagai pakan alami hewani, meja 3 cacing

sutra (Tubifex sp.) sebagai pakan alami hewani, meja 4 diberi pellet sebagai

pakan buatan nabati dan meja 5 diberi lumut jaring (Chaetomorfa sp.) sebagai

pakan alami nabati. Tujuan diberi pakan yang berbeda untuk mendapatkan GET

yang tinggi. Tiga ikan nila (Oreochromis niloticus) diamati sebagai ikan GET 1

pada toples 2, GET 2 pada toples 3 dan GET 3 toples 4 serta ikan kontrol pada

toples 1. Ikan GET 1 diamati selama 1 jam, ikan GET 2 diamati selama 2 jam,

dan ikan GET 3 diamati selama 3 jam. Tujuan digunakan tiga ikan nila

(Oreochromis niloticus) untuk mengetahui GET yang mengeluarkan feses

terlebih dahulu. Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang mengeluarkan feses

pertama kali diantara ketiga ikan tersebut di catat GETnya, jika salah satu ikan

nila (Oreochromis niloticus) tidak mengeluarkan feses maka tiga ikan tersebut

akan dibedah dan diambil lambungnya menggunakan sectio set. Tujuan dari

pembedahan ikan ialah untuk membandingkan lambung ikan kontrol dengan

lambung ketiga ikan tesebut, lambung yang mendekati berat lambung ikan

kontrol diasumsikan sebagai GETnya.

3.3.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Pewarnaan tubuh dan fototaksis

tentang Pewarnaan tubuh, langkah pertama menyiapkan alat dan bahan. Alat

yang digunakan antara lain toples 3 L, kamera digital, kabel roll, seser,

stopwatch, nampan, akuarium, lampu cahaya putih, aerator, selang aerator, batu

aerasi, T aerator, gunting dan fitting lampu. Bahan yang digunakan yaitu ikan

sepat siam (Trichogaster trichopterus), plastik warna merah, plastik kuning,

plastik biru, plastik hijau dan plastik ungu, karet gelang, tisu, kertas label, selotip,

dan trash bag.


98

Disiapkan toples 3 L sebanyak 6 buah diisi air sebanyak ¾ bagian dengan

tujuan agar terdapat ruang udara sehingga air tidak tumpah ketika dimasukkan

ikan. Aerasi diberikan ke dalam toples untuk menyuplai oksigen. Ikan sepat siam

(Trichogaster trichopterus) dimasukkan ke dalam masing-masing toples.

Dimasukkan salah satu ikan sepat ke dalam toples dan dianggap sebagai ikan

kontrol, dicatat warna awal tubuh ikan kontrol. Ikan lain dimasukkan ke dalam

toples satunya dan ditutup dengan perlakuan meja 1 plastik warna hijau, meja 2

warna merah, meja 3 warna biru, meja 4 warna kuning dan meja 5 warna ungu.

Tujuan digunakan plastik, karena plastik bersifat mudah ditembus oleh cahaya.

Toples dikondisikan tertutup dengan rapat dan tidak ada celah cahaya yang

masuk dan saat penutupan dikondisikan agar selang aerator tidak tersumbat,

setelah itu diletakkan toples secara melingkar dan diletakkan lampu cahaya

putih, menggunakan cahaya putih karena bersifat netral, tidak menyebabkan

panas dan tidak mempengaruhi warna. Lampu diletakkan di tengah lalu dibiarkan

selama 24 jam dikarenakan waktu tersebut diasumsikan penyerapan warna

terjadi secara optimal, setelah 24 jam plastik yang menutupi toples dibuka, lalu

diamati dan didokumentasikan perubahan warna pada ikan. Dicatat waktu

dengan stopwatch saat warna tubuh ikan sepat siam (Trichogaster trichopterus)

kembali seperti warna tubuh awalnya, dan dicatat hasilnya.

b. Fototaksis

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

tentang Fototaksis, langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan alat dan

bahan. Alat yang digunakan yaitu akuarium, seser, senter cahaya putih, aerator

set, kamera digital, ember, kabel roll dan gunting. Bahan yang digunakan yaitu

ikan guppy (Poecillia reticulata), Ikan gurame (Osphronemous gouramy), lobster

air tawar (Cherax quadricarinatus), ikan mas koki (Carassius auratus), ikan black

ghost (Apteronotus albifrons), kertas buram, trash bag, selotip dan sterofoam.
99

Akuarium disiapkan dan di bersihkan terlebih dahulu menggunakan tisu

dan diisi air ¾ bagian. Tujuannya agar air tidak tumpah ketika ikan dimasukkan

ke dalam akuarium dan diberi aerator untuk menyuplai oksigen. Seluruh sisi

akuarium dilapisi dengan plastik gelap atau trash bag, lalu bagian bawah dan

atas akuarium diberi sterofoam. Tujuan perlakuan tersebut untuk pengondisian

gelap. Plastik dilubangi pada kedua sisi agar sumber cahaya dari senter bisa

masuk pada akuarium dan memfokuskan saat pengamatan. Masing-masing ikan

dimasukkan ke akuarium, akuarium 1 berisi ikan mas koki (Carasius auratus),

akuarium 2 berisi ikan black ghost (Apteronotus albifrons), akuarium 3 berisi ikan

guppy (Poecillia reticulata), akuarium 4 berisi ikan gurame (Osphronemous

gouramy) dan akuarium 5 berisi lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Saat

pengamatan berlangsung ditunggu ruangan hingga benar-benar dalam keadaan

gelap agar tidak mempengaruhi hasil pengamatan. Pengamatan fototaksis

digunakan senter cahaya putih untuk dapat menembus dan merambat lurus pada

medium, serta sebagai sumber cahaya akuarium. Ikan diamati tingkah lakunya

untuk menentukan termasuk jenis fototaksis positif atau negatif. Tujuan

digunakan ikan yang berbeda adalah untuk mengetahui dan membandingkan

tingkah laku ikan terhadap rangsangan cahaya dan dicatat hasilnya.

3.3.5 Hematologi

a. Pengambilan Sampel Darah

Langkah pertama yang dilakukan pada Praktikum Fisiologi Hewan Air

materi Hematologi tentang Pengambilan Sampel Darah yaitu menyiapkan alat

dan bahan. Alat yang digunakan untuk pengambilan film darah disajikan pada

Tabel, sedangkan bahan yang digunakan pengambilan sampel darah disajikan

pada Tabel. Langkah selanjutnya yaitu mengambil ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus) dari bak menggunakan seser untuk mempermudah pengambilan

ikan. Tujuan penggunaan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) karena ikan ini
100

tidak memiliki sisik, sehingga mempermudah dalam pengambilan darah. Ikan lele

dumbo diletakkan diatas nampan dan ditutupi dengan lap basah agar ikan lele

dumbo (Clarias gariepinus) tidak stess. Spuit 3 ml untuk mengambil sampel

darah diaseptiskan terlebih dahulu menggunakan alkohol 70% agar terhindar dari

mikroba dan selanjutnya diambil larutan Na-sitrat sebanyak 0,5 ml sebagai

larutan antikoagulan agar darah tidak menggumpal.

Bagian tubuh ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang diambil darahnya

yaitu pada bagian linea lateralis. Bagian tubuh ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus) diaseptiskan menggunakan alkohol 70%, caranya yaitu meneteskan

alkohol 70% pada kapas dan mengoleskannya pada bagian linea lateralis. Darah

kemudian diambil menggunakan spuit 3 ml dengan cara menyuntikkan spuit

pada bagian linea lateralis hingga mengenai tulang, kemudian spuit digeser ke

arah bawah dan di goyang-goyangkan untuk mendapatkan darah. Spuit

selanjutnya ditarik secara perlahan agar darah masuk ke dalam spuit dan sampel

darah yang telah terambil dimasukkan ke dalam tube yang sebelumnya sudah

ditambahkan Na-sitrat agar darah tidak menggumpal. Pengambilan darah dan

sampel darah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) disajikan pada Gambar 18.

(a) (b)

Gambar 18. Pengambilan Sampel Darah. (a) Pengambilan Sampel Darah Ikan
Lele Dumbo (Clarias gariepinus), (b) Sampel Darah Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus)

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Langkah pertama yang dilakukan pada Praktikum Fisiologi Hewan Air


101

materi Hematologi tentang Pembuatan Film Darah Tipis yaitu menyiapkan alat

dan bahan. Alat yang digunakan untuk pembuatan film darah tipis disajikan pada

Tabel, sedangkan bahan yang digunakan untuk untuk pembuatan film darah tipis

disajikan pada Tabel. Langkah selanjutnya adalah mengambil sampel darah ikan

lele dumbo (Clarias gariepinus) yang ada terdapat pada tube dengan

menggunakan spuit 3 ml. Sampel darah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

ditetes kan pada objek glass sebanyak 1 tetes, kemudian diratakan dengan

metode smear. Metode smear dilakukan dengan menggunakan 2 objek glass,

objek glass pertama di gunakan untuk alas sampel darah dan objek glass kedua

digunakan untuk meratakan sampel darah. Mekanismenya yaitu meratakan

sampel darah menggunakan objek glass kedua dengan cara menarik objek glass

dengan cepat hingga diperoleh film darah tipis. Metode smear disajikan pada

gambar 19.

Gambar 19. Mekanisme Metode Smear

Langkah selanjutnya yaitu dilakukan fiksasi menggunakan larutan

methanol sebanyak 1 tetes secara merata. Tujuan penggunaan methanol adalah

untuk meluruhkan lemak dan membuka pori-pori darah. Preparat selanjutnya

dikeringkan selama 5 menit, kemudian di tetesi dengan pewarna giemsa

sebanyak 1-2 tetes untuk memperjelas kenampakan darah. Preparat yang telah

ditetesi giemsa didiamkan selama 15 menit, kemudian dibilas dengan akuades

untuk menghilangkan sisa giemsa dan di keringkan selama 2 menit. Langkah

selanjutnya, preparat diamati dibawah mikroskop binokuler. Mekanisme


102

penggunnaan mikroskop binokuler yaitu, pertama menyambungkan mikroskop ke

sumber listrik lalu tombol “ON” ditekan dan pengatur cahaya diputar untuk

mendapatkan cahaya yang tepat. Objek glass diletakkan diatas meja preparat

dan diatur perbesarannya hingga perbesaran 400x yaitu 40x lensa objektif dan

10x lensa okuler. Hasil pengamatan yang diperoleh dicatat dan didokumentasi.

Mikroskop yang telah digunakan, dimatikan dengan cara menekan tombol “OFF”

dan mencabut kabel mikroskop dari sumber listrik.

c. Perhitungan Eritrosit

Langkah pertama yang dilakukan pada Praktikum Fisiologi Hewan Air

materi Hematologi tentang Perhitungan Eritrosit yaitu menyiapkan alat dan

bahan. Alat yang digunakan untuk perhitungan eritrosit disajikan pada Tabel,

sedangkan bahan yang digunakan untuk perhitungan eritrosit disajikan pada

Tabel. Langkah selanjutnya, sampel darah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

diambil menggunakan pipet toma dengan cara dihisap hingga skala 0,5, lalu

ditambahkan larutan hayem hingga volume 101, kemudian di homogenkan

dengan cara di kocok. Larutan hayem berfungsi untuk memperjelas eritrosit.

Campuran darah dan larutan hayem yang telah homogen, kemudian dibuang

sebanyak 3 tetes yang diasumsikan sebagai darah yang tidak terhomogenkan.

Langkah selanjutnya, campuran di teteskan pada haemocytometer

sebanyak 1 tetes dan ditutup cover glass dengan kemiringan 45o agar tidak

terdapat gelembung udara. Preparat yang sudah siap, diamati di bawah

mikroskop binokuler. Mekanisme penggunnaan mikroskop binokuler yaitu,

pertama menyambungkan mikroskop ke sumber listrik lalu tombol “ON” ditekan

dan pengatur cahaya diputar untuk mendapatkan cahaya yang tepat.

Haemocytometer diletakkan diatas meja preparat dan diatur perbesarannya

hingga perbesaran 400x yaitu 40x lensa objektif dan 10x lensa okuler.

Perhitungan eritrosit dilakukan pada 5 bidang pandang haemocytometer. Total


103

eritrosit pada 5 bidang pandang di jumlah kemudian dimasukkan pada

persamaan berikut:

Keterangan:
Eritrosit = n x 104
n = jumlah eritrosit

Bidang pandang haemocytometer yang digunakan untuk perhitungan disajikan

pada Gambar 20.

Gambar 20. Bidang Pandang Perhitungan Eritrosit pada Haemocytometer

d. Perhitungan Leukosit

Langkah pertama yang dilakukan pada Praktikum Fisiologi Hewan Air

materi Hematologi tentang Perhitungan Leukosit yaitu menyiapkan alat dan

bahan. Alat yang digunakan untuk perhitungan leukosit disajikan pada Tabel,

sedangkan bahan yang digunakan untuk perhitungan leukosit disajikan pada

Tabel. Langkah selanjutnya, sampel darah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

diambil menggunakan pipet toma dengan cara dihisap hingga skala 0,5, lalu

ditambahkan larutan turk hingga volume 11, kemudian di homogenkan dengan

cara di kocok. Larutan turk berfungsi untuk memperjelas leukosit. Campuran

darah dan larutan turk yang telah homogen, kemudian dibuang sebanyak 3 tetes

yang diasumsikan sebagai darah yang tidak terhomogenkan.

Langkah selanjutnya, campuran di teteskan pada haemocytometer

sebanyak 1 tetes dan ditutup cover glass dengan kemiringan 45o agar tidak

terdapat gelembung udara. Preparat yang sudah siap, diamati di bawah


104

mikroskop binokuler. Mekanisme penggunnaan mkroskop binokuler yaitu,

pertama menyambungkan mikroskop ke sumber listrik lalu tombol “ON” ditekan

dan pengatur cahaya diputar untuk mendapatkan cahaya yang tepat.

Haemocytometer diletakkan diatas meja preparat dan diatur perbesarannya

hingga perbesaran 400x yaitu 40x lensa objektif dan 10x lensa okuler.

Perhitungan leukosit dilakukan pada 4 bidang pandang haemocytometer. Total

leukosit pada 4 bidang pandang di jumlah kemudian dimasukkan pada

persamaan berikut:

Leukosit = n x 50 Keterangan:
n = jumlah leukosit

Bidang pandang haemocytometer yang digunakan untuk perhitungan

disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Bidang Pandang Perhitungan Leukosit pada Haemocytometer

e. Perhitungan Hemoglobin

Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum Fisiologi Hewan Air

materi hematologi tentang Perhitungan Hemoglobin yaitu menyiapkan alat dan

bahan. Alat yang digunakan untuk perhitungan hemoglobin disajikan pada Tabel,

sedangkan bahan yang digunakan untuk perhitungan hemoglobin juga disajikan

pada Tabel. Langkah selanjutnya, memasukkan larutan HCl 0,1 N kedalam

tabung sahli dengan menggunakan pipet sahli. Tujuan penggunaan HCl adalah
105

untuk memisahkan asam hematin dari globin. Sampel darah ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) diambil menggunakan pipet sahli dengan cara dihisap

sebanyak 0,02 ml, kemudian sampel darah ikan lele dumbo ( Clarias gariepinus )

dimasukkan kedalam tabung sahli. Campuran HCl dan sampel darah pada

tabung sahli dihomogenkan hingga berwana coklat kehitaman. Langkah

selanjutnya, tabung sahli dimasukkan kedalam sahli haemometer, kemudian

ditambahkan akuades hingga warnanya sama dengan indikator warna pada sahli

haemometer. Perhitungan jumlah hemoglobin dilakukan dengan cara membaca

skala kuning pada tabung sahli. Sahli haemometer disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22. Sahli Haemometer

3.3.6 Sistem Saraf

a. Keseimbangan Tubuh Ikan

Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum Fisiologi Hewan Air

materi Sistem Saraf tentang Keseimbangan Tubuh Ikan yaitu menyiapkan alat

dan bahan. Alat yang digunakan untuk keseimbangan tubuh ikan disajikan pada

Tabel, sedangkan bahan yang digunakan keseimbangan tubuh ikan disajikan

pada Tabel. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan toples 3L dan diisi air ¾

bagian agar saat ikan dimasukkan, air didalam toples tidak tumpah dan agar

terjadi proses difusi antara udara dan air. Tujuan penggunaan toples bening

adalah untuk memudahkan melihat objek pada saat pengamatan. Ikan nila

(Oreochromis niloticus) yang digunakan untuk pengamatan keseimbangan tubuh

ikan berjumlah 4 ekor yang masing-masing dimasukkan ke dalam toples yang


106

telah diberi label. Satu ekor ikan nila (Oreochromis niloticus) digunakan sebagai

ikan kontrol dan tiga ekor lainnya sebagai ikan uji. Ikan dibiarkan selama 15

menit agar dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Ikan pertama pada toples

nomor 1 diberi perlakuan arus dengan cara mengaduk air dalam toples

menggunakan penggaris, diberi perlakuan bunyi dengan cara memukul toples

menggunakan penggaris dan diberi sentuhan pada bagian kepala, sirip dorsal,

caudal dan linea lateralis, kemudian diamati respon ikan setelah di beri

perlakuan. Ikan kedua pada toples nomor 2 diberi perlakuan dengan

menambahkan minyak cengkeh sebanyak 5 tetes dan ditunggu selama 5 menit.

Alasan penggunaan minyak cengkeh sebanyak 5 tetes karena sistem saraf pada

ikan lebih kompleks dibandingkan sistem saraf pada udang, sehingga dosis yang

diberikan lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang diberikan pada udang.

Langkah selanjutnya, diberi perlakuan arus dengan cara mengaduk air di dalam

toples menggunakan penggaris, diberi perlakuan bunyi dengan cara memukul

toples menggunakan penggaris dan diberi sentuhan pada bagian kepala, sirip

dorsal, caudal dan linea lateralis, kemudian diamati respon ikan. Ikan ketiga pada

toples nomor 3 diberi perlakuan universal yaitu pemotongan seluruh sirip.

Langkah selanjutnya, diberi perlakuan arus dengan cara mengaduk air di dalam

toples menggunakan penggaris, diberi perlakuan bunyi dengan cara memukul

toples menggunakan penggaris dan diberi sentuhan pada bagian kepala, sirip

dorsal, caudal dan linea lateralis, kemudian diamati respon ikan setelah di beri

perlakuan. Ikan keempat pada toples nomor 4 diberi perlakuan sesuai dengan

masing-masing meja. Meja pertama ditusuk matanya, meja kedua ditusuk linea

lateralisnya, meja ketiga dipotong sirip analnya, meja keempat dipotong sirip

caudalnya, meja kelima dipotong sirip pectoralnya. Langkah selanjutnya, diberi

perlakuan arus dengan cara mengaduk air dalam toples menggunakan

penggaris, diberi perlakuan bunyi dengan cara memukul toples menggunakan


107

penggaris dan diberi sentuhan pada bagian kepala, sirip dorsal, caudal dan linea

lateralis, kemudian diamati respon ikan setelah di beri perlakuan. Pemberian

minyak cengkeh, pemotongan bagian tubuh ikan, pemberian arus dan bunyi

disajikan pada Gambar 23.

(a (b
) )

(c (d
) )
Gambar 23. Pemberian Perlakuan pada Ikan a) Pemberian Minyak Cengkeh, b)
Pemotongan Bagian Tubuh Ikan, c) Pemberian Arus, d) Pemberian
Bunyi

b. Sistem Saraf pada Udang

Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum Fisiologi Hewan Air

materi Sistem Saraf tentang Sistem Saraf Pada Udang yaitu menyiapkan alat

dan bahan. Alat yang digunakan untuk sistem saraf pada udang disajikan pada

Tabel, sedangkan bahan yang digunakan sistem saraf pada udang disajikan

pada Tabel. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan toples 3L dan diisi air ¾

bagian agar saat udang dimasukkan, air didalam toples tidak tumpah dan agar

terjadi proses difusi antara udara dan air. Tujuan penggunaan toples bening

adalah untuk memudahkan melihat objek pada saat pengamatan. Udang galah

(Macrobrachium rosenbergii) yang digunakan untuk pengamatan sistem saraf

pada udang berjumlah 4 ekor yang masing-masing dimasukkan ke dalam toples


108

yang telah diberi label. Satu ekor udang galah (Macrobrachium rosenbergii)

digunakan sebagai udang kontrol dan tiga ekor lainnya sebagai udang uji. Udang

dibiarkan selama 15 menit agar dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Udang pertama pada toples nomor 1 diberi perlakuan arus dengan cara

mengaduk air dalam toples menggunakan penggaris, diberi perlakuan bunyi

dengan cara memukul toples menggunakan penggaris dan diberi sentuhan pada

bagian karapas, kemudian diamati respon udang setelah di beri perlakuan.

Udang kedua pada toples nomor 2 diberi perlakuan dengan menambahkan

minyak cengkeh sebanyak 3 tetes dan ditunggu selama 5 menit. Alasan

penggunaan minyak cengkeh sebanyak 3 tetes karena sistem saraf udang lebih

sederhana dibandingkan sistem saraf pada ikan, sehingga dosis yang diberikan

lebih sedikit dari dosis yang diberikan pada ikan. Langkah selanjutnya, diberi

perlakuan arus dengan cara mengaduk air dalam toples menggunakan

penggaris, diberi perlakuan bunyi dengan cara memukul toples menggunakan

penggaris dan diberi sentuhan pada bagian karapas, kemudian diamati respon

udang setelah di beri perlakuan. Udang ketiga pada toples nomor 3 diberi

perlakuan universal yaitu dipotong capit, telson dan kaki renang, mata, kaki jalan,

antenna dan antenula. Langkah selanjutnya, diberi perlakuan arus dengan cara

mengaduk air dalam toples menggunakan penggaris, diberi perlakuan bunyi

dengan cara memukul toples menggunakan penggaris dan diberi sentuhan pada

bagian karapas, kemudian diamati respon udang setelah di beri perlakuan.

Udang keempat pada toples nomor 4 diberi perlakuan sesuai dengan masing-

masing meja. Meja pertama dipotong capitnya, meja kedua dipotong telson dan

kaki renangnya, meja ketiga dipotong matanya, meja keempat dipotong kaki

jalan, meja kelima dipotong antenna dan antenulanya. Langkah selanjutnya,

diberi perlakuan arus dengan cara mengaduk air dalam toples menggunakan

penggaris, diberi perlakuan bunyi dengan cara memukul toples menggunakan


109

penggaris dan diberi sentuhan pada bagian karapasnya, kemudian diamati

respon udang setelah di beri perlakuan. Pemberian minyak cengkeh,

pemotongan bagian tubuh udang, pemberian arus dan bunyi disajikan pada

Gambar 24.

(a (b
) )

(c (d
) )
Gambar 24. Pemberian Perlakuan pada Udang: a) Pemberian Minyak Cengkeh,
b) Pemotongan Bagian Tubuh Udang, c) Pemberian Bunyi, d)
Pemberian Arus

3.3.7 Endokrinologi

Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum Fisiologi Hewan Air

materi Endokrinologi yaitu menyiapkan alat dan bahan. Alat yang digunakan

untuk pada praktikum endokrinologi disajikan pada Tabel, sedangkan bahan

yang digunakan untuk praktikum endokrinologi disajikan pada Tabel. Langkah

selanjutnya adalah induk ikan mas (Cyprinus carpio) jantan diambil dari akuarium

menggunakan seser dan diletakkan didalam bak berisi air, lalu ikan ditimbang

menggunakan timbangan Oz dengan ketelitian 10-1. Penimbangan dilakukan

dengan metode kering (tanpa menggunakan air). Mekanisme penimbangan

menggunakan timbangan Oz adalah langkah pertama sambungkan timbangan

ke sumber listrik, lalu ditekan tombol “ON”. Bak diletakkan di atas timbangan lalu
110

ditekan tombol “ZERO” agar nilainya 0. Langkah selanjutnya, ikan diletakkan di

atas bak dan ditimbang beratnya. Hasil berat tubuh ikan yang masih dalam

satuan Oz, di konversikan ke dalam satuan gram dengan mengalikan 31,

sehingga di dapatkan berat tubuh ikan dalam satuan gram.

Langkah selanjutnya, ikan mas (Cyprinus carpio) jantan diamati ciri-ciri

seks sekundernya. Ciri-ciri seks skunder ikan jantan antara lain: warna tubuh

yang lebih cerah, rahang menyempit, operkulum kasar, bentuk kepala runcing,

pergerakan aktif dan memiliki dua lubang genital, kemudian ikan diambil dari bak

dengan ditutup lap basah terutama pada bagian mata agar ikan tidak stres.

Kepala ikan mas (Cyprinus carpio) jantan dipotong pada bagian belakang

operkulum secara tegak lurus untuk diambil hipofisanya. Tujuan digunakan ikan

mas (Cyprinus carpio) jantan merupakan ikan donor universal. Kepala ikan yang

sudah terpisah dengan tubuhnya diberdirikan dengan posisi mulut ikan

menghadap ke atas, lalu dimasukkan ibu jari kiri ke mulut ikan untuk

menyeimbangkan kepala ikan saat pengambilan hipofisa. Kepala ikan dipotong

pada bagian tengkorak dekat dengan retina mata hingga bagian lekukan tulang

tengkorak kepala ikan. Pemotongan kepala ikan disajikan pada Gambar 25.

Gambar 25. Pemotongan Kepala Ikan

Langkah selanjutnya, hipofisa di ambil yang letaknya berada di bawah

otak yang di selimuti oleh selaput silatursica, di atas lekukan tulang sfenoid.
111

Hipofisa diambil menggunakan sectio set dan diletakkan diatas kertas saring

agar kandungan air, lemak dan darah pada hipofisa terserap. Pengambilan

hipofisa dan hasil hipofisa disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26. Pengambilan Hipofisa.

Langkah selanjutnya adalah hipofisa dihancurkan menggunakan tissue

grinder yang berisi Na-Fis sebanyak 1 ml yang berfungsi sebagai larutan isotonis

dan sebagai pengencer. Hipofisa dihancurkan dengan cara memutar tissue

grinder sampai hipofisa benar-benar hancur. Larutan Na-Fis dan hipofisa yang

telah tercampur dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian tabung reaksi

ditutup menggunakan kapas agar larutan tidak tumpah saat di sentrifugasi.

Langkah selanjutnya, tabung reaksi dibungkus dengan alumunium foil agar

hipofisa tidak mengalami denaturasi atau kerusakan saat di sentrifugasi,

kemudian tabung reaksi dimasukkan ke dalam alat sentrifuge dengan kecepatan

3200 rpm yang berfungsi untuk memisahkan residu dan supernatan. Cara

penggunaan alat sentrifuge yaitu pertama-tama alat disalurkan ke sumber listrik,

kemudian dibuka tutup sentrifuge dan terdapat 8 lubang. Tabung disusun secara

seimbang (berhadapan) agar saat dilakukan proses sentrifugasi larutan tidak

tumpah, setelah tabung dimasukkan sentrifuge di tutup. Sentrifugasi dilakukan

selama 21 menit dengan kecepatan secara berkala dimana pada skala 5 sampai

9 dilakukan selama 15 menit, lalu pada skala 10 selama 6 menit. Skala 9 sampai
112

1 dilakukan selama 4 lalu di putar sampai melebihi skala 0 hingga terdengar

bunyi “klik”. Sentirfuge ditunggu hingga berhenti berputar agar tidak rusak, jika

sentrifuge telah berhenti, dibuka tutup sentrifuge dan tabung reaksi dikeluarkan,

maka didapatkan supernatan, lalu sentrifuge dicabut dari sumber listrik.

Supernatan diambil menggunakan spuit 3 ml sebanyak 0,6 ml secara hati-hati

agar tidak ada gelembung udara, karena jika ada gelembung udara saat

penyuntikan maka akan menyebabkan pembuluh darah pecah.

Induk ikan mas (Cyprinus carpio) betina diambil dari akuarium dan

diletakkan di bak berisi air dengan menggunakan seser, kemudian diamati ciri

seks sekundernya. Ciri-ciri ikan seks sekunder ikan mas (Cyprinus carpio) betina

yaitu bentuk kepala lebih pipih, operkulum halus, pergerakan lebih pasif, warna

tubuh lebih pudar dan memiliki 3 lubang urogenital. Langkah selanjutnya, induk

ikan mas (Cyprinus carpio) betina ditimbang berat awalnya (Wo) menggunakan

timbangan OZ dengan ketelitian 10-1. Mekanisme penimbangan menggunakan

timbangan Oz adalah langkah pertama sambungkan timbangan ke sumber listrik,

lalu ditekan tombol “ON”. Diletakkan bak di atas timbangan lalu tekan tombol

“ZERO”. Letakkan ikan di atas bak yang ada di timbangan, ditunggu sampai

muncul hasilnya lalu dicatat dan didokumentasikan, lalu tekan tombol “OFF”,

setelah itu putuskan dari aliran sumber listrik. Penimbangan ini dilakukan untuk

mengetahui perbandingan berat ikan sebelum dan sesudah mengalami

perkembangan gonad, lalu diukur panjang tubuh ikan (TL) mengguanakan

meteran jahit. Pengukuran panjang tubuh dilakukan dari ujung mulut hingga

ujung ekor. Langkah berikutnya adalah menyiapkan spuit yang berisi supernatan.

Sebelum disuntikkan spuit harus diaseptiskan terlebih dahulu menggunakan

alcohol 70%.

Penyuntikan dilakukan pada bagian intramuscular (otot punggung) ikan,

teknik penyuntikan pada bagian ini memiliki kelebihan yaitu aman, sedangkan
113

kekurangannya adalah larutan lama merangsang perkembangan gonad.

