You are on page 1of 22

LAPORAN PRAKTIKUM

URINALISIS

Untuk memenuhi tugas Matakuliah Fisiologi Hewan dan Manusia


Yang dibina Oleh Bpk. Dr. Abdul Gofur,M.Si
Disajikan Pada Hari Rabu 28 November 2018

Disusun oleh :
Kelompok 1 Offering B 2017
Amna Roisah M. (170341615019)
Arum Yuni R. (170341615100)
Femi Mega Lestari (170341615098)
Furzania Mumtaza (170341615056)
Mafazatud D. (170341615017)
Rodliyah Fajrin B. (170341615052)
Silvi Dwi Pangestu (170341615015)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PRODI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI
NOVEMBER 2018
A. Tujuan Praktikum

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat di dalam urin.

B. Dasar Teori
Sistem urinaria terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra. Sistem ini
membantu mempertahankan homeostasis dengan menghasilkan urine yang merupakan
hasil sisa metabolisme (Soewolo, 2003). Ginjal yang mempertahankan susunan kimia
cairan tubuh melalui beberapa proses, yaitu:
1) Filtrasi Glomerular, yaitu filtrasi plasma darah oleh Glomerulus
2) Reabsorpsi tubular, melakukan reabsorpsi (absorpsi kembali) secara selektif zat
–zat seperti garam, air, gula sederhana, asam amino dari tubulus ginjal ke kapiler
peritubular.
3) Sekresi peritubular, sekresi zat – zat dari kapiler darah ke dalam lumen tubulus,
proses sekresi ini mengikutsertakan penahanan kalium, asam urat, amino organic dan ion
hydrogen, yang berfungsi untuk memperbaiki komponen buffer darah dan mengeluarkan
zat – zat yang mungkin merugikan.
Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urine pasien untuk tujuan
diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit
ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah
tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.
Urine yang normal memiliki cirri-ciri antara lain: warnanya kuning atau kuing
gading, transparan, pH berkisar dari 4,6-8,0 atau rata-rata 6, berat jenis 1,001-1,035, bila
agak lama berbau seperti amoniak (Basoeki, 2000).
Unsur-nsur normal dalam urine misalnya adanya urea yang lebih dari 25-30 gram
dalam urine. Urea ini merupakan hasil akhir dari metabolisme protein pada mamalia.
Ekskresi urea meningkat bila katabolisme protein meningkat, seperti pada demam,
diabetes, atau aktifitas korteks adrenal yang berlebihan. Jika terdapat penurunan produksi
urea misalnya pada stadium akhir penyakit hati yang fatal atau pada asidosis karena
sebagian dari nitrogen yang diubah menjadi urea dibelokkan ke pembentukan amoniak
(Soewolo, 2003).
Reaksi urine biasanya asam dengan pH kurang dari 6 (berkisar 4,7-8). Bila
masukan protein tinggi, urine menjadi asam sebab fosfat dan sulfat berlebihan dari hasil
katabolisme protein. Keasaman meningkat pada asidosis dan demam. Urine menjadi
alkali karena perubahan urea menjadi ammonia dan kehilangan CO2 di udara. Urine
menjadi alkali pada alkalosis seperti setelah banyak muntah. Pigmen utama pada urine
adalah urokrom, sedikit urobilin dan hematofopirin (Soewolo, 2003).
Dalam keadaan normal, manusia memiliki 2 ginjal. Setiap ginjal memiliki sebuah
ureter, yang mengalirkan air kemih dari pelvis renalis (bagian ginjal yang merupakan
pusat pengumpulan air kemih) ke dalam kandung kemih. Dari kandung kemih, air kemih
mengalir melalui uretra, meninggalkan tubuh melalui penis (pria) dan vulva (wanita)
(Medicastore).
Dalam http://medicastore.com ini juga di paparkan bahwa darah yang masuk ke
dalam glomerulus memiliki tekanan yang tinggi. sebagian besar bagian darah yang
berupa cairan disaring melalui lubang-lubang kecil pada dinding pembuluh darah di
dalam glomerulus dan pada lapisan dalam kapsula bowman; sehingga yang tersisa hanya
sel-sel darah dan molekul-molekul yang besar (misalnya saja beruupa protein).
Cairan yang telah disaring (filtrat) masuk ke dalam rongga bowman dan mengalir
ke dalam tubulus kontortus proksimal (tabung/saluran di bagian hulu yang berasal dari
kapsula bowman); natrium, air, glukosa dan bahan lainnya yang ikut tersaring diserap
kembali dan dikembalikan ke darah.

Dalam mempertahankan homeostasis tubuh peranan urine sangat penting, karena


sebagian pembuangan cairan oleh tubuh adalah melalui sekresi urine. Selain urine juga
terdapat mekanisme berkeringat dan juga rasa haus yang kesemuanya bekerja sama dalam
mempertahankan homeostasis ini. Fungsi utama urine adalah untuk membuang zat sisa
seperti racun atau obat-obatan dari dalam tubuh.Anggapan umum menganggap urine
sebagai zat yang “kotor”. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan urine tersebut berasal
dari ginjal atau saluran kencing yang terinfeksi, sehingga urinenyapun akan mengandung
bakteri. Namun jika urine berasal dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, secara
medis urine sebenarnya cukup steril dan hampir tidak berbau ketika keluar dari tubuh.
Hanya saja, beberapa saat setelah meninggalkan tubuh, bakteri akan mengkontaminasi
urine dan mengubah zat-zat di dalam urine dan menghasilkan bau yang khas, terutama
bau amonia yang dihasilkan dari urea.
Dalam Basoeki (2000) disebutkan bahwa pada proses urinalisis terdapat banyak
cara metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi zat-zat apa saja yang terkandung di
dalam urine. Analisis urine dapat berupa analisis fisik, analisi kimiawi dan anlisis secara
mikroskopik.
Analisis urine secara fisik meliputi pengamatan warna urine, berat jenis cairan urine
dan pH serta suhu urine itu sendiri. Sedangkan analisis kimiawi dapat meliputi analisis
glukosa, analisis protein dan analisis pigmen empedu. Untuk analisis kandungan
proteinm ada banyak sekali metode yang ditawarkan , mulai dari metode uji millon
sampai kuprisulfa dan sodium basa. Yang terakhir adalah analisis secara mikroskopik,
sampel urine secara langsung diamati dibawah mikroskop sehingga akan diketahui zat-zat
apa saja yang terkandung di dalam urine tersebut, misalnya kalsium phospat, serat
tanaman, bahkan bakteri (Basoeki, 2000).
Sifat – sifat urine adalah:
1) Volume urine normal orang dewasa 600 – 25000 ml/ hari. Jumlah ini
tergantung pada masukan air, suhu luar, makanan dan keadaan mental/ fisik individu,
produk akhir nitrogen dan kopi, teh serta alkohol mempunyai efek diuretic.
2) Berat jenis berkisar antara 1,003 – 1,030

3) Reaksi urine biasanya asam dengan pH kurang dari 6(berkisar 4,7 – 8). Bila
masukan protein tinggi, urine menjadi asam sebab fosfor dan sulfat berlebihan dari hasil
metabolism protein.

