You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Kompleks et causa Rinofaringitis Akut + Diare Akut Non


Dehidrasi.

”Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Kesahatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura ”

Oleh :
Angga Widianto
Deodatus I Moa
Kaida Setyarini
Meiby CDC Merauje

Pembimbing :
dr. Helena Maria M ,SpA

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD DOK II
FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh ( suhu rectal diatas 38o C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak,
terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus statement on
febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem
susunan saraf pusat.3 Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan,
yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi
oleh demam (epilepsi triggered of by fever).
Hampir 3% anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya. Wegman
(1939) dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang
tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta
cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal
(1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh
sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat
bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak
normal hanya 3%.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam (Febrile Convulsion)


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rectal diatas 38° C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

2.1.1 Klasifikasi
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam
sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan berlangsung umum, dan kejang
demam kompleks, yang berlangsung kurang dari 15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari
1 kali kejang dalam 24 jam). Kriteria penggolongan tersebut dikemukan oleh berbagai
pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut,
menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran rekam otak dan lainnya.
Klasifikasi KD Menurut J. Gordon Millichap dan Jerry A. Collifer,
Ada 2 bentuk kejang demam yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut:
· Kejang berlangsung singkat < 15 menit
· Kejang umum tonik dan atau klonik
· Umumnya berhenti sendiri
· Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
· Umur penderita 6 bulan- 5 tahun
2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis
sebagai berikut:
1. Kejang lama >15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. Berulang atau lebih dari 1kali dalam 24 jam
4. Kejang pertama kali pada umur < 6 bulan atau > 5 tahun

Kejang Demam Plus


· Kejang demam pada anak umur > 6 tahun
· KD bersamaan dengan epilepsi

2
· Serangan kejang sering, > 13x/tahun

2.1.2 Faktor Resiko

Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu
juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan khusus,
dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan
mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali
rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperature yang sangat rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsy.
Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat
(orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam.Tsuboi
mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang demam ialah
17% dan pada saudara kandungnya 22%.Delapan-puluh persen dari kembar monosigot
dengan kejang demam adalah konkordans untuk kejang demam.Kebanyakan peneliti
mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan secara dominan dengan penetrasi yang
mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau melalui modus poligenik.
Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat
kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara pernah pula
mengalami KD, kemungkinan ini meningkat menjadi 50% .
Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat keluarga
pada 231 penderita KD Dari mereka ini 60 penderita merupakan anak tunggal waktu
diperiksa.Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu atau lebih saudara kandung
- 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih saudara kandung yang pemah mengalami
kejang yang disertai demam. Jumlah seluruh saudara kandung dari 221 penderita ini ialah
812 orang, dan 119 (14,7%) di antaranya pernah mengalami kejang yang disertai demam.

2.1.3 Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:
1. Demamnya sendiri
3
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau
ensefalopati toksik sepintas
6. Gabungan semua faktor diatas

Penyebab Demam Jumlah


Penderita

Tonsilitis dan/atau faringitis 100


Otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44
Bronkitis (radang saiuran nafas) 17
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran 38
nafas)
Morbili (campak) 12
Varisela (cacar air) 1
Dengue (demam berdarah) 1
Tidak diketahui 66

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada infeksi
lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mengaiami KD
dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian KD hanya
sekitar 1%. Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian KD pada
shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan.

2.1.4 Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan
fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.

4
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan
sebaliknya.Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.Untuk
menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan
dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40ºC
atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot
pernafasan tidak efisiensehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi
artenal disertai denyutjantungyang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat
oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot
meningkat.

5
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
Berikut merupakan skema penjelasan kejang demam:
Peningkatan Suhu
Tubuh

Metabolisme Basal Resiko Tinggi


Meningkat Gangguan Kebutuhan
Nutrisi
O2 ke Otak Menurun

Kejang Demam TIK Meningkat

Kejang Kejang Gangguan Perkusi


Demam Demam Jaringan
Sederhan Kompleks
a
Resiko Injury Defisit
VolumeCaira
n
ResikoTinggi Gangguan
Tumbuh Kembang

2.1.5 Gejala Klinis


Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Liingstone), yaitu:
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut :
· Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
· Kejang umum tonik dan atau klonik
· Umumnya berhenti sendiri
· Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam

6
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
· Kejang lama > 15 menit
· Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejangparsial
· Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
2.1.6 Diagnosis
· Anamnesis: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga
yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung).
· Pemeriksaan Neurologis :tidak didapatkan kelainan.
· Pemeriksaan Laboratorium :pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan
guladarah).
· Pemeriksaan Radiologi : X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi.
Indikasi CT scan CT Scan atau MRI : kelainan neurologi fokal menetap
(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak. (mikrosefali,
spastisitas) atau terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran
menurun, muntah berulang, UUB menonjol, paresis N.VI, edema papil)
· Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) : tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan
pungsilumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan.
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.
· Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) :tidak direkomendasikan, kecuali
pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada
anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
2.1.7 Diagnosis Banding
· Meningitis
· Ensefalitis
· Abses otak
2.1.8 Penatalaksanaan
Tindakan awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring
dan hangat. Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di
antara gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah
lidahnya tergigit.Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah atau

