You are on page 1of 29

LAPORAN PNDAHULUAN CDERA OTAK

DEFINISI CEDERA OTAK

Cedera Kepala hampir disamakan dalam beberapa literatur tetapi akan lebih

jelasnya marilah kita simak definisi sendiri dari cedera kepapa dan cedera otak..

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan

otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit

neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya

(Smeltzer & Bare 2001).

Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak

akibat atau pembengkakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan

peningkatan tekanan inbakranial,cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu

gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan

interslities dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cdera kepala berdasarkan derajat keparahannya diklasifikasi menjadi :

1. Cedera kepala ringan ( CKR ) jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran

kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta

seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).

2. Cedera kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia

antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (

bingung ).

3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga

meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema.


Cedera otak didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat kekuatan mekanik

eksternal, seperti percepatan atau perlambatan, dampak, atau penetrasi dengan proyektil

yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada mekanisme cedera

yang terjadi. Fungsi otak sementara atau permanen dan struktural kerusakan gangguan

mungkin tidak terdeteksi dengan teknologi saat ini

KLASIFIKASI CEDERA OTAK

Klasifikasi Cedera otak berdasarkan pada tingkat kerusakan dapat dibedakan

atas kerusakan primer dan kerusakan sekunder.

A. Kerusakan Primer

Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik

yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun

difus. Keruskan primer ini dapat berlanjut menjadi keruskan sekunder, jika kerusakan

primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka kerusakan primer dapat menjadi

kerusakan sekunder.

Kerusakan Fokal

Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung

pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang terjadi dapat berupa :

a. Kontusio serebri,

Memar ini umumnya terjadi di area permukaan dan terdiri dari area hemoragi kecil –

kecil yang tersebar melalui substansi otak pada daerah tersebut, dari pada satu lokasi

yang berbeda. Kontusio serebral merupakan lesi yang paling banyak tampak setelah

cedera kepala.

b. Kontusio ‘intermediete coup’ /kontusio ‘glinding’


Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, penyebabnya adalah

pendarahan yang terus berlangsung, iskemik, nekrosis, dan diikuti oleh edema

vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-

72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam-beberapa minggu) dan gliosis aktif

yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam).

c. Perdarahan subarachnoid traumatika

paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan

terletak di antara arachnoid dan piameter, mengisi ruang subarachnoid.

d. Intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada

jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah.

Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga

melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis. Gejala dan tanda juga

ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematoma. Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan,

Fukamachi dkk. Tahun 1985, membagi ICH atas :

a. Tipe 1, hematoma sudah terlihat dalam CT Scan awal

b. Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT Scan awal, kemudian

membesar pada CT Scan selanjutnya

c. Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah normal pada CT Scan awal

d. Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal (‘salt and

pepper)

e. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara ruang

tengkorak bagian dalam dan lapisan meninges paling luar. Hepatoma ini terjadi karena

robekan cabang kecil arteri meningeal tengah atau arteri meningeal frontal.

Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu kelompok yang dapat di

kategorikan sebagai “talk and die”. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan

kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan yang terjadi pada periode lucid (pikiran

jernih) dari beberapa menit sampai beberapa jam. Periode “talk” ini kemudian di ikuti

oleh penurunan neurologis dari kacau mental sampai koma, dari bentuk gerakan

bertujuan sampai pada bentuk tubuh dekotrikasi atau deserebrasi, dan dari pupil isokor

sampai anisokor. Semua ini merupakan tanda – tanda hernia yang berkembang cepat

dan harus ditngani dengan cepat untuk mencegah kematian pada pasien.

f. Hematoma Subdural

Hematoma Subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan meningeal duramater dan

diatas lapisan araknoid yang menutupi otak. Penyebabnya biasanya robekan permukaan

venaatau sinus.

