You are on page 1of 10

PART 1

Bagi kelas 10-IPS3 SMA 3 KOTABUMI, mungkin gaduh sudah menjadi ciri khas. Bagaimana
tidak? Sebagian besar dari kelas itu adalah anak-anak yang sangat nakal. Hampir setengah kelas
memiliki sifat tidak peduli terhadap sekitarnya, sehingga membuat Aji selalu kewalahan
menghadapi mereka. Ia sudah sering meneriaki mereka jika mereka ribut, mengingatkan
mereka piket atau belum mengumpulkan tugas. Tapi, mereka tetap cuek-cuek saja.

“WOI, JANGAN BERISIK DONG!” seru Aji di kelas sambil berdiri di tempatnya. Ia menatap satu
per satu teman-temannya yang masih saja sibuk mengobrol sendiri, berharap paling tidak salah
satu dari mereka peka dengan ucapannya.

Namun, ia tak perlu banyak berharap. Mereka tetap betah pura-pura budek dengan seruan Aji.
Bukannya menjadi hening, malah justru semakin ribut. Aji hanya bisa menghela nafas, selalu
saja seperti ini jika kelas sedang tidak ada guru. Mereka selalu saja berpikiran bahwa jam jam-
jam kosong berarti kebebasan untuk mereka melakukan apa saja. Padahal, setiap guru yang
absen pasti meninggalkan tugas untuk dikerjakan murid-muridnya. Tapi tetap saja, ujung-
ujungnya pasti Aji dan teman-temannya saja yang selesai. Yang lainnya? Kumpul terlambat
semua.

“Hei, diam semua!” teriak Aji lebih keras.

“Apaan sih Jik?” salah satu dari mereka menyahut dengan kesal. “Kalau nggak suka kita ribut,
nggak usah nyolot dong. Gak tahu apa kita lagi ngobrol?”

“Maaf ya, anaknya Boet alias Doni Maliki, saya tahu kamu merasa jadi boss disini, tapi saya
nggak bisa tenang ngerjain tugas kalau kalian ribut terus,” balas Aji balik. “Kalian harusnya
ngerjain tugas dari Pak Erson, kan harus diumpul hari ini juga.”

“Halah, santai aja kali. Palingan ujung-ujungnya nggak dinilai, terus disuruh periksa bareng-
bareng. Mendingan kerjainnya nanti aja kalau Pak Erson udah masuk. Bener gak, temen-
temen?” sahut anak lain yang sifatnya mirip dengan Doni. Muhammad Yaris.

“Betul tuh! Betul!” seru yang lainnya kompak.


“Kamu mau saya laporin ke Pak Erson? Nggak cuma Doni, kalian semua bakalan saya catet
namanya karena ribut di kelas terus!” kata Aji sebal menatap mereka. “Jam kosong itu harusnya
tetep belajar. Bukannya ribut sendiri-sendiri!”

“Eh kamu mau ngelapor? Silahkan! Siapa takut?!” kata Yaris sambil tersenyum sinis. “Kamu tuh
udah cupu, belagu lagi! Heran saya kenapa bisa masuk ke SMANTHREE.”

“Udahlah guys, kita lanjut ngobrol aja. Ngapain dia digubris. Toh dia cuma ketua kelas nggak
becus.” kata Doni. Tanpa aba-aba, mereka semua kembali sibuk sendiri tanpa menghiraukan
Aji.

Aji menghela nafasnya. Lagi-lagi seperti ini. Doni dan Yaris. Teman sekelasnya itu selalu
membuat semuanya kacau. Nanti ujung-ujungnya pasti Aji yang ditegur karena tidak bisa
mengendalikan kelas. Sejujurnya, ia tak tahu harus bagaimana membuat teman-teman
sekelasnya menurut dengan adanya dua anak pembuat masalah itu. Setelah kelas Pak Erson itu
jam istirahat. Begitu bel berbunyi, hamper semua anak-anak 10-3 langsung pergi keluar untuk
pergi ke kantin. Sementara Aji sendiri hanya bisa menenggelamkan kepalanya di atas kedua
tangan kurusnya. Kalau tidak begini, setelah istirahat nanti mungkin otaknya akan pecah
menghadapi teman-teman sekelasnya.

