You are on page 1of 21

Hematopoiesis embrio terjadi pada hari ke-20 gestasi dan dibuktikan dengan terdapatnya

pulau-pulau darah dalam yolk sac. Pada pertengahan masa gestasi, eritropoiesis terjadi di hepar
dan lien; sumsum tulang menjadi tempat eritropoiesis paling banyak pada trimester akhir (mulai
bulan ke-6 masa gestasi). Konsentrasi Hemoglobin (Hb) meningkat dari 8-10 g/dl pada usia
gestasi 12 minggu menjadi 16,5-18 g/dl pada usia gestasi 40 minggu. Produksi eritrosit janin
tergantung kadar eritropoeitin, dimana meningkat pada keadaan hipoksia janin dan anemia.

Setelah lahir, kadar Hb meningkat sesaat dalam 6-10 jam kemudian menurun jadi 11-12
g/dl pada usia 3-6 bulan. Bayi prematur (usia gestasi < 32 minggu) memiliki konsentrasi Hb
lebih rendah dan penurunan kadar Hb yang lebih cepat setelah lahir, yang akan mencapai kadar
paling rendah dalam 1-2 bulan setelah lahir. Anemia prematuritas ini paling mungkin disebabkan
oleh rendahnya kadar Hb pada saat lahir, penurunan usia eritrosit, dan respon terhadap
eritropoietin yang suboptimal, dan semakin prematur dan kecil bayi, semakin terlihat jelas. Masa
hidup eritrosit janin dan neonatus lebih singkat (70-90 hari) dan MCV lebih tinggi (110-120 fL)
daripada dewasa. Dalam janin, produksi Hb pada 2 trimester terakhir memproduksi Hemoglobin
F (HbF), terdiri dari 2 rantai α (alfa) dan 2 rantai γ (gamma). Kemudian sesaat setelah lahir, janin
akan memproduksi rantai β; bayi aterm seharusnya mempunyai beberapa Hb dewasa (2 rantai α
dan 2 rantai β). Hb janin mencakup 60-90% Hb pada bayi aterm dan kadarnya menurun ke kadar
dewasa (<5%) pada usia 4 bulan.

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau


konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh
bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-
gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal
jantung.
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia; diperkirakan
terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun.4 Survei Nasional di Indonesia (1992)
mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun
1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita anemia.

1
Menurut data WHO, anemia terdapat pada 1,62 miliar penduduk dunia atau sebanyak 24,8% dari
populasi. Prevalensi tertinggi pada anak sebelum usia sekolah yaitu 47,4% dan terendah pada
laki-laki yaitu 12,7%. Namun, grup populasi dengan jumlah individu dengan anemia adalah
perempuan yang tidak hamil yaitu sebanyak 468,4 juta penduduk.

Menurut Kassebaum et al, estimasi prevalensi anemia global pada tahun 2010 adalah
sebesar 32,9%. Pada tahun 2008 analisis WHO melaporkan bahwa anemia terdapat pada 24,8%
populasi dunia, termasuk 42% ibu hamil, 30% perempuan yang tidak sedang hamil, dan 47%
anak sebelum usia sekolah.

Anemia fisiologis yang ditemukan pada bayi aterm usia 2-3 bulan dan bayi preterm usia
1-2 bulan adalah proses normal yang yang tidak menyebabkan munculnya tanda-tanda penyakit
tertentu dan tidak memerlukan pengobatan. Ini merupakan kondisi fisiologis yang diperkirakan
berhubungan dengan beberapa faktor seperti peningkatan oksigenasi jaringan yang memang
terjadi pada saat lahir, penurunan masa hidup eritrosit dan rendahnya kadar eritropoietin.

