You are on page 1of 11

Menara Perkebunan, 2005, 73 (1), 1-11

Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman kina


(Cinchona ledgeriana Moens)
Growth of callus and cell suspension cultures of cinchona (Cinchona ledgeriana Moens)

SUMARYONO & Imron RIYADI


Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor 16151, Indonesia

Summary Ringkasan

In vitro technology of plants can be used to Teknologi in vitro tanaman dapat digunakan
propagate plants and to produce secondary untuk memperbanyak tanaman dan memproduksi
metabolites with a short and continuous senyawa sekunder dengan siklus sangat singkat
production cycle. Callus cultures of cinchona dan berkelanjutan. Biak kalus tanaman kina
(Cinchona ledgeriana Moens) on solid media and (Cinchona ledgeriana Moens) pada medium
cell cultures in liquid media have been padat dan biak sel di medium cair telah
established. Callus could be easily initiated from dikembangkan. Kalus dengan mudah dapat
various explants of cinchona clone CB5, GA22 diinduksi dari berbagai jenis eksplan tanaman
and QRC312. The best callus initiation and kina klon CB5, GA22 dan QRC312. Inisiasi dan
proliferation were obtained on a Woody Plant proliferasi kalus terbaik diperoleh pada media
(WP) solid medium supplemented with 15 µM Woody Plant (WP) padat dengan pikloram 15
picloram,0.5 µM BAP and 1 µM phloroglucinol. µM, BAP 0,5 µM dan floroglusinol 1 µM. Pada
In this medium the fresh weight of callus medium ini bobot basah kalus meningkat 12-14
increased by 12 to 14-fold within 5 to 6 weeks. kali lipat dalam waktu 5-6 minggu. Kalus yang
Callus that constantly grew fast was selected as a tetap tumbuh cepat dipilih sebagai sumber bahan
material source for cell suspension cultures. In untuk biak suspensi sel. Dalam medium cair WP
WP liquid medium with the same composition, dengan komposisi yang sama, sel tetap tumbuh
the cells remained to grow fast where cell volume dengan pesat, volume sel setelah pengendapan
after sedimentation (CVS) increased by almost (CVS) meningkat hampir empat kali lipat dalam
4-fold in two weeks. However, repeated sub- waktu dua minggu. Namun subkultur berulang
cultures decreased cell growth rate. The cell menurunkan laju pertumbuhan sel. Skala biak
suspension culture was then scaled-up in a 5-L suspensi sel kemudian diperbesar dalam bio-
bioreactor. The culture medium was the same as reaktor kapasitas 5 L. Medium kultur yang
in Erlenmeyer flasks. Cells in a bioreactor grew digunakan sama dengan medium pada labu
very slowly, the cell biomass fresh weight and Erlenmeyer. Pertumbuhan sel dalam bioreaktor
packed cell volume (PCV) increased by 34% and sangat lambat, bobot basah sel dan packed cell
50% respectively after 21 days of culture, volume (PCV) hanya bertambah berturut-turut
although most of the cells remained viable. sebesar 34% dan 50% setelah 21 hari dalam
kultur, walaupun sebagian besar sel tetap viabel.
[Key words: Bioreactor, callus culture, cell-
suspension culture, Cinchona
ledgeriana, in vitro culture]

