Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN TEORI
3. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Clostridium Tetani yaitu obligat anaerob pembentukan
spora, gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu
di tanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Pada ujungnya ia membentuk
spora, sehingga secara mikroskopis tampak seperti pukulan gendering atau raket tenis. Spora
tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel
vegetative terbunuh oleh antibiotic, panas dan desinfektan baku. Tidak seperti banyak
klostridia, Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan
menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih sering disebut
sebagai toksin tetanus. Toksi tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun yang diketahui,
hanya di unggulin kekuatannya oleh toksin batulinum.
4. Patofisiologi
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor luka bakar dan
patah tulang yang terbuka juga akan mngakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk
pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, mempaebanyak diri
dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas
yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel
vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung
oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian
diendositosis oleh saraf motoris,sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson
retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis
dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi
pelepasan neurotransmitter . toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal
otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi, akibatnya
otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat
tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen
jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan
panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel
saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar
dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari
spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory
transmitter dan menimbulkan kekakuan.
5. Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai
komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mngalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular, dan pembedahan.
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
a. Trismus ( kesukaran membuka mulut ) karena spasme otot-otot mastikatoris.
b. Kaku kuduk sampai opistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector trunki ).
c. Ketegangan otot dinding perut ( harus dibedakan dengan abdomen akut ).
d. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
e. Rikus sardonikus karena spasme otot muka ( alis tertarik keatas ), sudut mulut tertarik keluar
dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
f. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.
g. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermiten
diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai
dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai perdarahan intramuscular karena kontraksi yang
kuat.
h. Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin
dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula terjadi karena
kontraksi otot yang sangat kuat.
i. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
j. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan di otak.
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium :
a. Liquor Cerebri normal
b. hitung leukosit normal atau sedikit meningkat.
c. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium
d. Analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
2) Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.
7. Komplikasi
Komplikasi tetanus terjdi akibat penyakitnya seperti :
a. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) didalam rongga mulut
dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pnemonia aspirasi.
b. Asfiksia ini terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan sehingga pengembangan
paru tidak dapat maksimal
c. Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan tetanus akan
mengalami trismus (mult terkunci) sehingga klien tidak dapat mengeluarkan sekret yang
menumpuk di tenggorokan, atau pun menelanya.
d. Fraktura kompresi ini dapat terjadi bila saat kejang klien difiksasi kuat sehingga tubuh tidak
dapat menahan kekuatan luar.
8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan medis
Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan
kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam
perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika
pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan
glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih
baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi
minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
b. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan
dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus
dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5
mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan
diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15
mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan
secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam
diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
c. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan
20.000 U sekaligus.
d. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien
menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan
pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
e. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
f. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
2) Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang dan
bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien
apneu. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat
menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar yang tenang tetapi
harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada bayi, dan bila terjadi apneu agar segera
dapat dilakukan tindakan. Dahulu kamar tetanus selalu gelap). Masalah pasien yang perlu
diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan, dan
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Tiindakan pada pasien tetanus neonatorum pada saat kejang.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang terjadi
kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat samapi 4L/menit ( jika
kejang telah berhenti turunkan lagi).
Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh lebih baik dipasang
terus.
Sering isap lender, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan napas buatan pada
saat apneu dan sewaktu – waktu terlihat lender pada mulut bayi.
Observasi tanda vital secara kontinu setiap 1⁄2 jam dan catat secara cermat. Pasien tetanus
neonatorum karena mendapatkan antikonvulsan terus kemungkinan sewaktu – waktu dapat
terjadi apneu.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat
tidur/kain disekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang,
maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bil bayi kedinginan juga dapat
menyebabkan apneu.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea
dan spasme otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin ( bakterimia )
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali
lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau
albumin kurang dari 3,5 mg%.
C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea
dan spasme otot pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan : AGD
abnormal (asidosis respiratotik)
Tujuan: jalan nafas efektif
Kriteria:
Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada
Pernafasan 16 – 18 kali/menit
Tidak ada pernafasan cuping hidung
Tidak ada tambahan otot pernafasan
Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal ( pH=7,35 – 7,45 ; PCO2=
35 – 45 mmHg, PO2 = 80 – 100 mmHg )
Intervensi dan rasional :
1) Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
Rasianal : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga
pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan
jalan nafas.
2) Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi) tiap 2 – 4
jam sekali
Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau secret
yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk
mengoptimalkan jalan nafas.
3) Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan section.
Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan secret, sehingga
mempermudah proses respirasi.
4) Oksigenisasi sesuai intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah terjadi hipoksia
5) Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
6) Observasi timbulnay gagal nafas/apnea
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilation)
7) Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik)
Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah
mengeluarkan dan mencegah kekentalan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsangan, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya
lender dan secret yang menumpuk.
Tujuan : pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen
Tidak sesak, pernafasan normal 16 – 18 kali/menit
Tidak sianosis
Intervensi dan rasional :
1) Monitor irama pernafasan dan respirasi rate
Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan dapat dilihat dari
frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
2) Atur posisi luruskan jalan nafas
Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan
lancar.
3) Observasi tanda dan gejala sianosis
Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan suplai O2
pada jaringan tubuh perifer.
4) Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia.
5) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja
jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
6) Observasi timbulnya gagal nafas
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilato)
7) Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah
Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat
mengakibatkan terjadinya asidosis respiratory.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia), yang
ditandai dengan : suhu tubuh meningkat menjadi 38 – 40 °C, hiperhidrasi, sel darah putih
lebih dari 10.000/mm3
Tujuan : suhu tubuh normal
kriteria :
Suhu kembali normal 36 – 37 °C
Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 – 10.000/mm3
Intervensi dan rasional :
1) Atur suhu lingkungan yang nyaman
Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai
suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi
2) Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion
3) Berikan hidrasi atau minum yang adekuat
Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari
demam.
4) Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka
Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar
luka.
5) Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang
Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan
cara proses konduksi.
6) Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik
Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri
gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi
untuk mengantisipasi panas.
7) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit
Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3
mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan
yang diprogramkan.
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali
lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau
albumin kurang dari 3,5 mg%
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
Berat badan optimal
Intake adekuat
Hasil pemeriksaan albumin 3,5 – 5 mg%
3.2 Saran
Penulis menyadari makalah ini masih terdapat kesalahan maupun kekhilafan dalam
penulisan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian supaya makalah ini sempurna di masa yang akan datang.
Terakhir, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…….
DAFTAR PUSTAKA
Buku Kuliah ilmu Kesehatan Anak Bagian 2, Infeksi Virus, oleh Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 4.Jakarta 1985.
Dubcombe, Margaret dan Weller, Barbara. Pediatric Nursing, The Prncipal Commicable
Disease. Fourth Edition, 1974. London.
Sumarmo S. Poerwo Soedarmo, Penatalaksanaan DBD: Medika No. 2, tahun ke -15, Februari
1989.
Perawatan anak sakit / Ngastiyah ; editor, Monica Ester. Ed.2.Jakarta : EGC, 2005