You are on page 1of 13

TUGAS MANDIRI

TREND BEROBAT KELUAR NEGERI

Oleh:
Ni Made Putri A
1702011099

MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
HELVETIA MEDAN
TAHUN 2018
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, perkembangan rumah sakit di Indonesia


semakin membaik. Tidak hanya rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit-rumah
sakit pengelolaan swasta pun semakin berkembang pesat. Hal ini tidak pelak
membawa perubahan terutama dari segi tingkat pelayanan dan ketersediaan sarana
medis yang lebih baik.
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas kesehatan merupakan sumber daya
kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui “Visi Indonesia sehat
2010”. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai
karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks, berbagai jenis kegiatan dan
jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam, berinteraksi
satu sama lain menjadi sebuah aturan yang harus dijalankan.

Isu globalisasi mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar akan semakin didominasi


oleh perusahaan atau organisasi yang mampu memberikan pelayanan atau
menghasilkan produk unggulan yang memiliki daya saing tinggi dalam
memanfaatkan peluang pasar, keadaan ini berlaku pula bagi perumahsakitan.
Rumah sakit secara keseluruhan dapat dianggap sebagai suatu korporasi yang
mempunyai barbagai unit bisnis strategis. Unit bisnis strategis inilah yang
dipergunakan langsung oleh masyarakat, dinilai dan mempunyai akuntabilitas.
PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Industri Rumah Sakit Indonesia

Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin meningkat


seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan derajat kesehatan
masyarakat. Dalam beberapa tahun belakangan ini, industri rumah sakit
Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti dengan
diterbitkannya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang bertujuan
untuk mendorong investasi dan menciptakan kondisi bisnis dan jasa rumah
sakit yang lebih baik. Terbukti, tidak hanya pemerintah yang memang
berkewajiban menyediakan jasa layanan kesehatan kepada masyarakat, para
pelaku bisnis pun kini semakin aktif berinvestasi di industri rumah sakit
Indonesia. Hal ini lah yang menjadi pendorong bermunculannya berbagai
rumah sakit swasta baru dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini.

Namun demikian, perkembangan ini tentunya bukanlah tanpa kendala.


berbagai masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia, penyebaran rumah
sakit yang tidak merata, keluhan mahalnya biaya berobat, hingga masalah-
masalah operasional yang kemudian berbuntut timbulnya perseteruan antara pihak
rumah sakit dengan pasien yang tidak puas kerap muncul di berbagai media cetak
maupun elektronik.
2. Potensi Pasar Kesehatan Dan Ekspetasi Masyarakat Terhadap Layanan
Rumah Sakit

Pada tahun 2008, jumlah rumah sakit di Indonesia mencapai 1.320


rumah sakit (Depkes, 2009), atau bertambah sebanyak 86 rumah sakit dari
posisi tahun 2003. Dari total 1.320 rumah sakit ini, 657 diantaranya adalah
milik swasta dengan rata-rata pertumbuhan jumlah rumah sakit per tahun
sekitar 1,14%. Sisanya merupakan rumah sakit yang dibangun oleh pemerintah
(Depkes, Pemprov/Pemkab/Pemkot, TNI/Polri, dan BUMN).

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Rumah Sakit di Indonesia, 2003-2008


(Sumber Depkes)

No. Pengelola/Kepemilikan 2003 2004 2005 2006 2007 2008


1. Dep. Kesehatan 31 31 31 31 31 31
2. Pemerintah 396 404 421 433 446 446
Propinsi/Kab/Kot
a
3. TNI/Polri 112 112 112 112 112 112
4. BUMN/Dep. Lain 78 78 78 78 78 78
5. Swasta 617 621 626 638 652 653
Total 1.234 1.246 1.268 1.292 1.319 3.1

Khusus untuk rumah sakit swasta, tidak sedikit dari rumah sakit yang
baru dibangun belakangan ini meng-klaim sebagai rumah sakit berstandar
internasional. Rumah sakit semacam ini umumnya dilengkapi dengan berbagai
peralatan medis canggih terbaru dan fasilitas bak hotel mewah serta berlokasi
di
kawasan-kawasan elit perkotaan. Tidak dapat dipungkiri, masuknya investor
swasta, perkembangan populasi kelas menengah atas, membaiknya tingkat
pendapatan per-kapita, dan semakin kritisnya masyarakat dalam menjaga
kesehatan dan memilih tempat untuk berobat menjadi salah satu alasan
peningkatan trend pembangunan rumah sakit kelas atas ini.
Besarnya potensi pengembangan rumah sakit di Indonesia dapat
ditunjukkan dari masih tingginya tingkat kebutuhan akan jasa layanan
kesehatan yang dapat diukur dari derajat kesehatan masyarakat. Umumnya,
derajat kesehatan masyarakat ini diukur dengan beberapa indikator mortalitas
seperti Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA),
Angka Kematian Ibu Maternal (AKI), Angka Kematian Kasar (AKK), dan
Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (UHH). Secara umum, indikator-indikator
tersebut telah membaik dari tahun ke tahun, namun angkanya masih cukup
tinggi yang menunjukkan masih relatif rendahnya derajat kesehatan
masyarakat.

