You are on page 1of 23

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini pendidikan cukup berkembang pesat.
Pendidikan di Indonesia kini berkembang dengan pesat, dilatarbelakangi oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semakin pesat menuntut mahasiswa untuk
mengimbanginya agar tidak tertinggal jauh. Salah satu upaya menanggapi
tuntutan tersebut adalah dengan memberikan pengalaman – pengalaman
kepada mahasiswa yang berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang ada.
Pemberian kuliah bagi para mahasiswa tidak hanya dalam bentuk materi
semata dan dalam lingkup kampus, tetapi juga perlu adanya kegiatan yang
mengajak para mahasiswa terjun langsung dalam segala bidang yang sesuai
dengan disiplin studi yang tengah ditempuh. Selain sebagai upaya peningkatan
kompetensi mahasiswa, kegiatan tersebut juga sebagai kegiatan untuk
merefreshkan fikiran, sehingga mahasiswa tidak merasa sepaneng dalam
mengikuti kegiatan perkuliahan. Maka dari itu, universitas mengeluarkan
kebijakan mengenai kegiatan tersebut untuk dilaksanakan oleh setiap program
studi. Kegiatan tersebut sering disebut dengan istilah Kuliah Kerja Lapangan
(KKL).
Dalam proses pembelajaran, tentu saja kita tidak hanya terpaku dalam
ruang lingkup metode klasik pendidikan saat ini (dalam kelas), tetapi kita
dapat belajar secara nyata melalui pengalaman langsung di lapangan, yang
tentu saja dapat memaksimalkan hasil belajar mahasiswa. Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) merupakan salah satu bentuk pembelajaran berbasis
lapangan. KKL ini merupakan jawaban atas tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berbasis lapangan yang dapat memfasilitasii
mahasiswa dalam memenuhi pembelajaran kekinian.

1
Tujuan secara umum diadakannya KKL ini agar mahasiswa dapat secara
langsung mengetahuii aplikasi dari berbagai ilmu maupun teori yang telah
diperoleh selama pembelajaran yang diadakan di dalam kelas (Universitas).
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan kegiatan yang memadukan
observasi, kunjungan dan wisata mahasiswa ke tempat – tempat, instansi,
ataupun lembaga yang berkaitan dengan disiplin ilmu ataupun bidang yang
ditekuni. Kegiatan KKL merupakan salah satu program wajib yang harus
diikuti oleh seluruh mahasiswa. Berbekal teori, materi dan konsep yang telah
diperoleh selama mengikuti proses perkuliahan, maka mahasiswa diharapkan
dapat membandingkannya dengan bentuk pelaksanaan pembelajaran yang ada
di lapangan. KKL dapat dilakukan di dalam maupun di luar daerah Universitas
bersangkutan. Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ini dilaksanakan oleh
mahasiswa UNIHAZ sejak hari Senin, 11 Februari sampai dengan hari Sabtu,
16 Februari 2018. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mengikuti mata
kuliah KKL yang berbobot 3 SKS. Dengan dilaksanakannya KKL ini
diharapkan mahasiswa dapat memenuhi mata kuliah yang berstatus wajib ini.

B. Tujuan dan Manfaat Kegiatan


1. Tujuan Kegiatan
Secara umum praktek kuliah lapangan memberikan gambaran
kepada mahasiswa pada saat bekerja ,baik per orangan ataupun di suatu
lembaga instansi. Sedangkan secara khususnya :
1. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan pada tiap mahasiswa
2. Memberikan motivasi sehingga mahasiswa bersemangat dalam meraih
cita-cita
3. Melatih mahasiswa agar siap di dunia kerja .
2. Manfaat Kegiatan
Adapun manfaat dari praktek kuliah lapangan antara lain sebagai
berikut :
1. Menambah wawasan para mahasiswa
2. Mendapatkan pengalaman untuk bekal pada saat bekerja nantinya

2
3. Menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan antara setiap
mahasiswa

C. Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL)


