You are on page 1of 5

 Kolitis Tuberkulosa

Batasan
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.

Epidemiologi
Lebih sering ditemukan di Negara bekembang dengan penyakit tuberculosis yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Patofisiologi
Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberculosae biasanya lewat tertelanya sputum yang
mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu yang tercemar Mycobacterium bovis.
Terdapat hubungan tingginya frekuensi tuberculosis saluran cerna dengan beratnya tuberculosis
paru. Timbul 3 bentuk kelainan : 1) ulseratif lesi aktif berupa tukak superficial, 2) hipertropik
bentuk lesinya berupa parut fibrosis dan massa yang menonjol menyerupai karsinoma, 3)
ulserohipertropik terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua
bagian saluran dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering (85-90% kasus) adalah di daerah
ileosekal.

Gejala Klinis
Keluhan paling sering adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat terjadi diare
ringan bercampur darah kadang-kadang konstipasi, anoreksia, demam ringan, penurunan berat
badan, atau teraba massa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada
tinja, tetapi pada pasien dengan tuberculosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya
berasal dari kuman yang tertelan bersama sputum.

Diagnosa
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberculosis di jaringan, baik
dengan pemeriksaan, mikroskopik langsung atau atas dasar hasil kultur biopsy jaringan.
Sedangkan diagnosis dugaan adanya colitis tuberkulosa adalah bila didapatkan tuberkulosa paru
aktif dengan penyakit ileosekal.
Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk mukosa,
ulserasi, stenosis,pseudopolip, atau massa mirip keganasan di sekum.

Pemeriksaan penting untuk menegakan diagnose colitis tuberkulosa dengan kolonoskopi.


Dengan kolonoskopi didapatkan visualisasi lesi secara langsung, sekaligus melakukan biopsy
untuk pemeriksaan kultur dan histopatologi. Pada tuberculosis kolon biasanya ditemukan
penyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang ireguler dan edematous.

Diagnosa Banding
Penyakit Crohn, amebiasis, diverticulitis, dan karsinoma kolon

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi berupa perdarahan, perforasi, obstruksi intestinal,
fistula dan sindrom malabsorbsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi intestinal.

Penatalaksanaan
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada pengobatan
tuberculosis pau. Kadang perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa
obat anti tuberculosis yang sering dipakai adalah :
 INH 5-10 mg/kgBB atau 400mg sekali sehari
 Etambutol 15-25 mg/kgBB atau 900-1200 mg sekali shari
 Rifampisin 10 mg/kgBB atau 450-600 mg sekali sehari
 Pirazinamid 25-35 mh/kgBB atau 1,5-2 g sekali sehari.

Kolitis Pseudomembran

Batasan
Colitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan
terbentuknya lapisan eksudatif yang melekat di permukaan mukosa.

Etiologi
Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakaian antibiotic, namun colitis
pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotic. Yang dianggap sebagai kuman
penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan colitis.
Mekanisme pasti antibiotic menjadikan usus lebih rentan terhadap C.difficile belum jelas.
Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora usus normal oleh antibiotic memberi
kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi C.difficile disertai pengeluaran toksin.

Epidemiologi
C.difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di
kolonnya. Colitis pseudomembran bisa mengenai semua umur. Penularan bisa secara kontak
langsung lewat tangan atau perantara makanan minuman tercemar. Semua jenis antibiotic kecuali
aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan colitis pseudomembran, namun yang paing
sering adalah ampisilin, klindamisin dan sefalosporin.

Patogenesis
C.difficile menimbulkan colitis dengan cara toxin-medicated. Kuman mengeluarkan dua
toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh
terhadap semua kelainan yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat
pada mukosa yang masih utuh.

Gejala Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotic digunakan, tetapi mungkin
pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotic dihentikan. Gejala yang paling sering dikeluhkan
adalah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan, tetapi biasanya banyak
sampai 10-20 kali sehari. Sebagaian besar pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi
hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 380C. Terdapat leukositosis sering sampai
50.000/mm. yang lebih sering terjadi adalah colitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi
komplikasi berupa dehidrasi, edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau
perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik meningkatkan resiko megakolon.
Diagnosa
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotic perlu dipikirkan
terjadinya colitis pseudomembran. Diagnosis colitis pseudomembran dapat cepat dibuat dan
akurat dengan melakukan pemeriksaan kolonoskopi. Jika ditemukan lesi khas colitis
pseudomembran, seyogyanya tetap dilaukan biopsy untuk pemeriksaan histopatologi. Secara
tipikal, diawali dengan lesi kecil (2-5mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul mukosa
diantaranya seringkali terlihat normal atau mngkin menunjukan berbagai derajat eritema,
granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna
kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsy terlihat mukosa di bawahnya
mengalami ulserasi.
C.difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang
terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostic, karena pada pasien yang
berada di rumah sakit tanpa colitis ditemukan biakan C.difficile positif sebesar 10-25%.

Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B di tinja, sehubungan dengan efek
sitopatik toksin B pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal,
biasanya cukup memeriksa terdapatnya toksin A dengan metode ELISA.

Gambaran histopatologi colitis pseudo membrane bervariasi tergantung beratnya penyakit


dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price dan Davies (1977), membagi lesi menjadi 3 tipe. Lesi
tipe 3 yang ditandai dengan nekrosis total mukosa tidak khas karena C.difficile, dapat terjadi pula
pada kasus berat lainnya, misalnya colitis iskemia.

KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI KOLITIS PSEUDOMEMBRAN


Lesi Klasifikasi Histopatologi
Vulkano Tipe 1 Nekrosis epithelial fokal
dengan PMN dan fibrin
tersebar di dalam lumen
Glandular Tipe 2 Pelebaran kelenjar
dengan PMN dan musin,
dilapisi pseudomembran.
Mukosa sekitarnya tidak
terkena.
Nekrosis Tipe 3 Nekrosis mukosa total
dengan mukosa dilapisi
pseudomembran yang
tebal.

Diagnosa Banding
Colitis pseudomembran perlu dibedakan dengan kasus diare akibat kuman pathogen lain,
efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotic, colitis non-infeksi dan sepsis intra
abdominal.
Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotic yang diduga menjadi penyebab,
juga obat yang mengganggu peistaltik dan menvegah penyebaran nosokomial. Pada kasus yang
ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotic disertai pemberian cairan dan
elektrolit. Pada kasus dengan gejala yang lebih berat seyogyannya dilakukan pemeriksaan
deteksi oksin C.difficile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazol atau vankomisin,
Pada colitis ringan sampai sedang digunakan metronidazol dengan dosis peroral 250-500
mg empat kali sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan colitis yang berat menggunakan
vankomisin per oral, dosisnya 125-500mg empat kali sehari selama 7-14 hari. Alternative
pengobatan lainnya menggunakan kolestiramin untuk mengikat toksin yang dihasilkan
C.difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga
kali sehari selama 5-10 hari.

Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau bulan
kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan sete;ah pengobatan spesifik diusahakan
kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces
boulardii) selama beberapa minggu.

You might also like