Grafik 1.1 Perkembangan Derajat Kesehatan


Masyarakat, 1996-2007 (Sumber
Depkes)
Lebih jauh lagi, potensi kebutuhan rumah sakit di Indonesia dapat
ditunjukkan dari masih rendahnya rasio tempat tidur rumah sakit dibandingkan
dengan jumlah penduduk. Apabila jumlah tempat tidur rumah sakit di
Indonesia mencapai 143 ribu sementara populasi Indonesia mencapai 226 juta
(Depkes, 2008), maka perbandingannya adalah sekitar 1: 1.580. Angka ini
masih jauh dari rasio ideal yang 1:500. Untuk mencapai rasio ideal tersebut
dibutuhkan sedikitnya 451 ribu tempat tidur, dan apabila sebuah rumah sakit
memiliki kapasitas rata-rata 200 tempat tidur, maka akan dibutuhkan sedikitnya
2.250 rumah sakit. Bandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini yang hanya
memiliki
1.320 rumah sakit. Sebagai perbandingan, rasio tempat tidur rumah sakit per-
penduduk di Jepang sudah mencapai 1:74 pada tahun 2004, sementara di
Malaysia juga sudah mencapai kisaran 1:500. Kondisi ini menunjukkan masih
besarnya potensi pengembangan dan pemanfaatan rumah sakit di Indonesia.
Sedangkan bila dilihat dari lokasi geografisnya, pengembangan rumah
sakit di Indonesia saat ini hanya terkonsentrasi di pulau Jawa. Sekitar 50% dari
total rumah sakit di Indonesia berlokasi di pulau Jawa dengan konsentrasi
tertinggi terdapat di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI
Jakarta (Depkes, 2008). Dari angka tersebut, sekitar 39%-nya merupakan milik
swasta. Propinsi lain di luar pulau Jawa yang juga memiliki rumah sakit cukup
banyak adalah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
Untuk jumlah pasien, pada tahun 2005 jumlah pasien rumah sakit swasta tercatat
mencapai 2,4 juta pasien. Angka ini diproyeksikan akan mencapai 3,5 juta pasien pada
tahun 2010, dengan laju pertumbuhan mencapai 7% per tahun. Profil kesehatan Indonesia
2007 di dalam buku “Manajemen Pemasaran untuk Rumah Sakit” menyebutkan bahwa
sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 terjadi fluktuasi Bed Occupancy Rate (BOR)
rumah sakit di Indonesia (khususnya rumah sakit pemerintah) yaitu 56% pada tahun 2003
turun menjadi 55% pada tahun 2004, dan sampai pada tahun 2006 berikutnya naik menjadi
57%. Sedangkan menurut standar Persentase itu sebetulnya masih di bawah angka BOR
ideal menurut Depkes, yaitu 60-85%.

Salah satu kendala utama dalam bisnis rumah sakit swasta adalah kurangnya sumber
daya kesehatan yang berkualitas dan memadai. Sebagai contoh, sekitar 80% dari dokter
spesialis yang bekerja di rumah sakit swasta saat ini juga merangkap bekerja di rumah
sakit milik pemerintah. Hal ini disinyalir sebagai akibat masih relatif langkanya
keberadaan para dokter spesialis ini, padahal kebutuhan akan jasa mereka sangat tinggi. Di
samping itu, ketersediaan sumber daya manusia kesehatan saat ini juga sangat
terkonsentrasi di pulau Jawa saja, sehingga dapat menjadi penghalang bagi pengembangan
rumah sakit di luar pulau Jawa. Namun demikian, pemerintah saat ini telah membuka
peluang bagi tenaga medis ahli dari luar negeri untuk berkarir di Indonesia sehingga
diharapkan sedikit banyak dapat mengurangi faktor kelangkaan sumber daya manusia.
3. Perubahan Paradigma Dalam Dunia Kesehatan

Industri rumah sakit saat ini mengalami perubahan paradigma yang


mempengaruhi kompetitif pemain di industri tersebut, peneliti menemukan
beberapa perubahan paradigma yaitu paradigma sehat, paradigma pengelolaan
rumah sakit dari sosial menjadi bisnis, dan kemajuan teknologi yang pesat
mempengaruhi kepuasan pelanggan dan di sisi lain mengakibatkan rumah sakit
berorientasi untuk mendapatkan tingkat pengembalian hasil dari investasi yang
ditanamkan.