1. Kunjungan ke Perusahaan Garmen
PT. Garmen Krisna beralamat di jl. Nusa Indah No.79 Denpasar
Bali. Pemilik dari perusahaan tersebut adalah I Gusti Ngurah Anom,
begitu nama lengkap pria asal Buleleng 5 Maret 1971 ini lahir dan
dibesarkan di daerah Tangguwisia, sebuah desa kecil di kecamatan Seririt,
kabupaten Buleleng , Bali. Pak Anom lahir dari rahim Made Taman dan
menjadi bungsu dari 7 bersaudara yang hidup sangat dekat dengan
kemiskinan dalam kebersahajaan keluarga petani. Tidak seperti kakak –
kakaknya yang lainnya, Anom semenjak kecil memang terlihat berbeda,
hiperaktif, bandel, agresif, lincah dan berwatak keras, ingin agar setiap
permintaanya dikabulkan.
Sikap berani dan keras kepalanya semakin menonjol, bahkan pada
saat bersekolah di SDN 1 Tangguwisia. Mengabaikan pelajaran sekolah,
tidak pernah belajar dirumah ataupun mengerjakan PR, melawan ajaran
guru dan menjadi langganan mendapat hukuman di sekolah adalah hal
biasa dalam keseharian Anom. Karena perilakunya ini, Anom kecil
cenderung dianggap sebagai sumber kenakalan. Walau demikian, Anom
selalu dapat naik kelas seperti teman – temannya yang lain, dan mampu
menyelesaikan pendidikan dasarnya sehingga kemudian dapat melanjutkan
sekolah di SMPN 1 Seririt.Pada saat hari kelulusan tiba, Anom dinyatakan
lulus SMP dan dapat melanjutkan studinya di SMA yang berjarak 3
kilometer dari rumahnya.Tiba – tiba sang ayah memanggil Anom, dan
mengatakan bahwa Anom harus berhenti karena orangtua tidak mampu.
Berawal dari keberaniannya pada tahun 1994 Pak Anom membuka
toko kaos tepatnya di jalan Nusa Indah Denpasar dan memberi nama usaha
konveksinya dengan nama COK KONVEKSI yang berlokasi tak jauh dari
gedung Art Centresebagai pusat kegiatan pusat seni dan budaya Bali. Pak

3
Anom terus membangun jaringan kerjanya dan terus mencari order
kerbarbagai pangsa pasar.
Lama kelamaan usaha konveksi milik Pak Anom semakin maju
pesat. Tak hanya terhenti pada usaha konveksi saja karena memang Bali
merupakan tempat berkinjung wisatawan baik wisatawan local maupun
wisatawan manca Negara , Pak Anom juga mengembangkan usahanya di
bidang yang lain dan tentunya yang di butuhkan olah wisatawan Bali.
Bentuk pengembangan – pengembangan usaha Pak Anom meliputi aneka
camilan, kaos anak – anak dan dewasa, batik, tas kreasi, alat musik
tradisional, aksesoris pria dan wanita, bedcover, lukisan, kain pantai,
layang – layang, kerajinan kayu, alas kaki hingga frame foto, termasuk
beragam kaos made in Cok Konfeksi.
Dan hingga saat ini Krisna merupakan pusat oleh – oleh terbesar dan
terlengkap di Pulau Bali yang memiliki 5 cabang yaitu :
a. Krisna Nusa Indah
Sebagai daerah kunjungan wisata, Bali memiliki segudang daya
tarik. Begitu pula untuk urusan cinderamata dan oleh-oleh. Melirik
peluang besar di bidang ini, 16 Mei 2007 untuk pertama kali dibuka
pusat oleh-oleh terintegrasi, KRISNA, di Jl. Nusa Indah No. 77
Denpasar. Dengan lokasi di tengah kota yang mudah dijangkau dekat
dari Taman Budaya (Art Centre), KRISNA menawarkan konsep one
stop shoping untuk berbagai kebutuhan akan oleh-oleh khas Bali,
mulai dari souvenir kerajinan tangan, kaos-kaos khas KRISNA,
lukisan dan barang seni lainnya, hingga berbagai makanan ringan khas
dari Bali.
Tempat belanja yang nyaman dilengkapi coffe shop, parkir
memadai, suasana belanja yang santai dimana pengunjung bisa dengan
leluasa memilih barang yang akan dibeli, makin lengkap dengan
layanan ramah dari seluruh staf KRISNA.