Penyuntikan dilakukan di bagian intramuscular tepatnya di bagian belakang

operkulum dengan selisih dua jari dan selisih tiga sisik dari punggung, dengan

sudut kemiringan penyuntikan 45°, penyuntikan dilakukan pada dua sisi yaitu kiri

sebanyak 0,3 ml dan kanan sebanyak 0,3. Ketika jarum disuntikkan ikan sambil

diurut agar supernatan benar-benar masuk ke dalam tubuh ikan, setelah

melakukan penyuntikan dilakukan pemijatan pada bagian yang disuntik agar

supernatant dapat mengalir lebih cepat ke dalam tubuh. Langkah selanjutnya

yaitu, ikan dimasukkan kedalam akuarium yang telah dilengkapi dengan aerator,

thermometer akuarium dan heater akuarium. Pengamatan dilakukan pada induk

ikan mas (Cyprinus carpio) betina selama 10 jam setiap 2 jam sekali. Setiap 2

jam diamati warna air, pergerakan ikan, bentuk perut, suhu dan keluar tidaknya

telur. Dilakukan perhitungan Latency time pada ikan yang memijah. Ikan yang

memijah memiliki ciri yaitu keluarnya telur dari lubang urogenitalnya, selain itu air

di akuarium akan menjadi keruh dan sebelumnya dan perut ikan akan mengecil

secara perlahan. Latency time yaitu selang waktu pada saat penyuntikan

pertama sampai pemijahan. Penyuntikan pada induk ikan mas (Cyprinus carpio)

betina disajikan pada Gambar 27.

Gambar 27. Penyuntikan pada Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio).

3.3.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina

Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum Fisiologi Hewan Air


114

materi Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina yaitu menyiapkan alat dan

bahan. Alat yang digunakan untuk pewarnaan dan pengamatan gonad betina

disajikan pada Tabel, sedangkan bahan yang digunakan untuk pewarnaan dan

pengamatan gonad betina disajikan pada Tabel. Langkah selanjutnya ikan mas

(Cyprinus carpio) betina diambil dari akuarium menggunakan seser agar

mempermudah pengambilan dan diletakkan di dalam ba berisi air. Ikan mas

(Cyprinus carpio) diamati ciri-ciri sekundernya, yaitu kepala lebih pipih,

operkulum halus, pergerakan lebih pasif, warna tubuh lebih pudar dan memiliki 3

lubang urogenital. Langkah selanjutnya, diukur panjang total tubuhnya (TL),

dengan menggunakan meteran jahit mulai dari anterior (mulut) hingga posterior

(ekor). Dilakukan penimbangan berat tubuh (Wt) pada ikan mas (Cyprinus carpio)

menggunakan timbangan Oz dengan ketelitian 10-1 dengan metode kering.

Cara penggunaan timbangan Oz yaitu pertama timbangan dihubungkan

ke sumber listrik, kemudian ditekan tombol “ON”. Bak diletakkan diatas

timbangan Oz, lalu di tekan tomobol “ZERO” agar menjadi 0. Ikan mas (Cyprinus

carpio) diletakkan di dalam bak dan ditimbang beratnya. Hasil dari penimbangan

tersebut di konversikan kesatuan gram dengan cara mengalikan hasilnya dengan

31, sehingga hasil penimbangan berat tubuh ikan dalam satuan gram.

Langkah selanjutnya, kepala ikan resipien dipotong pada batas

operkulum hingga kepala terpisah, kemudian ikan dibedah menggunakan sectio

set dari perut hingga lubang urogenital. Gonad dibersihkan dari lemak-lemak

secara perlahan agar tidak merusak gonadnya. Langkah selanjutnya, dilakukan

pengamatan letak dari gonadnya, letak gonad berada di samping atau bawah

gelembung renang, lalu diamati tingkat kematangan gonadnya berdasarkan

tingkat kematangan gonad Kasteven. Setelah itu gonad diambil dan diletakkan

diatas kertas buram agar air dan lemak pada gonad terserap, selanjutnya gonad

ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 10-2. Pembedahan


115

ikan mas (Cyprinus carpio) betina dan gonad ikan mas (Cyprinus carpio) betina

disajikan pada Gambar 28.

(a) (b)

Gambar 28. Pengambilan Gonad Ikan Mas (Cypinus carpio) Betina. (a)
Pembedahan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Betina, (b) Gonad
Ikan Mas (Cyprinus carpio).

Mekanisme kerja dari timbangan digital adalah pertama sambungkan

timbangan ke sumber listrik, lalu ditekan “ON”. Kertas buram diletakkan diatas

timbangan lalu ditekan tombol “zero”. Diletakkan gonadnya diatas kertas buram

dan ditimbang. Penimbangan gonad ikan mas (Cyprinus carpio) disajikan pada

Gambar 29.

Gambar 29. Penimbangan Gonad

Berat gonad yang didapatkan kemudian dicatat, selanjutnya dilakukan

perhitungan nilai GI (Gonado Indeks) dan GSI (Gonado Somatik Indeks) dengan

persamaan:

GSI = Wg x 100 % GI = Wg
Wt L3
116

Keterangan:

GI : Gonado Somatik Indeks

GSI : Gonado Indeks

Wg : Berat Gonad (gram)

Wt : Berat tubuh ikan (gram)

L3 : Pangkat tiga panjang tubuh ikan (mm)

Langkah selanjutnya, satu butir telur diambil dari gonad menggunakan

pipet tetes dan diletakkan pada objek glass. Larutan asetokarmin diteteskan

sebanyak 1 tetes pada objek glass yang berfungsi untuk memberikan warna

pada telur. Digunakan larutan asetokarmin sebagai pewarna sel telur karena

asetokarmin bersifat asam sedangkan sel telur bersifat basa, sehingga bila

digabungkan akan bersifat isotonis. Sel telur didiamkan selama 2 sampai 3 menit

agar warna meresap pada telur. Pewarnaan sampel telur disajikan pada Gambar

30.

Gambar 30. Pewarnaan Sampel Telur

Sel telur yang sudah siap, diamati dibawah mikroskop binokuler.

Mekanisme penggunnaan mikroskop binokuler yaitu, pertama menyambungkan

mikroskop ke sumber listrik lalu tombol “ON” ditekan dan dilakukan pengaturan

cahaya untuk mendapatkan cahaya yang tepat. Objek glass yang berisi sel telur

diletakkan diatas meja preparat dan diatur perbesarannya hingga perbesaran


117

40x. Hasil dari pengamatan di catat dan di dokumentasikan. Mikroskop dicabut

dari sumber listrik, lalu objek glass yang berisi sel telur dibilas dengan akuades

dan dibersihkan menggunakan tisu.


118

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

4.1.1 Osmoregulasi

a. Pengamatan Empedu

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi tentang pengamatan

empedu, didapatkan hasil pada shift 1 rata-rata berat awal (Wo) empedu yaitu

248,36 gr, dan rata-rata berat akhir (Wt) sebesar 252,83 gr, sedangkan pada shift

2 rata-rata berat awal (Wo) empedu yaitu 340,625 gr, dan rata-rata berat akhir

(Wt) sebesar 1455,96 gr. Awal pengamatan empedu pada semua perlakuan

salinitas didapatkan hasil air berwarna bening dan empedu berwarna kehijauan

dan mengapung. Hasil akhir pengamatan empedu pada salinitas 0 ppt yaitu air

berwarna kuning, empedu mengambang, dan ukuranya lebih besar, pada

perlakuan salinitas 15 ppt di dapatkan hasil empedu mengambang dan kondisi

air keruh, pada perlakuan salinitas 30 ppt di dapatkan hasil air berwarna kuning

dan empedu berwarna pucat, pada perlakuan salinitas 45 ppt di dapatkan hasil

empedu berwarna pucat dan empedu berwarna kuning, pada perlakuan salinitas

60 ppt di dapatkan hasil warna empedu biru pucat dan air berwarna keruh

kekuningan. Data hasil perlakuan selengkapnya disajikan pada lampiran

osmoregulasi mengenai data hasil pengamatan empedu.

Hasil pengamatan empedu pada perlakuan salinitas 0 ppt, pada awal

pengamatan, keadaan air bening dan empedu berwarna hijau keabu-abuan.

Hasil yang di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu warna air kuning jernih

dan empedu mengambang. Berat awal rata-rata (Wo) empedu, sebesar 233,175

gr dan berat akhir rata-rata (Wt) empedu yaitu 240,25 gr, jadi di dapatkan hasil

berat akhir (Wt) empedu lebih besar daripada berat awal (Wo) empedu.
119

Hasil pengamatan empedu pada perlakuan salinitas 60 ppt, pada awal

pengamatan, keadaan air keruh dan empedu berwarna kuning mengapung. Hasil

yang di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu warna air kuning pekat dan

empedu biru pucat dan ukuran membesar. Berat awal rata-rata (Wo) empedu,

sebesar 233,5 gr dan berat akhir rata-rata (Wt) empedu yaitu 255,13 gr, jadi di

dapatkan hasil berat akhir (Wt) empedu lebih besar daripada berat awal (Wo)

empedu. Hasil pengamatan pada perlakuan salinitas 60 ppt apabila

dibandingkan dengan perlakuan salinitas 0 ppt, pertambahan berat empedu pada

perlakuan 60 ppt lebih besar dibanding dengan perlakuan salinitas 0 ppt,

sedangkan warna air pada perlakuan 60 ppt berwarna kuning pekat

dibandingkan dengan perlakuan salinitas 0 ppt.

Semua proses yang terjadi didalam tubuh hewan selalu menyertakan

perubahan energi. Perubahan salinitas yang menyebabkan terjadinya proses

osmoregulasi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan energi. Hal

tersebut terjadi karena osmoregulasi merupakan suatu proses metabolik yang

menuntut adanya transport aktif ion-ion untuk menjaga konsentrasi garam dalam

tubuh. Ikan harus mengambil atau mensekresi garam dari lingkungan untuk

menjaga keseimbangan kandungan garam dalam tubuhnya (Pamungkas, 2012).

Menurut Boyer (2013), empedu adalah cairan kompleks yang terdiri dari

hepatosit dan termodifiasi oleh system penyerapan dan transpor cairan sel epitel

saluran empedu. Cairan ini masuk kedalam kandung kemih atau dikirimkan

langsung ke lumen usus. Cairan empedu tersusun dari kurang lebih 95% air dan

berbagai garam empedu, fosfolipid bilirubin, kolestreol, asam amino, steroid,

enzim, vitamin dan logam berat, seperti racun yang berasal dari luar tubuh.

Cairan empedu mempunyai bermacam-macam fungsi, yaitu sebagai rute eksresi

utama untuk senyawa lipofilik berbahaya dan senyawa – senyawa lain yang tidak

dapat disaring oleh ginjal, sebagai pelarut lemak organik yang diperoleh dari
120

makanan, sebagai rute utama pembuangan kolesterol, melindungi tubuh dati

infeksi dengan menyekresikan senyawa immunoglobulin A dan rute eksresi

beberapa hormon.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data diatas bahwa berat

awal (Wo) empedu lebih rendah dibandingkan dengan berat akhir (Wt) empedu,

dan pada akhir pengamatan air berwarna kuning. Air berwarna kuning dapat

disebabkan karena adanya kandungan bilirubin yang merupakan pigmen

berwarna kuning, hal tersebut sesuai dengan pendapat literatur di atas, bahwa

salah satu komponen penyusun empedu adalah bilirubin.

b. Toleransi Salinitas

 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi, tentang pengamatan

toleransi salinitas, didapatkan hasil yang dominan pada setiap perlakuan di

semua meja pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan rata-rata berat

awal (Wo) sebesar 9,06 gr dan rata-rata berat akhir (Wt) sebesar 9,10 gr, ketika

di beri perlakuan salinitas 0 ppt, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) bergerak

aktif dengan bukaan operkulum yang cepat dan bergerak keatas dan kebawah,

ketika Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di beri perlakuan salinitas lebih dari 30

ppt, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) bergerak aktif pada awal pengamatan,

namun cenderung lemas pada pengamatan berikutnya dan mati pada akhir

pengamatan. Data hasil pengamatan selengkapnya disajikan pada lampiran

osmoregulasi mengenai data hasil pengamatan ikan lele dumbo (Claria

gariepinus).

Hasil pengamatan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada perlakuan

salinitas 0 ppt, pada awal pengamatan, keadaan ikan aktif bergerak. Hasil yang

di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu ikan cenderung lebih pasif. Berat

awal rata-rata (Wo) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), sebesar 7,84 gr dan
121

berat akhir rata-rata (Wt) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu 8,36 gr, jadi

di dapatkan hasil berat akhir (Wt) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) lebih besar

daripada berat awal (Wo).

Hasil pengamatan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada perlakuan

salinitas 30 ppt, pada awal pengamatan, keadaan ikan aktif bergerak. Hasil yang

di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu ikan mati. Berat awal rata-rata (Wo)

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), sebesar 10,03 gr dan berat akhir rata-rata

(Wt) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu 6,50 gr, jadi di dapatkan hasil

berat akhir (Wt) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) lebih kecil daripada berat

awal (Wo). Hasil pengamatan pada perlakuan salinitas 30 ppt apabila

dibandingkan dengan perlakuan salinitas 0 ppt, ikan dengan perlakuan salinitas 0

ppt dapat bertahan hidup hingga akhir pengamatan sedangkan pada perlakuan

30 ppt, ikan tidak dapat bertahan hidup hingga akhir pengamatan.

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) mempunyai sifat yang toleran

terhadap salinitas pada perairan. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat

berkembang dalam kondisi ekologi seperti dirawa-rawa, sungai dan lainnya. Ikan

lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan stenohaline. Stenohaline

merupakan keadaan dimana ikan yang mempunyai toleransi salinitas tetapi

dalam keadaan sempit (Boyd dan Tucker (1998) dalam Sarma et al., 2013).

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengamatan adalah ikan lele

dumbo (Clarias gariepinus) dapat bertahan hidup apabila salinitas 0-15 ppt, hal

tersebut sesuai dengan pendapat literatur diatas bahwa ikan ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) memiliki sifat stenohaline. Stenohaline merupakan keadaan

dimana ikan yang mempunyai toleransi salinitas tetapi dalam keadaan sempit.

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat ditemukan pada perairan yang

mempunyai salinitas rendah contohnya pada rawa-rawa dan sungai. Ikan lele

dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan yang hanya dapat mentoleransi


122

salinitas pada rentang yang sempit atau disebut juga stenohalin, khususnya

stenohalin pada salinitas rendah.

 Ikan nila (Oreochromis niloticus)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi, tentang pengamatan

toleransi salinitas, didapatkan hasil yang dominan pada setiap perlakuan di

semua meja pada ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan rata-rata berat awal

(Wo) sebesar 19,58 gr dan rata-rata berat akhir (Wt) sebesar 17,17 gr, ketika di

beri perlakuan salinitas 0 ppt, ikan nila (Oreochromis niloticus) bergerak aktif

dengan bukaan operkulum yang cepat dan gerakan ikan melemah pada akhir

pengamatan, ketika ikan nila (Oreochromis niloticus) di beri perlakuan salinitas

lebih dari 45 ppt, ikan nila (Oreochromis niloticus) bergerak aktif pada awal

pengamatan, namun cenderung lemas pada pengamatan berikutnya dan mati

pada akhir pengamatan. Data hasil perlakuan selengkapnya diajikan pada

lampiran osmoregulasi mengenai data hasil pengamatan ikan nila (Oreochromis

niloticus).

Hasil pengamatan ikan nila (Oreochromis niloticus) pada perlakuan

salinitas 0 ppt, pada awal pengamatan, keadaan ikan aktif bergerak. Hasil yang

di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu ikan cenderung lebih pasif dan

berenang sangat pelan. Berat awal rata-rata (Wo) ikan nila (Oreochromis

niloticus) sebesar 20,64 gr dan berat akhir rata-rata (Wt) ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus) yaitu 22,54 gr, jadi di dapatkan hasil berat akhir (Wt) ikan nila

(Oreochromis niloticus) lebih besar daripada berat awal (Wo).

Hasil pengamatan ikan nila (Oreochromis niloticus) pada perlakuan

salinitas 45 ppt, pada awal pengamatan, keadaan ikan aktif bergerak. Hasil yang

di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu ikan mati. Berat awal rata-rata (Wo)

ikan nila (Oreochromis niloticus), sebesar 17,44 gr dan berat akhir rata-rata (Wt)

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu 16,52 gr, jadi di dapatkan hasil berat
123

akhir (Wt) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) lebih kecil daripada berat awal

(Wo). Hasil pengamatan pada perlakuan salinitas 45 ppt apabila dibandingkan

dengan perlakuan salinitas 0 ppt, ikan dengan perlakuan salinitas 0 ppt dapat

bertahan hidup hingga akhir pengamatan sedangkan pada perlakuan 45 ppt, ikan

tidak dapat bertahan hidup hingga akhir pengamatan.

Menurut Basuki (2015), dalam budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus)

dalam media air tawar dengan salinitas 0 ppt hingga dengan air bersalinitas 30

ppt, ikan nila masih menunjukan tingkat survival rate yang tinggi dan juga

pertumbuhanya cukup baik. Ini menunjukan bahwa ikan nila (Oreochromis

niloticus) tergolong ikan euryhaline atau ikan dengan rentang toleransi salinitas

yang luas. Tingkat optimum salinitas untuk pertumbuhan ikan nila (Oreochromis

niloticus) adalah pada rentang salinitas sampai 20 ppt. pertumbuhan ikan yang

cenderung menurun karena salinitas yang tinggi berkaitan dengan kesiapan

organ-organ yang berkaitan dengan osmoregulasi.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengamatan adalah ikan nila

(Oreochromis niloticus) dapat bertahan hidup apabila salinitas 0-30 ppt, hal

tersebut sesuai dengan pendapat literatur diatas bahwa ikan nila (Oreochromis

niloticus) masih menunjukan tingkat survival rate yang tinggi dan juga

pertumbuhanya cukup baik pada rentang salinitas 0-30 ppt. pertumbuhan ikan

yang cenderung menurun karena salinitas yang tinggi berkaitan dengan kesiapan

organ-organ yang berkaitan dengan osmoregulasi. Ikan nila (Oreochromis

niloticus) merupakan ikan yang hanya dapat mentoleransi salinitas pada rentang

yang luas atau disebut juga euryhalin.

 Ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi, tentang pengamatan

toleransi salinitas, didapatkan hasil yang dominan pada setiap perlakuan di

semua meja pada ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea) dengan rata-rata berat
124

awal (Wo) sebesar 2,23 gr dan rata-rata berat akhir (Wt) sebesar 2,94 gr, ketika

di beri perlakuan salinitas 15 ppt, ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea) bergerak

pasif pada awal sampai akhir pengamatan, ketika ikan damsel biru (Chrysiptera

cyanea) di beri perlakuan salinitas lebih dari 60 ppt, ikan damsel biru (Chrysiptera

cyanea) bergerak aktif pada awal pengamatan, namun cenderung lemas pada

pengamatan berikutnya dan mati pada akhir pengamatan. Data hasil perlakuan

selengkapnya disajikan pada lampiran osmoregulasi mengenai data hasil

pengatan ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea).

Hasil pengamatan ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea) pada perlakuan

salinitas 15 ppt, pada awal pengamatan, keadaan ikan bergerak pasif. Hasil yang

di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu ikan tidak terlalu banyak bergerak

dan cenderung diam. Berat awal rata-rata (Wo) ikan damsel biru (Chrysiptera

cyanea), sebesar 2,19 gr dan berat akhir rata-rata (Wt) ikan damsel biru

(Chrysiptera cyanea) yaitu 3,03 gr, jadi di dapatkan hasil berat awal (Wo) ikan

damsel biru (Chrysiptera cyanea) lebih kecil daripada berat akhir (Wt).

Hasil pengamatan ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea) pada perlakuan

salinitas 60 ppt, pada awal pengamatan, keadaan ikan aktif bergerak. Hasil yang

di dapatkan setelah 2 jam pengamatan yaitu ikan mati. Berat awal rata-rata (Wo)

ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea), sebesar 1,62 gr dan berat akhir rata-rata

(Wt) ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea) yaitu 4,06 gr, jadi di dapatkan hasil

berat akhir (Wt) ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea) lebih besar daripada berat

awal (Wo). Hasil pengamatan pada perlakuan salinitas 60 ppt apabila

dibandingkan dengan perlakuan salinitas 15 ppt, ikan dengan perlakuan salinitas

15 ppt dapat bertahan hidup hingga akhir pengamatan sedangkan pada

perlakuan 60 ppt, ikan tidak dapat bertahan hidup hingga akhir pengamatan.

saha pembenihan ikan air laut, biasanya salinitas air akan disesuaikan dengan

jenis ikan yang dibenihkan. Perairan samudera biasanya memiliki salinitas yang
125

berkisar antara 34 – 35 ppt. Ikan laut umumnya memijah pada perairan dengan

salinitas tinggi antara 30 – 35 ppt (Ghufran et al., 2010).

Kesimpulan yang didapat dari hasil pengamatan diatas bahwa ikan

damsel biru (Chrysiptera cyanea) merupakan ikan yang mampu bertahan pada

salinitas yang relatif tinggi, hal ter sebut sesuai dengan literatur diata bahwa

salinitas pada perairan laut umumnya memiliki salinitas antara 30 – 35 ppt,

dimana ikan laut biasanya memijah pada salinitas tersebut. Ikan damsel

(Chrysiptera cyanea) akan kehilangan keseimbangan saat diberi salinitas yang

terlalu tinggi. Ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea) kurang mampu beradaptasi

pada lingkungan baru dengan salinitas yang berbeda. Ikan damsel biru

(Chrysiptera cyanea) merupakan ikan yang hanya dapat mentoleransi salinitas

pada rentang yang sempit atau disebut juga stenohalin, khususnya stenohalin

pada salinitas tinggi.

4.1.2 Respirasi

Pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Respirasi diperoleh hasil data

pada shift 1 dan shift 2 sebagai berikut, pada perlakuan suhu 28C diperoleh

rata-rata bukaan operkulum sebanyak 76 kali dan DO sebesar 1,68 ppm, pada

perlakuan suhu 29C diperoleh rata-rata bukaan operkulum sebanyak 107,08 kali

dan DO sebesar 1,32 ppm, pada perlakuan suhu 30C diperoleh rata-rata

bukaan operkulum sebanyak 120,8 kali dan DO sebesar 1,25 ppm, pada

perlakuan suhu 31C diperoleh rata-rata bukaan operkulum sebanyak 129,05 kali

dan DO sebesar 1,77 ppm, pada perlakuan suhu 32C diperoleh rata-rata

bukaan operkulum sebanyak 104,65 kali dan DO sebanyak 1,66 ppm. Data

hasil perlakuan selengkaonya disajikan pada lampiran respirasi.

Praktikum Respirasi dengan perlakuan suhu 31C diperoleh DO sebesar

1,77 ppm dan bukaan operkulum sebanyak 129,05 kali, sedangkan pada
126

perlakuan suhu 30C diperoleh hasil DO sebesar 1,25 ppm dan bukaan

operkulum sebesar 120,8 kali. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, jumlah

bukaan operkulum akan berbanding lurus dengan tingkat kebutuhan oksigen

atau DO. Artinya, semakin banyak bukaan operkulum maka akan semakin

banyak pula kebutuhan oksigen atau DO.

Menurut Zeraik et al. (2013), lingkungan perairan sering menunjukkan

fluktuasi harian dalam konsentrasi oksigen terlarut. Variasi ini sering

menyebabkan deplesi oksigen pada organisme air. Deplesi oksigen merupakan

konsumsi oksigen oleh organisme air yang mengalami penurunan secara drastis.

Apabila keadaan ini terus berkelanjutan dapat menyebabkan hipoksia. Hipoksia

sendiri merupakan suatu keadaan dimana ikan kekurangan oksigen terlarut

dalam tubuhnya.

Menurut Dan-Kishiya et al. (2015), suhu lingkungan merupakan faktor

yang mempengaruhi aktivitas, perilaku, cara makan, pertumbuhan, cara bertahan

hidup, kebiasaan makan dan reproduksi. Suhu media (air) yang rendah lebih

banyak mengandung oksigen terlarut sedangkan suhu media (air) yang tinggi

cenderung minim oksigen terlarut. Saat suhu tinggi metabolisme ikan cenderung

meningkat, sehingga ikan cenderung lebih banyak mengkonsumsi oksigen, hal

ini menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam perairan akan berkurang.

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum respirasi adalah apabila

suhu semakin tinggi maka kebutuhan oksigen akan semakin tinggi dan apabila

suhu optimal maka kebutuhan oksigen akan lebih rendah. Suhu yang semakin

rendah akan membuat bukaan operkulum semakin lambat begitupun sebaliknya.

Kesimpulan tersebut sesuai dengan pendapat literatur diatas bahwa suhu

lingkungan merupakan faktor mempengaruhi aktivitas respirasi.


127

4.1.3 Sistem Pencernaan

a. Digestibility (Daya Cerna)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem Pencernaan tentang

Digestibility (daya cerna) diperoleh hasil dari pengamatan perlakuan pakan mata

lele (Azolla pinata) didapatkan hasil Digestibility adalah 96,99%. Hasil

pengamatan yang diperoleh pada perlakuan pakan cacing darah (Chironomous

sp.) didapatkan hasil Digestibility 99,40%. Hasil pengamatan yang diperoleh

pada perlakuan pakan cacing sutra (Tubifex sp.) didapatkan hasil Digestibility

97,8%. Hasil pengamatan yang diperoleh pada perlakuan pakan pellet

didapatkan hasil Digestibility sebesar 41,75 gram. Hasil pengamatan yang pada

perlakuan pakan lumut jaring (Chaetomorfa sp.) didapatkan hasil Digestibility

sebesar 91,82 gram. Data selengkapnya disajikan pada lampiran system

pencernaan mengenai Digestibility (daya cerna).

Hasil yang didapat dari pengamatan dengan perlakuan pakan mata lele

(Azolla pinata), diperoleh Digestibility sebesar 96,99%. Hasil yang diperoleh meja

4 dengan perlakuan pakan pellet, diperoleh Digestibility sebesar 41,75%. Hasil

dari perlakuan tersebut tampak bahwa Digestibility (daya cerna) pakan yang

berbahan nabati lebih besar nilainya dari pada pakan yang berbahan hewani.

Menurut Montoya-Mejia et al. (2016), koefisien daya cerna mempunyai

keuntungan yaitu memberikan perkiraan terhadap kandungan atau nutrisi pada

bahan pakan dan untuk memilih bahan pakan yang tepat untuk mengoptimalkan

nilai gizi dan manfaat makanan. Faktor – faktor yang mempengaruhi daya cerna

nutrisi pada ikan adalah spesies, ukuran pakan, frekuensi makan dan usia ikan.

Daya cerna dapat menurun seiring dengan bertambahnya ukuran ikan nila

(Oreochromis niloticus). Semakin besar ukuran suatu ikan daya cerna semakin

menurun. Hal ini dikarenakan saat ikan masih juvenille daya cerna tinggi, dan

sangat baik bila diberi pakan yang mengandung bahan – bahan nabati
128

berselulosa tinggi.

Menurut Trantran-Ngoc et al. (2016), usus bertindak sebagai pelindung

secara fisika dan kimia terhadap penyakit yang masuk kedalam tubuh melalui

pakan. Fungsi usus ini dipengaruhi oleh beberafpa faktor. Faktor – faktor tersebut

seperti komposisi makanan, tantangan lingkungan, populasi mikroba dalam usus

dan fungsi kekebalan tubuh ikan. Faktor lingkungan terutama oksigen terlarut

memiliki efek pada daya cerna. Hypoxia atau penyakit akibat kekurangan oksigen

memiliki efek negatif pada ketahanan usus dalam mengahalangi penyakit yang

masuk.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pakan berbahan nabati

mengandung serat selulosa yang sulit dicerna oleh lambung. Pakan berserat

tinggi membutuhkan energi yang lebih banyak untuk mencerna serat tersebut.

Faktor – faktor internal dan eksternal juga berpengaruh terhadap daya cerna

pada ikan. Faktor internal diantarnya spesies ikan, umur ikan, ukuran ikan. Faktor

eksternal seperti komposisi bahan pakan, frekuensi makan, kualitas pakan,

kondisi perairan seperti suhu, oksigen terlarut, pH, karbondioksida dan lain

sebagainya.

b. Gastrict Evacuation Time (GET)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem pencernaan tentang Gastrict

Evacuation Time (GET) didapatkan hasil pada perlakuan pakan mata lele (Azolla

pinata) nilai GET yang didapat selama 101 menit. Hasil yang diperoleh pada

perlakuan pakan cacing darah (Chironomous sp.), nilai GET yang diadapat

selama 180 menit. Hasil yang diperoleh pada perlakuan pakan cacing sutra

(Tubifex sp.), nilai GET yang didapat selama 60 menit. Hasil yang diperoleh pada

perlakuan pakan pellet, nilai GET yang didapat selama 60 menit. Hasil yang

diperoleh pada perlakuan pakan lumut jaring (Chaetomorfa sp.), nilai GET yang

didapat selama 122 menit. Data selengkapnya disajikan pada lampiran sistem
129

pencernaan mengenai Gastric Evacuation Time.

Perlakuan dengan menggunakan pakan lumut jarring (Chaertomorfa sp.),

nilai GET yang didapat selama 122 menit. Hasil yang diperoleh pada perlakuan

pakan cacing sutra (Tubifex sp.) nilai GET yang didapat selama 60 menit, apabila

dibandingkan antara perlakuan pemberian pakan lumut jarring (Chaertomorfa

sp.) dan cacing sutra (Tubifex sp.), waktu pengosongan lambung dengan

perlakuan pakan lumut jarring (Chaertomorfa sp.) membutuhkan waktu yang

lebih lama. Hasil tersebut dikarenakan lumut jarring (Chaertomorfa sp.)

merupakan pakan nabati yang mengandung serat tinggi yang sulit untuk dicerna

oleh ikan, sehingga membutuhkan waktu lama untuk proses pengosongan

lambungnya.

Efisiensi pakan, berhubungan dengan waktu pengosongan lambung atau

Gastrict Evacuation Time (GET). Efisiensi pakan dipengaruhi oleh faktor fisika

dan kimia yang terkandung dalam pakan. Pellet membutuhkan waktu

pengosongan lambung yang relatif pelan, hal tersebut dapat dihambat oleh

kebiasaan, dan dapat meningkatkan efisiensi pakan saat juvenille (Kȕcȕk et al.,

2013).

Faktor yang mempengaruhi tingkat pengsosongan lambung yaitu ukuran

predator, ukuran makanan, ukuran mangsa, dan suhu. Metode pengosongan

lambung ikan digunakan untuk mengetahui bagaimana daya cerna ikan yang

baik terhadap pakan. Daya cerna ikan dikatakan baik apabila ikan memakan

pakan yang berbahan rendah serat (Counturier et al., 2013).