Namun, tak semua murid memperlakukan Aji dengan tidak adil seperti Doni dan Yaris. Ada
beberapa siswa yang selalu mendukungnya untuk terus semangat menghadapi mereka. Di
antaranya adalah teman-temannya dari SMP yang ikut masuk ke SMAN 3 KOTABUMI.

“Hei, Aji Purnawan!” panggil seseorang sambil menepuk pundak Aji. Orang itu langsung
mengambil tempat duduk di sebelahnya. Diikuti oleh dua lelaki lainnya yang juga merupakan
teman baik Aji.

“Gue mau tidur Yo.” Jawab Aji di balik kedua tangannya.

“Aduh, lo kayak baru pertama kali ngadepin kelas kita aja sih, Jik. Jangan dimasukin kedalem
hati Bro. Kan masih ada kita-kita ini,” kata Yoyo. “Ada pepatah mengatakan, bersenang-senang
dahulu, bersakit-sakit kemudian!”

Julian Dwi Anggoro atau yang akrab disapa Yoyo itu sudah sangat mengenal Aji dari dulu.
Walaupun sikapnya aneh, ingin bijak tapi selalu saja gagal, ia selalu membawa keceriaan di
antara tiga orang temannya. Kadang-kadang jika Aji sedang butuh hiburan, justru
kekonyolannya itu yang bisa membuat ia tersenyum kembali.

“Kebalik woi!” seru laki-laki lain yang duduk di depan Aji. Ia langsung tak segan-segan menjitak
kepala Yoyo dengan keras. “Cowok aneh macem lo mau sok-sok bijak.”
Namanya Tengku Riyan. Jangan tertipu dengan nama depannya. Dia tetap asli orang Lampung.
Laki-laki berambut gondrong yang memiliki wajah tanpa ekspresi itu seringkali dipanggil sebagai
Aan dan dikenal sebagai orang yang cukup cuek dengan sekitarnya.

“Apaan sih lo, An? Kasar banget jadi orang.” Kata Yoyo sambil menjitak balik.

“Eh, berani lo sama gue? Mau gue kerjain lagi sampai celana lo sobek kayak dulu?” tanya Aan
dengan mata tajam.

Yoyo mengangkat tangannya kepada Aan. Kalau Aan sudah mengeluarkan kalimat itu, lebih baik
dia mengalah, daripada nanti dia menjadi korbannya lagi seperti dulu. Sebelum mereka
bersahabat begini, Aan memang tidak sudi bergaul dengan Yoyo, Aji, dan satu orang lagi, Deri.
Namun, karena satu dan dua hal, akhirnya ia bersahabat dengan mereka sampai sekarang.

Deri tertawa kecil melihat teman-temannya. “Udah, jangan ikutan ribut, guys.”

Inilah salah satu alasan mereka berempat bisa bersahabat dekat sampai sekarang. Deri tak jera-
jera mendekati Aan ketika ia baru masuk ke sekolah dan teman-temannya. Tak tahu juga apa
yang dilakukannya, yang pasti Yoyo dan Aji ikut senang melihat mereka bisa bersahabat sampai
sekarang.

“Dia yang mulai, Der!” kata Aan sebal.

“Eh, enak aja! Lo yang sewot duluan!” kata Yoyo dengan mulut manyun.

“Bertengkar itu bukan soal siapa yang bisa mulai duluan, tapi bagaimana lo bisa berbesar hati,
memaafkan dan melupakan semuanya.” Kata Deri sambil tersenyum.

Keduanya pun langsung terdiam. Suara Deri yang sangat ramah itu memang selalu bisa
membuat teman-temannya yang bertengkar langsung hening. Sekalinya berbicara, deri selalu
bisa menusuk perasaan siapa saja.

