You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang

menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani

internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus

sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian

bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada

neonatus.

Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital

dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di

kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya

peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat

berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian

dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion

dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat

menyebabkan dilatasi usus proksimal.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari hisprung?

2. Apakah macam-macam penyakit hisprung?

3. Apakah etiologi hisprung?

4. Bagaimana patofiologi dari hisprung?

1
5. Apa saja manifestasi klinis hisprung?

6. Apa komplikasi dari hisprung?

7. Apasaja pemeriksaan diagnostic hisprung?

8. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan hisprung?

9. Bagaimana WOC hisprung?

10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan hisprung ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi hisprung

2. Untuk mengetahui macam-macam penyakit hisprung

3. Untuk mengetahui etiologi hisprung

4. Untuk mengetahui patofiologi hisprung

5. Untuk mengetahui manifestasi klinis hisprung

6. Untuk mengetahui komplikasi dari hisprung

7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic hisprung

8. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan hisprung

9. Untuk mengetahui WOC hisprung

10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan hisprung

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi Hisprung

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon.

Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai

persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari

anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi

“kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus

menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-

beda untuk setiap individu.

Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion

parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus.

(Ngastiyah, 1997 : 138). Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital

yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas

sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).

2. Macam-macam Penyakit Hirschprung

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :

a. Penyakit Hirschprung segmen pendek

Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan

70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada

anak laki-laki dibanding anak perempuan.

3
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang

Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon

atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun

perempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)

3. Etiologi Hisprung

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional

yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus

mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di

dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para

simpatis dari pleksus Auerbach di kolon. Sebagian besar segmen yang

aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi

hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon. (Staf Pengajar Ilmu

Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)

4
Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”. Kegagalan sel

neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal

pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus. (Suriadi, 2001 : 242)

Tanda dan Gejala

a. Tanda dan gejala setelah bayi lahir

 Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)

 Muntah berwarna hijau

 Distensi abdomen, konstipasi.

 Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran

tinja / pengeluaran gas yang banyak.

b. Gejala pada anak yang lebih besar karena gejala tidak jelas pada

waktu lahir.

 Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir

 Distensi abdomen bertambah

 Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling

 Terganggu tumbang karena sering diare.

 Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.

 Perut besar dan membuncit.

4. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya

kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub

mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum

dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan

5
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik )

dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat

berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang

menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna.

Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz,

Cecily & Sowden).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk

kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus

mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut,

menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu

karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar

( Price, S & Wilson ).

5. Manifestasi Klinis

a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.

b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat

tinja seperti pita.

c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.

d. Nyeri abdomen dan distensi.

e. Gangguan pertumbuhan. (Suriadi, 2001 : 242)

f. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan

evaluai mekonium.

g. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang

membaik secara spontan maupun dengan edema.

6
h. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan

yang diikuti dengan obstruksi usus akut.

i. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan

demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.

j. Gejala hanya konstipasi ringan. (Mansjoer, 2000 : 380)

Masa Neonatal :

 Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.

 Muntah berisi empedu.

 Enggan minum.

 Distensi abdomen.

Masa bayi dan anak-anak :

 Konstipasi

 Diare berulang

 Tinja seperti pita, berbau busuk

 Distensi abdomen

 Gagal tumbuh (Betz, 2002 : 197)

6. Komplikasi

a. Gawat pernapasan (akut)

b. Enterokolitis (akut)

c. Striktura ani (pasca bedah)

d. Inkontinensia (jangka panjang) (Betz, 2002 : 197)

e. Obstruksi usus

f. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

7
g. Konstipasi (Suriadi, 2001 : 241)

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat

penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.

b. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan

dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.

c. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada

penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin

enterase.

d. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.

(Ngatsiyah, 1997 : 139)

e. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

f. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

g. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.

h. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna

dan eksterna. (Betz, 2002 : 197).

8. Penatalaksanaan

Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan

kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang

dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan),

lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :

a. Prosedur Duhamel: Penarikan kolon normal kearah bawah dan

menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.

8
b. Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon

berganglion dengan saluran anal yang dibatasi.

c. Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh.

Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.

Intervensi bedah

Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang

mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik

pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau

ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi

ditutup dalam prosedur kedua.

Persiapan prabedah

a. Lavase kolon

b. Antibiotika

c. Infuse intravena

d. Tuba nasogastrik

e. Perawatan prabedah rutin

f. Pelaksanaan pasca bedah

g. Perawatan luka kolostomi

h. Perawatan kolostomi

i. Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan

peningkatan suhu.

j. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima.

Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu

9
kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana

membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong

kolostomi.(Betz, 2002 : 198).

9. WOC.

10
B. KONSEP DASAR ASKEP

1. Pengkajian

a. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin,

agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.

b. Keluhan utama : Masalah yang dirasakan klien yang sangat

mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung

misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.

c. Riwayat kesehatan sekarang: yang diperhatikan adanya keluhan

mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan

muntah hijau atau fekal.. Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan

pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah

tersebut.

d. Riwayat kesehatan masa lalu: apakah sebelumnya klien pernah

melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran,

riwayat alergi, imunisasi.

e. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.

f. Riwayat psikologis: bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang

diderita apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien

mengekspresikannya.

g. Riwayat kesehatan keluarga: tanyakan pada orang tua apakah ada

anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.

h. Riwayat sosial : apakah ada pendakan secara verbal atau tidak

adekuatnya dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.

