Professional Documents
Culture Documents
S
alah satu dampak dari perilaku seks bebas adalah aborsi, semakin meningkat
perilaku seks bebas semakin meningkat pula praktek aborsi. Aborsi adalah
pengguguran kehamilan yang tidak diharapkan keberadaannya. Para ulama telah
sepakat bahwa usia kehamilan di atas 40 hari hukumnya adalah haram kecuali ada
indikasi medis yang mengharuskan dilakukan aborsi. Karena aborsi pada hakikatnya
adalah pembunuhan terhadap calon manusia (janin).
Gosip dan infotaintment pun sempat menjadi perbincangan publik tentang
keharaman acara-acara gosip, karena acara seperti ini lebih kepada keharaman
menyebarkan aib orang lain. Membicarakan aib-aib seorang muslim bahkan
menyebarkannya merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam.
Masalah nikah gadis di bawah umur pun menjadi sesuatu yang perlu diteliti
dan dibahas secara lebih lanjut, karena praktek ini berdasarkan keterangan hadits
Aisyah telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw yang pernah menikahinya pada usia 7
tahun dan baru menggaulinya pada usia 9 tahun. Di masyarakat kita menjadi sesuaatu
yang aneh menikahi gadis di bawah umur (belum mencapai usia baligh) terlebih jika
ada motif kelemahan ekonomi. Misalnya karena orang tua wanita tersebut terkait
hutang.
Dalam Modul V ini terdiri dari:
Kegiatan Belajar I : Masalah Abortus
Kegiatan Belajar II : Gosip dan Infotaintment
Kegiatan Belajar III : Nikah Gadis di Bawah Umur
MASALAH ABORTUS
INDIKATOR KOMPETENSI DASAR
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. Mengetahui hukum Islam tentang aborsi
2. Mengetahui dalil keharaman menggugurkan kandungan
3. Mengetahui resiko menggugurkan kandungan
4. Menjelaskan pandangan ulama tentang aborsi
5. Menjelaskan UU KUHP tentang aborsi
6. Mengetahui fatwa MUI tentang aborsi
PETUNJUK BELAJAR
Untuk mempelajari modul ini hendaknya diterapkan bebarapa langkah berikut ini:
1. Mahasiswa mendengarkan serta menyimak sebagian isi modul ini dengan baik
dan dapat juga membaca secara keseluruhan isi modul.
2. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain
yang berkaitan dengan isi modul.
3. Mahasiswa dapat memperbandingkan dan mendiskusikan isi modul dengan
dosen dan dengan sesama mahasiswa lainnya.
4. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi modul.
5. Mahasiswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan
belajar.
6. Mahasiswa mengevaluasi pemahamannya pada isi modul dengan melihat kunci
jawaban yang sudah disediakan.
7. Jika hasil evaluasi kurang dari yang semestinya, maka mahasiswa wajib
mempelajari kembali isi modul sampai benar-benar mengerti dan dapat
menjawab pertanyaan dengan benar.
siap menghadapi kehidupan. Merusaknya berarti suatu tindak kriminal. Jika sperma
ini sudah menjadi darah, maka tindakan kriminal daalam hl ini lebih kejam. Jika
telah ditiupnya roh dan sudah sempurna kejadiannya, maka tindak kriminal dalam
soal ini lebih kejam lagi. Sikap paling keji dalam soal kriminal ini, ialah apabila si anak
tersebut telah lahir dan dalam keadaan hidup.
Abortus menurut Sardikin Ginaputra adalah pengakhiran kehamilan atau hasil
konsepsi sebelum janin hidup di luar kandungan. Dan menurut Maryono Reksodipura
adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat
lahir secara alamiah). Sedangkan obat telat bulan adalah salah satu cara yang
digunakan untuk menggugurkan kandungan dikenal juga dengan menstrual
regulation, yaitu mengkonsumsi obat karena merasa terlambat menstruasi dan positif
mulai mengandung dengan tujuan agar tidak terjadi kehamilan yang berkelanjutan.
Abortus (pengguguran) ada dua macam, yaitu:
1. Abortus spontan (spontaneus abortus), yaitu abortus yang tidak disengaja.
Abortus spontan bisa terjadi karena penyakit tertentu seperti syphilis, atau
akibat kecelakaan dan lain sebagaimya.
2. Abortus yang disengaja (abortus provocatus/induced pro abortion). Aborsi
macam ini terbagi kepada abortus artificialis therapicus, yakni abortus yang
dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis. Seperti kehamilan yang
diteruskan bisa memabahayakan jiwa si calon ibu, karena si ibu tersebut memiliki
penyakit-penyakit berat, seperti TBC yang berat dan penyakit ginjal dan lain
sebagainya. Dan abartus provocatus criminalis, yaitu abortus yang dilakukan
tanpa dasar indikasi medis. Misalnya abortus yang dilakukan untuk meniadakan
hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang
tidak dikehendaki.
