Professional Documents
Culture Documents
Sebanyak 2038 pasien dari semua usia baik laki-laki atau perempuan,
dimasukkan dalam studi selama 6 tahun. Populasi penelitian termasuk 50% laki-laki,
16,9% anak di bawah 18 tahun, dan usia rata-rata pasien 46 [Q1; Q3: 26,0; 59,0] tahun.
Pasien didistribusikan merata di tiap tahun berdasarkan jenis penyakit, jenis operasi,
dan fitur pasien. Namun, jumlah outcome yang meyebabkan mematikan dan lama
tinggal di ICU menurun dari 2011 sampai 2016. Karakteristik dasar dari populasi
penelitian untuk setiap tahun dan rata-rata selama 6 tahun ditunjukkan pada Tabel 1.
Jumlah median dari 344 [Q1; Q3: 330; 349] pasien pertahun menyumbangkan
rata-rata 6998 [Q1; Q3: 6678; 7399] pasien per hari- pertahun (file tambahan 1: Tabel
S2). Karena jumlah pasien meningkat sejak tahun 2011-2016 dengan rata-rata 2,3%
per tahun dan jumlah hari- pasien secara bertahap menurun secara bersamaan 2,7%
per tahun( dari 6778 ke 5809). Seorang pasien rata-rata menghabiskan waktu lebih
sedikit di ICU, dari median 13 hari di 2011 menjadi 8 hari di 2016, p value= 0,001
(tabel1). Kami menemukan bahwa selama 6 tahun studi , persentase terendah dari DA-
HAIS ada pada kelompok HAVM: 40,4% [95% CI 33,6-47,1]. Persentase tertinggi dari
DA-HAIS adalah infeksi aliran darah : 86,6% [95% CI 80,4-92.7]. dengan demikian
sebagian besar infeksi nosokomial aliran darah adalah CLABSI, sedangkan kurang dari
setengah kasus HAVM adalah terkait EVD (file tambahan1: Tabel S3, Gambar. 2).
DUR relatif tinggi untuk ventilasi mekanik, jalur vena utama, dan kateter urin ,
tetapi rendah untuk EVD. Meskipun variasi DURs sedikit dari waktu ke waktu, kami
mengamati penurunan yang signifikan dalam jumlah hari dari HAIs pernafasan: dari
1643 hari di 2011 menjadi 690 pada tahun 2016 (berarti tingkat pengurangan tahunan
11,9%, p value=0,038), sedangkan jumlah hari perawatan dengan VAP tetap tidak
berubah (gambar 2a). Dari tahun 2011-2016 Jumlah pasien dengan HAVM dan DA-
HAVM menurun secara signifikan.
Kejadian HAIs
Insiden semua penyebab HAIs dan DA-HAIs telah dianalisa. Jumlah seluruh
kejadian penyebab HAIs menurun secara significant untuk infeksi pernafasan (dari
36,1% di 2011 menjadi 24,5% di 2016, p value=0,0003), infeksi saluran kencing (dari
29,7% di 2011 menjadi 21,33% di 2016, p value= 0,0006), dan HAVM (dari 15,97% di
2011 menjadi 7,78% di 2016, p value= 0.004) (Gambar. 3a, Berkas tambahan 1: Tabel
S4). Dengan Penyesuaian waktu rata-rata insiden dari semua penyebab HAIs
diidentifikasi menurun untuk semua 4 jenis HAIs. Pada kelompok DA-HAIs, hanya
kejadian kumulatif CAUTI menurun secara signifikan, dari 28,04 per 100 pasien dengan
kateter urin di 2011 menjadi 18,31 di 2018. Akan tetapi, ketika kami meyesuaikan waktu
insiden dengan resiko hari untuk perangkat, EVD terkait HAVM menunjukkan
penurunan yang signifikan dari tahu 2011ke 2018 (22,2 vs 13,5 kasus per 1000 hari
EVD). Penyesuaian resiko dari kejadian VAP dan CAUTI juga cenderung menurun.
Tingkat kejadian CLABSI tidak berubah dan tetap pada tingkat rata-rata 3,7 per 1000
hari pemakaian central line. Sebagai catatan di 2012 HAIs sistem pernafasan dan
saluran urin sama dengan VAP dan CAUTI meningkat tajam 4-14% dibandingkan pada
tahun 2011. Oleh karena itu pengurangan angka infeksi pada akhir penelitian di 2016
lebih jelas dibandingkan dengan jumlah puncak di 2012.
