You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kulit merupakan organ tubuh manusia yang terletak paling luar dan berfungsi
melindungi tubuh dari lingkungan luar. Kulit merupakan organ yang esensial dan
vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,
elastik dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh.1
Morbiditas penyakit kulit masih tergolong tinggi di Indonesia. Penyakit kulit
dapat disebabkan virus, bakteri, ataupun jamur. Kulit manusia dapat terinfeksi oleh
berbagai tipe jamur (fungi) yang patogenik. Dermatofitosis merupakan salah satu
penyakit fungi tersering pada kulit manusia yang disebabkan oleh dermatofit.
Dermatofit terdistribusi luas di seluruh dunia dan dermatofitosis merupakan masalah
yang umum terjadi di negara berkembang, terutama di negara beriklim tropis dan
subtropis dengan kondisi udara yang hangat dan lembab. Dermatofit bersifat
keratinofilik dan merupakan agen keratinolitik. Dermatofit cenderung menginfeksi
sel kulit manusia karena adanya protein keratin.2 Dermatofit dapat menghancurkan
keratin oleh karena adanya enzim keratinolitik. Dermatofit hanya tumbuh pada
jaringan keratin yang telah mati pada lapisan stratum korneum epidermis, batang
rambut yang berkeratin, dan pada lempeng kuku yang berkeratin. Dermatofit
umumnya tidak menyebabkan infeksi pada mukosa membran atau infeksi sistemik
yang melibatkan organ internal.3
Penyebab dermatofitosis pada kulit manusia dapat dikelompokkan dalam tiga
genus utama, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Spesies
dermatofit yang paling banyak menginfeksi manusia adalah Trichophyton rubrum,
Trichophyton tonsurans, Trichophyton interdigitale, Trichophyton mentagrophytes,
Microsporum canis, dan Epidermophyton floccosum. Pada lingkup dunia, T. rubrum
dan T. mentagrophytes mencakup 80-90% dari seluruh dermatofitosis.4
Walaupun dermatofitosis terjadi di seluruh dunia, masing-masing spesies
dermatofit memilki distribusi geografik dan virulensi yang bervariasi. Penyakit ini
tidak dipengaruhi oleh status sosioekonomi dan etnis, namun kemiskinan dan
lingkungan tempat tinggal yang terlampau padat merupakan salah satu faktor
determinan yang penting dalam dermatofitosis. Faktor lainnya yang turut
1
berkontribusi dalam terjadinya dermatofitosis adalah kondisi tempat tinggal yang
miskin, pola perilaku anak-anak, perilaku masyarakat yang tidak menyadari akan
pentingnya kesehatan, higiene (kebersihan diri) masyarakat yang kurang, adanya
sumber penularan di sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid dan
sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya.4,5
Data Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan bahwa penyakit kulit dan
jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak pada pasien
rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan yaitu
sebanyak 192.414 kunjungan dengan 122.076 kasus baru. Tinea Kruris 1026 kasus
(39,9%), Tinea Korporis 572 kasus (22,2%), Pityriasis Versikolor 502 kasus (19,5%),
Tinea Pedis 203 kasus (7,9%), Tinea Kapitis dan Tinea Barbae 111 kasus (4,3%),
Tinea Unguium 102 kasus (4,0%), Tinea Manuum 47 kasus (1,8%), Tinea Imbrikata
6 kasus (0,2%), White Piedra 1 kasus (0,03%), Black Piedra 1 kasus (0,03%), Tinea
Nigra 1 kasus (0,03%).6
Dermatofitosis bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa, namun
semakin meningkatnya prevalensi dan morbiditas terkait penyakit ini menjadikan
dermatofitosis menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat. Infeksi dermatofit
jarang sembuh dengan sendirinya, sehingga bila tidak didiagnosis dan diobati secara
tepat, infeksi akan menjadi kronik dan progresif dan akan mengenai area kulit yang
lebih luas. Infeksi dapat menyebar dari lapisan kulit superfisial pada epidermis
hingga mencapai dermis dan menyebabkan infeksi akut yang berat, dapat pula terjadi
penetrasi sepanjang batang rambut hingga ke lapisan dalam dermis, menyebabkan
inflamasi pada folikel bagian dalam dan sekitarnya. Pada kasus infeksi yang tidak
diobati, kerusakan jaringan akibat inflamasi dapat menyebabkan kerontokan rambut
yang permanen dan meninggalkan skar. Selain itu, infeksi ini juga dapat menyebar
dari satu orang ke orang lainnya. Kerusakan lapisan epidermis yang disebabkan oleh
dermatofit juga memungkinkan masuknya berbagai mikroorganisme ke dalam kulit.
Stafilokokus, streptokokus, atau bakteri gram negatif lainnya dapat berperan sebagai
ko-patogen dan memperberat infeksi primer akibat fungi, sehingga menyebabkan
komplikasi sistemik yang lebih serius. Pada beberapa pasien, dermatofit juga dapat
mencetuskan reaksi alergi dengan berbagai manifestasi erupsi alergi. Meskipun
penyakit ini tidak fatal, namun karena bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit
yang resisten dengan obat anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan
gangguan kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya. Oleh
2
sebab itu, masyarakat perlu memiliki pengetahuan mengenai penyakit jamur,
penyebab, pengobatan serta pencegahan penyakit tersebut.3

1.2 Rumusan Masalah

Tidak adanya data mengenai gambaran pengetahuan serta rendahnya


pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula, Kabupaten Seram Bagian
Timur pada periode Juli 2018 mengenai Dermatofitosis.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat mengenai Dermatofitosis dan
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai Dermatofitosis di wilayah kerja
Puskesmas Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bula mengenai definisi dermatofitosis
2. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bula mengenai faktor risiko dermatofitosis
3. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bula mengenai manifestasi klinis dermatofitosis
4. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bula mengenai cara penularan dermatofitosis
5. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bula mengenai penanganan dermatofitosis
6. Meningkatkan pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula
mengenai dermatofitosis

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Peneliti
 Menambah pengalaman penulis dalam meneliti secara langsung di lapangan
 Meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat pada umumnya

3
 Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang diperoleh untuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula
 Memenuhi salah satu syarat penulis dalam menjalani Program Internsip Dokter
Umum Indonesia

1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat


Meningkatkan pengetahuan mengenai Dermatofitosis

1.4.3 Manfaat bagi Puskesmas


Diharapkan menjadi masukan bagi Puskesmas Bula dalam meningkatkan
pelayanan kesehatan masyarakat

1.4.4 Manfaat bagi Pengembangan Ilmu


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam upaya pengembangan
penelitian khususnya yang berkaitan dengan masalah penanganan Dermatofitosis.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan hal. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang tentang
suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek
ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek
yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu.7

Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru didalam diri


seseorang terjadi proses yang berurutan), yakni:7
1. Awareness / kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek) 


2. Interest / merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap

subjek sudah mulai timbul 


3. Evaluation / menimbang-menimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya 


4. Trial yaitu sikap dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus 


5. Adaption/ adaptasi, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus 


Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:7

• Pengalaman, dimana dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau orang lain 


• Tingkat pendidikan, dimana pendidikan dapat membawa wawasan atau


 pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang memiliki tingkat

pendidikan yang tinggi akan mempunyai pengalaman yang lebih luas dibandingkan

dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah 


• Sumber informasi, keterpaparan seseorang terhadap informasi mempengaruhi tingkat


pengetahuannya. Sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan
5
seseorang, misalnya televisi, radio, koran, buku, majalah dan internet 