Mengkonsumsi obat telat bulan dengan tujuan menggugurkan kandungan yang
disebut juga menstrual regulation pada hakikatnya adalah jenis aborustus
provocatus criminalis karena pembunuhan janin secara terselubung. Karena itu,
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346, 348 dan 349
negara melarang abortus, termasuk menstrual regulation dan sanksi hukumannya
cukup berap; bahkan hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang
bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat dituntut,
seperti dokter, dukun, tukang obat, dan sebagainya yang mengobati atau yang
menyuruh atau yang membantu atau yang melakukannya sendiri.
Pasal 299 (1) KUHP dinyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja mengobati
seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau
ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu
rupiah. (2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan, atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga. (3) Jika
yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut; dalam menjalankan pencarian, maka
dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346 dinyatakan bahwa wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
individu. Kedua kromosom ini disebut kromosom seks. Dalam diri perempuan,
kromosom ini serupa, dan masing-masing disebut kromosom X sehingga kromosom
seks dalam diri perempuan disebut XX. Akan tetapi, dalam diri laki-laki hanya ada
satu kromosom X dan satu kromosom Y sehingga kromosom seks dalam diri laki-laki
disebut XY. Oleh karena itu, seorang ayah bisa mewariskan kromosom X atau Y kepada
anaknya, sementara seorang ibu hanya bisa mewariskan satu kromosom X. Sebuah
sel sperma yang mengandung kromosom X kebetulan membuahi ovum maka akan
terbentuk sel yang mengandung komplemen kromosom 46 + XX, dan bayi yang akan
lahir nanti adalah perempuan. Sebaliknya, jika sel sperma yang membuahi itu
mengandung kromosom Y, sel yang akan terbentuk mempunyai komplemen kromosom
46 + XY, dan bayi yang akan lahir nanti, insya Allah, laki-laki. Dengan demikian, faktor
yang menentukan jenis kelamin bayi adalah jenis sel sperma yang membuahi.
Pengetahuan tentang embriologi (ilmu yang menguraikan tentang
pembentukan, pertumbuhan pada tingkat permulaan, dan perkembangan embrio)
baru diketahui oleh ilmuwan pada abad ketujuh belas karena penemuannya harus
menunggu berbagai kemajuan luar biasa yang berpuncak pada kemampuan manusia
untuk melihat kromosom-kromosom (dengan menggunakan mikroskop), dan
menyelidiki peran yang dimainkannya. Akan tetapi, empat belas abad yang lampau
Alquran secara tidak langsung sudah memberikan rujukan mengenai peranan faktor
sperma dalam menentukan jenis kelamin. Alquran menyatakan, “Apakah manusia
mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah
ia (pada mulanya) setetes nuthfah (sperma) yang ditumpahkan ke (dalam rahim)?
Kemudian menjadi `alaqah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,
lalu Allah menciptakan sepasang laki-laki dan perempuan.” (Q.S. 75: 36-39). Dalam
ayat lain disebutkan, “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan pasangan laki-
laki dan perempuan, dari setitik nuthfah apabila dipancarkan.” (Q.S. 53: 45-46).
Kedua ayat termaktub memberikan gambaran bahwa sperma laki-lakilah yang
menentukan jenis kelamin janin laki-laki atau perempuan karena hanya sperma
dipancarkan oleh laki-laki ke dalam vagina perempuan.
Dalam perspektif hukum Islam klasik, aborsi masih merupakan kontroversi.
Sebagian fukaha (ulama ahli hukum Islam) ada yang berpendapat bahwa melakukan
aborsi berdosa kalau dilakukan sesudah masa kehamilan enam belas minggu karena
ketika itu Allah sudah meniupkan roh kepada janin,sehingga dia hidup seperti manusia
juga. Akan tetapi, kalau aborsi dilakukan sebelum itu, tidak berdosa. Dalil yang
digunakan untuk menunjukkan kebolehan aborsi itu sebagai berikut. “Setiap orang
di antaramu diciptakan dalam rahim ibunya dari setetes nuthfah selama empat puluh
hari, lalu dia menjadi `alaqah selama (kurun) waktu yang sama, kemudian menjadi
mudhghah selama kurun waktu yang sama juga, dan kemudian Allah mengutus
malaikat datang kepadanya dengan membawa empat perintah. Sang malaikat itu
diperintahkan untuk menuliskan rezeki, usia, amal perbuatan, dan akhirnya nasibnya
bahagia atau sengsara, lantas meniupkan ruh kepadanya” (H.R. Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Mas`ud). Dalam hadis lain disebutkan, ‘Ketika nuthfah telah berusia empat
puluh dua hari, Allah mengutus malaikat yang membentuknya, menciptakan
pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulangnya, lalu bertanya, “Tuhanku,
apakah dia laki-laki atau perempuan?” (H.R. Muslim dari Hudzaifah bin Asid).