4) Warna urine normal adalah kuning pucat atau ambar. Pigmen utamanya
urokrom, sedikit urobilin dan hematopofirin. Pada keadaan demam, urine berwarna
kuning tua atau kecoklatan. Pada penyakit hati pigmen empedu mewarnai urine menjadi
hijau, coklat atau kuning tua. Darah (hemoglobin) memberi warna seperti asap sampai
merah pada urine.
5) Urine segar beraroma sesuai dengan zat – zat yang dimakannya.
Unsur – unsur normal dalam urine misalnya adalah:
1) Urea yang lebih dari 25 – 30 gram dalam urine.
2) Amonia, pada keadaan normal terdapat sedikit dalam urine segar

3) Kreatinin dan keratin, normalnya 20 – 26 mg/kg pada laki – laki, pada


perempuan 14 – 22 mg/kg.
4) Asam urat, adalah hasil akhir terpenting oksidasi purine dalam tubuh
5) Asam amino, hanya sedikit dalam urine
6) Klorida, terutama diekskresikan sebagai natrium klorida
7) Sulfur, berasal dari protein yang mengandung sulfur dari makanan
8) Fosfat di urine adalah gabungan dari natrium dan kalium fosfat
9) Oksalat dalam urine rendah
10) Mineral, natrium, kalsium, kalium dan magnesium ada sedikit dalam urine
11) Vitamin, hormone, dan enzim ditemukan dalam urine dengan jumlah kecil.

Unsur – unsur abnormal dari urine:

1) Protein: proteinuria (albuminuria) yaitu adanya albumin dan globulin dalam


urine

2) Glukosa: glukosaria tidak tetap dapat ditemukan setelah stress emosi, 15%
kasus glikosuria tidak karena diabetes.
C. Alat dan Bahan
ALAT BAHAN

1. Sentrifugasi dan tabungnya 1. Urin segar


2. Tabung reaksi 2. Larutan bennedict
3. Pipet panjang 3. Larutan NaOH 5%
4. Pipet tabung reaksi 4. Indiktor universal
5. Urinometer 5. Reagen Millon
6. Tabung urinalis 6. Kristal sodium nitroprusside
7. Gelas benda 7. Asam asetat
8. Gelas penutup
9. Mikroskop
10. Lampu spiritus
11. Termometer
12. Kertas isap
13. Lap flannel
14. Korek api

D. Prosedur Kerja
1. Analisis Fisik
Memasukkan urin ke dalam tabung urinalis, kemudian mengamati warna urin tersebut

Setelah itu memasukkan urinometer ke dalam botol urinalis tersebut, putarlah kemudian
membiarkan urinometer mengapung bebas

Bila urinometer tidak bergerak lagi, mencatat skala yang ditunjukkan

Memasukkan termometer batang pada botol urinalis tersebut, mencatat suhu yang
ditunjukkan

Memasukkan kertas indikator pada botol urinalis tersebut, mengamati perubahan warna
pada kertas indicator kemudian mencocokkan pada indicator universal dan mencatat
pHnya
2. Analisis Kimia
Glukosa
Memasukkan 8 tetes urin ke dalam tabung reaksi kemudian menambahkan dengan 5 ml
larutan Benedict

Memasukkan tabung reaksi tersebut di dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian
mengamati perubahan warnanya

Protein
Memasukkan urin ke dalam tabung sentrifugasi, dan mensentrifuse selama 15 menit

Kemudian mengamati perubahan warnanya dan mencatat hasilnya

Benda Keton
Melarutkan Kristal sodium nitroprusside dalam 5 ml urin ke dalam tabung reaksi

Menambahkan 5 tetes asam asetat pada campuran di atas

Meneteskan satu tetes NaOH pada tepi dinding dalam tabung reaksi

Mengamati perubahan warna yang terjadi dan mencatatnya

Pigmen Empedu
Masukkan urin ke dalam tabung reaksi

Kocoklah urin tersebut secara perlahan sampai mengeluarkan buih (apabila terdapat
buih berarti urin mengandung pigmen empedu)


Amati kemudian catat hasilnya

Analisis Mikroskopik
Mengambil beberapa endapan urin dari tabung yang sudah disentrifuge, kemudian
diteteskan pada kaca benda

Kemudian diamati di bawah mikroskop, dan gambar elemen dalam urin


E. Tabel Pengamatan

1. AnalisisFisik
Sifat yang diamati
Warna Kuning
Berat Jenis 1,05833333
pH 6
Suhu Urine/Suhu Termometer 31°C/29°C

2. Analisis Kimia

Zat yang diuji LarutanPenguji Perubahan yang terjadi


Glukosa Larutan Benedict Berubah warna menjadi biru
kehijauan (ada gula)
Protein Reagen Milon Warna kuning terang dan terdapat
endapan
Benda Keton Berubah warna menjadi jingga
kuning (3+)
Pigmen Empedu Tidak ada perubahan warna

3. Analisis Mikroskopis
Yang teramati pada mikroskop Ada / Tidak
Eritrosit -
Leukosit -
Sel epitel bakteri -
Serabut tanaman -
Kristal -
Lainnya: -
F. Analisis Data

1. Analisis Fisik
a. Warna Urine

Pengamatan dilakukan dengan mengamati langsung warna urine pada


tabung urine. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, warna urine subjek
(perempuan) yang kami amati adalah kuning. Berdasarkan data tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa urine subjek normal.

