Professional Documents
Culture Documents
2. Anatomi fisiologi
Reiza Farandika (2014) menjelaskan tentang anatomi fisiologi dari sitem pernapasan
adalah sebagai berikut:
a. Anatomi sistem pernapasan
1) Rongga hidung (cavum nasalis)
Rongga hidung termasuk alat pernapasan pada manusia paling luar, dan merupakan alat
pernapasan paling awal. Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea)
dan kelenjar keringat (kelenjarsudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang
masujk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang
berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang
mempunyai banyak kapiler darah yag berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah
rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae.
2) Faring
Dari rongga hidung udara yang hangat dan lembab selanjutnya masuk
ke faring. Faring adalah suatu saluran yang menyerupai tabung sebagai persimpangan tempat
lewatnya makanan dan udara. Faring terletak diantara rongga hidung dan kerongkongan. Pada
bagian ujung bawah faring terdapat katup yang disebutepiglotis. Epiglotis merupakan katup yang
mengatur agar makanan dari masuk ke kerongkongan, tidak ke tenggorokan. Pada saat menelan
, epiglotis menutup laring. Dengan cara ini, makanan atau cairan tidak bisa masuk ke
tenggorokan.
3) Laring
Antara faring dan tenggorokan terdapat struktur yang disebut laring. Laring merupakan
tempat melekatnya pita suara. Pada saat kamu berbicara, pita suara akan mengencang atau
mengendor. Suara dihasilkan apabila udara bergerak melewati pita suara dan menyebabkan
terjadinya getaran. Pita suara pada laki-laki lebih panjang dibanding pita suara perempuan.
4) Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokoan berbentuk seperti pipa dengan panjang kurang lebih 10 cm. Di paru-
paru trakeabercabang dua membentuk bronkus. Dinding tenggorokan terdiri atas tiga lapisan
berikut:
a) Lapisan paling luar terdiri atas jarigan ikat.
b) Lapisan tengah terdiri atas otot polos dan cincin tulang rawan. Trakea tersusun atas 16-20 cincin
tulang rawan yang berbentuk huruf C. Bagian belakang cincin tulang rawan ini tidak tersambung
dan menenmpel pada esofagus. Hal ini berguna untuk mempertahankan trakea tetap terbuka
c) Lapisan terdalam terdiri atas jaringan epitelium bersilia yang menghasilkan banyak lendir.
Lendir ini berfungsi menangkap debu dan mikroorganisme yang masuk saat menghirup udara.
Selanjutnya, debu dan mikroorganisme tersebut didorong oleh gerakan silia menuju
bagian belakang mulut.
Akhirnya, debu dan mikroorganisme tersebut dikeluarkan dengan cara batuk. Silia-silia ini
berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk bersama udara pernapasan.
5) Cabang tenggorokan (Bronkus)
Bronkus merupakan cabang batang tenggorokan. Jumlahnya sepasang, yang satu menuju
paru-paru kanan dan yang satu menuju paru-paru kiri. Bronkus yang ke arah kiri lebih panjang,
sempit, dan mendatar daripada yang ke arah kanan. Hal ini yang mengakibatkan paru-paru kanan
lebih mudah terserang penyakit. Struktur dinding bronkus hampir sama dengan trakea.
Perbedaannya dinding trakea lebih tebal dripada dinding bronkus. Bronkus akan bercabang
menjadi bronkiolus. Bronkus kanan bercabang menjadi tigabronkiolus sedangkan bronkus kiri
bercabang menjadi dua bronkiolus.
6) Bronkiolus
Bronkiolus merupakan cabang dari bronkus. Bronkiolus bercabang-cabang menjadi saluran yang
semakin halus, kecil, dan dindingnya semakin tipis. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan
tetapi rongganya bersilia. Setiap bronkiolus bermuara ke alveolus.
7) Alveolus
Bronkiolus bermuara pada alveol (tunggal: alveolus), struktur berbentuk bola-bola mungil yang
diliputi oleh pembuluh-pembuluh darah. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan di
dalam kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga alveolus.
8) Paru-paru
Paru-paru terletak didalam rongga dada. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat
disebutdiafragma. Paru-paru ada dua buah yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru
kanan terdiri atas tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas, gelambir tengah, dan gelambir
bawah. Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua gelambir yaitu gelambir atas dan gelambir
bawah. Paru-paru diselimuti oleh suatu selaput paru-paru (pleura). Kapasitas maksimal paru-
paru berkisar sekitar 3,5 liter.
Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan pernapasan biasa disebut
udara pernapasan (udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang dewasa lebih kurang 500
ml. Setelah kita melakukan inspirasi biasa, kita masih bisa menarik napas sedalam-dalamnya.
Udara yang dapat masuk setelah mengadakan inspirasi biasa disebut udara komplementer,
volumenya lebih kutrang 1500 ml.
Setelah kita melakukan ekspirasi biasa, kita masih bisa menghembuskan napas sekuat-
kuatnya. Udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi biasa disebut udara suplementer,
volumenya lebih kurang 1500 ml.
Walaupun kita mengeluarkan napas dari paru-paru dengan sekuat-kuatnya ternyata dalam
paru-paru masih ada udara disebut udara residu. Volume udara residu lebih kurang 1500 ml.
Jumlah volume udara pernapasan, udara komplementer, dan udara suplementer disebut kapasitas
vital paru-paru.
b. Fisiologi pernapasan
Proses pernapasan pada manusia dapat terjadi secara sadar maupun secara tidak sadar.
Pernapasan secara sadar terjadi jika kita melakukan pengaturan-pengaturan saat bernapas,
misalnya pada saat latihan dengan cara menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa
saat, lalu mengeluarkannya. Pernapasan secara tidak sadar yaitu pernapasan yang dilakukan
secara otomatis dan dikendalikan oleh saraf di otak, mislanya pernapasan yang terjadi saat kita
tidur.
Dalam pernapasan selalu terjadi dua siklus, yaitu inspirasi (menghirup udara).
Berdasarkan cara melakukan inspirasi dan ekspirasi serta tempat terjadinya, manusia dapat
melakukan dua mekanisme pernapasan, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut.
1) Pernapasan dada
Proses inspirasi ini diawali dengan berkontraksinya muskulus interkostalis (otot
antartulang rusuk), sehingga menyebabkan terangkatnya tulang rusuk. Keadaan ini
mengakibatkan rongga dada membesar dan paru-paru mengembang. Paru-paru yang
mengembang menyebabkan tekanan udara rongga paru-paru menjadi lebih renda dari tekanan
udara luar. Dengan demikian, udara luar masuk ke dalam paru-paru.
Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Fase inspirasi
Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga dada membesar,
akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil darpada tekanan di luar sehingga udara
luar yang kaya oksigen masuk.
b) Fase ekspirasi
Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang rusuk ke posisi
semula yang diikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai
akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga
udara dalam rongga dada yang kaya akan karbon dioksida keluar.
2) Pernapasan perut
Mekanisme proses inspirasi pernapasan perut diawali dengan berkontraksinya otot
diafragma yang semula melengkung berubah menjadi datar. Keadaan diafragma yang datar
mengakibatkan rongga dada dan paru-paru mengembang. Tekanan udara yang rendah dalam
paru-paru menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam paru-paru.
Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua tahap yakni sebagai berikut:
a) Fase inspirasi
Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar, akibatnya rongga
dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar masuk.
b) Fase ekspirasi
Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali keposisi semula,
mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi lebih besar, akibatnya udara
keluar dari paru-paru.
3) Pertukaran O2 dan CO2
a) Udara masuk ke alveolus (ke kapiler-kapiler darah) secara difusi.
b) Terjadi proses oksihemoglobin, yaitu hemoglobin (Hb) mengikat O2.
c) O2 diedarkan oleh darah ke seluruh jaringan tubuh.
d) Darah melepaskan O2 sehingga oksihemoglobin menjadi hemoglobin.
e) O2 digunakan untuk oksidasi menghasilkan energi + CO2+ uap air.
f) CO2 larut dalam darah dan diangkut darah ke paru-paru, masuk ke alveolus secara difusi.
g) CO2 keluar melalui alat pernapasan di rongga hidung.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) adapun faktor-faktor yang memengaruhi fungsi
pernapasan adalah sebagai berikut:
1) Posisi tubuh
Pada keadaan duduk atau berdiri pengembangan paru dan pergerakan diafragma lebih baik
daripada posisi datar atau tengkurap sehingga pernapasan lebih mudah.
2) Lingkungan
Oksigen di atmosfer sekitar 21%, namun keadaan ini tergantung dari tempat atau lingkungannya
contoh: pada tempat yang tinggi, dataran tinggi, dan daerah kutub akan membuat kadar oksigen
menjadi berkurang, maka tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan jumlah pernapasan.