Kedua hadis di atas mempunyai variasi susunan kata-kata yang berbeda,
tergantung kepada siapa yang meriwayatkannya. Tampaknya kebolehan melakukan
aborsi berawal dari kedua hadis ini. Sebagian fukaha dulu telah salah memandang
ditiupkannya roh sebagai bermakna permulaan kehidupan. Karena perempuan hamil
tidak merasakan gerakan sebelumnya, maka janin itu pastilah “belum hidup”.
Demikianlah data yang dikemukakan oleh embriologi pada zaman mereka. Hadis kedua
dijadikan alasan membolehkan aborsi sebelum tujuh minggu masa kehamilan. Itulah
waktu kunjungan malaikat yang diperkirakan dalam hadis tersebut, yaitu ketika
janin berbentuk sesosok manusia.
Padahal di zaman kita sekarang ini, kita mengetahui bahwa janin sudah hidup
sejak awal, tetapi karena ukuran dan anggota badannya kecil, serta banyaknya cairan
dalam kantong amniotik di sekitarnya maka sang ibu belum bisa merasakan gerakan-
gerakannya. Hadis kedua juga tidak dapat dijadikan alasan kebolehan aborsi sebelum
usia tujuh minggu masa kehamilan karena proses pembentukan manusia berawal
jauh sebelum itu. Hassan Hathout berpendapat bahwa fase kehidupan seorang
manusia yang pantas dikualifikasikan sebagai permulaan kehidupan harus
menggabungkan semua kriteria sebagai berikut.
1. Ia harus berupa suatu kejadian yang jelas dan memiliki batasan yang gamblang
yang secara aktual bisa disebut sebagai awal-mula kehidupan.
2. Ia harus memperlihatkan ciri utama kehidupan awal, yakni “pertumbuhan”.
3. Jika pertumbuhan itu tidak terhambat, secara alami ia akan menuju pada tahap-
tahap kehidupan berikutnya seperti fetus, neonatus, kanak-kanak, remaja,
dewasa, tua, sampai mati.
4. Ia mengandung gen-gen khas yang dimiliki ras manusia pada umumnya dan juga
yang unik dimiliki oleh seorang individu tertentu yang tak ada orang lain benar-
benar menyerupainya, sejak zaman azali hingga zaman azali lagi.
5. Ia tidak didahului oleh fase lainnya yang menggabungkan semua karakteristik
sebelumnya dari nomor 1 sampai 4.
Dengan menerapkan kriteria termaktub, kehidupan manusia berawal dari
berpadunya spermatozoa dengan ovum yang disebut pembuahan atau konsepsi guna
membentuk zigot. Zigot inilah yang mengandung 46 kromosom, separuh dari ibu
dan separuh lagi dari ayah. Sperma atau ovum yang tidak dibuahi tidak memenuhi
kriteria ini sekalipun keduanya hidup karena sel sperma dan ovum hanya memiliki
setengah jumlah kromosom manusia, yaitu 23 kromosom. Oleh karena itu, pernyataan
Gadis Arivia dalam “Etika Feminis dan Aborsi” menjadi tidak relevan dan terlalu
menyederhanakan masalah ketika dia membandingkan terkonsepsinya janin sudah
menjadi manusia adalah sama dengan durian sebelum ditanam sudah menjadi pohon
durian (Kompas, 8 Oktober 2001). Kehidupan seorang manusia — kendati masih
berbentuk janin — jauh lebih kompleks dari sekadar biji durian.
Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin mengatakan, “Keberadaan (manusia)
memiliki tahapan-tahapan. Tahapan pertama adalah penempatan air mani dalam rahim
dan campurannya dengan telur wanita. Kemudian siaplah ia menerima kehidupan.
