You are on page 1of 35

Pengertian Gawat Janin

Gawat janin adalah Denyut jantung janin (DJJ) kurang dari 100 per menit atau lebih dari 180 per menit
(Nugroho, 2012). Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima O2 yang cukup, sehingga akan
mengalami hipoksia. Situasi ini dapat terjadi (kronik) dalam jangka waktu yang lama atau akut. Disebut
gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160/menit atau dibawah 100/menit, denyut
jantung tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan (Prawirohardjo,
2009). Gawat janin merupakan suatu reaksi ketika janin tidak memperoleh oksigen yang cukup
(Dewi.A.h., Cristine.C.P., 2010).

b. Penyebab Gawat Janin

Menurut Prawirohardjo (2007) penyebab gawat janin sebagai berikut :

1) Persalinan berlangsung lama

Persalinan lama adalah persalinan yang terjadi lebih dari 24 jam pada primigravida dan lebih dari 18 jam
pada multigravida (Nugrahaeni, 2010). Persalinan lama dapat mengakibatkan ibu menjadi Gelisah, letih,
suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat, pernapasan cepat dan meteorismus. Di daerah lokal
sering dijumpai: Bandle Ring, oedema serviks, cairan ketuban berbau, terdapat mekonium.

2) Induksi persalinan dengan oksitosin

Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil belum inpartu baik secara operatif maupun
mesinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Akibat pemberian
oksitosin yang berlebih-lebihan dalam persalinan dapat mengakibatkan relaksasi uterus tidak cukup
memberikan pengisian plasenta. 3) Ada perdarahan

Perdarahan yang dapat mengakibatkan gawat janin yaitu karena solusio plasenta. Terjadinya solusio
plasenta dipicu oleh perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua tersebut kemudian terbelah sehingga
meninggalkan lapisan tipis yang melekat pada miometrium. Sebagai akibatnya, proses tersebut dalam
stadium awal akan terdiri dari pembentukan hematoma desidua yang menyebabkan pelepasan,
kompresi dan akhirnya penghancuran plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut.

4) Infeksi

Infeksi, yang disebabkan oleh pecahnya ketuban pada partus lama dapat membahayakan ibu dan
janin,karena bakteri didalam amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion
sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneomonia pada janin, akibat aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya (Prawirohadjo, 2009).

5) Insufisiensi plasenta

a) Insufisiensi uteroplasenter akut

1
Hal ini terjadi karena akibat berkurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu singkat, berupa:
aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonika uterus, dapat dihubungkan dengan pemberian oksitosin,
hipotensi ibu, kompresi vena kava, posisi terlentang, perdarahan ibu karena solusio plasenta atau
solusio plasenta.

b) Insufisiensi uteroplasenter kronis

Hal ini terjadi karena kurangnya aliran darah dalam uterus-plasenta dalam waktu yang lama. Misalnya :
pada ibu dengan riwayat penyakit hipertensi.

6) Kehamilan Postterm

Meningkatnya resiko pada janin postterm adalah bahwa dengan diameter tali pusat yang mengecil,
diukur dengan USG, bersifat prediktif terhadap gawat janin pada intrapartum, terutama bila disertai
dengan oligohidramnion. Penurunan cairan amnion biasanya terjadi ketika usia kehamilan telah
melewati 42 minggu, mingkin juga pengeluaran mekonium oleh janin ke dalam volume cairan amnion
yang sudah berkurang merupakan penyebabnya terbentuknya mekonium kental yang terjadi pada
sindrom aspirasi mekonium.

7) Preeklamsia

Menurut Prawirohardjo (2009), Preeklamsia dapat menyebabkan kegawatan janin seperti sindroma
distres napas. Hal tersebut dapat terjadi karena vasopasme yang merupakan akibat dari kegagalan invasi
trofoblas kedalam lapisan otot pembuluh darah sehingga pembuluh darah mengalami kerusakan dan
menyebabkan aliran darah dalam plasenta menjadi terhambat dan menimbulkan hipoksia pada janin
yang akan menjadian gawat janin.

c. Penilaian Klinik Gawat Janin

Menurut Prawirohardjo (2007) tanda gejala gawat janin dapat diketahui dengan :

1) DJJ Abnormal

Dibawah ini dijelaskan denyut jantung janin abnormal adalah sebagai berikut :

a) Denyut jantung janinirreguller dalam persalinan sangat bervariasi dan dapat kembali setelah
beberapa watu. Bila DJJ tidak kembali normal setelah kontraksi, hal ini menunjukan adanya hipoksia.

b) Bradikardi yang terjadi diluar saat kontraksi, atau tidak menghilang setelah kontraksi menunjukan
adanya gawat janin.

c) Takhikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya :

(1) Demam pada ibu

(2) Obat-obat yang menyebabkan takhikardi (misal: obat tokolitik)

2
Bila ibu tidak mengalami takhikardi, DJJ yang lebih dari 160 per menit menunjukan adanya anval
hipoksia.

Denyut jantung janin abnormaldapat disebut juga dengan fetal distress. Fetal distress dibagi menjadi
dua yaitu fetal distress akut dan fetal distress kronis. Menurut Marmi, Retno A.M.S., Fatmawaty.E (2010)
dibawah ini dijelaskan beberapa faktor yang mempengaruhinya.

a) Faktor yang mempengaruhi fetal distress akut

(1) Kontraksi uterus

Kontraksi uterus hipertonik yang lama dan kuat adalah abnormal dan uterus dalam keadaan istirahat
yang lama dapat mempengaruhi sirkulasi utero plasenta, ketika kontraksi sehingga mengakibatkan
hipoksia uterus.

(2) Kompresi tali pusat

Kompresi tali pusat akan mengganggu sirkulasi darah fetus dan dapat mengakibatkan hipoksia. Tali
pusat dapat tertekan pada prolapsus, lilitan talu pusat.

(3) Kondisi tali pusat

Plasenta terlepas, terjadi solusio plasenta. Hal ini berhubungan dengan kelainan fetus.

(4) Depresi pusat pada sistem pernafasan

Depresi sistem pernafasan pada bayi baru lahir sebagai akibat pemberian analgetika pada ibu dalam
persalinan dan perlukaan pada proses kelahiran menyebabkan hipoksia.

b) Faktor yang mempengaruhi fetal distress kronis

Fetal distress kronis berhubungan dengan faktor sosial yang kompleks. (1) Status sosial ekonomi rendah

Hal ini berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Status sosial ekonomi adalah suatu
gambaran kekurangan penghasilan tetapi juga kekurangan pendidikan, nutrisi, kesehtan fisik dan psikis.

(2) Umur maternal

Umur ibu yangg sangat muda dan tua lebih dari 35 tahun merupakan umur resiko tinggi.

(3) Merokok

Nikotin dapat menyebabkan vasokontriksi, dan menyebabkan penurunan aliran darah uterus dimana
karbonmonoksida mengurangi transport oksigen. Angka mortalitas perinatal maningkat.

(4) Penyalah gunaan obat terlarang

3
Penyalah gunaan obat terlarang dalam kehamilan berhubungan dengan banyak komplikasi meliputi
IUGR, hipoksia dan persalinan preterm yang semuanya meningkatkan resiko kematian perinatal.

(5) Riwayat obstetrik yang buruk

Riwayat abortus sebelumnya, persalinan preterm atau lahir mati berhubungan dengan resiko tinggi pada
janin dalam kehamilan ini. (6) Penyakit maternal

Kondisi yang meningkatkan resiko fetal distress kronis dapat mempengaruhi sistem sirkulasi maternal
dan menyebabkan insufisiensi aliran darah dalam uterus seperti: Hipertensi yang diinduksi kehamilan,
hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal kronis. Sedangakan faktor yang mempengaruhi penurunan
oksigenasi arteri maternal seperti: penyakit skle sel, anemia berat (Hb kurang dari 9% dl atau kurang),
penyakit paru-paru, penyakit jantung, epilepsi (jiak tidak terkontrol dengan baik), infeksi maternal berat.

Kondisi tersebut meliputi insufisiensi plasenta, post matur, perdarahan antepartum yang dapat
mengakibatkan pengurangan suplai oksigen ke fetus.

(7) Kondisi plasenta

Kondisi tersebut meliputi: insufisiensi plasenta, postmatur, perdarahan antepartum yang dapat
mengakibatkan resiko hipoksia intra uterin. Resiko ini mengakibatkan pengurangan suplai oksigen ke
fetus.

(8) Kondisi fetal

Malformasi konginetal tertentu, infeksi intra uterin dan incompatibilitas resus yang meningkatkan resiko
hipoksia intra uterin. Resiko ini meningkat pada kehamilan ganda. (9) Faktor resiko inta partum

Selama persalinan faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko fetal distress, yaitu:
malpresentasi seperti presentasi bokong, kelahiran dengan forcep, SC, sedatif atau analgetik yang
berlebihan, komplikasi anastesi (meliputi: hipotensi dan hipoksia), partum presipitatus atau partus lama.

c) Deteksi fetus melalui pemeriksaan antenatal

Pemeriksaan yang digukankan untuk mendeteksi fetus meliputi:

(1) USG untuk menilai pertumbuhan fetus

(2) Profil biofisikal

Pemeriksaan fisik pada fetus menggunakan USG parameter yang digunakan untuk menilai meliputi:
gerakan pernafasan fetus, gerakan fetus, tonus fetusindeks cairan amnion dan NST.