BAB II: ETIOLOGI

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan melihat
jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit. Selain itu dengan dasar ukuran
eritrosit (mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan
morfologi eritrositnya. Pada klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik,
normositik dan makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan
patologis. Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan
produksi eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan maturasi
eritrosit dan penghancuran eritrosit yang lebih cepat. Kedua kategori tersebut tidak berdiri
sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi.3
Pada anemia hemolitik, penghancuran eritrosit terjadi lebih cepat. Hemolisis dapat
bersifat asimptomatik seumur hidup, tetapi biasanya bermanifestasi sebagai anemia saat
eritrositosis tidak dapat menutupi jumlah eritrosit yang dihancurkan.6

2
Tabel 1. Batasan Anemia berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin3

3
Gambar 3. Alur Diagnosis Anemia1

BAB III: DEFINISI

Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia, AIHA) adalah suatu


kondisi dimana penghancuran eritrosit terjadi akibat pembentukan antibodi terhadap antigen
eritrosit sendiri. AIHA dibagi primer dan sekunder. AIHA primer termasuk tipe warm, cold dan
paroxysmal cold hemoglobinuria. AIHA sekunder termasuk yang akibat penyakit autoimun
sistemik (contoh: SLE), keganasan, dan obat.8

4
Pada anak, AIHA relatif jarang terjadi dan paling sering terjadi setelah infeksi virus.
AIHA terdapat dua jenis antibodi yaitu warn dan cold, tergantung suhu optimal untuk binding
antibodi ke eritrosit. AIHA lebih tidak sering menjadi kronik pada anak ketimbang dewasa,
tetapi anemia mungkin berat pada awal gejala. Mayoritas kasus AIHA anak bersifat akut dan
prognosis cukup baik dengan kemungkinan resolusi spontan dalam 6 bulan. Sisanya bersifat
kronik dan biasanya lebih sulit diterapi, ditemukan pada anak < 2 tahun dan remaja. Pada dewasa
insidens AIHA 1-3/100.000 dengan tipe warm lebih sering terjadi yaitu sekitar 90% dari total
kasus AIHA dewasa. Insidens pada anak tidak diketahui secara pasti, namun jumlah anak dengan
AIHA (< 20 tahun) kira-kira kurang dari 0,2/100.000 dengan tingkat tertinggi di anak sebelum
usia sekolah.7,8

BAB IV: PATOFISIOLOGI

AIHA tipe warm adalah karena antibodi IgG terhadap protein membran eritrosit, dimana
antibodi-antibodi tersebut menempel secara maksimal pada suhu tubuh (37ºC), menyebabkan
hemolisis ekstravaskular.Sebagian besar penghancuran eritrosit melalui makrofag lien, namun
melalui hepar mungkin juga terjadi. AIHA pada anak tadinya diperkirakan akibat infeksi virus
yang menyebakan terbentuknya antibodi anti-eritrosit, kemungkinan melalui mekanisme
molecular mimicry seperti ITP yang berhubungan dengan infeksi. Antibodi yang paling sering
adalah antibodi anti-Rh, biasanya anti-e atau anti-c.7

Sindrom Evans menunjuk ke pasien dengan AIHA dan ITP. Sindrom ini dapat terjadi
bersamaan atau berurutan, serta relapsnya sering terjadi. Disregulasi imun dapat mendasari ini,
dengan bukti terbaru menunjukan sindrom ini adalah bagian dari Autoimmune
Lymphoproliferative Diseasae (ALPS). Pengobatan sindrom evans dan AIHA saja berbeda,
dimana pada sindrom evans dibutuhkan tambahan obat immune modulatory namun banyak yang
respon terhadap kortikosteroid.7

AIHA tipe cold adalah akibat antibodi IgM, disebut juga cold agglutinins, dimana
antibodi akan menempel pada eritrosit pada suhu lebih rendah (maksimal pada 4ºC). Infeksi
mycoplasma adalah pencetus paling sering AIHA tipe cold pada anak. Biasa antibodinya yang
anti-I atau anti-i. Antibodi AIHA tipe cold biasa monoclonal dan hemolisis biasa intravaskular.