b. Berat Jenis dan Suhu

Pada penentuan berat jenis ini menggunakan urinometer. Urinometer


mengapung dan langsung menunjukkan skala yang merupakan berat jenis urine.
Hal ini dilakukan dengan cara memasukkan urinometer ke dalam tabung yang
telah berisi urine. Skala dibaca setelah urinometer diam (tidak bergerak lagi).
Pengukuran suhu urine dilakukan dengan thermometer, dan didapatkan suhu
31°C.
Dilakukan perhitungan sebagai berikut :
16
Berat jenis terukur = 1,053 + x 0,001
3

= 1,05833333 gram/cm3

Berat jenis dikatakan normal apabila mendekati angka 1,003 – 1,030 (ada
yang menyatakan berat jenis normal 1,001 – 1,035). Berdasarkan data yang
didapat dan brdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa berat jenis subjek
(1,05833333 gram/cm3) adalah tidak normal karea tidakberada dalam rentang
1,003 – 1,030.

c. pH

Pada penentuan pH urine, kami menggunakan idikator universal.


Caranya adalah dengan mencelupkan kertas indikator universal pada urine
subjek (perempuan), kemudian mencocokkan warna pada kertas indikator
universal dengan warna standar yang ada pada kotak tempat indikator
tersebut.

Berdasarkan pengaatan yang kami lakukan, didapatkan pH 6 pada urine


subjek. pH urine yang normal adalah 4,5 – 7,5 (ada juga yang mengatakan
4,6 – 8,0). Berdasarkan data yang kami dapat, dapat diambil kesimpuan
bahwa pH urine subjek yang kami amati adalah normal karena termasuk
dalam range angka pH urine normal.
d. Analisis Kimia
 Glukosa

Pada percobaan uji glukosa, dilakukan dengan menambahkan 5 ml larutan


benedict kedalam tabung reaksi yang berisi 8 tetes urine yang kemudia dipanaskan
selama 5 menit. Dari percobaan tersebut didapatkan hasil yang negatif dengan
menunjukkan larutan yang semula berwarna biru berubah menjadi biru kehijauan
(ada gula). Berdasarkan hasil tersubut, artinya urine subjek mengandung salah
satu unsur abnormal dari urine yaitu glukosa.

 Protein

 Reagen Milon
Untuk mengetahui adanya unsur protein dalam urine, pada percobaan ini
menggunakan reagen milon. Setelah 3 ml supernatant urine ditambah 5 tetes
reagen milon, larutan berwarna kuning terang dan terdapat sedikit endapan, tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa urine subjek
negatif protein.

 Benda Keton
Pada percobaan benda keton, dilakukan dengan melarutkan Kristal sodium
nitroprusside dalam 5 ml urine ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
dengan 5 tetes asam asetat dan diteteskan satu tetes NaOH pada tepi tabung
reaksi. Dari percobaan yang dilakukan didapatkan hasil urine berubah menjadi
warna jingga kuning dan tidak menunjukkan adanya cincin ungu kemerahan pada
sampel urin. Hal tersebut menujukkan bahwa urine subjek tidak mengandung
benda keton.

 Pigmen Empedu
Pada percobaan pigmen empedu, dilakukan dengan memasukkan urin ke
dalam tabung reaksi lalu dikocok secara perlahan. Dari percobaan yang dilakukan
didapatkan bahwa urine subjek setelah dikocok tidak terdapat buih. Hal tersebut
menunjukkan bahwa urine subjek normal tidak mengandung pigmen empedu.

e. Analisis Mikroskopis

Pada percobaan analisis mikroskopis dilakukan dengan mengambil beberapa


tetes urine dari tabung yang sudah disentrifuge, kemudian diteteskan pada kaca
benda dan diamati dibawah mikroskop. Dari percobaan yang dilakukan,
didapatkan bahwa pada urine subjek tidak terdapat eritrosit, leukosit, sel epitel
bakteri, serabut tanaman, dan kristal.