7
jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba
menahan gerakan anak.Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak dengan
air sedikit.
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan Fase Akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin.Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu
tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat – obatan
antipiretik sangat di perlukan. Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik
adalah parasetamol 10-15mg/kgbb/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgbb/hari
setiap 4-6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik
diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius
hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg
persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20
mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar
dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali
menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah
dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981).
Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol
yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke rektum
sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk
beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus.
Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg
(BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak
berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
8
perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan
dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital dosis
rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis,
untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan
belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral. Harus
diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya
adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.

Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.

Pengobatan Profilaksis Terhadap Berulangnya Kejang Demam


Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:
1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang
menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis
intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien
demam. Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg
(BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5OC.
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis
terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya
kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.Profilaksis terus-menerus setiap hari
dengan fenobarbital 3-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.Obat lain yang dapat
digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan
dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

9
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :
· Kejang lama > 15 menit
· Kelainan neurologis yang nyata sebelum/sesudah kejang ; hemiparesis, paresis
Todd, serebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
· Kejang fokal.
Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :
· Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam.
· Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
· Kejang demam > 4 kali per tahun.

Algoritme Penanganan Kejang Akut dan Status konvulsif

10
2.1.9 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian.Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang
berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam.
Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak ada faktor terebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam besar pada tahun pertama.

11
Faktor resiko terjadinya epilepsi :
- Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
- Kejang demam kompleks.
- Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi 4-6%,
kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-
49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat
pada kejang demam.

2.2 Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari
14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat
disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare
infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan
KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin
di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah.
Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik,
mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya
minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul,
terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara
rutin tidak ditemukan leukosit.
12
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila
ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik
air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat
defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat
non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau
akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit
usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel
atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di
usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan
terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya
leukosit dalam feses.

2.2.1 Menilai Dehidrasi

Semua anak dengan diare, harus diperiksa apakah menderita dehidrasi dan klasifikasikan
status dehidrasi sebagai dehidrasi berat, dehidrasi ringan/ sedang atau tanpa dehidrasi dan
beri pengobatan yang sesuai.

Tabel 1. Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan Diare

13
Anamnesis
Riwayat pemberian makan anak sangat penting dalam melakukan tatalaksana anak dengan
diare. Tanyakan juga hal-hal berikut:
· Diare
o frekuensi buang air besar (BAB) anak
o lamanya diare terjadi (berapa hari)
o apakah ada darah dalam tinja
o apakah ada muntah
· Laporan setempat mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) kolera
· Pengobatan antibiotik yang baru diminum anak atau pengobatan lainnya
· Gejala invaginasi (tangisan keras dan kepucatan pada bayi).
Pemeriksaan fisis
Cari:
· Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat:
o rewel atau gelisah

14
o letargis/kesadaran berkurang
o mata cekung
o cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat
o haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum.
· Darah dalam tinja
· Tanda invaginasi (massa intra-abdominal, tinja hanya lendir dan darah)
· Tanda-tanda gizi buruk
· Perut kembung.
Tidak perlu dilakukan kultur tinja rutin pada anak dengan diare.
Tabel 16. Bentuk klinis diare
DIAGNOSIS DIDASARKAN PADA KEADAAN
· Diare lebih dari 3 kali sehari berlangsung
Diare cair akut kurang dari 14 hari
· Tidak mengandung darah
· Diare air cucian beras yang sering dan
banyak dan cepat menimbulkan dehidrasi
berat, atau
Kolera · Diare dengan dehidrasi berat selama
terjadi KLB kolera, atau
· Diare dengan hasil kultur tinja positif
untuk V. cholerae O1 atau O139
Disenteri · Diare berdarah (terlihat atau dilaporkan)
· Diare berlangsung selama 14 hari atau
Diare persisten
lebih
· Diare jenis apapun yang disertai tanda
Diare dengan gizi buruk
gizi buruk
Diare terkait antibiotik
· Mendapat pengobatan antibiotik oral
(antibiotic associated
spektrum luas
diarrhea)
· Dominan darah dan lendir dalam tinja
Invaginasi · Massa intra abdominal (abdominal mass)
· Tangisan keras dan kepucatan pada bayi.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : An. E.K
tanggal lahir : 26 April 2016
Umur : 2 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Hamadi