5
Tabel 2. Klasifikasi AIHA7

Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH) disebabkan oleh antibodi IgG yang menempel
pada suhu rendah namun menyebabkan lisisnya eritrosit pada suhu yang lebih hangat.
Antibodinya sering disebut dengan antibodi Donath-Landsteiner, menyerang antigen P. Gejala
khas PCH pada dewasa berhubungan dengan sifilis, namun pada anak, infeksi virus adalah
penyebab tersering termasuk Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, dan adenovirus.7

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) biasanya proses akut, self-limited, yang muncul
setelah infeksi (Mycolplasma, Epstein-Barr, atau infeksi viral lain). AIHA dapat juga menjadi
gejala yang terlihat dari penyakit autoimun kronik (Systemic Lupus Erythematous,
lymphoproliferative disorder atau imunodefisiensi). Obat-obatan dapat menyebabkan anemia
hemolitik yang Coombs positif dengan membentuk hapten pada membran eritrosit (penisilin)
atau membentuk kompleks imun (quinidine) yang menempel pada membran eritrosit. Antibodi-
antibodi kemudian mengaktivasi hemolisis intravascular yang dicetuskan oleh komplemen.
Penggunaan terapi α-metildopa berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan pada membran
eritrosit, menyebabkan pembentukkan neoantigen. Antibodi-antibodi diproduksi menempel pada
neoantigen; hal ini lebih sering membuat hasil tes antiglobulin (coombs) positif daripada
menyebabkan hemolisis.1

BAB V: PENDEKATAN MORFOLOGI

Anemia diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan jumlah Hb dalam eritrosit. Anemia mikrositik
hipokrom disebabkan oleh produksi Hb inadekuat. Etiologi paling sering adalah anemia
defisiensi besi dan talasemia. Anemia normositik normokrom sebagian besar disebabkan oleh
penyakit sistemik yang menggangu sintesis eritrosit oleh sumsum tulang. Defisiensi vitamin B12
dan asam folat dapat menyebabkan anemia makrositik. Penyakit hemolitik disebabkan penyakit
intrinsic atau ekstrinsik dari eritrosit yang menyebabkan peningkatan penghancuran sel darah

6
merah. Gangguan membran eritrosit tersering adalah sferositosis herediter dan eliptosis dimana
pada keduanya, abnormalitas protein dalam sitoskeleton menyebabkan abnormalitas ukuran dan
fungsi eritrosit. Banyak defisiensi enzim eritrosit yang dapat menyebabkan hemolisis tetapi
hanya 2 yang sering terjadi yaitu defisiensi enzim G6PD dan piruvat kinase. Hemolisis yang
dimediasi sistem imun dapat ekstravaskular bila eritrosit diselimuti oleh antibodi atau
komplemen dan difagosit oleh sistem retikuloendotelial. Hemolisis intravascular bila antibodi
yang menempel pada eritrosit menyebabkan fiksasi komplemen dan lisisnya eritrosit.1

Gambar 4. Morfologi Abnormal Eritrosit. A, normal. B, Mikrositik hipokrom (defisiensi besi).


C, Schistocytes (hemolytic uremic syndrome). D, Blister cells (defisiensi G6PD). E, Sickle cells
(Hb SS disease). F, Sferosit (anemia hemolitik autoimun)1

BAB VI: GEJALA KLINIS

Onset akut anemia dapat menyebabkan keadaan yang terkompensasi buruk, didapatkan
takikardi, murmur, toleransi exercise buruk, sakit kepala, mengantuk terutama pada bayi atau
terlihat lemas, gelisah, tidak mau menetek, dan sinkop. Sebaliknya pada anemia kronik keadaan
umum anak terlihat baik karena terkompensasi oleh jantung. Biasanya anak dengan anemia
kronik hanya punya takikardi minimal dan murmur dari pemeriksaan fisik.1

7
Anemia pada usia berapapun harus dicari apakah saat itu sedang terjadi perdarahan.
Riwayat ikterik, pucat, riwayat anemia anak kehamilan sebelumnya, ibu mengkonsumsi obat
selama kehamilan, perdarahan banyak saat melahirkan penting untuk diagnosis anemia pada
neonatus. Selain itu juga perlu ditanyakan secara cermat riwayat makan anak. Kunci diagnosis
anemia hemolitik adalah jaundice, pucat dan splenomegali. Penyakit hemolitik kongenital
(defisiensi enzim dan gangguan membran eritrosit) biasanya muncul pada 6 bulan pertama
kehidupan tetapi biasanya tidak terdiagnosis. Riwayat konsumsi obat juga harus ditanyakan
secara lengkap.1