(3) Non Stress Tes (NST)

4
Eksternal kardiotokograf (CTG), Kriteria yang seharusnya diamati meliputi 2 hal atau lebih, yaitu : denyut
jantung janin, mengalami penurunan sedikitnya 15 denyutan permenit, menetap sedikitnya 15 detik
dalam 20 menit. (4) Doppler

Menurut Marmi, Retno A.M.S., Fatmawaty.E (2010) tanda fetal distress dalam persalinan, sebagai
berikut :

(a) Denyut jantung

a.1. Takikardi diatas 160 kali perdetik atau brakikardi dibawah 120 kali perdetik.

a.2. Deselerasi dini

Ketika denyut jantung turun lebih dari 15 kali permenit pada saat kontraksi, kontraksi deselarasi
menggambarkan kontraksi dan biasanya dianggap masalah serius.

a.3. Deselerasi yang berubah-ubah

Deselerasi yang berubah-ubah hal ini sangat sulit dijelaskan Ini dapat terjadi pada awal atau akhir
penurunan denyut jantung dan bentuknya tidak sama. Hubungan antar peningkatan asidosis fetus
dengan dalam dan lamanya deselerasi adalah adanya abnormalitas denyut jantung janin.

a.4. Deselerasi lambat

Penurunan denyut jantung janin menunjukan tingkat deselerasi paling rendah tetapi menunjukan
kontraksi pada saat tingkat yang paling tinggi. Deselerasi yang lambat menyebabkan penurunan aliran
darah fetus dan pengurangan transfer oksigen selama kontraksi. Penurunan tersebut mempengaruhi
oksigenasi serebral fetus. Jika pola tersebut terjadi disertai dengan abnormalitas denyut jantung janin
harus dipikirkan untuk ancaman yang serius dalam kesejahteraan fetus.

a.5. Tidak adanya denyut jantung

Ini mungkin disebabkan oleh karena hipoksia kronis atau berat dimana sistem syaraf otonom tidak dapat
merespon stress.

a.6. Mekonium bercampur air ketuban.

(b) Mekonium

Cairan amnion yang hijau kental menunjukkan bahwa air ketuban jumlahnya sedikit. Kondisi ini
mengharuskan adanya intervensi. Intervensi ini tidak perlu dilakukan bila air ketuban kehijauan tanpa
tanda kegawatan lainnya, atau pada fase akhir suatu persalinan letak bokong.

d. Penanganan Gawat Janin pada Persalinan

Menurut Prawirohardjo (2009) penanganan gawat janin saat persalinan adalah sebagai berikut :

1) Cara pemantauan
5
a) Kasus resiko rendah – auskultasi DJJ selama persalinan :

(1) Setiap 15 menit kala I

(2) Setiap setelah his kala II

(3) Hitung selama satu menit setelah his selesai

b) Kasus resiko tinggi – gunakan pemantauan DJJ elektronik secara berkesinambungan

c) Hendaknya sarana untuk pemeriksaan pH darah janin disediakan

2) Interpretasi data dan pengelolaan

a) Untuk memperbaiki aliran darah uterus :


Pasien dibaringkan miring ke kiri, untuk memperbaiki sirkulasi plasenta
b) Hentikan infus oksitosin (jika sedang diberikan)

c) Berikan oksigen 6-8 L/menit

d) Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah pemberian anastesi epidural) segera berikan infus 1 L
infus RL

e) Kecepatan infus cairan-cairan intravaskular hendaknya dinaikkan untuk meningkatkan aliran darah
dalam arteri uterina.

3) Untuk memperbaiki aliran darah umbilikus

a) Pasien dibaringkan miring ke kiri, untuk memperbaiki sirkulasi plasenta.

b) Berikan ibu oksigen 6-8 L/menit


c) Perlu kehadirkan dokter spesialis anak

Biasanya resusitasi intrauterin tersebut diatas dilakukan selama 20 menit.

4) Tergantung terpenuhinya syarat-syarat, melahirkan janin dapat pervaginam atau perabdominal.

6
AGEN TOKOLITIK

MEKANISME KONTRAKSI MIOMETRIUM

Dua pengaruh utama kontraktilitas miometrium adalah konsentrasi intraseluler kalsium dan aktivitas
miosin light chain kinase, suatu enzim yang juga bergantung pada kalsium

Kalsium intraseluler yang meningkat mengikat diri dengan calmodulin. Kompleks ini mengaktivasi enzim
miosin light chain kinase, yang kemudian akan memfosforilasi miosin. Miosin yang telah difosforilase
akan berinteraksi dengan aktin menghasilkan kontraksi uterus.

Tempat utama dimana kalsium diregulasi adalah pada membran sel dan pada penyimpanan intraseluler
di retikulum sarkoplasma.

TOKOLISIS

Terapi utama yang digunakan dalam pencegahan persalinan preterm adalah menggunakan tokolisis.
Sifat dari tokolisis adalah mengurangi gejala, bukan merupakan pengobatan maupun pencegahan.

Terapi tokolisis dapat memberikan keuntungan jangka pendek dalam menangani persalinan preterm,
dimana persalinan yang dihambat dapat dimanfaatkan untuk pemberian kortikosteroid untuk
meningkatkan pematangan paru dan mengurangi beratnya sindrom gawat nafas dan mengurangi resiko
perdarahan intraventrikular.

Tokolisis paling berguna sebelum usia kehamilan 32 minggu. Efektivitas tokolisis tergantung dari
kematangan dan dilatasi serviks. Bila serviks belum matang, tokolisis lebih mungkin untuk berhasil.
Untuk prediksi keberhasilan dari tokolisis, dapat digunakan skor tokolisis Baumgarten.

Skor Tokolisis Baumgarten

Tanda Jumlah Angka


0 1 2 3 4
Kontraksi Tidak ada Ireguler Reguler
uterus
Selaput Utuh Pecah di atas Pecah di bawah
ketuban
Perdarahan Tidak ada Bercak Perdarahan
Dilatasi Tidak ada Satu angka untuk setiap 1 sentimeter
serviks

Skor tokolisis didapat dengan menjumlah semua tanda yang ada dengan,

7
Skor 1 : Keberhasilan 97%

Skor 2 : Keberhasilan 90%

Skor 3 : Keberhasilan 84%

Skor 4 : Keberhasilan 38%

Skor 5 : Keberhasilan 11%

Skor 6 : Keberhasilan 7%

Skor 7 atau lebih gagal

AGEN TOKOLITIK

Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, yaitu :

1. Antagonis calcium channel : Nifedipin

2. Magnesium sulfat

3. Beta Agonis : Terbutalin, Ritodrine

4. Inhibitor prostaglandin sintetase : Indometasin, Movicox

5. Antagonis oksitosin : Atosiban

ANTAGONIS CALCIUM CHANNEL

Nifedipin adalah calcium channel blocker yang paling sering digunakan dalam tokolisis.
Mekanisme kerjanya adalah blokade pada channel kalsium. Nifedipin dapat menghambat
pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma serta meningkatkan refluks kalsium dari dalam sel.
Sehingga terjadi penurunan kalsium bebas intraselluler yang mengakibatkan inhibisi fosforilase MLCK
sehingga terjadi relaksasi miometrium.

Konsentrasi serum maksimum dapat dicapai lebih cepat bila obat dikunyah lebih dahulu sebelum
ditelan. Obat ini menunjukkan efektifitas 85-95% dalam menghentikan persalinan untuk 48-72 jam.Dosis
yang diberikan adalah 5-10 mg sub lingual setiap 15-20 menit (sampai 4 kali pemberian) kemudian 10-20
mg oral setiap 4-6 jam.

Nifedipin dapat mengakibatkan gejala mual, flushing, sakit kepala, pusing dan palpitasi. Nifedipin juga
dihubungkan dengan penurunan tekanan arterial rata-rata karena relaksasi otot polos arteriolar dan
refleks peningkatan denyut jantung ringan

8
Nifedipin dikategorikan C pada penggunaan dalam kehamilan yang berarti potensi teratogenik masih
belum jelas. Rekomendasi diberikan karena keuntungan maternal lebih banyak dibanding potensi efek
terhadap fetus. Tidak ada kelainan kongenital spesifik yang disebabkan penggunaan obat ini.

Dari Cochrane Review yang meliputi 12 uji acak dengan kontrol melibatkan 1029 wanita, disebutkan
bahwa dibandingkan dengan obat tokolitik lainnya (terutama beta mimetik), antagonis channel
calcium mengurangi jumlah wanita yang melahirkan dalam 7 hari setelah pengobatan. (resiko
relatif (RR) 0.76) dan sebelum usia kehamilan 34 minggu (RR 0.83).

MAGNESIUM SULFAT

Magnesium menurunkan frekuensi depolarisasi sel otot polos, berkompetisi dengan kalsium
untuk masuk dalam sel melalui channel calcium. Disebutkan pula bahwa magnesium secara kompetitif
terikat pada tempat penyimpanan kalsium dalam reticulum endoplasme sel. Walaupun sejak lama telah
digunakan untuk tokolitik namun efisiensinya tidak terbukti.

BETA AGONIS

Beta agonis yang sering digunakan sebagai tokolitik adalah terbutalin atau ritodrin. Beta agonis
mengikat diri pada reseptor di membran dan kompleks ini akan mengaktivasi adenilat siklase sehingga
terjadi peningkatan cyclic AMP yang menurunkan kalsium intraseluler dan menghambat MLCK secara
langsung.

Pada umumnya, beta agonis efektif menghentikan kontraksi untuk 48 jam pada 80-90% wanita. Beta
agonis dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin.

Dosis terbutalin adalah 0.25-05 mg sub kutan setiap 3-4 jam. Terbutalin juga dapat diberikan secara
intravena dengan dosis awal 10ug/menit dan ditingkatkan setiap 15-20 menit sampai kontraksi hilang
atau efek samping timbul atau dosis maksimum 25 ug/menit telah dicapai. Protokol lain adalah dosis
awal 2,5-5 ug/menit dan ditingkatkan tiap 20 menit dengan peningkatan 5ug/menit sampai dosis
maksimum 25 ug/menit. Ketika kontraksi telah hilang, dosis ini dipertahankan hingga 1 jam dan
kemudian dikurangi 2,5 ug/menit tiap 30 menit sampai dosis efektif terkecil. Pemberian ini
dipertahankan selama 12 jam.

Berbagai efek samping dikarenakan stimulasi reseptor beta di hati dan jantung. Efek samping pada
sistem kardiovaskuler ibu termasuk hipotensi, takikardia dan aritmia jantung.

INHIBITOR PROSTAGLANDIN SINTETASE

Prostaglandin berperan pada proses persalinan dengan menstimulasi terbentuknya gap junction dan
meningkatkan kadar kalsium bebas intraseluler dengan meningkatkan masuknya kalsium melalui
membran sel dan menstimulasi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma. Prostaglandin juga

9
menyebabkan produksi protease dan kolagenase yang mematangkan serviks dan dapat pula
menyebabkan pecahnya selaput ketuban.

Inhibitor sintesis prostaglandin, seperti indometasin, Movicox (meloxicam) adalah inhibitor reversibel
siklooksigenase, sehingga menurunkan kadar prostaglandin dan menghilangnya kontraktilitas
miometrium.