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum tersebut adalah waktu

pengosongan lambung tercepat pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang

diberi perlakuan pakan cacing sutra (Tubifex sp). Pakan berbahan hewani lebih

cepat dicerna dari pada pakan berbahan nabati. Pakan berbahan nabati sulit

dicerna karena mengandung serat selulosa yang tinggi, hal tersebut sesuai
130

dengan pendapat literatur diatas bahwa daya cerna ikan dikatakan baik apabila

ikan memakan pakan yang berbahan rendah serat

4.1.4 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi pewarnaan tubuh pada ikan

didapatkan hasil yang dominan dari semua shift bahwa kondisi dan warna ikan

pada saat sebelum perlakuan ikan sepat siam (Tricogaster tricopterus) berwarna

putih keperakan, terdapat corak kehitaman pada tubuh, pada bagian dorsal

berwarna perak tua dan bagian vebtral berwarna perak muda. Hasil pengamatan,

waktu yang dibutuhkan ikan untuk kembali kewarna semula dengan perlakuan

plastik berwarna hijau membutuhkan waktu 45 menit 20 detik, perlakuan plastik

berwarna merah membutuhkan membutuhkan waktu 16 menit 3 detik, perlakuan

plastik berwarna biru membutuhkan waktu 1 menit 49 detik, perlakuan plastik

berwarna kuning membutuhkan waktu 2 menit 15 detik dan pada perlakuan

plastik berwarna ungu membutuhkan waktu 2 menit 15 detik. Data selengkapnya

telah disajikan pada lampiran pewarnaan tubuh dan fototaksis mengenai table

pengamatan pewarnaan pada ikan.

Hasil perhitungan lama waktu ikan kembali kewarna semula dengan

perlakuan plastik berwarna hijau membutuhkan waktu 45 menit 20 detik. Hasil

perhitungan lama waktu ikan kembali kewarna semula dengan perlakuan plastik

berwarna merah membutuhkan waktu 16 menit 3 detik. Panjang gelombang

warna hijau yaitu 520 – 570 nm, sedangkan panjang gelombang warna merah

adalah 630 – 760 nm. Semakin tinggi panjang gelombang maka semakin lama

pula waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke warna semula. Hasil pengamatan

tidak sesuai jika dibandingkan dengan panjang gelombang dikarenakan terdapat

faktor lain selain panjang gelombang yang dapat memengaruhi waktu

pemendaran warna pada tubuh ikan.


131

Menurut Man dan Sefc (2013), variasi pola warna tidak hanya antar

spesies tetapi juga didalam dan diantara spesies, serta dalam individu tersebut.

Hal ini tergantung pada usia dan status spesies tersebut didalam lingkungan. Di

danau spesies yang hidup di daerah spesies cenderung lebih beragam dalam hal

pewarnaan dari pada spesies yang hidup diaerah pelagis atau demersal. Warna

tubuh dan pola warna pada vertebrata ditentukan oleh distribusi, kepadatan dan

keberadaan kromatofora yang berbeda – beda didalam kulit. Pada ikan teleostei

warna yang dihasilkan oleh penyerapan cahaya dari pigmen yang terkandung

dalam khromatosoma dari melanofora (mengandung pigmen hitam). Eritrofora

dan Xanthofora (mengandung pigmen karotenoid merah – kuning dan pigmen

pteridin) dan cyanofora pigmen biru, serta refleksi kristal purin yang terkandung

pada hubungan spasial didalam refractosoma atau leucosoma menghasilkan

permainan warna metallic iridofora atau rona keputihan dari leucofora.

Menurut Kaur dan Dua (2015), khromatofora diklasifikasikan kedalam

penyerapan cahaya, diantaranya melanofora (hitam), erithrofora (merah),

xanthofora (kuning), cyanofora (biru), leucofora (putih) dan iridofora (pigmen

warna – warni). Melanofora adalah salah satu jenis kromatofora yang berisi

pigmen melanin atau organel – organel melanin yang disebut melanosoma.

Melanosoma merupakan penghasll warna gelap pada kulit. Pigmen ini

bertanggung jawab dalam memberi warna pada kulit ikan, amfibi dan reptil,

karena mempunyai motilitas (pergerakan) sel yang tinggi.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengamatan adalah lama waktu

yang dibutuhkan ikan untuk menyerap warna dan memendarkan warna untuk

kembali kewarna semula, selain bergantung pada panjang gelombang warna

tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, diantaranya usia, spesies,

kondisi fisiologis ikan dan lingkungan. Berdasarkan pendapat literatur diatas

bahwa, tidak hanya panjang gelombang, faktor internal dan eksternal juga
132

berpengaruh. Faktor internal diantaranya kandungan pigmen. Habitat dan

lingkungan ikan dimana ikan tersebut tinggal juga mempengaruhi pewarnaan.

b. Fototaksis

 Ikan Gurami (Osphronemous gouramy)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi fototaksis pada ikan gurami

(Osphronempus gouramy) diperoleh hasil pengamatan yang dominan adalah

ikan gurami (Osphronempus gouramy) bersifat fototaksis negatif. Fototaksis

negatif merupakan pergerakan ikan menghindari cahaya. Data hasil perlakuan

selengkapnya disajikan pada lampiran pewarnaan tubuh dan fototaksis

mengenai data hasil pengamatan fototaksis.

Hasil pengamatan fototaksis pada ikan gurami (Osphronempus gouramy)

dominan bersifat fototaksis negatif. Perbedaan terjadi pada 3 kelompok yang

memperoleh hasil bahwa ikan gurami (Osphronempus gouramy) bersifat

fototaksis positif. Hasil tersebut dapat terjadi dikarenakan sifat fototaksis pada

ikan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor internal dari tersebut misalnya,

penuh tidaknya perut ikan dan jenis kelamin. Faktor eksternal tersebut misalnya,

ada tidaknya pakan di perairan dan ada tidaknya predator.

Menurut Rahmah et al. (2013), sifat fototaksis negative merupakan ikan

yang dominan hidup diperairan yang kurang cahaya seperti ikan gurami

(Osphronemous gouramy), ikan bandeng (Chanos chanos) dan ikan lele (Clarias

sp.). Sifat itu dipengaruhi oleh perubahan ontogenetik dalam menanggapi

fototaksis tiap spesies. Perubahan dilakukan pada ontogenetik yang nantinya

akan terkait dengan perkembangan retina dan organ pineal.

Kesimpulan dari hasil pengamatan diatas bahwa ikan gurami (Oreochromis

niloticus) bersifat fototaksis negative, hal ini sesuai dengan pendapat literatur

diatas yang menyebutkan bahwa sifat fototaksis negatif dimiliki oleh ikan yang

dominan hidup diperairan yang kurang cahaya seperti gurami. Sifat fototaksis
133

gurami (Ophronemous gouramy) dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor internal misalnya, kosong tidaknya isi perut, jenis kelamin dan spesies.

Faktor eksternal misalnya, intensitas cahaya, ada tidaknya pakan diperaian dan

ada tidaknya predator.

 Ikan Guppy (Poecilia reticulata)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi fototaksis pada ikan gupy (Poecillia

reticulata) hasil pengamatan yang dominan adalah ikan ikan gupy (Poecillia

reticulata) bersifat fototaksis positif. Fototaksis positif merupakan pergerakan ikan

mendekati cahaya. Data hasil perlakuan selengkapnya disajikan pada lampiran

pewarnaan tubuh dan fototaksis mengenai data hasil pengamatan fototaksis.

Hasil dari pengamatan sebagian besar kelompok menunjukkan ikan guppy

(Poecillia reticulata) bersifat fototaksis positif. Perbedaan terjadi pada 7 kelompok

yang hasil pengamatannya menunjukkan ikan tersebut bersifat fototaksis negatif.

Perbedaan tersebut disebabkan karena fototaksis dapat dipengaruhi oleh faktor

internal misalnya, jenis kelamin dan kosong tidaknya perut ikan juga faktor

eksternal misalnya, ada tidaknya predator dan ada tidaknya pakan pada

perairan.

Fototaksis pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya

predasi. Viscode et al. (2011) dalam Cambell dan Morell (2015), mengatakan

bahwa adanya predator sangat mempengaruhi respon atau arah gerak ikan. Ikan

mempunyai respon cepat terhadap predator. Ikan guppy (Poecillia reticulata)

merupakan ikan penghuni sungai dangkal. Ikan guppy (Poecillia reticulata)

menghuni kawasan anti predator. Jika kawasan tersebut ada kemungkinan untuk

diserang oleh predator maka ikan Ikan guppy (Poecillia reticulata) akan pindah.

Kesimpulan dari hasil pengamatan diatas bahwa ikan guppy (Poecillia

reticulata) bersifat fototaksis positif, hal tersebut sesuai dengan literatur diatas

bahwa ikan guppy (Poecillia reticulata) merupakan ikan penghuni sungai dangkal
134

yang memiliki ketersediaaan cahaya yang tinggi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa ikan guppy (Poecilia reticulata) menyukai tempat yang memiliki cahaya.

Hasil tersebut dapat terjadi karena sifat fototaksis pada ikan dipengaruhi oleh

faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya, kosong tidaknya isi perut,

jenis kelamin pada ikan. Faktor eksternal misalnya, ada tidaknya predator dan

ada tidaknya pakan di perairan.

 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi fototaksis pada lobster air tawar

(Cherax quadricarinatus) hasil pengamatan yang dominan adalah lobster air

tawar (Cherax quadricarinatus) bersifat fototaksis negatif. Fototaksis negatif

merupakan pergerakan ikan menghindari cahaya. Lobster air tawar (Cherax

quadricarinatus) cenderung bergerak menjauhi saat diberi rangsangan cahaya

pada perairan. Data hasil perlakuan selengkapnya disajikan pada lampiran

pewarnaan tubuh dan fototaksis mengenai data hasil pengamatan fototaksis.

Hasil dari pengamatan sebagian besar kelompok menunjukkan lobster air

tawar (Cherax quadricarinatus) bersifat fototaksis negatif. Perbedaan terdapat

pada 1 kelompok yang hasilnya menunjukkan fototaksis positif. Perbedaan

tersebut disebabkan karena fototaksis dapat dipengaruhi oleh faktor internal

misalnya, jenis kelamin dan kosong tidaknya perut ikan juga faktor eksternal

misalnya, ada tidaknya predator dan ada tidaknya pakan pada perairan.

Menurut Franke dan Schwark (2014), lobster adalah spesies nocturnal

yang aktif. Individu ini menghabiskan waktunya dalam sarang dan mencari

makanan biasanya pada malam hari. Lobster tersebut termauk spesies yang

bersifat fototaksis negatif, karena lobster menyukai daerah yang gelap dan

cenderung beraktifitas pada malam hari.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengamatan menunjukan bahwa

lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) bersifat fototaksis negatif, hal tersebut
135

sesuai dengan literatur diatas yang mengatakan bahwa lobster termasuk spesies

yang bersifat fototaksis negatif, karena lobster menyukai daerah yang gelap dan

cenderung beraktivitas dimalam hari. Lobster cenderung menghindar saat diberi

rangsangan berupa cahaya. Lobster cenderung berenang menghindari cahaya

dan menuju ke daerah yang minim cahaya.

 Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi fototaksis pada ikan black ghost

(Apteronotus albifrons) hasil pengamatan yang dominan adalah ikan black ghost

(Apteronotus albifrons) bersifat fototaksis negatif. Fototaksis negatif merupakan

pergerakan ikan menjauhi cahaya. Ikan black ghost (Apteronotus albifrons)

cenderung bergerak menjauhi saat diberi rangsangan cahaya pada perairan.

Data hasil perlakuan selengkapnya disajikan pada lampiran pewarnaan tubuh

dan fototaksis mengenai data hasil pengamatan fototaksis.

Hasil dari pengamatan sebagian besar kelompok ikan black ghost

(Apteronotus albifrons) bersifat fototaksis negatif. Perbedaan terdapat pada 3

kelompok yang hasilnya menunjukkan fototaksis positif. Perbedaan tersebut

terjadi karena terdapat faktor yang mempengaruhi sifat fototaksis ikan tersebut.

Menurut Ruiz et al. (2013), ikan black ghost (Apteronotus albifrons) hidup

pada perairan tertutup. Ikan ini cenderung berenang kearah yang tidak ada

sumber cahaya. Hasil pengamatan ikan black ghost (Apteronotus albifrons)

ditempatkan pada tempat yang gelap dengan perlakuan cahaya gelap, suhu air

tangki disimpan 280C dengan pH 7,0 dan ikan diberi makan setiap hari selama

12 jam selama 12 hari.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa

ikan black ghost (Apteronotus albifrons) bersifat fototaksis negative, hal tersebut

sesuai dengan literatur diatas bahwa ikan black ghost (Apteronotus albifrons)

cenderung bergerak menjauhi sumber cahaya. Perbedaan hasil yang didapatkan


136

saat pengamatan fototaksis ikan black ghost (Apteronotus albifrons) dikarenakan

terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fototaksis ikan. Faktor

internal misalnya, jenis kelamin dan ada tidaknya isi perut, sedangkan faktor

eksternal misalnya, ada tidaknya predator dan ada tidaknya pakan pada

perairan.

 Ikan Mas Koki (Carassius auratus)

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi fototaksis pada Ikan mas koki

(Carassius auratus) hasil pengamatan yang dominan adalah Ikan mas koki

(Carassius auratus) bersifat fototaksis positif. Fototaksis positif merupakan

pergerakan ikan mendekati cahaya. Ikan mas koki (Carassius auratus)

cenderung bergerak mendekati cahaya saat diberi rangsangan cahaya pada

perairan. Data hasil perlakuan selengkapnya disajikan pada lampiran pewarnaan

tubuh dan fototaksis mengenai data hasil pengamatan fototaksis.

Hasil dari pengamatan sebagian besar kelompok Ikan mas koki (Carassius

auratus) bersifat fototaksis positif. Perbedaan terjadi pada 2 kelompok yang hasil

pengamatannya menunjukkan bahwa ikan mas koki (Carassius auratus) bersifat

fototaksis negatif. Perbedaan tersebut terjadi karena terdapat faktor yang

mempengaruhi fototaksis ikan mas koki (Carassius auratus).

Menurut Carl et al. (2016), Ikan mas koki (Carassius auratus) merupakan

ikan hias yang banyak disukai, dari warnanya yang cerah dan indah dengan

corak atau pola yang beragam. Berdasarkan morfologinya dapat diketahui bahwa

ikan mas koki (Carassius auratus) ini menyukai perairan yang banyak cahaya.

Tidak semua Ikan mas koki (Carassius auratus) berfototaksis positif, ada juga

Ikan mas koki (Carassius auratus) yang menyukai daerah yang gelap. Faktor

pakan termasuk salah satu yang mempengaruhi kehidupan ikan atau kebiasaan

ikan dalam mencari makanan di perairan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari data diatas bahwa ikan mas koki
137

(Carassius auratus) merupakan ikan berfototaksis positif, hal tersebut sesuai

dengan literature diatas bahwa ikan mas koki (Carassius auratus) bersifat

fototaksis positif. Sifat fototaksis ikan mas koki (Carassius auratus) dipengaruhi

oleh beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan fototaksis yang didapat

setelah pengamatan. Faktor – faktor tersebut berupa faktor internal dan faktor

eksternal, faktor internalnya berupa jenis kelamin dan ada tidaknya isi perut,

sedangkan faktor eksternalnya berupa ada tidaknya predator dan ada tidaknya

pakan pada perairan.

4.1.5 Hematologi

a. Pengambilan Sampel Darah

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Hematologi tentang pengambilan

sampel darah pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilakukan di

beberapa bagian antara lain jantung, caudal peduncle, linea lateralis, anal dan

dorsal aorta. Pengambilan sampel darah yang aman dapat dilakukan pada linea

lateralis karena pada bagian tersebut banyak terdapat pembuluh darah, sehingga

darah yang didapatkan banyak. Pengambilan sampel darah tidak dilakukan pada

jantung karena pada bagian tersebut memiliki resiko tinggi yang dapat

menyebabkan kematian pada ikan.

Menurut Risjani et al. (2014), sebelum pengambilan sampel darah, ikan

dibius terlebih dahulu. Sampel darah ikan diambil dibagian linea lateralis

menggunakan jarum 22-G yang melekat pada plastik steril 1ml dan jarum suntik

yang mengandung 50ml TBS. tujuannya agar ikan tidak telalu merasakan sakit

ataupun terkena infeksi dari jarum tersebut.

Berdasarkan pengamatan pengambilan sampel darah dapat disimpulkan

bahwa teknik pengambilan darah pada bagian tertentu dapat menyebabkan

terganggunya kelangsungan hidup ikan. Ikan yang diambil darahnya akan

mengalami kekurangan darah. Teknik pengambilan darah pada bagian linea


138

lateralis adalah yang paling baik, karena tidak menggangu pernapasan,

pencernaan dan organ lainnya

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Berdasarkan praktikum Fisiologi Hewan Air materi Hematologi mengenai

Pembuatan Film Darah Tipis didapatkan hasil secara umum yaitu darah yang

didapat dari seluruh meja saat pengamatan adalah dominan sel darah merah

atau eritrosit. Sel darah putih atau leukosit dan keping darah atau trombosit dari

seluruh meja saat pengamatan berjumlah sedikit, bahkan pada beberapa sampel

tidak terdapat leukosit dan trombosit. Data yang diperoleh selengkapnya

disajikan pada lampiran hematologi mengenai pembuatan film darah tipis.

Menurut Omeji et al. (2013), pembuatan film darah tipis dibuat dari darah

yang telah diambil dari bagian caudal ikan. Kemudian dilakukan dengan metode

smear dan dikeringkan serta difiksasi dengan methanol. Hasil dari proses smear

diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.

Menurut Kurniawan et al. (2013), perhitungan dilakukan dengan mengamati

preparat ulas darah. Pembuatan preparata ulas, 5µ darah ditempatkan diatas

gelas objek pertama yang bersih. Gelas objek kedua diletakan didepan gelas

objek pertama yang berfungsi sebagai penahan, lalu ujung gelas objek ketiga

ditempatkan diatas gelas objek pertama hingga membentuk sudut 450. Gelas

objek ketiga digeser kearah gelas objek kedua hingga terbentuk lapisan tipis

darah, kemudian dibiarkan hingga kering. Preparat difiksasi dengan methanol

95% sekama 5 menit, lalu diangkat dan dibiarkan kering di suhu ruangan.

Pewarnaan preparat dilakukan selama 15 menit dalam wadah pewarnaan

dengan larutan giemsa. Lalu dianglat, dibilas dengan air mengalir dan dibiarkan

kering dengan suhu ruangan. Preparat yang telah jadi kemudian ditempatkan

dibawah mikroskop dan diamati dengan perbesaran 400 kali. Dari hasil tersebut
139

total eritrosit memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan jumlah total

eritrosit disetiap perlakuan

Berdasarkan pengamatan pembuatan film darah tipis dapat disimpulkan

bahwa pembuatan film darah tipis dapat mendeteksi tingkat kesehatan ikan.

Salah satu metode untuk memperjelas pengamatan film darah tipis, yaitu dengan

menggunakan pewarna giemsa, hal tersebut sesuai dengan literatur diatas. Ikan

lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki sel darah yang dapat berperan besar

dalam tubuhnya adalah sel darah merah (eritrosit). Apabila didominasi oleh sel

darah putih (leukosit), maka ikan tersebut sedang sakit. Jika didominasi oleh sel

darah merah (eritrosit), maka ikan tersebut sehat dan normal.

c. Perhitungan Eritrosit

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Hematologi mengenai Perhitungan

Eritrosit secara umum diadaptakan hasil rata-rata yaitu 167,2x104 sel/mm3, hasil

tersebut didapatkan dari hasil pada meja 1 sebanyak 37x104 sel/mm3, meja 2

sebanyak 331x104 sel/mm3, meja 3 sebanyak 107x104 sel/mm3, meja 4 sebanyak

76x104 sel/mm3, serta meja 5 sebanyak 285x104 sel/mm3. Data hasil perhitungan

selengkapnya disajikan pada lampiran hematologi mengenai perhitungan eritrosit

dan leukosit

Hasil eritrosit yang tertinggi didapatkan oleh meja 2 sebanyak 331x104

sel/mm3. Berbeda dengan hasil yang didapatkan pada meja 1 jauh lebih kecil

dibanding dengan meja 2 yaitu sebesar 37x104 sel/mm3. Hasil tersebut didapat

dari menghitung jumlah eritrosit yang terlihat pada setiap bidang pandang.

Menurut Omen (2008) dalam Hua – Tao (2013), eritrosit memainkan

peran penting dalam mengangkut O2 dan CO2 untuk respirasi dan dalam

menjaga metabolisme nutrisi dalam hasil ikan. Logam metal dapat

mengakibatkan dampak kerusakan oksidatif pada organisme air. Ketika tejadi


140

kerusakan oksidatif, akan mempengaruhi jumlah sel eritrosit yang ada. Eritrosit

pada ikan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif

yang dapat menimbulkan kerusakan dan apoptasis pada ikan itu sendiri. Stres

oksidatif dapat dicegah dengan pemberian nutrisi dan dengan ros bias

menghambat kerusakan oksidatif dan apoptasi eritrosit.

Berdasarkan pengamatan penghitungan eritrosit dapat disimpulkan

bahwa sel darah merah (eritrosit) pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

harus lebih banyak di dalam tubuhnya. Karena hal itu yang menentukan sehat

tidaknya ikan tersebut. Jumlah eritrosit pada meja 2 cukup banyak, sehingga ikan

lele dumbo (Clarias gariepinus) termasuk sehat dan normal, hal tersebut sesuai

dengan literatur diatas yang menyatakan bahwa eritrosit memainkan peran

penting dalam mengangkut O2 dan CO2 untuk respirasi dan dalam menjaga

metabolisme nutrisi dalam hasil ikan, sehingga apabila kandungan eritrosi dalam

ikan relatif banyak, maka ikan tersebut dapat dikatakan sebagai ikan yang sehat.

d. Perhitungan Leukosit

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Hematologi mengenai Perhitungan

Leukosit secara umum didapatkan hasil rata-rata yaitu 137.920 sel/mm3, hasil

tersebut didapatkan dari perhitungan meja 1 sebanyak 217.800 sel/mm3, meja 2

sebanyak 259.000 sel/mm3, meja 3 sebanyak 131.800 sel/mm3, meja 4 sebanyak

25.600 sel/mm3 dan meja 5 sebanyak 55.400 sel/mm3 yang dirata-rata. Data hasil

perhitungan selengkapnya disajikan pada lampiran hematologi mengenai

perhitungan eritrosit dan leukosit.

Hasil leukosit tertinggi terdapat pada hasil perhitungan pada meja 2

dengan hasil 259.000 sel/mm3. Berbeda dengan hasil perhitungan pada meja 4

yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan meja 2 yaitu sebesar 25.600 sel/mm 3.

Hasil tersebut didapat dari menghitung jumlah leukosit yang terlihat pada setiap

bidang pandang.
141

Menurut Wani dan Sikdar-Bar (2014), leukosit adalah parameter penting

untuk mengevaluasi kesehatan dan sistem kekebalan tubuh pada ikan.

Perhitungan leukosit dilakukan dengan menggunakan satuan hasil yaitu sel/mm3.

Limfosit pada umumnya merupakan jenis leukosit yang paling familiar dalam

darah ikan, terhitung sebanyak 85% dari total populasi leukosit, tidak termasuk

trombosit.

Berdasarkan pengamatan perhitungan leukosit dapat disimpulkan bahwa

sel darah putih (leukosit) pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus) merupakan

parameter yang penting untuk mengevaluasi kesehatan dan sistem kekebalan

tubuh pada ikan. Hasil leukosit yang didapatkan cenderung lebih sedikit

dibandingkan dengan hasil eritrosit yang didapatkan, hal ini menunjukan bahwa

ikan dalam keadaan sehat karena jumlah leukositnya tidak jauh lebih banyak dari

jumlah eritrositnya.

e. Perhitungan Hemoglobin

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Hematologi mengenai Perhitungsn

Hemoglobin secara umum didapatkan hasil rata-rata sebesar 20.2 G%, hasil

tersebut didapatkan dari meja 1 sebesar 4 G%, meja 2 sebesar 4,4 G%, meja 3

sebesar 6,2 G%, meja 4 sebesar 2,4 G% dan meja 5 sebesar 3,2 G% yang

dirata-ratakan. Data hasil peerhitungan selengkapnya disajikan pada lampiran

hematologi mengenai perhitungan hemoglobin.

Hasil hemoglobin tertinggi terdapat pada hasil perhitungan pada meja 3

dengan hasil 6,2 G%. Berbeda dengan hasil perhitungan pada meja 4 yang

merupakan hasil terendah dengan hasil 2,4 G%. Hemoglobin pada ikan lele

dumbo (Clarias gariepinus) di meja 3 paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

ikan tersebut tidak mengalami kekurangan darah dan tidak dalam keadaan stres.

Menurut Ajayi et al. (2013), kandungan hemoglobin pada darah dan

konsumsi oksigen akan naik ketika ikan dalam keadaan stres. Hal ini
142

memungkinkan terjadinya peningkatan pelepasan RBC (resiko terhadap

pemenuhan) dari organ hemopotik, yang dimana tingkat konsentrasi hemoglobin

tinggi dalam darah ikan, kadarnya akan kembali normal ketika ikan tidak stres,

ketika ikan stres ikan akan lebih banyak bergerak dan asupan oksigen dalam

darah semakin banyak.

Berdasarkan pengamatan perhitungan hemoglobin dapat disimpulkan

bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki hemoglobin yang cukup

banyak. Seperti pada meja 3 yang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki

hemoglobin yang paling banyak. Berdasarkan literatur diatas yang menyatakan

bahwa kandungan hemoglobin pada darah dan konsumsi oksigen akan naik

ketika ikan dalam keadaan stress, sehingga apabila kadar hemoglobin dalam

darah ikan tinggi dapat diperkirakan bahwa ikan tersebut dalam kondisi stres.

4.1.6 Sistem Saraf

a. Keseimbangan Tubuh Ikan

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem saraf mengenai

Keseimbangan Tubuh Ikan hasil yang didapatkan yaitu ikan kontrol yang diberi

perlakuan arus cenderung bergerak melawan arus, pada ikan kontrol yang diberi

perlakuan bunyi cenderung tidak merespon, pada ikan kontrol yang diberi

perlakuan sentuhan dikepala, linea lateralis, dorsal dan ekor cenderung untuk

menjauhi perlakuan atau bergerak menghindari sentuhan. Ikan yang dibius ketika

diberi perlakuan arus cenderung bergerak mengikuti arus, pada ikan yang dibius

dan diberi perlakuan bunyi cenderung tidak merespon, pada ikan yang dibius dan

diberi dentuhan pada kepala, linea lateralis, dorsal dan ekor cenderung tidak

merespon. Ikan ketiga diberi perlakuan universal berupa dipotong semua siripnya

dan di tusuk matanya, ikan dengan perlakuan universal ketika diberi perlakuan

arus cenderung mengikuti arus, saat diberi perlakuan bunyi ikan cenderung tidak
143

merespon, ikan diberi perlakuan universal dan diberi sentuhan pada kepala, linea

lateralis, dorsal dan ekor cenderung bergerak menghindari sentuhan namun

gerkannya lambat. Ikan yang ditusuk matanya cenderung tidak merespon ketika

diberi perlakuan, pada ikan yang ditusuk linea lateralisnya cenderung

menghindari perlakuan namun gerakannya lambat, pada ikan yang dipotong sirip

analnya cenderung menjauhi sentuhan dan melawan arus, pada ikan yang di

potong sirip caudalnya cenderung menghindar cepat, pada ikan yang sirip

pektoral cenderung menghindari sentuhan. Data selengkapnya disajikan pada

lampiran sistem saraf mengenai keseimbangan tubuh ikan nila (Oreochromis

niloticus)

Hasil yang didapatkan di meja 1 pada ikan kontrol dengan perlakuan

bunyi dan disentuh kepala ikan merespon perlakuan yang diberikan dan tidak

merespon perlakuan bunyi. Berbeda dengan ikan kontrol pada meja 3, ikan

kontrol tidak merespon ketika diberi bunyi dan disentuh kepalanya. Ikan yang

dibius dan diberi perlakuan bunyi, pada meja 1 tidak merespon perlakuan yang

diberikan. Berbeda dengan ikan yang dibius dan diberi perlakuan bunyi pada

meja 3 bergerak mendekati perlakuan. Ikan ketiga diberi perlakuan universal

yaitu dipotong semua sirip dan ditusuk matanya, saat diberi perlakuan bunyi

pada meja 1 ikan tidak merespon. Berbeda dengan ikan ketiga pada meja 3, saat

diberi perlakuan bunyi ikan bergerak mendekati bunyi. Ikan keempat pada meja 1

diberi perlakuan ditusuk matanya, saat diberi kejutan arus ikan bergerak

melawan arus, saat disentuh kepala, linea lateralis dorsal dan ekor ikan tidak

merespon. Berbeda dengan ikan keempat pada meja 3 diberi perlakuan dipotong

sirip anal, saat diberi perlakuan arus ikan terbawa arus, saat disentuh kepala,

linea lateralis, dorsal dan ekor ikan bergerak menghindari sentuhan.

Menurut Hardi et al. (2011), vakuolisasi terjadi akibat kerusakan sel

(nekrosis). Sel kemudian mengalami kehancuran sehingga tertinggal sebagai


144

ruangan yang kosong pada jaringan otak, diduga sebagai akibat infeksi secara

sistemik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke otak dan

menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut. Kerusakan

terjadi pada Saraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya Saraf yang

mengontrol pergerakan dan keseimbangan dalam berenang, sehingga terjadi

perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar – putar.

Menurut Sumahiradewi (2013), minyak cengkeh mempunyai komponen

augenol dalam jumlah besar yang mempunyai sifat sebagai stimulant, anastesik

local, karminatif, antimetik, antiseptik dan antipasmedik. Penggunaan minyak

cengkeh yaitu sebagai obat anastesi dalam penangkapan ikan hias dari tempat

asalnya maupun selama proses penanganan, pemilihan dan transportasi adalah

sebagai alternative penggunaan larutan sianida (zat beracun yang mematikan).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa minyak

cengkeh memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila dan juga

mempunyai kemampuan anastesi terhadap ikan nila.