3) Polusi udara
Polusi udara yang terjadi baik karena industri maupun kendaraan bermotor berpengaruh terhadap
kesehatan paru-paru dan kadar oksigen karena mengandung karbon monoksida yang dapat
merusak ikatan oksigen dengan hemoglobin.
4) Zat alergen
Beberapa zat alergen dapat memengaruhi fungsi pernapasan, seperti makanan, zak kimia, atau
benda sekitar yang kemudian merangsang membran mukosa saluran pernapasan sehingga
mengakibatkan vasokonstriksi atau vasodilatasi pembuluh darah, seperti pada pasien asma.
5) Gaya hidup dan kebiasaan
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan penyakit pernapasan seperti emfisema, bronkitis,
kanker, dan infeksi paru lainnya. Penggunaaan alkohol dan obat-obatan memengaruhi susunan
saraf pusat yang akan mendepresi pernapasan sehingga menyebabkan frekuensi pernapasan
menurun.
6) Nutrisi
Nutrisi mengandung unsur nutrien sebagai sumber energi dan untuk memperbaiki sel-sel rusak.
Protein berperan dalam pembentukan hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen untuk
disebarkan keseluruh tubuh.
7) Peningkatan aktivitas tubuh
Aktivitas tubuh membutuhkan metabolisme untuk menghasilkan energi. Metabolisme
membutuhkan oksigen sehingga peningkatan metabolisme akan meningktkan kebutuhan lebih
banyak oksigen.
8) Gangguan pergerakan paru
Kemampuan pengembangan paru juga berpengaruh terhadap kemampuan kapasitas dan volume
paru. Penyakit yang mengakibatkan gangguan pengembangan paru diantaranya adalah
pneumotoraks dan penyakit infeksi paru menahun.
9) Obstruksi saluran pernapasan
Obstruksi saluran pernapasan seperti pada penyakit asma dapat menghambat aliran udara masuk
ke paru-paru.
3. Etiologi
Penyebabnya adalah mycobacterium tuberculosis sejenis kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Sifat kuman:
a. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih
tahan terhadap asam basa (asam alkohol) disebut bakteri tahan asam (BTA).
b. Kuman tahan terhadap gangguan kimia dan fisis
c. Kuman dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin.
d. Kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag karena makrofag banyak mengandung lipid.
e. Kuman bersifat aerob, kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.
(Nixson Manurung, 2016)
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosa. Basil ini tidak berspora
sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua
macam Mycobacteria Tuberculosis yaitu tipe Human dan tipe Bovin. Basil tipe Human bisa
berada dibercak ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita TBC, dan orang yang
terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya. (Wim de Jong dalam Amin & Hardhi, 2015)
Setelah organisme terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan hidup dan
menyebar kenodus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB
pada orang lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun. (Patrick Davey
dalam Amin & Hardhi, 2015)
Agen infeksius utama, mycobacterium culosis adalah batang aerobik tahan asam yang
tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. (Andra & Yessie, 2013)
Mary DiGiulio, dkk (2014) menjelaskan tentang etiologi tuberkulosis adalah sebagai
berikut:
Penyakit infeksi yang menyebar dengan rute naik di udara. Infeksi disebabkan oleh penghisapan
air liur yang berisi bakteri tuberkulosis. Seorang yang terkena infeksi dapat menyebarkan
partikel kecil malalui batuk, bersin, atau berbicara. Berhubungan dekat dengan mereka yang
terinfeksi meningkatkan kesempatan untuk transmisi. Begitu terhisap, organisme secara khas
diam di dalam paru-paru, tetapi dapat menginfeksi organ tubuh lainnya. Organisme mempunyai
kapsul sebelah luar.
TB primer terjadi ketika pasien pada awalanya terkena infeksi mycobacterium. Setelah
dihirup ke dalam paru-paru, organisme penyebab suatu reaksi dilokalisir.
Ketika makrofag dan T-Lymphocytes berusaha mengisolasikan dan
memusnahkan mycobacterium di dalam paru-paru, kerusakan juga disebabkan jaringan paru-
paru. Lukagranulomatous yang berkembang berisi mycobacterium, makrofag, dan sel lain.