4
b. Krisna nusa kambanagan
Dirikan pada tanggal 16 Mei 2007 beralamat di Jl. Nusa Indah
No. 77 Denpasar. Dengan lokasi di tengah kota yang mudah dijangkau
dekat dari Taman Budaya (Art Centre) dan dekat dengan rumah
produksi COK KONVEKSI, KRISNA menawarkan konsep one stop
shoping untuk berbagai kebutuhan akan oleh-oleh khas Bali, mulai dari
souvenir kerajinan tangan, kaos-kaos khas KRISNA, lukisan dan
barang seni lainnya, hingga berbagai makanan ringan khas dari Bali.
c. Krisna Sunset Road
Didirikan pada tanggal 16 Mei 2009 beralamat di Jl. Sunset Road
No.88 Kute. Krisna Sunset Road atau yang lebih sering di sebut
dengan Krisna 3 memilki lahan luas sekitar 1,4 hektar dan di lengkapi
dengan tempat parkir yang cukup luas untuk memudahkan keluar
masuk kendaraan pengunjung.
d. Krisna Tuban
Pusat oleh-oleh Krisna tuban berada pada jalur Bandara
Internasional Ngurah Rai dengan jarak tidak sampai 1 km dari
bandara. Kenyaman dan kepuasan dalam berbelanja tetap menjadi
komitmen utama. Pengelompokan dan penataan barang yang rapi akan
sangat membantu pengunjuang yang waktu luangnya sangat berbeda-
beda, Rama KRISNA buka 24 jam. Ini menjadi satu-satunya pusat
belanja oleh-oleh khas Bali yang buka nonstop sepanjang hari.
e. Krisna Singaraja
Berlokasi di Desa Temukus–Singaraja, dekat Pantai Lovina yang
merupakan Pusat Oleh–oleh Terbesar dan Terlengkap di Pulau
Dewata.

2. Kunjungan ke Desa Adat Pakraman


Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan

5
Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Sebelum berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001, istilah yang digunakan adalah istilah “desa adat” sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Pasal 1 Perda 06 Tahun 1986
menyatakan bahwa:
Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Daerah
Tingkat I Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga yang mempunya wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari pengertian yang diberikan oleh Peraturan Daerah 06 tahun 1986
dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tersebut, maka jelaslah bahwa
istilah desa adat dan istilah desa pakraman mempunyai pengertian yang
sama, walaupun ada sedikit pergeseran pada salah satu pembentuk
sekaligus pengikat desa pakraman, yaitu pada unsur parhyangan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986, keberadaan
Kahyangan Tiga adalah faktor mutlak yang harus dimiliki oleh suatu
komunitas untuk dapat disebut sebagai desa pakraman. Konsep kahyangan
tiga ini jelas, yaitu tiga kahyangan (pura) yang terdiri dari Pura Desa, Pura
Puseh, dan Pura Dalem. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2001, keberadaan kahyangan tiga menjadi fakultatif, karena prinsip yang
digunakan adalah “Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa”. Dengan
demikian, keberadaan kahyangan tiga tidak lagi menjadi persyaratan
mutlak sepanjang sudah ada Kahyangan Desayang mengikat komunitas
tersebut dalam suatu wadah desa pakraman. Dalam realita, istilah desa
adat sampai saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat, namun
dalam kajian ini akan dipergunakan istilah desa pakraman sebab istilah ini
telah menjadi istilah teknis yuridis.
Dari pengertian desa pakraman di atas maka desa pakraman adalah
suatu masyarakat hukum adat. Dalam kepustakaan hukum adat, istilah

6
masyarakat hukum adat yang lazim disebut dengan persekutuan hukum
(rechtsgemeenschap) diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang
bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar, lahir batin.
Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal,
dan orang-orang yang ada di dalamnya masing-masing mengalami
kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam,
dan tidak ada seseorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan
kemungkinan pembubaran kelompoknya itu. Kelompok manusia tersebut
mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib. Demikian
sarjana-sarjana hukum adat memberikan rumusan tentang masyarakat
hukum adat.
Masyarakat hukum dapat pula diartikan sebagai kelompok
masyarakat yang yang membentuk aturan hukumnya sendiri dan tunduk
sendiri kepada aturan hukum yang dibuatnya itu. Masyarakat hukum adat
seperti ini dijumpai diseluruh wilayah Indonesia dengan nama atau
sebutan yang berbeda-beda, namun dengan ciri-ciri yang sama, seperti
misalnya desa di Jawa, desa pakraman di Bali, nagari di Minangkabau,
marga di Sumatra Selatan, kuria di Tapanuli, dan lain-lain. Secara
konstitusional, eksistensi masyarakat hukum adat ini diakui dalam UUD
1945. Sebelum UUD 1945 diamandemen, pengakuan terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan UUD
1945. Dalam penjelasan terhadap Pasal 18, khususnya pada bagian II
dinyatakan bahwa:
Dalam teritoir Negara Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbestuurlandschapppen dan volkgemeenschappen, seperti desa di Jawa
dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.