2.2 Dermatofitosis
2.2.1 Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Dermatofitosis merupakan istilah umum untuk lesi yang
bersifat akut, ringan hingga kronik pada lapisan luar jaringan kulit yang berkeratin.
Dermatofitosis dikenal juga sebagai tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.
Istilah dermatofitosis pada mikosis superfisial dikenal berdasarkan lokasi anatomi
lesi.1,8

2.2.2 Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin pada kulit (lapisan stratum
korneum), rambut, dan kuku pada manusia melalui enzim keratinase. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton yang dapat menyebabkan infeksi superfisial pada
manusia dan hewan (zoonosis). Menurut RIPPON (1974) selain sifat keratolitik masih
banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis,
antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Pada tahun-
tahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan "jenis kelaminnya". Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan
dermatofita dapat dimasukkan ke dalam famili Gymnoascaceae. Dikenal genus
Nannizzia dan Arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus
Microsporum dan Trichophyton.1

2.2.3 Cara Penularan


Beberapa jenis dermatofita dapat menyebar secara langsung dari satu penderita
ke penderita lain (organisme antropofilik). Beberapa jenis lain hidup dan
ditransmisikan kepada manusia dari tanah (organisme geofilik). Transmisi dermatofita

6
juga dapat terjadi secara tidak langsung dari fomit (misalnya melalui kain, sisir, topi).
Organisme antropofilik berperan dalam menyebabkan sebagian besar infeksi jamur.
Transmisi dapat terjadi secara langsung atau dari paparan terhadap sel yang telah
terdeskuamasi. Inokulasi langsung melalui lesi pada kulit lebih sering terjadi pada
orang dengan penurunan sistem imun yang diperantarai sel. Setelah fungi berhasil
masuk ke dalam kulit, fungi akan tumbuh dan menginvasi lapisan kulit superfisial.9
Berdasarkan habitatnya, mikosis superfisial dapat dibedakan menjadi:10
1. Antropofilik
Spesies terbatas hanya menginfeksi pejamu manusia dan ditransmisikan melalui
kontak langsung. Bila kulit atau rambut yang terinfeksi mengenai pakaian, sisir,
topi, kaos kaki, handuk, maka barang-barang tersebut juga dapat menjadi sumber
infeksi. Berbeda dengan dermatofita geofilik dan zoofilik yang sporadik,
dermatofita antropofilik bersifat epidemik. Dermatofita tersebut telah
beradaptasi dengan manusia sebagai pejamu dan memicu timbulnya reaksi
inflamasi ringan atau non-inflamasi.
2. Zoofilik
Spesies ditransmisikan kepada manusia dari hewan. Kucing, anjing, kelinci, babi
guinea, burung, kuda, hewan ternak dan hewan lainnya dapat menjadi sumber
infeksi. Transmisi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan tersebut,
atau secara tidak langsung melalui rambut hewan yang terinfeksi. Area yang
terekspos seperti kulit kepala, jenggot, wajah, dan lengan merupakan area yang
sering terkena infeksi. Microsporum canis sering ditularkan kepada manusia dari
kucing atau anjing, sedangkan babi guinea dan kelinci sering menjadi sumber
infeksi T. interdigitale. Meskipun adaptasi pejamu terhadap dermatofita zoofilik
relatif menyebabkan infeksi subklinis, dermatofita ini dapat menyebabkan
respon inflamasi yang akut dan intens pada manusia.
3. Geofilik
Dermatofita geofilik menyebabkan infeksi sporadik pada manusia melalui
kontak langsung dengan tanah. Microsporum gypseum merupakan dermatofita
geofilik paling umum yang ditemukan pada manusia. Dermatofita geofilik ini
berpotensi menyebar secara epidemik karena virulensi strain geofilik yang tinggi
dan kemampuan spora untuk hidup lama pada selimut dan alat lainnya. Sama
halnya dengan infeksi zoofilik, dermatofita geofilik juga dapat menyebabkan
respon inflamasi yang intens.
7
2.2.4 Klasifikasi
Dermatofitosis dibagi oleh beberapa penulis, misalnya SIMONS dan GOHAR
(1954), menjadi dermatomikosis, trikomikosis, dan onikomikosis berdasarkan bagian
tubuh manusia yang terserang. Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para
spesialis kulit adalah yang berdasarkan lokasi. Dengan demikian dikenal bentuk-
bentuk:1
 Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
 Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
 Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
 Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
 Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
 Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk
5 tinea di atas

Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:1
 Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum
 Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan
Trichophyton schoenleini: secara klinis antara lain terbentuk skutula dan
berbau seperti tikus (mousy odor)
 Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan
 Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis

Keenam istilah tersebut dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis. Akhir-akhir ini
dikenal pula nama tinea inkognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis
tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.

2.2.5 Patogenesis
Dermatofita memiliki berbagai enzim (protease keratinolitik, lipase) yang
berperan sebagai faktor virulensi yang memungkinkan terjadinya penempelan dan
invasi pada kulit, rambut, dan kuku, serta dapat memanfaatkan keratin sebagai sumber
nutrisi untuk kelangsungan hidupnya. Langkah awal yang terjadi pada infeksi
dermatofit adalah penempelan pada keratin diikuti invasi dan pertumbuhan elemen

8
myselial. Sebagai konsekuensi dari degradasi keratin dan pelepasan lebih lanjut
mediator proinflamasi, tubuh pejamu akan mengalami respon inflamasi dengan
berbagai tingkat keparahan. Bentuk klasik 'ringworm' atau anular pada tinea korporis
terjadi sebagai akibat respon inflamasi pejamu terhadap penyebaran dermatofita diikuti
penurunan pembersihan elemen fungi dari dalam plak, dan pada banyak kasus diikuti
resolusi spontan dari infeksi.10
1. Penempelan
Dermatofita harus mampu mengatasi beberapa lini pertahanan tubuh pejamu
sebelum hifa mulai bertahan pada jaringan berkeratin. Langkah pertama adalah
penempelan artrokonidia (spora aseksual yang dibentuk oleh fragmentasi hifa)
pada permukaan jaringan berkeratin. Lini sistem pertahanan awal non spesifik
pada pejamu berupa asam lemak pada sebum yang bersifat fungistatik serta
adanya kompetisi dari kolonisasi bakteri. Beberapa penelitian akhir-akhir ini
terfokus pada langkah-langkah molekular terjadinya penempelan artrokonidia
pada permukaan keratin. Dermatofita menunjukkan adanya penggunaan
kemampuan proteolitik selama penempelan dan invasi. Hal ini disebabkan
sebagian karena adanya regulasi spesifik beberapa gen yang dicetuskan karena
adanya kontak dengan keratin, seperti yang terjadi pada analisis ekspresi gen
pada T.rubrum. Beberapa jam setelah penempelan terjadi, spora mulai
mempersiapkan diri untuk menginvasi kulit lebih dalam.
2. Invasi
Trauma dan maserasi memfasilitasi penetrasi dermatofita melalui kulit. Invasi
elemen jamur lebih jauh ini dibantu adanya sekresi protease spesifik, lipase, dan
seramidase, suatu produk digestif yang juga berperan sebagai sumber nutrisi bagi
jamur. Selain itu, komponen pada dinding sel jamur (mannan) juga menunjukkan
efek inhibisi terhadap proliferasi keratinosit dan imunitas yang dimediasi sel.
3. Respon pejamu
Dermatofita menghadapi beberapa lini sistem pertahanan tubuh pejamu non-
spesifik seperti adanya asam lemak yang bersifat fungistatik, peningkatan
proliferasi epidermis, dan sekresi mediator inflamasi hingga adanya sistem
pertahanan tubuh selular. Dalam urutan pertahanan, keratinosit menjadi lini
pertama dari sel hidup yang menghadapi invasi elemen jamur. Peranan utama
keratinosit tampak dari respon yang kompleks terhadap adanya invasi termasuk
terjadinya proliferasi untuk meningkatkan pengelupasan serta peningkatan
9
sekresi peptida antimikrobial termasuk  defensin-2 dan sitokin proinflamasi
(IFN-, TNF-, IL-1,8,16, dan 17) yang mengaktivasi sistem imun lebih jauh.
Tingkat keparahan reaksi inflamasi pejamu ditentukan oleh status imunitas
pejamu serta habitat alami spesies dermatofita yang terlibat. Dibandingkan
dengan dermatofita zoofilik, dermatofita antropofilik menginduksi sekresi
sitokin yang terbatas dari keratinosit. Perbedaan ini menunjukkan adanya respon
inflamasi tambahan secara umum pada dermatofita zoofilik.
Mekanisme pertahanan lebih lanjut adalah berupa sistem pertahanan selular yang
menyebabkan timbulnya respon hipersensitivitas tipe lambat yang spesifik
terhadap invasi jamur. Respon inflamasi yang berhubungan dengan
hipersensitivitas ini juga berkaitan dengan perbaikan klinis, sementara itu defek
pada sistem pertahanan selular dapat berakibat pada dermatofitosis kronik atau
rekuren. Respon sel Th2 tidak menentukan adanya proteksi karena pada pasien
dengan titer antigen antibodi yang meningkat ditemukan penyebaran infeksi
dermatofita yang meluas. Studi lain menunjukkan kemungkinan keterlibatan
respon sel Th17 terhadap infeksi dermatofita berdasarkan penemuan adanya
ikatan antara elemen hifa dengan Dectin-2, suatu lektin tipe-C pengenal reseptor
pada sel dendritik, penting dalam menginduksi respon Th17, namun pentingnya
respon imun Th17 terhadap dermatofitosis masih perlu diteliti.10