Masuk RS tanggal : 18 November 2018


Diagnosis Masuk : Kejang demam kompleks e.c RFA + Diare non dehidrasi
Keluar RS tanggal : 20 November -2018
Lama Perawatan : 2 hari

II. ANAMNESIS
· Keluhan Utama : Kejang
· Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke UGD RSUD Dok 2 dengan keluhan kejang sejak ± 4jam SMRS,
kejang dialami sebanyak 2 kali di rumah setelah dari rumah sakit AL, berlangsung
15 menit. Bentuk kejang kaki dan tangan pasien kaku kemudian mata pasien
mendelik ke atas, setelah kejang pasien sadar, Saat kejang keluar busa dari mulut
disangkal oleh ibu pasien. Pasien kejang pada saat demam, ibu pasien mengatakan
awalnya pasien demam sejak ± 2 hari Demam hilang timbul, saat demam disertai
menggigil dan berkeringat disangkal oleh ibu pasien. Disertai Batuk(+) sejak ± 2
hari, batuk berlendir, sesak napas (-). Nafsu makan dan minum pasien masih baik,
mual (-), muntah (-).BAB >3 kali, konsistensi cair, darah (-), BAK (+) lancar,
berwarna kekuningan, frekuensi 4 kali sehari, darah (-), nyeri (-).

· Riwayat Penyakit Dahulu:

16
Riwayat kejang sebelumnya (-)
· Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat ayan atau epilepsi dalam keluarga disangkal.
· Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak ke dua dari dua bersaudara dan pasien tidak memiliki adik.

· Riwayat Pribadi
1. Riwayat Kehamilan dan persalinan
Ibu pasien mengaku tidak ada gangguan selama kehamilan. Ibu melakukan ANC
di posyandu lebih dari 4x. Pasien dilahirkan di rumah sakit dibantu oleh bidan,
lahir spontan pervaginam dan langsung menangis, berat badan lahir 2700 gram.
2. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI sampai usia saat ini ( 1 tahun 3 bulan). Selanjutnya pasien
mendapat PASI berupa bubur setelah berumur lebih dari 7 bulan. Pasien baru
mulai makan nasi saat usia 1 tahun. Pasien menyusu sampai usia 1 tahun 3bulan.
3. Perkembangan dan Kepandaian
Orang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya baik dan sesuai dengan
anak yang seumuran dengan pasien. Pasien merangkak usia 6 bulan, duduk usia 8
bulan, berdiri usia 9 bulan, mengucapkan kata- kata usia 10 bulan, dan bisa
berjalan usia 13 bulan.

4. Vaksinasi
A. Dasar : Lengkap B. Ulangan
BCG umur 1 bulan
Hepatitis umur 0,1,6 bulan
Polio umur 2,4,6 bulan
DPT umur 2,4,6 bulan
Campak umur 9 bulan
Pasien selalu mendapat imunisasi sesuai jadwal.
5. Sosial ekonomi dan lingkungan
Pasien tinggal bersama orang tuanya. Ayah pasien bekerja sebagai swasta
Ibu pasien hanya seorang ibu rumah tangga.

II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 18-11- 2018))


o Kesan umum : tenang
o Kesadaran : Compos Mentis
o GCS : E4V5M6
o Fungsi Vital

17
Nadi : 120 kali/menit, isi dan tegangan kuat, irama teratur
Pernapasan : 31 kali/menit teratur tipe abdominotorakal
T ax : 38,8 oC
CRT : < 2 detik
Status Gizi
Berat Badan : 10 kg Panjang Badan: 69 cm Umur : 2 tahun
BB/PB = antara +2 SD – (-2)SD
BB/U = antara +2 SD – (-2)SD
PB/U = antara +2 SD – (-2)SD
Kesan : normal
· Status lokalis :
o Kepala dan Leher :
Kepala : Bentuk : normocephal
Rambut : Warna : hitam
Tebal/tipis : tipis
Distribusi : tidak jarang
Alopesia : tidak ada
Mata : Mata Cowong : tidak ada
Palpebra : tidak edema
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetrisitas : isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Kornea : jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada

18
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada.
Mulut : Bentuk : normal
Bibir : mukosa basah, tampak kemerahan.
Gusi : tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan

Tenggorokan :

Mukosa Bukal berwarna merah muda, hiperemia (-)

Lidah Normal

Palatum Mole Ulkus (-), hiperemis (+)

Faring Mukosa hiperemi (+), edema (-), granul (+), ulkus (-), neovaskularisasi
(-)

Tonsila Palatine hiperemia (-), T0-T0, kripte melebar (-), detritus (-)

Leher : Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat


Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Massa : tidak ada
o Thoraks :