Mengusiknya adalah suatu kejahatan. Ketika ia berkembang lebih lanjut dan menjadi
suatu gumpalan, menggugurkannya adalah suatu kejahatan yang lebih besar.” (Lihat
Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi, dan Mengatasi Kemandulan: Isu-Isu
Biomedis dalam Perspektif Islam, Mizan, Bandung, 1977, hlm. 113). Apa yang dikatakan
oleh al-Ghazali tampaknya sesuai dengan etika kedokteran yang menyatakan bahwa
“dokter wajib menghormati kehidupan manusia sejak saat pembuahan” (Deklarasi
Jenewa 1948). Pembuahan adalah suatu masa pertemuan antara ovum dan
spermatozoa, dan itulah permulaan kehidupan yang tidak teramati, tetapi dapat
dirasakan oleh ibu melalui perubahan fisiologis tubuhnya.
Al-Ghazali tampaknya cukup piawai merumuskan bahwa kehidupan janin mulai
dalam dua fase, yaitu fase kehidupan tak teramati yang ditandai oleh pertumbuhan
diam-diam dan tengah menyiapkan diri untuk menerima roh, yang kemudian disusul
oleh kehidupan yang bisa diamati, yang mulai dengan dirasakannya fase cepatnya
gerak pertumbuhan oleh sang ibu. Kedua fase ini harus dihormati dan tidak boleh
dilanggar. Dengan demikian, pengguguran kandungan adalah suatu bentuk
pembunuhan. Padahal, ajaran Islam pada dasarnya sangat menghargai kehidupan
manusia. Al-Quran menyebutkan bahwa tindakan seseorang baik positif maupun
negatif, berkenaan dengan kehidupan itu selalu mempunyai dampak yang lebih luas
yang bisa dirasakan bukan hanya oleh individu pelaku tindakan itu sendiri karena
dampak itu akan menyangkut keseluruhan kemanusiaan. Dengan demikian,
menghabisi jiwa seseorang bagaikan mengakhiri kehidupan masyarakat dan
memelihara jiwa seseorang bagaikan memelihara kehidupan manusia seluruhnya (Q.S.
5: 32).
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (1998:127-128) dalam bukunya Emansipasi Adakah
dalam Islam menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh
(nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh yaitu setelah 4 bulan
masa kehamilan, maka semua ulama sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama
berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian
memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Diantara ulama yang membolehkan adalah Muhammad Ramli dengan alasan
karena janin belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya
makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Sedangkan
ulama yang mengharamkan adalah Ibnu Hajar dan al-Ghazali bahkan Mahmud Syaltut,
mereka beralasan bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka
aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa
yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.
Abdul Qadim Zallum dan Abdurrahman al-Baghadadi mengungkapkan bahwa
pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 hari atau 42
hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya
haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah
peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum
mencapai 40 hari, maka hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah
peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum
mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (jaiz). Pendapat ini didasarkan kepada
sabda Rasulullah Saw:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka
Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah
tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya
dan tulang belulang. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), “Ya Tuhanku,
apakah dia (akan Engkau (tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan? “Maka
Allah kemudian memberi keputusan...” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a).
Alasan dibolehkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari,
maka hukumnya boleh dikarenakan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi
janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum
sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri sebagai manusia. Selain
itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan
dengan ‘azal (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
kehamilan.
Pendapat ini jangan dijadikan alasan bagi kaum wanita muda kita yang
diakibatkan pergaulan bebas, mereka mengetahui tanda-tanda kehamilan dengan
telat bulan dan kemudian mengkonsumsi obat telat bulan. Dengan tujuan tidak
terjadi kehamilan di luar nikah. Tetapi harus memperhatikan hukum keharaman aborsi
ini dalam firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin, sebab
Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepada mu” (QS. Al-Isra:31).
5. Berikut ini resiko fisik bagi wanita yang melakukan aborsi, kecuali
A. Kematian mendadak C. Rahim yang sobek
B. Kerusakan leher rahim D. Keturunan yang sehat
PETUNJUK BELAJAR
Untuk mempelajari modul ini hendaknya diterapkan bebarapa langkah berikut ini:
1. Mahasiswa mendengarkan serta menyimak sebagian isi modul ini dengan baik
dan dapat juga membaca secara keseluruhan isi modul.
2. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain
yang berkaitan dengan isi modul.
3. Mahasiswa dapat memperbandingkan dan mendiskusikan isi modul dengan
dosen dan dengan sesama mahasiswa lainnya.
4. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi modul.
5. Mahasiswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan
belajar.
6. Mahasiswa mengevaluasi pemahamannya pada isi modul dengan melihat kunci
jawaban yang sudah disediakan.
7. Jika hasil evaluasi kurang dari yang semestinya, maka mahasiswa wajib
mempelajari kembali isi modul sampai benar-benar mengerti dan dapat
menjawab pertanyaan dengan benar.