2.2.6 Manifestasi Klinis


Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai
morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas
macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas
tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Eczema marginatum adalah istilah
yang tepat untuk lesi dermatofitosis secara deskriptif (HEBRA 1869).
Manifestasi klinis utama dermatofitosis adalah gatal pada daerah yang terinfeksi
pada tubuh manusia. Pada tinea korporis umumnya penderita merasa gatal yang cukup
berat pada lokasi infeksi, sedangkan pada tinea kruris gatal lebih berat lagi dan dapat
disertai nyeri bila keringat yang menyatu menyebabkan maserasi kulit. Gejala lain
dermatofitosis adalah adanya bau khas yang berasal dari lokasi tinea pedis. Gejala ini
terjadi karena sel kulit yang mengalami maserasi dan terpapar dengan kelembaban
yang tinggi, terutama pada kaki. Pada onikomikosis, perubahan pada kuku dari normal

10
dan berkilau menjadi kusam, opak, dan kekuningan. Kuku juga menebal, mudah
rusak.11
Bergantung pada berat ringannya reaksi radang dapat dilihat berbagai macam
lesi kulit. Wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi
dan skuamasi, menahun oleh Trichophyton rubrum sampai kerion Celsi yang
disebabkan Microsporum canis. Di antara 2 bentuk ekstrim ini, dapat dilihat macam-
macam kelainan kulit dengan tingkat peradangan yang berbeda. Beberapa penulis
berdasarkan berat ringannya peradangan lesi, menggunakan istilah dermatofitosis
superfisialis, media, dan profunda. Di bawah ini akan dibahas bentuk-bentuk klinis
yang sering dilihat sesuai dengan lokalisasinya.1

a. Tinea Pedis (Athlete's foot, ringworm of the foot, kutu air)


Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan
telapak kaki.
1. Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari
IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini
dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh
karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis
maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada
suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri
sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan dapat pula terjadi
erisipelas, yang disertai gejala-gejala umum.

Gambar 2.1 Tinea pedis interdigitalis

11
2. Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik;
eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di
bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.

Gambar 2.2 Moccasin foot

3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula.


Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke
punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang
kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk
lingkaran yang disebut koleret. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada
bentuk ini, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-
kadang menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel.
Untuk menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk
diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak.
Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari banyak
bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan
kaki yang selalu atau sering basah. Penderita biasanya orang dewasa.
Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Semua bentuk yang dilihat di
kaki dapat terjadi pula pada tangan.

b. Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis, ringworm of the nail)


Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.
ZAIAS membaginya dalam 3 bentuk klinis
1. Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar
ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau

12
proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan
yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.

Gambar 2.3 Tinea unguium bentuk subungual distalis

2. Leukonikia trikofita
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.
Oleh RAVANT dan RABEAU kelainan ini dihubungkan dengan
Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungual proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang
kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di
bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya
penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang
sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering diserang daripada
kuku tangan.

c. Tinea kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit
ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea kruris merupakan salah satu
bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.

13
Gambar 2.4 Tinea cruris

d. Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa)


Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin).
1. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih
sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya
mereka mendapat infeksi baru pertama kali.
2. Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-
sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis
et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang
disebabkan oleh Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama
dengan tinea unguium.
3. Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Penyakit ini terdapat di berbagai
daerah tertentu di Indonesia, misalnya Kalimantan, Sulawesi, Irian Barat,
Kepulauan Aru dan Kei dan Sulawesi Tengah, juga di Pulau Jawa. Tinea
imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan
menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya
dan melebar. Proses ini, setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian
14
tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris.
Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah luar, akan
terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran skuama
konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran di
sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada permulaan
infeksi penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang
menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun,
lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita
dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak. Tinea unguium juga
sering menyertai penyakit ini.

Gambar 2.5 Tinea corporis

4. Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea
favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil
di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta
berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut
biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat
terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak
berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke
seluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea
korporis, yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada
usia akil balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para
penderita favus. Kadang-kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis
seboroik. Tinea favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit
papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan
yang khas, yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus pada kuku tidak

15
dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya, yang disebabkan
oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga spesies dermatofita dapat
menyebabkan favus, yaitu Trichophyton schoenleini, Trichophyton
violaceum, dan Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang
tampak tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih
banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita
sendiri.

e. Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-
merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat,
disebut kerion.

Secara klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas:
1. Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan
oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit
mulai dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar
dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita
adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi.
Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang
oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini
terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik tidak
menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan
dengan lampu Wood dapat dilihat fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada
rambut yang sakit melampaui batas-batas grey patch tersebut. Pada kasus-
kasus tanpa keluhan, pemeriksaan dengan lampu Wood ini banyak
membantu diagnosis. Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum
audouini biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya sekali-sekali
dapat terbentuk kerion.

16
Gambar 2.6 Tinea capitis tipe grey patch

2. Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang
yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak
kurang bila penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.

Gambar 2.7 Tinea capitis tipe kerion

3. Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan


Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya
menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut
yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal
adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam
folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot. Ujung rambut
yang patah, kalau tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit.

17
Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan
jamur. Tinea kapitis juga akan menunjukkan reaksi peradangan lebih berat
bila disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton
verrucosum, yang keduanya bersifat zoofilik. Trichophyton rubrum sangat
jarang menyebabkan tinea kapitis. Walaupun demikian bentuk klinis
granuloma, kerion, alopesia, dan black dot yang disebabkan Trichophyton
rubrum pernah ditulis.