1
Sumaryono & Riyadi

Pendahuluan Erlenmeyer, tetapi produksi komersial harus


dilaksanakan dalam bioreaktor skala besar.
Alkaloid kuinolin utama yang Senyawa sekunder pertama yang diproduksi
dihasilkan dari kulit batang kina adalah secara komersial dari biak sel adalah
kinin, kinidin, sinkonin dan sinkonidin. shikonin (bahan pewarna dan antiseptik) dari
Kulit batang kina baru bisa dipanen setelah Lithospermum erythrorhizon (Fujita et al.,
tanaman berumur 6 sampai 12 tahun dengan 1982). Meskipun berbagai penelitian telah
cara menebang pohonnya. Teknologi in vitro dilakukan secara intensif, sampai saat ini
tanaman dapat digunakan antara lain hanya beberapa senyawa sekunder lain yang
untuk memproduksi senyawa sekunder. telah memasuki tahap komersial antara lain
Keuntungan dari metode ini adalah periode adalah berberine, ginseng, purpurin,
daur produksi yang sangat pendek dan paklitaksel (taxol) dan asam rosmarinat
berulang antara dua sampai empat minggu. (Alfermann & Petersen, 1995; Walton,
Di samping itu, produksi senyawa sekunder 1999; Collin, 2001). Masalah utama dalam
in vitro dapat dilakukan di mana saja tanpa biak sel tanaman skala besar adalah
bergantung pada faktor iklim. Jumlah perimbangan antara kebutuhan akan
senyawa sekunder yang berhasil diisolasi pengadukan untuk mencampur medium dan
dari biak tanaman in vitro meningkat dengan mencegah sel-sel menggumpal dengan
drastis sejak tahun 1980, dan pada tahun adanya kenyataan bahwa sel tanaman peka
1992 jumlahnya berkisar 140 (Stockigt terhadap benturan dengan baling-baling bio-
et al., 1995). reaktor, walaupun beberapa spesies tanaman
Produksi kuinolin dari kultur in vitro diketahui tidak terpengaruh (Wilson &
tanaman kina telah dilakukan menggunakan Hilton, 1995). Oleh karena itu, selain bio-
kalus (Staba & Chung, 1981), suspensi sel reaktor berpengaduk, dibuat desain lain
(Anderson et al., 1982; Koblitz et al., 1983; misalnya bioreaktor dengan sistem bubble
Wijnsma et al., 1986) dan akar transform column, air-lift dan rotating drum (Panda
(Hamill et al., 1989; Geerlings et al., 1999; et al., 1989; Singh, 1997).
Toruan-Mathius et al., 2004). Produksi Tujuan penelitian ini adalah untuk
alkaloid dari kultur in vitro tersebut beragam mendapatkan formulasi media dan kondisi
dan masih sangat rendah, kurang dari 1 mg/g yang optimum bagi biak kalus dan biak
bobot kering. Keunggulan biak sel adalah suspensi sel tanaman kina klon unggul
singkatnya daur produksi yang hanya 2-3 Indonesia.
minggu dan tingkat multiplikasi sel yang
relatif cepat. Di samping itu, kultur suspensi Bahan dan Metode
sel memungkinkan dengan mudah untuk
ditingkatkan skala produksinya (scale up) Bahan tanaman
dalam bioreaktor (Collin, 2001).
Jenis eksplan yang digunakan adalah
Peningkatan volume biak sel dan organ
daun muda berwarna hijau kecokelatan dari
tanaman sangat penting dalam usaha
tanaman di rumah kaca dan tanaman muda
komersialisasi produk (Roberts & Shuler,
asal benih yang dibiakkan in vitro.
1997). Penelitian awal hampir selalu
Tanaman kina Cinchona ledgeriana klon
dilakukan dalam skala kecil di labu
CB5, GA22 dan QRC312 asal sambungan

