Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kulit merupakan organ tubuh manusia yang terletak paling luar dan berfungsi
melindungi tubuh dari lingkungan luar. Kulit merupakan organ yang esensial dan
vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,
elastik dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh.1
Morbiditas penyakit kulit masih tergolong tinggi di Indonesia. Penyakit kulit
dapat disebabkan virus, bakteri, ataupun jamur. Kulit manusia dapat terinfeksi oleh
berbagai tipe jamur (fungi) yang patogenik. Dermatofitosis merupakan salah satu
penyakit fungi tersering pada kulit manusia yang disebabkan oleh dermatofit.
Dermatofit terdistribusi luas di seluruh dunia dan dermatofitosis merupakan masalah
yang umum terjadi di negara berkembang, terutama di negara beriklim tropis dan
subtropis dengan kondisi udara yang hangat dan lembab. Dermatofit bersifat
keratinofilik dan merupakan agen keratinolitik. Dermatofit cenderung menginfeksi
sel kulit manusia karena adanya protein keratin.2 Dermatofit dapat menghancurkan
keratin oleh karena adanya enzim keratinolitik. Dermatofit hanya tumbuh pada
jaringan keratin yang telah mati pada lapisan stratum korneum epidermis, batang
rambut yang berkeratin, dan pada lempeng kuku yang berkeratin. Dermatofit
umumnya tidak menyebabkan infeksi pada mukosa membran atau infeksi sistemik
yang melibatkan organ internal.3
Penyebab dermatofitosis pada kulit manusia dapat dikelompokkan dalam tiga
genus utama, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Spesies
dermatofit yang paling banyak menginfeksi manusia adalah Trichophyton rubrum,
Trichophyton tonsurans, Trichophyton interdigitale, Trichophyton mentagrophytes,
Microsporum canis, dan Epidermophyton floccosum. Pada lingkup dunia, T. rubrum
dan T. mentagrophytes mencakup 80-90% dari seluruh dermatofitosis.4
Walaupun dermatofitosis terjadi di seluruh dunia, masing-masing spesies
dermatofit memilki distribusi geografik dan virulensi yang bervariasi. Penyakit ini
tidak dipengaruhi oleh status sosioekonomi dan etnis, namun kemiskinan dan
lingkungan tempat tinggal yang terlampau padat merupakan salah satu faktor
determinan yang penting dalam dermatofitosis. Faktor lainnya yang turut
1
berkontribusi dalam terjadinya dermatofitosis adalah kondisi tempat tinggal yang
miskin, pola perilaku anak-anak, perilaku masyarakat yang tidak menyadari akan
pentingnya kesehatan, higiene (kebersihan diri) masyarakat yang kurang, adanya
sumber penularan di sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid dan
sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya.4,5
Data Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan bahwa penyakit kulit dan
jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak pada pasien
rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan yaitu
sebanyak 192.414 kunjungan dengan 122.076 kasus baru. Tinea Kruris 1026 kasus
(39,9%), Tinea Korporis 572 kasus (22,2%), Pityriasis Versikolor 502 kasus (19,5%),
Tinea Pedis 203 kasus (7,9%), Tinea Kapitis dan Tinea Barbae 111 kasus (4,3%),
Tinea Unguium 102 kasus (4,0%), Tinea Manuum 47 kasus (1,8%), Tinea Imbrikata
6 kasus (0,2%), White Piedra 1 kasus (0,03%), Black Piedra 1 kasus (0,03%), Tinea
Nigra 1 kasus (0,03%).6
Dermatofitosis bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa, namun
semakin meningkatnya prevalensi dan morbiditas terkait penyakit ini menjadikan
dermatofitosis menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat. Infeksi dermatofit
jarang sembuh dengan sendirinya, sehingga bila tidak didiagnosis dan diobati secara
tepat, infeksi akan menjadi kronik dan progresif dan akan mengenai area kulit yang
lebih luas. Infeksi dapat menyebar dari lapisan kulit superfisial pada epidermis
hingga mencapai dermis dan menyebabkan infeksi akut yang berat, dapat pula terjadi
penetrasi sepanjang batang rambut hingga ke lapisan dalam dermis, menyebabkan
inflamasi pada folikel bagian dalam dan sekitarnya. Pada kasus infeksi yang tidak
diobati, kerusakan jaringan akibat inflamasi dapat menyebabkan kerontokan rambut
yang permanen dan meninggalkan skar. Selain itu, infeksi ini juga dapat menyebar
dari satu orang ke orang lainnya. Kerusakan lapisan epidermis yang disebabkan oleh
dermatofit juga memungkinkan masuknya berbagai mikroorganisme ke dalam kulit.