Gambar 2.8 Tinea capitis tipe black dot

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis infeksi dermatofita dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dermatofitosis menunjukkan adanya pola inflamasi
yang dikenal dengan istilah tepi "aktif". Respon inflamasi umumnya ditandai
oleh lesi kemerahan dan bersisik di sekelilingnya dengan derajat yang lebih
berat, atau terkadang dapat disertai pembentukan vesikel. Bagian tengah lesi
umumnya lebih bersih dan hal ini yang membedakan dermatofitosis dengan
erupsi papulosquamosa seperti psoriasis atau liken planus, di mana respon
inflamasinya cenderung uniform pada lesi.
Lokasi lesi juga membantu mengidentifikasi patogen. Diagnosis
dermatofitosis dapat disingkirkan bila terdapat keterlibatan mukosa dengan kulit
yang beruam merah dan bersisik. Bila terdapat keterlibatan mukosa, diagnosis
yang paling mungkin adalah infeksi kandida seperti perleche atau vulvovaginitis
atau balanitis.9

Pemeriksaan penunjang

18
Pemeriksaan mikologi untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak
diperlukan.

Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan


klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan untuk
pemeriksaan mikologi diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu
tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk:

1. Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-


mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45.
Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.
2. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan
rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan
untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat
dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar
uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan,
maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak
tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat
warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.
3. Kulit berambut: rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan;
kulit di daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit,
pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan
untuk mengetahui lebih jelas daerah mana yang terkena infeksi dengan
kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu.
4. Kuku: bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong
sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah
kuku diambil pula.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-
mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45.
Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.

19
Gambar 2.9 Pemeriksaan Penunjang Dermatofitosis

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora)
pada kelainan kulit lama dan/ atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang
dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat
tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-
kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar
Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula

20
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan.

2.2.8 Tata Laksana


Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan sejak tahun 1958.
GENTLES (1958) dan MARTIN (1958) secara terpisah melaporkan bahwa
griseofulvin per oral dapat menyembuhkan dermatofitosis yang ditimbulkan
pada binatang percobaan. Sebelum zaman griseofulvin pengobatan
dermatofitosis hanya dilakukan secara topikal dengan zat-zat keratolitik dan
fungistatik.
Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouini misalnya,
dilakukan pengobatan topikal dan disertai penyinaran dengan sinar X untuk
merontokkan rambut di bagian yang sakit. Cara penyinaran ini, yang diberi
dengan dosis tunggal memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan untuk
melindungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu efek samping
penyinaran yang mungkin timbul pada masa akan datang cukup berbahaya. Hal
ini dibuktikan oleh ALBERT dan BURTON (1966). Menurut penelitian
retrospektif mereka, anak-anak yang telah mendapat penyinaran, ternyata pada
masa akan datang mendapat kemungkinan menderita keganasan 10x lebih besar
daripada anak-anak yang tidak mengalami penyinaran untuk pengobatan tinea
kapitis.
Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Bagan dosis pengobatan
griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle
dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk
anak-anak sehari atau 10-25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas
penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
BEARE dkk menganjurkan dosis harian dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam
klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup
baik pada sebagian besar penderita. Untuk mempertinggi absorbsi obat dalam
usus, sebaiknya obat dimakan bersama-sama makanan yang banyak mengandung
lemak. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang diperlukan
tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan. CANIZARES
21
menganjurkan pengobatan tambahan sebagai berikut: tindakan pemotongan
rambut pada tinea kapitis dan pemberian obat-obat.
Pada pengobatan kerion stadium dini diberikan kortikosteroid sistemik
sebagai anti-inflamasi, yakni prednison 3 x 5 mg atau prednisolon 3 x 4 mg
sehari selaam dua minggu. Obat tersebut diberikan bersama-sama dengan
griseofulvin. Griseofulvin diteruskan selama dua minggu setelah sembuh klinis.
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain dapat
berupa gangguan traktus digestivus adalah nausea, vomitus, dan diare. Obat
tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang
bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari - 2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk
penderita kelainan hepar.
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik terutama
bila diberikan lebih dari sepuluh hari, dapat diberikan suatu obat tiazol yaitu
itrakonazol yang merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat tersebut untuk
penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-
200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari. Khusus untuk onikomikosis dikenal
sebagai dosis denyut selama 3 bulan. Cara pemberiannya sebagai berikut,
diberikan 3 tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1 minggu dengan
dosis 2x200 mg sehari dalam kapsul.
Hasil pemberian itrakonazol dengan dosis denyut untuk onikomikosis
hampir sama dengan pemberian terbinafin 250 mg sehari selama 3 bulan.
Kelebihan itrakonazol terhadap terbinafin adalah efektif terhadap onikomikosis.
Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg - 250 mg sehari bergantung
pada berat badan. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10%
penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus,
nyeri lambung, diarea, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping yang lain
dapat berupa gangguan pengecapan, presentasinya kecil. Rasa pengecapan
hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan

22
bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3-7% kasus.

Tabel 2.1 Tatalaksana Dermatofitosis(10)

Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam salisil
2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%,
dan zat warna (hijau brilian 1% dalam cat Castellani) dikenal banyak obat
topikal baru. Obat-obat baru ini di antaranya tolnaftat 2%; tofsiklat, haloprogin,
derivat-derivat imidazol, siklopiroksolamin, dan naftifine masing-masing
1%.(1),(10)
Selain pemilihan obat yang begitu banyak ragamnya perlu juga diterapkan
cara pengobatan yang efektif dengan menggunakan vehikulum yang sesuai.

23
2.2.9 Komplikasi
Infeksi dermatofit jarang sembuh dengan sendirinya, sehingga bila tidak
didiagnosis dan diobati secara tepat, infeksi akan menjadi kronik dan progresif
dan akan mengenai area kulit yang lebih luas. Infeksi dapat menyebar dari
lapisan kulit superfisial pada epidermis hingga mencapai dermis dan
menyebabkan infeksi akut yang berat, dapat pula terjadi penetrasi sepanjang
batang rambut hingga ke lapisan dalam dermis, menyebabkan inflamasi pada
folikel bagian dalam dan sekitarnya. Pada kasus infeksi yang tidak diobati,
kerusakan jaringan akibat inflamasi dapat menyebabkan kerontokan rambut yang
permanen dan meninggalkan skar. Selain itu, infeksi ini juga dapat menyebar
dari satu orang ke orang lainnya. Kerusakan lapisan epidermis yang disebabkan
oleh dermatofit juga memungkinkan masuknya berbagai mikroorganisme ke
dalam kulit. Stafilokokus, streptokokus, atau bakteri gram negatif lainnya dapat
berperan sebagai ko-patogen dan memperberat infeksi primer akibat fungi,
sehingga menyebabkan komplikasi sistemik yang lebih serius. Pada beberapa
pasien, dermatofit juga dapat mencetuskan reaksi alergi dengan berbagai
manifestasi erupsi alergi. Meskipun penyakit ini tidak fatal, namun karena
bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit yang resisten dengan obat anti
jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan
menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya.3

24
BAB III
METODE

3.1 Desain Mini Project


Desain mini project ini adalah cross-sectional dengan metode deskriptif yang
bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Bula mengenai dermatofitosis. Pengetahuan ini kemudian dibagi lagi
menjadi 5 aspek, yaitu definisi, faktor risiko, manifestasi klinik, cara penularan, dan
pengobatan dermatofitosis.
Kegiatan dimulai dengan melakukan pre-test, dilanjutkan dengan penyuluhan
dan post-test. Hasil rangkaian kegiatan tersebut kemudian didiskusikan dengan
pembimbing dokter internsip di Puskesmas Bula untuk mengidentifikasi
permasalahan mengenai pengetahuan dermatofitosis warga di wilayah Puskesmas
Bula.
Proses identifikasi masalah didapatkan melalui observasi langsung mengenai
banyaknya keluhan gatal pada kulit dengan ciri khas lesi bagian pinggir tampak lebih
aktif dibandingkan bagian tengah lesi serta gatal yang dirasakan semakin berat saat
berkeringat termasuk yang memenuhi kriteria dermatofitosis pada warga di
Puskesmas Bula.