Indometasin dapat diberikan per oral atau rektal dengan dosis awal 50-100 mg diikuti 25 mg setiap 4-6
jam. Indometasin dimetabolisme di hati dan dieksresikan melalui urin. Waktu paruhnya adalah 4,5 jam.

ATOSIBAN

Atosiban adalah antagonis reseptor oksitosin-vasopresin yang dapat menghambat kontraksi


moimetrium. Mekanismenya tampaknya adalah inhibisi kompetitif reseptor oksitosin. Oksitosin sendiri
menstimulasi kontraksi melalui stimulasi pelepasan kalsium intraseluler dari retikulum sarkoplasma. Jadi
antagonis oksitosin mengakibatkan menurunnya kalsium bebas intraseluler yang mengakibatkan
menurunnya kontraktilitas miometrium.

TOKOLISIS KOMBINASI

Nifedipin sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan magnesium, karena kedua obat ini mempunyai
dasar kerja yang sama sebagai antagonis kalsium. Nifedipin dapat digunakan bersamaan dengan
indometasin. Penggunaan beta agonis dan nifedipin mempunyai masalah lebih sedikit dibandingkan
nifedipin dan magnesium; namun, observasi ketat kelainan kardiovaaskuler harus dilakukan. Nifedipin
dan beta agonis dapat menyebabkan hipotensi diastolik maternal sehingga volume intravaskuler yang
cukup perlu dipertahankan.

Diringkas dari:

RP Sheryl, CM John. Tocolysis: An Update for the Practitioner. Obstetrical and Gynecological Survey
volume 57, number 5. Lippincott Williams & Wilkins, 2002.

10
MEKANISME KERJA OBAT-OBAT TOKOLITIK

Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di dalamnya β agonis,
calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor, magnesium sulfat, antagonis receptor
oxytocin.1-3,8-13,15,17,21,24

Kalsium pada sel myometrium berasal dari intraseluler maupun ekstraseluler dimana sebagian besar
kalsium yang digunakan sel myometrium untuk berkontraksi berasal dari konsentrasi kalsium
intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler dari berbagai macam mekanisme yang berbeda dan
berikatan dengan calmodulin dan memulai aktivasi dari calcium-dependent myosin light chain kinase
(CDMLK).

Mekanisme kerja dari obat-obat tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini : 1 Sub grup dari obat-
obat tokolitik bekerja dengan cara yang berbeda-beda untuk menghambat terjadinya kontraksi uterus,
ini terjadi melalui mekanisme persalinan yang spesifik (antagonis oksitosin, penghambat prostaglandin)
atau melalui aksi non spesifik pada kontraktilitas sel (ß agonis, magnesium sulfat dan penghambat
kalsium).

III. INDIKASI PENGGUNAAN TOKOLITIK

Persalinan prematur merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas perinatal. Obat-
obat tokolitik sangat efektif dalam menurunkan angka persalinan yang sepertinya akan terjadi dalam24
sampai 48 jam, tetapi tidak akan menurunkan seluruh resiko akibat persalinan prematur.2,15,21

Pertimbangan untuk memberikan terapi tokolitik pada wanita yang pernah mengalami persalinan
prematur ketika ada perlunya untuk menunda persalinan prematur seperti :2,15,21

1. ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan untuk lebih mendapatkanpelayanan yang sempurna.

2. untuk pemberian terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan paru.

IV. RASIONALISASI PENGGUNAAN TOKOLITIK

Dalam usaha untuk mencegah kelahiran prematur dan sekuelenya, klinisi yang merawat persalinan
prematur harus tetap mengingat resiko dan komplikasi dari terapi tokolitik. Pengalaman dengan obat-
obatan ini telah mengajarkan kita bahwa obat ini harus digunakan secara hati-hati dan hanya dengan
pasien yang mengalami persalinan prematur. Poin-poin penting untuk diingat dalam penggunaan
rasional terapi tokolitik antara lain:14

1. Pastikan pasien benar-benar mengalami ancaman persalinan prematur karena obat ini merupakan
obat yang berbahaya dan poten. Terapi penurunan kontraksi uterus dengan terapi tokolitik secara
parenteral dan oral harus dilakukan walaupun ini tidak menurunkan insiden persalinan prematur atau
kelahiran prematur, dan juga tidak meningkatkan luaran perinatal. Obat ini juga membuat ibu dan janin
terpapar dengan resiko-resiko yang sebenarnya tidak perlu karena itu pastikan resiko terapi lebih kecil
dibandingkan keuntungannya.

11
2. Pasien yang menerima tokolitik harus diawasi ketat, terutama pada saat terapi intravena.
Peningkatan mendadak berat badan harian dapat menjadi tanda awal bahwa pasien mengalami retensi
cairan. Intake dan output harus dicatat, kadar elektrolit, glukosa, magnesium dan tanda vital harus
diawasi ketat. Tanda-tanda klinis adanya edema pulmonal harus dilihat ada tidaknya setiap hari.

3. Keseimbangan cairan harus hati-hati diawasi untuk mencegah edema pulmonal, yang merupakan satu
dari komplikasi yang paling serius dan berbahaya dari terapi tokolitik. Pasien dengan terapi intravena
harus dibatasi cairannya untuk mengindari overhidrasi. Sebagian besar kasus edema pulmonal bersifat
iatrogenik. Pembatasan cairan harus dilakukan dengan cermat. Cairan intra vena harus berupa ringer
laktat atau larutan normal saline. Intake oral dan intravena total harus diawasi dengan cermat.
Mengawasi intake cairan total akanmengurangi resiko edema pulmonal.

4. Mengetahui kapan harus menghentikan tokolitik. Nyeri dada, nafas pendek, adalah tanda-tanda klinis
edema pulmonal, dan atau tekanan pada dada, harus dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan
terapi. Ketika perlu dan memungkinkan, rujuk pasien ke pusat kesehatan tersier jika ditemui kasus diluar
tempat tersebut.

5. Denyut nadi ibu harus diperiksa hati-hati, terutama pada pasien yang menerima obat-obat ß-
adrenergik agonis parenteral. Denyut nadi ibu bertahan pada >120 x/m merupakan hal yang berbahaya
dan indikasi bahwa pasien menerima terlalu banyak obat tokolitik dan berada dalam resiko yang
signfikan. Namun, denyut nadi yang kurang dari 80x/menit mengindikasikan bahwa pasien tidak
mengkonsumsi obatnya atau tidak cukup dosisnya, atau tidak lagi efektif.

6. Mereka yang merawat pasien-pasien ini harus sangat terbiasa dengan obat-obat tokolitik dalam
jumlah yang terbatas. Mekanisme aksi, farmakologi, dosis, dan resiko harus dipahami dengan jelas tidak
hanya oleh dokter dan bidan, namun juga perawat yang menangani pasien.

7. Infeksi dan abruptio plasenta harus dipertimbangkan sebagai penyebab persalinan prematur yang
resisten atau tidak dapat dielakkan. Pada situasi ini, evaluasi ultrasonografi yang rinci harus digunakan
untuk memeriksa janin dan plasenta serta mengevaluasi pematangan paru janin.

8. Penggunaan terapi tokolitik pemeliharaan menggunakan ß agonis yang lama


setelah tokolitik intravena telah terbukti tidak efektif dalam mengurangi insiden berulangnya persalinan
prematur atau insiden kelahiran prematur atau memperpanjang interval menuju kelahiran. Penggunaan
obat-obatan tokolitikoral yang lama seperti nifedipin atau terbutalin masih menjadi kontroversi

9. Persalinan prematur yang dialami oleh sebagian besar pasien dapat dikontrol melalui terapi intravena
dalam waktu 24-48 jam. Usahakan untuk dapat menghentikan terapi intravena sebisa mungkin. Pasien
dengan dilatasi serviks lanjut atau persalinan prematur resisten mungkin membutuhkan dilanjutkannya
terapi tersebut. Terapi tokolitik yang lama, baik per oral maupun intravena merupakan hal yang dapat
dilakukan, bermanfaat dan aman. Namun pasien harus diobservasi ketat untuk efek samping dan
kaaomplikasinya.

12
10. Pasien seringkali ”gagal” tokolitik dan melahirkan. Pasien yang melahirkan selagi menerima
terapi tokolitik atau segera setelah dihentikan pemakaiannya akan mengalami peningkatan resiko untuk
terjadinya perdarahan postpartum menyangkut obat yang digunakan, sehingga kita harus siap dengan
kemungkinan atonia uteri.

11. Jika pasien diberikan terapi tokolitik, maka juga diberikan kortikosteroid untuk mempercepat
pematangan paru janin.

12. Ketika perlu dilakukan tirah baring untuk antepartum yang lama dan rawat inapuntuk tokolitik,
kenali stress yang akan dialami pasien. Pasien ini jauh dari keluarga, rumah, pekerjaan dan gaya hidup.
Tim perinatal memainkan peranan penting dalam membantu pasien ini menghadapi dan beradaptasi
terhadap aspek psikososial dari perawatan yang diterimanya.

