You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa penguasaan konsep fisika siswa masih sangat
rendah. Guru lebih condong memberikan materi fisika berupa rumus-rumus praktis tanpa
memberikan konsep-konsep fisika yang terkait. Itu sebabnya siswa hanya mempelajari
fisika dengan menghafal rumus fisika tanpa memahami konsepnya bahkan penerapannya
di lingkungan sehari-hari. Padahal fisika sangat erat kaitannya dengan keseharian siswa.
Depdiknas (2002: 2) mendefinisikan:
Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran sains yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir analitis deduktif dengan menggunakan berbagai
peristiwa alam dan penyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif
dengan menggunakan matematika serta dapat mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap percaya diri.
Untuk memperoleh hasil belajar yang baik dalam fisika, siswa seharusnya dapat
mengembangkan kemampuan berpikirnya dan tidak hanya sekedar menghafal pelajaran,
tetapi dalam pembelajaran siswa mampu memahami konsep-konsep yang diajarkan
sehingga siswa dapat memecahkan dan mencari solusi dari suatu.
Menurut Eggen, sebagaimana dikutip oleh Ain (2011) menyatakan bahwa
pemahaman terhadap konsep dapat menjadikan berbagai tuntutan pemikiran seperti
mengingat, menjelaskan, menemukan fakta, menyebutkan contoh, menggeneralisasi,
menerapkan, dan menganalogikan, dan menyatakan konsep baru dengan cara lain.
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
menyebutkan bahwa pelajaran fisika selain memberikan bekal ilmu kepada peserta didik,
juga digunakan sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir logis, kritis,
kreatif dan inovatif yang bermanfaat untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari (Ain,2013). Berdasarkan uraian diatas sangat jelas bahwa pembelajaran fisika
disiapkan untuk membentuk sikap ilmiah anak, kemandirian anak, dan rasa percaya diri
dalam mengambil keputusan.
Fisika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang pada dasarnya
bertujuan untuk mempelajari dan mengerti pemahaman kuantitatif terhadap berbagai
gejala atau proses alam dan sifat zat serta penerapannya. Disamping itu semua proses
fisika ternyata dapat dipahami melalui sejumlah gejala alam yang bersifat dasar. Hukum

1
alam itu sendiri dapat dipelajari dengan berbagai metode pembelajaran, salah satunya
adalah pembelajaran berbasis lingkungan.
Fisika dibutuhkan untuk mempelajari fenomena alam yang menuntut kemampuan
berpikir sehingga percobaan fisika di sekolah penting dilakukan oleh siswa untuk dapat
memahami prinsip dan konsep fisika. Siswa diharapkan tidak hanya mempelajari tentang
konsep, teori, dan fakta ilmiah dalam diskusi di kelas tetapi juga dapat memahami
aplikasi konsep fisika tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya banyak
siswa yang mampu menguasai materi fisika namun mereka belum bisa memahami
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka dapat dibuat rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pemahaman konsep Fisika kelas X SMA pada materi vektor?
2. Apa saja miskonsepsi yang dering dialami siswa dalam pelajaran Fisika pada materi
vektor?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka dapat dibuat tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemahaman konsep Fisika kelas X SMA pada materi vektor
2. Untuk mengetahui apa saja miskonsepsi yang dering dialami siswa dalam pelajaran
Fisika pada materi vektor

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakekat Fisika


Suparno (2009: 75-76) mengemukakan hakekat fisika sebagai berikut:
1. IPA, termasuk di dalamnya Fisika, bukan hanya berisi tentang pengetahuan,
melainkan juga proses penemuan.
2. Fisika mendasari perkembangan teknologi dan juga konsep hidup harmonis dengan
alam.
3. Beberapa alasan mengapa Fisika perlu diajarkan di SMA/MA sebagai mata
pelajaran tersendiri, antara lain sebagai berikut:
a. Fisika mampu menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna dalam
pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.
b. Memberikan bekal pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan yang
diperlukan di perguruan tinggi dan pengembangan ilmu serta teknologi.
c. Pelajaran Fisika perlu dilaksanakan secara inkuiri ilmiah agar menumbuhkan
kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah dalam hidup.

Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa fisika merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari gejala-gejala alam, perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya,
serta pengalaman disekitar kita.

2.2 Pemahaman, konsep dan pemahaman konsep


1. Pemahaman
Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya mengerti benar dalam suatu hal.
Pemahaman merupakan proses perbuatan, cara memahami (KBBI,1990). Sementara itu,
menurut Anas Sudijono (1996:50) pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti, mengetahui atau memahami sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi.
Siswa dikatakan paham jika mampu memberikan penjelasan atau uraian yang lebih rinci
dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan
berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan.

3
2. Konsep
Konsep memiliki pengertian berbeda dari tiap ahli. Berikut beberapa pengertian
konsep menurut ahli dalam Santyasa ( 2006:9):
a. Menurut Breg
Konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah
komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir.
b. Menurut Rosser Dahar (1989)
konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-
kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-
atribut yang sama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah abstraksi dari
ciri-ciri sesuatu untuk mempermudah komunikasi antara manusia serta mampu
mendorong manusia untuk berpikir.

3. Pemahaman konsep
Satu tujuan belajar mengajar adalah usaha agar siswa memahami konsep.
Beberapa indikator yang menunjukan pemahaman seseorang akan suatu konsep
menurut Budi (2009:114) antara lain:
a. Dapat menyatakan pengertian konsep dalam bentuk definisi menggunakan kalimat
sendiri;
b. Dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain;
c. Dapat menganalisis hubungan antar konsep dalam suatu hukum;
d. Dapat menerapkan suatu konsep untuk:
1)Menganalisis dan menjelaskan gejala-gejala alam khusus;
2)Untuk memecahkan masalah fisika baik secara teoritis maupun secara praktis;
3)Mempredikisi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada suatu
sistem bila kondisi tertentu dipenuhi.
e. Dapat mempelajari konsep lain yang berkaitan dengan lebih cepat;
f. Dapat membedakan konsep yang satu dengan konsep lain yang saling berkaitan;
g. Dapat membedakan konsepsi yang benar dengan konsepsi yang salah, dan dapat
membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam suatu pokok bahasan.

4
2.3 Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika
Novak (1984 : 20) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-
konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Suparno (1998 : 95) memandang
miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang
salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan
hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Dari pengertian di atas miskonsepsi
dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau
pengertian yang diterima oleh para ilmuwan. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi
siswa yang tidak cocok dengan konsepsi para ilmuwan, hanya dapat diterima dalam kasus-
kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi.
Konsepsi tersebut pada umumnya dibangun berdasarkan akal sehat (common sense) atau
dibangun secara intuitif dalam upaya memberi makna terhadap dunia pengalaman mereka
sehari-hari dan hanya merupakan eksplanasi pragmatis terhadap dunia realita. Miskonsepsi
siswa mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang pendidikan
sebelumnya
Penyebab dari resistennya sebuah miskonsepsi karena setiap orang membangun
pengetahuan persis dengan pengalamannya. Sekali kita telah membangun pengetahuan,
maka tidak mudah untuk memberi tahu bahwa hal tersebut salah dengan jalan hanya
memberi tahu untuk mengubah miskonsepsi itu. Jadi cara untuk mengubah miskonsepsi
adalah dengan jalan mengkonstruksi konsep baru yang lebih cocok untuk menjelaskan
pengalaman kita (Bodner, 1986 : 14). Sejumlah miskonsepsi sangatlah bersifat resistan,
walaupun telah diusahakan untuk menyangkalnya dengan penalaran yang logis dengan
menunjukkan perbedaannya dengan pengamatan-pengamatan sebenarnya, yang diperoleh
dari peragaan dan percobaan yang dirancang khusus untuk maksud itu. Jumlah siswa yang
berpegang terus pada miskonsepsi cenderung menurun dengan bertambahnya umur mereka
dan makin tingginya strata pendidikan mereka. Keterampilan siswa dalam mengubah-ubah
bentuk matematis rumus-rumus yang menyatakan hukum-hukum fisika dan kelincahan
mereka dalam menggunakan rumus untuk memecahkan soal-soal kuantitatif dapat
menyembunyikan miskonsepsi mereka tentang hukum-hukum itu. Belum tentu mereka
dapat menyembunyikan hukum-hukum itu secara kualitatif, seperti misalnya besaran mana
yang merupakan sebab dan besaran mana yang merupakan akibat pada penerapan hukum
Ohm (Wilarjo, 1998 : 55).
Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut paradigma konstruktivis, dalam pikiran setiap
orang terdapat skemata. Melalui skemata itu ia mampu membangun gambaran mental