Stafilokokus, streptokokus, atau bakteri gram negatif lainnya dapat berperan sebagai
ko-patogen dan memperberat infeksi primer akibat fungi, sehingga menyebabkan
komplikasi sistemik yang lebih serius. Pada beberapa pasien, dermatofit juga dapat
mencetuskan reaksi alergi dengan berbagai manifestasi erupsi alergi. Meskipun
penyakit ini tidak fatal, namun karena bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit
yang resisten dengan obat anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan
gangguan kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya. Oleh
2
sebab itu, masyarakat perlu memiliki pengetahuan mengenai penyakit jamur,
penyebab, pengobatan serta pencegahan penyakit tersebut.3
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat mengenai Dermatofitosis dan
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai Dermatofitosis di wilayah kerja
Puskesmas Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Peneliti
Menambah pengalaman penulis dalam meneliti secara langsung di lapangan
Meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat pada umumnya
3
Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang diperoleh untuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula
Memenuhi salah satu syarat penulis dalam menjalani Program Internsip Dokter
Umum Indonesia
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan hal. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang tentang
suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek
ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek
yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu.7
2. Interest / merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap
4. Trial yaitu sikap dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
• Pengalaman, dimana dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau orang lain
pendidikan yang tinggi akan mempunyai pengalaman yang lebih luas dibandingkan
2.2 Dermatofitosis
2.2.1 Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Dermatofitosis merupakan istilah umum untuk lesi yang
bersifat akut, ringan hingga kronik pada lapisan luar jaringan kulit yang berkeratin.
Dermatofitosis dikenal juga sebagai tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.
Istilah dermatofitosis pada mikosis superfisial dikenal berdasarkan lokasi anatomi
lesi.1,8
2.2.2 Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin pada kulit (lapisan stratum
korneum), rambut, dan kuku pada manusia melalui enzim keratinase. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton yang dapat menyebabkan infeksi superfisial pada
manusia dan hewan (zoonosis). Menurut RIPPON (1974) selain sifat keratolitik masih
banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis,
antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Pada tahun-
tahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan "jenis kelaminnya". Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan
dermatofita dapat dimasukkan ke dalam famili Gymnoascaceae. Dikenal genus
Nannizzia dan Arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus
Microsporum dan Trichophyton.1
6
juga dapat terjadi secara tidak langsung dari fomit (misalnya melalui kain, sisir, topi).
Organisme antropofilik berperan dalam menyebabkan sebagian besar infeksi jamur.
Transmisi dapat terjadi secara langsung atau dari paparan terhadap sel yang telah
terdeskuamasi. Inokulasi langsung melalui lesi pada kulit lebih sering terjadi pada
orang dengan penurunan sistem imun yang diperantarai sel. Setelah fungi berhasil
masuk ke dalam kulit, fungi akan tumbuh dan menginvasi lapisan kulit superfisial.9
Berdasarkan habitatnya, mikosis superfisial dapat dibedakan menjadi:10
1. Antropofilik
Spesies terbatas hanya menginfeksi pejamu manusia dan ditransmisikan melalui
kontak langsung. Bila kulit atau rambut yang terinfeksi mengenai pakaian, sisir,
topi, kaos kaki, handuk, maka barang-barang tersebut juga dapat menjadi sumber
infeksi. Berbeda dengan dermatofita geofilik dan zoofilik yang sporadik,
dermatofita antropofilik bersifat epidemik. Dermatofita tersebut telah
beradaptasi dengan manusia sebagai pejamu dan memicu timbulnya reaksi
inflamasi ringan atau non-inflamasi.