V. PERANAN β AGONIS SEBAGAI TOKOLITIK

Agonis beta merupakan obat yang sering digunakan dan terbukti efektif menurunkan terjadinya
persalinan dalam 24, 48 jam dan 7 hari terapi dibanding plasebo. ß Agonis adalah
golongan tokolitik yang secara struktur sama dengan katekolamin endogen, epinefrin dan nor-epinefrin.
Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor ß adrenergik pada uterus. Isoxuprine adalah obat pertama
dari golongan ini yang digunakan sebagai tokolitik kurang lebih 45 tahun yang lalu.1,15

Terbutalin dan Ritodrin sekarang yang paling banyak digunakan sebagai tokolitik pada golongan ini di
Amerika Serikat dibandingkan dengan Hexoprenalin, Fenoterol, Salbutamol dan lain-lain, tetapi hanya
Ritodrin yang direkomendasikan oleh FDA sebagai tokolitik dari golongan ini.1,6,8,11,15,16

A. Farmakokinetik

Metabolisme obat tokolitik dari golongan ß adrenergik agonis ini berbeda dengan katekolamin endogen.
Ritodrin dan Terbutalin dieksresi melalui urin setelah dimetabolisme di hati.15

Ritodrin dan Terbutalin diketahui dapat menembus plasenta dengan cepat dan menginduksi stimulasi ß
Adrenergik pada fetus. Konsentrasi pada fetus ą 30% lebih rendah dibanding dengan konsentrasi
maternal setelah 2 jam pemberian secara intra vena, tetapi menjadi sama setelah periode yang lebih
lama. Pada pemberian yang konstan melalui intravena Ritodrin dan Terbutalin akan mencapai dosis
terapi dengan waktu paruh 6-9 menit. Setelah pemberian intravena tidak dilanjutkan waktu paruhnya
meningkat mencapai 2,5 jam. Pada pemberian intramuskuler konsentrasi optimal Ritodrin dicapai dalam
waktu 10 menit dan menurun sebanyak 50% dalam 2 jam. Terbutalin secara cepat diabsorbsi dengan
pemberian subkutan 0,25mg dengan waktu paruh 7 menit. Pemberian oral Ritodrin pada jarak yang
optimal akan terjadi penurunan 20% dalam 4 jam pada konsentrasi plasma.15

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik

Obat tokolitik dari golongan ß Agonis ini dapat diberikan melalui parenteral atau oral. Terapi pertama
kali harus melalui intra vena yang didasarkan pada puls ibu, tekanan darah dan aktivitas uterus. Berikut
adalah kontraindikasi penggunaan tokolitik golongan ß Adrenergik:6,10,11,15,17,18

13
Maternal :

• Penyakit jantung

• Diabetes melitus yang tidak terkontrol

• PEB dan eklampsia

• Hipertiroid

• Perdarahan ante partum

Fetal :

• Gawat janin

• Korioamnionitis

• Janin mati

• IUGR

Pemberian dosis obat haruslah mulai dari dosis terkecil dengan peningkatan setiap15-30 menit sesuai
dengan keperluan untuk menghambat kontraksi uterus. Denyut nadi ibu tidak boleh lebih dari 130 x/m
dan kita harus menyesuaikan dosis tokolitik jika efek samping timbul.15

Ritodrin biasanya diberikan intravena dengan dosis awal 50-100μg/m dan ditingkatkan 50μg/m setiap
15-20 menit sampai kontraksi uterus berhenti, dengan dosis maksimum 350μg/m. Beberapa peneliti
telah menggunakan Ritodrin intra muskuler dengan dosis 5-10 mg setiap 2-4 jam. Terapi oral yang
dianjurkan adalah 10 mg setiap 2 jam atau 20 mg setiap 4 jam selama 24-48 jam dengan dosis tidak
boleh melebihi 120 mg/hari.8,15 Dosis Terbutalin dianjurkan 2,5μg/m setiap 20 menit sampai kontraksi
uterus berhenti atau dosis maximum sebanyak 20 μg/m tercapai. Terbutalin dapat diberikan subkutan
dengan dosis 250 μg setiap 3 jam. Terapi oral sudah harus diberikan sebanyak 2,5-5mg setiap 2-4 jam
paling lambat dalam 24-48 jam.8,15

Setelah ancaman persalinan prematur dapat dihentikan sekurang-kurangnya 1 jam, tokolitik dapat
diturunkan pada interval 20 menit sampai dosis efektif terendah yang dicapai dan dipelihara selama 12
jam. 30 menit sebelum pemberian terapi intra vena terapi oral sudah harus diberikan dan diulang setiap
2-4 jam salama 24-48 jam.8,15

C. Efek-efek Terhadap Ibu

Efek-efek terhadap ibu dan komplikasi-komplikasi penggunaan terapi ß – adrenergik agonis banyak
ditemukan dan lebih sering terjadi daripada efek-efek terhadap fetus maupun neonatus. Terdapat
informasi yang bertentangan apakah efek- efek ini lebih sering terjadi pada penggunaan ritodrin atau
terbutalin. Secara umum, tidak ada perbedaan efek samping antara Ritodrin dengan terbutalin, kecuali

14
bahwa terbutalin oral menyebabkan perubahan signifikan pada toleransi glukosa ibu, sedangkan ritodrin
oral tidak menimbulkan efek demikian.15

Berikut adalah efek-efek maternal akibat terapi tokolitik dengan golongan ß-Adrenergik agonis :1,8-
11,15,16,19

Fisiologi :

• Agitasi

• Sakit kepala

• Mual

• Muntah

• Demam

• Halusinasi

Metabolik :

• Hiperglisemia

• Diabetik ketoasidosis

• Hiperinsulinemia

• Hiperlaktasidemia

• Hipokalemia

• Hipokalsemia

Jantung :

• Edema pulmonum

• Takikardi

• Palpitasi

• Hipotensi

• Gagal jantung

• Aritmia, dll

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus

15
Efek fetal ß-adrenergik agonis lebih kecil dibanding efek maternalnya. Walaupun terjadi perpindahan
obat ini secara cepat melalui plasenta yang menyebabkan timbulnya efek fetal dan neonatal,
kebanyakan fetus dapat mentoleransinya tanpa timbul masalah maupun komplikasi.15

Jarang dilaporkan adanya efek signifikan dan komplikasi ß-adrenergik agonis terhadap fetus dan
neonatus. Efek samping terhadap neonatus paling sering ditemukan bila ibu mendapat terapi ß-
adrenergik agonis intravena yang lama dan melahirkan sebelum kadar obat dalam darahnya turun.
Walaupun hal ini dulu sering terjadi, namun saat ini sudah jarang ditemukan.15

Berikut adalah efek-efek Terhadap Fetus dan Neonetus akibat terapi tokolitik dengan golongan ß-
Adrenergik agonis :1,8,9,11,15,16

Fetal :

• Takikardi

• Aritmia

• Iskemik otot jantung

• Hipertropi otot jantung

• Gagal jantung

• Hiperglisemia

• Hiperinsulinemia

Neonatal :

• Takikardi

• Hipokalsemia

• Hiperbilirubinemia

• Hipoglikemi

• Hipotensi

• Aritmia

Belum ada laporan mengenai efek terhadap APGAR skor. Hal yang paling penting, follow up jangka
panjang pada anak-anak yang terpapar ritodrin tidak menunjukkan efek buruk terhadap pertumbuhan.15

Penggunaan klinis beta-adrenergik secara luas selama 45 tahun belum memastikan adanya efek-efek
signifikan terhadap fetus dan neonatus.15

VI. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID SEBAGAI TOKOLITIK

16
Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan (kontraksi uterus) yang penting maka para
peneliti menganggap bahwa prostaglandin synthetase inhibitor dalam hal ini Obat Anti Inflamasi Non
Steroid (OAINS) dapat digunakan sebagai tokolitik. Salah satu obat-obat golongan ini yang dapat
dipakai tokolitik adalah Indomethacin.1,8,10,11,19,20

A. Farmakokinetik

OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase. Indomethacin adalah obat dari golongan ini
yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai tokolitik. Obat ini dimetabolisme di hati dan diekskresi
melalui urin.19

Indomethacin secara cepat dapat menembus plasenta, dalam 2 jam kadar dalam darah bayi 50% dari
kadar dalam darah ibu dan akan menjadi sama dalam 6 jam. Waktu paruh indomethacin pada fetus
adalah 14,7 jam yang lebih lama disbanding pada ibu yang hanya 2,2 jam, hal inilah yang dapat
mengakibatkan gangguan hati ada fetus.19

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik

Indomethacin dapat dapat diberikan peroral atau peranal, dosis yang digunakan sebagai terapi pada
persalinan prematur adalah 150-300 mg/hari, dengan dosis awal adalah 100-200 mg peranal atau 50-
100 mg peroral dan kemudian 25-50 mg setiap 4- 6 jam. Setelah pemberian dosis awal kadar optimal
dicapai dalam 1-2 jam yang dapat dicapai oleh pemberian dengan cara peranal.19

Indomethacin dikontraindikasikan untuk ibu-ibu yang menderita kerusakan ginjal, hati, asma,
oligohidramnion, ulkus peptikum dan alergi.9-11,18,19,21

C. Efek-efek Terhadap Ibu

Bila dibandingkan dengan magnesium sulfat atau ritodrin, efek samping maternal indomethacin lebih
minimal dan jarang terjadi. Kemungkinan efek yang paling sering terjadi adalah iritasi gastrointestinal
termasuk mual, sakit lambung, heartburn, dan muntah yang berkaitan dengan terapi oral obat ini.
Antasida dapat membantu bila gejala-gejala ini terjadi. Akan tetapi, kebanyakan pasien dapat
mentoleransi indomethacin oral dan hanya mengalami sedikit efek samping.16,19

Karena aspirin dapat berefek pada perdarahan, Lent dkk meneliti efek pemakaian indomethacin
sebagai tokolitik terhadap sistim koagulasi ibu, dan menyimpulkan bahwa tidak ada efek terhadap
proses koagulasi. Akan tetapi, terjadi perubahan yang menonjol dan bersifat akut pada masa
perdarahan ibu, sehingga meningkatkan resiko terjadinya perdarahan yang banyak saat persalinan. Bila
seorang wanita melahirkan ketika masih dalam terapi obat tersebut atau jika mempunyai indikasi fetal
maupun maternal untuk tindakan operasi, maka dokter harus memeriksa waktu perdarahan dan
mengenali adanya resiko perdarahan. Walaupun perdarahan postpartum termasuk resiko maternal,
efek samping ini jarang terjadi karena kadar obat dalam darah menurun dengan cepat ketika obat
dihentikan.6,11,18,19

17
Terapi indomethacin yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi ginajal pada ibu. Interaksi serius
dapat terjadi bila obat diberikan bersama dengan golongan aminoglikosid. Pemantauan fungsi ginjal
dianjurkan bila obat yang potensial nefrotoksik digunakan bersamaan atau segera setelah penggunaan
indomethacin. Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari. Timbulnya insufisiensi ginjal akut
pada ibu mungkin berhubungan dengan kombinasi antara perubahan aliran darah ginjal dengan adanya
restriksi cairan.19

Indomethacin yang digunakan bersama-sama ß bloker menyebabkan hipertensi yang berat pada
ibu.Bagaimana mekanisme OAINS ini menyebabkan hipertensi tidak diketahui, tetapi perlu hati-hati dan
dihindari pemakaiannya pada wanita-wanita dengan preeklampsi. Indomethacin juga bersifat
antipiretik. Penggunaannya dapat menutupi demam yang timbul akibat korioamnionitis subklinis.
Perdarahan rectal dapat terjadi akibat pemberian berulang indomethacin suppositoria, terapi oral
setelah dosis awal dapat mencegah efek samping tersebut pada ibu, sedangkan pemberian sacara
perrektal dapat mencegah efek samping pada system gastrointestinal pada ibu.

