You are on page 1of 14

ANATOMI FISIOLOGI

1. Anatomi Kepala
a. Kulit kapala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,
pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang
dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena
emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala
sampai dalam tengkorak (intracranial) trauma dapat menyebabkan
abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi.
b. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar
tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang
tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk
garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam)
atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan
tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang
dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan
dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia
meningia anterior, indra dan prosterion. Perdarahan pada arteria-
arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang
epidural.
c. Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan
diameter.
1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak
elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter
robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter
:
a) Melindungi otak
b) Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan
lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler )
c) Membentuk periosteum tabula interna.
2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak
menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdapat
ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan
subdural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas
untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang
melewati subdural mempunya sedikit jaringan penyokong
sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala.
3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan
pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan
membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya
menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi
medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel
dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong
dari pleksus foroideus pada setiap ventrikel.
Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang
subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat
tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada
kedalam system vena.
d. Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak
yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
1) Efek langsung trauma pada fungsi otak,
2) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otak yang bereaksi terhadap
trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia
luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan
otak keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang
berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan
karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka
edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga
tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial).
e. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak
pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi
pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan
otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2
tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan
keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena
keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya
peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubahan pada
volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik.
Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak
(Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
A. PENGERTIAN
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari
otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).

B. ETIOLOGI
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak,
efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan
oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.

C. Patofisiologi
Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, yang
menyebabkan cidera kulit kepala, tulang kepala,jaringan otak, baik terpisah
maupun seluruhnya.Cidera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai
gegar otak, luka terbuka dari tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada
otak, bisa berasal dari trauma langsung maupun tidak langsung pada
kepala.Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau
kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma
langsung bila kepala langsung terbuka, semua itu akibat terjadinya
akselerasi, deselerasi, dan pembentukan rongga, dilepaskannya gas
merusak jaringan syaraf.Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya. Kerusakan itu bisa terjadi seketika atau menyusul
rusaknya otak oleh kompresi ,goresan ,atau tekanan.Cidera yang terjadi
waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansia alba, cidera robekan, atau hemmorarghi.Sebagai akibat, cidera
skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral dikurangi
atau tidak ada pada area cidera, konsekuensinya meliputi hiperemia
(peningkatan volume darah, peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, tekanan intracranial) (Huddak&Gallo,2010).
Pathway
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Ritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

E. Komplikasi
Komplikasi lain secara traumatik:
1. Infeksi sistemik ( pneumonia, ISK, sepsis )
2. Infeksi bedah neurologi ( infeksi luka, osteomyelitis, meningitis,
ventikulitis, abses otak )
3. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi.

Komplikasi lain:

1. Peningkatan TIK
Tanda-tanda peningkatan TIK
1) Nyeri kepala.
2) Muntah.
3) Penurunan tingkat kesadaran.
4) Perbedaan ukuran pupil; melambatnya reaksi terhadap cahaya.
5) Penekanan tekanan darah.
6) Melambatnya nadi.
7) Kelemahan anggota badan.
8) Munculnya respon plantar.
2. Hemorarghi

Klasifikasi perdarahan

kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinik


I 15% (Ringan) Tekanan darah dan nadi normal
Tes tilt (+)
II 20-25% (Sedang) Takikardi-takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler lambat
III 30-35% (Berat) Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah
Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
IV 40-45% (Sangat Berat) Hipertensi berat
Hanya nadi karotis yang teraba
Syok ireversibel

( Sumber : Rustam, 2012 )

3. Kegagalan nafas

Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat


sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon
dioksida arteri), dan asidosis.

4. Diseksi ekstrakranial

Diseksi ekstrakranial arteri karotis dapat timbul secara spontan atau


akibat dari trauma. Spontan mungkin disebabkan oleh vaskulopati yang
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Sedangkan trauma
dapat timbul karena mengangkat beban berat, batuk, mengejan atau
akibat tindakan medik.
F. Klasifikasi cedera kepala

Cedera kepala dapat di klasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara


praktis cedera kepala dapat di klasifikasikan berdasarkan : mekanisme,
beratnya, dan morfologi kepala.

Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanisme cedera kepala di bagi atas :

a. Cedera kepala tumpul, dapat terjadi


a. Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil-motor.
b. Kecepatan rendah, biasanya di sebabkan jatuh dari ketinggian atau di
pukul dengan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus
Disebabkan oleh :
a. Cedera peluru
b. Cedera tusukan

Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera


termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

c. Beratmnya cedera kepala


Glasgow coma scale ( GCS ) di gunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan di pakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen
diantaranya respon membuka mata, respon motorik, dan respon verbal.

Respon membuka mata Skor


Membuka mata spontan 4
Buka mata apabila ada rangsangan 3
suara atau sentuhan ringan
Membuka mata apabila ada 2
rangsangan nyeri
Tidak ada respon sama sekali 1
Respon motoric skor

Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Respon verbal skor
Orientasi baik 5
Kebingungan ( tidak mampu 4
berkomunikasi )
Hanya ada kata-kata tapi tidak 3
berbentuk kalimat (teriakan)
Hanya asal bersuara atau berupa 2
erangan
Tidak ada respon sama sekali 1

Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala di bagi atas :

1. Cedera kepala ringan : 14 – 15


2. Cedera kepala sedang : 9 – 13
3. Cedera kepala berat : 3 – 8
d. Morfologi cedera kepala

Secara morfologi cedera kepala di bagi atas :

1. Fraktur kranium.
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak.
Dibagi atas :
a. Fraktur kalvaria :
1) Bisa berbentuk garis atau bidang
2) Depresi atau non depresi
3) Terbuka atau tertutup
b. Fraktur dasar tengkorak :
1) Dengan atau tanpa kebocoran cerebrospinal fluid ( CSF )
2) Dengan atau tanpa paresis N.VII.
2. Lesi intrakranium.
Dapat di golongkan menjadi :
Lesi fokal :
1) Perdarahan epidural
2) Perdarahan subdural
3) Perdarahan intraserebral
Lesi difus :
1) Komosio ringan
2) Komosio klasik
3) Cedera akson difus

( Sumber : eprints.undip.ac.id )

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa
gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010)
H. Penatalaksanaan Medis
Menurut Mansjur (2009), penatalaksanaan cedera kepala berat adalah :
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan segera pada
pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan
cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan di unit rawat intensif.
Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat
cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi kerusakan otaksekunder
akibat hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.

Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut :

1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi


2. Monitor tekanan darah
3. Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.
4. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan ringer
laktat)
5. Nutrisi
6. Temperatur badan
7. Anti kejang fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena
8. Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam selama 48 – 72
jam
9. Antibiotik
10. Pemeriksaan
11. Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus
dilakukan pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya untuk
kepentingan medikolegal.
12. Pembedahan
terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial
yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasikan ke bedah
saraf untuk tindakan operasi.
I. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
a. ANAMNESIS
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin ( banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan
dengan motor tanpa pengaman helm ), pedidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi alasan
klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari
seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada
saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang. Adanya penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga
yang mengantar klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan
obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada
beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.

c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung ,anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,
konsumsi alkohol berlebih.
d. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi
dan diabetes melitus.

2. Pengkajian Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat bergguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (
B1-B6 ).Keadaan Umum,pada keadaan cedera otak umumnya mengalami
penurunan kesadran ( cedera otak ringan GCS 13-15, cedera otak sedang
GCS 9-12, cedera otak berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan pada tanda-
tanda vital.

a. B1 ( Breathing )
Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral akibat trauma kepala. Akan didapatkan hasil:
a) Inspeksi : Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernafasan.
b) Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
c) Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thoraks.
d) Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi
pada klein dengan pengingkatan produksi sekret dan kemampuan
batuak yang menuurn sering didapatkan pada klien cedera kepala
dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya
klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi
stabil pada klien dengan cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi
pernafasan.
b. B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering
terjadi pada klien cedera otak sedang sampa cedera otak berat. Dapat
ditemukan tekanan darah normal atau berubah, bradikardi, takikardi, dan
aritmia.
c. B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma. Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan
GCS.
d. B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran, jumlah, dan karakteristik. Penurunan
jumlah urine dan peningkatan retensi urine dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami
inkontinensia urinw karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena
kerusakan kontrol motorik dan postural.
e. B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan
adanya peningkatan produksi asam lambung. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
f. B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. ( Arif
Muttaqin, 2008 )
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d edema serebral
2. Nyeri akut b.d tindakan invasife
3. Kerusakan integritas kulit b.d trauma
4. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan dan daya tahan tubuh
5. Deficit perawatan diri b.d penurunan kesadaran
6. Resiko infeksi faktor infeksi trauma tindakan invasife

You might also like