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pengamatan tersebut adalah

pemberian minyak cengkeh dapat mengganggu system koordinasi saraf pada

ikan, hal tersebut sesuai dengan litteratur diatas bahwa minyak cengkeh

mempunyai komponen augenol dalam jumlah besar yang mempunyai sifat

sebagai anastesik local. Terganggunya system Saraf dapat mengakibatkan

terjadinya perubahan perilaku berenang ikan menjadi berputar – putar. Sistem

Saraf pada ikan berfungsi untuk koordinasi tubuhnya.

b. Sistem Saraf pada Udang

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Sistem saraf mengenai Sistem Saraf

pada Udang hasil yang didapatkan yaitu udang kontrol yang diberi perlakuan

arus cenderung bergerak mengikuti arus, pada udang kontrol yang diberi

perlakuan bunyi cenderung tidak merespon, pada udang kontrol yang diberi
145

perlakuan sentuhan dikarapas cenderung bergerak menghindari sentuhan.

udang yang dibius ketika diberi perlakuan arus cenderung bergerak mengikuti

arus, pada udang yang dibius dan diberi perlakuan bunyi cenderung tidak

merespon, pada udang yang dibius dan diberi sentuhan pada karapas cenderung

merespon dan menghindari sentuhan. Udang ketiga diberi perlakuan universal

berupa dipotong capit, telson, kaki jalan, mata kaki renang antenna dan antenula,

udang dengan perlakuan universal ketika diberi perlakuan arus cenderung

mengikuti arus, saat diberi perlakuan bunyi udang cenderung tidak merespon,

udang diberi perlakuan universal dan diberi sentuhan pada karapas cenderung

tidak merespon sentuhan. udang yang dipotong capitnya cenderung tidak

merespon ketika diberi perlakuan, pada udang yang dipotong telson dan kaki

renangnya cenderung tidak merespon, pada udang yang dipotong matanya

cenderung tidak merespon, pada udang yang di potong kaki jalan cenderung

tidak merespon, pada udang yang dipotong antenna dan antenulanya cenderung

merespon perlakuan. Data hasil pengamatan disajikan pada lampiran sistem

saraf mengenai sistem saraf pada udang galah (Macrobrachium rosenbergii).

Hasil yang didapatkan pada meja 2 udang kontrol yang diberi perlakuan

arus, bunyi dan disentuh karapsnya cenderung tidak merespon. Berbeda dengan

udang kontrol pada meja 4, saat diberi perlakuan bunyi dan disentuh karapas

udang merespon dengan menghindari perlakuan. Udang yang dibius dan diberi

perlakuan arus, bunyi dan disentuh karapas pada meja 2 cenderung tidak

merespon. Berbeda dengan udang yang dbius dan disentuh pada karapas

bergerak menghindari sentuhan. udang ketiga pada meja 2 dengan perlakuan

universal diberi kejuan arus, bunyi dan disentuh karapas cenderung tidak

merespon. Berbeda dengan udang ketiga pada meja 4, saat diberi perlakuan

bunyi dan disentuh karapas merespon perlakuan. Udang pada meja 2 yang

dipotong telson dan kaki renang, saat diberi perlakuan bunyi dan arus udang
146

tidak merespon dan saat disentuh karapas ikan menghindari sentuhan namun

lambat. Berbeda dengan udang pada meja 4 yang dipotong kaki jalan, saat diberi

disentuh karapas menghindari sentuhan dengan cepat.

Filum arthropoda, krustasea, myriapods, chelicerates sistem saraf pusat

menunjukkan kantung pada struktur yang bertugas dari segmen ganglia, yang

memiliki Saraf tangga tali seperti rangka akson. Struktur keseluruhan, komposisi

neuronal dari ganglia tersebut harus diubah dalam perjalanan evolusi sehingga

jaringan saraf dapat disesuaikan untuk berbagai kebutuhan. Analisis komparatif

dari neurogenesis di arthropoda memang menunjukkan bahwa modifikasi evolusi

terjadi dalam berbagai tahap perkembangan (Biffar dan Stollewerk, 2014).

Menurut Calvo dan Roldan-Luna (2016), Udang diletakan pada wadah

yang berisi minyak cengkeh sebagai anastesi selama 3 menit untuk

memperlambat pergerakan udang. Minyak cengkeh digunakan sebagai anastesi

atau pembiusan karena mengandung eugenol. Pemberian minyak cengkeh

mengakibatkan pergerakan udang menjadi lambat dan terjadi perubahan pada

morfologi udang.

Kesimpulan yang dapat diambil dari perbandingan pengamatan sistem

Saraf udang yaitu udang kurang mampu bertahan untuk melawan arus yanag

kuat. Pembiusan pada udang menyebabkan pergerakan udang menjadi lebih

lambat, hal tesebut sesuai dengan literatur diatas yang menyatakan bahwa

akibat dari pemberian minyak cengkeh menyebabkan pergerakan udang menjadi

lambat dan terjadi perubahan pada morfologi udang. Pemberian bius atau

minyak cengkeh juga berdampak pada respon Saraf udang tersebut. System

Saraf udang memiliki bagian-bagian yang mendukung atau merangsang impuls.

Impuls itu akan ditanggapi dan diberi balasan.


147

4.1.7 Endokrinologi

Praktikum Fisiologi Hewan Air materi Endokrinologi didapatkan hasil pada

pengamatan berat ikan Mas (Cyprinus carpio) jantan, rata-rata pada seluruh

kelompok sebesar 769,51 gram. Hasil pengamatan ciri seksual sekunder ikan

Mas (Cyprinus carpio) jantan secara umum adalah warna tubuh kuning

keemasan dan cerah, gerakan lincah, operkulum kasar, terdapat dua lubang

urogenital, bentuk kepala runcing dan warna perut silver. Pengamatan selama

Latency time pada ikan Mas (Cyprinus carpio) betina secara umum didapatkan

hasil pada awal pengamatan warna air bening, pergerakan lambat, bentuk perut

bulat membesar dan belum memijah. Pengamatan akhir didapatkan hasil warna

air sedikit keruh, pergerakan pasif, perut membesar dan belum memijah, namun

pada akuarium 5 setelah 8,5 jam pengamatan, ikan mulai mengeluarkan telur

dan pada akuarium 6 setelah 10 jam pengamatan, ikan juga mulai mengeluarkan

telur. Data pengamatan sekengkapnya telah disajikan pada lampiran tabel hasil

pengamatan Endokrinologi.

Pengamatan Latency time pada akuarium 3 didapatkan hasil pengamatan

awal warna air bening, pergerakan lambat, perut bulat membesar dan belum

memijah. Pengamatan akhir didapatkan hasil warna air sedikit keruh, pergerakan

normal, bentuk perut bulat dan belum memijah. Berbeda dengan pengamatan

Latency time akuarium 5 didapatkan hasil pengamatan awal warna air bening,

pergerakan tenang, bentuk perut mengembang dan belum memijah.

Pengamatan hasil akhir warna air keruh ikan bergerak aktif, perut masih

membesar dan sudah mengeluarkan telur dengan Latency time 8,5 jam.

Perbedaan hasil pengamatan disebabkan oleh beberapa faktor internal dan

eksternal. Faktor internal adalah umur ikan dan hormon. Faktor eksternal adalah

suhu dan pakan yang diberikan.

Berdasarkan pernyataan Gillies et al. (2016), ikan seperti vertebrata


148

lainnya memiliki jaringan endokrin yang terletak di otak dan mengendalikan

reproduksi gonad. Jaringan endokrin terdiri dari hipotalamus, hipofisa, gonad

atau biasanya disingkat menjadi HPOL (hipotalamus-hipofisa-ovarium-hati).

Komponen-kompenen tersebut terjadi melalui darah dan serat neurosecretory

dari hipotalamus ke hipofisis HPOL memicu produksi hormon gonadotropin

(GnRH).

Berdasarkan pernyataan Hermelink et al. (2011), fungsi hormon FSH

yang paling utama adalah mengatur perkembangan awal dari gonad. LH memiliki

fungsi utama untuk mengatur perkembangan akhir pada gonad yang mengarah

pada proses ovulasi dan spermiasi. Gonadotropin mengatur banyak proses

pembentukan gonad melalui steroid pada testosteron, ketotestoteran dan

estradial.

Kesimpulan yang didapatkan dari pengamatan tersebut, bahwa teknik

hipofisasi atau penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisa pada induk ikan mas

(Cyprinus carpio) dapat mempercepat proses pemijahan ikan yang di buktikan

dengan keluarnya telur saat selang waktu 8,5 jam. Hasil kesimpulan pengamatan

tersebut didukung dengan literatur diatas yang menyatakan bahwa hipofisa

merupakan hormon yang dapat memicu produksi hormon gonadotropin (GnRH).

Hormon gonadotropin pada ikan mas (Cyprinus carpio) berfungsi untuk memicu

proses kematangan gonad pada ikan.

4.1.8 Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Betina

Pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Pewarnaan dan Pengamatan

Gonad Betina didapatkan hasil yang dominan pada setiap perlakuan di semua

meja yaitu didapatkan hasil berat awal ikan 959,62 gram, berat akhir ikan

1005,08 gram, panjang tubuh 374,44 mm, GI 28,36, hasil GSI 15,07 % dan hasil

kematangan gonad yaitu pada tahap Perkembangan II. Data pengamatan

sekengkapnya disajikan pada lampiran tabel hasil pewarnaan dan pengamatan


149

gonad betina.

Hasil yang didapat dari akuarium 1 kelompok 1 dan 2, berat awal ikan

759,5 gram, berat akhir ikan 728,5 gram, panjang tubuh 320 mm, GI 43.07, GSI

19,3 % dan hasil kematangan gonad yaitu Bunting. Berbeda dengan hasil yang

didapat dari akuarium 6 kelompok 11 dan 12 didapatkan hasil berat awal ikan

595,2 gram, berat akhir ikan 1472,5 gram, panjang tubuh 420 mm, GI 11,46, GSI

5,76 % dan hasil kematangan gonad yaitu Mijah.

Nilai TKG sangat tergantung dari besarnya gonad. Semakin besar gonad

ikan pada bobot tubuh ikan yang sama maka nilai IKG akan semakin tinggi.

Semakin tinggi TKG ikan, maka semakin tinggi pula IKG ikan tersebut. Karena

dengan meningkatnya TKG maka diikuti pula dengan meningkatnya bobot gonad

dan bobot tubuh ikan (Zamroni et al., 2008) dalam (Sembiring et al., 2014).

Menurut Abou – Zied dan Ali (2015), pengamatan gonad secara

mikroskopis menggunakan asetokarmin. Awalnya gonad dicacah secara hati-hati

lalu diletakan diatas objek glass. Langkah selanjutnya gonad ditetesi asetokarmin

lalu ditekan dan ratakan dengan cover glass. Pengamatan gonad menggunakan

mikroskop dengan perbesaran 10 kali.

Kesimpulan yang didapat dari hasil praktikum materi pewarnaan dan

pengamatan gonad betina bahwa tingkat kematangan gonad dipengaruhi oleh

faktor internal dan eksternal. Faktor internal spesies, genetic, umur. Sedangkan

untuk faktor eksternal yaitu kondisi lingkungan ikan tunggal, ketersediaan pakan,

suhu dan kecepatan pertumbuhan dan ikan itu sendiri. Selain dengan

menghitung gi dan gsi tingkat kematangan gonad juga dapat diketahui dengan

melalui proses pewarnaan dan pengamatan gonad. Proses pewarnaan dapat

menggunakan pewarna asetokarmin untuk memperjelas saat pengamatan

gonad, hal tersebut sesuai dengan pendapat literature diatas yang telah

disebutkan. Nilai gsi merupakan perbandingan antara bobot gonad dan bobot
150

ikan, apabila bobot gonad semakin tinggi maka tingkat kematangan gonad juga

semakin tinggi.

4.2 Analisis Grafik

4.2.1 Respirasi

2.5

2.13

2 1.93
1.8
KANDUNGAN DO (ppm)

1.62

1.5 1.36
DO awal

1 DO akhir

0.545
0.45
0.5
0.305 0.27
0.085
0
Meja 1 28⁰C Meja 2 29⁰C Meja 3 30⁰C Meja 4 31⁰C Meja 1 32⁰C

Gambar 31. Grafik Respirasi

Grafik diatas menjelaskan bahwa rata-rata DO awal terendah sebesar

1,36 ppm pada perlakuan suhu 310C, sedangkan hasil pengamatan rata-rata DO

awal tertinggi yaitu sebesar 2,13 ppm pada perlakuan suhu 280C. Hasil

pengamatan rata-rata DO akhir terendah sebesar 0,085 ppm pada perlakuan

suhu 310C, sedangkan hasil pengamatan rata-rata DO akhir tertinggi sebesar

0,545 ppm pada perlakuan suhu 300C. Hasil pengamatan rata-rata ΔDO

terendah diperoleh hasil sebesar 1,255 ppm pada perlakuan suhu 300C,

sedangkan hasil pengamatan rata-rata ΔDO tertinggi sebesar 1,68 ppm, pada

perlakuan 280C.

Menurut Wardoyo (1981) dalam Suriadarma (2011), mengemukakan

bahwa oksigen terlarut sangat penting penting untuk proses respirasi pada ikan
151

dan udang serta merupakan salah satu komponen utama untuk keperluan

metabolisme. Kandungan DO sebesar 2 ppm sudah cukup untuk mendukung

kehidupan organisme perairan secara normal, selama perairan tersebut tidak

mengandung racun. Kandungan DO yang diperlukan untuk mendukung

kehidupan ikan yang baik yaitu minimal 4 ppm.

Kesimpulan yang diperoleh dari perhitungan DO yaitu semakin tinggi suhu

maka semakin tinggi pula konsumsi oksigennya. Tingkat konsumsi oksigen yang

tinggi mengakibatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam air semakin berkurang.

Kandungan DO yang baik untuk kelangsungan hidup ikan yaitu minimal 2 ppm.

4.2.2 Sistem Pencernaan

a. Digestibility

120

96,99 99,4 97,85


100 91,82

80
Digestibility (%)

Mata Lele
Cacing Darah
60
Cacing Sutra
41,75
40 Pellet
Lumut Jaring
20

0
Perlakuan Tiap Meja

Gambar 32. Grafik Digestibility

Grafik diatas menjelaskan bahwa perhitungan Digestibility pada ikan nila

(Oreochromis niloticus) diperoleh hasil Digestibility terendah yaitu sebesar 41,75

% pada pemberian pakan pellet. Hasil Digestibility tertinggi yaitu sebesar 99,4 %

pada pemberian pakan cacing darah (Chironomous sp.). Urutan nilai Digestibility
152

dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan yaitu 41,75% pada pemberian

pakan pellet, 91,82% pada pemberian pakan lumut jaring (Chaetomorpha sp.),

96,99% pada pemberian pakan matalele (Azolla pinnata), 97,85% pada

pemberian pakan cacing sutra (Tubifex sp.) dan 99,85% pada pemberian pakan

cacing darah (Chaetomorpha sp.).

Menurut Rani et al. (2014), pakan dengan komposisi tanaman dan hewan

dapat meningkatkan nafsu makan pada ikan. Pakan alami memiliki kandungan

nutrisi yang tinggi. Pemberian pakan alami dari tanaman dan hewan memiliki

efek pertumbuhan yang berbeda secara signifikan.

Kesimpulan yang diperoleh dari pengamatan Digestibility yaitu jenis

pakan dapat mempengaruhi daya cerna pada ikan nila (Oreochromis niloticus).

Digestibility pada pakan alami umumnya lebih tinggi daripada pakan buatan.

Pakan alami umumnya memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dibandingkan

dengan pakan buatan.

b. Gastric Evacuation Time (GET)

200
180
180
160
140
122
Waktu (Menit)

Mata Lele
120
101 Caccing Darah
100
Cacing Sutra
80
60 60 Pellet
60
Lumut Jaring
40
20
0
Perlakuan Tiap Meja

Gambar 33. Grafik Gastric Evacuation Time

Grafik diatas menjelaskan bahwa pengamatan Gastric Evacuation Time


153

(GET) pada ikan nila (Oreochromis niloticus) diperoleh nilai GET terendah yaitu

selama 60 menit, pada pemberian pakan cacing sutra (Tubifex sp.) dan pellet.

Hasil GET tertinggi yaitu selama 180 menit pada perlakuan pemberian pakan

cacing darah (Chironomous sp.). Urutan nilai GET dari terendah ke tertinggi

yaitu 60 menit pada pemberian pakan pellet dan cacing sutra (Tubifex sp.), 101

menit pada pemberian pakan mata lele (Azolla pinnata), 122 menit pada

pemberian pakan lumut jaring (Chaetomorpha sp.), 180 menit pada pemberian

pakan cacing darah (Chironomous sp.).

Menurut Kock et al. (2013), waktu pengosongan lambung sangat penting

dipelajari untuk mengukur konsumsi pakan pada ikan. Waktu pengosongan

lambung bergantung pada pakan yang diberikan, baik pakan alami maupun

pakan buatan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi waktu pengosongan

lambung antara lain pakan, kondisi fisiologis, umur dan stadia ikan.

Kesimpulan yang diperoleh dari pengamatan Gastric Evacuation Time

(GET) yaitu jenis pakan yang diberikan dapat mempengaruhi nilai GET. Pakan

pellet dan cacing sutra (Tubifex sp.) lebih mudah dicerna oleh ikan nila

(Oreochromis niloticus) karena tidak mengandung serat seperti pada pakan

alami. Faktor yang mempengaruhi nilai GET antara lain pakan yang diberikan,

kondisi fisiologis, umur serta stadia ikan.

4.3 Faktor Koreksi

Berdasarkan praktikum Fisiologi Hewan Air pada seluruh materi di

dapatkan faktor koreksi sebagai berikut :

 Alat dan bahan yang di gunakan saat praktikum kurang memadai.

 Kondisi beberapa alat-alat yang di gunakan pada saat praktikum kurang

baik, contohnya pisau yang kurang tajam saat memotong kepala ikan

mas (Cyprinus carpio) saat praktikum materi endokrinologi


154

 Kondisi beberapa bahan yang di gunakan pada saat praktikum kurang

sesuai dengan kebutuhan praktikum, contohnya pada ukuran ikan yang

tidak sesuai.

 Terjadi kesalahan seleksi saat pemilihan induk jantan dan induk betina

ikan mas (Cyprinus carpio) saat praktikum materi endokrinologi .

 Keterbatasan alat, bahan, waktu dan tempat menyebabkan hanya

beberapa praktikan saja yang mengikuti praktikum secara langsung

sedangkan praktikan yang lain hanya mengetahui proses praktikum saat

penjelasan materi.

4.4 Manfaat dibidang Perikanan

Berdasarkan praktikum Fisiologi Hewan Air pada semua materi dapat

diperoleh manfaat di bidang perikanan yaitu pada materi osmoregulasi dapat

dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan dengan salinitas yang sesuai untuk

ikan yang akan dibudidayakan, sedangkan pada materi respirasi, dapat

mengetahui padat tebar yang baik dengan kebutuhan DO (Dissolved Oxygen)

yang optimal bagi ikan, pada materi pencernaan, dengan mempelajari

Digestibility dan Gastric Evacuation Time (GET) dapat mengetahui waktu

pengosongan lambung ikan sehingga akan membantu pada saat pemberian

pakan dengan jumlah yang baik dan waktu yang optimal. Materi pewarnaan dan

fototaksis dapat membantu dalam menunjukan sifat fototaksis pada ikan

sehingga akan memudahkan saat menangkap ikan yang mempunyai sifat

fototaksis positif dengan menggunakan cahaya, pada materi hematologi dapat

digunakan sebagai indikator kesehatan ikan, dengan meneliti, menghitung serta

membandingkan jumlah eritrosit dan leukosit dalam darah ikan. Praktikum

tentang sistem saraf pada udang dan ikan dapat membantu pembudidaya dalam

memberikan perlakuan yang tepat pada udang dan ikan agar tidak mudah stress.
155

Praktikum mengenai endokrinologi dapat membantu pembudidaya untuk

mempercepat kematangan gonad pada ikan yang di budidayakan sehingga

pemijahan juga cepat terjadi. Praktikum pewarnaan gonad betina dapat

membantu dalam mengidentifikasi tingkat kematangan gonad pada ikan.


156

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Tingkat salinitas sangat mempengaruhi cara ikan untuk mempertahankan

nilai osmotiknya. Ikan laut yang hidup di salinitas tinggi memiliki cara yang

berbeda untuk menjaga nilai osmotiknya, sedangkan ikan laut cenderung

meminum air banyak, mengeluarkan air sedikit karena banyak garam yang

diserap oleh tubuh dan konsentrasi larutan tinggi. Ikan air tawar yang memiliki

konsentrasi salinitas rendah cenderung meminum air sedikit dan mengeluarkan

air yang banyak karena sedikit garam yang diserap oleh tubuh.

Respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah suhu.

Suhu merupakan derajat panas-dingin di suatu perairan baik kolam, laut atau

sungai. Perlakuan suhu yang berbeda dimaksudkan agar dapat mengetahui

jumlah rata-rata bukaan operkulum. Semakin tinggi suhu di perairan maka

bukaan operkulum juga semakin meningkat karena ikan semakin membutuhkan

oksigen yang lebih banyak. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan O2 di perairan

semakin berkurang.

Semakin cepat Digestibility maka GET semakin menurun, sedangkan

semakin rendah Digestibility maka semakin cepat GET. GET dipengaruhi oleh

jenis pakan yang diberikan. Macam-macam pakan di perairan terbagi menjadi 3

jenis, yaitu pakan alami, pakan buatan (pellet) dan pakan tambahan (daun

papaya atau bekicot). Pakan pellet memiliki Digestibility yang baik dibandingkan

dengan pakan alami dan pakan buatan. Pakan hewani memiliki Digestibility yang

baik dan cepat dibandingkan dengan pemberian pakan nabati. Pakan hewani

tidak memiliki serat dan selulosa sehingga mudah dicerna oleh tubuh ikan yang

dimiliki oleh pakan nabati.

Warna pada ikan disebabkan oleh adanya sel kromatofor yang terdapat
157

pada kulit bagian dermis. Panjang gelombang pada ikan sangat mempengaruhi

pada saat proses pewarnaan tubuh pada ikan. Semakin panjang gelombang

warna pada tubuh ikan, semakin lama ikan menyerap warna, dan semakin lama

pula ikan kembali ke warna tubuh yang semula, begitupun sebaliknya.

Fototaksis umumnya dipengaruhi oleh dua sel, yaitu sel cone dan sel rod.

Sel cone merupakan sel yang peka terhadap cahaya dan akan bekerja apabila

terdapat cahaya yang cukup, sedangkan sel rod merupakan sel yang dapat

bekerja pada cahaya yang minim. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan

sel cone akan mendekati lensa, sedangkan sel rod akan menjauhi lensa,

begitupun sebaliknya. Ciri-ciri fototaksis positif yaitu warna tubuh cerah, termasuk

ikan pelagis, dan mendekati cahaya. Ciri-ciri fototaksis negatif adalah warnanya

pudar atau gelap, termasuk ikan damsel, dan menjauhi cahaya.

Komponen penyusun darah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) terdiri

dari sel darah dan plasma. Sel darah terdiri dari 3 komponen yaitu sel darah

merah (leukosit), sel darah putih(leukosit) dan keeping darah (trombosit).

Leukosit terdiri dari granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari eusofil,

neutrofl dan basofil. Agranulosit terdiri dari limfosit untuk membentuk anti body

dan monosit untuk membunuh bakteri.

Perbedaan perlakuan menyebabkan adanya perbedaan respon pada ikan

dan udang, hal ini disebabkan karena sistem Saraf pada ikan lebih kompleks

dibandingkan sistem Saraf pada udang. Sistem saraf pada ikan yaitu berupa

sistem koordinansi tubuh yang berpusat pada otak. Sistem Saraf pada udang

yaitu berupa tangga tali berupa sepasang simpul Saraf dengan sepasang tali

Saraf yang memanjang, bercabang, melintang seperti tangga.

Tingkat kematangan gonad pada ikan disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain, faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu spesies, usia,

hormon dan jenis kelamin ikan. Faktor eksternal yaitu suhu, ph dan pakan. Faktor
158

lainnya merupakan pemberian ekstrak kelenjar hipofisa pada induk ikan mas

(Cyprinus carpio) betina yang dapat mempercepat kematangan gonad pada ikan,

mempercepat daya tetas, mengurangi mortalitas dan meningkatkan produksi

benih.

Ciri induk betina yang matang gonad adalah warna tubuh agak gelap,

perut buncit, apabila perutnya diurut akan mengeluarkan telur. Tingkat

kematangan gonad betina dan jantan menurut Kasteven dan Brown yaitu dara,

dara berkembang, perkembangan I, perkembangan II, bunting, mijah, mijah/ salin

salin, pulih salin

Kesimpulan yang didapat dari hasil praktikum materi pewarnaan dan

pengamatan gonad betina bahwa tingkat kematangan gonad dipengaruhi oleh

faktor internal dan eksternal. Faktor internal spesies, genetik, umur. Sedangkan

untuk faktor eksternal yaitu kondisi lingkungan ikan tunggal, ketersediaan pakan,

suhu dan kecepatan pertumbuhan dan ikan itu sendiri. Proses pewarnaan dapat

menggunakan pewarna asetokarmin untuk memperjelas saat pengamatan

gonad, hal tersebut sesuai dengan pendapat literature diatas yang telah

disebutkan. Nilai GSI merupakan perbandingan antara bobot gonad dan bobot

ikan, apabila bobot gonad semakin tinggi maka tingkat kematangan gonad juga

semakin tinggi.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan pada praktikum Fisiologi Hewan Air yaitu saat

sebelum memulai praktikum diharapkan lebih memperhatikan jumlah alat dan

bahan yang akan digunakan sehingga praktikum dapat berjalan dengan lancar.

Kondisi alat yang digunakan pada saat praktikum sebaiknya di periksa kembali

agar tidak mengganggu kelancaran jalanya praktikum. Kondisi bahan praktikum,

misalnya ikan yang akan digunakan, dijaga kondisi fisiologis dan kesehatannya
159

agar tidak mempengaruhi hasil akhir dari praktikum. Perlakuan yang di berikan

pada saat praktikum sebaiknya di lakukan dengan cermat dan teliti sehingga

dapat meminimalisir kesalahan pada hasil akhir praktikum. Manajemen waktu

dan tempat secara tepat dan cermat untuk jalannya kegiatan praktikum

kedepannya diharapkan mampu mengenai memberikan ilmu dan pemahaman

yang lebih baik bagi praktikan agar materi yang di praktikumkan dapat di terima

oleh seluruh praktikan.


DAFTAR PUSTAKA

Abigail, W., M. Zainuri, A. T. D. Kuswardani dan W. S. Pranowo. 2015. Sebaran


nutrien, intensitas cahaya, klorofil-a dan kualitas air di selat Badung,
Bali pada Monsun Timur. Depik. 4(2): 87-94.

Aboagye, D. L and P. J. Allen. 2014. Metabolic and locomotor responses of


juvinile Paddlefish Polyodon spathula to hypoxia and temperature.
Comparative Biochemistry and Physiology, Part A. 169: 51 – 58.

Abou-Zied, R. M. and A. A. A. Ali. 2015. Effect of feeding rate and frequency on


growth performance, sex conversion ratio and profitability of nile
tilapia (Oreochromis niloticus) fry in hapa at commercial hatcheries.
Egyptian J. Nutrition and Feeds.18(2): 451-459.

Abraham, K. J., V. S. R. Murty and K. K. Joshi. 2011. Maturity and spawning of


secutor insidiator along the Kerala coast. Marine Biological
Association of India. 53(2): 178–183.

Adebiyi, F. A., S. S. Siraj, S. A. Harmin and A. Christianus. 2013. Plasma sex


steroid hormonal profile and gonad histology during the annual
reproductive cycle of river catfish Hemibagrus nemurus
(Valenciennes, 1840) in captivity. Fish Physiol Biochem. 39. 547–557.

Agustono. 2014. Pengukuran kecernaan protein kasar, serat kasar, lemak kasar,
betn, dan energi pada pakan komersial Ikan Gurami (Osphronemous
gourami) dengan menggunakan teknik pembedahan. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 6(1) : 71-79.

Ajayi, I. A., F. E. Olarfa and M. M. Omoniyi. 2013. Chemical analysis and


nutritional assessment of deffated garcinia mangostan a seeds used
as an additive on the feed of fish (Clarias gariepinus). Global Journal
of Science Frontier Research Chemistry. 13: 39 – 48.

Ajiboye, O. O., A. F. Yakubu and T. E. Adams. 2012. A perspective on the


ingertion and nutritioral effect of feed adictivar in farmed fish spesies.
World Journal of Fish and Marine Sciences. 4(1): 87-101.

Akankali, J. A., E. I. Seiyaboh and J. F. N. Abowei. 2011. Fish Hatchery


Management in Nigeria. Advance Journal of Food Science and
Technology. 3(2): 144 – 154.

Alamsyah., L. Sara dan A. Mustafa. Studi biologi reproduksi ikan kerapu sunu
(Plectropomus areolatus) pada musim tangkap. Jurnal Mina Laut
Indonesia. 1(1): 73-83.

Alhashemi, A. H., A. Karbassi, B. H. Kiabi, S. M. Monavari and M. S.


Sekhavatjou. 2012. Bioaccumulation of trace elements in different
tissues of three commonly available fish species regarding their
gender, gonadosomatic index, and condition factor in a wetland
161

ecosystem. Environ Monit Assess. 184. 1865–1878.

Almeida, O., E. Goncalves-de-Frietas, J. S. Lopes and R. F. Oliveira. 2014.


Social instability promotes hormone-behaviour associated patterns in
a cichlid fish. Hormones and Behavior. 66: 369 – 382.

Alsafy, M. A. M. 2013. Gill morphology in two mediterranean sea fishes of similar


feeding preferences: Sea Bream (Sparus aurata L) and Sea Bass
(Dicentrarchus labrax). Vet Res Commun. 37(2): 163-170.

Ammar, D., E. M. Nazari, Y. M. R. Muller and S. Allodi. 2013. On the brain of a


krustasean: a morphological analysis of CaMKII expression and its
relation to sensory and motor pathways. Plos One. 8(5): 1-2.