Profil mikrobilogi dari HAIs.
Kami mengamati bahwa pada tahun 2011-2012 sekitar setengah dari HAIs aliran darah
yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae dan Acinetobacter baumanii. Namu pada
tahun 2016 proporsi K. pneumoniae menurun menjadi 14% dari t 47% pada tahun 2012
dan A. baumanii tidak muncul pada profil untuk pertama kalinya. Ada kecenderungan
untuk spesies Gram-negatif akan digantikan oleh spesies Gram-positif. Untuk HAIs
lainnya, spektrum etiologi realtiv tetap stabil dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2016 K. pneumoniae menjadi lebih rentan terhadap antibiotik yang
sering diuji: ditemukan secara signifikan sedikit lebih resisten terhadap sefalosporin,
ciprofloxacin, dan imipenem dibandingkan dengan tahun 2011. Proporsi dari resistensi
imipenem K. pneumo-niae menurun dari 34,5% [95% CI 29,9-39,1] pada 2011 menjadi
20,2% [95% CI 15,6-24,8], p-nilai <0,001. Perubahan yang dramatis ditemukan dalam
resistensi sefalosporin misalnya pada tahun 2011 ada 90,3% isolat resisten terhadap
cefepime [95% CI 87,4-93,1] vs 45,6% [95% CI 39,9-51,4] pada tahun 2016, p-nilai
<0,001 (file tambahan 1: Gambar S4).
Jumlah resistensi isolate imipenem dari A. bau-mannii menurun dari 77,7% [95%
CI 72,3-83.0] pada 2011 38% [95% CI 30,9-45,1] pada tahun 2016, p-nilai <0,001
(Gambar. 4b). Sedangkan proporsi ampisilin / sulbactam isolte resistensi meningkat dari
48,1% [95% CI 34,8-61,5] pada 2011 menjadi 82% [95% CI 76,2-87,9] pada tahun
2016, p-nilai <0,001, resistensi terhadap sisa antibiotik diuji tetap tidak berubah.
Perubahan dalam resistensi menurunan bersamaan dengan pemanfaatan antibiotik
selama periode penelitian. Penggunaan antibiotik diukur per 1000 hari rawat pasien.
Tingkat pengunaan antibiotik awalnya 1066 hari antibiotik per 1000 hari rawat pasien
pada tahun 2011. Hal ini menyoroti bahwa beberapa antibiotik digunakan pada banyak
pasien dan penggunaan secara keselurahan telah memberikan efek. Selama 6 tahun
penelitian tingkat pengunaan menurun secara tetap. Di tahun 2016 jumlah
pengunaannya adalah 807 hari antibiotik per 1000 hari rawat pasien.
Diskusi
Program IPC yang komprehensif dengan focus dengan dengan hand hygine dan isolasi
pasien dimulai pada ICU pada tahun 2010. Pada saat itu penggunaan IPC kami untuk
mencegah HAI’s di ICU menjadi solusi pergeseran paradikma di rusia sebagai strategi
pencegahan HAI’s sebelumnya yang tidak berubah selama bertahun – tahun dan telah
menjadi using.
Pelaksanaan program IPC di ikuti oleh penurunan yang signifikan dari infeksi
nosokomual di ICU, bahkan dampak dari program ini berada dibawah perkiraan.
Program IPC kami dilaksanakan pada 9/2010 sedangkan pengumpulan data dimulai
1/2011. Oleh karena itu meskipun kepatuhan terhadap protocol IPC di harapkan
meningkatkan lebih banyak waktu dan pengenalan jumlah dari dampak program ini
mungkin dibawah perkiraan. Kunci awal, seperti pengangkatan kateter lebih awal di
harapkan memiliki dampak langsung dalam pengurangan infeksi nosokomial bahkan
terputusnya IPC berdampak pada awal bulan setelah implementasi, fakrta bahwa
pengurangan yang di pertahankan dan berlanjut terhadap pengurangan jumlah HAI’s
yang terjadi berarti baik dan berfungsi sebagai penguat peralatan secara keseluruan.
Pada pasien ICU resiko tinggi kami mengamati penurunan dasar pada kejadian HAI’s
jumlah kejadian HAI’s saluran pernafasan menurun sebesar 1,47, HAI’s saluran kencing
menurun 1,4 kali, HAVM menurun 2 kali lipat, CAUTI menurun 1,93 dan ICU –acquired
intestinal dysfuncition menurun 2,3 kali. Hasil ini konsisten dengan laporan insiden
sebelumnya, menunjukkan pengurangan dari privalensi HAI’s dengan perkiraan 1,7
kalilipat.