19
· Dinding dada/paru :
Inspeksi: Bentuk : simetris
Retraksi : (-)
Dispnea : (-)
Pernafasan : abdominothorakal
Palpasi: kesan simetris, massa (-)
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: Suara Napas Dasar : Suara napas bronkovesikuler
Suara Napas Tambahan : Rhonki -/-, Wheezing (-/-)
· Jantung :
Inspeksi: Iktus : tidak terlihat
Palpasi: Apeks : teraba pada ICS V LMC Sinistra
Thrill : tidak ada
Perkusi: Batas kanan : kesan ICS IV LPS dextra
Batas kiri : kesan ICS V LMK sinistra
Batas atas : kesan ICS II LPS dextra
Batas bawah : kesan ICS IV LMK sinistra
Auskultasi: Frekuensi : 110 x/menit
Suara dasar : S1 dan S2 tunggal
Bising : tidak ada

o Abdomen
Inspeksi: : Bentuk datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, asites tidak ada, turgor kulit kembali cepat
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada
o Anggota Gerak:
Tungkai Atas Tungkai Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +
Edema - - - -
Pucat - - - -

20
Kelainan bentuk - - - -
Pembengkakan - - - -
Sendi
Pembesaran KGB
Leher - - - -
Axilla - - - -
Inguinal - - - -
Sianosis - - - -

o Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-).


o Vertebrae : tidak tampak kelainan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


· Darah Lengkap
1. HB : 12,9
2. HCT : 29,4
3. WBC : 18,560
4. PLT : 246,000
5. RBC : 5,03

IV. DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam kompleks ec Rinofaringitis Akut + Diare Akut Non dehidrasi
V. DIAGNOSIS BANDING
Kejang demam Sederhana
Epilepsi

VI. TERAPI
A, Terpai Farmakonetik
- Propiretik suppositoria
- IVFD Ka-EN3B 960cc/24 jam , 40 tpm mikro.
- Inj. Cefotaxim 3x300 mg( iv )
- Inj. Ranitidin 2x10 mg (iv)
- Diazepam 3x1 pulv (po)
- Parasetamol 3x1 pulv (po)
- Puyer batuk pilek 3 x 1 pulv (po)
- Zink 1 x 20 mg (po)
- Liprolac 2 x 1 sachet

B. Terapi Non-Farmakonetik
· Antibiotik diminum sampai habis

21
· Jika demam, segera berikan antipiretik.

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, pasien laki-laki berusia 2 tahun 7 bulan didiagnosis dengan
kejang demam kompleks et causa RFA + Diare non dehidrasi. Kejang demam merupakan
suatu bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38° C)
yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Ada 2 bentuk kejang demam (menurut
Livingstone), yaitu: (1) Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis sebagai berikut Kejang berlangsung singkat, < 15 menit, kejang umum tonik
dan atau klonik, umumnya berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24
jam. (2) Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan cirri-ciri gejala
klinis sebagai berikut : Kejang lama > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Penegakkan diagnosis kejang demam didapatkan melalui (1) Anamnesis, biasanya
didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lainnya (ayah, ibu, atau
saudara kandung). (2) Pemeriksaan Neurologis, tidak didapatkan kelainan. (3) Pemeriksaan
Laboratorium, pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan guladarah). (4) Pemeriksaan
Radiologi, X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas
indikasi. (5) Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS), tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut : Bayi < 12 bulan diharuskan, Bayi antara 12
– 18 bulan dianjurkan, Bayi > 18 bulan tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda
meningitis. (6) Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) : tidak direkomendasikan,
kecualipada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada
anakusia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan keluhan kejang yang diawali oleh
demam. Pada keadaan demam, kenaikan 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan
dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak

23
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40ºC
atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot
pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi
artenal disertai denyut jantungyang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat
oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot
meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu: (1)
Pengobatan fase akut . (2) Mencari dan mengobati penyebab (3) Pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam.
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari
14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat
disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare
infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit

24
Dari anamnesa didapatkan BAB >3 kali, konsistensi cair, darah (-), lendir (-),
berbau (-) dan Pada pasien ini tidak terdapat cukup tanda untuk diklasifikasikan sebagai
dehidrasi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter : Long-term Treatment of The


Child with Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103; 1307 – 10.
2. Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile
Seizures. http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86 .
3. Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With
andWithout Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34.
4. Campfield P, Camfield C. Advance in Diagnosis and Management of Pediatrics
Seizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatrics 2000, 136 : 847 – 9.
5. Duffer PK, Baumann RJ. A Synopsis of the American Academy of Pediatrics
Practice Parameter on The Evaluation and Treatment of Children with Febrile
Seizures. Pediatrics in Review, vol. 20, No. 8, 1999: 285 – 7.
6. Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Campfield CS, MacSween J. Treatment of
Febrile Seizures: Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on
Value to Parents. Pediatrics 2001; 108 : 65-9.
9. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran Berkelanjutan.
Jakarta .FK UI .1992

26

You might also like