Gambar 5. Alur Diagnosis Anemia berdasarkan Hitung Retikulosit1

AIHA menyebabkan anemia hemolitik. Anak akan datang dengan lemas atau pucat
karena anemia. Pusing, sakit kepala, dan nafas pendek adalah tanda anemia lebih berat. Jaundice
atau sclera ikterik dapat ditemukan karena bilirubin naik akibat hemolisis ekstravaskular. Urin
berwarna gelap seperti soda coca cola terjadi bila hemolisisnya intravaskular (dan berat). Nyeri
abdomen, bisa terdapat demam subfebris (low-grade fever), khususnya dengan infeksi virus
sebagai pencetus.7

8
BAB VII: RIWAYAT PENYAKIT

Pada anemia hemolitik secara umum, terdapat beberapa petunjuk diagnosis dari riwayat
penyakitnya seperti dari usia didapatkan:1

1. Anemia pada neonatus dengan retikulositosis mengarah ke hemolisis atau perdarahan, bila
dengan retikulositopenia mengarah ke gagal sumsum tulang.

2. Talasemia beta muncul saat HbF menghilang yaitu usia 4-8 bulan.

Tabel 1. Riwayat Penyakit Jenis-jenis Anemia1

Selain itu, dari riwayat penyakit keluarga


dan genetic didapatkan defisiensi G6PD
diturunkan secara X-linked, sferositosis
secara autosomal dominan, talasemia lebih
banyak terjadi pada penduduk daerah
Mediterania dimana talasemia beta pada penduduk Mediterania, keturunan Afrika, dan Asia,
sedangkan talasemia alfa pada penduduk keturunan Afrika dan Asia; anemia defisiensi G6PD
lebih banyak terjadi pada penduduk daerah Asia Tengah. Status gizi seperti kekurangan vitamin
atau asam folat tidak mempengaruhi anemia hemolitik.1

9
Obat-obatan tertentu seperti jenis oxidants (Nitrofurantoin, obat-obatan anti-malaria) dapat
menyebabkan anemia defisiensi G6PD, antibiotic seperti golongan penisilin dapat menyebabkan
hemolisis yang dimediasi imun (Immune-mediated hemolysis). Infeksi mycoplasma dan malaria
dapat menyebabkan hemolisis sehingga terjadi anemia hemolitik.1

BAB VIII: PEMERIKSAAN FISIK


Tabel 3. Pemeriksaan Fisik pada Anemia1

10
Pada anemia hemolitik, kulit akan terlihat pucat, konjungtiva anemis disertai jaundice,
sklera ikterik. Bisa terdapat splenomegali atau normal. Bisa terdapat takikardi, khususnya bila
onset anemia nya baru-baru ini. Bila terdapat hepatosplenomegali dan limfadenopati patut
dicurigai apakah ada keganasan. AIHA tipe cold bisa terdapat acrocyanosis seperti yang terlihat
pada sindrom Raynaud.7

BAB IX: PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit,
MCV menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan
makrositik. Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai evaluasi
awal. Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs, jumlah
leukosit, dan trombosit. Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi dapat menunjukkan etiologi
anemia. Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan dengan penyebab anemia; pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan terakhir seandainya penyebab anemia masih belum diketahui.3

11
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium untuk AIHA

Gambar 5. Sediaan Apus Darah Tepi AIHA (Sferosit dan Eritrofagositosis)