11
i. Riwayat tumbuh kembang : tanyakan sejak kapan, berapa lama klien

merasakan sudah BAB

j. Riwayat kebiasaan sehari-hari : meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat

dan aktifitas.

k. Pemeriksaan Fisik :

 Sistem integument : kebersihan kulit mulai dari kepala maupun

tubuh, pada palpasi dapat dilihat capilary refil, warna kulit, edema

kulit.

 Sistem respirasi : kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi

pernapasan

 Sistem kardiovaskuler : kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-

mur, gallop), irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi /

apikal.

 Sistem penglihatan : kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata

 Sistem Gastrointestinal : kaji pada bagian abdomen palpasi adanya

nyeri, auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen,

adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik

muntah) adanya keram, tendernes.

12
2. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan eliminasi BAB obstipasi berhubungan dengan spastis usus

dan tidak adanya daya dorong.

b. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

intake yang inadekuat.

c. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

d. Kerusakan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

e. Nyeri b/d insisi pembedahan

f. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan

perawatan kolostomi.

13
3. Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Gangguan eliminasi BAB : NOC:
1 NIC :
konstipasitipasi berhubungan dengan  Bowel elimination.
spastis usus dan tidak adanya daya  Hidration. 1. Monitor tanda dan gejala konstipasi.
dorong. Kriteria hasil : 2. Monitor bising usus.
 Bebas dari ketidak nyamanan dan konstipasi 3. Monitor feses, frekuensi, konsistensi,
 Mengidentifikasi indikator untuk mencegah dan volume.
konstipasi
 Feses lunak dan berbentuk

Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan NOC : NIC :


2
tubuh berhubungan dengan intake yang  Nutritional status: Food and Fluit Intake 1. Kaji adanya alergi makanan.
tidak adekuat.  Nutritional status: Nutrien intake 2. Yakinkan pasien diet yang dimakan
 Weight control mengandung tinggi serat untuk
Kriteria hasil. mencegah konstipasi.
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 3. Berat badan pasien dalam batas normal
 Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang
berarti.

Kekurangan cairan tubuh berhubungan NOC : NIC :


3
muntah dan diare.  Fluid balance 1. Pertahankan catatan intake dan output
 Hidration yang akurat.
 Nutritional status 2. Monitor vital sign.
Kriteria hasil. 3. Berikan cairan intravena
 Mempertahankann urin output sesuai
dengan usia dan BB, BJ, urin normal.
 Tekanan darah, nadi suhu tubuh, dalam

14
batas normal.
 Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisias
turgor kulit baik, tidak ada rasa haus yang
berlebihan.

Kerusakan integritas kulit b/d kolostomi NOC : NIC :


4
dan perbaikan pembedahan  Tissue integrity: skin and mucous 1. Membersihkan, memantau dan
membranes. meningkatkan proses penyembuhan
 Hemodyalis akses. pada luka yang di tutup dengan jahitan,
Kriteria hasil. klip atau straples.
 Menunjukkan pemahaman dalam proses 2. Monitor proses kesembuhan area insisi.
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya 3. Monitor tanda dan gejala infeksi pada
cedera berulang. area insisi.
 Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami.

Nyeri b/d insisi pembedahan NOC : NIC :


5
 Pain level. 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
 Pain control. komprehensif termasuk lokasi,
 Comfort level. karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
Kriteria hasil. dan faktor presitipasi.
 Mampu mengontrol nyeri. 2. Gunakan teknik komunikasi terapuitik
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang untuk mengetahui pengalaman nyeri
dengan menggunakan manajemen nyeri. pasien.
 Mampu mengenali nyeri. (frekuensi dan 3. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
tanda nyeri) menentukan intervensi.
4. Beri analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang.

15
4. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses

keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang

diperlukan untuk mencapai tindakan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan

keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005). Implementasi

mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas

kehidupan sehari-hari, memberikan arahan perawatan untuk mencapai tujuan

yang berpusat pada klien dan mengevaluasi kerja anggota staf dan mencatat

serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan perawatan

kesehatan berkelanjutan dari klien implementasi menuangkan rencana asuhan

kedalam tindakan. Setelah rencana dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan

dan prioritas klien, perawat melakukan intervensi keperawatan spesifik, yang

mencakup tindakkan (potter, 2005). Tujuan dari implementasi adalah

membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan

secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah proses keperawatan mengukur respon klien terhadap

tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan ( Potter,

2005). Tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan

tujuan dengan melihat perkembangan klien. Evaluasi klien hisprung

dilakukan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan.

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan

masalah. Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah

pertumbuhan dan perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu

terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar

anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan

masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit

hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis

maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin

hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat

maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang

terjadi.

B. SARAN

Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui

tentang penyakit hisprung. Dengan memahami dan mengerti penyakit

hisprung, sebagai perawat maka bisa memberikan asuhan keperawatan pada

klien dengan baik dan benar.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND

SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-

Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114

2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:

Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.

page 453-468

3. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:

Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New

York. Page 1496-1498

4. Behrman, Kliegman, Arvin 2000. Nelson Textbook of Pediatrics edisi 15,

Jakarta:EGC.

18

You might also like