You are on page 1of 4

Model Heckscher–Ohlin adalah model matematis perdagangan internasional yang dikembangkan oleh Eli

Heckscher dan Bertil Ohlin. Model ini didasarkan dari teori keunggulan komparatif David Ricardo dan
memprediksi pola perdagangan dan produksi berdasarkan jumlah faktor (factor endowment) suatu negara.
Model ini pada intinya menyatakan bahwa suatu negara akan mengekspor produk yang menggunakan faktor
yang murah dan berlimpah dan mengimpor produk yang menggunakan faktor langka.[1]

Asumsi-asumsi dalam model ini adalah:

 Kedua negara yang berdagang memiliki teknologi produksi yang identik


 Output produksi harus memiliki skala hasil (return to scale) yang konstan
 Mobilitas faktor
 Persaingan sempurna

Implikasi dari model ini adalah

 Teorema Heckscher–Ohlin: ekspor negara yang memiliki sumber daya modal yang berlimpah akan
berasal dari industri yang menggunakan sumber daya modal secara intensif, dan negara yang memiliki
sumber daya buruh yang berlimpah akan mengimpor barang tersebut dan mengekspor barang yang
menggunakan tenaga buruh secara intensif sebagai gantinya.
 Teorema Rybczynski: ketika jumlah satu faktor produksi meningkat, produksi barang yang
menggunakan faktor produksi tersebut secara intensif akan meningkat relatif kepada peningkatan faktor
produksi (karena model H-O mengasumsikan persaingan sempurna, yang di dalamnya harga sama
dengan biaya faktor produksi). Teorema ini mampu menjelaskan efek imigrasi, emigrasi, dan investasi
modal asing.
 Teorema Stolper–Samuelson: liberalisasi perdagangan mengakibatkan faktor yang berlimpah, yang
digunakan secara intensif dalam industri ekspor, memperoleh keuntungan sementara faktor yang langka,
yang digunakan secara intensif dalam industri yang harus berkompetisi dengan barang impor,
mengalami kerugian.
 Penyetaraan harga faktor: perdagangan bebas dan kompetitif akan mengakibatkan penyetaraan harga
faktor bersamaan dengan harga barang yang didagangkan.

Namun, pada tahun 1954, Professor Wassily W. Leontief menemukan bahwa Amerika Serikat, negara yang
sumber daya modalnya berlimpah, mengekspor komoditas yang menggunakan buruh secara intensif dan
mengimpor komoditas yang menggunakan modal secara intesif, sehingga bertentangan dengan model ini.
Permasalahan ini dijuluki sebagai paradoks Leontief.
PEMBAHASAN

 TEORI KEUNGGULAN KOMPARATIF (COMPARATIVE ADVANTAGE)

David Ricardo (1772 – 1823)

Teori Keunggulan Komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori yang dikembangkan oleh
David Ricardo pada tahun 1817. Teori keunggulan komparatif melihat keuntungan atau kerugian dari
perdagangan internasional dalam perbandingan relatif. Hingga saat ini, teori keunggulan relatif merupakan
dasar utama yang menjadi alasan negara-negara melakukan perdagangan internasional.

David Ricardo berpendapat bahwa meskipun suatu negara mengalami kerugian mutlak (dalam artian tidak
mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi kedua jenis barang bila dibandingkan dengan negara lain),
namun perdagangan internasional yang saling menguntungkan kedua belah pihak masih dapat dilakukan,
asalkan negara tersebut melakukan spesialisasi produksi terhadap barang yang memiliki biaya relatif terkecil
dari negara lain. Dengan kata lain, setiap negara akan memperoleh keuntungan jika masing-masing melakukan
spesialisasi pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih murah, dan
mengimpor apa yang dapat diprosukdinya pada biaya yang relatif lebih mahal. Ini menjelaskan bahwa mengapa
suatu negara yang memiliki sumber daya sangat lengkap, negara tersebut memilih mengimpor atau mengekspor
daripada memproduksi untuk digunakan sendiri.