G. Pembahasan
Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urine pasien untuk tujuan
diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit
ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah tinggi
(hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.
Sebelum menilai hasil analisa urine, perlu diketahui tentang proses pembentukan
urine. Urine merupakan hasil metabolism tubuh yang dikeluarkan melalui ginjal. Dari 1200
ml darah yang melalui glomeruli permenit akan terbentuk filtrat 120 ml per menit. Filtrat
tersebut akan mengalami reabsorpsi, difusi dan ekskresi oleh tubuli ginjal yang akhirnya
terbentuk 1 ml urine per menit. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemeriksaan urine
selain untuk mengetahui kelainan ginjal dan salurannya juga bertujuan untuk mengetahui
kelainan-kelainan di pelbagai organ tubuh seperti hati, saluran empedu, pankreas, korteks
adrenal, uterus dan lain-lain (dr.Wirawan, Tanpa Tahun).
Pada praktikum urinalisis ini, praktikan melakukan pengujian terhadap urine laki-
laki. Praktikum ini meliputi beberapa pengamatan, yaitu analisis fisik (warna urine, berat
jenis, dan pH), analisis kimia (uji glukosa, uji protein, dan pigmen empedu), serta analisis
mikroskopis. Bahan urine yang diuji adalah urine yang segar. Jadi, setelah dilakukan
pengumpulan bahan urine, praktikan segera dilakukan pemeriksaan. Sesuai dengan teori
oleh bahwa apabila terlalu lama akan terjadi perubahan pada komposisi zat dan hasil yang
keluar, sebagian di antaranya adalah pertumbuhan bakteri meningkat, kadar glukosa
menurun, pH menjadi alkalis, dekomposisi silinder, lisisnya eritrosit, urine menjadi makin
keruh, perubahan warna dan bau, dan nitrit menjadi positif
Urinalisis, istilah untuk tes urine umum, dilakukan untuk mengevaluasi kesehatan
seseorang, mendiagnosis kondisi medis seseorang, atau untuk memonitor penyakit
seseorang. Tidak semua tes pada urine disebut urinalisis, misalnya tes kehamilan dan tes
narkoba. Berdasarkan hasil urinalisis, kita akan mengetahui apakah kondisi kita baik atau
buruk secara medis, biasanya dibuat berdasarkan tiga pemeriksaan, yaitu analisis fisik,
analisis kimiawi, dan analisis mikroskopis (Husada, 2010).
1. Analisis Fisik
a. Analisis Warna Urine
Pertama yang dilakukan adalah analisis fisik mengenai warna urine. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan dengan melihat warna urine secara langsung yang berada
pada tabung , diketahui bahwa warna urine subjek adalah kuning. Warna kuning
gading mengindikasikan bahwa pigmen yang terkandung dalam urine adalah
normal. Menurut Adnan (2008), urine normal berwarna kuning atau kuning gading,
transparan, pH berkisar 4,6 – 8,0 atau rata-rata 6,0, berat jenis 1,001 – 1,035, bila
agak lama berbau seperti amoniak.
Disebutkan dalam Kompas oleh Acandra (2010) bahwa warna kuning dalam urine
berasal dari pigmen warna yang disebut urochorme. Warna urine yang normal adalah
kuning hingga kuning pucat. Warna urine kuning gelap merupakan tanda tubuh
kekurangan air. Sebaliknya, warna urine yang terlalu bening bisa menjadi tanda Anda
terlalu banyak minum air atau sedang mengonsumsi obat diuretik (penyerap air yang
membuat volume urine bertambah). Warna urine juga bisa berubah-ubah sesuai
dengan makanan yang kita asup. Misalnya, makan wortel bisa membuat warna urine
menjadi agak oranye, sedangkan obat-obatan juga bisa mengubah warna urine.
Disebutkan juga oleh Smith (2007) bahwa urine berbusa bisa jadi tanda yang
sangat awal adanya proteinuria (kadang-kadang disebut albiminaria), terbentuknya
garam-garam empedu atau protein albumin dalam urine. Proteinuria adalah tanda
adanya kerusakan ginjal dan jantung terutama pada orang yang mengidap diabetes
atau hipertensi. Urine berbusa juga sering menjadi tanda awal adanya sindrom
nefrotik, sebuah gangguan yang serius dimana sistem penyaring ginjal bisa rusak
karena infeksi virus, diabetes, dan lupus. Hal ini menyebabkan kelebihan protein
mencari jalan menuju urine. Buih-buih dalam uriner juga menjadi tanda
adanya fistula, sebuah koneksi abnormal antara kandung kemih dan vagina atau
rectum.
b. Suhu dan Berat Jenis
Berdasarkan data pengamatan berat jenis urine, hasil penghitungan didapatkan
suhu urin adalah 31⁰C. Dari nilai suhu ini kemudian dapat dihitung berapa nilai berat
jenis urin. Dari penghitungan dalam analisis data didapatkan berat jenis urin praktikan
adalah skala yang ditunjukkan pada urineometer yaitu 1,05833333 gram/cm3.
Menurut Kuspratiknyo (2009) bahwa berat jenis urine, tergantung dari jumlah air
yang larut di dalam urine atau terbawa di dalam urine. Berat jenis plasma (tanpa
protein) adalah 1,010. Bila ginjal mengencerkan urine (misalnya sesudah minum air)
maka berat jenisnya kurang dari 1,010. bila ginjal memekatkan urine (sebagaimana
fungsinya) maka berat jenis urine naik diatas 1010. Daya pemekatan ginjal diukur
menurut berat jenis tertinggi yang dapat dihasilkan, yang seharusnya dapat lebih dari
1,025.
Berat jenis (BJ) atau specific gravity (SG) dipengaruhi oleh tingkat keenceran air
seni. Seberapa banyak minum atau berkemih akan mempengaruhi berat jenis urine ;
semakin banyak berkemih, akan semakin rendah berat jenis, demikian sebaliknya.
Adanya protein atau glukosa dalam urine akan meningkatkan berat jenis urine. jika
ada protein dalam urine, maka setiap 1% proteinuria berat jenis bertambah 0,003. Jika
ada glukosa dalam urine, maka setiap 1% glukosuria berat jenis bertambah 0,004
(Ari, 2017)
Ditegaskan pula bahwa pemeriksaan berat jenis urine bertalian dengan faal
pemekatan ginjal, dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan
memakai falling drop, gravimetri, menggunakan pikno meter, refraktometer dan
reagens pita'. Namun, dalam praktikum kali ini kami menggunakan urinometer
(hydrometer)
Berat jenis urine sewaktu pada orang normal antara 1,003 - 1,030. Berat jenis
urine berhubungan erat dengan diuresa, makin besar diuresa makin rendah berat
jenisnya dan sebaliknya. Makin pekat urine makin tinggi berat jenisnya, jadi berat