7
Setelah UUD 1945 diamandemen, keberadaan masyarakat hukum
adat diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Desa pakraman di Bali adalah masyarakat hukum adat dengan ciri-
ciri seperti dikemukakan di atas, namun selain itu dalam desa pakraman
dijumpai pula ciri-ciri lain yang bersifat khusus, yang tidak dijumpai
dalam jenis masyarakat hukum adat lainnya. Ciri khusus tersebut berkaitan
dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyaakat
hukum adat di Bali, yang dikenal dengan filosofi Tri Hita Karana yang
secara literlijk berarti tiga (tri) penyebab (karana) kebahagiaan (hita) yaitu
Ida Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), bhuana (alam semesta)
dan manusa (manusia).

3. Kunjungan ke Desa Adat Penglipuran


Awal mula keberadaan Desa Penglipuran sudah ada sejak dahulu,
konon pada zaman Kerajaan Bangli. Para leluhur penduduk desa ini
datang dari Desa Bayung Gede dan menetap sampai sekarang, sementara
nama “Penglipuran” sendiri berasal dari kata Pengeling Pura yang
mempunyai makna tempat suci untuk mengenang para leluhur.
Desa Adat Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang
memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional, sehingga mampu
menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dari struktur desa
tersebut tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku
turun temurun. Sehingga dengan demikian Desa Adat Penglipuran
merupakan obyek wisata budaya. Keasrian Desa Adat Penglipuran dapat
dirasakan mulai dari memasuki kawasan pradesa dengan hijau rerumputan
pada pinggiran jalan dan pagar tanaman menepi sepanjang jalan,
menambah kesejukan pada daerah prosesi desa.

8
Pada areal catus pata setelah prosesi tersebut, merupakan areal tapal
batas memasuki Desa Adat Penglipuran. Balai wantilan dan fasilitas
kemasyarakatan serta ruang terbuka pertamanan, merupakan daerah
selamat datang (Welcome Area).. Areal berikutnya adalah areal tatanan
pola desa, yang diawali dengan gradasi ke fisik desa secara linier ke arah
kanan dan kiri.
Desa adat Penglipuran berlokasi pada kabupaten Bangli yang
berjarak 45 km dari Kota Denpasar, desa adat yang juga menjadi objek
wisata ini sangat mudah dilalui. Karena letaknya yang berada di jalan
utama Kintamani (Bangli). Desa Penglipuran ini juga tampak begitu asri,
keasrian ini dapat dirasakan begitu memasuki kawasan desa. Luas Desa
Adat Penglipuran kurang lebih 112 ha, dengan batas wilayah Desa Adat
Kubu di sebelah Timur, di sebelah Selatan Desa Adat Gunaksa, dan di
sebelah Barat tukad, sedangkan di sebelah Utara Desa Adat Kayang. Pada
areal Catus Pata yang merupakan area batas memasuki Desa Adat
Penglipuran, di sana terdapat balai desa, fasilitas masyarakat dan ruang
terbuka untuk pertamanan yang merupakan areal selamat datang.
Penglipuran mangandung makna `pangelingan putra´ yang berarti terjadi
hubungan yang sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat
dalam menjalankan dharma agama. Penglipuran juga berarti `panglipur´
pengingat atau ingat.

D. Pembahasan
Kuliah Kerja Lapangan atau yang disingkat KKL adalah program atau
kegiatan yang diadakan oleh UNIHAZ Bengkulu. UNIHAZ Bengkulu
sendiri juga mengadakan kegiatan KKL setiap tahunnya. Setiap jurusan
mewajibkan mahasiswanya untuk mengikuti kegiatan KKL tersebut. Ini
merupakan syarat wajib bagi mahasiswa untuk mengambil skripsi karena jika
tidak mengikuti kegiatan KKL ini, bisa dipastikan tidak akan bisa mendaftar
atau pun mengambil skripsi di semester berikutnya