2
Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman kina

berumur enam bulan diperoleh dari Pusat eksplan dalam setiap cawan Petri. Masing-
Penelitian Teh dan Kina, Gambung masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali.
kemudian ditumbuhkan di rumah kaca. Kultur kemudian diletakkan di ruang kultur
Sedangkan benih kina yang diperoleh dari di bawah cahaya dengan intensitas sekitar
KP Pasir Sarongge, Cipanas dikecambahkan 30 µmol foton/m2/s dengan lama pen-
dengan disterilisasi terlebih dahulu meng- cahayaan 14 jam per hari dengan suhu 25°C.
gunakan Dithane M45 0,2% dan kloroks Enam minggu setelah kultur, jumlah eksplan
20% masing-masing selama 15 menit, yang membentuk kalus diamati. Kalus ber-
kemudian dibilas beberapa kali dengan air warna kuning dari klon CB5 disubkultur dan
steril. Selanjutnya benih dikecambahkan digunakan sebagai bahan untuk proli-ferasi
pada kertas saring di cawan Petri. Setelah kalus secara rutin. Untuk proliferasi kalus
2 - 3 minggu, kecambah yang tumbuh digunakan medium MS dengan sukrosa
dikulturkan pada medium padat 1/2 MS 40 g/L, Gelrite 2 g/L, PVP 1%, sistein
(Murashige & Skoog, 1962) di botol kultur 100 mg/L, kinetin 1 µM dengan 2,4-D
kecil yang diletakkan di bawah cahaya 1 atau 10 µM dan medium Woody Plant
dengan intensitas sekitar 30 µmol foton/m2/s (WP) (Lloyd & McCown, 1981) dengan
dengan lama pencahayaan 14 jam per hari. sukrosa 30 g/L, Gelrite 2 g/L, floroglusinol
Tanaman muda in vitro digunakan sebagai 1 µM, BAP 0.5 µM dengan pikloram 15 atau
bahan eksplan berumur dua bulan yaitu 30 µM. Rancangan percobaan yang diguna-
setelah mempunyai sedikitnya dua pasang kan adalah rancangan acak lengkap dengan
daun. lima ulangan.
Induksi dan proliferasi kalus selanjutnya
Induksi dan proliferasi kalus dilakukan dalam medium terbaik dari hasil
Eksplan daun muda dari tanaman yang percobaan yang diperoleh. Kalus diper-
dipelihara di rumah kaca dicuci dengan banyak dengan melakukan subkultur bebe-
deterjen selama lima menit dan dibilas air, rapa kali. Untuk mendapatkan kurva
kemudian direndam dalam larutan kloroks pertumbuhan kalus dan saat subkultur yang
20% selama 15 menit dan dibilas air steril tepat, kalus remah asal klon CB5 dikultur-
3-4 kali. Eksplan asal tanaman in vitro tidak kan pada medium WP dengan pikloram 15
disterilisasi. Medium dasar untuk meng- dan 30 µM pada botol kultur berdiameter
induksi kalus adalah MS dengan sukrosa 8 cm dan tinggi 12 cm. Sebanyak masing-
30 g/L, Gelrite 2 g/L, floroglusinol 1 µM masing empat botol dipilih secara acak
dan kinetin 1 µM. Perlakuan yang diguna- setiap minggu, kalusnya dipanen dan bobot
kan adalah konsentrasi 2,4-D 1, 5, 25 dan basah kalus kemudian ditimbang. Panen
50 µM. pH medium diatur 5,7 sebelum kalus dilakukan sampai dengan minggu ke 8.
diautoklaf pada suhu 121°C dan tekanan Biak suspensi sel
udara 1,0 kg/cm2 selama 20 menit.
Sebanyak 10 mL medium dituang dalam Kalus yang tumbuh cepat asal klon kina
cawan Petri kecil berdiameter 5 cm. Bagian CB5 dipilih untuk dijadikan sebagai sumber
pinggir daun dibuang kemudian dipotong bahan biak suspensi sel. Sebanyak kurang-
segi empat dengan ukuran 7 mm x 7 mm dan lebih 1 g kalus ditransfer ke dalam 25 mL
dikulturkan pada medium sebanyak tiga medium cair WP dengan zat pengatur

3
Sumaryono & Riyadi

tumbuh sama dengan medium padat. Labu Hasil dan Pembahasan


Erlenmeyer yang digunakan adalah labu
bersekat (buffle flasks) berukuran 100 mL. Induksi kalus
Kultur tersebut kemudian diletakkan di atas
Kalus mulai terbentuk pada eksplan
mesin pengocok dengan kecepatan 100 rpm.
daun tanaman kina sekitar dua minggu
Setelah dua minggu kultur disaring dengan
setelah dikultur. Hasil sidik ragam (analysis
ukuran 1000 µm dan disubkultur pada
of variance) menunjukkan bahwa konsen-
medium cair yang sama di labu Erlenmeyer
trasi 2,4-D mempengaruhi secara sangat
biasa berukuran 100 mL. Pengamatan per-
nyata persentase pembentukan kalus dari
tumbuhan suspensi sel dilakukan setiap dua
eksplan daun. Sebanyak 80-95% dari eks-
hari terhadap 10 labu dengan menggunakan
plan membentuk kalus pada medium MS
alat ukur cell volume after sedimentation
dengan perlakuan 2,4-D 1 µM, sedangkan
(CVS) menurut Blom et al. (1992). Laju
pada konsentrasi tinggi yaitu 25 dan 50 µM
pertumbuhan sel diamati selama empat kali
hanya kurang dari 30% eksplan yang mem-
kultur setiap dua minggu untuk meneliti
bentuk kalus (Gambar 1). Hasil sidik ragam
kestabilan pertumbuhan sel setelah beberapa
juga memperlihatkan bahwa faktor klon
kali subkultur. Viabilitas sel diamati dengan
tidak berpengaruh terhadap persentase pem-
melakukan pewarnaan menggunakan larutan
bentukan kalus dan tidak terdapat interaksi
Evans blue 0,5 % selama lima menit dan
antara konsentrasi 2,4-D dan jenis klon.
diamati di bawah mikroskop (Baker &
Mock, 1994; Riyadi & Tahardi, 2003).
Kumpulan sel dalam labu Erlenmeyer
dijadikan sebagai sumber bahan untuk kultur
100
dalam bioreaktor. Kerapatan awal inokulum
Pembentukan kalus (%)

