You are on page 1of 18

ASWAJA DAN FIRQOH LAIN

PENDAHULUAN

Di era modern ini banyak bermunculan aliran dan faham yang berbeda satu sama lain.
Tiap-tiap mengklaim alirannyalah yang paling benar sementara aliran yang lain salah. Perbedaan
dan perpecahan umat islam menjadi beberapa aliran telah menjadi Sunnatullah yang tidak bisa
dihindari. Dalam beberapa hadits yang banyak diriwayatkan para ahli hadits Rosulullah saw
telah menjelaskan bahwa akan terjadi perpecahn dalam ummat islam. Firman Allah SWT:

‫ولوشاء هللا لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم في ما أتاكم فاستبقوا الخيرات‬
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadiakn-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan.”

Sabda Rosulullah saw :

‫ومن هي يا‬: ‫قالوا‬. ‫ان بني اسرائيل تفرقت ثنتين وسبعين ملة وتفرقت امتي على ثالث وسبعين ملة كلهم فى النار إال ملة واحدة‬
)‫ماأنا عليه وأصحابي (رواه أبو داود‬: ‫رسول هللا ؟ قال‬

Juga hadits Nabi saw :

‫ومن الناجية ؟‬: ‫قالوا‬. ‫تفرقت هذه األمة على ثالث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى‬
‫ما أنا عليه اليوم وأصحابى‬: ‫قال أهل السنة والجماعة قيل وما أهل السنة والجماعة ؟ قال‬

Pada zaman Rosulullah saw memang tidak pernah ada perpecahan diantara sahabat.
Namun sebagai mukjizat, beliau telah mengetahui akan terjadinya perpecahan pada ummatnya
setelah beliau wafat. Rosul juga telah menjelaskan bahwa diantara golongan (firqoh) yang akan
bermunculan kelak, yang akan selamat adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Orang-orang yang
berpegang teguh pada ajaran rosul dan para sahabat ). Fakta telah menjadi saksi bahwa sekarang
ini seluruh aliran yang muncul, semuanya mengaku atau mengklaim bahwa kelompoknyalah
yang pantas disebut ahlu sunnah wal jama’ah, serta mengannggap kelompok lain bukan
Ahlussunnah Wal Jama’ah (sesat ).
ASWAJA DAN FIRQOH-FIRQOH LAIN

A. Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Pengertian Aswaja

Ahlussunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata yaitu ; Ahlun , As Sunah dan Al
Jama’ah. Kata (Ahlun) berarti keluarga, golongan atau pengikut. Kata (As Sunnah) berarti
Sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kata (Al Jama’ah) berarti
kumpulan atau kelompok para Sahabat Nabi SAW (Jamaatus Shohabat).

Dari pengertian ketiga kata tersebut, maka yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah
adalah kelompok (golongan) yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rosul dan thoriqohnya
Sahabat nabi yang tercermin dari semua aspek kehidupan yang meliputi : i’tiqod diniyah,
amal badaniyyah dan akhlaq qolbiyah.

Sebenarnya istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai ajaran sudah dikenal dan ada
sejak Nabi Muhammad SAW, istilah tersebut mengandung arti ajaran islam yang murni
sebagaimana yang telah diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah SAW bersama para
Sahabatnya. Namun sesudah masa Sahabat Nabi SAW, Istilah (nama) Ahlussunnah Wal
Jama’ah muncul dalam bentuk Firqoh (kelompok tertentu) untuk membedakan dari golongan-
golongan ahli bid’ah seperti Khowarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain.

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dalam bentuk Firqoh ini, muncul sekitar periode
300 Hijriyah yang dipelopori oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari yang mengikuti madzab imam
Syafi’i dan Syekh Abu Mansur al Maturidi yang mengikuti madzab Imam abu Hanifah.
Keduanya (Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al Maturidi) telah mendapat
dukungan dan pengakuan dari para pengikut imam empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal).

Dalam kitab Syarah Kawakibul Lama’ah, Syekh Abi Fadhol menjelaskan : Disaat
perpecahan banyak terjadi (banyak bermuncualn aliran-aliran sesat) terlahirlah nama
Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk mereka yang selalu konsisten menjalankan Sunnah-sunnah
Nabi SAW dan para Sahabatnya dalam aqidah, amal badaniyah dan juga akhlaq qolbiyah.