G osip dan infotaintment menjadi acara favorit setiap stasiun televisi, bahkan
penayangan acara ini melebihi kewajiban umat Islam menunaikan ibadah shalat
lima waktu setiap harinya, padahal acara ini memaparkan seputar kehidupan selebritis
bahkan gosip atau aib seorang selebritis yang menarik diberitakan kepada publik,
padahal dalam Islam aib seseorang harus disembunyikan atau dirahasiakan. Lalu
bagaimana Islam memandang hukum acara gosip dan infotaintment ini.
Gosip adalah suatu informasi yang belum diteliti kebenarannya, dalam Islam
gosip disebut dengan prasangka atau persangkaan. Islam mengajarkan kepada manusia
untuk tidak berprasangka buruk tetapi harus selalu berprasangka baik kepada orang
lain. Meskipun prasangka buruk itu benar terjadi pada diri seseorang maka prasangka
tersebut disebut dengan aib. Aib ini kemudian harus selalu disembunyikan dan tidak
disebarkan kepada publik.
Sedangkan infotaintment adalah berita yang menghibur. Menjadi aneh adalah
suatu yang tujuannya untuk menghibur ternyata menyebarkan aib seorang selebritis.
Dan anehnya juga semua masyarakat Indonesia tertarik dengan gosip terlebih gosip
berkaitan dengan aib atau keburukan mereka. Karena Islam menghendaki
masyarakatnya penuh dengan kejernihan hati dan rasa saling percaya, bukan saling
meragukan dan membimbangkan, menuduh bahkan saling bersangka buruk. Untuk
itu, turunlah ayat al-Quran yang menjelaskan tentang pengharaman sikap su’udhan
(berburuk sangka) demi melindungi kehormatan orang lain.
Kemudian Islam juga telah mengharamkan perbuatan tajassus yang bertujuan
untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Karena Islam bertujuan agar masyarakatnya
selalu ada dalam situasi bersih, lahir dan batin. Oleh karena itu, larangan bertajassus
ini dibarengi dengan larangan su’udhan (buruk sangka). Kebanyakan suudhan timbul
karena adanya tajassus. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat
mereka untuk menusuk matanya.” (HR. Bukhari Muslim).
ucapan syukur dan istighfar mengalir dari hati yang paling dalam. Syukur kalau diri
ini ternyata lebih baik. Dan istighfar jika terlihat bahwa diri sendiri lebih buruk.
Tatap aib saudara mukmin lain dengan pandangan baik sangka. Mungkin ia
terpaksa, mungkin itulah pilihan terburuk dari salah satu pilihan yang terburuk.
Mungkin langkah dia jauh lebih baik dari langkah kita, jika berada pada situasi dan
kondisi yang sama.
Membuka aib seorang mukmin berarti memperlihatkan aib sendiri, seorang
mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Sebuah persaudaraan yang lebih
sakral ketimbang satu ayah satu ibu, karena Allah Swt sendiri yang mengatakan
kekuatan persaudaraan itu.
satu anggota badan yang sakit, maka seluruh tubuh akan ikut menderita tidak
dapat tidur dan kepanasan.” (HR Bukhari)
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
pada seseorang. Mungkin yang sedang tren sekarang adalah –maaf– gosip. Atau
membicarakan keburukan teman kepada teman yang lain.
Meski apa yang dikatakan benar adanya dan terdapat pada diri seseorang,
menggunjing –membicarakan aib– seseorang adalah perbuatan haram dan termasuk
dosa besar. Baik aib yang dibicarakan itu benar-benar ada pada diri seseorang maupun
tidak ada. Dan Allah tidak memaafkan dosa menggunjing sebelum orang yang
menggunjing meminta maaf kepada saudaranya yang dibicarakan tersebut. Allah
berfirman,
“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujuraat:12)
Nabi Saw pernah ditanya tentang menggunjing, beliau bersabda,
“Engkau membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak suka (bila
hal itu dibicarakan)”.
Lalu, ada yang bertanya, “Bagaimana bila yang aku katakan itu memang benar
ada pada saudaraku?” Beliau menjawab,
“Jika memang benar bahwa yang kau katakan itu ada padanya, berarti engkau
telah menggunjingnya, dan jika itu tidak ada padanya, berarti engkau telah
berdusta tentangnya”. (HR. Muslim)
Dalam hadits riwayat Abu Daud diceritakan bahwa pada saat Nabi diMi’rajkan
oleh Allah beliau melihat suatu kaum dengan kuku-kuku terbuat dari kuningan, mereka
mencakar wajah dan dada mereka dengan kuku-kuku tersebut, lalu beliau
menanyakan tentang mereka, kemudian dijawab bahwa mereka itu adalah orang-
orang yang memakan daging manusia dan merusak kehormatan manusia.