2. Zoofilik
Spesies ditransmisikan kepada manusia dari hewan. Kucing, anjing, kelinci, babi
guinea, burung, kuda, hewan ternak dan hewan lainnya dapat menjadi sumber
infeksi. Transmisi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan tersebut,
atau secara tidak langsung melalui rambut hewan yang terinfeksi. Area yang
terekspos seperti kulit kepala, jenggot, wajah, dan lengan merupakan area yang
sering terkena infeksi. Microsporum canis sering ditularkan kepada manusia dari
kucing atau anjing, sedangkan babi guinea dan kelinci sering menjadi sumber
infeksi T. interdigitale. Meskipun adaptasi pejamu terhadap dermatofita zoofilik
relatif menyebabkan infeksi subklinis, dermatofita ini dapat menyebabkan
respon inflamasi yang akut dan intens pada manusia.
3. Geofilik
Dermatofita geofilik menyebabkan infeksi sporadik pada manusia melalui
kontak langsung dengan tanah. Microsporum gypseum merupakan dermatofita
geofilik paling umum yang ditemukan pada manusia. Dermatofita geofilik ini
berpotensi menyebar secara epidemik karena virulensi strain geofilik yang tinggi
dan kemampuan spora untuk hidup lama pada selimut dan alat lainnya. Sama
halnya dengan infeksi zoofilik, dermatofita geofilik juga dapat menyebabkan
respon inflamasi yang intens.
7
2.2.4 Klasifikasi
Dermatofitosis dibagi oleh beberapa penulis, misalnya SIMONS dan GOHAR
(1954), menjadi dermatomikosis, trikomikosis, dan onikomikosis berdasarkan bagian
tubuh manusia yang terserang. Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para
spesialis kulit adalah yang berdasarkan lokasi. Dengan demikian dikenal bentuk-
bentuk:1
Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk
5 tinea di atas
Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:1
Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum
Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan
Trichophyton schoenleini: secara klinis antara lain terbentuk skutula dan
berbau seperti tikus (mousy odor)
Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan
Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
Keenam istilah tersebut dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis. Akhir-akhir ini
dikenal pula nama tinea inkognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis
tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.
2.2.5 Patogenesis
Dermatofita memiliki berbagai enzim (protease keratinolitik, lipase) yang
berperan sebagai faktor virulensi yang memungkinkan terjadinya penempelan dan
invasi pada kulit, rambut, dan kuku, serta dapat memanfaatkan keratin sebagai sumber
nutrisi untuk kelangsungan hidupnya. Langkah awal yang terjadi pada infeksi
dermatofit adalah penempelan pada keratin diikuti invasi dan pertumbuhan elemen
8
myselial. Sebagai konsekuensi dari degradasi keratin dan pelepasan lebih lanjut
mediator proinflamasi, tubuh pejamu akan mengalami respon inflamasi dengan
berbagai tingkat keparahan. Bentuk klasik 'ringworm' atau anular pada tinea korporis
terjadi sebagai akibat respon inflamasi pejamu terhadap penyebaran dermatofita diikuti
penurunan pembersihan elemen fungi dari dalam plak, dan pada banyak kasus diikuti
resolusi spontan dari infeksi.10
1. Penempelan
Dermatofita harus mampu mengatasi beberapa lini pertahanan tubuh pejamu
sebelum hifa mulai bertahan pada jaringan berkeratin. Langkah pertama adalah
penempelan artrokonidia (spora aseksual yang dibentuk oleh fragmentasi hifa)
pada permukaan jaringan berkeratin. Lini sistem pertahanan awal non spesifik
pada pejamu berupa asam lemak pada sebum yang bersifat fungistatik serta
adanya kompetisi dari kolonisasi bakteri. Beberapa penelitian akhir-akhir ini
terfokus pada langkah-langkah molekular terjadinya penempelan artrokonidia
pada permukaan keratin. Dermatofita menunjukkan adanya penggunaan
kemampuan proteolitik selama penempelan dan invasi. Hal ini disebabkan
sebagian karena adanya regulasi spesifik beberapa gen yang dicetuskan karena
adanya kontak dengan keratin, seperti yang terjadi pada analisis ekspresi gen
pada T.rubrum. Beberapa jam setelah penempelan terjadi, spora mulai
mempersiapkan diri untuk menginvasi kulit lebih dalam.