sel di bioreaktor berpengaduk (Applikon) 80


Callus initiation (%)

kapasitas 5 L adalah 4% (w/v). Komposisi


60
medium yang digunakan sama dengan
medium untuk biak sel di labu Erlenmeyer 40
kecuali dengan penambahan antibiotika 20
rifampisin 15 mg/L. Peubah yang diukur QRC312
setiap hari adalah pH, oksigen terlarut 0 GA22
1 CB5
(dissolved oxygen = dO2) dan suhu kultur, 5
25
sedangkan bobot basah biomassa sel, packed 50
2,4-D (µM
)
cell volume (PCV), dan viabilitas sel diamati
Gambar 1. Persentase pembentukan kalus dari
dari contoh suspensi sel sebanyak 10 mL
eksplan daun kina C. ledgeriana klon
yang diambil setiap tiga hari sampai umur CB5, GA22 dan QRC312.
21 hari. Kecepatan agitasi di bioreaktor
diatur 60 rpm dengan suhu kultur sekitar Figure 1. Percentage of callus initiation on leaf
explants of C. ledgeriana clone CB5,
25 °C.
GA22 and QRC312.

4
Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman kina

Kalus dapat diinduksi dari daun muda dua kali lipat dalam empat minggu dan
tanaman sambungan atau dari tanaman asal mudah mencokelat. Proliferasi kalus terbaik
perkecambahan biji in vitro. Eksplan asal diper-oleh pada medium WP dengan
tanaman in vitro sering digunakan me- pikloram 15 atau 30 µM dikombinasikan
ngingat kemungkinan kontaminasi yang dengan BAP 0,5 µM. Biak kalus pada
tinggi pada eksplan asal lapangan. Dari medium WP ini tumbuh dengan sangat
hasil penelitian ini persentase kontaminasi cepat, bobot basah kalus meningkat 12-14
eksplan ex vitro sekitar 40% bila tanaman kali dari bobot awal dalam waktu enam
sumber eksplan diletakkan terlebih dahulu di minggu. Kalus yang diperoleh bertekstur
rumah kaca, sedangkan kontaminasi pada remah, berwarna putih kecokelatan dan tidak
eksplan asal tanaman in vitro sekitar 10%. mudah mengalami pencokelatan walaupun
Untuk menginduksi kalus tanaman kina, MS disubkultur berulang kali.
merupakan medium yang paling banyak Kurva pertumbuhan kalus yang tumbuh
digunakan walaupun medium B5 kadang- cepat ini memperlihatkan fase eksponensial
kala digunakan juga (Scragg et al., 1986; sudah mulai berlangsung setelah satu sampai
Wijnsma et al., 1986). Salah satu masalah dua minggu dan bobot basah tertinggi ter-
dalam induksi kalus dari tanaman kina capai pada umur enam minggu (Gambar 2).
adalah terjadinya pencokelatan (browning) Setelah itu bobot basah biomassa kalus
yang berlangsung relatif cepat. Dari menurun dengan drastis seiring dengan
penelitian ini juga terlihat bahwa penam- semakin sedikitnya medium yang tersedia
bahan 2,4-D juga berpengaruh terhadap dan mulainya kalus mengering. Hasil yang
pencokelatan eksplan daun kina. Enam diperoleh menunjukkan bahwa untuk biak
minggu setelah tanam, sebagian besar kalus kina sebaiknya disubkultur ke medium
eksplan mencokelat pada perlakuan 2,4-D baru setiap lima minggu. Bobot basah kalus
50 µM pada semua klon. Semakin rendah pada perlakuan pikloram 30 µM sedikit
konsentrasi 2,4-D, tingkat pencokelatan lebih rendah dibandingkan dengan pikloram
eksplan cenderung semakin rendah. 15 µM dan menurun lebih tajam setelah
Pencokelatan pada kina dapat diatasi antara umur enam minggu (Gambar 2), walaupun
lain dengan PVP (Anderson et al., 1982) secara statistik tidak berbeda nyata. Oleh
atau floroglusinol (Hunter, 1979). Dari karena itu, untuk kultur selanjutnya diguna-
ketiga klon kina yang diuji, persentase kan medium WP dengan pikloram 15 µM
pencokelatan tertinggi terjadi pada klon CB5 dan BAP 0,5 µM.
sebesar 59%, disusul GA22 sebesar 44%
dan QRC312 sebesar 28%.
Pertumbuhan sel dalam labu Erlenmeyer
Proliferasi kalus
Kalus remah yang tumbuh cepat pada
Mengingat jumlah kalus yang tersedia medium padat WP dengan pikloram 15 µM
maka untuk biak kalus dan sel selanjutnya dan BAP 0,5 µM dijadikan bahan untuk biak
digunakan kalus dari eksplan kina klon CB5. suspensi sel. Walaupun sebagian besar
Laju pertumbuhan kalus kina pada medium peneliti menggunakan medium B5 untuk
padat MS dengan 2,4-D 5 µM dan kinetin biak sel kina (Robins et al., 1986; Scragg
1 µM relatif lambat yaitu hanya meningkat et al., 1986; Wijnsma et al., 1986),