Dengan demikian pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah ( dalam bentuk firqoh ) ini
adalah nama yang khusus diperuntukkan bagi golongan yang aqidahnya selaras dengan
Asy’ariyyah dan Al Maturidiyah. Hal ini berlaku hingga zaman sekarang ini. Hal ini senada
dengan keterangan Al Alamah Syayyid Muhammad bin Muhammad Al Hasani (Syehk
Zabidi) dalam Syarahnya kitab Ihya Ulumuddin :

‫إذا اطلق اهل السنة والجماعة اى هذا اللفظ المراد بهم األشاعرة والمتريدية‬
“Jika diucapakan kata ‘Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dikehendaki adalah ‘Al
as’ariyyah dan Al Maturidiyyah”. Karena, Sepeninggalan Rosul dan para sahabatnya,disaat
banyaknya aliran sesat bermunculan, kedua kelompok inilah (‘Al as’ariyyah dan Al
Maturidiyyah’) yang selalu konsisten menjalankan sunnah-sunnah Rosul dan para Sahabat. Di
samping itu kedua imam tersebut ( Syekh Abu Hasan al Asy’ari da Syekh Abu Mansur al
Maturidi ) berusaha menggali aqidah islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits,
yakni Aqidah Islam yang telah diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada para sahabat, lalu
kemudian diwariskan kepada Tabiin, Tabiit Tabiin dan para Ulama’ Salafus Solihin.

Lahirnya Aswaja

Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW


maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman
pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya
di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan
khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-
1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman
pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).

Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan


ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para
pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga
kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah
terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi
muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak
awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang
berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak
terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada
beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal
( 164-241H).

Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu


Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang
melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai
‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks qu’an hadits) daripada aql (penalaran
rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang
dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam
hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah,
Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni
di bidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran
ini, baik di bidang fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni
(ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau
Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang
menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang
dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-
Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at,
hakikat dan makrifat.

Ajaran-ajaran Aswaja

Seseorang atau golongan bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah jika :

Ø Dalam Aqidah mengikuti / selaras dengan teologi Al As’ari dan Al Maturidi.


Ø Dalam Furu’ (Fiqh) mengikuti salah satu imam madzab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali).

Ø Dalam bidang Ahlaq (Tasawuf) selaras dengan ajaran Imam Al Gozali dan al Junaidi al
Bagdadi.

Di antara ajaran (akidah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :

Ø Meyakini Wujudnya Allah.

Ø Meyakini bahwa Allah Maha Esa (baik dzat, sifat maupun perbuatannya).

Ø Meyakini terhadap sifat-sifat Allah (sifat wajib 20, sifat mustahil 20, sifat jaiz 1).

Ø Meyakini kehudusan ( baru datangnya ) alam semesta.

Ø Meyakini tentang keadilan dan hikmah Allah swt.

Ø Meyakini tidak ada kemiripan ( keserupaan ) Allah dengan apapun.

Ø Meyakini bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat ( Surga ), dengan mata kepala secara
langsung, namun tidak diketahui caranya ( bila kaifin ).

Ø Allah tidak wajib berbuat baik pada Makluk.

Ø Allah adalah pencipta jagat raya ini, yang punya kehendak mutlak untuk melakukan apa
saja pada mahluknya, tanpa ada keterpaksaan.

Ø Meyakini kenabiyan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Ø Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk semua umat (Kaffah).

Ø Meyakini kebenaran semua perkara yang dibawa Rosul diantaranya ; Surga, Neraka, Wot
Sirothol Mustaqim, Ars, kursi, Telaga Kausar, Bangkit dari kubur dan lain-lain.
Ø Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, yang tidak akan mungkin
ada Nabi setelahnya ( La Nabiya Ba’dahu ).

Ø Meyakini bahwa Syareatnya Nabi Muhammad SAW akan langgeng sampai hari kiyamat
tiba.

Ø Meyakini bahwa orang Mu’min ketika melakukan dosa besar dan meninggal sebelum
bertaubat, maka urusannya diserahkan pada Allah, mungkin diampuni atau akan disiksa
dan dimasukkan ke neraka, namun ia tidak kekal di neraka. Dan ia termasuk golongan
Orang Mu’min yang melakukan ma’siyat ( Mu’min Al Ashi).

Ø Meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah yang Qodim (dahulu tanpa permulaan ).

Ø Meyakini bahwa Al Qur’an dan Al Hadist harus didahulukan ( diatas ) akal manusia dan
bukan sebaliknya.

Ø Perbuatan manusia pada hakekatnya telah ditakdirkan Allah, akan tetapi manusia
diwajibkan melakukan ihtiyar memilih hal yang baik sebab dirinya telah diberi fasilitas
akal.

Ø Meyakini bahwa hari kiyamat ( hancurnya jagat raya ) pasti akan terjadi.