Gambar 6. Coombs Test1

12
Gambar 7. Pendekatan Diagnosis berdasarkan MCV dan Jumlah Retikulosit3

13
BAB X: DIAGNOSIS

Diagnosis AIHA merangkap berbagai macam pemeriksaan laboratorium yaitu dengan


pemeriksaan darah lengkap ditemukan anemia, biasa dengan MCV normal (normositik
normokrom). RDW biasa tinggi karena peningkatan hitung retikulosit sehingga juga terdapat
retikulositosis sesaat, leukosit dan trombosit normal (kecuali sindrom Evans. Pemeriksaan apus
darah tepi menunjukan sferosit, terbentuk ketika bagian dari membran eritrosit yang diselimuti
oleh antibodi dibuang oleh lien, menyebabkan sferosit, bukan eritrosit bentuk bikonkaf seperti
biasanya. Peningkatan hemolisis menyebabkan peningkatan sferositosis. AIHA tipe cold dapat
menyebabkan aglutinasi eritrosit di apus darah tepi. Dapat juga ditemukan eritrofagositosis.
Pemeriksaan kimia darah menunjukan peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, namun
kadar bilirubin terkonjugasi normal, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) karena
peningkatan pembentukan eritrosit, penurunan haptoglobin (menempel dengan Hb bebas) karena
hemolisis. Hemoglobinuria jarang terjadi pada AIHA tipe warm tapi cukup sering ditemukan
pada tipe cold dan PCH. Pemeriksaan patognomonik untuk AIHA adalah Coombs test atau
disebut juga Direct Antiglobulin Test (DAT) mendeteksi antibodi IgG atau C3 yang menempel
pada eritrosit pasien. Pada tipe warm, IgG DAT akan positif, pada tipe cold, komplemen DAT
akan positif, menunjukan adanya komplemen di permukaan eritrosit. DAT dilakukan dengan
inkubasi eritrosit pasien dengan reagen yang mengandung anti-IgG atau anti-komplemen untuk
mendeteksi antibodi. Terkadang AIHA dapat Coombs test negative, atau lebih jarang lagi, pasien
AIHA asimptomatik dengan Coombs test positif. Pemeriksaan dilakukan pada suhu 4ºC, 22ºC,
30ºC dan 37ºC untuk menentukan suhu maksimal terjadinya aglutinasi. Pemeriksaan Donath-
Landsteiner dilakukan bila curiga PCH, serum pasien diinkubasi dengan eritrosit normal pada
0ºC dan 37ºC tidak ditemukan lisis eritrosit, tetapi bila inkubasi pertama terjadi pada 0ºC
kemudian pindah ke 37ºC lisis akan terjadi.7,9

BAB XI: DIAGNOSIS DIFERENSIAL

AIHA terjadi akibat penghancuran eritrosit yang dimediasi antibodi. Penyebab lain
hemolisis harus diperhitungkan dan diekslusi mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Sferositosis herediter (HS) terdapat anemia dan sferositosis juga, mirip dengan AIHA
namun Coombs test nya negatif. Enzimopati dan defek membran eritrosit dapat bermanifestasi
sebagai anemia dan hemolisis juga. Riwayat penyakit keluarga mungkin berguna dalam evaluasi

14
untuk defek membran eritrosit karena banyak pasien memiliki riwayat penyakit keluarga positif.
Urin berwarna gelap karena hemolisis intravascular umum terjadi pada AIHA tipe cold tapi juga
bisa merupakan klinis yang menonjol dari PNH. Anemia dan hemolisis juga terdapat di
gangguan mikroangiopati seperti hemolytic uremic syndrome (HUS) dan trombotic
thrombocytopenic purpura tetapi terdapat trombositopenia dan schistocytes pada sediaan apus
darah tepi bisa membedakan dengan AIHA. Selain itu AIHA juga bisa disebabkan oleh penyakit
lain seperti SLE atau lymphoma, infeksi HIV. Ketidakcocokan ABO saat transplan organ atau
sumsum tulang juga bisa menyebabkan anemia hemolitik. Tetapi AIHA sekunder lebih sering
terjadi pada dewasa.7

BAB XII: PENATALAKSANAAN

70-80% anak dengan AIHA datang dengan gejala bersifat akut dan anemia ringan, serta
biasanya remisi spontan dengan resolusi dalam 6 bulan sehingga intervensi mungkin minimal
atau tidak perlu. Transfusi mungkin diperlukan pada AIHA berat. Mayoritas anak-anak dengan
AIHA sebelumnya sehat, tidak mungkin terekspos kondisi seperti hamil atau transfusi yang
dapat menyebabkan pembentukan aloantibodi. Karena mayoritas antibodi AIHA menyerang
antigen eritrosit yang umum yaitu epitope Rh, mencari unit darah yang cocok sempurna tidak
mungkin dilakukan. Maka dari itu, transfusi eritrosit lambat boleh dilakukan, sambil dipantau
reaksi transfusi. Setelah ditransfusi, eritrosit yang baru kemungkinan juga dapat diserang oleh
antibodi juga, namun transfusi tetap dilakukan dahulu untuk meredakan gejala sambil dilakukan
terapi lain. Beberapa klinisi menganjurkan diberi unit darah yang “least incompatible” yaitu
yang ketidakcocokannya paling minimal namun guideline transfusi paling baru mendukung
dilakukannya transfusi darah tidak peduli hasil crossmatch ketika sudah diketahui
aloantibodinya. Kadar Hb kurang dari 4 butuh transfusi, begitu juga dengan anak dengan gejala
klinis yang signifikan, terutama yang dengan retikulositopenia. Untuk AIHA tipe cold,
penghangat darah dibutuhkan untuk mempertahankan suhu 37ºC.8,9