“Udahlah, lo pada emangnya gak laper apa? Mendingan kita sekarang ke kantin buat makan
siang.”

“Lo nggak mau ikut Jik?” Tanya Deri.

“Gue nggak nafsu makan, nitip gorengan aja dah. Buat ganjel perut nanti kalo laper.” Kata Aji
sambil merogoh tas dan mengambil uang lima ribuan untuk dibawa Deri.

“Oke.”

“Yaudah, kalau begitu, kita duluan ya!” pamit Yoyo kembali menepuk pundak Aji. Diikuti oleh
Aan dan Deri.
Aji tetap diam saja ditempatnya. Sejak dulu ia memang selalu berpenampilan rapih dan bersih.
Bajunya dimasukan kedalam celana, dasi selalu dia pakai, rambut tersisir rapih.

Rasanya pemilihan ketua kelas dengan cara diundi merupakan keputusan yang salah dari Ibu
Siti Ngaisah waktu itu. Tapi, entahlah. Aji juga tidak bisa apa-apa. Kalau dia sudah diberi
tanggung jawab, bukan kah ia harus menjalankan dengan sungguh-sungguh?

PART 2

“Cuma kalian berdua yang belum ngumpulin tugas Pak Erson.”

Yaris dan Doni menatap tajam ke arah Aji yang tadi mengganggu waktu istirahat mereka di
kelas. Ketua kelas mereka itu tak jera-jera mencari alasan agar Yaris dan Doni segera
mengumpulkan. Di kedua tangannya sudah memegang tumpukan buku tugas yang lain.

“Terus, kalau kita belum ngumpulin, kenapa?”

“Kalian berdua masih nanya? Hari ini kan hari terakhir lo boleh ngumpulin tugas ini. Kalau kalian
nggak ngumpulin sekarang, kalian yang bakal kena hukum.” Kata Aji masih berusaha sabar.

“Yaudah sih, kita yang kena hokum ini! Kok lo yang repot sih? Jadi ketua kelas rempong banget
perasaan! Dasar belagu!” kata Yaris sebal. Yaris pun langsung mengajak Doni untuk pergi dari
hadapan Aji.

“Udahlah, lo kalau nggak bisa ngadepin mereka, nggak usah sok jagoan,” sahut Aan tiba-tiba,
ntah sejak kapan ia berada di sebelah Aji.

Aji nyengir. “Lo kan tahu ini tanggung jawab gue sebagai ketua kelas. Apapun itu, harus gue
lakuin supaya gue bisa memenuhi tugas gue.”

Aan menghela nafasnya, kemudian menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku temannya.

“Eh, Deri sama Yoyo mana?” Tanya Aji lagi.

“Deri di kantin, Yoyo nggak tau kemana. Abis makan langsung kabur,” kata Aan cuek. “Oh ya,
tadi Deri udah beli makanan buat lo. Laper kan lo berurusan sama bocah-bocah songong itu?”

Aji tertawa. Ia menepuk pundak Aan pelan. “Gue gapapa kali.”

Aan pun hanya mencibir mendengarnya.


Sesampainya diruang guru, Aan dan Aji langsung menaruh buku-buku tugas tersebut di meja
Pak Erson. Kebetulan Pak Erson juga berada di mejanya sehingga beliau juga tahu kalau mereka
sudah melaksanakan tugas memgumpulkan tugasnya untuk mengumpulkan buku satu kelas.

“Sudah semuanya?” Tanya Pak Erson kepada mereka

“Yaris dan Doni yang belum, Pak.”

“Aduh, dua anak itu selalu saja tidak mengumpulkan tugas,” kata Pak Erson sambil menghela
nafas. “Yasudah, kalian boleh keluar. Biar Bapak yang memberi tahu Yaris dan Doni.”

“Saya rasa mereka tetep nggak bakal dengerin kalau Bapak ngomong. Kenapa nggak dipanggil
aja orang tua mereka, Pak? Saya yakin itu lebih efektif.” usul Aan datar.