Ø Meyakini bahwa anak kecil yang meninggal dunia sebelum usia balig meski anak orang
kafir akan masuk surga.

B. Mu’tazilah

Definisi Mu’tazilah

Secara Etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab
menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan,

Secara Terminologi, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari


qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa
besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al
Bashry.

Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan
adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi
jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang
khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.

Golongan ini dinamakan Mu’tazilah, karena Washil itu memisahkan diri dari
gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena perbedaan pendapat tentang orang Islam yang
mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati ia belum juga tobat. Dalam masalah ini
golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi Manzilah
baina Manjilatain.

Lahirnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah,
antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan
murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia
lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan
bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah)
setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan
sifat-sifat Allah.

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang


dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-
buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah
manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal
dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih
didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata
pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan
mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah
yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita
untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan
kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka
membimbing mereka menuju jalan yang benar. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat
maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?.

Kesesatan Mu’tazilah

Di antara Kesesatan kaum Mu’tazilah :

Ø Mentiadakan sifat-sifat Allah yang Qodim seperti ; Sifat Ilmu, Kudrot, Hayat dan lain-lain.
Dan mereka meyakini bahwa Allah maha mengetahui, hidup, berkuasa semata-mata
dengan dzat-Nya dan bukan dengan sifat.

Ø Meyakini bahwa Al Qur’an adalah mahluk yang berupa huruf dan suara.

Ø Meyakini bahwa kelak di akhirat, Allah tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Ø Mewajibkan penta’wilan terhadap Ayat-Ayat Mustasyabihat (ayat yang belum jelas


dilalahnya).

Ø Meyakini bahwa segala perbuatan manusia berasal dari dirinya sendiri (baik atau buruk).
Oleh karenanya di akhirat ia wajib mendapat pahala atau siksa akibat perbuatan tersebut.

Ø Allah Wajib berbuat baik terhadap mahluknya, sebab jika tidak demikian maka berarti allah
telah berbuat dholim.

Ø Meyakini bahwa orang yang melakukan dosa besar yang meninggal sebelum bertaubat
maka ia akan selama-lamanya ( hulud ) di neraka.

Ø Mengingkari adanya siksa kubur.


Ø Meyakini adanya tempat diantara Surga dan Neraka ( Manzilun Bainal Manzilataini ).

C. Khowarij

Definisi dan Sejarah Kemunculan Khowarij

Imam Syahrostani mendefinsikan khowarij sebagai, ”Semua kelompok masyarakat


yang keluar daripada ketaatan kepada kepemimpinan (imam) yang sah dan yang sudah
disepakati oleh mayoritas umat Islam, baik pada masa kepemimpinan sahabat
khulafaurrosyidin, tabi’in (pengikut sahabat), atau masa kepemimpinan umat Islam di setiap
zaman.” (Syahrostani, Kitab Al Milal wan Nihal, 1/129).

Imam Ibnu Hazm menambahkan, “Setiap orang yang mendukung pikiran-pikiran


mereka atau memiliki pikiran dan ideooogi seperti mereka juga disebut khowarij, kapanpun ia
berada.” Jelas, khowarij tidak terbatas pada masa atau episode tertentu, tapi bisa jadi
sepanjang sejarah anak Adam.

Mengenai awal kemunculan khowarij para pakar sejarah Islam berbeda pendapat, ada
yang mengatakan, khowarij telah ada sejak zaman rasulullah saw yaitu si Dzul Khuwaisiroh
yang tidak setuju terhadap pembagian ghonimah oleh rasulullah saw. Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibnul Jauziy dan Ibnu Hazm. Sebagian berpendapat, ia muncul pada masa
kekhilafahan Utsman bin Affan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Abil ‘Izz.
Tetapi pendapat yang rojih adalah yang mengatakan kemunculan Khowarij pertama kali
setelah peristiwa tahkim (dialog damai) sebagai upaya mencari jalan damai dalam mengakhiri
peperangan Shiffin antara pihak Ali bin Abi Tholib ra --sebagai kholifah yang sah-- dengan
pihak Mu’awwiyah ra.

Syaikh Muhammad Al Qursyi menyimpulkan pendapat para ulama mengenai sejarah


khowarij, beliau berkata, “Dari sisi ide dan bibit pemikiran Khowarij telah muncul sejak
zaman Nabi saw, yaitu pada kasus Dzul Khuwaishiroh. Jadi saat itu masih terbatas pada
gejala pemikiran, belum berbentuk sebuah organisasi dan pergerakan. Khowarij menjelma
menjadi organisasi pergerakan yang terpimpin baru muncul setelah peristiwa tahkim antara
Ali dan Mu’awwiyah.” (Khowarij Aqidatan wat Tarikh, h. 2)
Kesesatan Khowarij

Di antara Kesesatan kelompok Khowarij :

Ø Meyakini bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir , disamakan dengan kafirnya Iblis.