Pasien dengan hematoma subdural akut menunjukkan gejala dalam 24 jam sampai

48 jam setelah cedera. Meninfestasi ini dari perluasan massa lesi dan peningkatan TIK

(PTIK) dengan cepat dan memerlukan interfensi darurat. Hematoma subdural kronis

terjadi dari 2 minggu sampai 3-4 bulan setelah cedera awal. Gejala umum meliputi sakit

kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang-kadang disfasia. Bila intervensi bedah

diperlukan pada kasus perluasan hematoma dan memperburuknya gejala, kraniotomi

biasanya diperlukan dan drain dapat dipasang setelah bedah kepala.

g. Fraktur Tengkorak
Susunan lapisan tengkorak sampai kulit kepala membantu menghilangkan energy

benturan kepala sehingga sedikit kekuatan ditransmisikan ke permukaan otak.

Sekalipun demikian fraktur tengkorak kerupakan masalah yang umum terjadi pada

pasien dengan cedera kepala berat meskipun kejadiannya berfariasi dari 12% sampai

80%, tergantung pada laporan penelitian.

h. Gegar Serebral

Gegar adalah sindrom yang mengakibatkan bentuk ringan dari cedera otak

menyebar. Ini adalah disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih dengan atau tanpa

kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran mungkin hanya beberapa detik

atau beberapa menit. Sesudah itu mungkin pasien mengalamidisorentasi dan bingung

hanya dalam waktu yang relative singkat. Gejala lain meliputi : sakit kepala, tidak

mampu untuk berkonsentrasi, ganguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa

penderita mengalami amnesia retrograde. Kebanyakan pasien sembuh sempurna dan

cepat, tetapi beberapa penderita lain berkembang ke arah sindrom pascagegear dan

dapat mengalami gejala lanjut selama beberapa bulan.

i. Konkusio

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah

terajdinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.

Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan

struktural yang nyata. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa

mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total

dalam beberapa jam atau hari.

B. Kerusakan Sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer

termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (Tekanan

Tinggi Intrakranial), Hidrosephalus, dan infeksi.

Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat dikelompokkan atas 2, yaitu :

1. Kerusakan Hipoksi-iskemik menyeluruh

a. Sudah berlangsung saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan

b. Martin dkk membaginya atas 3 fase yaitu :

• Fase 1 : Hipoperfusi, terjadi pada hari 0, dapat turun hingga < 18ml/100g/min

pada 2-6 jam sesudah cedera.

• Fase 2 : Hiperemia, terjadi pada hari 1-3.

• Fase 3 : Vasospasme, terjadi di antara hari 4-15.

c. Kerusakan ini timbul karena :

• Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli

• Iskemia : berhentinya aliran darah

• Hipotensi arterial sistemik

2. Edema serebri terjadi karena peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau

peningkatan volume darah( intravaskuler),Kekurangan O2 menyebabkan

berlangsungnya metabolism anaerob yang menimbulkan terjadinya gangguan

pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel: dimana

1 mol glukosa aerob 38 ATP sedangkan 1 mol glukosa anaerob asam laktat + 2

ATP Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat akan mengakibatkan

bertambahnya edema otak. Secara prinsip terapi dari edema serebri adalah
menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler) ataupun air diluar sel

(ekstraseluler) dengan cara pemberian cairan hiperosmotik (manitol) dengan dosis 0,5

g – 1 g/Kg BB/kali diberikan secara bolus dalam waktu 15 – 20 menit., disamping

sebagai cairan hiperosmolar maka manitol dengan dosis rendah berfungsi sebagai

penangkap bahan radikal bebas dan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel

darah merah (rheologi), pemberian manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering

agar tidak terjadi "rebound phenomena". Pemberian Kortikosteroid, obat ini dapat

memperbaiki sawar darah otak sehingga secara tidak langsung memperbaiki edema

serebri, dan pemberian Diueretik seperti furosemide.

3. Peningkatan Tekanan intra kranial

Pada umumnya definisi tekanan intra kranial merupakan jumlah tekanan dari jaringan

otak (80%), cairan serebrospinal (10%), pembuluh darah (10%). Penyebabnya PTIK

sendiri adalah Infeksi SSP , perdarahan intrakranial, tumor otak, hidrosefalus.