Pemberian indomethacin secara vaginal pada penderita dengan selaput ketuban yang masih intak sudah
dilakukan dan tidak menunjukkan timbulnya komplikasi. Cara pemberian ini tidak dianjurkan terutama
pada pasien dengan pecahnya ketuban sebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan
menunjukkan bahwa indomethacin tidak berefek terhadap oksigenasi fetal atau aliran darah fetal-
maternal.

Perfusi uteroplasenta juga tidak terganggu, demikian pula tekanan darah dan denyut jantung ibu.
Penggunaan indomethacin selama lebih dari 7 hari, berkaitan dengan timbulnya depresi, pusing, dan
psikosis dan sering sakit kepala.9,17,19

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus

Indomethacin telah ditemukan berkaitan dengan adanya morbiditas pada bayi baru lahir, terutama jika
terapi tokolitik tidak berhasil dan bayi dilahirkan premature atau obat digunakan lebih dari 2 hari.
Laporan-laporan ini dan lainnya menunjukkan bahwa bila terapi indomethacin ini melebihi 48 jam, maka
terjadi peningkatan resiko bagi neonatus untuk mengalami enterokolitis nekrotikans, perdarahan
intraventrikuler, peningkatan resiko displasia bronkhopulmoner, gagal napas, disfungsi ginjal, dan
insiden yang lebih tinggi untuk terjadinya penutupan duktus arteriosus yang dini akibat indomethacin
setelah lahir. Konstriksi duktus arteriosus, oligohidramnion, merupakan efek samping yang paling serius
berkaitan dengan penggunaan obat ini.1,9,11,18-20

Indomethacin telah dicurigai menyebabkan konstriksi duktus arteriosus fetal, konstriksi parsial duktus
akibat indomethacin belum didokumentasikan oleh beberapa peneliti, walaupun penelitian yang lain
telah menemukan kejadiannya yang ternyata cukup sering mendekati 50%. Konstriksi duktus pada
neonatus bersifat reversibel dan akan hilang bila terapi indomethacin dihentikan. Semakin banyak bukti
yang menunjukkan bahwa konstriksi duktus jarang terjadi sebelum 34 minggu, tetapi frekuensinya
meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan. Walaupun dosis efektif terkecil yang digunakan,
konstriksi duktus tidak bergantung pada kadar obat dalam serum fetal. Penutupan prematur duktus
arteriosus dapat menyebabkan hipertensi pulmonal primer pada neonatus yang dapat berakibat fatal.1,19

18
Bila persalinan terjadi dalam 48 jam sejak pemberian indomethacin atau terapi melebihi 48 jam, akan
menyebabkan peningkatan resiko morbiditas neonatal.

Indomethacin dan penghambat sintetase prostaglandin lainnya termasuk Ibuprofen bersifat melawan
efek hambatan prostaglandin terhadap hormon antidiuretik yang akan mengakibatkan berkurangnya
urin output janin dan volume cairan amnion. Obat ini dapat kurang atau sama efeknya terhadap
konstriksi duktus dan volume cairan amnion.1,18,19

Sama seperti seluruh obat yang diberikan pada ibu, ahli neonatologi dan dokter anak harus waspada
terhadap bayi baru lahir yang terpapar dengan indomethacin dan harus dipertimbangkan efek obat
terutama pada bayi prematur. Karena resiko utama yang berupa hipertensi pulmonal pada bayi baru
lahir setelah tokolitik indomethacin meningkat dengan terapi yang memanjang, tampaknya bijaksana
untuk membatasi penggunaannya hingga 24-48 jam untuk menghindari atau mengurangi insiden
komplikasi yang terjadi pada janin dan neonatus. Juga direkomendasikan bahwa terapi hanya terbatas
pada usia kehamilan 32-34 minggu.1,19

E. OAINS Lain Sebagai Tokolitik

Seperti yang kita ketahui OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase (COX) yang
mempunyai 2 tipe yaitu COX-1 dan COX-2. Indomethacin adalah OAINS yang bekerja pada kedua tipe
ini.1,22

Pada manusia peningkatan kadar COX tipe 2 diyakini lebih bermakna terhadap terjadinya persalinan
prematur dibanding COX tipe 1.9,23 Contoh obat-obat yang dapat digunakan sebagai tokolitik dari
golongan ini adalah Nimesulid dan Celecoxib.1, 22

Nimesulid dapat dipakai sebagai tokolitik tetapi juga dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal stadium
akhir pada manusia sehingga hal inilah yang membatasi penggunaannya.22

Sedangkan celecoxib dengan dosis 50, 10, 1 mg/kgbb dapat digunakan sebagai tokolitik yang dapat
menunda persalinan dibandingkan tanpa celecoxib dengan efek samping penutupan dini dari duktus
arteriosus yang lebih kecil disbanding indomethacin.22

VII. PERANAN MAGNESIUM SULFAT (MgSO4) SEBAGAI TOKOLITIK

MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai anti kejang pada penderita preeklamsia sebagai anti
kejang yang juga bersifat sebagai tokolitik. Di Amerika Serikat obat ini dipakai sebagai
obat tokolitikutama karena murah, mudah cara pemakaiannya dan resiko terhadap sistem
kardiovaskuler yang rendah serta hanya menghasilkan efek samping yang minimal terhadap ibu, janin
dan neonatal. Kerugian terbesar yang signifikan dari penggunaan magnesium sulfat sebagai
obat tokolitik adalah harus diberikan secara parenteral. Hall (1959) pada pengamatannya menemukan
terjadinya hambatan kontraksi uterus hampir komplit pada kadar serum MgSO4 antara 8-10 mEq/l. Rusu
(1966) adalah orang pertama yang memakai MgSO4 sebagai tokolitik.1,5,23,24 dan Kiss dan Szoke (1975)
melaporkan penggunaan MgSO4 intravena sebagai tokolitik.24

19
A. Farmakokinetik

Jumlah total magnesium dalam tubuh manusia adalah 24gr yang sebagian besar terdapat pada tulang
dan ruang intraseluler dan hanya 1% pada ekstraseluler.

Konsentrasi magnesium pada serum wanita normal berkisar antara 1,83 mEq/l dan turun menjadi 1,39
mEq/l pada wanita hamil.5,11,23

Magnesium dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal oleh karena itu konsentrasi magnesium plasma
ditentukan oleh jumlah pemberian melalui infus dan kecepatan filtrasi glomerulus.23

MgSO4 mempunyai dua cara yang memungkinkannya bekerja sebagai tokolitik yang pertama
peningkatan kadar MgSO4 menurunkan pelepasan asetilkolin oleh motor and
plates pada neuromuskular junction sehingga mencegah masuknya kalsium, cara yang kedua MgSO4
berperan sebagai antagonis kalsium pada sel dan ekstrasel.9,11,16,23,25

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik

Intoksikasi MgSO4 dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, refleks
patella ada dan tidak ada depresi pernapasan. Refleks patella menghilang pada kadar 10 mEq/l (antara
9-13 mg/dl) dan pada kadar plasma lebih dari 10 mEq/l akan timbul depresi pernapasan dan henti napas
dapat terjadi pada kadar plasma 12 mEq/l atau lebih. MgSO4 sebagai terapi tokolitik dimulai dengan
dosis awal 4-6 gr secara intravana yang diberikan selama 15-30 menit dan diikuti dengan dosis 2-4
gr/jam selama 24 jam.5,8,9,23,25 selama terapi tokolitik dilakukan konsentrasi serum ibu biasanya
dipelihara antara 4-9 mg/dl. Untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya intoksikasi seperti hal di
atas maka perlunya disediakan kalsium glukonas 1 gr sebagai anti dotum dari MgSO4.8,9,23,25

C. Efek Terhadap Ibu

Elliot merupakan salah satu dari yang pertama kali menggambarkan efek samping maternal yang dapat
timbul pada pasien yang menerima magnesium sulfat untuk menghambat persalinan prematur. Pada
355 pasien dengan diagnosis persalinan prematur yang diterapi dengan magnesium sulfat setelah
dirujuk dari rumah sakit lain, efek samping muncul pada 7% pasien, dan 2% diantaranya perlu dihentikan

pemberiannya. Komplikasi yang terlihat berupa edema pulmonal, nyeri dada, nausea berat atau
kemerahan, mengantuk, dan pandangan kabur. Namun, secara keseluruhan, efek samping terhadap ibu
jarang terjadi. Pada studi ini, magnesium sulfat juga dianggap sebagai obat yang berhasil, murah dan
relatif non toksik dengan efek samping yang sedikit. Banyak penyelidik telah mengkonfirmasi penemuan
ini, membuat magnesium sulfat menjadi obat tokolitik yang umum digunakan.5,9,18,23,25

Efek samping yang paling signifikan dari terapi magnesium sulfat adalah berkembangnya edema
pulmonal. Elliot menemukan insiden sebesar 1,1% pada pasien yang menerima tokolitik magnesium
sulfat. Resiko ini lebih kecil pada magnesium sulfat jika dibandingkan dengan ß-adrenergik agonis.
Edema pulmonal merupakan komplikasi yang serius dan berpotensi mematikan akibat komplikasi
terapi tokolitik. Armson mengevaluasi dinamika ibu-janin selama terapi tokolitik dengan kedua obat ini,

20
menyimpulkan bahwa retensi natrium tampaknya menjadi penyebab utama ekspansi volume plasma
pada pasien. Ekspansi volume selama terapi magnesium sulfat mungkin berkaitan dengan overhidrasi
intravena. Ekspansi atau overload cairan merupakan mekanisme utama untuk terjadinya edema
pulmonal selama terapi tokolitik. Ginjal merupakan jalur eksresi utama dari magnesium. Jika timbul
fungsi ginjal yang buruk, atau rata-rata infus magnesium terlalu tinggi, maka hipermagnesia dengan
sekuele yang signifikan dan serius tidak hanya untuk pasien namun juga untuk janinnya dapat timbul.
Efek samping termasuk penurunan reflex patella, depresi pernafasan, perubahan konduksi miokardium,
henti nafas, dan henti jantung. Pada pasien yang menerima magnesium sulfat intravena, kadar
magnesium serum dan keseimbangan cairan harus diawasi ketat.5,9,10,23