Kita menemukan bahwa kejadian beresiko yang di sesuaikan dari EVD terkait HAVM
berkurang 1,6 kali lipat Selama periode penelitian 6 tahun. Dampak dari program IPC
pada kejadian DA-HAI’s telah dilaporkan sebelumnya. Sebagai contoh satu publikasi
melaporkan penuurunan 2,7 kali lipat dalam episode CAUTI per 100 pasien dalam
waktu 1 tahun setelah pelaksanaan IPC akan tetapi beberapa HAI’s seperti HAVM pada
statistic tidak di temukan selain itu perubahan dalam kejadian disfunsi usus dapat di
kacaukan oleh protocol implementasi gizi yang maju pada tahun 2012 di ICU.
Kami menemukan bahwa tahun 2012 tingkat infeksi beberapa sub kategori memenag
meningkat di bandingkan pada tahun 2011. Tinggkat infeksi saluran pernafasan dan
saluran kencing terkait HAI’s meningkat dari 4 menjadi 14% dibandingkan dengan
tahun 2011. Alasan untuk peningkatan tidak jelas, tapi kami mendalilkan bahwa ini
mungkin berhubungan dengan beberapa faktor. Salah satu contributor mungkin dari
penddidikan staf yang tidak sesuai dari HAI’s dan standar tidak jelas dari penggunaan
alat. Sataf menjadi lebih kenal terhdap pengertian ini mereka mungkin dapat lebih baik
mengidentifikasi kasus yang mengarah pada peningkatan infeksi yang jelas. Selain itu
selama awal implementasi protocol IPC, staf menjalani pelatihan in servis dan berakibat
adanya fokus kusus pada ketaatan protocol. Namun, kepatuhan terhadap faktor
pengendalian infeksi dapat berkurang seiring berjalanya waktu dan itu terjadi pada
tahun 2012. Olehkarena itu penguatan lebih lanjut dari praktek bersama dengan umpan
balik untuk tim kesehatan di perlukan untuk kepatuhan berkelanjutan dalam memulai
IPC. Setelah pendidikan berulang pada staf perhatian baru pada IPC mungkin dalam
berkontribusi untuk mengurangi kejadian HAI’s pada tahun 2013.
Selain itu lama rawat pasien di ICU dan kejadian kematian pasien telah menurun
selama periode penelitian. Meskipun penyebab langsung tidak dapat di tentukan ini
akan tepat untuk mendalilkan bahwa penurunan kejadian HAI’s telah menjadi
contributor sebagian dari pengurangan ini. Dengan demikian tingkat penurunan HAI’s
menghasilkan penurunan yang berarti dalam biaya perawatan kesehatan, dan potensi
keuntungan dalam menurunkan kematian secara keseluruhan. Namun tetapi kami tidak
memantau semua parameter lain yang dapat mempengaruhi mortalitas dan lama rawat,
dengan demikian penjelasan lain. Sebagai tambahan kami mengakui bahwa
pendekatan secara keseluruhan pada perawatan pasien tidak berubah dan DUR tidak
berubah untuk salah satu prangkat yang kita pantau.
Hipotesis kami adalah pelaksanaan protocol IPC bekerja 2 kali lipat dengan
pengurangan awal dalam transmisi HAI’s pasien yang berakibat pada penurunan infeksi
nosocomial. Intervensi kami yang paling penting melibatkan tindakan pencegahan
kontak dengan menggunakan sarung tangan, gaun, masker dan isolasi pada pasien
yang mengalami resistensi terhadap karbamapenem dan infeksi acinetobacter atau
klebsiella. Upaca ini di pasangkan dengan pengukuran disinfeksi lingkuangan intensif,
antiseptic kulit untuk perangkat yang diam serta focus pada hand hygine sebagai multi
modal strategi.
Sebagai catatan kepatuhan terhadap hand hygine sebenarnya sulit untuk dilaksanaan
dalam angka kepatuhan 27% di 2011, kepatuahn terhadap hand hygine pada tahun
berikutnya mulai dari tahun 2012 sampai 2016 adalah 40,69,63, 68, dan 81%
penurunan tingkat infeksi dari waktu ke waktu bisa mempengaruhi pengurangan
penggunaan antibiotic spectrum luas. Pengurangan penggunaan antibiotic secara
siknifikan menurun selama periode penelitian. Harus di catat bahwa program
pelayanan antibiotik telah ada sebelum pelaksanaan IPC. Pelayanaan antibiotic
melibatkan protocol institusi untuk antibiotic periopratif dan profilaksis dan untuk terapi
antibiotic empiris. Akan tetapi integrasi protocol IPC termasuk pengukuran survelen
telah meningkatkan efektivitas intervensi penggunaan antibiotic. Hasil akhir dalam
penelitian ini, tingkat resistensi yang dia amati menurun pada level secara global dan
regional.