5
Sumaryono & Riyadi

16 16

14 14
Fresh weight of callus (g)

12
12
Bobot basah kalus (g)

10

CVS (ml)
10
8
8 6
6 4 1
2
4 2 3
4
Pikloram 15 µM 0
2
Pikloram 30 µM 0 2 4 6 8 10 12 14
0 Periode kultur (hari)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Culture period (day)

Periode kultur (minggu) Gambar 3. Kurva pertumbuhan lini sel kina


Culture period (week) C. ledgeriana yang tumbuh cepat
dalam medium cair WP dengan
pikloram 15 µM dan BAP 1 µM
Gambar 2. Kurva pertumbuhan kalus kina pada
pada kultur pertama (1), kultur
medium padat WP dengan penam-
kedua (2), kultur ketiga (3) dan
bahan pikloram 15 µM (l) atau
kultur keempat (4).
30 µM (n).
Figure 3. Growth curve of a fast-growing cell
Figure 2. Growth curve of cinchona callus on
line of C. ledgeriana in WP liquid
solid WP medium added with 15 µM
medium with 15 µM picloram and
(l) or 30 µM (n) picloram.
1 µM BAP at the first culture (1),
second culture (2), third culture (3)
and fourth culture (4).

pertumbuhan sel kina dalam medium cair B5 periode 14 hari (Gambar 3). Dari penelitian
dengan 2,4-D 10 µM dan kinetin 1 µM ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
sangat lambat, CVS sel hanya meningkat sel yang tinggi hanya berlangsung pada
dua kali lipat (dari 1,44 menjadi 2,86) dalam kultur pertama dan kedua. Dibandingkan
periode kultur 20 hari. Penggunaan medium dengan hasil penelitian lain, laju pertumbuh-
WP dengan pikloram 15 atau 30 µM dan an sel kina yang diperoleh relatif tinggi.
BAP 1 µM meningkatkan secara drastis laju Masa penggandaan (doubling time) sel
pertumbuhan sel kina, biomassa sel sekitar tujuh hari pada kultur pertama dan
meningkat sampai dengan empat kali dalam kedua (Gambar 3), sedangkan hasil
waktu 14 hari (Gambar 3). Namun, laju penelitian lain adalah lima hari (Koblitz et
pertumbuhan sel menurun sejalan dengan al., 1983; Wijnsma et al., 1986), 14 hari
dilakukannya subkultur secara berulang. (Staba & Chung, 1981), bahkan ada yang
Pada kultur ketiga dan keempat terlihat mencapai 28 hari (Robins et al., 1986).
bahwa laju pertumbuhan sel suspensi Perbedaan hasil ini berkaitan dengan perbe-
melambat menjadi 2 sampai 2,5 kali dalam daan bahan tanam, medium dan kondisi