Henti nafas dapat muncul pada pasien dengan miastenia gravis dan diterapi dengan magnesium sulfat.
Karena resiko ini, pasien dengan miastenia gravis harusnya tidak menerima baik magnesium sulfat atau
ß-adrenergik agonis sebagai obat tokolitik.9,10,18,23,25

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus

Sebagian besar, penggunaan terapi infus magnesium sulfat intravena hanya memiliki resiko yang sedikit
terhadap janin dan neonatus.23

Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin dan ibu. Namun,
perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada neonatus dari pasien yang menerima infus
magnesium sulfat jangka panjang (lebih dari 1 minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk
abnormalitas tulang secara radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang parietal,
dan mineralisasi tulang yang abnormal.23

Laporan kasus telah menyatakan bahwa beberapa obat, ketika digunakan dengan magnesium sulfat,
dapat mengakibatkan komplikasi. Penggunaan magnesium sulfat dengan gentamisin dan aminoglikosida
lain telah menyebabkan potensiasi kelemahan neuromuskuler, selain itu magnesium yang ditambah
nifedipin dapat menyebabkan efek hipotensif yang bermakna karena potensiasi nifedipin terhadap aksi

penghambatan neuromuskular dari magnesium.5,6,11,23

Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek sampingnya terhadap
ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau merusak.23

VIII. PERANAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (NIFEDIPINE) SEBAGAI TOKOLITIK

Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus dengan
mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung padavoltase. Terdapat beberapa
kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman klinis adalah dengan nifedipin.26

Awal 1960an nifedipine digunakan sebagai anti angina dan juga merupakan salah satu obat anti
hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu hamil maupun tidak hamil. Pada saat ini obat ini juga
diketahui memiliki peran di bidang obstetri dan ginekologi khususnya pada penanganan persalinan
prematur.5,26,27

21
Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya dan sedikit insiden terjadinya efek samping.
Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik ketika dibandingkan dengan plasebo atau obat-
obat lainnya. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa efektivitas obat ini sama dengan ritodrin dalam
mencegah persalinan prematur.5,26

A. Farmakokinetik

Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral ataupun sublingual. Konsentrasi
maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90 menit setelah pemberian oral, dengan
pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian. Lama kerja obat
pada pemberian dosis tunggal dapat sampai 6 jam dan tidak terjadi efek komulatif pada pemberian oral
setiap 6 jam.

Absorpsi secara oral tergantung dari keasaman lambung. Nifedipine dimetabolisme di hepar, 70-80%
hasil metabolismenya dieksresikan ke ginjal dan sisanya melalui feses.5,26

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik

Dosis nifedipine untuk terapi pada persalinan prematur pada percobaan klinik bervariasi. Dosis inisial
30mg per oral atau 30mg ditambah 20mg peroral dalam 90 menit atau 10mg sublingual setiap 20 menit,
dengan diikuti oleh 4 dosis tambahan sebanyak 20mg peroral setiap 4-8 jam untuk terapi tokolitik.
Sebagai dosis perawatan 10-20mg setiap 4-12 jam.26

Pemberian nifedipine dikontraindikasikan untuk penderita penyakit hati dan hipotensi.5,9,-11,21,26

C. Efek Terhadap Ibu

Nifedipin menghasilkan hipotensi sistemik dengan menyebabkan vasodilatasi perifer. Obat ini telah
digunakan dalam terapi hipertensi selama kehamilan atau post partum. Secara klinis, ketika digunakan
untuk terapi persalinan prematur, obat ini memiliki efek terhadap kardiovaskular yang minimal.26

Ferguson melaporkan tokolitik nifedipin berhubungan dengan hemodilusi yang dapat meningkatkan
resiko edema pulmonal non kardiogenik. Obat ini tidak memiliki efek terhadap elektrolit plasma.
Nifedipin yang digunakan dengan magnesium sulfat menghasilkan blokade neuromuskular dan jika
timbul, akan terlihat kelemahan otot yang berat, yang dapat dikoreksi jika magnesium dihentikan.
Magnesium adalah obat penghambat neuromuskuler dan efek ini dapat diperoleh juga dengan
pemakain nifedipin. Laporan-laporan kasus mengenai interaksi obat ini dapat dijumpai, namun
kemunculan interaksi jarang dijumpai. Hipotensi yang signifikan muncul ketika kedua obat ini digunakan
bersamaan sehingga harus hati-hati jika menggunakan penyekat kanal kalsium dengan magnesium
sulfat.5,11,26

Meskipun penyekat kalsium hanya digunakan pada studi-studi penyelidikan di masa lalu, obat ini
digunakan secara luas. Ketika digunakan secara klinis, jarang dijumpai efek samping yang signifikan
terhadap ibu, namun dapat dijumpai takikardia, kemerahan pada kulit, sakit kepala, pusing, nausea,
vasodilatasi, dan hipotensi yang jarang terjadi pada pasien hipovolemik, yang dapat diterapi secara

22
efektif dengan mengurangi dosis obat. Hepatotoksisitas maternal yang diinduksi oleh obat telah
dilaporkan ketika nifedipin digunakan untuk terapi persalinan premature sehingga mengakibatkan
dihentikannya pemberian obat ini. Hal ini jarang muncul namun tes fungsi hepar awal dan periodik
mungkin diindikasikan untuk dilakukan ketika nifedipin digunakan untuk periode yang lama.5,9,17,21,26

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus

Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal kalsium menjanjikan beberapa
harapan sebagai obat tokolitik karena efek samping terhadap ibu yang lebih sedikit, beberapa perhatian
muncul menyangkut efeknya terhadapjanin. Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang dilaporkan
telah memperlihatkan adanya penurunan aliran darah uteroplasenta, tekanan darah, hiperkapnia,
asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Studi-studi hewan baru-baru ini telah diiringi dengan
pengamatan terhadap janin wanita hamil.17,21,26

Namun, hanya terdapat studi-studi klinis yang dipublikasikan dalam jumlah yang terbatas yang
menggunakan penyekat kanal kalsium. Obat ini mencapai kepopuleran sebagai obat tokolitik lini kedua
ketika terapi lini pertama gagal. Tidak terdapat morbiditas janin atau neonatus yang signifikan dari
penggunaan klinis nifedipin sebagai obat tokolitik. Namun, studi-studi lebih lanjut diperlukan karena
jarangnya data yang tersedia sebelum obat direkomendasikan untuk dapat digunakan lebih luas.

Untuk saat ini, obat ini tampaknya diindikasikan dan bermanfaat ketika obat yang lain gagal. Di masa
depan, obat ini dapat merupakan obat tokolitik yang bernilai dan bermanfaat dengan efek samping
yang lebih sedikit.26

IX. PERANAN ANTAGONIS OKSITOSIN SEBAGAI TOKOLITIK

Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi obat tokolitik di masa depan.
Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang
tinggi dan kurangnya efek samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik
baru pada golongan obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa.
Atosiban menghasilkan efek tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor
oksitosin.1-3,11,28,29

A. Farmakologi Atosiban

Atosiban ({1-deamino-2-D-Tyr(Oet)-4-Thr-8-Orn}-oxytosin) adalah antagonis reseptor oksitosin, yang


dikembangkan untuk terapi persalinan prematur. Atosiban merupakan antagonis kompetitif dari
oksitosin yang menghambat oksitosin menginduksi terjadinya kontraksi uterus. Selama persalinan
peningkatan respon miometrium terhadap oksitosin disebabkan banyaknya jumlah reseptor oksitosin
di miometrium, dimana konsentrasi reseptor oksitosin lebih banyak di korpus uteridibandingkan di
segmen bawah rahim atau serviks. Atosiban memblok kerja oksitosin pada reseptor ini. Rata-rata dosis
tetap pasien yang mendapatkan infuse atosiban adalah 442ą73 ng/ml (mean ą SD), dengan dosis tetap
tersebut diperoleh 1jam sesudah infus dimulai. Sesudah terapi infus selesai konsentrasi plasma
menurun cepat dengan waktu paruh awal 18 ą 3 menit.2,28,29

23
B. Keefektifan Atosiban sebagai Tokolitik

Penggunaan Atosiban sebagai tokolitik telah resmi dipakai di UK. Dosis yang diberikan dan jadwal
pemberian adalah sebagai berikut: dosis pertama bolus 6,75 mg atosiban selama lebih dari 1 menit,
dilajutkan infus 18 mg/jam selama 3 jam dan 6mg/jam selama 45 jam. Lama pemberian tidak boleh
melebihi 48 jam, dan total dosis pemberian tidak melebihi 330 mg.2,3

Menurut Romero dkk dan Moutquin dkk pemakaian atosiban sebagai tokolitik dengan dosis dimulai
bolus intravena 6,75 mg dalam 0.9 ml isotonik cairan sodium klorida, diikuti dengan pemberian infus 300
ĩgr/menit dalam dekstrosa 5% untuk 3 jam pertama, dan 100 ĩgr/menit selama 18 jam. Pada akhir terapi
atau 6 dan 12 jam sesudah terapi dimulai, kemajuan persalinan dinilai, berdasarkan 2 dari 3 kriteria yang
ada, yaitu adanya ≥4 kontraksi uterus dalam 1 jam, peningkatan pembukaan serviks ≥1 cm dari
pembukaan awal sebelum terapi dimulai, dan pendataran serviks ≥25% dari pengukuran awal. Jika
persalinan maju atau timbul efek samping yang tidak bisa ditoleransi pada ibu terapi dihentikan,
dan tokolitik lain bisa digunakan.2

Atosiban telah dibandingkan dengan tiga macam ß-adrenergik agonis lain (ritodrin, salbutamol dan
terbutalin) dalam penelitian multisenter yang besar (733 wanita). Tampak perbedaan yang kecil
kerja tokolitik tersebut dalam menunda persalinan. Pada wanita yang mendapatkan atosiban 317/361
(88%) persalinan tidak terjadi pada 48 jam, sedangkan pada agonis beta 330/372 (89%) (RR 0,99; 95% CI
0,94-1,04). Pada hari ke-7 287/361(80%) tidak terjadi persalinan pada pemakaian atosiban dibandingkan
dengan 288/372 (77%) (RR 1,03;95% CI 0,95-1,11).2,3

Atosiban lebih mahal dibandingkan ß-adrenergik agonis dan nifedipin. Harga obat untuk pemakaian 19
jam pada atosiban sebesar 240 poundsterling, dibandingkanbiaya yang dikeluarkan untuk waktu yang
sama pemakaian ritodrin 40-80 poundsterling, dan 17-25 poundsterling untuk pemakaian nifedipin.1-3

C. Efek Samping

Efek samping yang dilaporkan sampai saat ini dan telah dibandingkan dengan golongan beta agonis
seperti nyeri dada (1% vs 5%), palpitasi (2% vs 16%), takikardi (6% vs 76%), hipotensi (3% vs 6%),
dyspneu (0,3% vs 7%), mual (12% vs 16%), muntah ( 7% vs 22%) dan sakit kepala (10% vs 19%) serta satu
kasus dengan edema pulmonum yang mana wanita tersebut juga mendapat terapi tokolitiksalbutamol
selama 7 hari dibandingkan dengan grup ß agonis terdapat 2 orang yang menderita edema pulmonum.1-
3

Insidensi terjadinya efek samping kardiovaskular pada pemakaian atosiban dibandingkan ritodrin jauh
lebih rendah (4% dibanding 84,8%, p<0,001). Rata-rata penurunan nadi pada pemakaian atosiban, hanya
sedikit dan tidak bermakna (dari 88 x/m, menjadi 84 x/m). Pada pemakaian ritodrin terdapat
peningkatan nadi yang nyata pada 6 jam pertama pemberian tokolitik (dari 87 x/m menjadi 117 x/m),
sesudah terapi selesai nadi menurun namun masih melebihi nadi awal (105 x /m, p<0,0001).