jenis bertalian dengan faal pemekat ginjal. Urine sewaktu yang mempunyai berat
jenis 1,020 atau lebih, menunjukkan bahwa faal pemekat ginjal baik. Keadaan ini
dapat dijumpai pada penderita dengan demam dan dehidrasi. Sedangkan berat jenis
urine kurang dari 1,009 dapat disebabkan oleh intake cairan yang
berlebihan hipotermi, alkalosis dan kegagalan ginjal yang menahun (dr.Wirawan,
dkk. Tanpa Tahun).
Disebutkan pula oleh Riswanto (2010) bahwa berat jenis (yang berbanding lurus
dengan osmolalitas urine yang mengukur konsentrasi zat terlarut) mengukur
kepadatan air seni serta dipakai untuk menilai kemampuan ginjal untuk memekatkan
dan mengencerkan urine.
Spesifik gravitasi antara 1,005 dan 1,035 pada sampel acak harus dianggap wajar
jika fungsi ginjal normal. Nilai rujukan untuk urine pagi adalah 1,015 – 1,025,
sedangkan dengan pembatasan minum selama 12 jam nilai normal > 1,022, dan
selama 24 jam bisa mencapai ≥1,026. Defek fungsi dini yang tampak pada kerusakan
tubulus adalah kehilangan kemampuan untuk memekatkan urine (Riswanto, 2010).
Berat jenis urine yang rendah persisten menunjukkan gangguan fungsi reabsorbsi
tubulus. Nokturia dengan ekskresi urine malam > 500 ml dan berat jenis kurang dari
1.018, kadar glukosa sangat tinggi, atau mungkin pasien baru-baru ini menerima
pewarna radiopaque kepadatan tinggi secara intravena untuk studi radiografi, atau
larutan dekstran dengan berat molekul rendah. Kurangi 0,004 untuk setiap 1%
glukosa untuk menentukan konsentrasi zat terlarut non-glukosa (Riswanto, 2010).
Jadi, berdasarkan data yang didapat dan berdasarkan teori tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa berat jenis subjek (1,05833333 gram/cm3) adalah tidak normal,
karena tidak dalam rentangan angka berat jenis normal 1,003 – 1,030 (ada yang
menyatakan berat jenis normal 1,001 – 1,035).
c. pH
Pada pengamatan pH urine, urine yang kami periksa adalah segar, sebab bila
disimpan terlalu lama, maka pH akan berubah menjadi basa. Urine basa dapat
memberi hasil negatif atau tidak memadai terhadap albuminuria dan unsure-unsur
mikroskopik sedimen urine, seperti eritrosit, silinder yang akan mengalami lisis. pH
urine yang basa sepanjang hari kemungkinan oleh adanya infeksi. Urine dengan pH
yang selalu asam dapat menyebabkan terjadinya batu asam urat.
Pada saat pengamatan pH urine dengan mencelupkan ketas indicator universal
pada urine, selanjutnya melihat perubahan warna kertas indikator dengan warna
standart pH, ternyata didapatkan pH urine subjek (perempuan) adalah 6. Berdasarkan
Harnawatiaj (2008) bahwa pH urine normal adalah 4,5 – 7,5. Dari sumber tersebut
dapat dikatakan bahwa pH urine subjek adalah normal.
Berikut ini adalah keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi pH urine :
a) pH basa : setelah makan, vegetarian, alkalosis sistemik, infeksi saluran kemih
(Proteus atau Pseudomonas menguraikan urea menjadi CO2 dan ammonia), terapi
alkalinisasi, asidosis tubulus ginjal, spesimen basi.
b) pH asam : ketosis (diabetes, kelaparan, penyakit demam pada anak), asidosis
sistemik (kecuali pada gangguan fungsi tubulus, asidosis respiratorik atau
metabolic memicu pengasaman urine dan meningkatkan ekskresi NH4+), terapi
pengasaman (Riswanto, 2010).
Penetapan pH diperlukan pada gangguan keseimbangan asam basa, kerena dapat
memberi kesan tentang keadaan dalam badan. pH urine normal berkisar antar 4,5-
8,0. Selain itu, penetapan pH pada infeksi saluran kemih dapat memberi petunjuk ke
arah etiologi. Pada infeksi oleh Escherichia coli biasanya urine bereaksi asam,
sedangkan pada infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak ureum menjadi
atnoniak akan menyebabkan urine bersifat basa. Dalam pengobatan batu karbonat
atau kalsium fosfat urine dipertahankan asam, sedangkan untuk mencegah
terbentuknya batu urat atau oksalat pH urine sebaiknya dipertahankan basa
(dr.Wirawan, dkk, Tanpa Tahun).
Jadi, dari hasil pengamatan yang kami lakukan mengenai pH urine dengan
indicator universal dengan urine pH 6, maka dapat disimpulkan bahwa pH urine
subjek yang kami amati adalah normal karena berada dalam rentangan pH 4,5 – 7,5
(ada pula yang menyebutkan pH urine normal adalah 4,5 – 8,0).
2. Analisis Kimia
a. Uji Glukosa
Glukosa mempunyai sifat mereduksi. Ion cupri direduksi menjadi cupro dan
mengendap dalam bentuk merah bata. Semua larutan sakar yang mempunyai gugusan
aldehid atau keton bebas akan memberikan reaksi positif. Na sitrat dan Na karbonat
(basa yang tidak begitu kuat) berguna untuk mencegah pengendapan Cu ++ . Sukrosa
memberikan reaksi negative karena tidak mempunyai gugusan aktif (aldehid/keton
bebas) (Putri, 2011).
Reaksi benedict sensitive karena larutan sakar dalam jumlah sedikit menyebabkan
perubahan warna dari seluruh larutan, sedikit menyebabkan perubahan warna dari
seluruh larutan, hingga praktis dan lebih mudah mengenalnya. Hanya terlihat sedikit
endapan pada dasar tabung. Uji benedict lebih peka karena benedict dapat dipakai
untuk menafsir kadar glukosa secara kasar, karena dengan berbagai kadar glukosa
memberikan warna yang berlainan (Putri, 2011).
Ditegaskan pula bahwa uji benedict spesifik pada karbohidrat, terutama gula
pereduksi, sakarida yang memiliki kemampuan mereduksi, yaitu sakarida dengan
gugus aldosa dan ketosa bebas. Hal ini disebabkan karena kandungan atom C dan
gugus hidroksil (OH) bebas yang aktif. Reaksinya adalah sebagai berikut:
(D-glukosa) + 2 CuO → (asam glukonat) + Cu2O
Adanya endapan Cu2O menyebabkan terjadinya warna merah, sehingga jika hasil
uji glukosa dalam urine positip, urine subyek mengandung gugus (OH) bebas yang
reaktif. Menurut Poedjiadi (1994:40), pereaksi benedict berupa larutan yang
mengandung kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat
mereduksi ion Cu2+ dari kuprisulfat menjadiion Cu+ yang kemudian mengendap
sebagai Cu2O. adapun natrium karbnat dan natrium sitrat membuat pereaksi benedict
bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk bisa berwarna hijau, kuning atau merah
bata tergantung konsentrasi karbohidrat yang diperiksa.
Contoh reaksi uji benedict pada glukosa:
CHO COOH