6
Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman kina

kultur yang digunakan. Kurva pertumbuhan meningkatkan aerasi tanpa menimbulkan


sel menunjukkan laju pertumbuhan masih kerusakan sel. Biomassa sel yang tumbuh
tinggi dan belum menunjukkan fase per- pesat dalam labu Erlenmeyer digunakan
lambatan pada saat dilakukan subkultur sebagai inokulum untuk biak suspensi sel di
(umur 14 hari) terutama pada kultur pertama bioreaktor. Suspensi sel dalam bioreaktor
dan kedua (Gambar 3). Oleh karena itu, terdiri dari agregat sel yang merupakan
lama kultur sel mungkin dapat diperpanjang kumpulan individu sel yang berbentuk
melebihi 14 hari sebelum disubkultur ke memanjang (elongated cells) (Gambar 4).
media yang baru. Hasil percobaan oleh Viabilitas sel relatif tetap tinggi, hasil
Wijnsma et al. (1986) menunjukkan bahwa pengujian menunjukkan bahwa persentase
pertumbuhan sel kina masih meningkat sel yang viabel menurun perlahan sejalan
sampai dengan umur 18 hari, setelah itu dengan umur kultur, dan mencapai 81%
memasuki fase pelambatan. Viabilitas sel pada umur 21 hari. Pengamatan agregat sel
dalam kultur cair tetap tinggi, pengujian dengan mikroskop memperlihatkan bahwa
dengan Evans blue menunjukkan tingkat sebagian besar sel masih tetap utuh, hal ini
viabilitas sel sekitar 97% sampai dengan menunjukkan tidak terjadi kerusakan sel
umur 14 hari penambahan antioksidan, akibat pengadukan. Pertumbuhan biomassa
pencokelatan diatasi dengan memperpendek sel kina dalam kultur bioreaktor sangat
siklus kultur atau mengganti sebagian lambat. Bobot basah biomassa sel hanya
medium dengan medium baru dalam periode meningkat 34% sedangkan PCV meningkat
waktu yang sangat singkat misalnya setiap 50% setelah 21 hari dalam kultur (Gambar
3-4 hari (Koblitz et al., 1983). 5). Kemungkinan faktor penyebab lambat-
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nya pertumbuhan sel di bioreaktor adalah
dengan penambahan floroglusinol 1 µM dan bahan sel diperoleh dari kultur di labu
penggunaan kalus remah yang tumbuh pesat, Erlenmeyer yang sudah beberapa kali
baik biak kalus maupun suspensi sel tidak disubkultur sehingga laju pertumbuhannya
mengalami pencokelatan walaupun telah telah menurun. Faktor lain yang diduga kuat
disubkultur berulang kali. adalah ketersediaan oksigen yang kurang
memadai. Pada penelitian ini terjadi
Biak sel di bioreaktor kerusakan dalam pengukuran dO2 pada
Kondisi biak sel di bioreaktor diatur panel sehingga pasokan udara diatur secara
manual. Pasokan udara yang terlalu banyak
dengan suhu sekitar 25°C yang relatif stabil
menyebabkan timbulnya busa (foaming),
pada kisaran tersebut. Sedangkan pH kultur
oleh karena itu pasokan udara diatur
berkisar antara 4,1 pada awal kultur sampai
sehingga busa yang terbentuk hanya sedikit.
dengan 4,4 pada akhir penelitian yaitu pada
Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor
hari ke 21. Tingkat pH medium yang rendah
terpenting dalam pertumbuhan sel di bio-
ini sejalan dengan hasil pengamatan Koblitz
reaktor (Williams & Doran, 1995). Pen-
et al. (1983) yang memperlihatkan bahwa
cokelatan sel merupakan masalah utama
pH medium kultur kina menurun dari 5,7
dalam biak cair tanaman kina. Di samping
menjadi 4,0 setelah beberapa hari.
Pengadukan (mixing) sangat penting untuk
Kecepatan pengadukan diatur 60 rpm untuk
mempertahankan keseragaman kondisi
mencegah penggumpalan agregat sel dan

7
Sumaryono & Riyadi

0,6 0,20

Fresh weight of cell biomass (g)


0,5 0,16

Bobot biomassa sel (g)


0,4
0,12

PCV (%)
0,3
0,08
0,2

0,1 0,04

0,0 0,00
0 3 6 9 12 15 18 21
Periode kultur (hari)
Culture period (day)

Gambar 5. Kurva pertumbuhan bobot basah


Gambar 4. Agregat sel dalam kultur suspensi sel biomassa sel dan PCV selama satu
kina di bioreaktor terdiri dari sel-sel periode kultur di bioreaktor.
yang berbentuk memanjang.
Figure 5. Growth curve of biomass fresh
Figure 4. Cell aggregates in a cinchona cell weight and PCV over one culture
suspension culture in a bioreactor period in a bioreactor.
consist of elongated cells.

