Professional Documents
Culture Documents
HIV AIDS
Dosen pembimbing:
Dewi Purnamawati., M. Kep.,
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
D III KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang sebesar-besarnya kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat
selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu tugas “KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II”. Dalam
kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan kerja sama
dari dosen pembimbing mata kuliah keperawatan medical bedah.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………………27
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi HIV/AIDS (Human immuno Deficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrom) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang
dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. enam tahun kemudian (1989),
AIDS sudah termasuk penyakit yang mengancam anak di amerika. Di seluruh dunia,
AIDS menyebabkan kematian pada lebih dari 8000 orang setiap hari saat ini, yang
berarti 1 orang setiap 10 detik, karena itu infeksi HIV dianggap sebagai penyebab
kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan
Amman pada tahun 1983 di Amerika serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak
di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember di Amerika
dilaporkan 1995 maupun pada anak yang berumur kurang dari 13 tahun menderita HIV
dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4480 kasus. Jumlah ini merupakan 1,5 % dan
seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988
terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa
maupun pada anak – anak tertinggi didunia adalah di Afrika.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja yang perlu diketahui dan dipelajari dari HIV AIDS ?
2. Apa saja yang menyebabkan HIV AIDS ?
3. Bagaimana patofisiologi HIV AIDS ?
4. Bagaimana pathway HIV AIDS ?
5. Apa saja manifestasi klinik HIV AIDS ?
6. Bagaimana penularan HIV AIDS ?
7. Apa saja komplikasi HIV AIDS ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang HIV AIDS ?
9. Bagaimana pencegahan HIVAIDS ?
10. Bagaimana penatalaksanaan HIV AIDS ?
11. Bagaimana pembagian stadium HIV AIDS ?
12. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita HIV AIDS ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui dan mempelajari tentang AIDS.
2. Apa saja yang menyebabkan HIV AIDS.
3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV AIDS
4. Untuk mengetahui pathway HIV AIDS
5. Apa saja manifestasi klinik HIV AIDS
6. Untuk mengetahui penularan HIV AIDS
7. Apa saja komplikasi HIV AIDS
8. Apa saja pemeriksaan penunjang HIV AIDS
9. Untuk mengetahui pencegahan HIV AIDS
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan HIV AIDS
11. Untuk mengetahui pembagian stadium HIV AIDS
12. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada penderita HIV AIDS.
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS
I. KONSEP TEORI
A. PENGERTIAN
1. HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk
dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan
DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang
panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik
laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses
itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak
ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV
diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah
RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk
menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah
satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada
orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV)
nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa
sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse
transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan
menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-
1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-
masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup
tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya
defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang
sudah dikenal dan sebagainya (Laurentz, 2005).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV ini
akan menyerang sel-sel sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan
dalam melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan
menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu
menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi
mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis
penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan tubuh
terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut (AVERT,
2011).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas
morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam
virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus
yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang
penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat,
berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi
transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein
struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus.
Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi
sel yang lain (Brooks, 2005).
B. ETIOLOGI
Menurut Hudak dan Gallo (1996), penyebab dari AIDS adalah suatu agen viral
(HIV) dari kelompok virus yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah
melalui hubungan seksual dan mempunyai aktivitas yang kuat terhadap limfosit T yang
berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh manusia. HIV merupakan Retrovirus
yang menggunakan RNA sebagai genom. HIV mempunyai kemampuan mengcopy
cetakan materi genetic dirinya ke dalam materi genetic sel-sel yang ditumpanginya.
Sedangkan menurut Long (1996) penyebab AIDS adalah Retrovirus yang telah
terisolasi cairan tubuh orang yang sudah terinfeksi yaitu darah semen, sekresi vagina,
ludah, air mata, air susu ibu (ASI), cairan otak (cerebrospinal fluid), cairan amnion,
dan urin. Darah, semen, sekresi vagina dan ASI merupakan sarana transmisi HIV yang
menimbulkan AIDS. Cairan transmisi HIV yaitu melalui hubungan darah (transfusi
darah/komponen darah jarum suntik yang di pakai bersama sama tusuk jarum) seksual
(homo bisek/heteroseksual) perinatal (intra plasenta dan dari ASI). Empat populasi
utama pada kelompok usia pediatrik yang terkena HIV yaitu :
1. Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi (disebut
juga transmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus AIDS pada anak-
anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
2. Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan hemofilia).
3. Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku risiko tinggi.