“Eh, jangan An!” bantah Aji. “Gue gamau sampe ngelibatin orang tua murid. Ini kan cuma
masalah kecil doang, kita aja yang cari solusinya.”

“Jik, lo piker anak-anak macem mereka mau dengerin kalau dikritik? Lo pikir dong make otak!”
kata Aan sebal. “ini kan demi kenyaman yang lain juga. Bukan lo doang.”

“Eh sudah-sudah. Kenapa jadi kalian yang ribut? Kalian balik ke kelas sekarang , bentar lagi
masuk!” kata Pak Erson melerai. “Biar nanti Bapak yang akan pikirkan caranya.”

Aji dan Aan mengangguk bersamaan. “Baik, Pak.”

Selama pelajaran, Aji menopang kepalanya dengan sebelah tangan. Apalagi saat pelaran fisika.
Ah, Aji paling bosan mendengarkan guru fisikanya mendongeng tentang rumus yang tak pernah
Aji pahami.

DUK! Sedang enak-enaknya merem, tiba-tiba sebuah kertas mengenai pelipisnya. Matanya yang
mengantuk langsung melek. Ia menoleh ke sumber kertas itu melayang dan mendapati Yoyo
sedang menatapnya.

“Merem mulu, perhatiin tuh!” bisiknya tanpa suara

Aji nyengir. Kemudian, menjawab tanpa suara pula. “Ngantuk gue.”

Yoyo menggelemg-gelengkan kepalanya kemudian kembali sibuk mencatat apa yang ada di
papan tulis. Sementara aji mengucek-ngucek matanya sejenak dan berusaha memperhatikan. Ia
melirik jam tangannya sejenak, berharap kalau jam fisika akan segera berakhir. Namun,
ternyata masih setengah jam lagi!
“Oke, sekarang kalian kerjakan soal-soal uji kompetensi di buku tugas. Kerjakaan pilihan ganda
dan uraiannya. Kalau bisa dikumpulkan hari ini. Kalau enggak sempet, nanti dikumpul ke ketua
kelas saja.” Sahut guru yang sedang mengajar.

Aduh, tugas lagi. Kadang-kadang ia malas juga kalau guru-guru lebih sering menumpahkan
tanggung jawabnya kepada Aji.

Semua langsung sibuk mengerjakan tugas, tak terkecuali Aji dan teman-temannya. Dalam
waktu setengah jam itu, mereka berusaha mengerjakan soal sebanyak mungkin agar nanti jika
benar-benar harus dibawa pulang, mereka tidak akan terlalu repot menyelesaikannya. Tapi
tentu saja, Aji tidak terlalu banyak berharap. Dari 40 soal yang harus dikerjakan, mungkin tidak
sampai separuh dapat ia kerjakam dengan cepat. Setelah pulang nanti, ia tetap harus menyuruh
Aan mengajarinya.

Istirahat siang. Begitu bel berbunyi lagi, Aji langsung bergegas mengajak teman-temannya ke
kantin untuk menemaninya makan. Mereka tentu saja langsung menurut karena mereka tahu
Aji belum makan dari tadi karena berurusan dengan Yaris dan Doni. Begitu mendapat meja
dikantin, Aji langsung membuka bungkus gorengan yang di belikan Deri tadi pagi dan segera
melahapnya. Aan, Deri, dan Yoyo sampai menggelengkan kepalanya melihatcara makan Aji
yang begitu ganas.

“Tadi aja di pelajaran ngantuknya setengah mati.” Sindir Yoyo.

“Kayaknya sih udah nggak makan tiga tahun dia, Yo.” Kata Aan.

“Yaelah, sensian bener sih jadi orang. Lo pada kan tau perut gue masih kosong. Cuma isi
sarapan roti doang tadi pagi. Gimana gue nggak ngantuk!” kata Aji sambil mengunyah
makanannya.

“Telen dulu woi, nanti mati keselek.” Kata Deri sambil tersenyum.