Perubahan necrotic terjadi di dalam luka ini. Granuloma berkembang sepanjang getah bening
sepanjang waktu yang sama. Area ini menciptakan kompleks Ghon yang merupakan kombinasi
dari area yang pada awalnya terkena infeksi basil yang naik di udara yang disebut
fokus Ghon dan luka geta bening. Mayoritas orang dengan infeksi baru dan sistem imun yang
baik akan menderita infeksi laten. Penyakit tidak aktif pada kondisi seperti ini dan tidak akan
ditularkan. Pada pasien dengan respon inum kurang baik, tuberkulosis akan progresif, kerusakan
jaringan paru-paru terus berlangsung, dan area lain paru-paru juga akan terkena.
Pada TB sekunder, penyakit diaktifkan pada tahap kemudian. Pasien mungkin terinfeksi
kembali dari air liur, atau dari luka utama sebelumnya. Karena pasien telah sebelumnya
terinfeksi TB, respon imun akan dengan cepat membatasi infeksi. Area berongga ini terjadi
ketika seseorang kontak dengan seseorang yang dicurigai atau dinyatakan menderita TB. Pasien
ini tidak mempunyai tes kulit positif, gejala atau tanda penyakit, atau perubahan-perubahan sinar
x pada dada. Mereka bisa jadi atau bisa juga tidak mengidap tuberculin positif, namun tidak ada
gejala penyakit. Rontgen dada mungkin menunjukkan granuloma atau klasifikasi.
4. Klasifikasi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan klasifikasi TB paru adalah sebagai berikut:
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat
pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan
untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB paru
dibagi sebagai berikut:
a. TB paru BTA positif dengan kriteria:
1) Dengan atau tanpa gejala klinik
2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif 1 kali
atau disokong radiologik positif 1 kali
3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru
b. TB paru BTA negatif dengan kriteria:
1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif
2) BTA negatif, biarkan negatif tetapi radiologik positif
c. Bekas TB paru dengan kriteria
1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
2) Gejala klinik tidak ada atau gejala sisa akibat kelainan paru
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah
4) Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
Klasifikasi menurut American Thoracic Society dalam Amin dan Hardhi (2015), adalah
sebagai berikut:
a. Kategori 0: tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberculin
negatif.
b. Kategori 1: terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat kontak positif,
tes tuberculin negatif.
c. Kategori 2: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis dan
sputum negatif.
d. Kategori 3: terinfeksi tuberkulosis dan sakit
Sedangkan menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu: (Sudoyo Aru dalam
Amin & Hardhi, 2015).
a. Kategori 1, ditujukan terhadap:
1) Kasus baru dengan sputum positif
2) Kasus baru dengan bentuk TB berat
b. Kategori 2, ditujukan terhadap:
1) Kasus kambuh
2) Kasus gagal dengan sptum BTA positif
c. Kategori 3, ditujukan terhadap:
1) Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang luas
2) Kasus TB ekstra paru selain yang disebut dalam kategori
d. Kategori 4, dutujukan terhadap: TB kronik
5. Insiden
Angka pravalensi tuberkulosis pada tahun 2014 sebesar 647/100.000 penduduk meningkat
dari 272/100.000 penduduk pada tahun sebelumnya, angka insiden tahun 2014 sebesar
399/100.000 penduduk dari sebelumnya sebesar 183/100.000 penduduk pada tahun 2013,
demikian juga dengan angka mortalitas pada tahun 2014 sebesar 41/100.000 penduduk, dari
25/100.000 penduduk pada tahun 2013. (WHO, Global Tuberculosis Report, 2015)
Angka notifikasi kasus baru tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis pada tahun
2015 di Indonesia sebesar 74 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2014 yang
sebesar 77 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka notifikasi seluruh kasus tuberkulosis pada
tahun 2015 sebesar 130 per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar 129
per 100.000 penduduk. (Kemenkes RI, 2015)
Menurut catatan medical record RSUD Latemmamala Soppeng pada tahun 2015
penderita TB untuk rawat inap yaitu 45 orang dimana penderita laki-laki sebanyak 21
orang (46,7%) dan perempuan sebanyak 24 orang (53,3%). Pada tahun 2016 penderita
TB pada rawat inap yaitu 41 orang dimana penderita laki-laki sebanyak 25 orang
(60,9%) dan perempuan sebanyak 16 orang (39%). Pada tahun 2017 bulan Januari-
Juni penderita TB untuk rawat inap yaitu 45 orang dimana penderita laki-laki sebanyak
28 orang (62,2%) dan perempuan sebanyak 17 orang (37,7).