Amrevuawho, M. O., A. A. Akinyemi, G. N. O. Ezeri, O. M. Bankole and O. V. A.


Takeet. 2014. Pathological study of Clarias gariepinus (Burchell,
1822) sub-adult artifically infected with Pseudomonas aeruginosa.
Braz. Journal Aquatic Science Technology. 18(2): 65-70.

Arantes, F. P., H. B. Santos, E. Rizzo, Y. Sato and N. Bazzoli. 2011. Influence of


water temperature on induced reproduction by hypophysation, sex
steroids concentrations and final oocyte maturation of the ‘‘curimata-
pacu’’ Prochilodus argenteus (Pisces: Prochilodontidae). General and
Comparative Endocrinology. 127: 400 – 408.

Arasu, A., V. Kumaresan, A. Sathyamoorthi, M. V. Arasu, N. A. Al-Dhabi and J.


Arockiaraj. 2016. Coagulation profile, gene expression and
bioinformatics characterization of coagulation factor X of striped
murrel Channa striatus. Fish & Shellfish Immunology. 55: 149-158.

Atmaca, M. 2013. Pituitary Gland in Phyctriatic Disorders: A Review of


Neuroimaging Findings. Pituitary. 6.

Azevedo, J. S., B. Lopes, A. Katsumiti, E. S. Braga, H. Roche, C. A. O. Ribeiro


and M. J. Bebianno. 2012. Evidence of contamination by oil and oil
products in the Santos-São Vicente estuary, São Paulo, Brazil.
Brazilian Journal of Oceanography. 60(2): 117-126.

Azwar, M., Emiyarti dan Yusnaini. 2016. Critical thermal dari ikan Zebrasoma
scopas yang berasal dari perairan pulau Hoga kabupaten Wakatobi.
Sapa Laut. 1(2): 60-66.

Baldisserotto, B., J. M. Mancera and B.G. Kapoor. 2007. Fish Osmoregulations.


Science Publisher. United States of America. 2 p.

Bascinar, N. S dan Cakmak. E. 2011. Determination of Gastric Evacuation Time


and rate of black sea trout (Salmo trutta labrax Pallas, 1811) larvae
through live feed utilization. Journal of Fisheries Sciences. 5(4): 300-
307.

Basuki, F. and S. Rejeki. 2015. Analysis on the survival rate and growth of
larasati tilapia (Oreochromis niloticus) F5 seed in saline media.
Procedia Enviromental Sciences. 23. 142 – 147.
162

Biffar, L and A. Stollewerk. 2014. Conservation and evolutionary modification of


neuroblast expression patterns in insects. Development Biology. 388:
103 – 116.

Bjelobaba, I., M. M. Janjic and S. S. Stojilkovic. 2015. Purinergic signaling


pathways in endocrine system. Journal of Autonomic Neuroscience:
Basic and Clinical. 191: 102 – 116.

Boyer, james L. 2013. Bile formation and secretion. Comprehensive Physiology.


3: 1035- 1078.

Brown, A., Isnaniah dan S. Domitta. 2013. Perbandingan hasil tangkapan kelong
(liftnet) menggunakan lampu celup bawah air (lacuba) dan petromaks
di perairan desa Kote kecamatan Singkep kabupaten Lingga propinsi
Kepulauan Riau. Jurnal Akuatika. 4(2): 149-158162.

Brown, M. E. 2013. The Physiology of Fishes: Metabolism. Academic Press Inc.


London. 462 p.

Bugar, H., K. Bungas. S. S. Monalisa dan I. Christiana. 2013. Pemijahan dan


penanganan larva ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada media
air gambut. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 2(2): 1 – 7.

Burhanuddin, A. I. 2014. Ikhtiologi Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya.


Deepublish: Yogyakarta. 452 hlm.

. 2014. Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya.


Deepublish.Yogyakarta. 351 hlm.

. 2014. Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya. Deepublish.


Yogyakarta. 304 hlm.

Burmansyah, Muslim dan M. Fitrani. 2013. Pemijahan ikan Betok (Anabas


testudineus) semi alami dengan sex ratio berbeda. Jurnal Akuakultur
Rawa Indonesia. 1(1): 23 – 33.

Burtis, C. A., E. R. Ashwood and D. E. Bruns. 2012. Tietz Textbook of Clinical


Chemistry and Molecular Diagnostics. Elsevier Saunders. Missouri.
837 p.

Cambell, H. S and L. J. Morrell. 2015. Turbidity influences individual and group


level responses to predation in guppies, Poecilia reticulata. Animal
Behaviour. 103 : 179-185.

Campbell, N. A., J. B. Reece and L. G. Mitchell. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 1.
Erlangga. Jakarta. 152 hlm.

, J. B. Reece dan L. G. Mitchell. 2003. BIOLOGI Edisi kelima Jilid II.


Erlangga. Jakarta. 265 hlm.

Calvo, N. S and M. Roldán-Luna. 2016. Reflected-light influences the coloration


of the peppermint shrimp Lysmata boggessi (Decapoda : Caridea).
Journal of the World Aquaculture Society. 47 (5) : 701-712
163

Canan, B., W. S. G. Nascimento, N. B. D. Silva and S. Chellappa. 2012.


Morphohistology of digestive tract of the Damsel Fish Stegastes
fuscus (Osteichtyes: Pomacentridae). The Scientific World Journal. 1-
9.

Carl, D. D., M. J. Weber and M. L. Brown. 2016. An evaluation of attractants to


increase catch rates and deplete age-0 common carp in shallow
South Dakota lakes. North American Journal of Fisheries
Management. 36: 506–513.

Chen, X and F. Engret. 2014. Navigational strategies underlying phototaxis in


larval zebrafish. Original Research Article. 8.

Chenari, F., H. Morrovati, A. Ghazilou, A. Savari and M. T. Ronagh. 2011. Rapid


variation in kidney histology in Spotted Scat Scatophagus argus on
exposed to abrupt salinity changes. Iranian Journal of Veterinary
Research. 12(3): 256-261.

Coroian, C. O., V. Miresan, D. I. Cocan, R. D. Vatu, C. M. Raducu and A.


Coroian. 2015. Growth performance of common carp (Cyprinus
carpio L.) fingerlings fed with various protein levels. International
Journal of the Bioflux Society. 8(6): 1038-1047.

Counturier, C. S., N. G. Anderson, A. Audet and D. Chabot. 2013. Prey


exoskeleton influence the course of gastric evacuation in atlantic cod
cradus moriha. Journal of Fish Biology. 82: 789 – 805.

Csaba, G. 2011. The immune-endocrine system: hormones, reseptors and


endocrine function of immune cells. The packed-transport theory.
Advances in Neuroimmune Biology. 1: 71 – 85.

Dan-Kishiya, A. S., J. R. Solomon, U.A. Alhaji and H. S. Dan-Kishiya. 2015.


Influence of temperature on the respiratory rate of Nile tilapia,
Oreochromis niloticus (Pisces: Chichlidae) in the laboratory.
Cuadermos de Investigation UNED. 8(1): 27-30.

Dancygier, H. 2010. Clinical Hepatology: Principles and Practice of Hepatobiliary


Diseases Volume 1. Springer Berlin Heidelberg. Berlin. 63 p.

Darwisito, S., H. J. Sinjal dan I. Wahyuni. 2015. Tingkat perkembangan gonad,


kualitas telur dan ketahanan hidup larva ikan nila (Oreochromis
niloticus) berdasarkan perbedaan salinitas. Jurnal LPPM Bidang
Sains dan Teknologi. 2(2): 86-94.

Davidson, A. J. 2011. Uncharted waters: neprhrogenesis and renal regeneration


in fish and mammals. Pediatr Nephrol. 26: 1435-1443.

Day, R. D., D. P. German, J. M. Manjasaky, I. Farr, M. J. Hansen and I. R. 2011.


Tibbetts. enzymtic digestion in stomachless fishes: how a simple gut
accommodates both herbivory and carnivory. J. Com Physiol B. 181:
603-613.

De, M., M. A. Ghaffar, Y. Bakar dan S. K. Das. 2016. Effect of temperature and
164

diet growth and gastric emptying time of the hybrid, Ephinephelus


fuscoguttatus X E. lanceolatus. Aquaculture Reports. 4: 118-124.

Devani, V dan S. Basriati. 2015. Optimasi kandungan nutrisi pakan ikan buatan
dengan menggunakan multi objective (goal) programming model.
Jurnal Sains, Teknologi dan Industri. 12(2): 255-261.

Ekanem, A. P., A. J. Udoh and A. P. Inyang-Etoh. 2012. Effect of different


anticoagulants on hematological parameters of Oreochromis niloticus.
International Journal of Science and Advanced Technology. 2(6): 17–
20.

Emerson, M. M., N. Surzenko, J. J. Goetz, J. Trimarchi and C. L. Cepko. 2013.


Otx2 and onecut1 promote the fates of cone photoreceptors and
horizontal cells and repress rod photoreceptors. Developmental Cell.
26: 59-72.

Enayatmer, M and S. Jamili. 2013. Eco toxicological effects of endocrine


disruptive compounds (EDCs) in aquatics (especially in fish): a
review. International Journal of Science and Research. 4: 791 – 795.

Enzor, L. A., M. L. Zippay and S. P. Place. 2013. High latitude fish in a high CO2
world: synergistic effects of elevated temperature and carbon dioxide
on the metabolic rates of antarctic notothenioids. Comparative
Biochemistry and Physiology, Part A. 164: 154 – 161.

Etim, N. N., M. E. Williams, U. Akpabio and E. E. A Offiong. 2014.


Haematological parameters and factors affecting their values.
Agricultural Science. 2(1): 37-47.

Farley, J. H., A. J. Williams, S. D. Hoyle, C. R. Davies and S. J. Nicol. 2013.


Reproductive dynamics and potential annual fecundity of south pacific
Albacore Tuna (Thunnus alalunga). South Pacific Albacore
Reproduction. 8. 1-16.

Farrell, A. P. 2011. Encyclopedia of Fish Physiology. Elsevier. London. 2266 p.

Fernandes, M. N., A. L. da Cruz, O. T. F. da Costa and S. F. Perry. 2012.


Morphometric partitioning of the respiratory surface area and diffusion
capacity of the gills and swim bladder in juvenile Amazonian air-
breathing fish, Arapaima gigas. Micron. 43: 961-970.

Franke, R. and G. Horstgen-Schwark. 2014. Influence of social factors on the


nocturnal activity pattern of the noble crayfish, Astacus astacus
(Krustasea, Decapoda) in recirculating aquaculture systems.
Aquaculture Research. 1–9.

Genz, J., M. D. McDonald and M. Grosell. 2011. Concentration of MgSO4 in the


intestinal lumen of Opsanus beta limits osmoregulation in response to
acute hypersalinity stress. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol.
300: 895-909.

Geremew, A., A. Getahun and K. Rana. 2015. Digestibility of soybean cake, niger
165

seed cake and linseed cake in juvenile nile tilapia, Oreochromis


niloticus L. J Aquac Res Development. 6(5): 1-5.

Ghorai, S and M. K. Panda. 2013. Bioconvection in an anisotropic scattering


suspension of phototactic algae. European Journal of Mechanics
B/Fluids. 41: 81-93.

Ghufran, M., H. Kordi dan A. Tamsil. 2010. Pembenihan Laut Ekonomis Secera
Buatan. Lily Publisher. Yogyakarta. 191hlm.

Gillies, K., S. M. Krone, J. J. Nagler and I. R. Schultz. 2016. A computational


model of the rainbow trout hypothalamus-pituitary-ovary-liver axis.
PLOS Computational Biology. 12 (4): 1-27.

Glover, C. N., C. Bucking and C. M. Wood. 2013. The skin of fish as a transport
epithelium: a review. J Comp Physiol B. 1-15.

Grosell, M. 2011. Intestinal anion exchange in marine teleosts is involved in


osmoregulation and contributes to the oceanic inorganic carbon
cycle. Acta Physiological. 202: 421-434.

Grossel, M., A. P. Farrel and C. J. Brauner. 2011. The Multifunction Gut of Fish.
Academic Press. London. 458 p.

Gumm, J. M., K. D. Feller and T. C. Mendelson. 2011. Spectral characteristic of


male nuptial coloration in Darters (Etheostoma). The American
Societtof Ichtyologists and Herpetologists. 2: 319-326.

Hamid, S. H. A., F. A. M. Ahmed, I. M. A. Mohammed and S. I. M. Ali. 2013.


Physical and chemical characteristics of blood of two fish species
(Oreochromis niloticus and Clarias lazera). World's Veterinary
Journal. 3(1): 17-20.

Hamzaoglu, E., M. Ozulug, Y. Tunali and M. Erkan. 2015. Macroscopic and


microscopic examination of seasonal gonad change in Alburnus
istanbulensis (Battalgil, 1941) (Teleostei: Cyprinidae). Turkish Journal
of Fisheries and Aquatic Sciences. 15: 639-646.

Hanif, M. A. R., Subandiyono dan Pinandoyo. 2014. Pengaruh frekuensi


pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan benih
tawes (Puntius javanicus). Journal of Aquaculture Management and
Technology. 3(4): 67-74.

Harabawy, A. S. A and Y. Y. I. Mosleh. 2014. The role of vitamins A, C, E and


selenium as anti oxidants against genotoxicity and cytotoxicity of
cadmium, copper, lead and zinc on erythrocytes of Nile tilapia,
Oreochromis niloticus. Ecotoxicology and Environmental Safety. 104:
28-35.

Hardi, E. H., Sukenda, F. Harris dan A. M. Lusiastuti. 2011. Karakteristik dan


patogenisitas Streptococcus agalactyae tipe β-hemolitik dan non-
hemolitik pada Ikan nila. Jurnal Veteriner. 12 (2): 152-164.
166

Hartika, R., Mustahal dan A. N. Putri. 2014. Gambaran darah Ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan penambahan dosis prebiotik yang
berbeda dalam pakan. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 4(4): 259-267.

Hartono, R., Y. Fenita dan E. Sulistyowati. 2015. Uji in vitro kecernaan bahan
kering, bahan organik dan produksi N-NH3 pada kulit buah durian
(Durio zibethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus) dengan perbedaan waktu inkubasi. Jurnal Sains
Peternakan Indonesia. 10(2): 87-94.

Hassan, A. A. 2013. Anatomy and histology of the digestive system of the


carnivorous fish, the brown-spotted graouper, Ephinephelus
chlorostigma (pisces; serranidae) from the Red Sea. Life Science
Journal. 10(2): 2150-2164.

Helfer, F., C. Lemckert and Y. G. Anissimov. 2014. Osmotic power with pressure
retarded osmosis: theory, performance and trends – a review. Journal
of Membrane Science. 453: 337–358.

Hermelink, B., S. Wuertz, A. Trubiroha, B. Rennert, W. Kloas and C. Schulz.


2011. Influence of temperature on puberty and maturation of
pikeperch, Sander lucioperca. General and Comparative
Endocrinology. 172. 282–292.

Hoar, W. S. and D. J. Randall. 1970. Fish Physiology Volume IV. Academy


Press. California. 2 p.

Hollman, G., G. J. Ferreira, M. A. Geihs, M. A. Vargas, L. E. M. Nery, A.


Leitao, R. Linden and S. Allodi. 2015. Antioxidant activity stimulated
by ultraviolet radiation in the nervous system of a krustasean. Aquatic
Toxicology. 160: 151–162.

Hua-Tao Li, Lin Feng, Wei-Dan Jiang, Yang Liu, Jun Jiang, Shu-Hong Li and
Xiao-Qiu Zhou. 2013. Oxidative stress parameters and anti-apoptotic
response to hydroxyl radicals in fish erythrocytes: Protective effects of
glutamine, alanine, citrulline and proline. Aquatic Toxicology. 126:
169-179.

Hughes, G. M. 1963. Comparative Physiology of Vertebrate Respiration. Harvard


University Press. Cambridge. 145 p.

Hyun Chul Co., In Joon Hwang and Hea Ja Baek. 2014. Histological analysis of
early gonadal development and sex differentiation in chameleon
goby, Tridentiger trigonocephalus. Journal of the Korean Society of
Developmental Biology. 18(1): 51-56.

Ibor, O. R., A. O. Adeogun, O. A. Fagbohun and A. Arukwe. 2016. Gonado-


histopathological changes, intersex and endocrine disruptor
responses in relation to contaminant burden in tilapia species from
Ogun river, Nigeria. Chemosphere. 164: 248-262.

Idrus, A. 2016. Pengaruh ovaprim dengan dosis yang berbeda terhadap


pemijahan buatan pada ikan mas (Cyprinus scarpio). Jurnal
167

Ecosystem. 16(2): 204 – 218.

Ikeda, T. 2016. Routine metabolic rates of pelagic marine fishes and


cephalopods as a function of body mass, habitat temperature and
habitat depth. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology.
480: 74-86.

Ismail, M. F. S., S. S. Siraj, S. K. Daud and S. A. Harmin. 2011. Association of


annual hormonal profile with gonad maturity of mahseer (Tor
tambroides) in captivity. General and Comparative Endocrinologi.
170: 125-130.

Ito, K., S. Ghattas, M. Yanagisawa, S. Uchida, H. Sakail and T. Yanail. 2014.


Assessment of flow cytometry in counting blood of whale sharks as a
rapid and reliable method. International Journal of Scientific
Research. 3(12): 389-397.

Jayaprakash, C and N. Shettu. 2013. Changes in the hematology of the


freshwater fish, Channa punctatus (Bloch) exposed to the toxicity of
deltamethrin. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research.
5(6): 178-183.
Jenkins, S. 2014. Eye to Eye: How Animals See the World. Hunghton Mifflin
Harcourt. New York. 32 p.
Johnson, K. B and A. L. Rhyne. 2015. Ontogenetic shift of spectral sensitivity in
the larval phototaxis of two symphatric caridean shrimp. Lysmata
wurdemanni and L. boggessi (Decapoda: Lysmatidae). Marine
Biology. 162: 1265-1273.

Johnstone, C., C. Hendry, A. Farley and E. McLafferty. 2014. Endocrine system:


part 1. Journal of Medical Sciences-Nurses and Nursing. 28(38): 1 –
10.

Karpagam, B and Krishnaveni N. 2014. Effect of supplementation of selected


plant leaves as growth promoters tilapia fish (Oreochromis
mossambicus). Research Journal of Recent Sciences. 3: 120-123.

Kasumyan, A. O. 2011. Tactile reception and behavior of fish. Journal of


Ichthyology. 51(11): 1035–1103.

Kaur, R and A. Dua. 2015. Colour changes in Labeo rohita (Ham.) due to
pigment translocation in melanophores, on exposure to municipal
wastewater of Tung Dhab drain, Amritsar, India. Environmental
Toxicology and Pharmacology. 39: 747–757.

Kavitha, P., R. Ramesh and P. Subramanian. 2012. Histopathological changes in


Poecilia latipinna male gonad due to Tribulus terrestris administration.
In Vitro Cell.Dev.Biol.—Animal. 48: 306–312.

Keng Po Lai, Jing Woei Li, Anna Chung Kwan Tse, Angela Cheung, Simon
Wang, Ting Fung Chan, Richard Yuen Chong Kong and Rudolf Shiu
Sun Wu. 2016. Transcriptomic responses of marine medaka’s ovary
to hypoxia. Aquatic Toxicology. 177: 476–483.
168

Kettler, K., K. Veltman, D. V. D. Meent, A. V. Wezel and A. J. Hendriks. 2014.


Cellular uptake of nanoparticles as determined by particle properties,
experimental conditions, and cell type. Environmental Toxicology and
Chemistry. 33(3): 481–492.

Khasani, I. 2012. Kriopreservasi spermatofor dan inseminasi buatan pada udang


galah, tahap awal transgenesis udang galah. Media Akuakultur. 7(1):
5-10.

Khasani, I. 2013. Atraktan pada pakan ikan: jenis, fungsi, dan respons ikan.
Media Akuakultur. 8(2): 128-133.
Khostajeh, S. M. B. 2012. The morphology of the post-gastric alimentary canalin
teleost fishes: a brief review. International Journal of Aquatic Science.
3(2): 73-88.

Kock, K., J. Groger and C. D. Jones. 2013. Interannual variability in the feeding of
ice fish (nototheniodei, channichthyidae) in the Southern Scotia arc
and the Antartic Peninsula region (ccamlr subareas 48.1 and 48.2).
Polar Biol. 1 – 12.

Konrad, M. W. 2015. Blood circulation in the tunicate Corella inflata (Corellidae).


International license. 1-23.

Kordi, M. G. H dan A. Tamsil. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis secara


Buatan. Lily Publisher. Yogyakarta. 130 hlm.

. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di Kolam


Terpal. Lily Publisher. Yogyakarta. 280 hlm.

Kücük, E., I. Aydin, H. Polat, O. T. Eroldoğan and T. Şahin. 2014. Effect of


feeding frequency on growth, feed efficiency and nutrient utilization of
juvenile flounder (Platichthys flesus luscus). Aquacult. Int. 22: 723 –
732.

Kurniasih, Titin, A. M. Lusiastuti, Z. I. Azwar dan I. Melati. 2014. Isolasi dan


seleksi bakteri saluran pencernaan ikan lele sebagai upaya
mendapatkan kandidat probiotik untuk efisiensi pakan ikan. Jurnal
Riset Akuakultur. 9(1): 99-109.

Kurniawan, S. B. Prayitno, Sarjito and A. Mariana L. 2013. Pengaruh ekstrak


daun sirsak (Annona muricata l) terhadap profil darah dan
kelulushidupan ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var.
sangkuriang) yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Journal of
Aquaculture Management and Technology. 2 (4): 50 – 62.

Kursistiyanto, N., S. Anggoro dan Suminto. 2013. Penambahan vitamin C pada


pakan dan pengaruhnya terhadap respon osmotik, effisiensi pakan
dan pertumbuhan Ikan nila Gesit (Oreochromis sp.) pada media
dengan osmolaritas berbeda. Jurnal Saintek Perikanan. 8(2): 66-75.

Kusuma, P. S. W., A. P. W. Marhendra, Aulanni’am dan Marsoedi. 2012.


Mekanisme pelepasan hormone gonadotropin (GtH-II) ikan Lele
(Clarias Sp.) setelah diinduksi laser punktur pada titik reproduksi.
169

Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 14(3): 209 – 215.

Kwong, R. W. M., Y. Kumai and S. F. Perry. 2014. The physiology of fish at low
pH: the Zebrafish as a model system. The Journal of Experimental
Biology. 217: 651-662.

Lovell, T. 2012. Nutrition and Feeding of Fish. Springer Science and Business
Media. New York. 267 p.

Lubis, N. G., Sugito, Zuhrawati, Zuraidawati, N. Asmilia, Hamny dan U. Balqis.


2016. Efek peningkatan suhu terhadap jumlah leukosit Ikan nila
(Oreochromis niloticus). Jurnal Medika Veterinaria. 10(1): 31-33.

Maan, M. E and K. M. Sefc. 2013. Colour variation in cichlid fish: Developmental


mechanisms, selective pressuresand evolutionary consequences.
Seminars in Cell & Developmental Biology. 24: 516– 528.

Mahyuddin, K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya.


Jakarta. 287 hlm.

Maia, A. and C. A. Wilga. 2013. Function of dorsal fins in bamboo shark during
steady swimming. Zoology. 116: 224–231.

Malysz-Chymborska, I and A. Andronowska. 2016. Down regulation of Lh and


FSH receptors after hCG and eCG treatments in the porcine oviduct.
Domestic Animal Endrocrinology. 57: 48 – 54.

Maqsood, S and S. Benjakul. 2011. Effect of bleeding on lipid oxidation and


quality changes of Asian seabass (Lates calcarifer) muscle during
iced storage. Food chemistry. 124: 459-467.

Marcdante, K and R. M. Kliegman. 2015. Nelson Essentials of Pediatrics.


Elsevier Saunders. Philadelphia. 570 p.

Maryam, S., G. Diansyah dan Isnaeni. 2015. Pengaruh pemberian pakan


fitoplankton (Tetraselmis sp., Porphyridium sp. dan Chaetoceros sp.)
terhadap laju pertumbuhan zooplankton Diaphanosoma sp. pada
skala laboratorium. Maspari Journal. 7(2): 41-50.

Marzuky, M dan D. N. Anjusary. 2013. Kecernaan nutrien pakan dengan kadar


protein dan lemak berbeda pada juvenil Ikan Kerapu Pasir
(Ephinephelus corellicola). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. 5(2): 311-323.

Mas’ud, F. 2013. Efektifitas Candida sp. sebagai imunostimulan pada ikan lele
dumbo (Clarias gariepenus) terhadap infeksi Aeromonas hidrophylla.
Jurnal Ilmu Eksakta. 1(2): 27-52.

Massure, W. A., C. A. Ehlo, B. R. Kesner and P. C. Marsh. 2015. Positive


phototaxis in larval bonytail. Journal of Fish and Widlife Management.
6(2): 425-429.
Matsuda, K and M. N. Wilder. 2014. Eye structure and function in the giant
freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. Fish Science. 80: 531-
170

541.

McBride, R. S., M. J. Wuenschel, P. Nitschke, G. Thornton and J. R. King. 2013.


Latitudinal and stock-specific variation in size- and age-at-maturity of
female winter flounder, Pseudopleuronectes americanus, as
determined with gonad histology. Journal of Sea Research. 75: 41–
51.

Meredith, T. L., S. M. Kajiura dan A. Hansen. 2013. The stomatotropic


organization of the olfactory bulb in elasmobranch. Journal of
Morphology. 274: 447-455.

Mirghiyasi, S., H. R. Esmaeili and M. Nokhbatolfoghahai. 2016. Morpho-


histological characteristics of gonads and reproductive index in an
endemic fish species, Oxynoemacheilus persa (Heckel, 1847)
(Teleostei: Nemacheilidae) from Kor River basin, Iran. Int. J. Aquat.
Biol. 4(1): 31-42.

Mishra, S and D. N. Saksena. 2012. Gonadosomatic Index and fecundity of an


indian major carp Labeo calbasu in gohad reservoir. The Bioscan an
International Quarterly Journal of Life Sciences. 7(1): 43-46.

Mohammadzadeh, S., H. Ouraji, F. Hasantabar and M. K. Khalesi. 2014. Growth


performance and thyroid hormones of Caspian kutum, Rutilus frissi,
juveniles in response to dietary carbohydrate levels. Int Aquat Res. 6:
60–66.

Monahan-Early, R., A. M. Dvorak and W. C. Aird. 2013.Evolutionary origins of the


blood vascular system and endothelium. Journal of Thrombosis and
Haemostasis. 11(1): 46-66.

Montoya-Mejiya, M., A. Hernandez-Liamas, M. Garcia-Ulloa, H. Nolasco-Soriya,


R. Gutierrez-Porado and H. Rodrig, Gonzalez. 2016. Apparent
Digestibility coffisient of chick maize, high-quality protein maize, and
bean diets in juvenile and adult nile tilapila (Oreochromis nilotius).
Journal of Brasilara de zootecnia. 45 (8): 427-432.

Muhammad, F., Z. F. Zhang, M. Y. Shao, Y. P. Dong, S. Muhammad and W.A.


Balouch. 2012. Early development of nervous system in Litopenaeus
vannamei (Boone, 1931) (Krustasea: Decapoda) Larval nervous
system, genesis, differentiation. Sindh University Research Journal
(Science Series). 44(1): 29-34.

Murtidjo, B. A. 2001. Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius.


Yogyakarta. 40 hlm.

. 2002. Budidaya Kerapu Dalam Tambak. Kanisius. Yogyakarta.


81 hlm.

Namulawa, V. T., C. D. Kato., E. Nyatia., J. Rutaisire dan P. Britz. 2013.


Scanning electron microscopy of the gastrointestinal tract of nile
perch (Lates niloticus, Linneaus, 1758). International Journal of
Morphology. 31(3): 1068-1075.
171

. T., C. D. Kato., E. Nyatis., P. Britz dan J. Rutaisire. 2011.


Histomorphology description of the Digestive system of Nile Perch (L.
niloticus). Int J. Morphol. 29(3): 723-732.

Naoki T., H. Satsu, K. Takayanagi, K. Mukai and M. Shimizu. 2014. In vivo and in
vitro studies on the absorption characteristics of β-cryptoxanthin in
the intestine. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry. 76(11):
2124-2128.

Naquib, S. A. A., H. A. El- Shabaka dan F. Ashour. 2011. Comparative


histological and ultrastructural studies on the stomach of Schilbe
mystus and the intestinal swelling of Labeo niloticus. Journal of
American Science. 7(8): 251-263.

Neelima, P., N. G. Rao, G. S. Rao and J. C. S. Rao. 2016. A study on oxygen


consumption in a freshwater fish Cyprinus carpio exposed to lethal
and sublethal concentrations of cypermethrin (25% Ec). International
Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. 5(4): 338-348.

Noercholis, A., M. A. Muslim dan Maftuch. 2013. Ekstraksi fitur roundness untuk
menghitung jumlah leukosit dalam citra sel darah ikan. Jurnal
EECCIS. 7(1): 35-40.

Nofyan. E., E. P. Sagala dan V. Saryani. 2011. Pengaruh minyak mentah


terhadap mortalitas dan morfologi insang Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forsskal). Maspari Journal. 2: 19-25.

Noviyanti, K., Tarsim dan H. W. Maharani. 2015. Pengaruh penambahan tepung


Spirulina pada pakan buatan terhadap intensitas warna ikan mas koki
(Carassius auratus). Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya
Perairan. 3(2): 412-416.

Oedjoe, M. D. R., E. Suprayitno, Aulanni’am dan E. Y. Herawati. 2012. Effect of


flow water velocity on hematologycomponent in improving quality of
tiger grouper juvenile (Epinephelus fuscoguttatus). Journal of Coastal
Develpopment. 15(3): 260-269.

Oğuz, A. R. 2015. Histological changes in the gill epithelium of endemic lake van
fish (Chalcalburnus tarichi) during migration from alkaline water to
freshwater. North-Western Journal of Zoology. 11(1): 51-57.

Okoroiwu, I. L., O. E. Ifeanyi, O. G. Uzoma and A. Doris. 2015. The relationship


between platelet count and haemoglobin level. Scholars Academic
Journal of Biosciences. 3(8): 679-682.