“Tau tuh,” kata Yoyo. “Lagian bilang aja lo males. Harusnya lo tuh ya, jadiin Fisika itu musuh lo.
Teorinya, semakin kita mengerti sama orang itu karena kita pasti bakal mikirin terus. Sama
pelajaran juga begitu.”

Aan memutar matanya malas mendengar ucapan Yoyo.

“Otak lo geser, Yo? Yang ada kita harus suka sama pelajarannya dulu!” kata Aji setelah menelan
makanannya. Ia menggelengkan kepalanya heran, salah apa dia punya teman yang rada-rada
sedeng seperti Yoyo.
“Yaelah, sekarang lo yang sensi sama gue, Ji. Entar ganteng nya ilang loh,” kata Yoyo membuat
Aji ingin muntah. “Eh bagi dong. Ngiler gue jadinya. Banyak git, mending kita makan bareng-
bareng.”

Aji mendelik. “Najis lo! Minta mah minta aja kali,engga usah pake muji-muji gue segala. Ambil
aja sana! Makan yang banyak, biar cepet gede!”

“Asyik!” seru Yoyo langsung melahap bakwan.

Deri menggeleng-gelengkan kepalanya melihat teman-temannya. Kemudian, ia ikut melahap


gorengan. Disusul dengan Aan. Pada akhirnya, mereka menyerbu bungkusan gorengan Aji.

“Eh, ntar pada kerumah dong, ajarin gue soal-soal fisika tadi. Sekalian juga kita ngerjain PR
bareng. Biar besok-besok kita bisa santai.” Kata Aji setelah makannya habis.

“Oke.” Kata Aan.

“Der, Yo?”

Deri dan Yoyo tersenyum, kemudian mereka tersenyum. “Oke.”

PART 3

“Oke, anak-anak. Sebelum bubar sekolah, Bapak akan mengumumkan bahwa lusa kita akan
mengadakan camping selama tiga hari,” kata Pak Erson di depan kelas. “Di sana akan ada
games, jurit malam, lomba-lomba, api unggun dan lain-lain. Jadi, kalian harap membuat
kelompok dengan anggota lima orang.”

“Baik Pak!” seru satu kelas dengan kompak.

“Bawa barang-barang sepertinya, jangan lupa bawa tenda, minyak angina dan obat-obatan jika
ada yang memiliki penyakit. Yang terpenting, bawa makanan agar kalian tidak kelaparan,” kata
Pak Erson.

“Siap, Pak.”

“Oke, selamat siang, anak-anak.” Kata Pak Erson akhirnya pamit.

“Siang Pak!” kata satu kelas lagi, kemudian langsung sibuk merapihkan barang-barang agar
dapat cepat pulang kerumah masing-masing.
“Hei, kita udah pas nih berlima sama Reza, satu kelompok ya?” kata Yoyo menatap kearah
teman-temannya.

Aji mengacungkan jempol kepada Yoyo. “Itumah udah pasti, Yo.”

Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu oleh semua murid kelas sepuluh. Ya! Hari ini
adalah hari kebererangkatan mereka untuk camping. Saking semangatnya, anak-anak kelas
sepuluh sudah berkumpul di kelas mereka masing-masing sejak pukul tujuh tadi. Padahal,
mereka baru akan berangkat pada pukul setengah Sembilan.

Aji dan teman-temannya juga sudah dating begitu jam menunjukkan setengah delapan. Mereka
sibuk mengobrol dengan seru tentang acara-acara campingyang mungkin akan mereka lewati
nanti. Mereka terus berceloteh dengan riangnya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan
angka delapan. Pak Erson langsung dating ke kelas dan mengajak mereka ke bis.

Selama perjalanan ke tempat, Deri sibuk melihat pemandangan luar.Yoyo yang duduk di
sampingnya tetap cerewet dengan teman-teman sekelasnya. Sementara itu, Aji dan Aan sibuk
membicarakan buku fisika.

Begitu sampai ditempat tujuan, semua anak langsung berkumpul di depan bis. Masing-masing
dari mereka membentuk barisan sesuai dengan kelompok.

