Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
PUTU ARTHANA PUTRA
H1A 013 051
Pembimbing
dr. Emmy Amalia, Sp.KJ.
1
Hubungan antara Perasaan Malu, Perilaku Melukai Diri Sendiri Non Bunuh Diri, dan
Perilaku Bunuh Diri dalam Gangguan Kepribadian Ambang
Abstrak
Perasaan malu telah dikaitkan secara individual dengan perilaku melukai diri sendiri non bunuh
diri serta ide dan perilaku bunuh diri dan sangat lazim pada individu dengan gangguan
kepribadian ambang. Studi saat ini menyelidiki hubungan antara perasaan malu, perilaku
melukai diri sendiri non bunuh diri, dan ide bunuh diri pada sampel wanita dengan gangguan
kepribadian ambang. Peserta adalah 40 wanita yang direkrut dari Program Women’s
Dialectical Behavior Therapy Partial Hospital di rumah sakit jiwa di New England sebagai
bagian dari studi pengembangan pengobatan enam bulan yang lebih besar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perasaan malu menjadi factor resiko perilaku melukai diri sendiri non
bunuh diri dan perilaku bunuh diri di luar dari keparahan gejala gangguan kepribadian ambang.
Ini menunjukkan bahwa perasaan malu mungkin menjadi target pengobatan yang penting bagi
individu dengan gangguan kepribadian ambang. Pada jurnal ini juga dibahas mengenai
implikasi klinis, keterbatasan, dan arah penelitian di masa depan.
Kata kunci: gangguan kepribadian ambang, perilaku berisiko tinggi, perilaku melukai diri
sendiri non bunuh diri, perasaan malu, masalah sosiokultural dalam psikologi, perilaku bunuh
diri
2
Pendahuluan
Perasaan malu dapat didefinisikan sebagai emosi yang tidak menyenangkan, diarahkan
ke dalam diri, dengan keyakinan yang sama tentang diri yang cacat dan tidak dapat diterima.
Perasaan malu dan bersalah, meskipun sering digunakan secara bergantian, mewakili keadaan
emosi yang sangat berbeda dengan dorongan tindakan yang berbeda. Perasaan bersalah,
berbeda dengan perasaan malu, dimana perasaan bersalah difokuskan pada perilaku individu,
sedangkan perasaan malu merupakan atribut global dari diri yang buruk (VanDerhei, Rojahn,
Stuewig, & McKnight, 2014) Perasaan malu dapat terjadi sebagai kondisi sementara maupun
sebagai sifat yang lebih lama dapat disebut sebagai shame proneness (rawan malu).
Kecenderungan untuk mengalami emosi intensitas rendah ini mungkin merupakan pemicu
penting untuk perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri (NSSI) dan ide bunuh diri, terutama
bagi mereka yang mengalami gangguan kepribadian ambang (BPD).
Perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri (NSSI) adalah penghancuran jaringan
tubuh yang disengaja tanpa niat untuk mati (Nock & Favazza, 2009). Frekuensi perilaku
melukai diri sendiri non bunuh diri telah dikaitkan dengan sifat malu (Vanderhei et al., 2014).
Mereka yang melakukan perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri dilaporkan memiliki
beberapa motivasi untuk melakukan hal itu, dengan motivasi yang paling kuat adalah regulasi
emosi (Brown, Comtois, & Linehan, 2002; Cohen et al., 2015; Favazza & Conterio, 1989;
Gratz, 2003). Meskipun banyak penelitian yang meneliti fungsi regulasi emosi perilaku
melukai diri sendiri non bunuh diri telah berfokus pada emosi gairah tinggi (high-arousal
emotions), seperti kecemasan dan kemarahan (Brown et al., 2002; Klonsky & Olino, 2008),
bukti terkini menunjukkan bahwa kesulitan mentoleransi pengalaman internal intensitas
rendah. seperti mengkritik diri sendiri, memendam perasaan, dan mudah sedih mungkin juga
terkait dengan perilaku merugikan diri sendiri (Cohen et al., 2015).
Perasaan malu dapat menjadi pemicu yang kuat untuk ide bunuh diri, yang penting
untuk dipertimbangkan karena hubungannya dengan upaya bunuh diri dan peningkatan
kemampuan untuk bunuh diri (Joiner, 2005). Ide bunuh diri dapat muncul dengan sendirinya
pada seseorang yang mengalami perasaan malu yang intens sebagai satu-satunya solusi untuk
masalah psikologis yang tampaknya tidak mungkin diselesaikan (Mokros, 1995). Penelitian
You, Talbot, He, & Conner (2012) menemukan perasaan malu terkait dengan ide bunuh diri
bahkan setelah gejala depresi dan stress pasca-trauma (PTSD) serta faktor sosiodemografi
3
dikendalikan pada populasi wanita depresi dengan riwayat pelecehan seksual masa kanak-
kanak.