5
tentang gejala-gejala yang dialaminya. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa
yang tidak cocok dengan konsepsi yang benar, hanya dapat ditemukan dalam kasus-kasus
tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi.
Miskonsepsi akan terbentuk bila gambaran mental seseorang tidak sesuai dengan konsepsi
seorang ilmuwan. Suatu miskonsepsi muncul bila gambaran tersebut dibayangkan secara
intuitif oleh seseorang atas dasar pengalaman sehari-harinya. Dalam menangani
miskonsepsi yang dipunyai siswa, kiranya perlu diketahui lebih dahulu konsep-konsep
alternatif apa saja yang dipunyai siswa dan dari mana mereka mendapatkannya. Dengan
demikian kita dapat memikirkan bagaimana
mengatasinya. Diperlukan cara-cara mengidentifikasi atau mendeteksi salah pengertian
tersebut yaitu melalui peta konsep, tes essai, interview klinis dan diskusi kelas.
Miskonsepsi sangatlah resisten dalam pembelajaran bila tidak diperhatikan dengan
seksama oleh guru. Di bawah ini diberikan beberapa contoh miskonsepsi yang
sering dijumpai pada siswa.
Gerak
Banyak siswa juga punya salah pengertian tentang percepatan gravitasi.
Kebanyakan siswa secara spontan mengatakan bahwa sebuah benda yang lebih berat
akan jatuh lebih cepat daripada benda yang ringan pada peristiwa gerak jatuh bebas.
Beberapa siswa malah masih menganggap bahwa bola besi dan bola plastik yang
dijatuhkan bebas dari ketinggian yang sama akan sampai di tanah dalam waktu yang
berbeda karena bola besi akan jatuh lebih cepat dari bola plastik. Padahal menurut
prinsip fisika, kedua benda itu akan jatuh dengan percepatan yang sama dan waktu yang
ditempuh sampai ke lantai juga sama (bila tidak ada unsur lain yang mempengaruhi).
Cukup banyak siswa juga berpikir bahwa jika dua benda bergerak dalam waktu dan
percepatan yang sama, mereka akan punya jarak tempuh sama pula. Mereka lupa bahwa
kecepatan awal perlu diperhitungkan karena unsur itu yang membuat jaraknya berbeda.
Menurut beberapa penelitian, salah pengertian terbanyak terjadi pada gerak parabola.
Siswa masih sulit menangkap mengapa kecepatan pada puncak suatu projektil adalah
nol, meski percepatannya tidak nol. Mereka berpikir bahwa jika kecepatan itu nol,
percepatannnya juga harus nol.
Gaya, massa, dan berat
Banyak siswa bingung dengan konsep dari gaya, massa dan berat. Dalam
fisika, berat (G) adalah suatu gaya (F) dan punya unit newton; sedangkan massa (m)
punya satuan kilogram, dan ini bukan gaya. Namun, banyak siswa menuliskan bahwa