fisiologis di dalam bejana kultur. Pengaduk 4,4 yang jauh lebih rendah dari pH medium
an memperbaiki pertumbuhan dengan me- yang diatur pada kisaran 5,7 – 5,8 pada saat
ningkatkan transfer hara dari fase cair dan membuat medium sebelum diautoklaf. Di
gas ke dalam sel dan meningkatkan aerasi. samping itu, intensitas cahaya rendah di-
Pada penelitian ini kecepatan putaran diatur sebabkan bioreaktor diletakkan di ruangan
60 rpm yang merupakan kecepatan optimum yang sumber cahayanya hanya berasal dari
untuk biak sel embriogenik tanaman kelapa lampu TL yang terletak di plafon. Hal ini
sawit (Tahardi, 1999). Hasil pengamatan menyebabkan intensitas cahaya yang
menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan diterima kultur di bioreaktor jauh lebih
60 rpm tidak merusak keutuhan sel (Gambar rendah dari yang diperoleh pada saat biak sel
4). Kecepatan ini mungkin perlu ditingkat- di labu Erlenmeyer di ruang kultur.
kan sampai batas tertentu yang fungsinya
sebagai pengaduk dan pemasok oksigen
Kesimpulan
lebih optimum tetapi tidak sampai merusak
keutuhan sel tanaman.
Komposisi medium terbaik untuk
Beberapa faktor lain yang mungkin
induksi kalus dari eksplan daun tanaman
mempengaruhi pertumbuhan sel di bio-
kina C. ledgeriana adalah MS dengan 2,4-D
reaktor adalah pH kultur yang rendah dan
1 µM dan kinetin 1 µM. Proliferasi kalus
intensitas cahaya yang kurang. Pada pene-
pada medium WP dengan pikloram 15 µM
litian ini pH kultur stabil pada kisaran 4,1 –
dan BAP 0,5 µM memperlihatkan

8
Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman kina

pertambahan biomassa kalus 12 sampai 14 5th Intl. Cong. Plant Tissue and Cell Cult.,
kali lipat dalam waktu lima minggu. Peng- p. 399-400.
gunaan florogusinol 1 µM efektif dalam Geerlings, A., D. Hallard, A. M. Caballero,
menekan terjadinya pencokelatan kalus kina. I. L. Cardoso, R. van der Heijden &
Medium terbaik untuk kultur suspensi sel R. Verpoorte (1999). Alkaloid production
kina dalam labu Erlenmeyer adalah medium by a Cinchona officinalis 'Ledgeriana' hairy
WP ditambah pikloram 15 µM, BAP 0,5 µM root culture containing constitutive
dan rifampisin 15 mg/L. Namun, pertum- expression constructs of tryptophan
buhan biomassa sel kina menjadi lambat decarboxylase and strictosidine synthase
dalam kultur bioreaktor. cDNAs from Catharanthus roseus. Plant
Cell Rep., 19, 191-196.

Hamill, J.D., R.J. Robins & M.J.C. Rhodes


Daftar Pustaka (1989). Alkaloid production by transformed
root cultures of Cinchona ledgeriana. Plant.
Alfermann, A.W. & M. Petersen (1995). Natural Med., 55, 354-357.
product formation by plant cell
biotechnology: results and perspectives. Hunter, C.S. (1979). In vitro culture of Cinchona
Plant Cell Tiss. & Org. Cult., 43, 199-205. ledgeriana L. J. Hort. Sci., 54(2), 111-114.

Anderson, L. A., A.T. Keene & J.D. Phillipson Koblitz , H., D. Koblitz, H. P. Schmauder &
(1982). Alkaloid production by leaf organ, D. Groger (1983). Studies on tissue
root organ and cell suspesion cultures of cultures of the genus Cinchona spp. alkaloid
Cinchona ledgeriana. Plant. Med., 46, 25- production in cell suspension cultures. Plant
27. Cell Rep., 2, 122-125.