9
Kegiatan KKL angkatan 2015 dijadwalkan bergulir pada tanggal 11
Februari - 16 Februari 2018. Panitia pelaksana kegiatan KKL adalah
mahasiswa sendiri, yang diketuai oleh Efendi, SH., MH. Adapun rencana
kunjungan adalah PT. Garmen, Desa, Desa Adat Pakraman dan Desa Adat
Penglipura
Mahasiswa KKL Sampai di bali hari senin, 11 Februari 2018 dan
menginap di Hotel D’Salak. Selasa, 12 Februari 2018, mahsiswa KKL
Berangkat dari Hotel D’Salak pukul 08.00 dengan tujuan menonton Barong
Desa Batu Bulan Gianyar Bali, Setelah menonton tari Barong rombongan
KKL menuju ke PT. Garmen di Jalan Nusa Indah No. 79 Denpasar, Bali pukul
11.00, untuk melihat proses penjahitan, sablon.
Rabu, 12 Februari 2018 romobongan mahasiswa KKL Berangkat Jam
08.00 dari Hotel D’Salak sampai jam 09.00 Ke Desa Pakraman, kegiatan
Membahas peraturan Desa Pakraman bertemu dengan ketua Adat.
Potensi yang dimiki desa pakraman dapat berkembang secara
terintegrasi, yang diatur di dalam awig-awig sebagai hukum adat. Dalam
dinamika kehidupan masyarakat, terutama dalam pelaksaana otonomi daerah,
potensi desa pakraman itu mengalami perubahan. Aspek ekonomi mengalami
perubahan yang sangat pesat, yang berpengaruh pada aspek-aspek lainnya.
Dengan pesatnya perkembangan aspek ekonomi, dapat terjadi timbulnya
ketimpangan dalam mengembangkan potensi desa lainnya.
Pengembanghan potensi desa yang meliputi berbagai aspek kehidupan,
seperti aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilakukan dengan
memberdayakan awig-awig desa sebagai sarana pengendalian sosial dan
sarana pengintegrasian sosial bagi seluruh kegiatan masyarakat. Penegakan
awig-awig secara adil dan bijaksana dimakudkan agar masyarakat
mentaatinya, guna mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Dengan demikian, kontribusi desa pakraman di era otonomi daerah ini akan
tampak dengan jelas, jika awig-awig yang bersumber dari Tri Hita Karana
diberdayakan untuk mengintegrasikan seluruh potensi desa, ditegakkan

10
dengan adil dan bijaksana, untuk mewujukan kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat lahir dan batin.
Penjelmaan dari filosofi Tri Hita Karana tersebut di atas dalam
kenyataannya dilingkungan desa-desa pakraman yang ada di Bali sangat
variatif, demikian pula mengenai struktur organisasinya. Terlepas dari variasi-
variasi yang ada, satu hal yang melekat pada semua desa pakraman di Bali
adalah bahwa desa pakraman adalah organisasi sosial relegius yang otonom,
yaitu berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi desa pakraman ini
mempunyai landasan yang kuat, disamping bersumber dari kodratnya sendiri
(otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan negara karena dalam struktur
kenegaraan mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi (Pasal
18B UUD 1945). Dalam perspektif lokal, otonomi desa pakraman mendapat
penegasan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman. Dalam Pasal 1 dalam angka 4 peraturan daerah tersebut dinyatakan
bahwa yang dimaksudkan “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Propinsi Bali yang...berhak mengurus rumah tangganya
sendiri”.
Isi otonomi desa pakraman ini adalah kewenangan atau kekuasaan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Meminjam teori pembagian kekuasaan
dalam negara modern seperti yang dikemukakan oleh Montesque dengan trias
politica-nya, kekuasaan yang dimiliki oleh desa pakraman meliputi fungsi-
fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Wirta Griadhi dalam Sudantra
menguraikan isi otonomi desa pakraman tersebut sebagai berikut:
a. Kekuasaan menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka.
Dengan kekuasaan ini desa pakraman menetapkan tata hukumnya sendiri
yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa
pakraman.aturan-aturan hukum ini lazim disebut awig-awig desa
pakraman atau pararem, yang ditetapkan secara musyawarah melalui
lembaga musyawarah desa yang disebut paruman desa. Kekuasaan ini
dapat diidentikkan dengan kekuasaan perundang-undangan (legislatif)
dalam lingkungan negara.