6
berat adalah suatu massa dan punya satuan kilogram. Beberapa siswa menghubungkan
gaya dengan suatu aksi dan gerak. Maka mereka menangkap bahwa jika tidak ada suatu
gaya, tidak akan ada suatu gerakan. Akibatnya, mereka berpikir bahwa bila tidak ada
gerak sama sekali, juga tidak ada
gaya. Misalnya, jika seorang mendorong suatu kereta dan kereta itu bergerak, siswa
mengatakan ada suatu gaya bekerja pada kereta itu. Namun, bila kereta itu tidak
bergerak, mereka mengatakan bahwa tidak ada gaya pada kereta tersebut, meski orang
itu mendorong kereta dengan energi yang besar. Dalam fisika, meski kereta tidak
bergerak, tetap ada gaya yang bekerja padanya.
Kerja, kekekalan energi dan momentum
Dalam fisika, kerja (W) sama dengan gaya (F) kali jarak (S) (W = F.S). Jika suatu
gaya (F) bekerja pada suatu objek dan objek itu tidak bergerak dalam suatu jarak tertentu
(S), maka tidak ada kerja (W). Di sini beberapa siswa berpikir bahwa di situ ada kerja
(W). Mereka sulit mengerti mengapa jika seseorang mendorong suatu kereta dengan
banyak energi, ia tidak membuat kerja. Mereka berpikir bahwa jika seseorang membuat
aktivitas dengan suatu energi ia membuat suatu kerja, gagasan ini bertentangan dengan
prinsip fisika yang diterima. Beberapa siswa mengalami kesulitan untuk memahami
konsep kekekalan energi. Mereka mengalami dalam hidup mereka bahwa jika mereka
mengendarai mobil atau sepeda motor cukup lama, bensinnya akan habis. Jika mereka
bekerja giat, mereka akan lelah kehabisan tenaga. “Bagaimana mungkin dapat dikatakan
bahwa energinya tetap/kekal?" demikian mereka menyangsikan. Beberapa siswa
mengatakan bahwa jika dua kereta dengan kecepatan yang sama tetapi arahnya
berlawanan bertumbukan, mereka akan berhenti karena kecepatan totalnya menjadi nol.
Mereka lupa bahwa kekekalan momentum membutuhkan resultan momentum ( mv) =
0. Maka jika massanya berbeda, mereka tidak akan berhenti langsung.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan:
1. Pemahaman konsep merupakan kemampuan untuk mengetahui suatu abstraksi untuk
mempermudah mengeetahui informasi.
2. Miskonsepsi siswa mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang
pendidikan sebelumnya.
3. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi
para ilmuwan, hanya dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk
kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi.

3.2 Saran
Sebagai calon seorang guru, kita dituntut untuk bisa menciptakan inovasi dan kreatif
dalam belajar, membangkitkan semangat dan rasa percaya diri siswa. Jangan pernah
mengejek siswa jika dia salah, melainkan siswa tersebut harus semakin didorong agar tetap
percaya diri dan bisa memperbaiki kesalahan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Ma’rifa, Kamaludin dan Fihrin. Analisis Pemahaman Konsep Gerak Lurus Pada Siswa
SMA Negeri Di Kota Palu . Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 4 No.
3

Matondang, Zulkifli. (2009). Validitas dan reabilitas suatu instrument penelitian, jurnal
tabularasa, volume 6, nomor 1

Murni, dewi. (2013). Identifikasi Miskonsepsi Mahasiswa Pada Konsep Substansi


Genetika Menggunakan CRI. Semirata 2013: FMIPA UNILA Hal.206

Permana, Iwan. (2013). Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran Fisika
Melalui CRI (Certainty of Response Index) Termodifikasi. Jurnal Laporan Lemlit
UIN, Hal. 4

Pujianto, nurjannah, dan Darmadi. Analisis Konsepsi Siswa Pada Konsep Kinematika
Gerak Lurus. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 1 No. 1

You might also like