4. Bayi yang mendapat ASI (terutama di negara-negara berkembang).
C. PATOFISIOLOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel
lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian
yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel
killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-
stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah
provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel
T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus
HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV
yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen
yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi
limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap
infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan
menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel
T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat
tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama
waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum
infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
D. PATHWAY
1. Fase Awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2. Fase Lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun,
demam, batuk dan pernafasan pendek.3.
Fase akhirSelama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor Menurut Anthony (Fauci
dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan mengikut fasenya.
3. Fase Akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat
respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
4. Fase Asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung
berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV
yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat
RNA virus HIV yang rendah.
5. Fase Simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada masa
perinatal tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2 tahun pertama
kehidupan. Manifestasi klinisnya antara lain:
Lima puluh persen (50 %) anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya yang
memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif, perkembangan yang
terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris. Gejala umum yang ditemukan pada
bayi dengan infeksi HIV adalah :
G. KOMPLIKASI
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat tetap sehat
lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan mencegah
transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan
sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi,
biasanya tidak terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika
melakukan tes 3 hingga 6 minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif
(Swierzewski, 2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk
menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV kronis,
tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin
negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu
jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika
hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot
adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan
oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia
bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan
protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan antibodi
yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan
adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney,
2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk
mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil
tes positif harus dikonfirmasi dengan tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala
polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat mendeteksi HIV
bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara
khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal
RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk
konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa
minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western
blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain
(Swierzewski, 2010).
I. PENCEGAHAN
Menurut The National Women’s Health Information Center (2009), tiga cara
untuk pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A), artinya tidak
melakukan hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam hubungan seksual setia pada
satu pasang yang juga setia padanya, penggunaan kondom (C) pada setiap melakukan
hubungan seks. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan ABC.
Terdapat cara-cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam mengamalkan
hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan dan konseling kelompok
kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat mengajarkan mereka tentang hubungan
seksual yang aman, dan seks aman. Pemakaian kondom yang konsisten dan betul dapat
mencegah transmisi HIV (UNAIDS, 2000).
Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengurangi
risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus disuntikkan ke yang dapat
diminum secara oral, jangan gunakan atau secara bergantian menggunakan semprit, air
atau alat untuk menyiapkan NAPZA, selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru
yang sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali,
ketika mempersiapkan NAPZA, gunakan air yang steril atau air bersih dan gunakan
kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan tempat suntik sebelum disuntik (Watters
dan Guydish, 1994).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya
ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. Seorang ibu dapat
mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang dapat menghambat transmisi
virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika melahirkan, obat antiviral diberi kepada ibu
dan anak untuk mengurangkan risiko transmisi HIV yang bisa berlaku ketika proses
partus. Selain itu, seorang ibu dengan HIV akan direkomendasikan untuk memberi susu
formula karena virus ini dapat ditransmisi melalui ASI ( The Nemours Foundation,
1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal (Universal
Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan barang-barang tajam ,
mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah dilakukannya semua
prosedur, menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, celemek, jubah, masker
dan kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan langsung dengan darah dan
cairan tubuh lainnya, melakukan desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang
terkontaminasi dan penanganan seprei kotor/bernoda secara tepat.Selain itu, darah dan
cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa
memandang apakah status orang tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-
nya (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS
tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat
yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara
medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap
HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu
kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai
terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini
dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah
perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC &
3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu
enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam
memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk:
Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan,
persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan,
kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan
terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi
penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–
28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas
38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT)
dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan
dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa
dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine
hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa
persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3
hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat
antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari,
untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik
melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan
permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk
menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu
diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan
untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP
termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah
memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP
yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi
yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam,
sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai
pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal
ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan
mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk
mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan
diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah
sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan
vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang
terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah
infeksi primer (Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis
K. PEMBAGIAN STADIUM PADA HIV/AIDS
Secara umum kronologis perjalanan infeksi HIV dan AIDS terbagi menjadi 4
stadium :
1. Stadium HIV
Dimulai dengan masuknya HIV yang diikuti terjadinya perubahan serologik ketika
hadap virus tersebut dan negatif menjadi positif. Waktu masuknya HIV kedalam tubuh
hingga HIV positif selama 1-3 bulan atau bisa sampai 6 bulan (window period).
Menunjukkan didalam organ tubuh terdapat HIV tetapi belum menunjukan gejala
dan adaptasi berlangsung 5 - 10 tahun.
4. Stadium AIDS
Merupakan tahap akhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai bermacam - macam
penyakit infeksi sekunder.
II. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN HIV/AIDS
A. PENGKAJIAN
Pada pengkajian anak HIV positif atau AIDS pada anak rata-rata dimasa perinatal
sekitar usia 9 –17 tahun. Keluhan utama dapat berupa :
Pada riwayat penyakit dahulu adanya riwayat transfusi darah (dari orang yang
terinfeksi HIV/AIDS). Pada ibu atau hubungan seksual. Kemudian pada riwayat
penyakit keluarga dapat dimungkinkan :
Pada pengkajian faktor resiko anak dan bayi tertular HIV diantaranya :
Gagal tumbuh
Berat badan menurun
Anemia
Panas berulang
Limpadenopati
Hepatosplenomegali
Adanya infeksi oportunitis yang merupakan infeksi oleh kuman, parasit, jamur atau
protozoa yang menurunkan fungsi immun pada immunitas selular seperti adanya
kandidiasis pada mulut yang dapat menyebar ke esofagus, adanya keradangan paru,
encelopati dll.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Mata
2. Pemeriksaan Mulut
3. Pemeriksaan Telinga
4. Sistem pernafasan
Nyeri persendian
Letih, gangguan gerak
Nyeri otot
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko terjadinya infeksi pada anak dengan HIV/AIDS berhubungan dengan adanya
penurunan sistem imun tubuh.
3. Kurangnya volume cairan tubuh pada anak berhubungan dengan adanya infeksi
oportunitis saluran pencernaan (diare).
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologis, resti : penurunan
tingkat aktivitas, perubahan sensasi, malnutrisi, perubahan status metabolisme.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Berikan Kerusakan
makanan motorik dan
enteral/parent adanya infeksi
eral dengan memerlukan
tepat. alternatif teknik
pemberian
makanan untuk
memenuhi
kebutuhan diet.
3. Kurangnya Tujuan : Kaji tanda- Indikasi dari
volume cairan Kebutuhan tanda vital. volume cairan
tubuh pada anak volume cairan sirkulasi.
berhubungan terpenuhi.
dengan adanya Kriteria Hasil : Catat Meningkatkan
infeksi Membran peningkatan kebutuhan
oportunitis mukosa suhu dan metabolisme
saluran lembab. durasi demam, dan diaforesis
pencernaan Anak tampak berikan yang berlebihan.
(diare). rileks. kompres
Turgor kulit hangat sesuai
baik. indikasi.
Tanda-tanda Kaji turgor, Indikator tidak
vital stabil. membran langsung dari
Haluaran mukosa dan status cairan.
adekuat. rasa haus.
Kaji intake Mempertahanka
dan output. n keseimbangan
cairan,
mengurangi rasa
haus dan
melembabkan
membran
mukosa
Hilangkan Mungkin dapat
makan yang mengurangi
potensial diare.
menyebabkan
diare.
Berikan Mendukung/
cairan/ memperbesar
elektrolit volume
sirkulasi,
melalui terutama jika
NGT/IV. pemasukan oral
tak adekuat.
Bermanfaat
Pantau dalam
He/Hb. memperbaiki
kebutuhan
cairan.
Mengurangi
Berikan obat insiden muntah,
sesuai menurunkan
indikasi jumlah
seperti keenceran feces
antiementik, dan membantu
antidiare, mengurangi
antipireutik. demam.
4. Gangguan integr Tujuan : Integritas Kaji tiap hari, Menentukan
itas kulit kulit kembali catat warna, garis dasar
berhubungan normal turgor, perubahan dan
dengan defisit Kriteria Hasil : sirkulasi dan melakukan
imunologis, resti Tidak ada lagi sensori. intervensi yang
: penurunan lesi. tepat.
tingkat aktivitas, Permukaan kulit Pertahankan Mempertahanka
perubahan normal. higiene kulit n kebersihan
sensasi, misalnya: karena kulit
malnutrisi, masase yang kering
perubahan status dengan lotion dapat menjadi
metabolisme. dan krim. barier infeksi.
Atur posisi Mengurangi
secara teratur, stress pada titik
ganti seprei tekanan,
sesuai meningkatkan
kebutuhan. aliran darah,
kejaringan,
meningkatkan
proses
penyembuhan.
Bersihkan Mencegah
teratur. meningkatkan
resiko kerusakan
dermal.