Ι Ι

H − C − OH H − C − OH

Ι Ι

H − C − OH + 2CuO H − C − OH + Cu2O

Ι tembaga Ι Cupro oksida

H − C − OH Oksida H − C − OH

Ι Ι

H − C − OH H − C − OH

Ι Ι

CH2OH CH2O

Glukosa Asam Glutamat


Namun, berdasarkan data hasil praktikum yang kami lakukan, setelah meletakkan
larutan 8 tetes urine dan 5 ml larutan bennedict diletakkan dalam air mendidih
selama 5 menit, dapat diketahui bahwa uji glukosa menunjukkan hasil yang negatif
dengan menujukkan warna biru kehijauan (ada gula). Berdasarkan hasil tersebut,
artinya urine subjek mengandung salah satu unsur abnormal dari urine yaitu glukosa
(Soewolo, 2003:346). Menurut Soewolo (2005), hal ini dapat disebabkan karena
subjek telah makan makanan yang mengandung gula pentosa.
b. Uji Protein
a) Reagen Milon
Untuk mengetahui adanya unsur protein dalam urine, dalam percobaan ini
praktikan menggunakan reagen millon. Reaksi positif dari reagen millon ditandai
dengan perubahan warna menjadi merah/lembayung. Reaksi positif ditandai
dengan terbentuknya ikatan antara Hg dari pereaksi millon dengan gugus
hidroksifenil yang terdapat dalam urine.
Reaksi pembentukan reagen millon yaitu:
HgCl2 + 2HNO3 → Hg(NO3)2 + Cl2
(merkuri klorida) (asam nitrat) (merkuri nitrat)
Menurut Poedjiadi (1994:122), pereaksi Millon adalah larutan merkuro
dan merkuri nitrat dalam asam nitrat. Apabila pereksi ini ditambahkan pada
larutan protein, akan menghasilkan endapan putih yang dapat berubah menjadi
merah oleh pemanasan. Persamaan reaksi yang terjadi dapat digambarkan sebagai
berikut:
HgCl2 + 2HNO3 → Hg(NO3)2 + Cl2
(merkuri klorida) (asam nitrat) (merkuri nitrat)
2 [HO − CH2 − CH − COOH] + Hg (NO3)2→ 2 [HO – CH2 – CH – COOH] Hg
+ H2O
NH3+ NH3+
Tirosin merkuri nitrat merkuri nitrofenilamat
Namun, berdasarkan data atas percobaan uji protein yang kami lakukan,
setelah 3 ml supernatan urine ditambah 5 tetes reagen Millon, maka larutan
berwarna kuning terang , terdapat endapan yang sedikit dan tidak terjadi
perubahan signifikan menjadi lembayung ataupun merah.. Hal ini berarti bahwa
urine subjek yang kami amati adalah normal tidak mengandung protein di
dalamnya. Apabila urin mengandung protein, maka akan terbentuk warna
lembayung (Basoeki, dkk. 2000). Keberadaan protein dalam urine dapat
menunjukkan bahwa seseorang mengalami luka pada ginjal. Laporan sejumlah
peneliti dalam Journal of the American Society of Nephrology menyebutkan,
pasien yang memiliki kadar urine tinggi, atau albuminuria, memiliki risiko lima
kali lipat menderita luka ginjal akut (Acandra, 2010)
b) Benda Keton
Berdasarkan percobaan yang dilakukan didapatkan hasil urine berubah
menjadi warna jingga kuning, tidak menunjukkan adanya cincin ungu kemerahan
pada sampel urin. Hal ini berarti bahwa sampel urin tidak mengandung benda
keton (aseton). Zat- zat keton atau benda-benda keton dalam urin ialah aceton,
asam aceto-acetat dan asam beta- hidroxibutirat. Karena aceton, yaitu zat yang
terpenting di antara benda- benda keton bersifat mudah menguap, maka urin yang
kami periksa adalah urin segar. Karena apabila urin dibiarkan asam aceto-acetat
akan berubah menjadi aceton, begitu pula asam beta- hidroxibutirat yang lebih
dulu menjadi asam aceto-acetat, sehingga zat-zat itu juga menghilang dari urin.
Dimana hal tersebut menyebabkan hasil (-) palsu. Adanya badan keton di dalam
urin ini disebut Ketonuria . Terjadi karena ketogenesis lebih besar dari ketolisis,
sehingga menyebabkan hiperketonemia, selanjutnya benda keton dalam darah
sampai ginjal dan keluar bersama urin (ketonuria). Proses pembentukan benda
keton secara normal terjadi di dalam hepar (ketogenesis). Keton itu sebenarnya
adalah hasil pemecahan protein, di saat tubuh sudah kehilangan glukosa, di saat
lemak sudah tidak ada (gangguan metabolisme karbohirat, misalnya Diabetes
Mellitus,kurangnya asupan karbohidrat, kelaparan , diet tidak seimbang, tinggi
lemak rendah karbohidrat, gangguan absorbsi karbohidrat, gangguan
mobilisasiglukoma, sehingga tubuh mengambil simpanan asam lemak untuk
dibakar). Maka protein akan dibongkar oleh tubuh menjadi asam amino dan
benda-benda keton, keton tinggi biasanya kita temukan pada pasien Diabetes
melitus, karena pada DM (diabetes melitus) itu gula/glukosa tidak dapat masuk
sel, sehingga selakan kelaparan (tidak dapat menghasilkan energi), sehingga yang
jadi korban adalah protein yang dibongkar (untuk menghasilkan energi) jadilah
keton, bahaya keton tinggi adalah dapat menyebabkan ketoasidosis metabolik
(salahsatu komplikasi DM yang berbahaya) yaitu pembongkaran protein besar-
besaran yang menyebabkan kadar keton sangat tinggi. Pasien akan shock berat,
PH darah akan menjadi sangat asam (asidosis).
Badan keton diproduksi ketika karbohidrat tidak dapat digunakan untuk
menghasilkan energi yang disebabkan oleh : gangguan metabolisme karbohidrat
(mis. diabetes mellitus yang tidak terkontrol), kurangnya asupan karbohidrat
(kelaparan, diet tidak seimbang : tinggi lemak – rendah karbohidrat), gangguan
absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal), atau gangguan mobilisasi
glukosa, sehingga tubuh mengambil simpanan asam lemak untuk dibakar. Badan
keton terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam β-
hidroksibutirat, yang merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak
yang berlebihan. Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis
sehingga dapat menghabiskan cadangan basa (mis. bikarbonat, HCO3) dalam
tubuh dan menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum
meningkat hingga mencapai lebih dari 50 mg/dl. Keton memiliki struktur yang
kecil dan dapat diekskresikan ke dalam urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama
kali tampak pada plasma atu serum, kemudian baru urin. Ketonuria (keton dalam
urin) terjadi akibat ketosis. Benda keton yang dijumpai di urine terutama adalah
aseton dan asam asetoasetat. Uji keton positif dapat dijumpai pada : Asidosis
diabetic (ketoasidosis), kelaparan atau malnutrisi, diet rendah karbohidrat,
berpuasa, muntah yang berat, pingsan akibat panas, kematian janin. Pengaruh obat
: asam askorbat, senyawa levodopa, insulin, isopropil alkohol, paraldehida,
piridium, zat warna yang digunakan untuk berbagai uji (bromsulfoftalein dan
fenosulfonftalein). Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium: Diet
rendah karbohidrat atau tinggi lemak dapat menyebabkan temuan positif palsu.
Obat tertentu (Lihat pengaruh obat). Urin disimpan pada temperature ruangan
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan hasil uji negaif palsu. Adanya bakteri
dalam urin dapat menyebabkan kehilangan asam asetoasetat. Anak penderita
diabetes cenderung mengalami ketonuria daripada penderita dewasa. c. Protein (
Uji Asam Sulfosalisilat). Hasil percobaan adalah terjadi perubahan warna menjadi
putih keruh dan pada Uji Heller hasil percobaan adalah terbentuk cincin coklat.
Kedua uji ini berarti terjadi proteinuria. Pengukuran proteinuria dapat dipakai
untuk membedakan antara penderita yang memiliki risiko tinggi menderita
penyakit ginjal kronik yang asimptomatik dengan yang sehat. Proteinuria yang
persistent (tetap ≥ +1, dievaluasi 2-3x / 3 bulan) biasanya
c) Pigmen Empedu
Pigmen empedu terdiri dari biliverdin (hijau) dan bilirubin (kuning).
Pigmen ini merupakan hasil penguraian hemoglobin yang dilepas dari sel darah
merah terdisintegrasi. Pigmen utamanya adalah bilirubin yang memberikan warna
kuning pada urine dan feses (Sloane, 1995).
Urobilin adalah pigmen alami dalam urin yang menghasilkan warna
kuning. Ketika urin kental, urobilin dapat membuat tampilan warna oranye-
kemerahan yang intensitasnya bervariasi dengan derajat oksidasi, dan kadang-
kadang menyebabkan kencing terlihat merah atau berdarah. Prinsip dari pengujian
urobilin yakni adanya reaksi antaraurobilin dengan reagenschlesinger membentuk
suatu kompleks dengan memberikan fluoresensi hijau. Hasil positif ditunjukkan
pada pengujian terhadap urin stok, sedangkan pada pengujian urin probandus
memberikan hasil yang negatif (Tabel 1). Hasil positif tersebut mengindikasikan
bahwa urin stok mengandung urobilin. Urin segar umumnya tidak mengandung
urobilin. Terdapatnya kandungan urobilin dalam urin menggambarkan adanya
kerusakan sel hati atau perombakan hemoglobin yang meningkat, sedangkan
ketika terjadi endapan pada saluran empedu, urobilin tidak dijumpai dalam urin
(Sharp & Corp 2011).
Pembentukan urobilin terjadi ketika bilirubin terkonjugasi yang mencapai
ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym bakteri β glukoronidase dan
pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus menjadi
urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Sejumlah urobilinogen
diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa ke ginjal kemudian
dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urin. Sebagian
besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus
membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan (Wella 2006).
Bilirubin yang dapat dijumpai dalam urine adalah bilirubin direk
(terkonjugasi), karena tidak terkait dengan albumin, sehingga mudah difiltrasi
oleh glomerulus dan diekskresikan ke dalam urine bila kadar dalam darah
meningkat. Bilirubinuria dijumpai pada ikterus parenkimatosa (hepatitis
infeksiosa, toksik hepar), ikterus obstruktif, kanker hati (sekunder), CHF disertai
ikterik (Riswanto, 2010).
Berdasarkan data hasil percobaan, dapat diketahui bahwa urine subyek
adalah normal karena tidak mengandung pigmen empedu (Basoeki, 2000).
Kenormalan ini dapat dilihat dengan buih pada urine subjek yang berwarna
bening. Sedangkan pada urine yang tidak normal (mengandung pigmen empedu)
ditandai dengan adanya buih berwarna kuning.
Akan tetapi hasil yang kami dapatkan tidak mungkin lepas dari beberapa
faktor. Di mana dalam praktiknya, terdapat faktor yang mempengaruhi hasil
praktikum mengenai tes protein ini, yaitu :
a) Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh hematuria, tingginya substansi
molekular, infus polivinilpirolidon (pengganti darah), obat (lihat pengaruh
obat), pencemaran urine oleh senyawa ammonium kuaterner (pembersih kulit,
klorheksidin), urine yang sangat basa (pH > 8).
b) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh urine yang sangat encer, urine
sangat asam (pH di bawah 3) (Riswanto, 2010).
Jadi, berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa urine subjek
yang diamati adalah normal karena buih yang ada pada urine adalah buih
berwarna bening (tidak kuning), artinya tidak ada pigmen empedu pada urine
subjek.