Olsson, C. 2011. Calbindin-immunoreactive cells in the fish enteric nervous


system. Basic and Clinical. 159: 7-14.

Olurin, K. B and Savage O. D. 2011. Reproductive biology, length-weight


relationship and condition factor of the african snake head,
Parachanna obscura from river oshun, south-west nigeria.
International Journal of Fisheries and Aquaculture. 3(8): 146-150.
172

Oluwakemi A. P. O and L. O. Grace. 2015. Effect of anthocyanin and ascorbic


acid in graded levels of roselle (Hibiscus sabdariffalinn.) calyx extract
on blood profile of broiler chickens. Acta Satech. 6(1): 135 -137.

Omeji, S., S.G. Solomon And Uloko, C. 2013. Comparative study on the endo-
parasitic infestation in Clarias gariepinus collected from earthen and
concrete ponds in Makurdi, Benue State, Nigeria. IOSR Journal of
Agriculture and Veterinary Science. 2(1): 45-49.

Omondi, R., Yasindi, A. W and Magan A. M. 2103. Food and feeding habits of
three main fish species in lake Baringo, Kenya. Academic Journal.
5(9): 224-230.

Onyeche, V. E. O., Onyeche L. E, Akankali J. A, Enodiana I. O and Ebenuwa P.


2013. Food and fish feeding habits in anwai stream ichthyo fauna,
Niger-delta. Academic Journal. 5(11): 286-294.

Orina, P. S., J. Rasowo, E. Gichana, B. Maranga and H. Charo-Karisa. 2014.


Artificial breeding protocol and optimal breeding environment for
Labeo victorianus (Boulenger, 1901). International Journal of
Fisheries and Aquatic Studies. 1(6): 138 – 143.

Ouréns, R., J. Freire and L. Fernández. 2012. Definition of a new unbiased


gonad index for aquatic invertebrates and fish: its application to the
sea urchin Paracentrotus lividus. Aquatic Biology. 17. 145–152.

Pal and Goswami, A. 2007. Rudiments of Biology. Academic Publishers.


Kolkata. 169 p.

Pamungkas, W. 2012. Aktivitas osmoregulasi, respons pertumbuhan, dan


energetic cost pada ikan yang dipelihara dalam lingkungan
bersalinitas. Media Akuakultur. 7(1): 44-51.

Panda, S. 2016. A review on induced breeding in fishes. International Journal of


Bioassays. 5(5): 4579-4588.

Pandey, K and Shukla, J. P. 2005. Fish & Fisheries. Rastorgi Publications. India.
640 p.

Park, K., W. Kimb and Ho-Young, Kim. 2014. Optimal lamellar arrangement in
fish gills. PNAS. 111(22): 8067–8070.

Patty, S. I. 2014. Karakteristik fosfat, nitrat dan oksigen terlarut di perairan pulau
Gangga dan pulau Siladen, Sulawesi Utara. Jurnal ilmiah Platax.
2(2):74-84.

Perez-Robles, J., A. D. Re, I. Giffard-Mena and F. Diaz. 2012. Interactive effects


of salinity on oxygen consumption, ammonium excretion,
osmoregulation and na + /k + -atpase expression in the Bullseye
Puffer (Sphoeroides annulatus, jenyns 1842). Aquaculture Research.
43: 1372–1383.

Pond, W. G dan A. W. Bell. 2005. Encyclopedia of Animal Science. Marcel


173

Dekker Inc. New York. 965 p.

Putra, A. N., 2015. Gambaran darah ikan patin (Pangasius sp.) dengan
penambahan prebiotik pada pakan. Jurnal Ilmu Pertanian dan
Perikanan. 4(1): 63-69.

Putra, D. A., Lisdiana dan T. A. Pribadi. 2014. Ram Jet Ventilation, perubahan
struktur morfologi dan gambaran mikroanatomi insang ikan Lele
(Clarias batrachus) akibat paparan limbah cair pewarna batik. Unnes
Journal of Life Science. 3(1): 53-58.

Putri, R. R., F. Basuki dan S. Hastuti. 2013. Profil darah dan kelulushidupan Ikan
nila pandu F5 (Oreochromis niloticus) yang diinfeksi bakteri
Streptococcus agalactiae dengan kepadatan berbeda. Journal of
Aquaculture Management and Technology. 2(2) : 47-56.

Rachmawati, D dan I. Samijan. 2014. Penambahan fitase dalam pakan buatan


sebagai upaya peningkatan kecernaan, laju pertumbuhan spesifik
dan kelulushidupan benih Ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal
Saintek Perikanan. 10(1):48-55.

Rachmawati, F. N dan U. Susilo. 2011. Profil hormon dan kinerja reproduksi ikan
Sidat (Anguilla bicolor Mcclelland) yang tertangkap di perairan segara
anakan Cilacap. Biota. 16(2): 221 – 226.

Rahardjo, M. F., D. S. Syafei, R. Affandi dan Sulistiono. 2011. Iktiology. CV.


Lubuk Agung. Bandung. 187 hlm.

Rahmah, S., S. Senoo and G. Kawamurai. 2013. Photoresponse ontogeny and


its relation to development of pineal organ and eye in larval bagrid
catfish Mystus nemurus (Valenciennes). Marine and Freshwater
Behaviour and Physiology. 46(6): 367–379.

Rahman, M. A., R. Ara, S. M. N. Amin and A. Arshad. 2015. Development of


breeding and fingerling production techniques for endangered long-
whiskered catfish Sperata aor in captivity. Iranian Journal of Fisheries
Sciences .14(1): 1 – 14.

Randel, N and G. Jekely. 2016. Phototaxis and the origin of visual eyes.
Philosophical Transactions B. 371: 1-11.

Rani, K. U., M. Pratheeba, K. Dhanasekar, S. Devi, N. Manuswami and B.


Ramesh. 2014. Effect of formulated feed on growth performance and
colour enchanement in the fresh water gold fish Carassius auratus
(Linnaew, 1758). World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Science. 3(9) : 1117-1133.

Rankin, J. C., R. T. Duggan and T. J. Pitcher. 1983. Control Processes in Fish


Physiology. Springer Science and Bussiness Media. New York. 300
p.

Ravindar, B. K., R. Narasimha and G. Benarjee. 2013. Study on hydro-chemical


parameters and their influence on ichthyofauna diversity in a lentic
174

water body : a model in Warangal district of Andhra Pradesh. Asian


Journal of Environmental Science. 8(1): 18-21.

Reece, J. B., N. Meyers, L. A. Urry, M. L. Cain, S. A. Wasserman, P. V. Minorsky,


R.B. Jackson and B. N. Cooke. 2014. Campbell Biology Australian
and New Zealand Version. Pearson Higher Education. Australia.
1521 hlm.

Risjani, Y., Yunianta, J. Couteau and C. Minier. 2014. Cellular immune responses
and phagocytic activity of fishes exposed to pollution of volcana mud.
Marine Environmental Research. 9: 73 – 80.

Royan, F., S. Rejeki dan A. H. C. Haditomo. 2014. Pengaruh salinitas yang


berbeda terhadap profil darah Ikan nila (Oreochromis niloticus).
Journal of Aquaculture Management and Technology. 3(2): 109-117.

Ruiz-Torres, R., O. M. Curet, G. V. Lauder and M.A. Maclver. 2013. Kinematics


of the ribbon fin in hovering and swimming of the eiectric ghost
knifefish. The Journal of Experimental Biology. 216: 823-834.

Saptiani, G., E. H. Hardi, C. A. Pebrianto dan Agustina. 2016. Ekstrak daun


papaya dan kangkung untuk meningkatkan daya tetas telur dan
kelangsungan hidup larva Lele. Jurnal Veteriner. 17(2): 285 – 291.

Saputra, A., Muslim dan M. Fitriani. 2015. Pemijahan ikan Gabus (Channa
striata) dengan rangsangan hormon gonadotropin sintetik dosis
berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 3(1): 1-9.

, T. Budiardi dan E. Supriyono. 2016. Kinerja produksi Ikan Sidat


Anguilla bicolorbicolor dengan pemberian kalsium karbonat. Jurnal
akuakultur Indonesia. 15(1): 56-62.

Saputra, H. M., N. Marusin dan P. Santoso. Struktur histologis insang dan kadar
hemoglobin ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di danau
Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas. 2(2): 138-144.

Sarkar, A dan B. Upadhyay. 2011. Influence of photoperiod and temperature on


reproduction and gonadal maturation in Goldfish: Carassius auratus.
International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical
Technology. 2(4): 352-358.

Sarma, K., K. Prabakaran, P. Khrisnan, G. Grinson and A. A. Kumar. 2013.


Reponse of a freshwater air-breathing fish, Claias batrachus to
salinity stress: an experiment case for their farming in brackishwater
areas in Andaman, India. Aquacult Int. 21: 183 – 196.

Sato, M., T. Morita, N. Katayama and G. Yoshizaki. 2013. Production of


genetically diversified fish seeds using spermatogonial
transplantation. Journal Aquaculture. 422: 218 – 224.

Satyantini, W. H., Sukenda, E. Haris dan N. B. P. Utomo. 2014. Pemberian


fikosianin Spirulina meningkatkan jumlah sel darah, aktivitas
175

fagositosis, dan pertumbuhan ikan kerapu bebek juvenil. Jurnal


Veteriner. 15(1): 46-56.

Schiavone, R., L. Zilli, C. Storelli and S. Vilella. 2012. Changes in hormonal


profile, gonads and sperm quality of Argyrosomus regius (Pisces,
Scianidae) during the first sexual differentiation and maturation.
Theriogenology. 77: 888–898.

Sembiring, S. B. M., K. M. Setiawati, J. H. Hutapea dan W. Subamia. 2013.


Pewarisan pola warna ikan klon biak, Amphiprion percula. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(2): 343-351.

Sembiring, S. B. M., R. Andamari, A. Muzaky, I. K. Wardanah, J. H. Hutapea dan


N. W. W. Astuti. 2014. Perkembangan gonad ikan kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) yang dipelihara dalam keramba jarring
apun g. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(1): 53 – 61.

Shahkar, E., H. Yun, Dae-Jung Kim, Shin-Kwon Kim, B. I. Lee and S. C. Bai.
2015. Effect of dietary vitamin C levels on tissue ascorbic acid
concentration, hematology, non-specific immune response and gonad
histology in broodstock Japanese eel, Anguilla japinoca. Aquaculture.
483: 115-121.

Shapoori, M., Z. Ghiasvand and S. Jamili. 2012. The study of synthetic and
natural pigments on the colour of the Albino Oscar. International
Journal Marine Science Engineering. 2(3): 203-206.

Sharma, J and S. Langer. 2014. Effect of manganese on haematological


parameters of fish, Garragotyla gotyla. Journal of Entomology and
Zoology Studies. 2(3): 77-81.

Sipahutar, L. Wahyu., D. Aliza, Winaruddin dan Nazaruddin. 2013. Gambaran


histopatologi insang Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dipelihara
dalam temperatur air di atas normal. Jurnal Medika Veterinaria. 7(1):
19-21.

Small, K., R. K. Kopf, R. J. Watts and J. Howitt. 2014. Hypoxia, blackwater and
fish kilss: experimental lethal oxygen thresholds in juvenil predatory
lowland river fishes. PLOS ONE. 9(4): 1-11.

Sudjadi, B dan S. Laila. 2006. Biologi Sains dalam Kehidupan. Yudhistira.


Surabaya. 29 hlm.

Sukendi, R. M. Putra dan Yurisman. 2012. Keberhasilan pemijahan semi alami


ikan Sepat Mutiara (Tricogaster leeri Blkr) dalam memproduksi benih.
Berkala Perikanan Terubuk. 40(2): 114 – 123.

Sumahiradewi, L.G. 2013. Pengaruh konsentrasi minyak cengkeh (Eugenia


aromatic) terhadap kelangsungan hidup Ikan nila (Oreochromis sp)
pada proses transportasi. Media Bina Ilmiah. 8(1): 42-45.

Suriadarma, A. 2011. Dampak beberapa parameter faktor fisik kimia terhadap


kualitas lingkungan perairan wilayah pesisir Karawang, Jawa Barat.
176

Riset Geologi dan Pertambangan. 21 (1): 21 – 36.

Suriansyah, M. T. Kamil dan H. Bugar. 2013. Efektivitas dan efisiensi pemberian


ekstrak kelenjar hipofisa terhadap pemijahan ikan betook (Anabas
testudineus Bloch). Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 2(2): 46 – 51.
Susanto, A dan D. Hermawan. 2013. Tingkah laku Ikan nila terhadap warna
cahaya lampu yang berbeda. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan.
2(1): 47-53.
Susanto, E. Y., H. Boesono dan A. Dian.2012. Pengaruh perbedaan penggunaan
umpan terhadap hasil tangkapan udang windu (Paneus monodon)
pada alat tangkap huhate di perairan Ternate Maluku Utara. Journal
of Fisheries Resources Utilization Mangement and Technology. 1(1):
138-147.

Svobodová, Z., R. L, J. Máchová and B. Vykusova. 1993. Water Qualilty and Fish
Health. EIFAC Technical Paper. Rome. 67 p.

Tahapari, E dan R. R. S. P. S. Dewi. 2013. Peningkatan performa reproduksi ikan


patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) pada musim kemarau
melalui induksi hormonal. Berita Biologi. 12 (2): 203 – 209.

Tanziyah, L. L. 2015. Profil miskonsepsi siswa pada subtopik difusi kelas xi.
Jurnal Biologi. 4 (3): 1002-1007.

Tinikul, Y., J. Poljaroe, P. Nuurai, P. Anuracpreeda, C. Chotwiwatthanakun, I.


Phoungpetchara, N. Kornthong, T. Poomtong, P. J. Hanna and P.
Sobhon. 2011. Existence and distribution of gonadotropin-releasing
hormone-like peptides in the central nervous system and ovary of the
Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Cell Tissue Resources.
343: 579–593.

Tran-Ngoc, K. T., N. T. Dinh, T. H. Nguyen, A. J. Roem, J. W. Schrama and J. A.


J. Verreth. 2016. Intereraction between dissolved oxygen
concentration and diet composition on growth, Digestibility and
intestinal health of nile tilapia(Oreochromis niloticus). Aquaculture.
462: 101 – 108.

Tripathi, A. 2014. Cytological study on the leukocytes of selected fresh water


fishes of India. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies.
2(1): 17-23.

Ungerer, P., M. Geppert and C. Wolff. 2011. Axogenesis in the central and
peripheral nervous system of the amphipod krustasean Orchestia
cavimana. Integrative Zoology. 6: 28-44.

Vajhi, A. R., Zehtabvar, O., Masoudifard., M and Moghim, M. 2013. Digestive


system economy of the Achipenser persicus: new features. Iraian
Journal of Fisheries Sciences. 12(4): 939-946.

Vergilio, C. S., R. V. Moreira, C. E. V. Carvalho and E. J. T. Melo. 2015.


Evolution of cadmium effect in the testis and sperm of the tropical fish
Gymnotus carapo. Tisssue and Cell. 47. 132-139.
177

Wang, D., D. Manali, T. Wang, N. Bhat, N. Hong, Z. Li, L. Wang, Y. Yan, R. Liu
and Y. Hong. 2011. Identification of pluripotency genes in the fish
medaka. Internasional Journal of Biological Sciences. 7(4): 440-451.

Wani, A. A and Sikdar-Bar. 2014. Ameliorative efficacy of taurine and garlic


extract on copper induced immunotoxic effect on total and differential
leucocyte counts in African catfish, Clarias gariepinus. Asian Journal
of Medical and Pharmaceutical Researches. 122-129.

Webb, S. D., S. H. Woodcock and B. M. Gillanders. 2012. Sources of otolith


barium and strontium in Estuarine Fish and the influence of salinity
and temperature. Marine Ecology Progress Series. 453: 189-199.

Weltzien, Finn-Arne, J. Hildahl, K. Hodne, K. Okubo and T. M. Haug. 2014.


Embryonic development of gonadotrope cells and gonadotropic
hormones – Lessons from model fish. Molecular and Cellular
Endocrinology. 385: 1 – 18.

White, G. E and C. Brown. 2015. Variation in brain morphology of intertidal


gobies: a comparison of methodologies used to quantitatively assess
brain volumes in fish. Brain, Behavior and Evolution. 85: 245-256

Whittamore, J. M. 2012. Osmoregulation and epithelial water transport: lessons


from the intestine of marine teleost fish. J Comp Physiol B. 182: 1-39.

Widanarni, D. W., F. Puspita. 2012. Aplikasi bakteri probiotik melalui pakan


buatan untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan udang windu
Penaeus monodon. Jurnal Sains Terapan. 2(1) : 32 – 49.

William, K. F. T., J. Sun, H. Zhang, A. Y. S. Law, B. H. Y. Yeung, S. C. Chow,


Jian-Wen Qiuand and C. K. C. Wong. 2013. Transcription and itraq
proteomic approaches reveal novel short-term hyperosmotic stress
responsive proteins in the gill of the Japanese Eel (Anguilla japonica).
Journal of Proteomics. 89: 81-94.

Wimalawansa, S. J. 2013. Purification of contaminated water with reverse


osmosis: effective solution of providing clean water for human needs
in developing countries.International Journal of Emerging Technology
and Advanced Engineering. 3(12): 75-89.

Xiong, D. M., C. X. Xie, H. J. Zhang and H. P. Liu. 2011. Digestive enzymes


along digestive tract of a carnivorous fish Glyptosternum maculatum
(sisoridae, siluriformes). Journal of Animal Physiology and Animal
Nutrition. 95: 56-64.

Yadav, M. 2008. Animal Endocrinology. New Delhi: Sachin Printers. 349 p

Yan, Z., Jun-Wei Wu, Y. Wang and Jin-Liang Zhao. 2016. Role of mir-21 in
alkalinity stress tolerance in Tilapia. Journal of Biochemical and
Biophysical Research Communications. 471: 26-33.

Yanto, H., H. Hasan dan Sunarto. 2015. Studi hematologi untuk diagnosa
penyakit ikan secara dini di sentra produksi budidaya ikan air tawar
178

sungai Kapuas kota Pontianak. Jurnal akuatika. 6(1): 11-20.

Yasin, M. N. 2013. Pengaruh level dosis hormone perangsang yang berbeda


pada pemijahan ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) di media air
gambut. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 2(2): 52 – 56.

Yilmaz, M., O. Guven and B. F. Mutaf. 2015.Comparative morphometry of


erythrocytes of different fish species.Jacobs Journal of Cell and
Molecular Biology. 1(1): 1-4.

Yousefian, M and S. E. Mousavi. 2011. The mechanism of reproduction and


hormonal function in finfish species: a review. Scientific Research and
Essays. 6(17): 3561 – 3570.

Yubo Wu, Hua Han, Jianguang Qin and Yan Wang. 2013. Effetct of feeding
frequency on growth, feed utilization, body composition and waste
output of juvenile golden pompano (Trachinotus ovatus) reared in net
pens. Aquaculture Research. 46(6): 1-8.

Zeraik, V. M., T.. C. Belao, L. H. Florindo, A. L. Kalinin and F. T. Rantin. 2013.


Branchial O2 chemoreceptors in nile tilapia Oreochromis niloticus:
control of cardiorespiratory function in respons to hypoxia.
Comparative Biochemistry and Physiology, Part A. 166: 17 – 25.

Zoeller, R. T., T. R. Brown, L. L. Doan, A. C. Gore, N. E. Skakkebaek, A. M. Soto,


T. J. Woodruff and F. S. Vom Saal. 2012. Endocrine-disrupting
chemicals and public health protection: a statement of principles from
the endocrine society. Journal Endocrinology. 153(9): 4097 – 4110.

Zuliani, Z., Z. A. Muchlisin dan N. Nurfadillah. 2016. Kebiasaan makanan dan


hubungan panjang berat ikan julung-julung (Dermogeny sp.) di sungai
alur hitam kecamatan Bendahara kabupaten Aceh Tamian. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(1): 12-24.

Zupanc, G. K. H and R. F. Sirbulescu. 2011. Adult neurogenesis and neuronal


regeneration in the central nervous system of teleost fish. European
Journal of Neuroscience. 34: 917-929.
179

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja

1. Osmoregulasi

a. Pengamatan Empedu

Toples 3 L

- diisi air 2,25 liter

NaCl

- ditimbang sesuai dengan toleransi yang diinginkan


- dilarutkan ke dalam air

Empedu

- ditimbang berat awal (Wo)


- dimasukkan dalam stoples
- Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 15 ppt
Meja 3 = 30 ppt
Meja 4 = 45 ppt
Meja 5 = 60 ppt
- diambil perubahannya setiap 20 menit selama 2 jam
- ditimbang berat akhir (Wt)

Hasil
180

b. Toleransi Salinitas

Toples 3 L

- diisi air 2,25 liter

NaCl

- ditimbang sesuai toleransi yang diinginkan


- dilarutkan ke dalam air

Ikan nila (Oreochromis niloticus)


Ikan Damsel (Chrysiptera cyanea)
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

- ditimbang ikan sebagai berat awal (W0)


- dimasukkan ikan ke dalam toples dan diberi perlakuan :
meja 1 = 0 ppt
meja 2 = 15 ppt
meja 3 = 30 ppt
meja 4 = 45 ppt
meja 5 = 60 ppt
- diamati tingkah laku setiap 20 menit selama 2 jam
- ditimbang berat akhir (Wt)

Hasil
181

2. Respirasi

Toples 3 Liter

- diisi hingga permukaan toples


- dimasukkan thermometer pada air
- disesuaikan suhu air dengan perlakuan
- ditunggu media air sampai mencapai pada suhu
tertentu
perlakuan 1: 28oc
2: 29oc
3: 30oc
4: 31oc
5: 32oc
- diukur do awal (do0) dengan do meter

4 Ikan nila (Oreochromis niloticus)

- dimasukkan dalam toples


- ditutup toples dengan plastik
- ditunggu selama 5 menit agar ikan beradaptasi
- dihitung bukaan operculum ikan selama 1 menit
dengan selang waktu 10 menit dengan handtally
counter
- diukur do akhir, dengan do meter
- diulang sebanyak 3 kali
- terakhir perubahan do dihitung dengan rumus:

DO = DO0 - DOt

Keterangan:
DO = Perubahan DO
DO0 = DO Awal
DOt = DO Akhir
Hasil
182

3. Sistem Pencernaan

a. Digestibility (daya cerna)

Ikan nila (Oreochromis niloticus)

- di adaptasikan selama 24 jam (di puasakan)

Toples

- di isi air 2,25 liter


- di beri aerasi
- di timbang Ikan nila
- di masukan ke toples

Pakan

- di timbang 5% dari berat tubuh ikan


- perlakuan jenis pakan :
1: Lumut jaring (Chaertomorfa sp)
2: Cacing darah (Chiromomous sp)
3: Pellet
4: Mata lele (Azolla pinata)
5: Cacing sutra (Tubifex sp)
- di beri pada ikan secara terus menerus hingga
kenyang (adlibitum)
- di tunggu dengan lama waktu 3 jam

Kain 15x15 cm
- di oven dengan suhu 1000 C selama 15 menit
- di desikator selama 15 menit
- kain ditimbang
- kain diletakan dalam saringan
- di ambil sisa pakan dan sisa feses dengan saringan
berbeda
- di oven sisa pakan dan feses kemudian tambah
- di hitung digestibility dengan rumus :
Digestibility = BTM-BTFx 100%
BTM
BTM : Berat Total Makanan (gram)
BTM : Total Pakan- (Sisa pakan kering +
Sisa pakan di perairan)
Hasil BTF : Berat Total Feses (gram)
183

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Ikan nila (Oreochromis niloticus)

- di adaptasikan selama 24 jam (di puasakan)

Toples 3 L
- diisi air 2,25 Liter
- diberi aerasi
- diambil 4 ekor ikan nila ( Oreochronis niloticus ), ditimbang Ikan nila
- dimasukkan ketoples
- ditetapkan ikan :
- ikan 1 : ditetapkan sebagai ikan kontrol

Pakan
- diberi pakan 5% dari berat tubuh ikan
Perlakuan :
1. Lumut jarring ( Chaertomorfa Sp.)
2. Cacing sutra ( Tubitex Sp. )
3. Cacing darah Chironomous Sp. )
4. Pellet
5. Mata lele ( Azolla pinnata )
- Ikan 2 diamati sebagai 1 jam (GET 1)
- Ikan 3 diamati sebagai 2 jam (GET 2)
- Ikan 4 diamati sebagai 3 jam (GET 3)

Ikan nila ( Oreochromis niloticus )

- dibedah masing - masing sesuai perlakuan


- diambil lambung dan ditimbang
- dibandingkan dengan lambung ikan kontrol
Hasil
184

4. Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Toples 3 liter
- disiapkan
- diisi air 3/4 bagian
- diberi aerasi

Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) 1, sebagai ikan kontrol


- dimasukkan ke dalam toples 1
- diberi aerasi
- diadaptasikan selama 15 menit

Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) 2, sebagai ikan uji


- dimasukkan ke dalam toples 2
- diberi aerasi
- diadaptasikan selama 15 menit
- dicatat warna awal tubuh
- diukur dengan perubahan warna
meja 1 = Hijau

meja 2 = Merah

meja 3 = Biru

meja 4 = Kuning

meja 5 = Ungu

- di beri pencahayaan lampu dan dibiarkan selama 24


jam
- dicatat perubahan waktu (difoto)
Hasil - dicatat waktu saat kembali normal
- diamati warna akhir
185

b. Fototaksis

Akuarium

- disiapkan
- dilapisi seluruh sisi akuarium dengan
plastik
- Diisi air 3/4 bagian dan diberi aerasi

 Ikan Mas Koki (Carrasius auratus)


 Ikan Gurami (Osphronemous gouramy)
 Ikan Guppy (Poecillia reticulata)
 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
 Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons)

- dimasukkan dalam akuarium


- ditunggu sampai keadaan gelap
- diberi biasan cahaya dengan senter
- diamati tingkah laku
- dicatat hasil

Hasil
186

5. Hematologi

a. Pengambilan Sampel Darah

Spuit 3ml

- diaseptiskan dengan alkohol 70%


- dibilas dengan antikoagulan (Na Sitrat) 0,1 ml

Ikan Lele dumbo


(Clarias gariepinus)

- diaseptiskan bagian yang akan disuntik dengan alkohol


70%
- diambil darahnya dari linea lateralis, caudal peduncle,
dorsal aorta, anal atau jantung
- darah dimasukkan ke dalam tube yang telah berisi Na
Sitrat 0,1 ml

Hasil
187

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Darah Ikan Lele dumbo


(Clarias gariepinus)

- diteteskan pada objek glass (1 tetes)


- diratakan dengan metode smear
- difiksasi dengan methanol (1 tetes) selama 5 menit
- diwarnai dengan pewarna giemsa 2 tetes
- didiamkan selama 5 menit sampai kering
- dibilas dengan aquades
- dikeringkan selama 2 menit
- diamati dibawah mikroskop
- didokumentasikan

Hasil
188

c. Perhitungan Eritrosit

Darah Ikan Lele dumbo


(Clarias gariepinus)

- diambil dengan pipet toma sampai skala 0,5


- dicampur dengan larutan hayem sampai skala 101
- dihomogenkan
- dibuang 3 tetes pertama diteteskan ke haemochytometer,
ditutup dengan cover glass
- Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x
- Dihitung eritrosit dengan rumus:

n x 104 (sel/mm3)

Keterangan:
n : Jumlah eritrosit

Hasil
189

d. Perhitungan Leukosit

Darah Ikan Lele dumbo


(Clarias gariepinus)

- diambil dengan pipet toma sampai skala 0,5


- dicampur dengan larutan turk sampai skala 11
- dihomogenkan
- dibuang 3 tetes pertama diteteskan ke haemochytometer,
ditutup dengan cover glass
- diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x
- dihitung eritrosit dengan rumus:

n x 50 (sel/mm3)

Keterangan:
n : Jumlah eritrosit

Hasil
190

e. Perhitungan Hemoglobin

Tabung Sahli

- ditambahkan HCL 0,1 N sebanyak 2 ml

Darah Ikan Lele dumbo


(Clarias gariepinus)

- diambil menggunakan pipet sahli sampai skala 0,02 ml


- dimasukkan ke dalam tabung sahli
- dihomogenkan sampai berwarna coklat kehitaman
- ditambahkan aquades hingga warna sama dengan indikator
warna pada sahlihaemometer

Satuan hasil G%
%*HSGJ %5%%

Hasil
191

6. Sistem Saraf

a. Keseimbangan Tubuh Ikan

Toples 3 liter

- disiapkan 4 buah
- diisi ¾ bagian

4 ekor Ikan nila


(Oreochromis niloticus)

- dimasukkan ke dalam masing-masing


toples
- diadaptasikan selama 15 menit
-
Ikan nila (Oreochromis niloticus) Pertama

- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan


- diamati tingkah laku sebagai ikan kontrol

Ikan nila (Oreochromis niloticus) Kedua

- ditetesi minyak cengkeh 5 tetes untuk pembiusan


- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan

Ikan nila (Oreochromis niloticus) Ketiga

- diberi perlakuan universal


- dipotong seluruh sirip
- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan

Ikan nila (Oreochromis niloticus) Keempat

- Meja 1: ditusuk mata


2: ditusuk linea lateralis

3: ditusuk sirip anal

4: dipotong sirip caudal

5: dipotong sirip pectoral

Hasil - diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan


- diamati tingkah laku sebagai ikan kontrol
192

b. Sistem Saraf pada Udang

Toples 3 liter

- disiapkan 4 buah
- diisi ¾ bagian

4 ekor udang galah


(Macrobrachium rosenbergii)

- dimasukkan ke dalam masing-masing toples


- diadaptasikan selama 15 menit

udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Pertama

- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan


- diamati tingkah laku sebagai udang kontrol

udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Kedua

- ditetesi minyak cengkeh 3 tetes untuk pembiusan


- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan

udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Ketiga

- diberi perlakuan universal


- dipotong seluruh bagian tubuh
- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan

udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Keempat

- Meja 1 : dipotong capit


2 : dipotong telson dan kaki renang
3 : dipotong mata
4 : dipotong kaki jalan
5 : dipotong antena dan antenula
- diberi kejutan arus, bunyi dan sentuhan
- diamati tingkah laku sebagai udang kontrol
Hasil
193