Begitu buruknya perilaku menggunjing ini sehingga begitu buruk pula balasan
yang akan didapatkan oleh orang yang suka membicarakan aib saudaranya dan merusak
kehormatam saudaranya. Selain itu, membicarakan aib seseorang bisa menjadi faktor
pemicu kebencian dan permusuhan dalam diri seseorang.
Ada menggunjing yang diperbolehkan. Menurut Ustadz Othman Shihab,
diperbolehkan menggunjing terhadap seseorang yang sudah tidak malu dengan aibnya
sendiri. Misal, pada saat ramadhan ada orang yang makan dan minum di depan banyak
orang, maka jika kita mengatakan, “si fulan tidak berpuasa” kepada orang lain, hal
itu diperbolehkan. Karena orang tersebut tidak malu lagi dengan perilakunya.
Kemudian dibolehkan membicarakan aib seseorang jika aibnya mengambil hak
ummat. Misalnya, koruptor atau orang yang telah terbukti melakukan korupsi. Hal
ini karena korupsi telah merampas hak-hak ummat.
Namun, alangkah baiknya jika kita tetap berusaha untuk tidak membicarakan
aib seseorang. Entah aib itu ada pada diri seseorang ataupun tidak. Seseorang yang
berusaha menutupi aib saudaranya dan tidak membicarakan aib tersebut, –insyaAllah–
Allah akan menyembunyikan aib orang itu.
Keaiban kadangkala dianggap suatu yang baik untuk dikongsi di atas banyak
sebab, antaranya untuk melepaskan tekanan perasaan, untuk menimbulkan rasa
insaf, sebagai pelajaran bagi orang lain, untuk menjadikan diri dipandang mulia,
memberi alasan dan sebagainya. Atas apa alasan pun, membocorkan keaiban
merupakan suatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul. Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Dia tidak menganiayanya
dan tidak pula membiarkan dia teraniaya. Siapa yang menolong keperluan
saudaranya maka Allah akan menolong keperluannya pula. Siapa yang
menghilangkan kesusahan seorang Muslim, Allah akan menghilangkan
kesusahannya di hari kiamat. Dan siapa yang menutup keaiban seorang Muslim,
maka Allah SWT akan menutup keaibannya di hari akhirat.” (HR Bukhari)
“Siapa yang merusakkan nama baik atau harta benda orang lain, maka minta
maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang hari di mana mata wang
tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai amal baik, sebahagian dari amal itu akan
diambil sesuai dengan kadar aniaya yang dilakukannya. Seandainya ia tidak
mempunyai amal baik maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan
kepada dosanya.” (HR Bukhari)
“Tiada seorang yang menutupi aurat( keaiban) orang di dunia, melainkan
Allah akan menutupi keaibannya di hari kiamat.” (HR Muslim)
Bahkan, keaiban yang dilarang untuk diceritakan itu bukan cuma keaiban orang
lain. Keaiban diri sendiri juga harus dan perlu ditutup oleh setiap orang. Rasulullah
SAW bersabda:
“Semua umat ku selamat kecuali orang yang terang-terangan melakukan dosa.
Dan termasuk terang-terangan itu adalah seorang yang melakukan dosa di
waktu malam gelap mendadak pagi-pagi diceritakan kepada orang lain. Padahal
semalam Allah telah menutupi dosanya itu tetapi setelah paginya dia
membuka apa yang Allah tutup itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Keburukan dan kelemahan seseorang yang disebar-sebarkan akan menimbulkan
perpecahan dan sangka buruk di dalam masyarakat. Perasaan ukhuwwah akan hilang
dan digantikan dengan perasaan benci-membenci dan saling menaruh perasaan
dendam. Biasanya seseorang yang membuka keaiban diri kepada orang lain akan
menggoda orang yang mendengar untuk membuka keaiban dirinya pula untuk memberi
nasihat atau sekadar balasan perkongsian tadi. Kalau tidak pun orang yang mendengar
akan mula berburuk sangka atau termotivasi untuk melakukan perbuatan yang sama.
Seandainya keaiban tadi adalah keaiban orang lain pula, maka itu sudah masuk
ke dalam kategori mengumpat dan seperti yang Allah fimankan tadi, perbuatan itu
diumpamakan sperti memakan daging saudara kita yang telah mati. Jelas perbuatan
ini merupakan punca perpecahan dan perbalahan sesama muslim. Bahkan, seperti
juga membuka aib sendiri, membuka keaiban orang lain juga memotivasi orang yang
mendengar untuk berkongsi keaiban orang lain yang dia ketahui juga. Maka tersebar
luaslah keburukan dan keaiban di dalam masyarakat sehingga terbuka luaslah pintu-
pintu kehancuran, fitnah dan perpecahan di dalam masyarakat.