Untuk mempertegas teorinya, David Ricardo memberlakukan beberapa asumsi, yaitu :

1. Hanya ada 2 negara yang melakukan perdagangan internasional.


2. Hanya ada 2 barang (komoditi) yang diperdagangkan.
3. Masing-masing negara hanya mempunyai 1 faktor produksi (tenaga kerja).
4. Skala produksi bersifat “constant return to scale”, artinya harga relatif barang-barang tersebut adalah
sama pada berbagai kondisi produksi.
5. Berlaku labor theory of value (teori nilai tenaga kerja) yang menyatakan bahwa nilai atau harga dari
suatu barang (komoditi) dapat dihitung dari jumlah waktu (jam kerja) tenaga kerja yang dipakai dalam
memproduksi barang tersebut.
6. Tidak memperhitungkan biaya pengangkutan dan lain-lain dalam pemasaran.

Untuk lebih memahaminya, dapat dilihat contoh berikut ini:

Tabel 1 : Produksi Sepatu dan Pakaian oleh Negara Indonesia dan Amerika

Jam kerja yang dibutuhkan untuk produksi Jumlah Jam Tenaga


Negara
Sepatu Pakaian Kerja
Amerika Serikat 1 2
120
Indonesia 4 6

Agar terlihat sederhana, diasumsikan ada dua negara (Amerika dan Indonesia) dan dua output (sepatu dan
pakaian). Keduanya memiliki sumber daya masing-masing 120 jam tenaga kerja (TK) untuk memproduksi
sepatu dan pakaian. Namun Amerika mampu memproduksi 1 unit sepatu dengan 2 jam TK dan 1 unit pakaian
dengan 4 jam TK. Sedangkan Indonesia membutuhkan 3 jam TK untuk memproduksi 1 unit sepatu dan 6 jam
TK untuk pakaian.
Sekedar keterangan, Amerika mampu memproduksi keduanya dengan jam TK (input) yang lebih sedikit
daripada Indonesia. Menurut teori keuntungan absolut (absolute advantage), Amerika seharusnya memproduksi
keduanya sendiri. Namun tidak demikian menurut teori keuntungan komparatif. Kita lihat perbandingannya
dibawah dengan menggunakan teori keuntungan komparatif.

Sebelum Melakukan Perdagangan

Sebelum melakukan perdagangan, produksi di kedua negara menghasilkan upah riil yang berbeda bagi TK.
Upah riil bagi TK di Amerika adalah 1 sepatu atau 1/2 pakaian. Sementara di Indonesia, upah riil TK hanya 1/4
sepatu atau 1/6 pakaian. Artinya upah di Indonesia lebih rendah dibandingkan di Amerika dan TK di Indonesia
memiliki daya beli yang relatif lebih kecil. Ini tentunya juga menimbulkan perbedaan biaya produksi, dan jika
pasar adalah persaingan sempurna, harga sepatu dan pakaian akan berbeda di kedua negara.

Sementara itu, mari kita lihat berapa total output yang mampu diproduksi kedua negara tanpa melakukan
perdagangan. Jika diasumsikan dari total 120 jam TK (input) yang tersedia di tiap negara dibagi dua merata
pengalokasiannya dalam memproduksi sepatu dan pakaian, maka total produksi kedua negara adalah sebagai
berikut :

Tabel 2 : Total Output (unit) masing-masing negara sebelum perdagangan

Jumlah Output yang Diproduksi


Negara
Sepatu Pakaian
Amerika Serikat 60 30
Indonesia 15 10
TOTAL 75 40

Dengan input 120 jam TK yang dimiliki masing-masing negara, jika dialokasikan separuh-separuh, Amerika
mampu memproduksi 60 sepatu (60 jam TK / 1) dan 30 pakaian (60 jam TK / 2). Sedangkan Indonesia mampu
memproduksi 15 sepatu (60 jam TK / 4) dan 10 pakaian (60 jam TK / 6). Dengan demikian, total produksi yang
dihasilkan kedua negara adalah 115 unit (75 + 40), yang terdiri dari sepatu dan pakaian.

Menurut teori keuntungan komparatif, Amerika seharusnya hanya memproduksi sepatu dan Indonesia
memproduksi pakaian. Ini karena produksi pakaian relatif lebih mahal bagi Amerika, dengan rasio harga
produksi 2 dibandingkan dengan 6/4 atau 3/2 yang mampu diproduksi Indonesia (tabel 1). Sedangkan sepatu
relatif lebih mahal bagi Indonesia karena rasio harga produksinya adalah 4/6 dibandingkan dengan 1/2 yang
mampu diproduksi Amerika (tabel 1). Jadi, perbandingan dalam teori ini adalah berdasarkan harga relatif di
kedua negara, bukan hanya di satu negara.