Pada pemakaian ritodrin dan atosiban tidak didapatkan kematian janin, kematian neonatal yang terjadi
pada keduanya sama, namun tidak disebabkan oleh efek dari pemberian obat tetapi akibat imaturitas

24
(<26 minggu). Kejadian bradikardia dan fetal distress pada kedua kelompok sama, sedangkan denyut
jantung janin pada kelompok atosiban menurun tidak bermakna (dari 142 kali/menit menjadi 138
kali/menit), pada ritodrin meningkat dari 142 kali/menit menjadi 155 kali/menit (p<0,0001).2,3

Antagonis oksitosin mempunyai efek inhibisi pada pengeluaran air susu pada hewan menyusui. Akan
tetapi, efek samping pada masa post partum hampir tidak ada karena waktu paruhnya yang relatif
pendek (16,4 + 2,2 menit pada wanita yang tidak hamil) dan sifatnya yang reversibel. Pengaturan sentral
reseptor-reseptor uterus yang berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap atosiban belum
diketahui. Atosiban tidak mengubah sensitivitas miometrium kehamilan terhadap oksitosin.2,3

D. Terapi pemeliharaan Atosiban sebagai tokolitik

Terapi pemeliharaan pada atosiban diberikan menggunakan 3 ml pompa infuse subkutan, dengan dosis
secara kontinyu 6 mL/jam (30ĩg/menit). Terapi pemeliharaan dihentikan pada umur kehamilan 36
minggu, persalinan, atau kemajuan persalinan menimbulkan perlunya diberikan tokolitik dengan cara
lain. Penelitian secara randomisasi buta ganda, pada 517 wanita yang sudah mendapatkan atosiban dan
dilanjutkan terapi pemeliharaan pada 252 menerima plasebo dan 281 wanita mendapatkan injeksi
atosiban subkutan, didapatkan hasil timbulnya tanda persalinan preterm kembali pada kelompok yang
mendapatkan terapi atosiban lebih lama muncul dibandingkan plasebo (rata-rata 32,6 hari, dibanding
27,6 hari, p=0.02).

Proporsi pasien yang membutuhkan terapi ulang dengan atosiban intravena lebih besar pada pasien
yang mendapatkan terapi pemeliharaan plasebo. Efek samping pemberian terapi pemeliharaan dengan
atosiban dan plasebo sebanding, kecuali tentang munculnya reaksi pada lokasi suntikan, yang lebih
sering terjadi pada kelompok atosiban.2

X. KESIMPULAN

Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di dalamnya β agonis,
calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor, magnesium sulfat, antagonis receptor
oxytocin yang masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangan sebagai preparat tokolitik.

Penggunaan terapi tokolitik tidak mengurangi angka kelahiran prematur dan peningkatan luaran bayi
tetapi berfungsi ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan untuk lebih mendapatkan pelayanan
yang sempurn dan untuk pemberian terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan paru.

Selain itu pentingnya pengawasan terhadap ibu selama pemakaian terapi tokolitik untuk menghindari
efek-efek yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada bayi.

XI. RUJUKAN

1. Groom KM, Bennett PR. Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour – A Clinically Based
Review. The Obstetrician & Gynaecologist. 2004.

25
2. Sulistiari R. Atosiban Sebagai Tokolitik.: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

3. Draycott TJ, Mahmood TA, Fisk N, Marlow N, Tuffnel DJ, Wan Po. Tocolytic Drug for Women in
Preterm Labour: Clinical guidelines no. 1(B), Royal College of Obstetricians and Gynecologists.
2002.

4. Ganla KM, Shroff SA, Desail S, Bhinde AG.A Prospective Comparison of Nifedipine and
Isoxsuprine for Tocolysis. Nowrosjee Wadia Maternity Hospital, Parel, Mumbai. Research Article.
2000.

5. Winarta IM, Peranan Antagonis Kalsium Sebagai Tikolitik. Lab/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan FK UNUD/RS Sanglah. Denpasar. 2002.

6. Cararach V, Palacio M, Martinez S, Deulofeu P, Sanchez M, Cobo T, Coll O. Nifedipine versus


Ritodrine for Suppression of Preterm Labor Comparison of Their Efficacy and Secondary Effects.
European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2006;127:205-08.

7. Boggess KA. Pathophysiology of Preterm Birth: Emerging Concepts of Maternal Infection. Clin
Perinatol. 2005;32:561-69.

8. Huddleston JF, Ramos LS, Huddleston KW. Acute Management of Preterm Labor. Clin Perinatol.
2003;30:803-824

9. American Academy of Family Physician. Preterm Labor: Diagnosis and Treatment. 1998

10. American College of Obstetricians and Gynecologist. Physicians Insurance. Preterm Labor.1995

11. Cunningham FG. Kelahiran Preterm. Obstetri Williams. Edisi 21, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006 : 763-808

12. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. POGI. Persalinan Preterm. 2004 ; 364-83

13. Wani MP, Barakzai N, Graham I, Glyceryl Trinitrate vs Ritodrine for the Treatment of Preterm
Labor. International Journal of the Obstetrics & Gynecology and Reproductive. 2004;85:165-67.

14. Hill WC. Risk and Complication of Tocolysis. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:725-40

15. Boyle JG. Beta-Adrenergik Agonist. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:688-96

16. Hernandez DM, Rivera MJ, Ocampo AN, Palma JA, Lopez HS. Drug Therapy and Adverse Drug
Reactions to Terbutaline in Obstetric Patient: A Prospective Cohort Study in Hospitalized
Women. BMC Pregnancy and Childbirth. 2002.

17. Berkman ND, Thorp JM, Lohr KN, Carey TS, Hartmann KE, Gavin NI, Hasselblad V, Idicula AE.
Tocolytic Treatment for the Management of Preterm Labor: A Review of the Evidence. Am J
Obstet Gynecol. 2003;188:1648-59.

26
18. Management of Preterm Labor. URL: http://www.guideline.gov. Downloaded from National
Guideline Clearinghouse, February 12, 2006.

19. Gordon MC, Samuel P. Indomethacin. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:697-705

20. Suarez RD, Grobman WA, Parilla BV. Indomethacin Tocolysis and Intraventricular Hemorrhage.
Department of Obstetrics and Gynecology, Nothwestern Memorial Hospital. Chicago, Illinois.
2001; 97:921-25.

21. NSW Pregnancy & Newborn Services Network. Protocol for Administration of Tocolytic Agent for
Threatened Preterm Labour. 2002.

22. Sakai M, Tanebe K, Sasaki Y, Momma K, Yoneda S, Saaito S. Evaluation of the Tocolytic Effect of
A Selective Cyclooxygenase-2 Inhibitor in A Mouse Model of Lipopolysaccharide- Induced
Preterm Delivery. Molecular Human Reproduction. 2001;7:595-602.

23. Gordon MC, Iams JD. Magnesium Sulfat. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:706- 1226

24. Tan TC, Devendra K, Tan LK, Tan HK. Tocolytic Treatment for the Management of Preterm
Labour: A Systematic Review. Singapore Med J. 2006.

25. American Medical Association. Terbutaline Pump and Tocolytic Therapy. 2005.

26. Dyson D, Ray D. Calcium Channel Blockers. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:713-21

27. Papatsonis NM, Lok AR, Bos JM, Geijn HP, Dekker GA. Calcium Channel Blockers in the
Management of Preterm Labor and Hypertension in Pregnancy. European Journal of Obstetrics
& Gynecology and Reproductive Biology. 2001;97:122-40.

28. Shubert PJ. Atosiban. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:722-24

29. Reinheimer TM, Bee WH, Resendez JC, Meyer JK, Haluska GJ, Chellman GJ. Barusiban A New
Higly Potent and Long-Acting Oxytocin Antagonist: Pharmacokinetic and Pharmacodynamic
Comparison with Atosiban an A Cynomolgus Monkey Model of Preterm Labor. The Journal of
Clinical Endocrinology & metabolism 90. 2005;4:2275-81.

30. Tosun F, Gonenc A, Simsek B. Comparison of the tocolytic Effects of Ritidrine and Ca++ Channel
Blockers on Serum Oestradiol and Progesterone Levels. Department of Biochemistry, Faculty of
Pharmacy, Gazy University, Ankara-Turkey. Research Article. 2001.

31. Cunningham FG. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Obstetri Williams. Edisi 21, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006 : 661-65. 27

27
Penguat kandungan yang tersedia di pasaran pun ada banyak jenisnya akan
tetapi dokter paling umum akan memberikan 4 jenis penguat, diantaranya
Utrageston, Duphaston, Cygest dan Premaston.