Dengan demikian, Islam tidak menghendaki gosip yang disebarkan dalam acara-
acara hiburan sepert infotaintmen, karena acara ini tidak mendidik masyarakat tetapi
9. Berikut ini dalil bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah saudara:
10. Berikut ini ganjaran bagi orang yang menutupi aib saudaranya:
A. Allah akan memasukkannya ke neraka
B. Allah akan mencelakakannya
C. Allah akan menutup aibnya
D. Allah akan membuka aibnya.
PETUNJUK BELAJAR
Untuk mempelajari modul ini hendaknya diterapkan bebarapa langkah berikut ini:
1. Mahasiswa mendengarkan serta menyimak sebagian isi modul ini dengan baik
dan dapat juga membaca secara keseluruhan isi modul.
2. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain
yang berkaitan dengan isi modul.
3. Mahasiswa dapat memperbandingkan dan mendiskusikan isi modul dengan
dosen dan dengan sesama mahasiswa lainnya.
4. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi modul.
5. Mahasiswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan
belajar.
6. Mahasiswa mengevaluasi pemahamannya pada isi modul dengan melihat kunci
jawaban yang sudah disediakan.
7. Jika hasil evaluasi kurang dari yang semestinya, maka mahasiswa wajib
mempelajari kembali isi modul sampai benar-benar mengerti dan dapat
menjawab pertanyaan dengan benar.
Sayidah Aisyah yang kala itu berusia sekitar 10 tahun tidak dapat dijadikan sandaran
dan dasar pegangan menikahi gadis di bawah umur dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, pernikahan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul,
“Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali,
Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini
adalah isterimu”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan
karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah bin Hakim yang
masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah
wafatnya Sayidah Khadijah, isteri tercintanya, sangat membutuhkan pendamping
dalam mengemban dakwah Islam.
Ketiga; perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting
dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam berbagai
aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuan yang
banyak dari mereka bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan
kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber
ilmu pengetahuan sepanjang zaman.
Keempat, masyarakat Islam (Hijaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah
nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda,
namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi
buruk dan negatif dalam masyarakat. (Amiruddin Thamrin, Id.Wikipedia.com).
Berbeda dengan pendapat di atas, Hilman Rosyad berpendapat bahwa menikahi
gadis di bawah umur tidak masalah, karena secara syariah Islam selama perempuan
sudah haid maupun belum haid sekalipun dapat dinikahkan. Jadi secara hukum agama
tidak masalah, diperbolehkan. Rasulullah menikahi Aisyah di usia 7 tahun, tetapi
tidak bersetubuh sampai akil balig.
Lebih lanjut Hilman mengatakan bahwa secara agama, kesehatan, psikologis
maupun sosiologis pernikahan itu tidak ada masalah. Secara agama sudah tidak ada
masalah. Secara kesehatan juga tidak masalah menikahi gadis di bawah umur kalau
sudah balligh tidak masalah, selama asupan gizinya tercukupi, jadi kalau dia hamil
dan masih dalam masa pertumbuhan dia cukup membutuhkan gizi yang lebih baik.
Selama tercukupi gizinya tidak menjadi masalah. Jika dilihat dari sisi psikologis pun
tidak masalah. Karena perkembangan psikologis beriringan dengan perkembangan
biologis. Jika normal, secara metabolisme mempengaruhi sikap psikologisnya, begitu
juga secara sosial bahwa orang tua akan bangga anaknya dinikahi oleh orang yang
lebih mapan dan dewasa (terlebih jika kiayi yang menikahinya seperti kasus Syekh
Fuji yang menikahi Ulfa) ketimbang dengan pemuda tanggung. Dan dari tinjauan
pendidikan, jika suaminya baik dan konsen pada pendidikan isterinya, maka
melibatkan isterinya meneruskan pendidikannya baik formal maupun nonformal.
(http://openx.detik.com)
Sependapat dengan Hilman, Umar Shihab ketua umum MUI berpendapat bahwa
menikahi perempuan yang sudah balligh dan memenuhi syarat-syarat pernikahan
secara Islam dibenarkan. Tetapi pernikahan tersebut melanggar Undang-undang
perkawinan. Bahkan jika pernikahan tersebut terbukti ada tanda-tanda pemaksaan
dan pelanggaran hak anak, maka pernikahan tersebut dipertanyakan dan dapat
dalam bahasa Inggris diistilahkan “virgin”. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ‘Aisyah
yang disebut bikr dalam hadis di atas telah melewati masa kanak-kanak dan mulai
menapaki usia dewasa saat menikah dengan Nabi.