Baker, C. J. & N. M. Mock (1994). An Lloyd, G. & B. McCown (1981). Commercially


improved method for monitoring cell death feasible micropropagation of mountain
in cell suspension and leaf disc assays using laurel, Kalmia latifolia by use of shoottip
evans blue. Plant Cell, Tiss. & Org. Cult., culture. In Comb. Proc. Intl. Plant Prop.
39, 7-12. Soc. 30, 421-427.

Blom, T. J. M., W. Kreis, F. van Iren & Murashige, T. & F. Skoog (1962). A revised
K.R. Libbenga (1992). A non-invasive medium for rapid growth and biassays with
method for the rutine-estimation of fresh tobacco tissue culture. Physiol. Plant., 15,
weight of cells grown in batch suspension 473-497.
cultures. Plant Cell Rep., 11, 146-149.
Panda, A. K., S. Mishra, V. S. Bisaria &
Collin, H.A. (2001). Secondary product S.S. Bhojwani (1989). Plant cell reactors - a
formation in plant tissue culture. Plant perspective. Enzyme Microb. Technol. , 11,
Growth Reg. , 34, 119-134. 386-397.

Riyadi, I. & J. S. Tahardi (2003). Inisiasi,


Fujita, Y., M. Tabata, A. Nishi & Y. Yamada
karakterisasi dan regenerasi kultur suspensi
(1982). New medium and production of
sel embriogenik tanaman teh [Camellia
secondary compounds with the two-staged
sinensis (L). O. Kuntz] In : B. Sriyadi et al.
culture method. In: A. Fujiwara (ed.) Proc.

9
:
Sumaryono & Riyadi

(eds.) Pros. Simp. Teh Nas. 2003, Bandung, Tahardi, J. S. (1999). Growth characteristics of
15 Oktober 2003, p. 247-255. embryogenic cells of oil palm in bioreactor
cultures. J. Bioteknol. Pert., 4(2), 49-55.
Roberts, S. C. & M. L. Shuler (1997). Large-
scale plant cell culture. Curr. Opinion in Toruan-Mathius, N., Reflini, Nurhaimi-Haris &
Biotechnol., 8, 154-159. Joko-Santoso & A.Priangani-Roswiem
(2004). Kultur akar rambut Cinchona
Robins, R. J., J. Payne & M. J. Rhodes (1986). ledgeriana Moens dan C. succirubra Pavon
Cell suspension cultures of Cinchona dalam kultur in vitro. Menara Perkebunan,
ledgeriana. I. Growth and quinoline alkaloid 72 (2), 69-86.
production. Planta Med., 52, 220-225.
Walton, N. J., A.W. Alfermann & M.J.C. Rhodes
Scragg, A. H., P. Morris & E. J. Allan (1986). (1999). Production of secondary metabolites
The effects of plant growth regulators on in cell and differentiated organ cultures. In:
growth and alkaloid formation in Cinchona J. Hammond et al. (eds.) Plant Biotech-
ledgeriana callus culture. J. Plant Physiol., nology: New Products and Applications,
124, 371-377. Springer-Verlag, p. 311-345.
Schulman, A.H. (1998). Plant cells in plants. Wijnsma R., R. Verportee, P. A. A. Harkes,
Trends in Biotechnol. 16, 1-2. T.B. van Vliet, H.J.G. Ten Hoopen &
A.B. Svendsen (1986). The influence of
Singh, G. (1997). Reactor design for plant cell
initial sucrose and nitrate concentrations on
culture of food ingredients and additives.
the growth of Cinchona ledgeriana cell
Food Technol. , 51, 62-66.
suspension cultures and the production of
Staba, E.J. & A.C. Chung (1981). Quinine and alkaloids and anthraquinones. Plant Cell,
quinidine production by cinchona leaf, root Tiss. & Org. Cult. ,7, 21-29.
and unorganized cultures. Phytochem.,
Williams, G.R.C. & P.M. Doran (1995). The
20(11), 2495-2498.
importance of oxygen in hairy root culture.
Stockigt, J., P. Orbitz, H. Falkenhagen, Australian Biotechnol., 5, 92-94.
R. Lutterbach & S. Endres (1995). Natural
Wilson, P. D. G. & M. G. Hilton (1995). Plant
products and enzymes from plant cell
cell bioreactors. In J.A. Asenjo &
cultures. Plant Cell Tiss. & Org. Cult. ,43,
J. C. Merchuk (eds.) Bioreactor System
97-109.
Design. Marcel Dekker, Inc. p. 413-439.

10
11

You might also like