4. Rumah Sakit Sebagai Badan Usaha

Masalah besarnya nilai investasi juga sering menjadi kendala tersendiri


bagi investor untuk membangun rumah sakit baru. Sebagai gambaran, nilai
investasi rumah sakit sederhana saja dapat mencapai lebih dari Rp. 50 miliar.
Sedangkan untuk biaya investasi rumah sakit mewah berstandar internasional
dapat mencapai Rp. 200 miliar ke atas. Investasi sangat mahal ini umumnya
dikeluarkan demi melengkapi rumah sakit dengan peralatan medis tercanggih.
Hal ini sepertinya merupakan salah satu strategi rumah sakit swasta untuk
menarik pasien berobat ke tempatnya. Untuk rumah sakit yang dilengkapi
dengan peralatan medis standar saja, investasi peralatannya dapat mencapai Rp.
10 miliar

ke atas. Umumnya, besaran investasi peralatan medis bisa mencapai setengah


dari total investasi pembangunan rumah sakit baru.
Selain kendala investasi yang mahal, telah sejak lama beredar anggapan
bahwa pelayanan rumah sakit di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan
rumah sakit di luar negeri, sehingga menyebabkan banyak warga Indonesia
khususnya yang berpenghasilan tinggi lebih memilih berobat ke luar negeri.
Singapura dan Malaysia misalnya, sering menjadi negara tujuan utama pasien-
pasien dari Indonesia. Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia Fachmi Idris,
sekitar 1 juta warga Indonesia berobat ke luar negeri dan menghabiskan dana
hingga Rp. 20 triliun setiap tahunnya.
Terakhir, bisnis rumah sakit tidak akan pernah dapat terlepas dari sifat
rumah sakit itu sendiri yang merupakan penyedia jasa sosial-kemasyarakatan.
Di satu sisi, rumah sakit diharapkan dapat menyediakan fungsi sosial terutama
kepada masyarakat yang kurang/tidak mampu. Namun di sisi lainnya, besarnya
investasi yang dikeluarkan oleh pihak pengelola rumah sakit, khususnya
swasta, memaksa pihak rumah sakit untuk menetapkan biaya yang tinggi dan
peraturan yang terkesan kaku demi meng-cover biaya-biaya tersebut. Hal ini
seringkali menyebabkan benturan-benturan yang dapat mempengaruhi image
sebuah rumah sakit, padahal image merupakan salah satu modal utama bagi
penyedia jasa.
PENUTUP

Singapura dan Malaysia masih menjadi tujuan utama turis kesehatan Indonesia.
Sejumlah negara lain kini mulai melirik calon pasien dari Indonesia, seperti Thailand,
China, India, atau Jepang. Manajer Senior Pengembangan Perusahaan, Pusat Mata
Nasional Singapura (Singapore National Eye Centre/SNEC) Tricia Tan dalam Media Visit
to SNEC, Singapura, Selasa (26/2), mengatakan, tiap tahun ada 18.000 pasien
mancanegara dan 275.000 pasien Singapura yang berobat ke SNEC.
Manajer Senior Pengembangan Perusahaan, Pusat Mata Nasional Singapura
(Singapore National Eye Centre/SNEC) Tricia Tan dalam Media Visit to SNEC,
Singapura, Selasa (26/2), mengatakan, tiap tahun ada 18.000 pasien mancanegara dan
275.000 pasien Singapura yang berobat ke SNEC. Pasien asing berasal dari sejumlah
negara, termasuk Indonesia. Selain berobat atas inisiatif sendiri, sebagian pasien dirujuk
dokter di Indonesia. Sementara itu, pasien Indonesia yang berobat di sejumlah rumah sakit
anggota kelompok Parkway Health, Singapura, tahun 2010 mencapai 60 persen dari total
pasien asing. Jumlah pasien asing di grup rumah sakit swasta ini 30 persen dari jumlah
total pasien yang dilayani .
Alasan penduduk Indonesia berobat ke luar negeri antara lain mencari teknologi
pengobatan yang lebih canggih, mencari layanan kedokteran lebih unggul, serta mendapat
layanan keperawatan lebih baik. Ada pula yang berobat ke luar negeri karena lebih murah.
Pengobatan di beberapa rumah sakit Malaysia, khususnya untuk operasi-operasi besar,
diakui banyak pihak lebih murah dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu, sistem kerja
penuh waktu dokter di rumah sakit Malaysia membuat pasien merasa aman saat berobat.
Di Indonesia, untuk mendapat penghasilan cukup, banyak dokter berpraktik di banyak
rumah sakit.

Mahal

Mahalnya pengobatan di Indonesia dinilai Hasbullah disebabkan oleh belum


adanya sistem pengaturan tarif. Akibatnya, sejumlah rumah sakit menetapkan harga
layanan berdasar harga layanan di rumah sakit lain. ”Pengenaan aneka pajak terhadap alat-
alat kedokteran dan obat-obatan juga membuat layanan medik di Indonesia mahal,”
katanya. Hasbullah menambahkan, pelayanan pasien kelas kaya di Indonesia akan baik jika
pelayanan untuk pasien miskin juga baik. Biaya layanan pasien miskin harus ditanggung
negara, bukan disubsidi pasien kaya. Sistem subsidi silang dari pasien kaya kepada pasien
miskin yang diterapkan sejumlah rumah sakit akan mengurangi kualitas layanan yang
diterima pasien. Sistem yang menjamin kualitas layanan seluruh rakyat termasuk gaji
dokter Indonesia kini sedang ditata seiring rencana pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan
Nasional mulai 2014. ”Tapi pemerintah harus konsisten untuk menanggung biaya pasien
miskin secara memadai,” kata Hasbullah. (MZW)

You might also like