Ø Meyakini bahwa seluruh sahabat yang setuju Tahkim ( penyelesaian dengan juru hukum ),
dihukumi telah kafir sebab telah melakukan dosa besar. Sehingga mereka tidak mau
menerima hadist-hadist yang diriwayatkan dari sahabat tersebut.

Ø Menganggap kafir Sahabat Ali ra, Usman bin Affan, Tholhah, Zubair, Aisyah, Abdullah
bin Abbas mereka telah menyetujui Tahkim.

Ø Meyakini bahwa melakukan pemberontakan pada Imam ( Imam Ali Bin Abi Tholib ) yang
melanggar Sunah hukumnya Wajib.

Ø Memperbolehkan wujudnya Nabi meskipun akhirnya ia menjadi kafir di tengah-tengah


masa kenabian.

Ø Menafikan Hukum Ranjam bagi pelaku Zina Muhshon.

D. Murji’ah

Asal-Usul Kemunculan Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni
memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat
Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang
yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta
pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah.


Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik
dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik
maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.

Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah,
dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang
akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa
tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum
Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba,
membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua serta memfitnah wanita baik-
baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.

Doktrin-Doktrin Murji’ah

Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:

1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya


diakhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-
Rasyidin.
3. Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Mazhab) para skeptis dan empirin dari
kalangan Helenis.

Sementara itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap
dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan
dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati
dam keadaan akidah tauhid.

E. Syiah

Definisi Syiah

Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab ‫ شيعة‬Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini
adalah Syī`ī ‫شيعي‬.

"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali ‫ شيعة علي‬artinya
"pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya
ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang
beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).

Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang.
Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun
menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib
sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan
kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya
mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami
perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Keyakinan Syiah
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah
sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi
Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu
dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan
setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim
Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi
Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan
pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai
Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada
perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam


Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun
sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan
furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:

a. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.

b. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.

c. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai


pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia

d. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat
sebagai penerus risalah kenabian.

e. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan


I’tikad Syiah tentang kenabian ialah :

a. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.

b. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.

c. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling
utama dari seluruh Nabi yang ada.

d. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah
manusia-manusia suci.

e. Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.

F. Jabariyah

Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’ , artinya


suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan).

Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia
sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.

Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini :
Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah.
Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya
paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.

Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di
merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran
Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga
pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.

Pokok- pokok paham Jabariyah


Paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah,
manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki
kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada
hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala
atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan
siksa.

Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm
bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah :
Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara
Jabariyah dan Qadariyah.

Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh
dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti
QS. Al Anfal yang terjemahnya : “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu,
kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”

Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas
dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap
terbelakang.

G. Qodariyah

Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini
banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang,
misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur
tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada
dan qadar Allah swt.

Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, kedua
tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar.
Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin
Atha’ ; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah
Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak
orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman
bin Affan.

Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam
pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung
Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah.
Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul
Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman
bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai
membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus
sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720M). Meskipun mendapat
tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II
(720-724 M).

Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti
Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan
pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan
bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang
negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham Murji’ah yang
menguntungkan pemerintah.

Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik


pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun
paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam
paham Mu’tazilah.

Pokok-pokok Paham Qadariyah


Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia melakukan
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik maupun
perbuatan buruk.

Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya, berdasarkan
kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan nasibnya, bukan Tuhan yang
menentukan, pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat al Qur’an, antara lain QS. Al
Ra’d ayat 11:

Artinya :

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka
merubah apa yang ada pada diri mereka”

Paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju
dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

KESIMPULAN

Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai


system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam.
Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar
dari din al-islam. Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok
yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara,
generasi, tokoh atau lainnya.

Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak
hanya NU. Bisa saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai
dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi
keyakinannya sesuai dengan konsep ASWAJA.

Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-
shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari
kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan
dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang
dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan
islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.

REFERENSI

1. Bisri M. Jaelani, Ensiklopedi Islam, Panji Pustaka, Yogyakarta, 2007.

2. Madjid, Nurcolis, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.

3. Mustofa,H.A., Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009.

4. Rifal,H.M., Aqidah Akhlak, CV. Wicaksana, Semarang, 1994

You might also like