Terapi lini pertama adalah kortikosteroid, biasa prednisone 1,0-1,5 mg/kgBB/hari selama
1-3 minggu hingga kadar Hb > 10 g/dl. Respon terutama saat minggu kedua, dan apabila tidak
ada respon atau respon minimal pada minggu ketiga, terapi steroid dianggap tidak efektif.
Setelah Hb stabil, prednisone di tapper off 10-15 mg/minggu, kemudian 5 mg per 1-2 minggu
hingga dosis mencapai 15 mg, kemudian 2,5 mg/2 minggu dengan tujuan menghentikan obat

15
secara total. Meskipun ada keinginan untuk tapper off steroid lebih cepat lagi, pasien AIHA
harus diobat minimal 3-4 bulan dengan prednisone low dose (≤ 10 mg/hari). Malah pasien yang
diterapi steroid low dose selama lebih dari 6 bulan, insidens relapsnya lebih rendah dan durasi
remisi lebih lama daripada yang dalam 6 bulan sudah stop steroid. Selain itu pasien yang diterapi
steroid harus ditambahkan suplemen bifosfonat, vitamin D, kalsium dan asam folat.8

Pasien AIHA dengan hemolisis cepat dan anemia sangat berat atau kasus kompleks
seperti sindrom Evans, mungkin butuh Metilprednisolon IV 100-200 mg/hari 10-14 hari atau
250-1000 mg/hari 1-3 hari, meskipun terapi steroid dosis tinggi ini hanyalah dari laporan kasus.
Terapi steroid diharapkan menghasilkan respon pada 75-80% pasien namun hanya 1 dari 3 kasus
tetap dalam remisi begitu steroid dihentikan, 50% butuh dosis maintenance, 20-30% butuh terapi
lini kedua tambahan. Pasien yang tidak respon terhadap steroid wajib dievaluasi apakah ada
penyakit yang mendasari seperti keganasan atau autoantibody IgM yang refrakter terhadap
steroid.8

Terapi lini kedua pilihan untuk AIHA tipe warm adalah splenektomi (karena
penghancuran eritrosit utamanya adalah di lien). Indikasinya adalah:8,9

- Tidak respon terhadap steroid

- Butuh steroid prednisone dosis maintenance lebih dari 10 mg/hari

- Yang sering relaps

Namun kegunaannya dan durasi remisi post splenektomi belum diketahui datanya. Faktor
yang mendukung splenektomi adalah kegunaannya yang cepat terlihat, respon awal baik: remisi
parsial atau komplit pada 2 dari 3 pasien (38-82% tergantung primer atau sekunder, yang
sekunder lebih tidak responsif). Selain itu, sebagian dari pasien yang sudah splenektomi tetap
dalam remisi beberapa tahun tanpa obat, dengan tingkat kesembuhan diasumsikan sekitar 20%.
Bila post splenektomi masih perdarahan, steroid tetap diberikan, namun dosisnya lebih rendah
daripada pre-splenektomi. Bila harus dilakukan splenektomi, harus dipertimbangkan risiko
operasi, yang paling ditakutkan terjadi adalah sepsis, walau sudah diberi vaksinasi
(pneumokokus, meningokokus dan hemofilus) dan antibiotik profilaksis, dan juga perlu
dipertimbangkan risiko tromboemboli. Pada sebuah penelitian yang terdapat 256 pasien AIHA