Berikan Menurunkan
matras/ iskemia
jaringan.
tempat tidur
busa. Digunakan pada
Berikan obat- perawatan lesi
obatan kulit.
topikal/
sistemik
sesuai
indikasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang
dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. Enam tahun kemudian (1989),
AIDS sudah termasuk penyakit yang mengancam anak di Amerika. Di seluruh dunia,
AIDS menyebabkan kematian pada lebih dari 8000 orang setiap hari saat ini, yang
berarti 1 orang setiap 10 detik, karena itu infeksi HIW dianggap sebagai penyebab
kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
Cara paling efektiv dan efisien untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara
universal adalah dengan mengurangi penularan dan ibu ke anaknya (mother-to-child-
transmision ( MTCT )). Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO
dilakukan melalui 4 strategi, yaitu
3. Mencegah penularan HIV dan ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan
memberikan dukungan.
http://sehat-jasmanidanrohani.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-pada-anak-
dengan.html
NAMA :............................................................................
NIM :............................................................................
NILAI
ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
Definisi :
Induksi tidur adalah suatu tindakan atau proses untuk
menyebabkan tidur.
Tujuan :
- Memberikan klien perasaan segar setelah tidur.
- Mendapatkan pola tidur yang sehat
- Menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan,
mengurangi stres pada paru, kardiovakuler, endokrin, dan
lainnya.
- Memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan diantara
berbagai susunan saraf.
- Memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh
karena selama tidur terjadi penurunan.
Indikasi :
- Pasien dengan masalah tidur
- Pasien yang membutuhkan istirahat tidur
Tahap kerja :
1. Memposisikan pasien senyaman mungkin.
2. Kendalikan sumber-sumber kebisingan di lingkungan klien,
dapat dengan menutup pintu atau mematikan TV dan radio
dalam kamar.
3. Gunakan musik yang lembut jika perlu untuk menyamarkan
kebisingan.
4. Pastikan bahwa kamar tidur memiliki penerangan dan
ventilasi yang baik. Perawat dapat mematikan lampu atau
menggunakan lampu tidur, sesuai dengan keinginan klien.
5. Tanyakan tentang pola dan kebiasaan yang biasa dilakukan
klien sebelum tidur
6. Gunakan teknik relaksasi untuk meningkatkan tidur.
7. Tingkatkan kenyamanan klien, dengan :
- Lakukan tindakan higiene bagi klien yang tirah baring.
- Anjurkan klien memakai pakaian dalam yang longgar.
- Posisikan dan topang bagian tubuh yang menggantung
untuk membantu relaksasi otot.
- Berikan topi dan kaos kaki pada lansia atau klien yang
cenderung kedinginan.
- Anjurkan klien untuk berkemih sebelum tidur.
- Berikan masase
8. Jika klien belum dapat tidur, anjurkan klien untuk
meningkatkan rutinitas sebelum tidur, misalnya dengan
membaca novel ringan, menonton televisi yang
merilekskan, atau mendengar musik pada orang dewasa,
atau dengan membacakan cerita untuk todler dan
prasekolah.
9. Kendalikan gangguan fisiologis, bantu klien dengan posisi
semi fowler atau tempatkan dua bantal pada dibelakang
kepala untuk membantu pernafasan.
10. Lakukan pengurangan stres. Apabila kien mengalami
kekacauan emosional, anjurkan klien untuk tidak
memaksakan tidur, dan melakukan aktivitas yang dapat
merilekskan.
11. Luangkan waktu untuk berbicara pada klien yang tidak
dapat tidur untuk membantu perawat menentukkan faktor-
faktor yang menyebabkan klien terjaga.
12. Anjurkan klien untuk mencoba mengkonsumsi kudapan
(susu atau coklat hangat) dan menghindari mengkonsumsi
minuman yang mengandung kafein (teh, kopi) dan alkohol.
13. Berikan medikasi jika perlu pada pasien yang tidak dapat
tidur, sebagai tindakan paling akhir.
14. Bila klien dapat tidur, pastikan dan tetap kontrol lingkungan
tidur klien.
Tahap terminasi :
1. Menanyakan pada pasien apa yang dirasakan setelah
dilakukan tindakan.
2. Melakukan kontrak waktu selanjutnya.
3. Berikan reinforcement sesuai kemampuan pasien
4. Berpamitan dengan pasien
Tahap dokumentasi :
Catat seluruh hasil tindakan dalam catatan keperawatan,
tentang jumlah dan waktu tidur klien, medikasi yang diberikan
(nama, dosis, cara pemberian), dan respon klien terhadap
tindakan yang dilakukan.
TOTAL NILAI
Keterangan :
0 = tidak dikerjakan
1 = dikerjakan tetapi tidak sempurna / tidak lengkap
2 = dikerjakan dengan lengkap
Mataram, .........................
Penilai, (................)