2. Invasi
Trauma dan maserasi memfasilitasi penetrasi dermatofita melalui kulit. Invasi
elemen jamur lebih jauh ini dibantu adanya sekresi protease spesifik, lipase, dan
seramidase, suatu produk digestif yang juga berperan sebagai sumber nutrisi bagi
jamur. Selain itu, komponen pada dinding sel jamur (mannan) juga menunjukkan
efek inhibisi terhadap proliferasi keratinosit dan imunitas yang dimediasi sel.
3. Respon pejamu
Dermatofita menghadapi beberapa lini sistem pertahanan tubuh pejamu non-
spesifik seperti adanya asam lemak yang bersifat fungistatik, peningkatan
proliferasi epidermis, dan sekresi mediator inflamasi hingga adanya sistem
pertahanan tubuh selular. Dalam urutan pertahanan, keratinosit menjadi lini
pertama dari sel hidup yang menghadapi invasi elemen jamur. Peranan utama
keratinosit tampak dari respon yang kompleks terhadap adanya invasi termasuk
terjadinya proliferasi untuk meningkatkan pengelupasan serta peningkatan
9
sekresi peptida antimikrobial termasuk defensin-2 dan sitokin proinflamasi
(IFN-, TNF-, IL-1,8,16, dan 17) yang mengaktivasi sistem imun lebih jauh.
Tingkat keparahan reaksi inflamasi pejamu ditentukan oleh status imunitas
pejamu serta habitat alami spesies dermatofita yang terlibat. Dibandingkan
dengan dermatofita zoofilik, dermatofita antropofilik menginduksi sekresi
sitokin yang terbatas dari keratinosit. Perbedaan ini menunjukkan adanya respon
inflamasi tambahan secara umum pada dermatofita zoofilik.
Mekanisme pertahanan lebih lanjut adalah berupa sistem pertahanan selular yang
menyebabkan timbulnya respon hipersensitivitas tipe lambat yang spesifik
terhadap invasi jamur. Respon inflamasi yang berhubungan dengan
hipersensitivitas ini juga berkaitan dengan perbaikan klinis, sementara itu defek
pada sistem pertahanan selular dapat berakibat pada dermatofitosis kronik atau
rekuren. Respon sel Th2 tidak menentukan adanya proteksi karena pada pasien
dengan titer antigen antibodi yang meningkat ditemukan penyebaran infeksi
dermatofita yang meluas. Studi lain menunjukkan kemungkinan keterlibatan
respon sel Th17 terhadap infeksi dermatofita berdasarkan penemuan adanya
ikatan antara elemen hifa dengan Dectin-2, suatu lektin tipe-C pengenal reseptor
pada sel dendritik, penting dalam menginduksi respon Th17, namun pentingnya
respon imun Th17 terhadap dermatofitosis masih perlu diteliti.10
10
dan berkilau menjadi kusam, opak, dan kekuningan. Kuku juga menebal, mudah
rusak.11
Bergantung pada berat ringannya reaksi radang dapat dilihat berbagai macam
lesi kulit. Wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi
dan skuamasi, menahun oleh Trichophyton rubrum sampai kerion Celsi yang
disebabkan Microsporum canis. Di antara 2 bentuk ekstrim ini, dapat dilihat macam-
macam kelainan kulit dengan tingkat peradangan yang berbeda. Beberapa penulis
berdasarkan berat ringannya peradangan lesi, menggunakan istilah dermatofitosis
superfisialis, media, dan profunda. Di bawah ini akan dibahas bentuk-bentuk klinis
yang sering dilihat sesuai dengan lokalisasinya.1
11
2. Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik;
eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di
bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.
12
proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan
yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.
2. Leukonikia trikofita
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.