3.2 Lokasi dan Waktu Mini Project


Mini project ini dilakukan di 5 Posyandu cakupan Puskesmas Bula, Kabupaten
Seram Bagian Timur pada bulan Juli 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Mini Project

3.3.1 Populasi Mini Project


Populasi mini project ini adalah seluruh masyarakat yang terdapat di wilayah
kerja Puskesmas Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur.

3.3.2 Populasi Terjangkau Mini Project


Populasi terjangkau mini project ini adalah seluruh masyarakat yang berdomisili
di Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur yang datang ke 5 Posyandu cakupan
Puskemas Bula selama periode Juli 2018.

25
3.3.3 Sampel Mini Project
Sampel mini project adalah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula yang
datang ke salah satu dari 5 Posyandu cakupan Puskesmas Bula, yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3.4 Estimasi Besar Sampel


Untuk menentukan jumlah sampel yang dibutuhkan, maka digunakan rumus
perhitungan sampel berdasarkan Slovin:
𝑛= N
1 + 𝑁𝑒 2
𝑛= 16.607
1 + (16.607 x 0,12)
𝑛 = 98,7 orang
𝑛  99 orang
𝑛 = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = batas toleransi kesalahan (0,1)

Berdasarkan perhitungan di atas, maka dibutuhkan sampel minimal sebanyak 99


orang.

3.4 Kriteria Sampel


 Kriteria Inklusi
o Masyarakat yang berdomisili di Kota Bula, Kabupaten Seram Bagian
Timur yang datang ke 5 Posyandu cakupan Puskesmas Bula pada
bulan Juli 2018
o Tidak mengalami gangguan mental

 Kriteria Eksklusi
o Masyarakat yang tidak bersedia mengikuti kegiatan mini project

26
3.5 Instrumen Pengumpulan Data Mini Project
Instrumen mini project untuk menggambarkan pengetahuan masyarakat
mengenai dermatofitosis, berupa kuisioner dengan pertanyaan tertutup yang terbagi
dalam dua bagian yaitu (lampiran 1):
• Bagian pertama merupakan isian untuk mengetahui demografi responden
penyuluhan. Bagian ini terdiri atas lima isian yaitu nama, usia, alamat,
pendidikan terakhir, dan pekerjaan responden.
• Bagian kedua berisi 5 buah pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan
responden penyuluhan mengenai dermatofitosis. Diberikan skor masing-masing
pertanyaan dengan skala Guttman: 1-untuk jawaban benar, 0-untuk jawaban
salah.

Terdapat tiga golongan tingkat pengetahuan:


• Baik, jika responden menjawab pertanyaan dengan benar sebanyak  80% (4-5

pertanyaan) 


• Cukup, jika responden menjawab pertanyaan dengan benar sebanyak 50-70% (3


 pertanyaan) 


• Kurang, jika responden menjawab pertanyaan dengan benar sebanyak  40% (0-

2
 pertanyaan)

Setiap aspek pengetahuan responden, yaitu dari segi definisi, faktor risiko,
manifestasi klinik, cara penularan, dan pengobatan dermatofitosis dikategorikan
menjadi:
• Baik, jika pertanyaan dijawab dengan benar oleh  67% responden (67-99

responden) 


• Cukup, jika pertanyaan dijawab dengan benar oleh 34-66% responden (34-66

responden) 


• Kurang, jika pertanyaan dijawab dengan benar oleh  33 % responden (34

responden) 


27
3.6 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Klasifikasi
Pengukuran
1. Gambaran

2. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil Kuisioner, pre- -


dari tahu dan ini terjadi test dan post-test
setelah orang tersebut
melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu

3. Masyarakat Sejumlah manusia dalam arti -


seluas-luasnya dan terikat -
oleh suatu kebudayaan yang
mereka anggap sama
4. Definisi Kata, frasa, atau kalimat yang Kuisioner 0 = jawaban salah
mengungkapkan makna, (pertanyaan no 1) 1 = jawaban benar
keterangan, atau ciri utama
dari orang, benda, proses,
atau aktivitas; batasan (arti)12
5. Faktor risiko Faktor risiko adalah suatu Kuisioner 0 = jawaban salah
kondisi, sifat, fisik, atau (pertanyaan no 3) 1 = jawaban benar
perilaku yang dapat
meningkatkan kejadian
penyakit pada orang sehat
6. Manifestasi Perubahan pada fungsi tubuh Kuisioner 0 = jawaban salah
Klinis yang dirasakan pasien secara (pertanyaan no 1 = jawaban benar
subjektif dan dapat dinilai 4,5, dan 6)
secara objektif oleh tenaga
medis
7. Penularan Perbuatan (hal dan Kuisioner 0 = jawaban salah
sebagainya) yang menulari (pertanyaan no 7) 1 = jawaban benar

28
atau menularkan suatu
penyakit atau benih penyakit
8. Penanganan Berbagai proses, cara dan Kuisioner 0 = jawaban salah
perbuatan untuk menangani (pertanyaan no 8) 1 = jawaban benar
suatu hal

3.7 Langkah-Langkah Pelaksanaan Mini Project


a. Berdiskusi mengenai topik dengan Kepala Puskesmas dan staf puskesmas, serta
mengumpulkan data.
b. Memutuskan melakukan penyuluhan sebagai tindakan intervensi.
c. Memberikan pre-test pada masyarakat yang datang ke 5 Posyandu cakupan PKM
Bula pada bulan Juli 2018, lalu dilakukan pre-test.
d. Penyuluhan dilakukan setelah pengisian pre-test, masyarakat diberikan edukasi
mengenai penyakit dermatofitosis. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk
bertanya.
e. Langkah terakhir adalah dengan pengisian post-test setelah penyuluhan.
f. Seluruh data yang dikumpulkan kemudian di analisis.

3.8. Pengolahan & Penyajian Data


Pada mini project ini seluruh data-data yang telah diperoleh akan diolah dengan
metode analisis univariat. Untuk memudahkan dalam memahami hasil laporan ini,
maka data-data tersebut direkapitulisasi serta disajikan dalam bentuk uraian, tabel,
dan grafik.

3.9. Aspek Etik Pengambilan Data


Dilakukan setelah responden mengerti maksud dan tujuan dari mini project ini.
Seluruh data dan informasi yang diperoleh dalam mini project akan dijaga
kerahasiaannya serta dipergunakan secara bertanggung jawab. Keikutsertaan
responden bersifat sukarela, dan dapat menolak maupun mengundurkan diri setiap
saat.

29
BAB IV
HASIL MINI PROJECT

4.1 Data Umum


4.1.1. Profil Komunitas Umum
Puskesmas Bula terletak di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur dengan jumlah
penduduk berjumlah 16.607 jiwa.

4.1.2. Data Geografis

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Bula

Puskesmas Bula berlokasi di Jl.Pancasila No.5, Bula. Batas wilayah Puskesmas Bula
adalah sebagai berikut:
 Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram
 Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Banggoi
 Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Werinama
 Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Waru.