Disamping itu PTIK juga memiliki komplikasi antara lain herniasi otak sehingga

menyebabkan kerusakan syaraf otak ,kematian

PENYEBAB CEDERA OTAK

1. Pukulan/tekanan berlebih pada kepala.

2. Jatuh.

3. Kecelakaan (olah raga, industri, lalu lintas).

4. Tertimpa benda keras.

5. Perilaku kekerasan.

TANDA DAN GEJALA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK


1. Penurunan kesadaran, koma

2. Peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan

a. Turunnya denyut nadi

b. Peningkatan tekanan darah

c. Kedalaman pernafasan berkurang/terlambat

d. Penurunan skor GCS

e. Muntah proyektil

f. Dilatasi pupil, hilangnya reflek pupil/pupil asimetris

g. Nyeri kepala

3. Fraktur kranium

a. Hematoma periorbita (mata panda)

b. Memar di sekitar area mastoideus (battle sign)

c. Keluarnya cairan serebrospinal dari hidung, telinga, dan laserasi di sekitar fraktur

d. Pembengkakan kulit kepala yang terlihat menonjol

e. Perdarahan subkonjungtiva tanpa batas posterior

4. Disfungsi sensori

5. Kejang otot

6. Vertigo

7. Gangguan pergerakan

8. Kejang
9. Syok hipovolemik

(Brito, 1996)

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.

Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses

oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke

otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Pada saat otak mengalami

hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik

anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,

hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme

anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya

dampak yang akan diberikan pada otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu

benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera

robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai

kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.

Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan

permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi

intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi

yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan

hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan

“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan

hasil yang lebih khusus.


Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.

jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan

perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan

vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan

gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel,takikardia. Akibat

adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan

tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh

persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak

begitu besar.

KOMPLIKASI CEDERA OTAK

1. Epilepsi pasca trauma

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu

setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.

kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.

kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa

adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka

tembus di kepala. kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah

terjadinya cedera.

2. Afasia

Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.

3. Apraksia
ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian

gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus

parietalis.

4. Agnosia

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan

sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal

dari benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan

temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.

5. Amnesia

Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat

peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya

berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya

cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. pada cedera otak yang hebat, amnesia

bisa bersifat menetap.

Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya di mana jaringan otak

menjadi berpindah dalam beberapa cara karena peningkatan tekanan intrakranial

(tekanan di dalam tengkorak). Herniasi Otak merupakan pergeseran dari otak normal

melalui atau antar wilayah ke tempat lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi

dari efek massa baik dari tumor, trauma, atau infeksi.

7. Defisit neurologi

8. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, abses otak, meningitis, osteomeilitis).

9. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi yang menunjang berat badan).

10. Edema pulmonal


Edema paru dapat diakibatkan dari cedera pada otak yang mengakibatkan cedera pada

otak yang mengakibatkan reflex cushing.peningkatan pada tekanan darah sistemik

terjadi pada responsdari system saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan

vasokontriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih banyak aliran darah ke paru- paru.

Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan pada proses dengan

memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolis.

11. Kejang

Kejang terjadi kira- kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat harus

membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan spatel lidah dengan diberi

bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat

dalam jangkauan. Pagar tempat tidur harus tetap dipasang, dari bantalan pada pagar

engan bantal atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena

kejang. Selama kejang, perawat jangan pernah mencoba memaksakan apapun diantara

gigi atau membuka rahang. Pasien harus dimiringkan untuk memudahkan mengalirnya

sekresi atau mudah dihisap. Gerakan pasien harus di restrain hanya cukup untuk

mencegah memukul obyek, yang menyebabkan memer atau cedera.Satu-satunya

tindakan medis terhadap kejang adalah obat. Diazepam adalah obat yang paling banyak

digunakan dan diberikan secara perlahan melalui intra vena karena obat ini menekan

pernapasan maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus di pantau dengan

cermat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PASIEN CEDERA OTAK

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi traumatic (

edema fokal & difus, kontusio, hematoma intraserebral, hematoma intraventrikuler,

hematoma ekstraserebral, perdarahan subarachnoid,fraktur). Indikasi dilakukan CT


scan adalah : CT scan dilakukan pada semua cedera otak berat, penurunan GCS lebih

dari 1, lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis), luka tusuk/tembak, GCS di bawah 15

dan tidak membaik selama terapi konservatif, kejang, nyeri kepala/muntah,

bradikardi.(Samsuhidayat, 1997)