Peningkatan pada tingkat kerentanan ini, berbeda dengan tren global dari peningkatan
resistensi karbamapenem selama dekade terahir menunjukkan bahwa dalam sumber
daya yang terbatas program IPC dapat berjalan secara efektif. Program bermakna
secara kusus dalam seting pelayanan kesehatan dengan resistensi level yang tinggi
dimana mereka dapat berfunsi sebagai intevensi efektif yang mengarah pada dampak
klinis yang cukup bersar. Penguran subtansi dalam karabamapenem mendukung
gagasan bahwa penerapatan startegi IPC mengandung langkah – langkah efektif untuk
mencegah dan mengendalikan resistensi karabapenem. Selain itu ini di dukung oleh
pedoman WHO baru yang menegaskan bahwa starategi multi modal IPC dapat
membantu mencegah karbapenem makalah ini melaporkan penelitian prospektif
dampak dari program pengendalian infeksi dalam pengaturan sumber daya yang
terbatas dengan penurunan resiko infeksi nosocomial. Penelitian ini hanya terbatas
pada tanggal tapi telah diidentifikasi oleh WHO sebagai kebutuhan yang sangat di
perlukan. Dengan demikan, penelitian ini dapat membantu untuk mengatasi
kesenjangan dari penelitian dan memberika wawasan mengenai pendekatan untuk
menerapkan program IPC sebagai komponen yang paling penting. Hasil dari penelitian
kami menunjukkan bahwa focus pada pengawasan yang kuat dan control isolasi/ infeksi
dapat mengurangi kejadian HAI’s dan resistensin antibiotik.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan tertentu. Penelitian ini adalah penelitian tungga
dengan pusat pada fasilitas ICU jadi orang harus berhati –hati ketika menyimpulkan
secara umum untuk rumah sakit lainnya atau bangsal lainya. Sebagai tambahan kami
hanya mempelajari cohort pasien beresiko tinggi mereka yang tinggal di neuro – ICU
lebih dari 48 jam tidak masuk dalam populasi ICU dengan demikian pelaporan kejadian
HAi’s lebih tinggi dari pada perhitungan populasi ICU secara keseluruhan akan tetapi
prinsip yang mendasari progam IPC kami mengarah kepada pengurangan CAUTI,
CLABSI dan VAP di harapkan berlaku secara umum untuk rumah sakit lainnya dengan
dampak yang serupa.
Salahsatu aspek yang tidak dapat di evaluasi sepenuhnya adalah infections clostridium
difficile prevalensi dari CDI di identifikasi oleh positif PCR dan gejala yang sesuai di
ukur secara quartal. Namun tingkat quartal termasuk semua pasien di ICU pada saat di
diagnosis positif dan termasuk pasien yang tidak memenuhi kriteria sebagai populasi
beresiko tinggi telah di teliti juga selain itu tingkat insiden termasuk dalam kategori
rendah selama periode 6 tahun dengan puncak 1,5% di 2011 dan nadir 0,9% di tahun
2015 kususnya pada pasien yang di transfer keluar dari ICU setelah itu mengalami CDI
belum teridentifikasi desain dari penelitian ini tidak memasukkan kelompok control
(yaitu klompok yang dirawat di ICU sebelum program IPC dilaksanakan) karena tingkat
HAI’s tanpa surveilen tidak dapat di ketahui. Selain itu penerunan kejadian HAI’s dan
lama rawat di ICU dapat di jelaskan dengan modifikasi praktek klinis dan dengan
regresi pada mean. Perlu disebutkan bahwa analisis kelangsungan hidup dalam
penelitian kami mengalami bias. Pasien dengan kelompok HAI’s yang menetap sampai
mereka mendapatkan infeksi yang mendukung kelompok HAI’s dengan menurunkan
angka kematian dalam kelompok ini. Dengan demikan HAI’s memiliki pengaruh kuat
pada kelangsungan hidup potensial resiko tinggi dari kematian pasien setelah mereka
mendapatkan HAI’s.