4.1.3. Data Demografis


Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Bula sebesar 16.607 jiwa. Dimana jumlah
penduduk wanita sebanyak 9.964 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 6.643 jiwa. Rata-
rata jumlah anggota dalam satu KK berjumlah 5 orang. Jumlah penduduk terbanyak adalah
desa Bula yaitu dengan jumlah 12.055 jiwa, sedangkan paling sedikit adalah desa Kampung

30
Gorom yaitu sebanyak 293 jiwa. Jumlah distribusi penduduk menurut jenis kelamin dapat
dilihat pada table di bawah ini :
Jumlah Penduduk
No. Desa Total Jumlah KK
Laki-laki Perempuan
1. Bula 4.822 7.233 12.055 1.749
2. Tansi Ambon 144 218 362 140
3. Fattolo 312 468 780 115
4. Bula Air 172 258 430 86
5. Wailola 193 290 483 141
6. Lemumir 184 277 461 165
7. Kampung Gorom 117 176 293 91
8. Sesar 263 395 574 115
9. Engglas 229 345 574 120
10. Salas 204 307 511 120
Total 6.643 9.964 16.607

Tabel 4.1 Jumlah Distribusi Penduduk menurut Jenis Kelamin

Penduduk laki-laki rata-rata berprofesi sebagai nelayan, petani, dan pedagang.


Penduduk perempuan sebagian besar berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Profesi penduduk
lainnya adalah sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, kontraktor dan pensiunan.

4.1.4. Sumber Daya Kesehatan


Sumber daya kesehatan yang tersedia di Puskesmas Bula pada tahun 2017 dapat dilihat
dari Tabel 4.1, yaitu:
No Jenis Ketenagaan Jumlah Keterangan

1 Medis :
1. Dokter Umum 2 PNS
2. Dokter Gigi 1 PNS
2 Tenaga Keperawatan :
1. S1 Keperawatan 2 PTT
2. D3 Keperawatan 17 PNS
5 PTT
2 Relawan

31
3. D3 Kebidanan 10 PNS
3 PTT
2 Relawan
3 Tenaga Kesehatan lainnya :
1. S1 Kesehatan Masyarakat 3 2 PNS 1 PTT
2. Apoteker 1 PNS
3. D3 Gizi 3 2 PNS 1 Relawan
4. D3 Kesehatan Lingkungan 2 PNS
5. D3 Analis Kesehatan 1 PTT
6. SPK 5 PNS
7. SPRG 1 PNS
8. Cleaning Service 1 Honorer
9. Fisioterapis -
Jumlah 61
Tabel 4.2 Data Ketenagaan Puskesmas Bula Tahun 2017
4.1.5. Sarana Pelayanan Kesehatan
Distribusi pelayanan kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Bula dapat dilihat pada
Tabel 4.3, yaitu:
NO Jenis Fasilitas Pelayanan JUMLAH
1 Puskesmas Pembantu (PUSTU) 3
2 Pos Bersalin Desa (Polindes) 1
3 Posyandu 14
4 Rumah Sakit Umum 1
5 Puskesmas Non Perawatan 1
Tabel 4.3. Distribusi Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Bula

4.1.6. Pembiayaan Kesehatan


Jumlah alokasi anggaran kesehatan Puskesmas Bula pada tahun 2013 sebesar
Rp.255.845.000,-, Sumber anggaran dari Biaya Operasional Kesehatan (BOP) merupakan
sumber anggaran terbesar, yaitu Rp 221.000.000,- Disusul dengan anggaran dari
Jampersal sebesar Rp 18.495.000,- Sementara dari Jamkesmas sebesar Rp 16.350.000,-

4.2 Profil Responden Kuesioner


4.2.1 Distribusi Usia Responden
Usia responden kuesioner terbanyak adalah kelompok usia 36-50 tahun, yaitu
sebanyak 41% dari responden. Kelompok usia terbanyak berikutnya adalah usia 21-35
tahun, yaitu sebanyak 40% responden, diikuti responden yang berusia >50 tahun, yaitu
32
sebanyak 40%. Usia responden kuesioner paling sedikit adalah kelompok usia di bawah 20
tahun, yaitu sebanyak 1% responden.

Kelompok Usia Jumlah Responden Persentase %


 20 tahun 1 1%
21-35 tahun 77 77,8%
36-50 tahun 14 14,1%
> 50 tahun 7 7,1%
Total 99 responden 100%

Tabel 4.4 Usia Responden Kuisioner Dermatofitosis

Usia Responden
1%

7%

14%
≤ 20 tahun
21-35 tahun
36-50 tahun
> 50 tahun

78%

Grafik 4.3 Usia Responden Kuisioner Dermatofitosis

4.2.2 Distribusi Pendidikan Responden


Pendidikan terakhir mayoritas responden adalah sekolah menengah atas (SMA) yaitu
sebanyak 46,5%, diikuti kelompok berikutnya adaalah mereka yang tamat dari perguruan
tinggi (PT) atau sederajat, yaitu sebanyak 23,2%. Persentase responden dengan pendidikan
terakhir sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) sama besarnya, yaitu
15,15%. Tidak ada responden yang tidak bersekolah (0%).

33
Pendidikan Terakhir Jumlah Responden Persentase %

Tidak sekolah 0 0%
SD 15 15,15%
SMP 15 15,15%
SMA 46 46,5%
Perguruan Tinggi 23 23,2%
Total 99 responden 100%

Tabel 4.5 Pendidikan Terakhir Responden Kuisioner

Pendidikan Terakhir
0%

15%
23%
Tidak sekolah
SD
15%
SMP
SMA
Perguruan tinggi

47%

Grafik 4.4 Pendidikan Terakhir Responden Kuisioner

4.2.3 Distribusi Pekerjaan Responden


Sebagian kecil responden kuesioner memiliki pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu sebanyak 10,1% responden, sedangkan 89,9% responden tidak bekerja.

Pekerjaan Jumlah Responden Persentase %

Tidak bekerja 89 89,9%


Bekerja 10 10,1%

34
Total 98 responden 100%

Tabel 4.6 Pekerjaan Responden Kuisioner

Pekerjaan

10%

Tidak bekerja
Bekerja

90%

Grafik 4.5 Pekerjaan Responden Kuesioner

4.3 Hasil Mini Project


4.3.1 Gambaran Pengetahuan Masyarakat di Puskesmas Bula Mengenai
Dermatofitosis
Sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang mengenai dermatofitosis,
yaitu sebanyak 77,7% responden. Sedangkan 15,1% memiliki pengetahun cukup mengenai
dermatofitosis. Hanya terdapat 7% responden yang memiliki pengetahuan baik mengenai
dermatofitosis.