2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Pemeriksaan ini jarang digunakan untuk cedera otak karena kurang praktis dan

memiliki keterbatasan dalam deteksi perdarahan pada jam-jam pertama.(ATLS, 1997)

3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrkranial

11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan kesadaran
PENATALAKSANAAN PADA PASIEN CEDERA OTAK

Penanganan cedera otak sesuai dengan ATLS (Advanced trauma life support) yang

meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama:

Primary survey

1. Menilai “airway” jalan napas, buka jalan nafas (head tilt, chin lift, jaw trust) untuk

membebaskan jalan nafas demi menjamin petukaran udara adekuat, bersihkan jalan

napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal

segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat

ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napsa, maka pasien harus diintubasi.

2. Menilai “breathing” pernapasan, look-listen-feel, tentukan apakah pasien bernapas

spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen.

3. Menilai “circulation” sirkulasi, otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.

Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus

adanya cedera intraabdomen atau dada. Hentikan perdarahan dari luka terbuka. Pasang

alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah

vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisis

gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau

dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem aotak pasca cedera kepala.

Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.

4. Disability : monitoring GCS.

5. Environtment : berikan posisi in line position (cedera cervical).

6. Obati kejang, kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus

diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat


diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15

mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dnegan kecepatan tidak melebihi 50

mg/menit.

7. Menilai tingkat keparahan

Secondary Survey

a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dnegan stupor atau

koma (tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun) harus

diintubasi untuk proteksi jalan nafas

b. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan

hemodinamik (hipotensi atau hipertensi Karena auroregulasi sering terganggu pada

cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk

menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130mmHg). Hipotensi dapat

menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.

c. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8,

d. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau laruran ringer

laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan

dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi

edema serebri.

e. Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik,

dnegan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral

melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera

mungkin(biasanya hari ke-2 perawatan).


f. Temperatur badan: demam (temp > 101°F) mengeksaserbasi cedera otak dan

harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan

penyebab (antiboitik) diberikan bila perlu.

g. Antikejang : fenitoin 15-20 mg/kg BB bolus intravena, kemudian 300mg/hari

intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14%

menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin

tidak mencegah timbulnya epilepsi pasca traumadi kemudian hari. Jika pasien tidak

menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus

dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.

h. Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien cedera kepala

dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hipergilkemia dan komplikasi lain. Untuk itu,

steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut

(deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam).

i. Profilaksis trombosis vena dalam: sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada

pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada

ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5000

unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan

imobilisasi lama, bahkan dnegan adanya perdarahan intrakranial.

j. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati

memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin

50mg intravena setiap 8jam atau sukralfat 1g peroral setiap 6 jam atau H2 antagonis

lain atau inhibitor proton.

k. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dnegan

cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan pinisilin dapat mengurangi resiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau

udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dnegan organisme ayang

lebih virulen.

l. CT Scan lanjutan: umumnya, skan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah

cedera awal pada pasien dnegan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang

progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.

Kriteria KRS pada C edera Otak Ringan :

a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)

dalam batas normal

b. Foto servikal jelas normal

c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama,

dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala

perburukan

Kriteria perawatan di rumah sakit :

a. Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan

b. Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun

c. Adanya tanda atau gejala neurologis fokal

d. Intoksikasi obat atau alkohol

e. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

f. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA OTAK

A. Pengkajian

Focus pengkajian meliputi :

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,

agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,

hubungan klien dengan penanggung jawab.

1. Riwayat kesehatan :

Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala,

wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran

napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang

Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem

persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit

keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.

Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.

Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

2. Pemeriksaan fisik

BREATHING

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga

terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa

Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (
kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada

jalan napas.