Oleh RAVANT dan RABEAU kelainan ini dihubungkan dengan
Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungual proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang
kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di
bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya
penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang
sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering diserang daripada
kuku tangan.
c. Tinea kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit
ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea kruris merupakan salah satu
bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.
13
Gambar 2.4 Tinea cruris
4. Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea
favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil
di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta
berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut
biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat
terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak
berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke
seluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea
korporis, yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada
usia akil balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para
penderita favus. Kadang-kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis
seboroik. Tinea favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit
papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan
yang khas, yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus pada kuku tidak
15
dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya, yang disebabkan
oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga spesies dermatofita dapat
menyebabkan favus, yaitu Trichophyton schoenleini, Trichophyton
violaceum, dan Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang
tampak tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih
banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita
sendiri.
e. Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-
merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat,
disebut kerion.
Secara klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas:
1. Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan
oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit
mulai dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar
dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita
adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi.
Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang
oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini
terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik tidak
menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan
dengan lampu Wood dapat dilihat fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada
rambut yang sakit melampaui batas-batas grey patch tersebut. Pada kasus-
kasus tanpa keluhan, pemeriksaan dengan lampu Wood ini banyak
membantu diagnosis. Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum
audouini biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya sekali-sekali
dapat terbentuk kerion.
16
Gambar 2.6 Tinea capitis tipe grey patch
2. Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang
yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak
kurang bila penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.
17
Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan
jamur. Tinea kapitis juga akan menunjukkan reaksi peradangan lebih berat
bila disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton
verrucosum, yang keduanya bersifat zoofilik. Trichophyton rubrum sangat
jarang menyebabkan tinea kapitis. Walaupun demikian bentuk klinis
granuloma, kerion, alopesia, dan black dot yang disebabkan Trichophyton
rubrum pernah ditulis.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis infeksi dermatofita dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dermatofitosis menunjukkan adanya pola inflamasi
yang dikenal dengan istilah tepi "aktif". Respon inflamasi umumnya ditandai
oleh lesi kemerahan dan bersisik di sekelilingnya dengan derajat yang lebih
berat, atau terkadang dapat disertai pembentukan vesikel. Bagian tengah lesi
umumnya lebih bersih dan hal ini yang membedakan dermatofitosis dengan
erupsi papulosquamosa seperti psoriasis atau liken planus, di mana respon
inflamasinya cenderung uniform pada lesi.
Lokasi lesi juga membantu mengidentifikasi patogen. Diagnosis
dermatofitosis dapat disingkirkan bila terdapat keterlibatan mukosa dengan kulit
yang beruam merah dan bersisik. Bila terdapat keterlibatan mukosa, diagnosis
yang paling mungkin adalah infeksi kandida seperti perleche atau vulvovaginitis
atau balanitis.9
Pemeriksaan penunjang
18
Pemeriksaan mikologi untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak
diperlukan.
19
Gambar 2.9 Pemeriksaan Penunjang Dermatofitosis
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora)
pada kelainan kulit lama dan/ atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang
dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat
tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-
kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar
Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula
20
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan.
22
bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3-7% kasus.
Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam salisil
2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%,
dan zat warna (hijau brilian 1% dalam cat Castellani) dikenal banyak obat
topikal baru. Obat-obat baru ini di antaranya tolnaftat 2%; tofsiklat, haloprogin,
derivat-derivat imidazol, siklopiroksolamin, dan naftifine masing-masing
1%.(1),(10)
Selain pemilihan obat yang begitu banyak ragamnya perlu juga diterapkan
cara pengobatan yang efektif dengan menggunakan vehikulum yang sesuai.