“Perhatian semuanya!” tiba-tiba Pak Duta berseru dengan nyaring agar anak-anak
memperhatikan dirinya. Nah, karena semuanya sudah berkumpul, Bapak akan menjelaskan
terlebih dahulu apa yang akan kita lakukan selama tiga hari ini.”

“Jadi, kita akan mengadakan permainan-permainan kecil yang bisa membuat kalian semua lebih
akrab dan mengenal satu sama lain.”

“Oke, kalian semua pasti sudah membawa tenda, bukan? Sekarang, Bapak akan membacakan
kelompok untuk tidur satu tenda selama camping ini.”

Semua anak langsung memasang telinga mereka baik-baik untuk mendengarkan siapa-siapa
saja yang akan satu tenda dengan mereka. Terlihat beberapa anak juga langsung mencatat
kelompok mereka di sebuah catatan kecil. Tapi, Aji dan teman-temannya tampak tenang-
tenang saja mendengarkan.

“Oke, kelompok terakhir! Aji, Yoyo, Aan, Yaris, dan Doni!” teriak Pak Erson.
“APA?!”

Sekarang waktunya anak-anak memasang tenda. Begitu peluit dibunyikan oleh Pak Erson,
mereka dengan sigap menyusun rangka-rangka tenda mereka dan bekerja sama agar tenda
mereka cepat selesai.

Yang paling ribut saat ini adalah kelompoknya Aji. Bagaimana tidak? Mereka hanya bekerja
berempat. Sementara Yaris dan Doni enak-enakan saja melihat Aji dan teman-temannya sibuk.
Katanya, mereka tinggal terima saja, Aji yang melihat tentu saja merasa tidak terima.

“Ris! Don! Lo berdua harusnya kerjain dong bantuin kita!” kata Aji kesal.

“Ogah ah, males banget gue kerja bareng lo, memangnya gue babu lo apa?” kata Yaris cuek.
“kerja aja lo sendiri.”

“Tahu tuh, bukannya lo udah ngerasa hebat? Nyuruh-nyuruh kita doang bisanya. Nggak perlu
bantuan kita, kan?” Tanya Doni.

Aji menghela nafasnya.

Mereka pun lalu melanjutkan memasang tenda di atas rangka-rangka yang sudah mereka buat.
Tenda mereka berwarna merah.

“SELESAI!” teriak Aji, Yoyo, Deri, dan Aan kompak begitu tenda mereka jadi.

“Ya, bagi tim yang ada disana, silahkan mengambil makanan di Pak Erson!” Teriak Ibu Yeni dari
kejauhan menunjuk ke tim Aji.

“BAIK BU!” teriak Aji dan teman-teman kompak lagi. Sementara Yaris dan Doni langsung pergi
begitu aja meninggalkan mereka.

Mereka berempat langsung mengambil makanan mereka masing-masing dan langsung


menempati meja yang kosong karena ternyata Reza masih sibuk dengan teman-temannya.

PART 4
Pagi ini hampir semua anak-anak bangun sekitar jam tujuh pagi. Mereka yang sudah sangat
segar kembali langsung bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan hari kedua camping ini. Mungkin
hanya tenda Aji yang masih berisi dengan anak-anak yang masih molor. Pagi itu, baru Aji dan
Deri yang baru bangun. Aan, Yoyo, Yaris dan Doni masih pulas tertidur di tempatnya masing-
masing.

“Tidur nyenyak lo, Der?” Tanya Aji

Deri pun menganggup mantap. “Lo sendiri?”

“Lumayan,” kata Aji sambil tersenyum kecil.

“Gue keluar dulu ya, Der, mau cuci muka. Nanti kalo anak-anak pada bangun, suruh ambil
makan di tas gue aja. Kita kan mulai kegiatan lagi jam setengah Sembilan.” Kata Aji.

Sementara aji sibuk menyegarkan wajahnya, Deri menyisir rambutnya yang masih berantakan.
Setlah rapi, ia langsung mengambil seplastik roti coklat dari tas Aji.

You might also like