16
anak (99 nya dengan sindrom Evans), splenektomi dilakukan pada 13,9% dari total kasus. Perlu
diingat meskipun insidens infeksi pada anak dan dewasa dilaporkan mirip, tingkat mortalitas
anak lebih tinggi daripada dewasa (1,7% vs 1,3%).8

Tabel 4. Tatalaksana AIHA

Rituximab (antibodi monoclonal terhadap antigen CD20 sel B) dosis 375mg/m2 per
minggu selama 4 minggu terbukti efektif terhadap tipe warm baik yang primer maupun sekunder,
termasuk yang berhubungan dengan gangguan autoimun dan limfoproliferatif dan transplan
sumsum tulang. Dapat diberikan monoterapi atau dikombinasikan dengan steroid,
imunosupresan dan interferon-α. Jangka waktu hingga respon terhadap terapi timbul bervariasi,
dari penelitian didapatkan sebanyak 87,5% respon post terapi rituximab muncul setelah 1 bulan
dan 3 bulan pada 12,5% pasien. Terapi ini bermanfaat untuk anak dan pada sindrom Evans
(responnya sebesar 83%). Bahkan pada kasus-kasus terbaru, terdapat respon terhadap terapi
rituximab pada 94% pasien. Rituximab cukup aman, untuk menghindari terinfeksi hepatitis B
karena rituximab dan steroid berkepanjangan dapat menyebabkan reaktivasi hep B, diberi
antiviral profilaksis. Untuk meminimalisir efek samping dan pengeluaran, rituximab low-dose
(100mg fixed dose/minggu selama 4 minggu) terbukti efektif pada AIHA yang tidak respon
terhadap terapi konvensional, diberikan sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan
alemtuzumab. Lebih dari itu, rituximab low-dose sebagai terapi lini pertama atau kedua dapat
menimbulkan respon rate 89% (respon komplit 67%), 68% pasien bebas dari relaps selama 36
bulan, sehingga patut dipertimbangkan pemberian rituximab pada awal terapi. Kemudian trial
random fase III menunjukan 70% pasien diterapi glukokortikoid dan rituximab masih remisi

17
pada waktu 36 bulan post terapi, dibandingkan monoterapi dengan steroid, hanya 45% yang
masih remisi pada waktu 36 bulan post terapi.8

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) sering dipakai pada kasus AIHA, monoterapi atau
kombinasi dengan prednisone, kebanyakan dipakai pada kasus anak, mungkin karena efektifnya
sudah terbukti pada kasus ITP, lebih respon terhadap terapi ini (54% kasus anak terdapat respon)
dan insidens efek samping lebih rendah dibanding terapi lain. Namun penggunaannya masih
kontroversial karena hanya sedikit kasus yang sudah dilaporkan. Di guideline baru, IVIG dosis
tinggi untuk AIHA tidak direkomendasikan, kecuali mengancam nyawa.8

Plasma exchange pernah dilakukan pada sedikit kasus AIHA tipe warm yang sangat berat, pada
anak dan dewasa yang anemia tidak dapat distabilkan dengan steroid dan transfusi saja. Hasilnya
tidak konsisten dan hasil yang baik hanya bertahan sebentar. Menurut American Association of
Blood Banks (AABB) dan American Society for Apharesis, plasma exchange untuk AIHA
dianggap indikasi kategori III.8

Terapi Suportif dengan transfusi darah, keputusan untuk transfusi darah sebaiknya tidak
tergantung hanya dari kadar Hb, namun juga melihat klinis pasien dan komorbiditas, derajat
penyakit, kecepatan progress anemia, dan adanya hemoglobinuria/hemoglobinemia/manifestasi
hemolisis berat lain. Transfusi harus dilakukan pada kondisi kritis, bahkan pada kasus dimana
tidak ada unit darah yang benar-benar cocok karena autoantibody warm biasanya panreaktif.
Untuk meminimalisir febris akibat antibodi anti-leukosit, PRC yang leuko-depleted dipakai
untuk AIHA. Jumlah pemberian harus hati-hati supaya tidak mengganggu hemodinamik, diberi
perlahan, tidak lebih dari 1 ml/kg/jam.8

Edukasi

- Beritahukan anak bahwa kedepannya akan banyak kunjungan ke dokter, pengambilan darah
dan harus minum obat.