BLOOD:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada

pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung

yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan

tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang

diselingi dengan bradikardia, disritmia).

BRAIN

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak

akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila

perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus

cranialis, maka dapat terjadi :

• Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,

pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

• Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan

sebagian lapang pandang, foto fobia.

• Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

• Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

• Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus

menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.


• Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu

sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan .

BLADER

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,

ketidakmampuan menahan miksi.

BOWEL

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin

proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)

dan terganggunya proses eliminasi alvi.

BONE

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang

lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau

ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya

hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula

terjadi penurunan tonus otot.

3. Pemeriksaan Diagnostik:

• CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan

ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

• Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran

jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

• X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis

(perdarahan / edema), fragmen tulang.


• Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

• Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan

tekanan intrakranial.

Prioritas perawatan:

1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak

2. mencegah komplikasi

3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.

4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga

5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan

rehabilitasi.

1. Keluhan Utama : Adanya perdarahan, pasien tidak sadarkan diri, dan GCS < 15

2. Riwayat penyakit : Tingkat kesadaran atau GCS < 15, konvulsi, muntah,

takipnea,sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala,akumulasi sekret

pada saluran pernafasan, dan kejang.

3. Lakukan Pemeriksaan Fisik secara umum :

a. Tingkat kesadaran : AVPU, GCS

b. Koordinasi gerakkan : Gerakan merupakan koordinasi aktifitas

neuromuskuloskletal. Pergerakan diatur oleh saraf cranial, oleh karena itu pengkajian

disarankan pada fungsi saraf cranial, yaitu :


• Gerakan mata dan lapangan pandang, menguji N. III, IV, VI

• Bicara dan ingesti(menggigit dan menelan), menguji N V, VII, IX, X, XII

• Mengatupkan graham, menguji N V

• Mengangkat alis, menguji N VII

• Mengucapkan “ah”, menguji reflek gag (IX, X

• Menjulurkan lidah (XII)

• Motorik bicara, artikulasi mee, bee(VII), ‘ia’(XII), ‘ka,ga’(IX,X), suara

parau/suara hidung(X)

c. Kekuatan otot tingkat kekuatan otot, sbb :

- Skala 0, kekuatan 0% ; paralisis total

- Skala 1, kekuatan 10% ; terlihat hanya kontraksi otot, tanpa gerakan

- Skala 2, kekuatan 25% ; gerakan otot menentang gravitasi, tanpa mencapai ROM

- Skala 3, kekuatan 50% ; gerakan otot menentang gravitasi, mencapai ROM,

tanpa tahanan

- Skala 4, kekuatan 75% ; gerakan otot menentang gravitasi, mencapai ROM,

dengan tahanan

- Skala 5, kekuatan 100% ; gerakan otot menetang gravitasi, mencapai ROM,

dengan tahanan penuh


d. Reflek, diuji dengan memberikan stimulus (input sensori kemudian diamati

responnya. Tidak ada respon menandakan adanya gangguan pada serabut sensorik,

reflek hiperaktif menandakan adanya lesi pada neuron motorik atas.

Skala tingkatan reflek adalah :

0 : tidak ada reflek

1 : reflek lemah

2 : Normal

3 : meningkat tetapi tidak patologis

4 ; hiperaktif

GCS

b. Refleks pupil

Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan refleks

cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah miosis bilateral.

c. Gerak bola mata :

- Oculocephalic (“doll’s eyes”)

- Oculovestibular (Calorics)

4. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.

2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan b.d peningkatan TIK/edema

otak sekunder terhadap perdarahan.


3. Pola nafas tak efektif atau ketidakmampuan mempertahankan pola nafas

spontan b.d depresi pusat pernafasan pada medulla oblongata sekunder terhadap

perdarahan intracranial/infark.

4. Resiko cedera (Injuri) b.d perubahan fungsi cerebral sekunder terhadap cedera

serebral.

5. Mual-muntah b.d deprsi pusat muntah pada medulla oblongata sekunder

terhadap perdarahan intracranial.

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kebutuhan metabolisme

berlebihan, ketidakmampuan menelan, kekacauan mental, agitasi, perubahan tingkat

kesadaran, atau depresi.

