You are on page 1of 16

askep tetanus neonatorum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi
sistem urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang
(dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya
pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara
cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.
Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan , dimana masih terjadi di
masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebagian besar pasien tetanus
berusia > 3 tahun dan < 1 minggu. Dari seringnya kasus tetanus serta kegawatan yang
ditimbulkan, maka sebagai seorang perawat dituntut untuk mampu mengenali tanda
kegawatan dan mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat. Tetanus memiliki angka
kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat
tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan
tertunda, maka prognosisnya buruk. Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih
baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari
vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus). Bagi yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster.

1.2 Tujuan Penulisan


Setelah menyusun makalah ini diharapkan pembaca sekalian mengetahui gambaran
umum tentang penyakit tetanus dan proses asuhan keperawatannya.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tetanus
2. Apa penyebab tetanus
3. Apa saja tanda dan gejala tetanus
4. Bagaimana patofisologi tetanus
5. Bagaimana manisfestasi klinis tetanus
6. Apa pemeriksaan penunjang pada tetanus
7. Bagaimana penatalaksaan pasien dengan tetanus
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien tetanus
1.4 Metode
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penyusunan materi makalah ini yaitu
dari sumber buku dan internet.

BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Anatomi dan Fisiologi


Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat
penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat
adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal
toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya
dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun
toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf
lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory
neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan.
Efek Toxin pada :
1. Ganglion pra sumsum tulang belakang :
Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga
tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi
membran dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat
terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin
menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini
pada membran neuron motorik.
2. Otak :
Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan
kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
3. Saraf otonom :
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan,
hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot
yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-
besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik
seperti disebutkan diatas.
2. Definisi
Tetanus adalah (rahang terkunci/lockjaw) penyakit akut, paralitik spastic yang
disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin, yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.( Ilmu
Kesehatan Anak, 2000 oleh Richard E. Behrman, dkk, hal 1004.
Tetanus adalah manifestasi sistemik yang di sebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat
kuat yang dilepaskan oleh Clostridium Tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh
manusia.( Buku Kuliah Ilmu kesehatan Anak, 1985 oleh bagian kesehatan anak fakultas
kedokteran univeersitas Indonesia, hal 568 )
Tetanus adalah gangguan neorologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium Tetani.( Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam, 2007 oleh fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia )
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot.
Tetanus Neonatorum : penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang
khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari
ketiga atau lebiih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan
menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989 )
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, Tetanus adalah penyakit
infeksi dan gangguan neorologis yang di akibatkan toksin protein tetoonospasmin dari kuman
Clostridium Tetani, yang ditandai dengan manisfestasi kliniknya meningkatnya tonus otot
dan spasme.

3. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Clostridium Tetani yaitu obligat anaerob pembentukan
spora, gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu
di tanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Pada ujungnya ia membentuk
spora, sehingga secara mikroskopis tampak seperti pukulan gendering atau raket tenis. Spora
tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel
vegetative terbunuh oleh antibiotic, panas dan desinfektan baku. Tidak seperti banyak
klostridia, Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan
menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih sering disebut
sebagai toksin tetanus. Toksi tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun yang diketahui,
hanya di unggulin kekuatannya oleh toksin batulinum.
4. Patofisiologi
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor luka bakar dan
patah tulang yang terbuka juga akan mngakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk
pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, mempaebanyak diri
dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas
yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel
vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung
oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian
diendositosis oleh saraf motoris,sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson
retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis
dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi
pelepasan neurotransmitter . toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal
otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi, akibatnya
otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat
tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen
jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan
panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel
saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar
dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari
spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory
transmitter dan menimbulkan kekakuan.

5. Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai
komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mngalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular, dan pembedahan.
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
a. Trismus ( kesukaran membuka mulut ) karena spasme otot-otot mastikatoris.
b. Kaku kuduk sampai opistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector trunki ).
c. Ketegangan otot dinding perut ( harus dibedakan dengan abdomen akut ).
d. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
e. Rikus sardonikus karena spasme otot muka ( alis tertarik keatas ), sudut mulut tertarik keluar
dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
f. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.
g. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermiten
diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai
dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai perdarahan intramuscular karena kontraksi yang
kuat.
h. Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin
dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula terjadi karena
kontraksi otot yang sangat kuat.
i. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
j. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan di otak.