7. Endokrinologi
a. Hipofisasi

Ikan donor

- disiapkan
- ditimbang
- diamati seks sekunder
- dipotong kepala
- diambil hipofisa
- diletakkan pada kertas saring

hipofisa

- dihancurkan + 1 ml NaFis
- dimasukkan dalam tabung reaksi
- disentrifuge 3200 rpm selama 21 menit

supernatan

- diambil dengan spuit sepenuhnya

Hasil
194

Ikan Resipien

- diamati seks sekunder


- ditimbang berat awal (W 0)
- diukur panjang tubuh (TL)
- disuntik supernatan
- diamati selama latency time (LT)

Hasil
195

b. Sentrifugasi

Sentrifugasi

- dihubungkan ke sumber listrik


- dibuka tutupnya
- dimasukkan sampel secara berhadapan
- ditutup Sentrifugasinya
- diatur kecepatan sekala berskaa
3 menit pertama pada angka 5
3 menit kedua pada angka 6
3 menit ketiga pad a angka 7
3 menit keempat pada angka 8
3 menit kelima pada angka 9
3 menit keenam pada angka 10
- dimatikan secara bertahap
30 detik pertama pada angka 9
30 detik kedua pada angka 8
30 detik ketiga pada angka 7
30 detik keempat pada angka 6
30 detik kelima pada angka 5
30 detik keenam pada angka 4
30 detik ketujuh pada anagka 3
30 detik kedelapan pada angka 2
30 detik kesembilan pada angka 1
- diputar sampai melebihi angka 0 dan terdengar bunyi “klik”
- ditunggu hingga berhenti berputar
- dibuka tutup sentrifugasi
- diambil sampel
- dicabut dari sumber listrik

Sentrifugasi
196

8. Pewarnaan dan Pengamatan Gonad

Ikan Resipien

- disiapkan
- diamati seksual sekunder
- diukur TL
- ditimbang berat tubuh (Wt)
- dipotong kepala
- disectio
- dibersihkan organ-organnya (kecuali
gonad)
- diamati gonadnya (letak, TKG, warna)

Kertas Buram

-ditimbang

Gonad

- diletakkan diatas kertas saring


- ditimbang, dihitung GI dan GSI
GI:
Wg x 107
L3

- diambil sebagian Keterangan


- diletakkan diatas obyek glass GSI = Gonad Somatic Indeks
- ditetesi asetokarmin GI = Gonado indeks
- didiamkan selama 2-3 menit Wt = Berat tubuh ikan (gram)
- diamati di bawah mikroskop Wg = Berat gonad (gram)
- didokumetasi L3 = Panjang tubuh

Hasil
197

Lampiran 2. Data Hasil Praktikum

1. Osmoregulasi

a. Data Hasil Pengamatan Empedu Shift 1

Meja Waktu Keterangan W0 Wt


(gram) (gram)

1 08.23 Empedu terlihat segar dan berwarna 221,65 229,4


merah
08.43 Empedu terlihat segar dan berwarna
merah
09.03 Warna merah empedu memudar
09.23 Empedu berwarna pucat dan
mengembang
09.43 Warna empedu pucat, tidak ada guratan
merah
10.03 Warna coklat pudar, air kekuningan
hampir semua permukaan berwarna
putih
10.23 Empedu mengembang besar, pucat air
berwarna kuning
2 08.30 Empedu kuning terang, air bening 44,9 246,14
08.50 Lebih pucat, ukuran lebih besar,
tenggelam
09.10 Semakin pucat, ukuran membesar, air
menguning
09.30 Semakin pucat,ukuran membesar, air
menguning
09.50 Semakin pucat, warna semakin kuning,
besar
10.10 Warna berubah putih, air menguning
10.30 Warna putih dan airnya kuning
3 08.40 Putih, air kuning, mengambang 265,3 269,81
09.00 Lebih pucat, air makin pekat
198

09.20 Warna air pekat, empedunya besar


09.40 Biliverdin makin kelihatan
10.00 Biliverdin semakin jelas, pucat
10.20 Pucat sekali, biliverdin jelas
4 08.30 Empedu kuning terang, mengambang 261,95 263,8
08.50 Mulai memucat, warna kuning keluar
09.10 Kuning pucat, membesar, permukaan
biru kehitaman
09.30 Membesar, permukaan biru kehitaman
09.50 Kuning putih, membesar, air sangat
kuning
10.10 Kuning putih, membesar, air sangat
kuning
10.30 Putih memucat, membesar kuning
lemah diatas
5 08.40 Empedu berwarna kuning, air keruh 14,5 19,95
09.00 Air kerh, mulai memucat
09.20 Mengapung, semakin besar
09.40 Ukuran semakin besar
10.00 Warna empeu semakin pucat
10.20 Warna empedu membiru
10.40 Warna empedu biru pucat
199

b. Data Hasil Pengamatan Empedu Shift 2

Meja Waktu Keterangan W0 Wt


(gram) (gram)

1 14.29 Air bening, empedu warna hijau keabu- 287 251,1

abuan

14.49 Warna air bening, empedu membesar,

tenggelam

15.09 Air menguning empedu bertambah

besar

15.29 Air bertambah kuning, besar empedu

tetap

15.49 Air kuning keruh, empedu tenggelam

16.09 Warna kuning menyebar, empedu

membesar

16.29 Warna air kuning jernih, empedu

mengembang

2 14.30 Air bersih dan empedu masih segar 166,6 174,53

empedu tenggelam

14.50 Air keruh, ukuran empedu tetap

tenggelam

15.10 Air keruh, mulai mengkerut, tenggelam

15.30 Air keruh tenggelam

15.50 Empedu mengembang, air keruh

16.10 Empedu mengembang air kekuningan

16.30 Empedu melayang mengkerut,

mengkerut, air keruh


200

3 14.25 Air bening, warna empedu kehijauan 359,6 366,42

sedikit kehitaman

14.45 Kuning kehijauan, mengembang, pucat

15.05 Empedu pucat dan mengembang, air

sedikit keruh

15.25 Empedu mengkerut, air kuning

15.45 Banyak gelembung, kerut dan air

kuning

16.05 Banyak gelembung, pucat, lembek, air

kuning

16.25 Air kuning, empedu pucat, lembek,

mengkerut

4 14.34 Empedu mengapung, berwarna kuning, 627,9 655,96

warna air tidak ubah

14.54 Empedu mengapung, permukaan air

menguning, empedu menghitam

15.04 Empedu mengapung, permukaan air

kuning

15.34 Empedu pucat menghitam, mengapung

15.54 Empedu pucat mengapung air kuning

16.14 Empedu pucat mengapung air kuning

16.34 Empedu pucat mengapung air kuning

5 14.41 Empedu berwarna kuning, air keruh, 248,93 255,13

dan mengapung

15.01 Air keruh, empedu mengembang dan

mulai pucat
201

15.21 Empedu mengapung, air bening tapi

warna kuning

15.41 Empedu mengapung, mengembang,

berubah menjadi biru merah

16.01 Empedu makin pucat dan mengembang

16.21 Empedu makin mengembang

16.41 Empedu pucat, mengembang, air

kuning pekat
202

c. Data Hasil Pengamatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Shift 1

Meja Waktu Tingkah laku W0 Wt


(gram) (gram)

1 08.30 Ikan aktif bergerak, segar 9,97 10,38

08.50 Gerakan pasif, didasar toples

09.10 Pergerakan mulai pasif

09.30 Gerakan pasif

09.50 Pergerakan pasif

10.10 Ikan lemas, warna mulai pucat

10.30 Didasar dengan menghadap atas

2 08.40 Bergerak pelan tidak terang 7,52 5,55

09.00 Lebih banyak diam dari pada gerak

09.20 Sesekali bergerak cepat lalu diam

09.40 Pergerakan aktif

10.00 Bergerak tidak teratur tapi banyak diam

10.20 Tidak teratur bergerak

10.40 Pergerakan jaring dan diam

3 08.40 Banyak bergerak di dasar 11,96 12,01

09.00 Lemas mengambang posisi vertikal

09.20 Mati

09.40 Mati

10.00 Mati

10.20 Mati

4 08.40 Aktif bebas diatas dan didasar 11,27 11,59

09.00 Lemas, kadang bergerak

09.20 Diam tegak di permukaan


203

09.40 Diam tegak, mengambang, kolaps

10.00 Mati

10.20 Mati

5 08.40 Banyak bergerak 11,60 12,09

09.00 Lemas kepermukaan

09.20 Diam, tidak bergerak

09.40 Mati

10.00 Mati

10.20 Mati
204

d. Data Hasil Pengamatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Shift 2

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah laku
(gram) (gram)

1 14.36 Ikan aktif bergerak aktif 5,71 6,39

14.56 Operculum membuka cepat

15.16 Berenang keatas kebawah mencari

oksigen

15.36 Ikan diam di bawah

15.56 Lemas

16.16 Lemas

16.36 Lemas

2 14.44 Aktif bergerak 9,79 9,31

15.04 Lebih diam, bergerak pelan

15.14 Stress

15.44 Bergerak tidak konstan

16.04 Pergerakannya pasif

16.24 Lemas dan pasif

16.44 Lemas dan pasif

3 14.37 Aktif bergerak 8,10 6,33

14.57 Pingsan

15.17 Mencari – cari oksigen

15.37 Mati

15.57 Mati

16.17 Mati

16.37 Mati

4 14.41 Bergerak cepat 10,4 9,92


205

15.01 Diam

15.21 Mati

15.41 Mati

16.01 Mati

16.21 Mati

16.41 Mati

5 14.41 Aktif 1,45 7,17

15.01 Diam

15.21 Mati

15.41 Mati

16.01 Mati

16.21 Mati

16.41 Mati
206

e. Data Hasil Pengamatan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Shift 1

Meja Waktu Tingkah laku Wo Wt


(gram) (gram)

1 08.30 Ikan aktif dan segar 9,22 10,08

08.50 Ikan bergerak tidak seaktif awal

09.10 Gerakan ikan pasif

09.30 Gerakan ikan pasif dan lemas

09.50 Ikan berada di permukaan dan lemas

10.10 Gerakan pasif dan dipermukaan

10.30 Gerakan pasif cenderung diam

2 08.40 Pergerakan ikan teratur tapi lambat 13,57 14,59

09.00 Pergerakan pelan dan tidak teratur

09.20 Ikan berada di permukaan dan lambat

09.40 Ikan berada di tengah dan mulut bergerak

pelan

10.00 Ikan kembali ke permukaan dan mencari

oksigen

10.20 Ikan bergerak lambat di permukaan

10.40 Ikan bergerak pasif di dasar

3 08.40 Ikan mengambang di permukaan dan 19,15 16,14

lemas

09.00 Ikan tidak berdaya / bergerak

09.20 Ikan berenang aga ketengah

09.40 Ikan bernapas stabil dan berenang diatas

10.00 Nafas ikan tersendat dan lemas

10.20 Ikan mati


207

4 08.40 Ikan cenderung dipermukaan dan lambat 17,58 12,22

09.00 Ikan tidak begitu aktif, cenderung di dasar

09.20 Ikan ada di permukaan ikan bergerak pasif

dan diam

09.40 Ikan mati ikan mati

10.00 Ikan mati

10.20 Ikan mati

5 08.40 Ikan bergerak aktif 24,56 26,83

09.00 Ikan banyak bergerak dipermukaan

09.20 Ikan sedikit bergerak dan lemas

09.40 Ikan mati

10.00 Ikan mati

10.20 Ikan mati

10.40 Ikan mati


208

f. Data Hasil Pengamatan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Shift 2

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah laku
(gram) (gram)

1 14.36 Ikan bergerak sangat cepat 32,06 35,00

14.56 Ikan bergerak cepat, operculum membuka

cepat

15.16 Berenang ke atas-ke bawah mencari

oksigen

15.36 Ikan lemas dibawah

15.56 Bukaan operculum melemah

16.16 Berenang lambat

16.36 Berenang sangat lambat

2 14.44 Aktif bergerak 29,25 30,2

15.04 Mulai lelah, mata merah agrersif

15.24 Mulai stress

15.44 Gerak konstan

16.04 Bergerak konstan walaupun bertambah

pelan

16.24 Bergerak pasif

16.44 Operculum lemah

3 14.37 Aktif bergerak 9,62 9,28

14.57 Diam

15.17 Tenang

15.37 Tenang

15.57 Tenang sehat

16.17 Tenang sehat


209

16.37 Tenang sehat

4 14.41 Aktif bergerak 8,13 7,43

15.01 Diam

15.21 Stress

15.41 Mati

16.01 Mati

16.21 Mati

16.41 Mati

5 14.41 Aktif bergerak 10,32 10,31

15.01 Diam

15.21 Stress

15.41 Stress

16.01 Mati

16.21 Mati

16.41 Mati
210

g. Data Hasil Pengamatan Ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea) Shift 1

Meja Waktu Tingkah laku Wo Wt


(gram) (gram)

1 08.30 Ikan bergerak aktif dan agresif 3,79 2,89

08.50 Ikan bergerak pasif di dasar perairan

09.10 Ikan bergerak pasif dan lemas

09.30 Ikan mati

09.50 Ikan mati

10.10 Ikan mati

10.30 Ikan amti

2 08.40 Ikan bergerak sedikit (pasif) di dasar 1,75 2,66

09.00 Ikan pasif tidak bergerak

09.20 Ikan masih pasif tetapi operkulum masih

gerak

09.40 Ikan tetap pasif dan tidak bergerak

10.00 Ikan masih diam di dasarikan pasif di

dasar

10.20 Ikan pasif di dasar

10.40 Ikan masih pasif di dasar

3 08.40 Ikan banyak bergerak aktif dan berada di 1,97 1,76

tengah

09.00 Ikan berenang di dasar, berwarna hitam

09.20 Ikan berwarna semakin hitam dan didasar

09.40 Ikan stress dan tenggelam

10.00 Ikan sedikit membiru

10.20 Ikan berwarna hitam, lemas, dan pasif


211

10.40 Ikan berwarna hitam, lemas, dan pasif

4 08.40 Ikan pasif didasar 1,97 4,81

09.00 Ikan lumayan aktif ditengah

09.20 Ikan berada di dasar

09.40 Ikan berenang didasar dan menghitam

10.00 Ikan pasif dan menghitam

10.20 Ikan bergerak cukup dan tetap hitam

10.40 Ikan bergerak pasif dan tetap hitam

5 08.40 Ikan bergerak aktif 1,94 6,36

09.00 Ikan bergerak

09.20 Ikan diam didasar

09.40 Ikan diam didasar dan masih hidup

10.00 Ikan diam di dasar

10.20 Iakn mati

10.40 Ikan mati


212

h. Data hasil Pengamatan Ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea) Shift 2

Meja Waktu Tingkah laku W0 Wt


(gram) (gram)

1 14.36 Ikan bergerak cepat 1,88 2,33

14.56 Operculum membuka cepat

15.16 Berenang ke atas ke bawah mencari

oksigen

15.36 Ikan mati

15.56 Ikan mati

16.16 Ikan mati

2 14.14 Diam, pasif, hanya berada di dalam 2,62 3,40

14.34 Tambah jadi hitam

14.54 Ikan mulai pasif

15.14 Warna ikan berubah

15.34 Warna jadi hitam

15.54 Warna hitam

16.14 Warna biru (stress)

3 14.37 Diam 1,78 1,71

14.57 Sehat aktif

15.17 Tenang

15.37 Tenang

15.57 Lemas/pusing

16.17 Lemas

16.37 Lemas

4 14.41 Bergerak aktif 3,31 1,78

15.01 Diam
213

15.21 Mati

15.41 Mati

16.01 Mati

16.21 Mati

16.41 Mati

5 14.41 Bergerak cepat 1,45 7,17

15.01 Diam

15.21 Mati

15.41 Mati

16.01 Mati

16.21 Mati

16.41 Mati
214

2. Respirasi

a. Data Hasil Pengamatan Jumlah Bukaan Operculum Shift 1

Pengulangan Σ bukaan
Meja Rata-rata
1 2 3 operculum
10 10 10

1 143 186 124 453 151

2 241 102 47 390 97,5

3 148 106 84 338 112,6

4 210 200 152 562 186,1

5 200 105 83 388 129,3

b. Data Hasil Pengamatan Jumlah Bukaan Operculum Shift 2

Meja Pengulangan Σ bukaan Rata-rata


operculum
101 102 103

1 36 92 117 432 81,67

2 147 114 89 350 116,67

3 93 127 167 387 129

4 84 72 60 216 72

5 78 81 81 240 80
215

c. Data Hasil Pengamatan Jumlah Bukaan Operculum Shift 1

Meja Perlakuan DO0 (mg/l) DO1 (mg/l) ∆ DO (mg/l)


suhu

1 25 2,49 0,33 2,16

2 26 1,88 0,20 1,68

3 30 1,47 0,46 1,01

4 31 1,47 0,06 1,42

5 32 1,59 0 -159

d. Data Hasil Pengamatan Jumlah Bukaan Operculum Shift 2

Perlakuan
Meja DO0 (mg/l) DO1 (mg/l) ∆ DO (mg/l)
suhu (°C)

1 28 1,77 0,57 1,2

2 29 1,36 0,41 0,95

3 30 2,13 0,36 1,5

4 31 1,25 0,12 1,13

5 32 2,27 0,54 1,13


216

3. Sistem Pencernaan

a. Tabel Hasil Pengamatan Digestibility Shift 1

Berat Berat
M Berat Berat
Total total total Diges
e Perlakuan kain pakan
pakan makanan feces tibility
J pakan saring kering
(5%) (btm) (btf) (%)
a (Gram) ( gram )
( gram ) ( gram )

1 Mata Lele 7,2 Pakan 3,10 3,6 0,05 96,99

(Azolla 1,6

pinnata) Feses

1,4

2 Cacing darah 4,76 Pakan 1,31 3,35 0,02 99,40

(Chironomous 1,6

sp.) Feses

1,4

3 Cacing sutra 7,05 Pakan - 7 0,15 97,85

(Tubifex sp.) 1,4

Feses

1,5

4 Pellet 6,29 Pakan 6,17 0,05 0,1 41,75

1,4

Feses

1,6

5 Lumut jaring 4,58 Pakan 1,98 2,57 0,21 91,82


1,4
(Chaertomorfa
Feses
sp.)
1,3
217

b. Tabel Hasil Pengamatan Gastric Evacuation Time (Get) Shift 1

Berat lambung Berat


GET
lambung
Meja Perlakuan pakan GET GET GET
ikan kontrol
(menit)
I II III
(gram)

1 Mata Lele - - - - 101

(Azolla pinnata)

2 Cacing darah 0,56 0,98 0,4 0,33 180

(Chironomous Sp.)

3 Cacing sutra 0,46 1,98 1,52 0,40 60

(Tubifex Sp.)

4 Pellet 0,42 1,36 0,45 0,34 60

5 Lumut jaring 0,87 0,45 0,54 0,45 122

(Chaertomorfa Sp.)
218

4. Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Tabel Pengamatan Pewarnaan Pada Ikan

Ciri-ciri awal dan warna Ciri-ciri akhir dan warna Waktu kembali
Meja
sebelum perlakuan sesudah perlakuan ke awal

1  Berwarna silver pada  Berwarna biru gelap pada 4 menit 20

bagian atas, sedikit bagian atas detik

bening/putih dibagian  Warna di bagian anal

bawah bewarna kekuningan

 Corak jelas berwarna  Pada bagian kepala

hitam dan orange bewarna putih

 Berenang aktif  Warna di bagian perut

lebih jelas

2  Bewarna putih  Hitam Kebiruan 16 menit 13

keabuan  Dorsal bewarna detik

 Berenang aktif kemerahan

 Bewarna cerah  Ventral bewarna

 Ventral berwarna kemerahan

silver  Kembali Bening

 Dorsal berwarna

silver

 Bewarna bening

3  Berenang aktif  Warna tubuhnya hitam 1 menit 49

 Warna putih perak kebiruan detik

 Sirip ventral berwarna

kuning
219

4  Berenang aktif  Warna kuning pada caudal 2 menit 15

 Warna perak peduncle dan terdapat detik

keputihan pada pada bagian atas sirip

dorsal ventral

 Kebiruan pada  Tubuh tetap biru agak

ventral cerah

 Warna perak

menonjol

5  Gerakan aktif  Gerakan sedikit lambat 2 menit 13

 Ada dua bintik biru di  Dua bintik biru hilang detik

tubuhnya  Warna biru tua keunguan

 Warna abu-abu  Sirip warna kuning

kebiruan  Ada bintik kuning

 Warna lebih cerah

 Sirip warna kuning

cerah
220

b. Tabel Pengamatan Fototaksis

Fototaksis

Ikan Gurame Ikan Mas Ikan Ikan Black Lobster Air


Kelompok
(Osphronemous Koki Guppy Ghost Tawar
gouramy) (Poecilia (Apteronotus
(Carassius (Cherax
reticulata) albifrons)
auratus) quadricarinatus)

1 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif


2 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
3 Positif Positif Positif Negatif Negatif
4 Negatif Positif Positif Negatif Negatif
5 Positif Negatif Negatif Negatif Negatif
6 Negatif Positif Positif Negatif Negatif
7 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
8 Negatif Positif Positif Negatif Negatif
9 Positif Positif Positif Negatif Negatif
10 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
11 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
12 Negatif Positif Positif Negatif Negatif
13 Negatif Positif Positif Negatif Negatif
14 Negatif Positif Positif Negatif Negatif
15 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
16 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
17 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
18 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
221

5. Hematologi

a. Pembuatan Film Darah Tipis

Meja Gambar Keterangan

 Terdapat lebuh banyak

1 eritrosit

 Terdapat 3 trombosit

 Eritrosit sangat banyak

dan menggumpal
2
 Trombosit dan leukosit

tidak terlihat

 Terdapat banyak eritrosit


3
 Eritrosit menggumpal

 Terdapat banyak eritrosit

4  Leukosit dan trombosit

tidak terlihat

 Ada yang menggumpal

dan ada yang menyebar


5
 Dominan yang terlihat

adalah eritrosit
222

b. Perhitungan Eritrosit dan Leukosit

Jumlah sel darah Jumlah sel darah putih Gambar Gambar


Meja
merah (eritrosit) (leukosit) eritrosit leukosit

1 n = 37 n = 4356

= 37x104 sel/mm3 = 4356x50

= 217.800 sel/mm3

2 n = 331 n = 5180
= 5180x50
= 331x104
sel/mm3 = 259.000 sel/mm3

3 n = 107 n = 2636

= 107x104 = 2636x50
sel/mm3
= 131.800 sel/mm3

4 n = 76 n = 512

= 76x104 sel/mm3 = 512x50

= 25.600 sel/mm3

5 n = 285 n = 1108

= 285x104 = 1108x50
3
sel/mm
= 25.600 sel/mm3
223

c. Perhitungan Hemoglobin

Meja Hemoglobin

1 4G%

2 4,4 G %

3 6,2 G %

4 2,4 G%

5 3,2 G %
224

6. Praktikum Sistem Saraf

a. Keseimbangan Tubuh Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Perlakuan Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3 Ikan 4

(Meja 1) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Ditusuk


Universal) Mata)

Arus Melawan Terbawa Mengikuti Melawan


arus arus arus arus

Bunyi Tidak Tidak Tidak Tidak


merespon merespon merespon merespon

Disentuh Merespon, Tidak Merespon, Tidak


Linea menjauh merespon menjauh merespon
Lateralis

Disentuh Menjauhi Tidak Respon Tidak


Kepala merespon lambat merespon

Disentuh Menjauhi Tidak Respon Tidak


Dorsal merespon lambat merespon

Disentuh Ekor Menjauhi Tidak Respon Tidak


merespon lambat merespon
225

Perlakuan Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3 Ikan 4

(Meja 2) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Ditusuk


Universal) Linea
Lateralis)

Arus Melawan Terbawa Terbawa arus Menghindar,


arus arus, aktif terbawa
bergerak arus
tidak konstan

Bunyi Tegang, sirip Tidak Stres Diam, tidak


dorsal naik merespon merespon

Disentuh Menghindari Tidak Menghindari, Menghindar,


Linea merespon pasif dorsal naik,
Lateralis aktif

Disentuh Terkejut Tidak Menghindari, Tidak


Kepala merespon tidak merespon
seimbang

Disentuh Terkejut, sirip Tidak Tidak Agak pasif,


Dorsal dorsal naik merespon seimbang, menghindar,
sedikit sirip dorsal
menghindar turun

Disentuh Ekor Menghindari Tidak Menghindari, Aktif , sirip


merespon tidak dorsal naik
seimbang
226

Perlakuan Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3 Ikan 4

(Meja 3) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Sirip Anal)

Arus Melawan Terbawa Terbawa arus Melawan


arus arus arus

Bunyi Tidak Mendekati Mendekati Tidak


merespon bunyi bunyi merespon

Disentuh Menjauh Tidak Tidak Menjauhi


Linea merespon merespon sentuhan
Lateralis

Disentuh Menjauh Tidak Tidak Menjauhi


Kepala merespon merespon sentuhan

Disentuh Menjauh Tidak Tidak Menjauhi


Dorsal merespon merespon sentuhan

Disentuh Ekor Menjauh Tidak Tidak Menjauhi


merespon merespon sentuhan
227

Perlakuan Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3 Ikan 4

(Meja 4) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Sirip Caudal)

Arus Melawan Melawan Terbawa arus Terbawa


arus arus arus

Bunyi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada


respon respon respon respon

Disentuh Refleks Refleks Refleks Refleks


Linea menghindar menghindar menghindar menghindar
Lateralis (gesit) sedikit lambat cepat
lambat

Disentuh Refleks Refleks Refleks Refleks


Kepala menghindar menghindar menghindar menghindar
(gesit) sedikit lambat cepat
lambat

Disentuh Refleks Refleks Refleks Refleks


Dorsal menghindar menghindar menghindar menghindar
(gesit) sedikit lambat cepat
lambat

Disentuh Ekor Refleks Refleks Refleks Refleks


menghindar menghindar menghindar menghindar
(gesit) sedikit lambat cepat
lambat
228

Perlakuan Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3 Ikan 4

(Meja 5) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Sirip
Pectoral)

Arus Ikan terbawa Ikan Gerak ikan Ikan


arus melawan tidak melawan
arus seimbang, arus
terbawa arus
lalu muncul ke
permukaan

Bunyi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada


respon respon respon respon

Disentuh Menghindari Menghindari Menghindari Menghindari


Linea sentuhan sentuhan sentuhan, sentuhan
Lateralis tidak berdaya

Disentuh Menjauh Tidak Tidak Menghindari


Kepala merespon merespon sentuhan

Disentuh Menjauh Tidak Tidak Menghindari


Dorsal merespon merespon sentuhan

Disentuh Ekor Menjauh Tidak Tidak Menghindari


merespon merespon sentuhan
229

b. Sistem Saraf Pada Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)

Perlakuan Udang 1 Udang 2 Udang 3 Udang 4

(Meja 1) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Capit)

Arus Mengikuti Mengikuti Mengikuti Mengikuti


arus, arus, arus, arus,
merespon merespon merespon merespon

Bunyi Tidak Tidak Tidak Tidak


merespon merespon merespon merespon

Disentuh Respon, aktif Respon, aktif Tidak Merespon


Karapas merespon

Perlakuan Udang 1 Udang 2 Udang 3 Udang 4

(Meja 2) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Telson dan
Kaki Renang)

Arus Terbawa Agak lemas, Mengikuti Mengikuti


arus, kaki kaki renang arus, tidak arus, pasif,
bergerak aktif, seimbang, kepala turun,
cepat mengikuti pasif uropod naik
arus, tidak
seimbang
Bunyi Diam, tidak Tidak Diam, tidak Tidak ada
merespon merespon, merespon merespon,
kaki jalan kaki bergetar
bergerak
Disentuh Diam, tidak Diam, tidak Tidak Menghindar,
merespon,
Karapas merespon merespon bergerak agresif,
sedikit,
melawan
sangat pasif
230

Perlakuan Udang 1 Udang 2 Udang 3 Udang 4

(Meja 3) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Mata)

Arus Mengikuti Terbawa arus Terbawa arus Mengikuti


arus arus

Bunyi Tidak Tidak Tidak Menjauhi


merespon merespon merespon bunyi

Disentuh Menghindari Tidak Tidak Menjauhi


Karapas sentuhan merespon merespon sentuhan

Perlakuan Udang 1 Udang 2 Udang 3 Udang 4

(Meja 4) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Kaki Jalan)

Arus Terbawa arus Terbawa arus Terbawa arus Terbawa arus

Bunyi Merespon Tidak ada Respon Tidak ada


respon lambat respon

Disentuh Refleks Refleks Refleks Refleks gerak


Karapas menghindar menghindar cepat
231

Perlakuan Udang 1 Udang 2 Udang 3 Udang 4

(Meja 5) (Kontrol) (Dibius) (Perlakuan (Dipotong


Universal) Antena dan
Antenula)

Arus Terbawa arus Terbawa arus Terbawa arus Terbawa arus

Bunyi Tidak Tidak Respon Respon


merespon merespon lambat lambat
suara

Disentuh Refleks Respon Tidak ada Respon cepat


Karapas menghindar lambat respon terhadap
sentuhan
232

7. Endokrinologi

a. Berat Ikan Mas (Cyprinus carpio) Jantan

Akuarium Kelompok Berat (gram)