23
2.2.9 Komplikasi
Infeksi dermatofit jarang sembuh dengan sendirinya, sehingga bila tidak
didiagnosis dan diobati secara tepat, infeksi akan menjadi kronik dan progresif
dan akan mengenai area kulit yang lebih luas. Infeksi dapat menyebar dari
lapisan kulit superfisial pada epidermis hingga mencapai dermis dan
menyebabkan infeksi akut yang berat, dapat pula terjadi penetrasi sepanjang
batang rambut hingga ke lapisan dalam dermis, menyebabkan inflamasi pada
folikel bagian dalam dan sekitarnya. Pada kasus infeksi yang tidak diobati,
kerusakan jaringan akibat inflamasi dapat menyebabkan kerontokan rambut yang
permanen dan meninggalkan skar. Selain itu, infeksi ini juga dapat menyebar
dari satu orang ke orang lainnya. Kerusakan lapisan epidermis yang disebabkan
oleh dermatofit juga memungkinkan masuknya berbagai mikroorganisme ke
dalam kulit. Stafilokokus, streptokokus, atau bakteri gram negatif lainnya dapat
berperan sebagai ko-patogen dan memperberat infeksi primer akibat fungi,
sehingga menyebabkan komplikasi sistemik yang lebih serius. Pada beberapa
pasien, dermatofit juga dapat mencetuskan reaksi alergi dengan berbagai
manifestasi erupsi alergi. Meskipun penyakit ini tidak fatal, namun karena
bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit yang resisten dengan obat anti
jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan
menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya.3
24
BAB III
METODE
25
3.3.3 Sampel Mini Project
Sampel mini project adalah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula yang
datang ke salah satu dari 5 Posyandu cakupan Puskesmas Bula, yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria Eksklusi
o Masyarakat yang tidak bersedia mengikuti kegiatan mini project
26
3.5 Instrumen Pengumpulan Data Mini Project
Instrumen mini project untuk menggambarkan pengetahuan masyarakat
mengenai dermatofitosis, berupa kuisioner dengan pertanyaan tertutup yang terbagi
dalam dua bagian yaitu (lampiran 1):
• Bagian pertama merupakan isian untuk mengetahui demografi responden
penyuluhan. Bagian ini terdiri atas lima isian yaitu nama, usia, alamat,
pendidikan terakhir, dan pekerjaan responden.
• Bagian kedua berisi 5 buah pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan
responden penyuluhan mengenai dermatofitosis. Diberikan skor masing-masing
pertanyaan dengan skala Guttman: 1-untuk jawaban benar, 0-untuk jawaban
salah.
pertanyaan)
pertanyaan)
• Kurang, jika responden menjawab pertanyaan dengan benar sebanyak 40% (0-
2 pertanyaan)
Setiap aspek pengetahuan responden, yaitu dari segi definisi, faktor risiko,
manifestasi klinik, cara penularan, dan pengobatan dermatofitosis dikategorikan
menjadi:
• Baik, jika pertanyaan dijawab dengan benar oleh 67% responden (67-99
responden)
• Cukup, jika pertanyaan dijawab dengan benar oleh 34-66% responden (34-66
responden)
responden)
27
3.6 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Klasifikasi
Pengukuran
1. Gambaran
28
atau menularkan suatu
penyakit atau benih penyakit
8. Penanganan Berbagai proses, cara dan Kuisioner 0 = jawaban salah
perbuatan untuk menangani (pertanyaan no 8) 1 = jawaban benar
suatu hal
29
BAB IV
HASIL MINI PROJECT
Puskesmas Bula berlokasi di Jl.Pancasila No.5, Bula. Batas wilayah Puskesmas Bula
adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram
Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Banggoi
Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Werinama
Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Waru.