11
b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya. Terlepas
dari beragamnya variasi struktur organisasi serta sistem pemerintahan desa
pakraman yang dikenal di bali, secara umum dapat dikatakan bahwa
aktivitas utama desa pakraman adalah aktivitas yang bersifat sosial
relegius. Perwujudan otonomi desa pakraman dibidang sosial menyangkut
hubungan sosial kemasyarakatan yakni hubungan antar sesama warganya
baik dalam ikatan kelompok maupun perorangan. Di bidang kehidupan
relegius, otonomi tersebut akan tewujud dalam bentuk penyelenggaran
kegiatan keagamaan oleh masyarakat sebagai kesatuan. Semua aktivitas
itu diselenggarakan dalam kordinasi pengurus/pimpinan desa pakraman
yang disebut prajuru adat. Susunan prajuru adat ini bervariasi terutama
berhubungan dengan tipe desa yang bersangkutan (bali age dan apanage).
Pada desa-desa pakraman yang tergolong tipe desa pakraman apanage,
pejabat puncak dalam prajuru desa adalah bendesa atau kelihan desa,
dibantu oleh pejabat-pejabat lainnya seperti penyade/petajuh/pangliman
sebagai wakil bendesa, penyarikan/juru surat yang berfungsi sebagai
sekretaris dan petengen/juru raksa yang berfungsi sebagai bendahara.
Belakangan ini, dalam struktur prajuru desa juga disebut petugas
keamanan desa pakraman yang disebut pecalang. Kekuasaan
menyelenggarakan kehidupan organisasi desa pakraman ini identik dengan
kekuasan pemerintahan (eksekutif) dalam lingkungan negara.
c. Kekuasaan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Persoalan hukum
yang dihadapi desa pakraman dapat berupa pelanggaran hukum
(nungkasin awig-awig, drsta lainnya ataupun aturan-aturan hukum adat
lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan ini dapat diidentikkan
dengan kekuasaan peradilan (yudikatif) dalam lingkungan negara.
Stuktur organisiasi desa pakraman meliputi susunan, sistem
keanggotaannya, dan sistem pemerintahannya. Struktur organisasi desa
pakraman yang ada sangat bervariasi sangat tergantung kepada kondisi
setempat. Perbedaan varian struktur organisasi desa pakraman sangat kentara
terutama antara desa-desa pakraman dengan tipe desa baliage disatu pihak dan

12
tipe desa apanage dan desa anyar dilain pihak. Desa baliage, umumnya
terletak di daerah pegunungan yang pada masa kerajaan dulu, terletak jauh
dari pusat pemerintahan kerajaan sehingga strukturnya menunjukkan struktur
yang asli karena tidak atau sedikit mendapat pengaruh kerajaan. Desa
apanage, umumnya terletak didaerah Bali dataran yang pada masa kerajaan
dahulu mendapat pengaruh yang kuat dari pemerintahan kerajaan sehingga
strukturnya mengikuti struktur yang dikembangkan oleh pemerintah kerajaan,
terutama setelah pengaruh kerajaan Bali Majapahit. Mengenai tipe desa anyar
adalah desa pakraman yang terbentuk belakangan, terutrama setelah masa
kolionial Belanda sebagai akibat perpindahan penduduk dari daerah-daerah
Bali dataran untuk mencari lahan pertanian baru, sehingga struktur desa
pakraman yang dibentuk oleh kelompok-kelompok penduduk tersebut
mengikuti struktur desa yang lama.

Kunjungan ke Desa Penglipuran berakhir sampai jam 12.00 Siang.


Setelah itu romobongan KKL, menuju ke Desa Penglipuran. Sampai desa
Panglipuran Jam 13.00 Siang.
Desa Penglipuran merupakan salah satu daerah di Bali terutama di
Kabupaten Bangli yang memiliki banyak julukan, diantaranya: Desa Adat,
Desa Budaya, dan Desa Wisata. Hal tersebut ditinjau dari berbagai aspek
seperti: sistem adat, tata ruang, perkawinan, bentuk bangunan dan topografi,
upacara kematian, stratifikasi social, kesenian, mata pencaharian, organisasi,
dan obyek wisata .
a. Sistem Adat
Di desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu
menurut sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan
RW, dan sistem yang otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat
maupun desa formal berdiri sendiri-sendiri dan setara. Karena otonom,
desa adat mempunyai aturan-aturan tersendiri menurut adat istiadat di
daerah penglipuran dengan catatan aturan tersebut tidak bertentangan

13
dengan pancasila dan Undang-undang pemerintah.Undang-undang atau
aturan yang ada di desa penglipuran disebut dengan awig-awig. Awig-
awig tersebut merupakan implementasi dari landasan operasional
masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana.Tri Hita Karana tersebut
yaitu sebagai berikut :
1) Prahyangan, adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan
hari suci,tempat suci dan lain-lain.
2) Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi
hubungan masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa lain,
maupun hubungan dengan orang yang bedaagama. Dalam pawongan
bentuk-bentuknya meliputi sistem perkawinan, organisasi, perwarisan
dan lain-lain.
3) Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran
diajarkan untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu
merawatnya, tidak heran kalau desa penglipuran terlihat begitu asri.
Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan
manusia mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan
terlihat jelas di Penglipuran dan daerah lain di Bali. Oleh karena itu
visualisasi estetika pada kawasan ini bukan merupakan barang langka
yang sulit dicari, melainkan sudah menyatu dalam tata lingkungannya.