Bahkan dalam perspektif al-Quran bahwa sebagai muslim merupakan kewajiban
untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Alqur’an. Sebenarnya, tidak
ada satu ayat pun yang seucara eksplisit mengizinkan pernikahan seperti itu. Ada
sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski
substansi dasarnya adalah tuntunan bagi Muslim dalam mendidik dan memperlakukan
anak yatim. Meski demikian, petunjuk Alqur’an mengenai perlakuan terhadap anak
yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri.
Ayat tersebut adalah:
“Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta),
maka serahkan kepada mereka harta bendanya” (QS. al-Nisa’: 6).
Dalam kasus anak yang ditinggal wafat oleh orang tuanya, seorang bapak asuh
diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka “sampai usia
menikah” sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini, ayat
Alqur’an mempersyaratkan perlunya test dan bukti obyektif perihal tingkat
kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia
nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya.
Dengan demikian, logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang
mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak,
tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik dan intelektual
untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakr al-Shiddiq, seorang pemuka
sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian
menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah
abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit untuk dibayangkan bahwa Nabi SAW
menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun.
Namun pendapat ini dibantah oleh Ibnu Mundzir yang dikutip Muhammad
Djabir bahwa Menikahi atau menikahkan perempuan di bawah umum, sebelum
haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf
di kalangan ulama’. Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa
seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya
mubah (sah).”
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang
menyatakan:
yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri
‘Ali bin Abi Thalib, dan Qudamah bin Math’ghun yang menikahi putri Zubair.
ke Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam
adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan sedikit pun terhadap riwayat yang datang
darinya, kecuali setelah dia menetap di Irak.” Tidak bisa digunakan untuk
menjustifikasi, bahwa hadits pernikahan Aisyah tersebut tidak kredibel. Sebab,
semua ahli hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa hadits Hisyam tetap kredibel,
terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih. Salah satunya, bisa kita lihat
pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang yang jujur (shaduq), dimana haditsnya
banyak masuk di dalam kitab Shahih.”
Jika kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi Hisyam
setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan kesimpulan seperti
ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya asumsi. Karenanya, kesimpulan
hadits tersebut tidak kredibel, karena faktor Hisyam, ini merupakan kesimpulan
logika mantik. Inilah sebenarnya yang terjadi. Karena itu, cara berfikir seperti ini
sangat fatal.
“Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu
mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya”
(QS. al-Nisa’: 6).
Di sini, ayat Alqur’an ini mempersyaratkan perlunya test dan bukti
obyektif perihal tingkat kematangan fisik dan kedewasaan intelektual
anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan
pengelolaan harta benda kepadanya.
6. Namun ada ayat lain tentang iddah wanita yang belum haid yakni
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang belum haid. (QS. al-Thalaq:4). Ayat ini
menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi wanita di bawah umur. Karena
syarat iddah adalah adanya perkawinan. Keterangan ayat ini juga
dikuatkan dengan pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah: “Saya
dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda
membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq
‘Alaih)
4. Berikut ini usia yang dianjurkan menikah bagi wanita berdasarkan UU Perkawinan:
A. 16 tahun C. 18 tahun
B. 17 tahun D. 19 tahun
10. Berikut ini anjuran Rasulullah bagi mereka yang belum mampu untuk menikah:
A. Mencari nafkah C. Berpuasa
B. Berolah raga D. Berdzikir
TES FORMATIF 2
1. A
2. B
3. B
4. C
5. D
6. A
7. A
8. C
9. B
10. C
TES FORMATIF 3
1. B
2. A
3. D
4. A
5. D
6. C
7. A
8. B
9. A
10. C
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fadl Muhsin, 1997, Aborsi Kontrasepsi dan mengatasi Kemandulan, Bandung:
Mizan.
Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam:
Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan.
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Jamaludin Miri, Jakarta:
Pustaka Amani, 1999.
Abd Rahman Umran, 1997, Islam dan KB, Jakarta:Lentera.
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas,
2008.
Dadang Hawari, Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Hisyam Tholbah, Ensiklopedia Mukjizat al-Quran dan Sunnah, jilid 3.Sapta Sentosa,
2008.
Sayid Qutb, Fi Zhilalil Quran,
Mahjuddin, 2005, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997
M. Ali Hasan 1997, Masil Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: Raja Grafindo.
Muhlish Usman, MA Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo,
1996
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.
www.wordpress.com