Kategori Pengetahuan Jumlah Responden Persentase %

Pengetahuan Baik 7 7,1%


Pengetahuan Cukup 15 15,1%
Pengetahuan Kurang 77 77,8%
Total 98 responden 100%

Tabel 4.7 Gambaran Pengetahuan Masyarakat di Puskesmas Bula Mengenai Dermatofitosis

35
Kategori Pengetahuan

7%

15%
Pengetahuan Baik
Pengetahuan Cukup
Pengetahuan Kurang

78%

Grafik 4.6 Gambaran Pengetahuan Masyarakat di Puskesmas Bula Mengenai Dermatofitosis

Berdasarkan penilaian dari aspek pengetahuan responden, didapatkan hasil sebagai


berikut:
• Pengetahuan responden mengenai definisi dermatofitosis adalah cukup (59,5%
responden menjawab benar)
• Pengetahuan responden mengenai faktor risiko dermatofitosis adalah kurang
(31,3% responden menjawab benar)
• Pengetahuan responden mengenai penularan dermatofitosis adalah kurang (29,2%
responden menjawab benar)
• Pengetahuan responden mengenai manifestasi klinis dermatofitosis adalah kurang
(33,3% responden menjawab benar)
• Pengetahuan responden mengenai penanganan dermatofitosis adalah kurang (11,1%
responden menjawab benar)

Aspek Jumlah Responden Persentase (%) Kategori Pengetahuan


Pengetahuan yang Menjawab Benar
Definisi 59 59,5% Pengetahuan cukup
Faktor risiko 31 31,3% Pengetahuan kurang
Penularan 29 29,2% Pengetahuan kurang
Manifestasi klinis 33 33,3% Pengetahuan kurang

36
Penanganan 11 11,1% Pengetahuan kurang

Tabel 4.8 Gambaran Setiap Aspek Pengetahuan Responden Mengenai Dermatofitosis

4.3.2 Peningkatan Pengetahuan Masyarakat di Puskesmas Bula Mengenai


Dermatofitosis Setelah Penyuluhan
Sebelum penyuluhan dilakukan, peserta diminta untuk mengisi pre-test. Mayoritas
peserta mendapatkan 1 jawaban benar, yaitu sebesar 29,2% peserta, diikuti dengan 2
jawaban benar (sebesar 26,2%), tidak ada jawaban benar (20,2%), 3 jawaban benar (17,1%),
4 jawaban benar (sebanyak 7,1%), dan 5 jawaban benar (sebanyak 0%).

Jumlah Jawaban Benar Jumlah Peserta Persentase (%)

0 20 20,2%
1 29 29,2%
2 26 26,2%
3 17 17,2 %
4 7 7,2%
5 0 0%
Total 99 peserta 100%

Tabel 4.9 Gambaran Jawaban yang Benar Saat Pre-test

37
Jumlah Jawaban Benar
0%

8%
20%
0
17%
1
2
3
4
29% 5
26%

Grafik 4.7 Gambaran Jawaban yang Benar Saat Pre-test

Setelah penyuluhan dilakukan, peserta diminta untuk melakukan post-test dan


didapatkan peningkatan pengetahuan masyarakat. Mayoritas peserta menjawab 5 pertanyaan
benar, yaitu sebanyak 51,5% peserta. Sedangkan 30,3% peserta menjawab 4 pertanyaan
dengan benar, diikuti 11,1% responden yang menjawab 3 pertanyaan dengan benar,
selanjutnya diikuti 7,1% responden yang menjawab 2 pertanyaan dengan benar, dan 0%
yang menjawab 1 pertanyaan benar dan 0 pertanyaan benar.

Jumlah Jawaban Benar Jumlah Peserta Persentase (%)

0 0 0%
1 0 0%
2 7 7,1%
3 11 11,1%
4 30 30,3%
5 51 51,5%

Total 99 peserta 100%

Tabel 4.10 Gambaran Jawaban yang Benar Saat Post-test

38
Jumlah Jawaban Benar
0% 0%

7%

11% 0
1
2
52% 3
4
30%
5

Grafik 4.8 Gambaran Jawaban yang Benar Saat Post-test

Pengetahuan masyarakat pada seluruh aspek meningkat, antara lain pada aspek definisi,
faktor risiko, penularan, manifestasi klinis dan penanganan dermatofitosis. (Grafik 4.9)

100

90

80

70

60

50 Pretest
40 Postest
30

20

10

0
Definisi Faktor risiko Penularan Manifestasi Penanganan
klinis

Grafik 4.9. Distribusi Frekuensi Peserta dengan Jawaban Benar Sebelum dan Sesudah
Penyuluhan

39
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Puskesmas Bula Mengenai


Dermatofitosis
Berdasarkan hasil dari mini project, didapatkan bahwa sebagian besar responden
memiliki pengetahuan kurang mengenai dermatofitosis, yaitu sebanyak 77,7% responden.
Sementara itu, terdapat 15,1% memiliki pengetahun cukup mengenai dermatofitosis. Hanya
terdapat 7% responden yang memiliki pengetahuan baik mengenai dermatofitosis.
Berbagai tingkat pengetahuan masyarakat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
usia, pendidikan, dan pekerjaan. Budiman dan Riyanto (2013) menyatakan bahwa usia
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang. Usia
sangat mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang dalam memperoleh informasi.
Budiman dan Riyanto (2013) juga menyatakan adanya pengaruh pendidikan terhadap
pengetahuan. Semakin tinggi pendidikan responden, semakin mudah pula responden dalam
menerima informasi. Adanya informasi kesehatan tentang dermatofitosis dapat
mempengaruhi opini dan kepercayaan responden, informasi yang diperoleh tersebut dapat
mempermudah responden untuk mempersepsikannya, sehingga dapat dinilai secara
langsung yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pengetahuan dan terwujudnya sikap
hidup bersih dan sehat dalam mencegah dermatofitosis. Pekerjaan juga berpengaruh dalam
pengetahuan responden mengenai dermatofitosis. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan
seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara
tidak langsung.13

Tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam banyaknya kasus dermatofitosis di wilayah kerja Puskesmas Bula. Menurut
Notoatmodjo, pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Notoatmodjo lebih jauh
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang.7,14

Berdasarkan hasil yang didapat, pengetahuan mengenai definisi dermatofitosis adalah


yang paling baik, dengan persentase sebesar 59,5% (atau sebanyak 59 responden yang
menjawab dengan benar), diikuti oleh pengetahuan mengenai manifestasi klinis
40
dermatofitosis, dengan persentase sebesar 33,3% (atau sebanyak 33 responden yang
menjawab dengan benar). Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan
berdasarkan informasi yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari karena penyakit
dermatofitosis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam masyarakat.

Aspek pertanyaan yang memiliki pengetahuan yang kurang, di mana 11,1 %


responden menjawab dengan benar (atau sebanyak 11 responden) adalah mengenai
penanganan dermatofitosis. Sebagian besar responden tidak dapat membedakan
pengobatan penyakit jamur adalah bukan dengan menggunakan antibiotik.

Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai aspek-aspek pengetahuan tersebut


merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan pengetahuan tersebut berperan
penting dalam menurunkan angka insidensi penyakit dermatofitosis di wilayah Bula.
Masyarakat harus mengetahui penyebab, cara penularan penyakit dermatofitosis, serta
penanganan yang akan diberikan. Pengetahuan akan hal-hal tersebut akan bermanfaat
dalam pengobatan penyakit dermatofitosis, sehingga rantai penularannya dapat terputus
dan tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan di antara masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Bula.