b. Tata Ruang
Tata ruang desa penglipuran dikenal dengan Tri Mandala yang
terdiri dari tiga bagian yaitu :
1) Utama Mandala
Orang Penglipuran biasa menyebutnya sebagai Utama Mandala ,
yang bias diartikan sebagai tempat suci. Ditempat inilah orang-orang
Penglipuran melakukan kegiatan sembahyang kepada Sang Hyng Widi
yang mereka percaya sebagai Tuhan mereka.
2) Madya Mandala

14
Biasanya adalah berupa pemukiman penduduk yang berbanjar
sepanjang jalan utama desa.Barisan itu berjejer menghadap kearah
barat dan timur.Saat ini jumlah rumah yang ada disana ada sebanyak
70 buah.Tata ruang pemukimannya sendiri adalah sebelah utara atau
timur adalah purakeluarga yang telah diaben.Sedangkan Madya
Mandala adalah rumah keluarga. Di tiap rumah pun terdapat tata ruang
yang telah diatur oleh adat.Tata ruang nya adalah sebelah utara
dijadikan sebagai tempat tidur, tengah digunakan sebagi tempat
keluarga sedangkan sebelah timur dijadikan sebagai tempat
pembuangan atau MCK. Dan bagian nista dari pekarangan biasanya
berupa jemuran, garasi dan tempat penyimpanan kayu.
3) Nista Mandala
Nista mandala ini adalah tempat yang paling buruk, disana
terdapat kuburan dari masyarakat penglipuran.
Konsep tri mandala tidak hanya berlaku bagi tata ruang desa tetapi
juga bagi tata ruang rumah hunian. Setiap kapling rumah warga
Penglipuran terbagi menjadi tiga bagian. Di halaman depan, terdapat
bangunan angkul-angkul dan ruang kosong yang disebut natah; bagian
tengah adalah tempat berkumpulnya keluarga; dan di bagian paling
belakang erdapat toilet, tempat jemuran, atau kandang ternak.

c. Perkawinan
Di desa ini ada adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan
poligami terhadap para penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi
menjaga para wanita. Meskipun ada yang boleh melakukan poligami
namun akan mendapat sanksi. Sanksi biasanya si poligami akan
ditempatkan pada tempat yang bernama nista mandala. Dan dilarang
melakukan perjalanan dari selatan ke utara karena wilayah utara bagi
orang penglipuran adalah wilayah yang paling suci. Masyarakat
Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga disebelahkanan dan
sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. Karena tetangga-

15
tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.. Bagi warga
yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran bisa saja. Dengan
ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai
perempuan yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat
Penglipuran. Yang menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa
penglipuran dan laki-lakinya dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki
tersebut masuk ke dalam adat Penglipuran dan hidup di desa Penglipuran
tetapi dengan konsekuensi laki-laki tersebut dianggap wanita oleh warga
lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang dialaksanakan adalah tugas
untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
d. Bentuk Bangunan dan Topografi
Topografi desa tersusun sedimikian rupa dimana pada daerah utama
desa kedudukannya lebih tinggi demikian seterusnya menurun sampai
daerah hilir. Pada daerah desa terdapat Pura penataran dan Pura Puseh
yang merupakan daerah utama desa yang unik dan spesifik karena
disepanjang jalan koridor desa hanya digunakan untuk pejalan kaki, yang
kanan kirinya dilengkapi dengan atribut-atribut struktur desa; seperti
tembok penyengker, angkul-angkul dan telajakan yang seragam.
Keseragaman dari wajah desa tersebut disamping karena adanya
keseragaman bentuk juga dari keseragaman bahan yaitu bahan tanah untuk
tembok penyengker dan angkul-angkul (pol-polan) dan atap dari bambu
yang dibelah untuk seluruh bangunan desa. Penggunaan bambu baik untuk
atap, dinding maupun lain-lain kebutuhan merupakan suatu keharusan
untuk digunakan karena desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan bambu
dan masih merupakan teritorial desa Penglipuran.
e. Upacara Kematian (Ngaben)
Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Penglipuran masyarakatnya
mengadakan upacara yang biasa disebut ngaben. Dimana ngaben ini
adalah suatu upacara kematian dalam rangka mengembalikan arwah orang
yang meninggal yang awalnya menurut kepercayaan orang Bali arwah
tersebut masih tersesat kemudian dikembalikan ke pura kediaman si