30
Gorom yaitu sebanyak 293 jiwa. Jumlah distribusi penduduk menurut jenis kelamin dapat
dilihat pada table di bawah ini :
Jumlah Penduduk
No. Desa Total Jumlah KK
Laki-laki Perempuan
1. Bula 4.822 7.233 12.055 1.749
2. Tansi Ambon 144 218 362 140
3. Fattolo 312 468 780 115
4. Bula Air 172 258 430 86
5. Wailola 193 290 483 141
6. Lemumir 184 277 461 165
7. Kampung Gorom 117 176 293 91
8. Sesar 263 395 574 115
9. Engglas 229 345 574 120
10. Salas 204 307 511 120
Total 6.643 9.964 16.607
1 Medis :
1. Dokter Umum 2 PNS
2. Dokter Gigi 1 PNS
2 Tenaga Keperawatan :
1. S1 Keperawatan 2 PTT
2. D3 Keperawatan 17 PNS
5 PTT
2 Relawan
31
3. D3 Kebidanan 10 PNS
3 PTT
2 Relawan
3 Tenaga Kesehatan lainnya :
1. S1 Kesehatan Masyarakat 3 2 PNS 1 PTT
2. Apoteker 1 PNS
3. D3 Gizi 3 2 PNS 1 Relawan
4. D3 Kesehatan Lingkungan 2 PNS
5. D3 Analis Kesehatan 1 PTT
6. SPK 5 PNS
7. SPRG 1 PNS
8. Cleaning Service 1 Honorer
9. Fisioterapis -
Jumlah 61
Tabel 4.2 Data Ketenagaan Puskesmas Bula Tahun 2017
4.1.5. Sarana Pelayanan Kesehatan
Distribusi pelayanan kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Bula dapat dilihat pada
Tabel 4.3, yaitu:
NO Jenis Fasilitas Pelayanan JUMLAH
1 Puskesmas Pembantu (PUSTU) 3
2 Pos Bersalin Desa (Polindes) 1
3 Posyandu 14
4 Rumah Sakit Umum 1
5 Puskesmas Non Perawatan 1
Tabel 4.3. Distribusi Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Bula
Usia Responden
1%
7%
14%
≤ 20 tahun
21-35 tahun
36-50 tahun
> 50 tahun
78%
33
Pendidikan Terakhir Jumlah Responden Persentase %
Tidak sekolah 0 0%
SD 15 15,15%
SMP 15 15,15%
SMA 46 46,5%
Perguruan Tinggi 23 23,2%
Total 99 responden 100%
Pendidikan Terakhir
0%
15%
23%
Tidak sekolah
SD
15%
SMP
SMA
Perguruan tinggi
47%
34
Total 98 responden 100%
Pekerjaan
10%
Tidak bekerja
Bekerja
90%
35
Kategori Pengetahuan
7%
15%
Pengetahuan Baik
Pengetahuan Cukup
Pengetahuan Kurang
78%
36
Penanganan 11 11,1% Pengetahuan kurang
0 20 20,2%
1 29 29,2%
2 26 26,2%
3 17 17,2 %
4 7 7,2%
5 0 0%
Total 99 peserta 100%
37
Jumlah Jawaban Benar
0%
8%
20%
0
17%
1
2
3
4
29% 5
26%
0 0 0%
1 0 0%
2 7 7,1%
3 11 11,1%
4 30 30,3%
5 51 51,5%
38
Jumlah Jawaban Benar
0% 0%
7%
11% 0
1
2
52% 3
4
30%
5
Pengetahuan masyarakat pada seluruh aspek meningkat, antara lain pada aspek definisi,
faktor risiko, penularan, manifestasi klinis dan penanganan dermatofitosis. (Grafik 4.9)
100
90
80
70
60
50 Pretest
40 Postest
30
20
10
0
Definisi Faktor risiko Penularan Manifestasi Penanganan
klinis
Grafik 4.9. Distribusi Frekuensi Peserta dengan Jawaban Benar Sebelum dan Sesudah
Penyuluhan
39
BAB V
PEMBAHASAN
Tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam banyaknya kasus dermatofitosis di wilayah kerja Puskesmas Bula. Menurut
Notoatmodjo, pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Notoatmodjo lebih jauh
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang.7,14
41
penyuluhan dijelaskan kembali mengenai definisi, faktor risiko, cara penularan, manifestasi
klinis serta penanganan, dari dermatofitosis. Setelah penyuluhan didapatkan peningkatan
pengetahuan untuk aspek penularan, di mana 90,9% atau 90 responden menjawab dengan
benar.
Peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai dermatofitosis diharapkan dapat
memperbaiki angka kejadian kasus dermatofisis, mencegah penularan penyakit di antara
bermasyarakat, bermanfaat dalam penanganan penyakit dermatofitosis, serta mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut pada masyarakat di wilayah kerja Puskesma Bula.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner, telah diperoleh
gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai dermatofitosis sebagai berikut:
6.2 Saran
Berdasarkan hasil mini project, didapatkan berbagai saran untuk peneliti, masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas Bula untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
dermatofitosis.
• Bagi peneliti
o Sebaiknya mini project dilakukan dalam batasan cakupan yang lebih luas
(mengambil sampel dari berbagai wilayah), agar pengetahuan seluruh
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula mengenai dermatofitosis dapat
ditingkatkan
42
• Bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula
o Lebih aktif dalam mencari informasi mengenai penyakit kulit dan
dermatofitosis dari sumber yang terpercaya seperti bertanya ke petugas
kesehatan, membaca buku, situs kesehatan di internet atau ikut serta dalam
pennyuluhan yang diberikan dari puskesmas
o Diharapkan dengan upaya yang telah dilakukan oleh petugas kesehatan di
Puskesmas Bula untuk mengedukasi masyarakat mengenai dermatofitosis,
masyarakat mau menerima dan merespon informasi yang diberikan dengan
tidak mengobati sendiri jika memiliki keluhan pada kulit.
43
Daftar Pustaka
1. Adhi Djuanda dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
12. Arti kata - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online [Internet]. [cited
2018 Apr 20]. Available from: https://www.kbbi.web.id/
44
LAMPIRAN 1
LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN
Kegiatan pre-test dan post-test ini dibuat sebagai suatu bagian dari mini project
“Gambaran Pengetahuan Masyarakat Mengenai Dermatofitosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Bula, Kota Sukabumi”. Seluruh identitas yang tertuang di dalam lembaran
kuesioner ini bersifat pribadi, dan rahasia, sehingga kejujuran dalam menjawab lembaran
kuesioner ini sangat dihargai.
Dengan bertandatangan dibawah ini, saya secara sadar bersedia untuk menjadi responden
mini project “Gambaran Pengetahuan Masyarakat Mengenai Dermatofitosis di Wilayah
Kerja Puskesmas Bula, Kota Sukabumi”. Sekiranya informasi yang saya berikan dapat
digunakan sebaik-baiknya sesuai dengan keperluan.
Tertanda,
Peserta
45
PRE-TEST / POST-TEST
A. IDENTITAS RESPONDEN
-Nama : -Pendidikan terakhir :
-Jenis Kelamin : -Pekerjaan :
- Umur : -Alamat :
B. PERTANYAAN
Petunjuk: Jawablah pertanyaan-pertanyaan yang menurut Bapak/Ibu paling benar
dengan memberikan tanda (X).
1. Apakah saudara mengetahui pengertian penyakit jamur (Tinea)?
a. Alegi pada kulit
b. Gatal-gatal akibat gigitan serangga
c. Penyakit pada lapisan zat tanduk kulit, rambut, dan kuku
d. Penyakit yang menyerang daya tahan tubuh manusia
2. Manakah di bawah ini yang dapat meningkatkan risiko terkena jamur?
a. Keadaan dengan paparan sinar matahari langsung
b. Tinggal di lingkungan yang padat, lembab, dan tidak bersih
c. Keadaan dengan sirkulasi udara baik
d. Keadaan yang terang
3. Berikut ini yang merupakan gejala awal jamur pada tubuh:
a. Kemerahan melingkar yang akan menimbul pada kulit
b. Tampak lepuh / lenting berisi air pada tubuh
c. Kulit tampak berwarna kuning
d. Luka berisi nanah
4. Cara penularan penyakit jamur yang benar menurut saudara adalah
a. Melalui pemakaian handuk bersama dengan penderita
b. Makan sisa makanan penderita
c. Dari batuk/ bersin penderita yang terhirup
d. Melalui kontak darah
5. Yang bukan merupakan pengobatan penyakit jamur adalah
a. Memakai obat oles anti jamur
b. Konsumsi obat jamur yang diminum
c. Menjaga kebersihan dan mandi dengan air bersih
d. Menggunakan salep antibiotik
46