7. Nyeri akut b.d peningkatan TIK/edema serebri sekunder terhadap perdarahan

intracranial.

8. Resiko terhadap kerusakan jaringan kulit b.d imobilisasi/paresa/paralisis

sekunder terhadap perdarahan/infark.

9. Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan fungsi motorik otot bicara/iskemia

lobus temporal-frontal sekunder terhadap perdarahan/infark.

10. Perubahan eliminasi perkemihan yang b.d kehilangan kontrol volunter pada

kandung kemih, hipertontsitas, atau spasme kandung kemih.

11. Perubahan proses pikir b.d kerusakan neurologis.

5. Intervensi Keperawatan
Kriteria hasil/tujuan
Diagnosa keperawatan Intervensi keperawatan
pasien

Perubahan perfusi Mempertahanakan 1. Pertahankan patensi jalan


napas
jaringan serebral tingkat kesadaran
berhubungan dengan biasa atau membaik2. Posisikan kepala Head up 15
– 30 derajat
peningkatan TIK. dan fungsi
motorik/sensorik 3. Cegah pasien dari valsava
manuver
4. Pantau tingkat kesadaran dan
tanda- tanda vital
5. Pertahankan oksigenasi
6. Cegah pasien mengalami
hiperthermia ato hipothermia
7. Monitor BGA
8. Pasang restrain utk mencegah
cedera

1. Tirah baring
dgn elevasi kepala 15-
300
2. Batasi
rangsangan
Mempertahankan
3. Atasi
tingkat kesadaran hipertensi(dengan
Gangguan perfusi biasa/ perbaikan, kompres air hangat)
jaringan berhubungan kognisi, dan fungsi 4. Jaga
dengan b.d peningkatan motorik/sensori. keseimbangan masukan
dan luaran cairan pada
TIK/edema otak sekunder
normal rendah(1500-
terhadap perdarahan. 2000)
5. Motivasi untuk
menahan
batuk/muntah/mengejan
6. Petahankan
dower catheter
7. Pantau tanda
vital, peningkatan TIK
(gelisah, mual muntah)
8. Kaji reflek
cahaya dan besar pupil
9. Kaji GCS
10. Lakukan
tindakan
kolaboratif(beri O2,
pantau AGD, cegah
kejang, dll)

Pola nafas tak efektif atau Mempertahankan 1. Atur posisi dengan elevasi
kepala 15-300
ketidakmampuan pola pernapasan
mempertahankan pola normal/efektif, GDA2. Jaga kebersihan jalan nafas
nafas spontan b.d depresi dalam batas normal,3. Miringkan kepala pasien
pusat pernafasan pada bebas sianosis. saat muntah
medulla oblongata 4. Kaji pola nafas
sekunder terhadap
5. Kolaborasi ; pantau AGD
perdarahan (Analisa Gas Darah)
intracranial/infark.

Resiko cedera (Injuri) b.d Pasien tidak akan 1. Pasang pengaman tempat
tidur
perubahan fungsi cerebral menderita cedera
sekunder terhadap cedera selama kejang, 2. Kolaborasi dengan
keluarga untuk melakukan
serebral. agitasi, atau postur
pengawasan pada pasien
refleksi.
3. K/P lakukan restrain
4. Kurangi Rangsangan pada
pasien
5. Cegah gerakan
patologis/membahayakan
6. Jaga kebersihan dan
berikan perawatan kulit
7. Berikan perawatan mata

Mual-muntah b.d deprsi Pasien tidak mual- 1. Kurangi bau-bauan


pusat muntah pada muntah. 2. Batasi aktivitas
medulla oblongata 3. Latih nafas dalam
sekunder terhadap
4. Rawat mulut setelah
perdarahan intracranial
muntah
5. Batasi masukan cairan saat
makan
6. Makan makanan yang
dingin