5.2 Peningkatan Pengetahuan Masyarakat di Puskesmas Bula Mengenai Dermatofitosis


Setelah Dilakukan Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan pada 99 orang yang merupakan bagian dari masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Bula yang datang ke 5 Posyandu cakupan. Responden dipilih
secara randomisasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah masyarakat yang
diberikan penyuluhan telah sesuai dengan target minimal sampel.
Peningkatan pengetahuan terlihat pada seluruh aspek dermatofitosis (Grafik 4.9). Saat
pre-test, aspek pertanyaan mengenai penularan dan penanganan memperoleh jawaban
benar paling sedikit. Sebagian besar responden menyatakan bahwa dermatofitosis
ditularkan melalui batuk atau bersin yang terhirup atau melalui kontak darah. Hal ini turut
mempengaruhi pengetahuan responden mengenai penanganan dermatofitosis, di mana
masyarakat mayoritas menjawab penggunaan salep antibiotik adalah salah satu cara
mengatasi jamur, di mana sebenarnya antibiotik merupakan terapi yang tepat untuk infeksi
bakteri dan bukan terapi yang tepat untuk dermatofitosis. Rendahnya pengetahuan
masyarakat mengenai hal ini dapat berkontribusi terhadap peningkatan angka kesakitan
dermatofitosis, serta memperlambat penyembuhan dermatofitosis. Oleh karena itu saat

41
penyuluhan dijelaskan kembali mengenai definisi, faktor risiko, cara penularan, manifestasi
klinis serta penanganan, dari dermatofitosis. Setelah penyuluhan didapatkan peningkatan
pengetahuan untuk aspek penularan, di mana 90,9% atau 90 responden menjawab dengan
benar.
Peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai dermatofitosis diharapkan dapat
memperbaiki angka kejadian kasus dermatofisis, mencegah penularan penyakit di antara
bermasyarakat, bermanfaat dalam penanganan penyakit dermatofitosis, serta mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut pada masyarakat di wilayah kerja Puskesma Bula.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner, telah diperoleh
gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai dermatofitosis sebagai berikut:

• Pengetahuan masyarakat mengenai dermatofitosis dapat dibedakan dalam tiga tingkat,


yaitu masyarakat yang berpengetahuan baik sebanyak 7% (7 responden),
berpengetahuan cukup sebanyak 15,1% (15 responden), dan berpengetahuan kurang
sebanyak 77,7% (77 responden).
• Pengetahuan masyarat kurang dalam hal cara penularan (29 responden menjawab
benar) dan penanganan (11 responden menjawab benar).

6.2 Saran
Berdasarkan hasil mini project, didapatkan berbagai saran untuk peneliti, masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas Bula untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
dermatofitosis.

• Bagi peneliti
o Sebaiknya mini project dilakukan dalam batasan cakupan yang lebih luas
(mengambil sampel dari berbagai wilayah), agar pengetahuan seluruh
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula mengenai dermatofitosis dapat
ditingkatkan
42
• Bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula
o Lebih aktif dalam mencari informasi mengenai penyakit kulit dan
dermatofitosis dari sumber yang terpercaya seperti bertanya ke petugas
kesehatan, membaca buku, situs kesehatan di internet atau ikut serta dalam
pennyuluhan yang diberikan dari puskesmas
o Diharapkan dengan upaya yang telah dilakukan oleh petugas kesehatan di
Puskesmas Bula untuk mengedukasi masyarakat mengenai dermatofitosis,
masyarakat mau menerima dan merespon informasi yang diberikan dengan
tidak mengobati sendiri jika memiliki keluhan pada kulit.

• Bagi Puskesmas Bula


o Mengoptimalkan peran petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan
secara individu mengenai dermatofitosis dan penyakit kulit lainnya.
o Sebaiknya dilakukan pengumpulan data mengenai insidensi kejadian kasus
dermatofitosis pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bula.

43
Daftar Pustaka

1. Adhi Djuanda dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.

2. Vishnu S, Tarun KK, Anima S, Ruchi S, Subhash C. Dermatophytes:


Diagnosis of dermatophytosis and its treatment. Afr J Microbiol Res. 2015
May 13;9(19):1286–93.

3. Voljč M. Dermatophyte Infections in Humans: Current Trends and Future


Prospects. In 2015. p. 3–27.

4. Alemayehu A, Minwuyelet G, Andualem G. Prevalence and Etiologic Agents


of Dermatophytosis among Primary School Children in Harari Regional State,
Ethiopia [Internet]. Journal of Mycology. 2016 [cited 2018 Mar 28]. Available
from: https://www.hindawi.com/journals/jmy/2016/1489387/

5. Soebono H. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;


2001.

6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.

7. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta;


2005.

8. BEHZADI P, Behzadi E, Ranjbar R. Dermatophyte fungi: Infections,


Diagnosis and Treatment. SMU Med J. 2014 Jul 30;1:50–62.

9. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Physician. 2003 Jan


1;67(1):101–8.

10. Fitzpatrick TB, Goldsmith LA. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine. 8th ed. New York, N.Y.: McGraw-Hill Medical; 2012.

11. AL-Janabi A. Dermatophytosis: Causes, clinical features, signs and treatment.


J Symptoms Signs. 2014 Aug 9;3:200–3.

12. Arti kata - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online [Internet]. [cited
2018 Apr 20]. Available from: https://www.kbbi.web.id/

13. Budiman, Riyanto. Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian


Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2013.

14. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;


2003.

44
LAMPIRAN 1
LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN

Lembar Persetujuan Mengikuti Pre-test & Post-test Mini Project “Gambaran


Pengetahuan Masyarakat Mengenai Dermatofitosis di Wilayah Kerja Puskesmas
Bula, Kota Sukabumi”.

Kegiatan pre-test dan post-test ini dibuat sebagai suatu bagian dari mini project
“Gambaran Pengetahuan Masyarakat Mengenai Dermatofitosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Bula, Kota Sukabumi”. Seluruh identitas yang tertuang di dalam lembaran
kuesioner ini bersifat pribadi, dan rahasia, sehingga kejujuran dalam menjawab lembaran
kuesioner ini sangat dihargai.

Dengan bertandatangan dibawah ini, saya secara sadar bersedia untuk menjadi responden
mini project “Gambaran Pengetahuan Masyarakat Mengenai Dermatofitosis di Wilayah
Kerja Puskesmas Bula, Kota Sukabumi”. Sekiranya informasi yang saya berikan dapat
digunakan sebaik-baiknya sesuai dengan keperluan.

Tertanda,

Peserta

45
PRE-TEST / POST-TEST

A. IDENTITAS RESPONDEN
-Nama : -Pendidikan terakhir :
-Jenis Kelamin : -Pekerjaan :
- Umur : -Alamat :

B. PERTANYAAN
Petunjuk: Jawablah pertanyaan-pertanyaan yang menurut Bapak/Ibu paling benar
dengan memberikan tanda (X).
1. Apakah saudara mengetahui pengertian penyakit jamur (Tinea)?
a. Alegi pada kulit
b. Gatal-gatal akibat gigitan serangga
c. Penyakit pada lapisan zat tanduk kulit, rambut, dan kuku
d. Penyakit yang menyerang daya tahan tubuh manusia
2. Manakah di bawah ini yang dapat meningkatkan risiko terkena jamur?
a. Keadaan dengan paparan sinar matahari langsung
b. Tinggal di lingkungan yang padat, lembab, dan tidak bersih
c. Keadaan dengan sirkulasi udara baik
d. Keadaan yang terang
3. Berikut ini yang merupakan gejala awal jamur pada tubuh:
a. Kemerahan melingkar yang akan menimbul pada kulit
b. Tampak lepuh / lenting berisi air pada tubuh
c. Kulit tampak berwarna kuning
d. Luka berisi nanah
4. Cara penularan penyakit jamur yang benar menurut saudara adalah
a. Melalui pemakaian handuk bersama dengan penderita
b. Makan sisa makanan penderita
c. Dari batuk/ bersin penderita yang terhirup
d. Melalui kontak darah
5. Yang bukan merupakan pengobatan penyakit jamur adalah
a. Memakai obat oles anti jamur
b. Konsumsi obat jamur yang diminum
c. Menjaga kebersihan dan mandi dengan air bersih
d. Menggunakan salep antibiotik

46

You might also like