16
arwah. Yang membedakan daerah ini hanyalah pada ritualnya saja.
Dimana apabila orang bali lain ngaben dilakukan dengan cara membakar
mayat, di Penglipuran mayat di kubur. Menurut analisa hal tersebut
dilakukan oleh masyarakat Penglipuran sebagai tanda hormat dan juga
sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk
mengingat daerah Penglipuran yang berada didaerah pegunungan yang
jauh dari laut, seperti yang kita tahu bahwa abu jenasah yang telah dibakar
harus dilarung atau dibuang ke laut sedangkan bagi orang Bali menyimpan
abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi solusi terbaik adalah
dimakamkan.
f. Stratifikasi Sosial
Di Penglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta Sudra,
jadi di Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada
seseorang yang diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada
saat ini ketua adat yang masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan
ketua adat tersebut dilakukan lima tahun sekali.
g. Kesenian
Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari Baris. Tari Baris
sebagai salah satu bentuk seni tradisional yang berakar kuat pada
kehidupan masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun temurun,
dimana keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah
merupakan tarian yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara
upacara dewa yadnya. Adapun iringan gambelan yang mengiringi pada
saat pementasan semua jenis Tari Baris Sakral tersebut adalah seperangkat
gambelan Gong Gede yang didukung oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat
Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi juga keanggotaan sekaa Baris
sakral ini di atur di dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran. Kemudian
nama-nama penari ketiga jenis Baris sakral ini juga telah ditetapkan, yakni
Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris Bedil 20orang.

17
E. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat saya menyimpulkan Selain sebagai upaya
peningkatan kompetensi mahasiswa, kegiatan tersebut juga sebagai kegiatan
untuk merefreshkan fikiran, sehingga mahasiswa tidak merasa sepaneng
dalam mengikuti kegiatan perkuliahan.
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan kegiatan yang memadukan
observasi, kunjungan dan wisata mahasiswa ke tempat – tempat, instansi,
ataupun lembaga yang berkaitan dengan disiplin ilmu ataupun bidang yang
ditekuni. Kegiatan KKL merupakan salah satu program wajib yang harus
diikuti oleh seluruh mahasiswa. Berbekal teori, materi dan konsep yang telah
diperoleh selama mengikuti proses perkuliahan, maka mahasiswa diharapkan
dapat membandingkannya dengan bentuk pelaksanaan pembelajaran yang ada
di lapangan.

F. Saran
Kami dari penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini jauh dari
kesempurnaan, karena penulis keterbatasan keterbatasan waktu, referensi, dan
minimnya data yang di perolah pada saat praktek kuliah lapangan. Untuk itu
saya meminta kepada dosen tim dan teman-teman agar memmberikan kritik
dan saranya yang bersifat membangun demi kebaikan dan bertambahnya
wawasan penulis maupun kita semua di masa akan datang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Azis, M. A. T, dkk. 2012. Perjalanan Study Tour Bali. Brebes.

Kasuma, I PutuAgusWira, dan I wan Suprijanto. “Karakteristik Ruang


Tradisional pada Desa Adat Penglipuran, Bali”.JurnalPermukiman, 2012:
40-50.

http://disparbud.banglikab.go.id/index.php/baca-artikel/156/DESA-
PENGLIPURAN.html

http://bakpaosoekamti.blogspot.com/2012/11/laporan-kunjungan-industri-cok-
konveksi.html

http://nurizzatinn.blogspot.com/2015/10/

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/5bcc3615146f28aec26154f8
354a8c63.pdf

19
LAMPIRAN

Perusahaan Garmen Konveksi Krisna

20
Desa Pangkraman

21
Desa Penglipuran

22
LAPORAN
PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL)
FAKULTAS HUKUM UNIHAZ
BALI 2019

Oleh :
Nama : Mita Anjayani
NPM : 15010231
Program Studi : Hukum

Dosen Pembimbing :

NEDIYANTO RAMADHAN, SH.MH

UNIVERSITAS PROF DR. HAZAIRIN


FAKULTAS HUKUM
BENGKULU
2019

23

You might also like