6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium :
a. Liquor Cerebri normal
b. hitung leukosit normal atau sedikit meningkat.
c. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium
d. Analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
2) Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.

7. Komplikasi
Komplikasi tetanus terjdi akibat penyakitnya seperti :
a. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) didalam rongga mulut
dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pnemonia aspirasi.
b. Asfiksia ini terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan sehingga pengembangan
paru tidak dapat maksimal
c. Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan tetanus akan
mengalami trismus (mult terkunci) sehingga klien tidak dapat mengeluarkan sekret yang
menumpuk di tenggorokan, atau pun menelanya.
d. Fraktura kompresi ini dapat terjadi bila saat kejang klien difiksasi kuat sehingga tubuh tidak
dapat menahan kekuatan luar.

8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan medis
Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan
kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam
perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika
pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan
glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih
baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi
minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
b. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan
dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus
dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5
mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan
diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15
mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan
secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam
diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
c. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan
20.000 U sekaligus.
d. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien
menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan
pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
e. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
f. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

2) Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang dan
bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien
apneu. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat
menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar yang tenang tetapi
harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada bayi, dan bila terjadi apneu agar segera
dapat dilakukan tindakan. Dahulu kamar tetanus selalu gelap). Masalah pasien yang perlu
diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan, dan
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Tiindakan pada pasien tetanus neonatorum pada saat kejang.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang terjadi
kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat samapi 4L/menit ( jika
kejang telah berhenti turunkan lagi).
Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh lebih baik dipasang
terus.
Sering isap lender, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan napas buatan pada
saat apneu dan sewaktu – waktu terlihat lender pada mulut bayi.
Observasi tanda vital secara kontinu setiap 1⁄2 jam dan catat secara cermat. Pasien tetanus
neonatorum karena mendapatkan antikonvulsan terus kemungkinan sewaktu – waktu dapat
terjadi apneu.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat
tidur/kain disekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang,
maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bil bayi kedinginan juga dapat
menyebabkan apneu.

Tindakan pada bayi apneu.


Isap lendirnya sampai bersih (dari mulut juga hidung)
O2 dberikan lebih besar (dapat sampai 4L/menit)
Letakkan bayi diatas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan – tekan bagian iktus
jantung ditengah – tengah tulang dada dengan dapat juga dilakukan dengan kedua ibu jari
diatas dada bayi dan delapan jari dibawah punggungnya dengan frekuensi sama.
Bahaya terjadinya gangguan pernafasan . gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah
apneu, yang disebabkan adanya tetanospasmin yang menyerang otot – otot pernafasan
sehingga otot tersebut tidak berfungsi . adanya spasme pada otot faring menyebabkan
terkumpulnya liur didalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia
aspirasi. Adanya lender di tenggorok juga menghalangi kelancaran lalu – lintas udara
(pernafasan). Pasien tetanus neonaorum setiap kejang selalu disertai sianosis dan frekuensi
kejang biasanya sering sehingga pasien akan terlihat sianosis terus – menerus. Tindakan yang
perlu dilakukan.
Dewasa ini, di subbagian anak RSCM Jakarta pemberian diazepam pada bayi dengan tetanus
neonatorum diberikan melalui drip dengan menggunakan mikrodrip (mikrodrip ialah tabung
yang hanya berisi 100 ml dan setiap ml berisi 60 tetes). Pada bayi tetanus yang payah
biasanya dipasang 2 tabung mikrodrip untuk pemberian cairan biasa dan yang lain khusus
untuk diazepam. Cairan yang diberikan adalah glukosa 10% dan bikarbonas natrikus 11⁄2%).
Jika tidak menggunakan mikrodrip tetesan harus pelan sekali. Dalam keadaan bayi tidak
banyak kejang, diazepam dimasukkan kedalam 100 ml cairan sebanyak dosis yang diperlukan
dan diharapkan dapat habis dalam 24 jam seterusnya diganti lagi. Tetapi jika bayi banyak
kejang (frekuensinya sering sekali) diazepam dimasukkan kedalam 50 ml cairan tetesannya
lebih dipercepat dan diganti setiap 6 jam (tetesan kira – kira 8 tetes permenit).
Kebutuhan nutrisi/cairan. Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadannya payah, untuk
memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infuse dengan cairan glukosa 10%. Tetapi
karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 11⁄2% dengan
perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat
diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah
memakai dot secara bertahap.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGAKAJIAN
1. Pengkajian umum : Riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka bakar dan
imunisasi yang tidak adekuat.
2. Pengkajian khusus:
a. Sistem pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto pernafasan.
b. Sistem cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awalnya
38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
c. Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu atau
beberapa saraf otak.
d. Sistem perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak
ada/oliguria)
e. Sistem pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
f. Sistem integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka, berkeringatan
(hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan
kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea
dan spasme otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin ( bakterimia )
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali
lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau
albumin kurang dari 3,5 mg%.
C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea
dan spasme otot pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan : AGD
abnormal (asidosis respiratotik)
Tujuan: jalan nafas efektif
Kriteria:
 Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada
 Pernafasan 16 – 18 kali/menit
 Tidak ada pernafasan cuping hidung
 Tidak ada tambahan otot pernafasan
 Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal ( pH=7,35 – 7,45 ; PCO2=
35 – 45 mmHg, PO2 = 80 – 100 mmHg )
Intervensi dan rasional :
1) Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
Rasianal : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga
pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan
jalan nafas.
2) Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi) tiap 2 – 4
jam sekali
Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau secret
yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk
mengoptimalkan jalan nafas.
3) Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan section.
Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan secret, sehingga
mempermudah proses respirasi.
4) Oksigenisasi sesuai intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah terjadi hipoksia
5) Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
6) Observasi timbulnay gagal nafas/apnea
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilation)
7) Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik)
Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah
mengeluarkan dan mencegah kekentalan.