Sebenarnya, jika tidak ada regulasi larangan ekspor-impor, perdagangan antar keduanya akan tercipta secara
alamiah. Jika keduanya terus memproduksi sepatu dan pakaian sendiri (tidak melakukan perdagangan), maka
akan terjadi perbedaan harga yang akan mendorong arbitrasi. Dengan asumsi biaya transpotasi tidak ada atau
relatif sangat kecil, Amerika kemudian akan mengekspor sepatu ke Indonesia dan Indonesia akan mengekspor
pakaian ke Amerika. Karena biaya produksi yang lebih murah, harga sepatu Amerika yang diekspor juga akan
lebih murah dan ini mendorong harga sepatu di Indonesia turun. Jika harga sepatu di Indonesia terlalu rendah
bagi produsen Indonesia, mereka akan menutup produksinya karena tidak menguntungkan lagi. Akhirnya
mereka akan beralih ke produksi yang lebih menguntungkan, yaitu pakaian. Sedangkan kebutuhan sepatu di
Indonesia akan dipenuhi dengan impor. Hal yang sama juga terjadi terhadap pakaian di Amerika. Pada
akhirnya, perbedaan harga akan membuat Amerika hanya memproduksi sepatu dan Indonesia hanya
memproduksi pakaian.
Setelah Melakukan Perdagangan

Setelah melakukan perdagangan, total output kedua negara adalah sebagai berikut :

Tabel 3 : Spesialisasi Produksi

Jumlah Output yang Diproduksi


Negara
Sepatu Pakaian
Amerika Serikat 120 0
Indonesia 0 20

Pada tabel diatas, Amerika menggunakan semua inputnya (120 jam TK) untuk memproduksi pizza saja,
sehingga menghasilkan 120 pizza (120 jam TK / 1). Sedangkan Eropa menggunakan semua inputnya untuk
memproduksi pakaian saja, sehingga menghasilkan 20 pakaian (120 jam TK / 6). Ternyata total output kedua
negara meningkat dengan melakukan spesialisasi produksi ini, yaitu menjadi 140 unit.

 IMPLIKASI TEORI KEUNGGULAN KOMPARATIF

Dasar pemikiran Ricardo mengenai penyebab terjadinya perdagangan antarnegara pada prinsipnya sama dengan
dasar pemikiran dari Adam Smith (Teori Keunggulan Mutlak), namun berbeda pada cara pengukuran
keunggulan suatu negara, yakni dilihat komparatif biayanya, bukan perbedaan absolutnya.

Kelemahan-kelemahan dari teori keunggulan komparatif adalah timbulnya ketergantungan dari Dunia Ketiga
terhadap negara-negara maju karena keterbelakangan teknologi. Fakta lain, saat ini negara-negara maju pun bisa
membuat sendiri apa yang menjadi spesialisasi negara berkembang (misalnya pertanian) dan melakukan
proteksionisme.

Alih teknologi-produksi yang terjadi, misal barang-barang spesialisasi dari Indonesia yang dijual ke Jepang
akan dijual lagi ke Indonesia dengan harga dan bentuk yang lebih bagus, seperti karet menjadi ban ; dan juga
membuat negara-negara berkembang sulit bersaing keuntungan. Perusahaan seperti Honda membuat bahan
motor di negara-negara spesialisasi. Dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, teori ini sebenarnya hanya
cocok untuk perdagangan internasional antar negara maju. Sebenarnya melalui konteks sejarah kita bisa
mengetahui hal tersebut karena Ricardo hanya melihat Inggris dan negara-negara maju plus Amerika Latin
dalam penyusunan teorinya tersebut. Pada masa Ricardo, belum ada pengamatan serius dan mendalam
yangmengarah pada negara-negara di Dunia Ketiga. Wajar jika ketika negara-negara di Dunia Ketiga mulai
masuk dalam struktur ekonomi-politik internasional, ada beberapa hal dari teori perbandingan komparatif
Ricardo yang menimbulkan berbagai kerugian di pihak negara-negara Dunia Ketiga.

You might also like