- Beritahukan bahwa kedepannya aktivitas dan rutinitas anak akan terganggu.Anak harus
istirahat bila lelah, boleh tetap sekolah seperti biasa tetapi bila harus pulang lebih awal karena
tidak mampu mengikuti aktivitas sepanjang hari, sebaiknya tugas sekolah dibawa pulang.

18
- Diet makanan seimbang, banyak minum air putih dan istirahat banyak. Makan makanan dari
keempat golongan makanan dalam beberapa porsi kecil per hari. Konsumsi suplemen, vitamin
atau obat herbal sebaiknya ditanyakan ke klinisi yang bertanggung jawab karena beberapa dapat
mengganggu terapi.10

BAB XIII: PROGNOSIS

Prognosis AIHA pada anak cukup baik, mayoritas atau sekitar 80% dari total kasus
AIHA anak remisi spontan.1

BAB XIV: KESIMPULAN

Anemia Hemolitik autoimun adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh


pembentukkan antibodi terhadap antigen eritrosit, dibagi menjadi primer dan sekunder dimana
yang primer dibagi menjadi tipe warm dan cold, yang lebih sering terjadi adalah tipe warm.
Ditandai dengan jaundice, pucat dan splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapat
anemia normositik normokrom, retikulositosis, RDW tinggi, leukosit dan trombosit normal; pada
pemeriksaan apus darah tepi didapat sferosit; dan Coombs test direct (+). Terapi tergantung
derajat anemia dan gejala klinis pasien dimana 70-80% anemia ringan sehingga dapat resolusi
dalam 6 bulan maka tidak perlu intervensi/minimal saja. Prognosis cukup baik.

19
CBC : Complete Blood Count

EPO : Eritropoietin

Hb : Hemoglobin

Ht : Hematokrit

MCV : Mean Corpuscular Volume

MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin

MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration

RDW : Red Blood Cell Distribution Width

Rt : Retikulosit

AIHA : Autoimmune Hemolytic Anemia

PCH : Paroxysmal Cold Hemoglobinuria

PRC : Packed Red Cell

BAB XII: DAFTAR PUSTAKA

20
1. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics, 7th ed.Philadelphia: Elsevier;
2015. p.217,509-13,520,522

2. Kett JC. Anemia in infancy.2012; vol 33(4): 186-9. [Online]. Available from:
http://pedsinreview.aappublications.org/ [cited 21 Mei 2016]

3. Irawan H. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. 2013; vol 40(6): 422-4 [cited 20 Mei
2016]. Available from:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_205Pendekatan%20Diagnosis%20Anemia%20pada%20
Anak.pdf.

4. Beris P, Lambert JF. 2012. Pathophysiology and differential diagnosis of anemia. Dalam:
Disorders of erythropoiesis, erythrocytes and iron metabolism. [Online]. Available from:
www.esh.org/.../IRON2009_CAP.4(108-141).pdf [cited 21 Mei 2016]

5. Pasricha SR. Anemia: a comprehensive global estimate. 2014; 123(5): 611-2. Doi:
http://dx.doi.org/10.1182/blood-2013-12-543405 [cited 21 Mei 2016]

6. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic anemia. 2014; 69(11): 2599-601.[Online]
Available from:
http://www.med.umich.edu/digitallab/m2pathlabs/hemepath/PDF%20files/2004%20concise%20
review%20dx%20hemolytic%20anemia.pdf. [cited 21 Mei 2016]

7. Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, Stapleton B, Oh W, Whitley RJ, ed. Textbook of clinical
pediatrics, 2nd ed. New York: Springer; 2012.p.2968-71.

8. Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolytic anemias. 2014; 99(10): 1547-54


[Online]. Available from: www.haematologica.org/content/99/10/1547 [cited 21 Mei 2016]

9.Autoimmune hemolytic anemia. 2013. Diunduh dari:


https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/autoimmune-hemolytic-anemia, 22 Mei 2016

10. Autoimmune hemolytic anemia. 2012. Diunduh dari: http://www.ihtc.org/payors/conditions-


we-treat/other-hematological-disorders/autoimmune-hemolytic-anemia/, 22 Mei 2016.

21

You might also like