7. Kurangi berbaring datar

Perubahan nutrisi kurang Mempertahankan 1. Kaji status nutrisi pasien


saat masuk rumah sakit.
dari kebutuhan tubuh: berat badan adekuat.
yang berhubungan dengan 2. Pertahankan masukkan
nutrisi melalui selang makan
kebutuhan metabolisme
atau NGT bila takmampu
berlebihan, untuk menelan.
ketidakmampuan menelan,
3. Kaji kemampuan untuk
kekacauan mental, agitasi,
menelan sebelum
perubahan tingkat memberikan makan: kaji
kesadaran, atau depresi. refleksi menelan dengan
mempalpasi tonjolan tiroid
pada gerakan ke atas;
observasi gerakan lidah dan
bibir.
4. Posisi pasien duduk tegak
untuk memungkinkan
masukan oral.
5. Kaji reflek batuk sebelum
memulai masukan oral.
6. Mulailah memberikan
makan per oral dengan
makanan padat jernih seperti
gelatin atau agar-agar dan
beritahu prosesnya.
7. Gunakan jumlah sedikit,
misal 5 ml.
8. Setelah makan, periksa
kembali rongga mulut
makanan yang tertinggal.
9. Hentikan latihan menelen
jika terjadi batuk atau
aspirasi.
10. Pantau hasil sinar x dada
terhadap pneumonia aspirasi,
khususnya lobus kanan
bawah.

Nyeri akut b.d Nyeri berkurang atau1. Turunkan ansietas


peningkatan TIK/edema hilang. 2. Kolaborasi pemberian
serebri sekunder terhadap analgetik
perdarahan intracranial.

Resiko terhadap kerusakan Kulit menjadi halus 1. Ubah posisi minimal tiap 2
jam
jaringan kulit b.d kembali tanpa ada
imobilisasi/paresa/paralisis kerusakan jaringan, 2. Jaga kebersihan kulit dan
lingkungan
sekunder terhadap tidak terjadi
perdarahan/infark. dekubitus. 3. Lakukan masase pada
daerah yang tertekan dengan
minyak kelapa

Kerusakan komunikasi Pasien dapat 1. Gunakan bahasa


lisan/tulisan
verbal b.d kerusakan berkomunikasi
fungsi motorik otot 2.
kembali dengan baik. Anjurkan untuk menarik
nafas dalam sebelum bicara
bicara/iskemia lobus
temporal-frontal sekunder 3. Latihan seperti meniup
terhadap lilin/bersiul
perdarahan/infark.

Perubahan eliminasi Mempertahankan 1. Kaji pengeluaran urine


terhadap jumlah, kualitas,
perkemihan yang haluaran urine dan berat jenis.
berhubungan dengan adekuat, tanpa
2. Periksa residu kandung
kehilangan kontrol retensi urine.
kemih stelah berkemih.
volunter pada kandung
kemih, hipertontsitas, atau 3. Jika setelah berkemih
residu urine >200ml.
spasme kandung kemih.
4. Catatlah masukan dan
haluaran.
5. Jika kateter intermiten
digunakan (4-8 jam)
,pertahanan teknik steril
selama prosedur.
6. Penampungan urine
eksternal mencegah infeksi
saluran kemih.
7. Pasien kacau mental atau
lupa mendapatkan
keuntungan dari pemberian
bedpan/ urinal yang sering.
8. Jika kateter suprapubik di
gunakan,bersihkan sisi
kateter setiap 8 jam dan
pernafasan serta kantung
drainase kosong setiap 4-8
jam dan pernafasan.
9. Kaji suhu tubuh,
peningkatan SDP, dan
turbiditas urine sebagai tanda
infeksi.

Perubahan proses pikir Pasien akan 1. Kontrol rangsangan pada


lingkungan pasien.
b.d kerusakan neurologis. berespons terhadap
rangasangan secara 2. Kaji respons terhadap
rangsangan yang terkontrol.
tepat.
3. Hindari pemberian sebutan
terhadap respons yang tidak
sesuai (mis. Bermusuhan,
apatis, marah, menerik diri).
4. Jika pasien letargik,
tambahkan rangsangan pada
lingkungan (radio, tape).
5. Jika pasien agitasi, kurangi
rangsangan lingkungan.

You might also like