6. Patofisiologi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang patofisiologi dari penyakit TB adalah
sebagai berikut:
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhilasi sebagai suatu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga
hidung dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya
dibagian bawah lobus atas atau dibagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan
reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit
bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama
maka leukosit diganti olehmakrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan
timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya
tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus
difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe
regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk seltuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis
kaseosa dan jaringan granulasi dan sekitarnya yang terdiri dari
sel epiteloid dan fibroblasmenimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe
regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami
perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan bahan cair
lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkularyang dilepaskan dari
dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali
pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas
kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila
peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak
dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
denganbronkus dengan menjadi tempat peradagan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui
saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe
akan mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan
suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus
nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler
dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.
7. Manifestasi klinis
a. Menurut Mary DiGiulio, dkk (2014) tanda dan gejala dari tuberkulosis yaitu:
1) Berat badan turun dan anoreksia
2) Berkeringat dingin
3) Demam, mungkin golongan yang rendah karena infeksi
4) Batuk produktif dengan dahak tak berwarna, bercak darah
5) Napas pendek karena perubahan paru-paru
6) Lesu dan lelah karena aktivitas paru-paru terganggu
b. Menurut Andra dan Yessie (2013) gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan
yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.
1) Gejala respiratorik, meliputi:
a) Batuk
Gejala batuk timbul lebih dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada
kerusakan jaringan.
b) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-
bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk dahak terjadi
karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c) Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim sudah luas atau karena ada hal-hal yang
menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul bila sistem
persarafan di pleura terkena.
2) Gejala sitemik, meliputi:
a) Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip
demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas
serangan makin pendek.
b) Gejala sistem lain
Gejala sistemik sistem lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta
malaise.
c) Timbulnya keluhan biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan
akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia.
Tuberkulosis paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat
rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk
menetap. Batuk pada awalnya mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang ke arah
pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis.
Tuberkulosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku tiada biasa
dan perubahan status mental, demam, anorexia dan penurunan berat badan. Basil TB dapat
bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dormain.
c. Soedarto (2013) menjelaskan bahwa gejala klinis yang terjadi tergantung pada jenis organ yang
terinfeksi kuman ini. Infeksi paru-paru (tuberkulosis paru) akan menimbulkan gejala batuk-batuk
kronis yang berdahak kadang-kadang berdarah (hemoptisis). Meskipun demikian sering
penderita tidak menunjukkan gejala klinis atau keluhan yang nyata selama bertahun-tahun
(asimtomatis).
Gejala umum TBC adalah anoreksia dan penurunan berat badan, tubuh terasa lelah dan
lesu, demam dan sering kedinginan. Pada TBC kulit, kelainan berupa ulkus atau papul yang
berkembang menjadi pustula yang berawarna gelap.
8. Komplikasi
Nixson Manurung (2016) menjelaskan bahwa penyakit TB paru bila tidak ditangani
dengan benar akan menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
a. Komplikasi dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
3) Emplema
4) Laringitis
5) Menjelar ke organ lain seperti usus
b. Komplikasi lanjut
1) Obstruksi jalan napas: SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis)
2) Kerusakan arenkim berat: SOPT, fibrosis paru, korpulmonal
3) Amiloidosis
4) Karsinoma paru dan sindrom gagal napas dewasa.
9. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Mansjoer, dkk dalam Amin dan Hardhi (2015), pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada klien dengan Tuberculosis paru, yaitu:
a. Laboratorium darah rutin
LED normal/meningkat, limfositosis
b. Pemeriksaan sputum BTA
Untuk memastikan diagnostik TB paru, namun pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-
70% pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
c. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk menentukan
adanya IgH spesifik terhadap basil TB.
d. Tes Mantoux Tuberkulin
Merupakan uji serologi Imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk menentukan
adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
e. Tekhnik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu
mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
f. Becton Dickinson diagnostik instrument Sistem (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak
oleh mykobakterium tuberculosis.
g. MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomanan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk
seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai memakai warna sisir akan
berubah.
h. Pemeriksaan radiologi
Rontgen thorax PA dan lateral, gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB, yaitu:
1) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atau segment apikal lobus bawah.
2) Bayangan berwarna ( patchy ) atau bercak ( nodular)
3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda
4) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru
5) Adanya klasifikasi
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
7) Bayangan milier
Sedangkan menurut Arif Muttaqin (2013) pemeriksaan diagnostik pada TB paru adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan
pada paru. Bila pemeriksaan Rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus
mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus bawah dan biasanya ada disekitar hilus.
Kerakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya
bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas.
b. Pemeriksaan CT Scan
Dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan
adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul, dan adenopati,
perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.
c. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut
diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut
yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT.
Pada beberapa klien, didapatkan bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-nodul
sangat kecil yang menyebar secara difus dikedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih,
terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa
garis-garis tajam.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Bahan pemeriksaan untuk isolasi mycobacterium tuberculosis berupa:
1) Sputum
Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka
sputum dikumpulkan dalam 24 jam.
2) Urine
Urine yang diambil adalah urine pertama di pagi hari atau urine yang dikumpulkan selama 12-24
jam.
3) Cairan kumbah lambung
Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan
sputum. Diambil pada pagi hari sebelum sarapan.
4) Bahan-bahan lain
Misalnya pus, cairan serebrospinal (sum-sum tulang belakang), cairan pleura, jaringan tubuh,
feses, dan swab tenggorok.
10. Penatalaksanaan medik
a. Pengobatan
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang cara pengobatan penyakit tuberkulosis
adalah sebagai berikut:
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain untuk mengobati juga mencegah
kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai
penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan.
Jenis obat utama yang sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisan, INH, Pirasinamid,
Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon,
Makrolide, Amoksisilin + asam klavulanat, derivat Rifampisin/INH, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel. 1
Obat Anti TB serta cara kerja potensi dan dosisnya
Rekomendasi dosis
Obat Anti TB (mg/kg BB)
Aksi Potensi
Esensial Per Perminggu
hari 3x 2x
Isoniazid Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifamphisin Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirasinamid Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol Bakteriostatik rendah 15 30 45
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu bedasarkan lokasi
tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan
riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu perlu pemahaman tentang strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
yang direkomendasikan oeh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1) Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan
penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit
pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3) Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus
minum obat setiap hari.
4) Kesinambungan ketersediaan padua OAT jangka pendek yang cukup
5) Pencatatan dan pelaporan yang baku.
b. Pencegahan
Menurut Najmah (2016) berikut ini merupakan pencegahan primer, sekunder, dan tersier
tuberkulosis.
1) Pencegahan primer
a) Tersedia sarana-saran kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering
dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
b) Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain
meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
c) Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
d) Pecegahan infeksi dengan cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus
dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik
dengan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
e) Imunisasi orang-orang kontak
Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas
kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi positif
yang tertular.
f) Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi
misalnya kepadatan hunian.
g) Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara menyembelih
sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif, susu di pasteurasi sebelum dikonsumsi.
h) Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang.
2) Pencegahan Sekunder
a) Pengobatan Preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan
pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
b) Isolasi pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan
mondok di rumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan
pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis
untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
c) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
d) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para
emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas di rumah sakit, petugas/guru di sekolah,
petugas foto rontgen.
e) Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test.
f) Pengobatan khusus
Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah
ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan).
Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
3) Pencegahan tersier
a) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang tercemar debu
para pekerja tambang, pekerja semen, dan sebagainya
b) Rehabilitasi
3. Diagnosa keperawatan
Menurut Marilynn E.Doenges, dkk (2012), diagnosa keperawatan yang lazim muncul
pada klien dengan tuberculosis adalah :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mukus yang kental,
hemoptisis; kelemahan, upaya batuk buruk; dan edema trakheal/faringeal.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
tehadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
3. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru,
atelektasis; kerusakan membran alveolar-kapiler; sekret kental, tebal; edema bronkial.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan
metabolisme tubuh.
5. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan
untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan di rumah.
7. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat,
penurunan kerja silis/statis sekret; kerusakan jaringan/tambahan infeksi; penurunan
pertahanan/penekanan proses inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan
untuk menghindari pemajanan patogen.
4. Rencana asuhan keperawatan
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) pada tahap perencanaan ada empat hal yang harus
diperhatikan, yaitu menentukan prioritas, menentukan tujuan, melakukan kriteria hasil dan
merumuskan intervensi.
a. Menentukan prioritas masalah
Berdasarkan Hierarki Maslow
1) Kebutuhan fisiologis, merupakan kebutuhan dasar yang sangat prioritas karena menentukan
kehidupan, misalnya kebutuhan oksigen, kebutuhan cairan, nutrisi, eliminasi, istirahat, tidur.
Contoh: nutrisi kurang dari kebutuhan, pola nafas tidak efektif.