1. Premaston

go-obat.com

Premaston merupakan salah satu obat penguat kandungan yang berguna


mencegah kelahiran prematur dengan cara menguatkan hormon plasenta
pada kandungan.
Kandungan premaston yaitu Allyestrenol sebanyak 5 mg.
Penggunaan obat ini harus sesuai dosis agar tetap aman bagi ibu dan janin.
Editors' Picks
 Jangan Malas Bergerak, Ini Dia 6 Manfaat Jalan Pagi saat
Hamil
 10 Asupan untuk Meningkatkan Produksi Sperma Pria

28
 7 Kendala yang Membuat Ibu Menyusui Gagal Menyapih

2. Cygest

go-obat.com

Cygest merupakan salah satu obat penguat kandungan yang banyak


direkomendasikan para dokter.
Cygest mengandung hormon esterogen 400 mg dan dapat diberikan
sebanyak 2 kali sehari guna menghindari keguguran.
Obat ini biasanya diberikan bila Mama pernah memiliki riwayat keguguran.
Cara pemberian obat ini bisa melalui vagina maupun anus.
Pastikan Mama tidak menderita infeksi vagina, radang saluran kemih, radang
usus maupun konstipasi agar tidak berbahaya dan obat dapat bekerja dengan
baik.

3. Duphaston

29
klik-apotek.com

Duphaston memiliki kandungan dydrogesterone 10 mg yang merupakan


progesteron sintetis.
Biasa diberikan oleh dokter untuk mengobati endometriosis, sindrom pre
menstruasi, infertilitas ataupun disminorhe yang diderita pasien.
Pemberian dosis Duphaston dapat berbeda antar ibu hamil bergantung pada
kondisi.
Untuk mencegah keguguran biasanya kadar dosis yang diberikan yaitu
sebanyak 40 mg sekaligus dalam satu waktu kemudian diikuti 5 sampai 10
mg tiap 8 jam sekali.
Penggunaan obat ini tidak boleh sembarangan dan Mama harus berkonsultasi
terlebih dulu dengan dokter kandungan.

4. Utrogestan

30
klik-apotek.com

Utrogestan merupakan obat penguat kandungan yang terdiri dari progesteron


termikronisasi. Tersedia dalam dua dosis di pasaran yakni kapsul 200 mg dan
100 mg.
Kelebihan obat ini yaitu dapat diberikan melalui anus maupun secara oral
dengan cara diminum layaknya obat pada umumnya.
Utrogestan yang dikonsumsi ibu hamil juga bisa membantu sekresi ASI lho.
Obat ini selain menguatkan kandungan ternyata diketahui juga dapat
diberikan guna mengatasi amenore primer serta sekunder, gangguan
menstruasi, dan juga terapi gejala menopuese.
Tetapi Mama perlu berkonsultasi ke dokter karena obat ini tidak dapat
dikonsumsi sembarangan.

Apa efek samping obat penguat kandungan?

31
Pexels/rawpixel.com

Obat penguat kandungan tidak memiliki efek membahayakan selama


dikonsumsi sesuai dosis dan anjuran dokter. Efek samping yang biasanya
terjadi antara lain:

 Nyeri di bagian perut


 Meningkatkan suhu tubuh
 Konstipasi atau susah buang air besar (BAB)
 Mual dan muntah
 Gairah sex menurun
 Payudara terasa kencang dan sakit
 Migrain atau sakit kepala
Kecil kemungkinan timbulnya efek samping seperti di atas. Namun saat efek
samping muncul Mama tidak perlu khawatir selama menjaga asupan bergizi
selama hamil.
Bagaimanapun kesehatan janin merupakan yang utama dan harus dijaga
sebaik-baiknya.

32
Preeklampsia adalah kondisi yang terjadi pada kehamilan yang memasuki usia minggu ke-20,
ditandai dengan tingginya tekanan darah tinggi walaupun ibu hamil tersebut tidak memiliki
riwayat hipertensi. Preeklampsia biasanya disertai dengan gejala proteinuria (protein di dalam
urin), dan bengkak pada kaki dan tangan. Setidaknya preeklampsia dialami oleh 5 hingga 8
persen ibu hamil. Selain itu, diketahui bahwa lebih dari 500 juta perempuan di seluruh dunia
meninggal akibat komplikasi yang terjadi pada kehamilan. Sekitar 10 hingga 15 persen dari
angka kematian tersebut, diakibatkan oleh preeklampsia yang dialami oleh ibu hamil.

Tidak hanya kematian ibu yang tinggi, preeklampsia mengakibatkan 1000 bayi meninggal dunia
setiap tahunnya. Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan preeklampsia pada ibu
hamil, sehingga ini dapat menjadi momok yang menakutkan. Namun ibu hamil dapat menjaga
kesehatannya dengan mengetahui faktor risiko, gejala, dan penanganannya, untuk menurunkan
risiko ibu hamil mengalami komplikasi yang lebih parah.

Penyebab preeklampsia
Preeklampsia terjadi karena ada gangguan pada pertumbuhan serta perkembangan plesenta,
sehingga hal ini mengganggu aliran darah ke bayi maupun ibu. Plasenta merupakan organ
yang khusus dibentuk saat kehamilan dan berfungsi sebagai pemasok makanan maupun
oksigen dari ibu ke janin. Makanan dan oksigen didistribusikan melalui aliran darah, oleh karena
itu untuk mendukung pertumbuhan serta perkembangan janin, plasenta membutuhkan pasokan
aliran darah yang besar dan konstan. Namun pada ibu yang mengalami preeklampsia, plasenta
tidak mendapatkan darah yang cukup. Hal ini terjadi diperkirakan akibat plasenta yang tidak
bekerja dengan baik untuk menyalurkan aliran darah tersebut, kemudian mengganggu
pembuluh darah dan tekanan darah pada ibu.

Mengapa plasenta tidak bekerja dengan baik? Tepat setelah telur dibuahi oleh sperma, calon
janin tersebut akan menempel pada rahim sebagai tempat tumbuhnya hingga proses kelahiran
nanti. Ketika proses itu terjadi, calon janin juga membentuk suatu ‘akar’ dari pembuluh darah
ibu yang kemudian akan berkembang menjadi plasenta. Untuk membuat akar tersebut menjadi
plasenta, maka harus ada nutrisi dan makanan yang cukup. Saat makanan yang dikonsumsi ibu
tidak mengandung nutrisi yang dibutuhkan dalam perkembangan tersebut, plasenta akan
terganggu dan hal ini yang menyebabkan preeklampsia terjadi.

Tidak hanya itu, tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan gangguan pada ginjal ibu,
karena itu ibu yang mengalami preeklampsia juga mengalami proteinuria, yaitu kondisi di mana
ginjal tidak bisa menyaring protein dengan baik sehingga menyebabkan protein ada di dalam
urin.

Siapa saja yang berisiko mengalami


preeklampsia?
Berbagai faktor risiko dapat menyebabkan preeklampsia terjadi pada ibu hamil, yaitu:

 Ibu memiliki riwayat atau masalah kesehatan lain seperti, diabetes mellitus, penyakit ginjal,
tekanan darah tinggi, lupus, atau sindrom antifosfolipid.

33
 Memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya. Sebanyak 16% ibu yang pernah
mengalami preeklampsia, pada kehamilan berikutnya mengalami preeklampsia kembali.
 Hamil pada usia di atas 35 tahun atau bahkan kurang dari 18 tahun
 Ibu yang hamil untuk pertama kalinya
 Ibu hamil yang mengalami obesitas
 Ibu hamil yang mengandung bayi kembar
 Ibu yang memiliki jeda kehamilan 10 tahun dengan kehamilan sebelumnya

Selain itu, faktor risiko lain yang bisa menyebabkan preeklamsia adalah faktor genetik, diet,
gangguan pada pembuluh darah, dan gangguan autoimun.

Gejala dan tanda preeklampsia


Ibu yang mengalami preeklampsia, biasanya akan mengalami gejala dan tanda sebagai berikut:

 Tiba-tiba mengalami pembengkakan pada muka, kaki, tangan, dan mata


 Tekanan darah menjadi sangat tinggi, yaitu lebih dari 140/90mmHg
 Terjadi peningkatan berat badan dalam 1 atau 2 hari
 Nyeri pada perut bagian atas
 Nyeri kepala yang sangat parah
 Timbul rasa mual dan muntah
 Penglihatan kabur
 Penurunan frekuensi dan jumlah urin
 Terdapat protein pada urin (hal ini diketahui setelah melakukan pemeriksaan urin)

Namun terkadang ibu hamil yang tidak mengalami preeklampsia juga mengalami tanda serta
gejala tersebut, oleh karena itu penting untuk memeriksakan diri ke dokter saat hamil

Apa dampak preeklampsia?


Preeklampsia dapat menyebabkan plasenta tidak mendapatkan aliran darah yang cukup yang
seharusnya didistribusikan ke janin. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah pada
pertumbuhan dan perkembangan janin, karena janin tidak mendapatkan cukup makanan dari
ibu. Masalah yang sering muncul pada janin akibat ibu mengalami preeklampsia adalah berat
badan lahir rendah dan kelahiran prematur. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan masalah
pertumbuhan saat anak sudah lahir, seperti gangguan fungsi kognitif, masalah penglihatan dan
pendengaran pada anak.

Kondisi preeklampsia juga menyebabkan berbagai masalah pada kesehatan ibu, yaitu:

 Stroke
 Paru-paru basah
 Gagal jantung
 Kebutaan
 Perdarahan pada hati
 Perdarahan yang serius ketika melahirkan
 Preeklampsia juga mengakibatkan plasenta tiba-tiba terputus dari ibu dan janin, sehingga
menyebabkan kelahiran mati.

34
Lalu apakah preeklamsia dapat diobati?
Satu-satunya pengobatan atau penanganan terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan
melahirkan bayi yang dikandung. Oleh karena itu, sebaiknya diskusikan hal ini dengan dokter.
Jika bayi telah cukup baik kondisinya untuk dilahirkan (biasanya usia lebih dari 37 minggu)
maka mungkin dokter akan menyarankan untuk melakukan operasi sesar atau melakukan
induksi. Hal ini dapat mencegah preeklamsia semakin memburuk. Namun jika bayi dinyatakan
tidak siap untuk dilahirkan, maka dokter akan memberikan terapi untuk mengurangi risiko
preeklampsia bertambah parah.

Jika preeklampsia yang dialami oleh ibu hamil tidak terlalu parah, maka berikut rekomendasi
yang dapat dilakukan untuk mencegah preeklamsia semakin buruk:

 Bed rest atau istirahat total, hal ini bisa dilakukan di rumah ataupun di rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan yang lebih baik.
 Melakukan pemeriksaan rutin ke dokter
 Mengonsumsi lebih banyak air mineral
 Mengurangi konsumsi garam

35

You might also like