1. 1 dan 2 905.2

2. 3 dan 4 895.9

3. 5 dan 6 871.1

4. 7 dan 8 917.6

5. 9 dan 10 1134.6

6. 11 dan 12 768.85

7. 13 dan 14 781.2

8. 15 dan 16 819.3

9. 17 dan 18 561.10
233

b. Ciri Seksual Sekunder Ikan Mas (Cyprinus carpio) Jantan

No Kelompok Ciri Seksual Sekunder

1. 1 dan 2 Warna kuning keemasan, operculum kasar,


pergerakan aktif, rahang bawah runcing, lubang
urogenital 2

2. 3 dan 4 Warna kuning cerah, kepala meruncing, operculum


sedikit kasar, lubang urogenital 2

3. 5 dan 6 Kepala meruncing, operculum kasar, warna sedikit


pudar, lubang urogenital 2

4. 7 dan 8 Kepala runcing, operculum kasar, warna terang,


lubang urogenital 2

5. 9 dan 10 Kepala runcing, dagu sempit, operculum kasar, warna


dorsal cerah, sisik halus, gerak aktif, urogenital 2
lubang

6. 11 dan 12 Operculum kasar, kepala meruncing, lubang urogenital


2, warna kuning cerah

7. 13 dan 14 Warna pucat keperakan, pergerakan lambat, perut


bulat, lubang urogenital 3, operculum halus

8. 15 dan 16 Warna lebih terang, gerakannya lebih lincah, rahang


lancip, operculum kasar, lubang urogenital 2

9. 17 dan 18 Kepala meruncing, warna cerah, pasif bergerak,


operculum halus, bentuk ubuh lonjong dan ramping
234

c. Hasil Pengamatan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Betina

Akuarium 1

Nama Pukul Suhu Keterangan Latency


time
(WIB) (0C)
-
Ilham 19.30 260C Warna air masih bening
Boby Bentuk perut tetap, tidak
berubah
Berenang melambat
Rendra 21.30 260C Warna air masih bening -
Bramantiyo Bentuk perut bertambah besar
Gerakan melambat
Keluar telur, tapi mati
0
Cahyo 23.30 28 C Warna air masih bening -
Abdullah Perut bertambah besar
Belum memijah
Gerakan lambat
0
Chatib 01.30 27 C Warna air agak keruh -
Syahrizal Bentuk perut
Belum memijah
Gerakan semakin melambat
0
Solikhin 03.30 27 C Warna air jernih -
Rendra Perut bertambah besar dan
lonjong
Belum memijah
Gerakan pasif dan cenderung
diam
Bramantiyo 05.30 270C Warna air bening -
Ilham Perut besar
Belum memijah
Gerakan pasif
235

Akuarium 2

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Anbi 19.30 270C Warna air jernih
Maulana Belum keluar telur
Pergerakan ikan normal
Bentuk perut cembung /
bulat
Arizal 21.30 280C Warna air jernih -
Erfanda Belum keluar telur
Pergerakan ikan lambat
Bentuk perut bulat lebih
besar
Lukman 23.30 290C Warna air jernih -
Rico Pergerakan lambat
Belum keluar telur
Bentuk perut bulat besar
Faizal 01.30 280C Warna air jernih -
Sulthon Belum keluar telur
Pergerakan lambat
Perut bulat besar
Yoga Aris 03.30 280C Warna air jernih, banyak
Maulana kotoran
Belum keluar telur -
Pergerakan lambat
Perut bulat besar
0
Anbi 05.30 28 C Warna air sedikit keruh
Rico Belum keluar telur
-
Pergerakan lambat
Perut bulat besar
236

Akuarium 3

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Gemael 19.30 270C Warna air bening
Gery Bentuk perut seperti awal
Pergerakan lambat
Belum memijah
Dhehan 21.30 270C Warna air bening -
Gemael Perut bulat mengembang
Pergerakan lambat
Belum memijah
Fahmi 23.30 280C Warna air kekuningan -
Rizki Perut semakin membesar
Pergerakan lambat
Belum memijah
Rofik 01.30 270C Warna air jernih kekuningan -
Gilang Belum memijah
Pergerakan lambat
Perut bulat mengembang
Rofik 03.30 280C Warna air jernih kekuningan -
Gilang Belum memijah
Pergerakan konstan lambat
Perut bulat
Rofik 05.30 280C Warna air agak keruh, banyak -
feses
Gilang
Belum memijah
Gerak normal
Perut bulat
237

Akuarium 4

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Hendra 19.30 270C Warna air bening
Khaidir Perut bulat mengembang
Bergerak aktif
Belum memijah
Irkham 21.30 270C Warna air bening -
M. Taufik Perut bulat mengembang
Pergerakan aktif (agresif)
Belum memijah
M. Khafid 23.30 280C Warna air bening -
M. Arsal Perut bulat membesar
Pergerakan aktif
Belum memijah
-Hendra 01.30 280C Warna air bening -
Khaidir Perut bulat
Pergeraka aktif
Belum memijah
Irkham 03.30 280C Warna air sedikit keruh -
M. Taufik Belum ada telur
Pergerakan aktif, gesit
Perut membesar dan bulat
M. Khafid 05.30 280C Warna air sedikit keruh -
M. Arsal Belum terdapat telur
Pergerakan aktif
Perut membesar dan lebar
238

Akuarium 5

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Ditya 19.30 280C Warna air bening
Adhi Perut bulat mengembang
Bergerak tenang
Belum memijah
Bagastara 21.30 280C Warna air keruh -
Evan Perut bulat mengembang
Pergerakan aktif
Belum memijah
Ramanda 23.30 280C Terdapat gelembung pada -
Yusuf permukaan air
Perut bulat membesar
Pergerakan tenang
Belum memijah
Ariful 01.30 280C Bening -
Ilyas Perut bulat
Pergerakan aktif
Belum memijah
Vachriza 03.30 280C Warna air keruh 8.5 jam
Yusuf Mulai memijah
Pergerakan aktif
Perut masih membesar
Bagastara 05.30 280C Air keruh 8.5 jam
Vachriza Sudah memijah
Ikan aktif bergerak
Perut lebih membesar
239

Akuarium 6

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Bagus Ihsan 19.30 280C Warna air bening
Emir Perut bulat dan besar
Bergerak normal
Belum memijah
Faishal 21.30 290C Warna air sedikit kotor -
Vallent Perut bulat dan besar
Pergerakan lambat dan
normal
Belum memijah
Ahmad M. 23.30 300C Warna air jernih, banyak -
Kiki N. kotoran
Perut bulat dan besar
Pergerakan aktif
Belum memijah
Bagus Ihsan 01.30 300C Warna air jernih, banyak -
Kurnia kotoran
Perut besar dan bulat
Pergerakan aktif
Belum memijah
0
Faishal 03.30 30 C Warna air keruh, banyak -
Bayu Aji kotoran
Belum memijah
Pergerakan aktif
Perut besar dan bulat
Kiki N. 05.30 300C Warna air sedikit keruh 10 jam
Emir Sudah memijah
Pergerakan aktif
Perut bulat sedikit mengecil
240

Akuarium 7

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Fauzan 19.30 270C Warna perairan bening
Galang Bentuk perut bulat
Gerakan lambat
Ikan belum memijah
Krisna 21.30 280C Warna air bening -
Ari Perut buncit
Bergerak aktif
Telur belum keluar
Angga 23.30 290C Air bening, bercampur feses -
Imanuddin Perut buncit
Pergerakan aktif / lincah
Belum memijah
Akbar 01.30 290C Air bening bercampur feses -
Fauzan Perut bulat sedikit
membesar
Pergerakan aktif
Belum memijah
Angga 03.30 290C Warna air mulai keruh -
Ari Belum ada telur
Pergerakan lambat
Perut semakin membuncit
Galang 05.30 300C Warna air sedikit keruh -
Krisna Belum memijah
Gerakan normal
Perut bulat
241

Akuarium 8

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Fian 19.30 270C Warna air bening
Febry Bentuk perut normal
Bergerak lambat
Belum memijah
Tio 21.30 280C Warna air bening -
Ibnu Perut gemuk lonjong
Pergerakan lambat
Belum memijah
Dimas 23.30 280C Warna air bening -
Ryan Perut gemuk lonjong
Pergerakan aktif lambat
Belum memijah
Fian 01.30 280C Warna air bening sedikit ada -
Toni kotoran
Perut sedikit mengembang
Pergerakan sedikit aktif
Belum memijah

Tio 03.30 280C Warna air keruh -


Febry Belum ada telur
Pergerakan aktif
Perut gemuk lonjong

Dimas 05.30 280C Warna air keruh sedikit ada 10 jam


Ibnu kotoran
Ikan memijah
Pergerakan aktif
Bentuk perut bulat
242

Akuarium 9

Pukul Suhu
Nama Keterangan Latency time
(WIB) (0C)
-
Farid 19.30 280C Warna air bening sedikit ada
Faiq kotoran
Perut bulat dan besar
Bergerak tenang dan aktif
Belum memijah
Barry 21.30 290C Warna air bening, sedikit -
Arya kotoran
Perut buncit dan besar
Pergerakan aktif
Belum memijah
Yoga 23.30 290C Warna air bening -
Arya Perut bulat membesar
Pergerakan normal dan
stabil
Belum memijah
0
Saiful 01.30 29 C Warna air bening -
Wafi Persut besar dan lonjong
Pergerakan aktif
Belum memijah
0
Farid 03.30 29 C Warna air keruh -
Faiq Belum memijah
Pergerakan aktif
Perut membesar dan
lonjong
Yoga 05.30 290C Warna air bening kekuninga -
Saiful Belum terdapat telur
Pergerakan aktif
Perut bular membesar
243

8. Pewarnaan Dan Pengamatan Gonad

a. Panjang dan Berat Awal Ikan Mas (Cyprinus carpio) Betina

Berat Awal Berat Akhir Panjang


Akuarium Kelompok
(W 0) gram (W t) gram Tubuh (mm)

1 1 dan 2 759,5 728,5 320


2 3 dab 4 899 939,3 360
3 5 dan 6 778,1 632,4 340
4 7 dan 8 1224,5 923,8 380
5 9 dan 10 1165,6 1143,9 390
6 11 dan 12 1710,5 1472,5 420
7 13 dan 14 902,1 868 350
8 15 dan 16 1156,3 111,6 400
9 17 dan 18 1156,3 1221,4 410
244

b. Berat Akhir, Berat Gonad, TKG, GI, GSI Ikan Mas Betina

(Cyprinus carpio)

Akuarium Kelompok TKG GI GSI(%)


1 1 dan 2 Bunting 43,07 19,3%
2 3 dan 4 Bunting 28 13,9%
3 5 dan 6 Mijah salin 17,91 11,13%
4 7 dan 8 Mijah 33,28 19,76%
5 9 dan 10 Perkembangan II 12,19 6,32%
6 11 dan 12 Mijah 11,46 5,76%
7 13 dan 14 Perkembangan II 36,8 18,2%
8 15 dan 16 Perkembangan II 31,4 18,04%
9 17 dan 18 Perkembangan II 41,15 23,22%
245

c. Perhitungan GI dan GSI

Akuarium 1 (kelompok 1 dan 2) Akuarium 5 (kelompok 9 dan 10 )

GSI = GSI =

GI = GI =

Akuarium 2 (kelompok 3 dan 4) Akuarium 6 (kelompok 11 dan 12)

GSI = GSI =

GI = GI =

Akuarium 3 (kelompok 5 dan 6) Akuarium 7 (kelompok 13 dan 14)

GSI = GSI =

GI = GI =

Akuarium 4 (kelompok 7 dan 8) Akuarium 8 (kelompok 15 dan 16)

GSI = GSI =

GI = GI = =31,4

Akuarium 9 (kelompok 17 dan18)

GSI =

GI =
246

d. Hasil Pewarnaan dan Pengamatan Gonad Ikan Mas

(Cyprinus carpio) Betina

Akuarium Kelompok Gambar Gonad Keterangan

Bunting
1 1 dan 2

2 3 dan 4 Bunting

3 5 dan 6 Mijah salin

4 7 dan 8 Mijah

5 9 dan 10 Perkembangan II
247

6 11 dan 12 Mijah

7 13 dan 14 Perkembangan II

8 15 dan 16 Perkembangan II

9 17 dan 18 Perkembangan II
248

Lampiran 3. Dokumentasi Praktikum

a. Pengamatan Empedu

Timbang berat empedu Ikat empedu dengan benang

dengan timbangan OZ, catat kasur agar mudah

sebagai (W 0) memasukan dalam toples

Masukan empedu dalam Setelah empedu berada


toples didalam toples amati setiap
20 menit sekali selama 2 jam
249

b. Toleransi Salinitas

Timbang ikan pada Masukkan ikan ke dalam


timbangan digital. Catat toples dengan salinitas 0
sebagai W 0 ppt

Amati ikan setiap 20 menit Lihat perubahan ikan


sekali selama 2 jam selama 2 jam

Timbang kembali ikan


dengan timbangan digital.
catat sebagai W t
250

c. Respirasi

Masukkan termometer dalam Ukur DO dengan DO meter.


toples dan sesuaikan suhu Catat sebagai DO awal
yang diinginkan

Amati bukaan operculum


Masukkan 4 ekor Ikan nila,
pada ikan setiap 10 menit
kemudian tutup dengan
sekali sebanyak 3 kali.
plastik
Setelah selesai ukur DO
kembali. Dan catat sebagai
DO akhir.
251

d. Digestibility (Daya Cerna)

Toples kapasistas 3 liter diisi Ikan nila (Oreochromis niloticus) di


air dan diberi aerasi. timbang menggunakan timbangan
digital dengan ketelitian 10-2.

Pakan lumut jaring (Chaetormofa Ikan dimasukkan ke dalam toples


sp.) di timbang menggunakan kapasitas 3 liter sesuai dengan
timbangan digital dengan ketelitian perlakuan.
10-2.

Setelah 3 jam, Ikan nila


(Oreochromis niloticus) dibedah Mengambil sisa pakan yang ada
dan diambil feses dengan cara diperairan dan feses dengan
mengurut usus apabila tidak
mengeluarkan feses.. mengunakan teknik sifon.
252

e. Gastric Evacuation Time (GET)

Disiapkan 4 toples kapasitas 3 Ikan nila (Oreochromis niloticus)


liter yang sudah diisi air dan ditimbang menggunakan
diberi aerasi. timbangan digital dengan
ketelitian 10-2.

Pakan lumut jaring (Chaetormofa sp.) Ikan dimasukkan ke dalam toples


di timbang menggunakan timbangan kapasitas 3 liter sesuai dengan
digital dengan ketelitian 10-2. perlakuan.

Ikan kontrol di bedah untuk Lambung ikan kontrol.


diambil lambungnya.
253

f. Pewarnaan Tubuh

MEJA 1

Ikan Sepat Siam (Tricogaster


tricopterus) ditaruh dalam Toples 3 liter dibungkus dengan
toples 3L)
kresek hijau

Toples 3 liter diberi aerasi


untuk penyuplai oksigen Toples 3 liter dililitkan selotip
agar plastik tidak lepas

Ditunggu 24 jam untuk


melihat hasil pewarnaan
tubuh.
254

MEJA 2

Ikan Sepat Siam (Tricogaster


Disiapkan kresek merah
tricopterus) ditaruh dalam
sebagai perlakuan.
toples 3L)

Toples 3 liter diberi aerasi untuk Toples 3 liter dibungkus dengan


penyuplai oksigen kresek sebanyak 3 lapis

Toples 3 liter dililitkan selotip Dilihat hasil pewarnaan pada


agar plastik tidak lepas ikan sepat siam Siam
(Tricogaster tricopterus)
255

MEJA 3

Ikan Sepat Siam (Tricogaster


tricopterus) ditaruh dalam Disiapkan kresek biru

toples 3L) sebagai perlakuan.

Toples 3 liter diberi aerasi untuk Toples 3 liter dibungkus


penyuplai oksigen dengan kresek sebanyak 3
lapis

Toples 3 liter dililitkan selotip agar Setelah 24 jam dilihat hasil


plastik tidak lepas dan ditunggu 24 pewarnaan tubuh.
jam.
256

MEJA 4

Ikan Sepat Siam (Tricogaster Disiapkan kresek kuning sebagai


tricopterus) ditaruh dalam perlakuan.
toples 3L)

Toples 3 liter diberi aerasi Toples 3 liter dibungkus


untuk penyuplai oksigen dengan kresek sebanyak 3
lapis

Toples 3 liter dililitkan selotip agar


Setelah 24 jam dilihat hasil
plastik tidak lepas, lepas dan
pewarnaan tubuh.
ditunggu 24 jam.
257

MEJA 5

Ikan Sepat Siam (Tricogaster Disiapkan kresek ungu sebagai


tricopterus) ditaruh dalam toples 3L) perlakuan.

Toples 3 liter diberi aerasi untuk


Toples 3 liter dibungkus
penyuplai oksigen
dengan kresek sebanyak 3
lapis

Toples 3 liter dililitkan selotip agar Setelah 24 jam dilihat hasil


plastik tidak lepas, dan ditunggu 24 pewarnaan tubuh.
jam.
258

g. Fototaksis

Digelapakan ruangan agar Diberikan difusi cahaya senter


tidak terkontaminasi cahaya
lain

Diamati respon ikan terhadap Hasil pengamatan ikan gurame


cahaya (Osphronemous gouramy)

Hasil pengamatan ikan guppy Hasil pengamatan lobster air


(Poecillia latipinna) tawar(Cherax quadricarinatus)
259

Hasil pengamatan ikan black Hasil pengamatan ikan Mas


ghost(Apteronotus albifrons) Koki(Carasius auratus)
260

h. Pengambilan sampel darah

Pertama siapkan alat dan Bahan Difiksasi tubuh ikan dan spuit
dengan alkohol 70%

Spuit disuntikan dengan kemiringan


45o Darah ikan ditaruh pada tube.
Dan diambil darah ikan
261

i. Pembuatan Film Darah Tipis

Pertama siapkan alat dan Bahan Diteteskan darah dan larutan


giemsa pada objek glass

Lalu diratakan dengan metode Terakhir diamati di mikroskop


smear
dengan 400x dan diamati hasilnya.
262

j. Perhitungan Eritrosit

Lalu darah dan larutan hayem


dimasukkan kedalam pipet toma
Pertama siapkan alat dan Bahan untuk dihomogenkan

Lalu diratakan dengan Terakhir diamati di mikroskop


Haemocytometer
dengan 400x dan diamati hasilnya.
263

k. Perhitungan Leukosit

Lalu darah dan Larutan Turk


dimasukkan kedalam pipet toma
Pertama siapkan alat dan bahan untuk dihomogenkan

Lalu diratakan dengan Terakhir diamati di mikroskop


Haemocytometer
dengan 400x dan diamati hasilnya.
264

l. Perhitungan Hemoglobin

Pertama siapkan alat dan bahan Pengambilan darah dengan pipet


sahli

Terakhir diamati hasilnya dengan


Lalu ditaruh di tabung sahli dicocokkan dengan warna indikator
pada sahli haemometer.
265

m. Keseimbangan Tubuh Ikan

Pertama siapkan alat anatara lain Alat berikutnya adalah nampan,


toples 3 liter 4 dan ember penggaris 30 cm sebanyak 2,
dan seser

Pipet tetes
Sectio set

Adapun bahan yang digunakan tisu


antara lain minyak cengkeh
266

Masukkan Ikan nila (Oreochromis


Masukkan minyak cengkeh 5
niloticus) kedalam masing-masing
tetes kedalam toples kedua
toples kemudian adaptasikan selama
15 menit

Beri perlakuan Ikan nila (Oreochromis Beri perlakuan Ikan nila


niloticus) ketiga dengan menusuk (Oreochromis niloticus) ketiga
mata dengan memotong sirip pectoral

Beri perlakuan Ikan nila Beri perlakuan Ikan nila


(Oreochromis niloticus) ketiga (Oreochromis niloticus) ketiga
dengan memotong sirip anal dengan menusuk linea lateralis
267

Beri perlakuan Ikan nila Beri perlakuan Ikan nila

(Oreochromis niloticus) ketiga dan (Oreochromis niloticus) pertama

keempat dengan memotong sirip sampai keempat dengan kejutan

caudal arus

Beri perlakuan Ikan nila Beri perlakuan Ikan nila


(Oreochromis niloticus) pertama (Oreochromis niloticus) pertama
sampai keempat dengan kejutan sampai keempat dengan kejutan
sentuhan suara

Diamati hasil dan dicatat.


268

n. Sistem Saraf pada udang

Pertama siapkan alat anatara lain Alat berikutnya adalah nampan,


toples 3 liter 4 dan ember penggaris 30 cm sebanyak 2,
dan seser

Pipet tetes Sectio set

Adapun bahan yang digunakan Tisu


antara lain minyak cengkeh
269

Masukkan Ikan nila (Oreochromis


Masukkan minyak cengkeh 3
niloticus) kedalam masing-masing
tetes kedalam toples kedua
toples kemudian adaptasikan selama
15 menit

Beri perlakuan udang ghalah Beri perlakuan udang galah


(Macrobrachium rosenbergii ) ketiga (Macrobrachium rosenbergii ) ketiga
dengan memomotong capid dengan memomotong telson

Beri perlakuan udang galah Beri perlakuan udang galah


(Macrobrachium rosenbergii ) ketiga (Macrobrachium rosenbergii ) ketiga
dengan memomotong kaki renang dengan memomotong salah satu
mata
270

Beri perlakuan udang galah Beri perlakuan udang galah


(Macrobrachium rosenbergii ) (Macrobrachium rosenbergii )
pertama sampai keempat dengan pertama sampai keempat dengan
kejutan suara kejutan arus

Beri perlakuan udang galah


Amati dan bandingkan udang galah
(Macrobrachium rosenbergii )
(Macrobrachium rosenbergii )
pertama sampai keempat dengan
pertama, kedua, ketiga dan keempat
kejutan sentuhan
kemudian catat hasilnya.
271

o. Endokrinologi

Persiapan akuarium Pengambilan ikan

Penimbangan berat tubuh ikan Penimbangan berat tubuh ikan

Pemotongan kepala ikan Pengambilan hipofisa ikan


272

Hipofisa ikan donor Hipofisa + Na-fis

Hipofisa disentrifugasi Penyuntikan Tubuh Ikan


dengan Supernatan

Pengamatan latency time


273

p. Pewarnaan dan Pematangan Gonad Betina

Menyiapkan ikan resipien Pengambilan ikan

Penimbangan berat tubuh ikan Pemotongan kepala ikan

Pembedahan dengan sectio Pembersihan organ selain


gonad
274

Pengamatan gonad Penimbangan gonad ikan

Pemberian asetokarmin Pengamatan di bawah


mikroskop

Pengamatan tingkat
kematangan gonad
275

Lampiran 4. Terminologi

No. Terminologi Pengertian


1. Difusi Perpindahan zat dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah.
2. Osmosis Perpindahan zat terlarut dari konsentrasi rendah
ke tinggi.
3. Isoosmotik Konsentrasi cairan tubuh sama dengan
lingkungannya.
4. Hiperosmotik Keadaan dimana konsentrasi cairan didalam
tubuh lebih tinggi dibanding lingkungan.
5. Hiposmotik Keadaan dimana konsentrasi cairan didalam
tubuh lebih rendah dibanding lingkungan.
6. Euryhaline Kemampuan ikan untuk menoleransi salinitas
dengan kisaran yang luas.
7. Stenohaline Kemampuan ikan untuk menoleransi salinitas
dengan kisaran yang sempit.
8. Membran Membran yang dapat dilalui oleh semua zat.
permeabel
9. Membran Membran yang dapat dilalui oleh beberapa zat.
semipermeabel
10. Membran Membran yang tidak dapat dilalui oleh semua
impermeabel zat.
11. Ekspirasi Proses keluarnya air yang mengandung CO2
melalui bukaan operkulum.
12. Inspirasi Proses masuknya air melalui rongga mulut.
13. Aborencent Organ pernafasan tambahan pada ikan lele
organ (Clarias gariepinus), berbentuk seperti bunga
karang, terletak antara insang kedua dan
keempat.
14. Eurythermal Kemampuan ikan untuk menoleransi suhu
dengan kisaran yang luas.
15. Stenothermal Kemampuan ikan untuk menoleransi suhu
dengan kisaran yang sempit.
16. Saluran Saluran yang dilalui makanan pada proses
pencernaan pencernaan makanan.
17. Organ Organ yang membantu proses pencernaan
pencernaan dengan cara menghasilkan enzim.
18. Amilase Enzim yang berfungsi untuk menguraikan ikatan
polisakarida.
19. Tripsin Enzim yang berfungsi untuk menguraikan ikatan
peptide.
20. Lipase Enzim yang berfungsi untuk menguraikan ikatan
ester.
21. Digestibility Kemampuan ikan untuk mencerna makanan.
22. Gastric Waktu pengosongan lambung mulai dari ikan
evacuation time makan pertama sampai mengeluarkan feses
pertama kali.
23. Pemberokan Pemuasaan pada ikan dengan tujuan untuk
mengurangi lemak pada tubuh.
276

24. Schemachrome Warna pada ikan yang dipengaruhi oleh


lingkungan.
25. Biochrome Warna ikan yang berasal dari tubuh ikan itu
sendiri.
26. Melanofor Pigmen warna hitam.
27. Eritrofor Pigmen warna merah dan oranye.
28. Pemendaran Proses kembalinya warna tubuh ikan ke warna
semula.
29. Sel Cone Sel berbentuk kerucut yang peka terhadap
cahaya.
30. Sel Rod Sel berbentuk batang yang bekerja dengan
cahaya sedikit.
31. Contractile Otot penggerak sel cone dan sel rod. Kontraktil
meioid element ini berada pada bagian mata pada ikan.
32. Fotoinhibitor Suatu keadaan dimana cahaya yang diterima
oleh organisme melebihi cahaya yang
seharusnya diterima.
33. Hematologi Ilmu yang mempelajari tentang darah dan
jaringan pembentuknya.
34. Granulosit Leukosit yang mempunyai granula spesifik dan
berinti besar.
35. Agranulosit Leukosit tidak mempunyai granula spesifik.
36. Termoregulasi Pengaturan suhu tubuh agar tetap berada pada
kisaran optimum.
37. Sistem Sirkulasi darah ke seluruh tubuh melalui
Peredaran pembuluh darah.
Tertutup
38. Sistem Peredaran darah yang beredar ke seluruh
Peredaran Darah bagian tubuh serta melewati jantung sebanyak
Tunggal satu kali.
39. Sistem Peredaran darah yang beredar ke seluruh
Peredaran Darah bagian tubuh serta melewati jantung sebanyak
Ganda dua kali.
40. Arteri Pembuluh darah yang membawa darah dari
jantung.
41. Vena Pembuluh darah yang membawa darah menuju
jantung.
42. Vena hepatica pembuluh darah yang membawa darah yang
disaring dari hati ke jantung.
43. Vena renalis Pembuluh darah yang membawa darah
terdeoksigenasi dari ginjal.
44. Atrium Ruang dibagian atas jantung yang berfungsi
menerima darah.
45. Ventrikel Bagian jantung yang biasa disebut bilik yang
bertanggung jawab untuk memompa darah
meninggalkan jantung.
46. Poikiloterm Hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh
suhu lingkungan.
47. Homoiterm Hewan yang memilki kemampuan mengatur
suhu tubuhnya, sehingga tidak bergantung pada
suhu lingkungan.
277

48. Neuron Unit kerja dasar yang dari otak yang, sel khusus
yang dirancang untuk mengirimkan informasi ke
sel saraf, otot, atau sel kelenjar.
49. Dendrit Bagian pada Saraf yang berfungsi
menghubungkan rangsangan dengan Saraf
lainnya.
50. Nodus Ranvier Akson yang menyempit dan tidak dilindungi oleh
selubung mielin.
51. Sinapsis Penghubung neuron satu dengan neuron lainnya
52. Sel schwann Sel yang memproduksi selubung mielin
53. Telson Bagian tengah ekor untuk keseimbangan.
54. Uropod Bagian organ tubuh udang yang berfungsi untuk
mendorong dan meloncat.
55. Pleopod Bagian kaki untuk berenang dan menyimpan
telur.
56. Antena Bagian panjang untuk sensor jarak jauh.
57. Antenula Bagian pendek untuk sensor jarak dekat.
58. Sistem Saraf Sepasang simpul saraf dengan sepasang tali
Tangga Tali saraf yang memanjang, bercabang, melintang
seperti tangga.
59. Anastesi Proses pembiusan yang menyebabkan sistem
saraf melemah.
60. Endokrinologi Ilmu yang mempelajari tentang kelenjar endokrin
dan fungsinya.
61. Hormon Hasil sekresi dari kelenjar endokrin berupa
bahan kimia yang dialirkan melalui darah meuju
organ tertentu yang letaknya jauh dari tempat
sintetisnya.
62. Hipofisa Kelenjar endokrin yang terletak diatas tulang
sfenoid dan dibawah selaput silatursica.
63. Hipofisasi Teknik pnenyuntikan hipofisa untuk
mempercepat ovulasi.
64. Pituitary Kelenjar endokrin yang memproduksi banyak
hormon, pertumbuhan dan reproduksi, dan
menstimulasi kerja tiroid.
65. Hipotalamus Kelenjar endokrin yang mengontrol dan
mengatur aktivitas kerja tubuh.
66. Gonad Organ penghasil gamet.
67. Gamet Sel kelamin jantan (sperma) betina (ovum).
68. Gametogenesis Proses pembentukan gamet atau sel kelamin.
69. Spermatogenesis Proses pembentukan sel kelamin jantan.
70. Oogensis Proses pembentukan sel kelamin betina.
71. Mitosis Pembelahan inti sel menjadi dua inti sel baru
(diploid).
72. Meiosis Pembelahan inti sel menjadi dua intisel baru
(haploid).
73. Pemijahan Proses atau cara melepaskan telur dan sperma
untuk pembuahan.
74. Fertilisasi Peleburan buah gamet yang dapat berupa
nukleus atau sel sel bernukleus untuk
278

membentuk sel tuggal atau zigot.

75. Zigot Sel yang terbentuk sebagai hasil bersatunya dua


sel kelamin (sel ovum dan sperma) yang telah
masak.
76. Viabilitas Daya hidup sperma.
77. Motilitas Pergerakan sperma.
78. Spermiasi Proses pengeluaran sperma imotil melalui
urogenital karena adanya gesekan pada rongga
perut.
79. Spermiosis Pembentukan spermatozoa dari spematid.
80. Stripping Proses pengambilan telur dengan cara mengurut
perut ikan dari perut sampai ke lubang
urogenital.
81. Spermatozoa Satu sel sperma.
82. Spermatid Sperma yang belum memiliki ekor.
83. Sperma Kumpulan dari spermatozoa.
84. Ejakulasi Proses pengeluaranya sperma dari genital ikan
jantan.
85. Ovulasi Pelepasan telur dari folikel ke ovarium.
86. Ovoposisi Pelepasan telur dari ovarium ke perairan.
87. Ovum Sel kelamin betina.
88. Ova Kumpulan dari ovum (banyak ovum).
89. Mesorcia Jaringan ikat penyanga gonad ikan jantan.
90. Mesovaria Jaringan ikat penyangga gonad ikan betina.

You might also like