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsangan, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya
lender dan secret yang menumpuk.
Tujuan : pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
 Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen
 Tidak sesak, pernafasan normal 16 – 18 kali/menit
 Tidak sianosis
Intervensi dan rasional :
1) Monitor irama pernafasan dan respirasi rate
Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan dapat dilihat dari
frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
2) Atur posisi luruskan jalan nafas
Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan
lancar.
3) Observasi tanda dan gejala sianosis
Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan suplai O2
pada jaringan tubuh perifer.
4) Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia.
5) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja
jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
6) Observasi timbulnya gagal nafas
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilato)
7) Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah
Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat
mengakibatkan terjadinya asidosis respiratory.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia), yang
ditandai dengan : suhu tubuh meningkat menjadi 38 – 40 °C, hiperhidrasi, sel darah putih
lebih dari 10.000/mm3
Tujuan : suhu tubuh normal
kriteria :
 Suhu kembali normal 36 – 37 °C
 Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 – 10.000/mm3
Intervensi dan rasional :
1) Atur suhu lingkungan yang nyaman
Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai
suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi
2) Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion
3) Berikan hidrasi atau minum yang adekuat
Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari
demam.
4) Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka
Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar
luka.
5) Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang
Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan
cara proses konduksi.
6) Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik
Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri
gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi
untuk mengantisipasi panas.
7) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit
Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3
mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan
yang diprogramkan.

4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali
lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau
albumin kurang dari 3,5 mg%
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
 Berat badan optimal
 Intake adekuat
 Hasil pemeriksaan albumin 3,5 – 5 mg%

Intervensi dan rasional :


1) Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan pentingnya makanan bagi
tubuh
Rasional : dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien
mengalami kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex balik atau kesedak. Dengan tingkat
pengetahuan yang adekuat diharapkan klien dapat berpartisipasi dan kooperatif dalam
program diet.
2) Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar.
Rasional : diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan
proses mengunyah
3) Kolaborasi untuk memberikan caiaran IV line
Rasioanal : pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan
mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
4) Kolaborasikan untuk pemasangan NGT bila perlu
Rasional : NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari semua penmbahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa tetanus salah satu
infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Gejala tetanus
umumnya diawali dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut)
bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau
punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.

3.2 Saran
Penulis menyadari makalah ini masih terdapat kesalahan maupun kekhilafan dalam
penulisan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian supaya makalah ini sempurna di masa yang akan datang.
Terakhir, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…….
DAFTAR PUSTAKA

Buku Kuliah ilmu Kesehatan Anak Bagian 2, Infeksi Virus, oleh Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 4.Jakarta 1985.
Dubcombe, Margaret dan Weller, Barbara. Pediatric Nursing, The Prncipal Commicable
Disease. Fourth Edition, 1974. London.
Sumarmo S. Poerwo Soedarmo, Penatalaksanaan DBD: Medika No. 2, tahun ke -15, Februari
1989.
Perawatan anak sakit / Ngastiyah ; editor, Monica Ester. Ed.2.Jakarta : EGC, 2005

You might also like