Dari praktikum unrinalisis yang telah dilakukan terdapat faktor-faktor yang


memengaruhi kandungan zat-zat dalam unrin diantaranya ada faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh hormon ADH, hormon insulin, dan kondisip
psikologis. Kemudian faktor eskternal meliputi suhu lingkungan, konsumsi garam,
jumlah air yang diminum, konsumsi alkohol dan obat. Salah satu contoh pengaruh obat
adalah pemberian anestesi spinal pada bedah sesar dapat menurunkan laju filtrasi
glomerulus, sehingga produksi urin menjadi rendah (Putri 2013).
Pada praktikum yang telah kami lakukan didapat hasil bahwa pada tidak terdapat
endapan urine serta tidak terdapat eritrosit, leukosit, sel epitel bakteri, maupun zat yang
lain. Menurut Siswanto (2010), pemeriksaan mikroskopik diperlukan untuk mengamati
sel dan benda berbentuk partikel lainnya. Banyak macam unsur mikroskopik dapat
ditemukan baik yang ada kaitannya dengan inveksi (bakteri dan virus) maupun yang
bukan karena inveksi misalnya perdarahan, disfungsi endotel dan gagal ginjal. Hal ini
penting untuk mengetahui adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih serta berat
ringannya penyakit. Biasanya, unsur organik yang dapat berada pada urin berasal dari
sesuatu organ atau jaringan antara lain epitel, eritrosit, leukosit, silinder, potongan
jaringan, sperma, bakteri, parasit dan yang tak organik tidak berasal dari sesuatu organ
atau jaringan seperti urat amorf dan kristal. Berdasarkan hasil yang didapatkan dapat
dikatakan bahwa urine subjek yang kami amati masih dalam kondisi normal. Urine pada
orang yang normal mengandung elemen-elemen tersebut dalam jumlah yang sedikit atau
bahkan tidak ada. Apabila di dalam urin elemen tersebut jumlahnya meningkat atau
berlebihan maka urine mengalami abnormalitas. Adanya elemen-elemen dalam jumlah
yang abnormal tersebut disebabkan oleh berbagai hal antara lain ketidaknormalan organ-
organ yang berperan dalam system urinearia misalnya pada ginjal. Terdapatnya elemen
tersebut tergantung dari jenis makanan, banyak makanan, kecepatan metabolisme dan
kepekatan urine. Fosfat di dalam urine adalah gabungan dari natrium dan kalium fosfat,
ini berasal dari makanan yang mengandung protein berikatan dengan fosfat (Soewolo,
2003). Epitel skuamosa umumnya dalam jumlah yang lebih rendah dan berasal dari
permukaan kulit atau dari luar uretra. Signifikansi utama mereka adalah sebagai indikator
kontaminasi (Riswanto, 2010). Jika di dalam urin terdapat dalam urin terdapat logam
berat maka hal tersebut disebabkan oleh adanya kerusakan atau keracunan pada tubulus
ginjal dan apabila terdapat darah maka dapat diidentifikasi bahwa adanya kerusakan
nefron ginjal.
.

H. Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapat berat jenis subjek (1,05833333 gram/cm3) adalah tidak
normal, karena tidak dalam rentangan angka berat jenis normal 1,003 – 1,030 (ada yang
menyatakan berat jenis normal 1,001 – 1,035). Hasil pengamatan yang kami lakukan mengenai
pH urine dengan indicator universal dengan urine pH 6, maka dapat disimpulkan bahwa pH urine
subjek yang kami amati adalah normal. Dari uji glukosa menujukkan warna biru kehijauan,
artinya urine subjek mengandung salah satu unsur abnormal yaitu glukosa (Soewolo, 2003:346).
Menurut Soewolo (2005), hal ini dapat disebabkan karena subjek telah makan makanan yang
mengandung gula pentosa. Namun tidak mengandung protein di dalamnya. Terdapat perubahan
warna menjadi putih keruh dan pada Uji Heller hasil percobaan adalah terbentuk cincin coklat.
Berdasarkan data hasil percobaan, dapat diketahui bahwa urine subyek adalah normal
karena tidak mengandung pigmen empedu. Kenormalan ini dapat dilihat dengan buih pada urine
subjek yang berwarna bening. Sedangkan pada urine yang tidak normal (mengandung pigmen
empedu) ditandai dengan adanya buih berwarna kuning. Adapun kesimpulan dari praktikum ini
bahwa dari hasil percobaan yang dilakukan, urin subjek tidak normal dikarenakan pada beberapa
obyek pengamatan terdapat hasil yang melebihi batas normal seperti berat jenis urin subyek.
Selain itu warna urine subyek pada uji glukosa menunjukkan warna biru kehijauan yang
menandakan urine mengandung salah satu unsur abnormal yaitu glukosa. Sehingga dapat kita
katakan sampel urin yang dipakai dalam percobaan kali ini adalah urin yang tidak normal dan
kurang sehat.

I. Saran

Adapun saran dalam praktikum ini adalah agar setiap praktikan mengamati secara seksama
penelitian yang dilakukan, melakukan penakaran sesuai dengan takarannya, serta berhati-hati
dalam menuangkan ataupun memindahkan cairan urin sehingga dihasilkan pengamatan yang
benar dan akurat.
DAFTAR RUJUKAN
Soewolo. 2003. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Malang: FMIPA UM

Basoeki, Soedjono, dkk. 2000. Petunjuk Praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia. Malang:
FMIPA UM.

Medicastore. 2007. Urinalisis. (Online), (http://medicastore.com, diakses tanggal 18 Nopember


2011).

Acandra. 2010. Intip Kesehatan Warna Urine. (Online),


(http://kesehatan.kompas.com/read/2010/04/13/13214350/Intip.Kesehatan.dari.Warna.U
rine, diakses 25 Nopember 2018)
Adnan. 2008. Proses dalam Ginjal. (Online), (http://barrusweet.blogspot.com/2008/07/proses-
dalam-ginjal.html, diakses 25 Nopember 2018).
Basoeki, Soedjono, dkk. 2000. Petunjuk Praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia. Malang:
FMIPA UM.
Dr.Wirawan, dkk. Tanpa Tahun. Penialaian Hasil Pemeriksaan Urine.
(Online),(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_PenilaianHasilPemeriksaanUrine.pd
f/12_PenilaianHasilPemeriksaanUrine.html, diakses 25 Nopember 2018).
Harnawatiaj. 2008. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urine.
(Online),(http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/17/konsep-dasar-pemenuhan-
kebutuhan-eliminasi-urine/, diakses 125 Nopember 2018).
Husada, dr. Ivan. 2010. Urinalisis. (Online), (http://www.ivanhoesada.com/, diakses 17
November 2011).
Joan Liebmann-Smith. 2007. Body Signs, How to Be Your Own Diagnostic Detective. Jakarta:
Ufuk Publishing House.
Medicastore. 2007. Urinalisis. (Online), (http://medicastore.com, diakses tanggal 25 Nopember
2018).
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Putri. 2011. Pemeriksaan Laboratorium Urine. (Online),
(http://mahasiswakedokteranonline.wordpress.com/2011/06/10/uji-glukosa-urine/,
diskses 125 Nopember 2018)
Riswanto. 2010. Protein Urine. (Online), (http://labkesehatan.blogspot.com/, diakses 25
Nopember 2018).
Sharp Merck & Corp Dohme. 2011. Urinalysis. New York (US): ECG.

Sloane, Ethel. 1995. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Buku Kedokteran EGC-
IKAPI
Wella, B, B. 2006. Clinic Pathology Application and Interpretasion Third Edition. USA : WB
Saunders Company.
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

You might also like