2) Kebutuhan keselamatan den keamanan, termasuk dalam kebutuhan ini adalah keselamatan dan
keamanan secara fisik maupun psikologis.
Contoh: resiko cedera jatuh.
3) Kebutuhan akan harga diri, termasuk kepercayaan diri, nilai-nilai, merasa bermakna.
Contoh: gangguan body image
4) Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan dimana individu merasa mencapai sukses terhadap
masalah atau situasi.
Contoh: keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan.
b. Menentukan tujuan
Dalam menentukan tujuan, digambarkan kondisi yang diharapkan disertai jangka waktu.
Contoh: terjadi penurunan berat badan dalam tiga hari perawatan.
c. Menentukan kriteria hasil
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kriteria hasil adalah:
1) Bersifat spesifik dalam hal isi dan waktu.
Contoh: pasien dapat menghabiskan satu porsi makanan selama 3 hari setelah operasi.
2) Bersifat realistik, artinya dalam menentukan tujuan harus dipertimbangkan faktor
fisiologis/patologi penyakit yang dialami dan sumber yang tersedia, serta waktu pencapaian.
3) Dapat diukur, artinya pasien dapat menyebutkan tujuan batuk efektif dengan benar dan
mendemonstrasikan cara batuk efektif.
4) Mempertimbangkan keadaan dan keinginan pasien
5) Berpusat pada pasien, artinya rencana tindakan untuk mengatasi masalah pasien.
d. Merumuskan intervensi dan aktivitas perawatan
Rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat
mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya
berdasarkan diagnosa keperawatan.
Berikut merupakan rencana asuhan keperawatan pada penyakit TB paru (Marilynn E.Doenges
dkk, 2012):
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mukus yang kental,
hemoptisis; kelemahan, upaya batuk buruk; dan edema trakheal/faringeal.
Tujuan: Kebersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria:
1) Mempertahankan jalan napas klien
2) Pernapasan klien normal (16-24 x/i)
3) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan
Tabel. 2
Rencana asuhan keperawatan TB Paru
Diagnosa I
Intervensi Rasional
1. Kaji fungsi pernapasan seperti: 1. Penurunan bunyi napas dapat
bunyi napas, kecepatan, irama, menunjukkan atelektasis ronchi,
kedalaman dan penggunaan otot mengi menunjukkan akumulasi
aksesori. sekret/ketidak mampuan untuk
membersihkan jalan napas.
Intervensi Rasional
1. Identifikasi faktor penyebab 1. Menentukan jenis efusi pleura
sehingga dapat mengambil
tindakan yang tepat.
2. Kaji fungsi pernapasan, catat 2. Distres pernapasan dan perubahan
kecepatan pernapasan, dispnea, tanda vital dapat terjadi sebagai
sianosis, dan perubahan tanda vital. akibat stres fisiologi dan nyeri atau
dapat menunjukkan terjadinya syok
3. Berikan posisi fowler/semifowler akibat hipoksia
tinggi dan miring pada sisi yang 3. Memaksimalkan ekspansi paru dan
sakit, bantu klien latihan napas mnurunkan upaya bernapas.
dalam. Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis.
4. Auskultasi bunyi napas.
4. Bunyi napas dapat menurun/tak
ada pada area kolaps yang meliputi
satu lobus, segmen paru,
Intervensi Rasional
seluruh area paru.
5. Ekspansi paru menurun pada area
5. Kaji pengembangan dada dan
kolaps. Deviasi trakhea ke arah sisi
posisi trakhea.
yang sehat pada tension
pneumothoraks.
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru,
atelektasis; kerusakan membran alveolar-kapiler; sekret kental, tebal; edema bronkial.
Tujuan: Gangguan pertukaran gas tidak terjadi
Kriteria:
1) Melaporkan tidak adanya/penurunan dispnea
2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
3) Bebas dari gejala distres pernapasan
Tabel. 4
Rencana asuhan keperawatan TB Paru
Diagnosa III
Intervensi Rasional
1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi 1. TB Paru mengakibatkan efek luas
napas, peningkatan upaya pada paru dari bagian kecil
pernapasan, ekspansi thoraks, dan bronkhopneumonia sampai
kelemahan. inflamasi difus yang luas, nekrosis,
efusi pleura, dan fibrosis yang luas.
2. Akumulasi sekret/pengaruh jalan
2. Evaluasi perubahan pada tingkat napas dapat mengganggu
kesadaran. Catat sianosis dan/atau oksigenasi organ vital dan jaringan.
Perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan 3. Menurunkan konsumsi oksigen
kuku. selama periode penurunan
3. Tingkatkan tirah baring, batasi pernapasan.
aktivitas, bantu kebutuhan 4. Terapi O2 dapat mengoreksi
perawatan diri. hipoksemia yang terjadi.
4. Pemberian O2 sesuai kebutuhan
tambahan.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan
metabolisme tubuh.
Tujuan: Intake nutrisi klien terpenuhi
Kriteria:
1) Menunjukkan berat badan meningkat
2) Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang menjadi adekuat
Tabel. 5
Rencana asuhan keperawatan TB Paru
Diagnosa IV
Intervensi Rasional
1. Catat status nutrisi pasien pada 1. Berguna dalam mendefinisikan
penerimaan, catat turgor kulit, berat derajat/luasnya masalah dan pilihan
badan dan derajat kekurangan berat intervensi yang tepat.
badan, integritas mukosa oral,
kemampuan menelan, riwayat mual
muntah atau diare.
2. Kaji pola diet pasien yang disukai
atau tidak disukai
Intervensi Rasional
1. Bantu dalam mengidentifikasi 1. Pemanfaatan sumber koping yang
sumber koping yang ada. ada secara konstruktif sangat
bermanfaat dalam mengatasi stres.
Intervensi Rasional
4. Kaji faktor yang menyebabkan 4. Membangun kepercayaan dalam
timbulnya rasa cemas mengurangi kecemasan
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan klien untuk 1. Keberhasilan proses belajar
mengikuti pembelajarn dipengaruhi oleh kesiapan fisik,
(pengetahuan klien). emosional, dan lingkungan yang
kondusif.
2. Berikan Health Education pada 2. Pendidikan kesehatan merupakan
klien dan keluarga klien tentang cara efektif untuk memberikan
penyakit TB paru. informasi kepada klien
Intervensi Rasional
3. Jelaskan tentang dosis obat, 3. Meningkatkan partisipasi klien
frekuensi pemberian, alasan dalam program pengobatan dn
mengapa pengobatan TB mencegah putus obat karena
berlangsung dalam waktu lama. membaiknya kondisi pasien
sebelum jadwal terapi selesai.
Intervensi Rasional
1. Kaji patologi penyakit dan 1. Membantu pasien menyadari
potensial penyebaran infeksi. perlunya program pengobatan
untuk mencegah pengaktifa
berulang.
2. Identifikasi orang lain yang 2. Orang-orang yang terpajan ini
berisiko. perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran infeksi.
5. Tindakan keperawatan
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) Implementasi merupakan tidakan yang sudah
direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi.
Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada
kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas
kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan didasarkan hasil keputusan bersama, seperti
dokter dan petugas kesehatan lain.
Implementasi keperawatan dapat berbentuk:
a. Bentuk perawatan seperti melakukan pengkajian untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mempertahankan masalah yang ada.
b. Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu menambah pengetahuan tentang
kesehatan.
c. Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien
d. Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan lainnya sebagai bentuk
perawatan holistik.
e. Bentuk pelaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan masalah kesehatan.
f. Membantu pasien dalam melakukan kesehatan sendiri.
g. Melakukan monitoring atau pengkajian terhadap komplikasi yang mungkin terjadi terhadap
pengobatan atau penyakit yang dialami.
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat menentukan
keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya adalah membandingkan status
keadaan kesehatan pasien dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Tujuan dari evaluasi adalah:
a. Mengevaluasi status kesehatan pasien
b. Menentukan perkembangan tujuan perawatan
c. Menentukan efektivitas dari rencana keperawatan yang telah ditetapkan.
d. Sebagai dasar menentukan diagnosis keperawatan sudah tercapai atau tidak, atau adanya
perubahan diagnosis.
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasil tindakan keperawatan.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan
memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.
Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Daftar tujuan-tujuan pasien
b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu
c. Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien.
d. Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.
Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan
keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan
intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, dan Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. Jilid 3. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Andra, dan Yessie. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Nuha Medika.
DiGiulio, Mary dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Doenges, Marylinn E. dkk. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC.
Farandika, Reiza. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Depok: Vicost Publishing.
Manurung, Nixson. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory. Jakarta: Trans Info
Media.
Muttaqin, Arif. 2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Syaifuddin. 2014. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan Dan
Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Tarwoto, dan Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi 5.
Jakarta: Salemba Medika.