Dalam beberapa studi empiris ditemukan bukti yang menunjukkan hubungan yang
signifikan antara perasaan malu, gangguan kepribadian ambang, dan upaya bunuh diri. Scheel
et al. (2013) menemukan bahwa individu dengan gangguan kepribadian ambang melaporkan
tingkat perasaan malu pada awal yang lebih tinggi. Dalam penelitian lain, Gratz, Rosenthal,
Tull, Lejuez, dan Gunderson (2010) menemukan bahwa pasien dengan gangguan kepribadian
ambang melaporkan reaktivitas yang lebih besar terhadap perasaan malu daripada kelompok
kontrol dan individu dengan gangguan kepribadian lainnya. Wiklander et al. (2012)
menemukan bahwa wanita yang mencoba bunuh diri dengan gangguan kepribadian ambang
dilaporkan memiliki shame-proneness yang tinggi, sedangkan pasien dengan percobaan bunuh
diri tanpa gejala gangguan kepribadian ambang dilaporkan memiliki tingkat perasaan malu
yang rendah.
4
menjadi kemarahan, yang beresiko meningkatkan gejala gangguan kepribadian ambang. Lester
(1997) mencatat bahwa kemungkinan frustrasi mengarah pada “perasaan malu dan perasaan
marah, yang pada gilirannya meningkatkan risiko perilaku bunuh diri” pada mereka yang
menderita gangguan kepribadian ambang.
Perasaan malu jelas memiliki hubungan konseptual dan teoritis dengan perilaku
melukai diri sendiri non bunuh diri, ide bunuh diri, dan gangguan kepribadian ambang. Namun,
mengingat tumpang tindih yang signifikan antara konstruksi ini, sifat hubungan ini
memerlukan klarifikasi lebih lanjut.
Dalam penelitian ini, peneliti menyelidiki hubungan antara perasaan malu, perilaku
melukai diri sendiri non bunuh diri, dan ide bunuh diri pada sampel wanita dengan gangguan
kepribadian ambang. Dalam hipotesis pertama, peneliti memperkirakan bahwa perasaan malu
akan meningkatkan perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri di atas dan di luar gejala
gangguan kepribadian ambang. Peneliti juga memperkirakan bahwa perasaan malu akan
meningkatkan ide bunuh diri di atas dan di luar gejala gangguan kepribadian ambang.
Metode
Peserta
Partisipan penelitian ini adalah 40 wanita yang direkrut dari Program Women’s
Dialectical Behavior Therapy Partial Hospital di rumah sakit jiwa di New England sebagai
bagian dari studi pengembangan pengobatan enam bulan. Kriteria inklusi adalah sebagai
berikut: peserta harus berusia antara 18 dan 65 tahun (M = 38,8) dan memenuhi kriteria
diagnostik DSM-IV-TR untuk gangguan kepribadian ambang. Kriteria eksklusi adalah adanya
gangguan psikotik saat ini atau bukti gejala psikotik sebelumnya. Lima puluh empat pasien
didekati dan diminta untuk berpartisipasi dalam proses penyaringan. Sembilan pasien tidak
memenuhi kriteria inklusi, dua pasien memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak dapat
berpartisipasi dalam penelitian karena konflik penjadwalan, dan tiga pasien menolak untuk
berpartisipasi. Sembilan puluh tujuh persen peserta melaporkan riwayat ide bunuh diri aktif
dalam hidup mereka, 45% telah melakukan upaya bunuh diri selama hidup mereka, dan 70%
5
telah berpikir tentang bunuh diri pada tahun sebelum penelitian. Empat puluh pasien
menyelesaikan kuesioner dan dimasukkan dalam analisis.
Pengukuran
Instrumen penyaringan.
Demografi
Data demografi yang dikumpulkan meliputi usia, jenis kelamin, ras, suku, status
perkawinan, dan informasi kontak.
6
total berkisar dari 0 hingga 115, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat keparahan
gejala yang lebih besar. Dalam penelitian ini, Cronbach's α 0,90.
Ide dan upaya bunuh diri selama setahun terakhir diukur menggunakan Suicidal
Behaviors Questionnaire-Revised (SBQ-R; Osman, 1999). Kuesioner ini terdiri dari empat
item ini secara singkat menilai pemikiran bunuh diri, upaya, dan komunikasi masa lalu dengan
orang lain tentang pemikiran bunuh diri. Setiap pertanyaan sedikit disesuaikan untuk menilai
perilaku bunuh diri dalam satu tahun terakhir: "Pernahkah Anda memikirkan atau mencoba
bunuh diri?" "Seberapa sering Anda berpikir untuk bunuh diri dalam setahun terakhir,"
"Sudahkah Anda memberi tahu seseorang bahwa Anda pernah akan bunuh diri pada tahun lalu?
” dan “ Sudahkah Anda memikirkan bunuh diri pada tahun lalu? ”Pertanyaan 1, 2, dan 3 menilai
tingkat keparahan upaya dan frekuensi pemikiran pada skala tipe-Likert dari 0 hingga 5, dengan
5 menunjukkan perilaku yang lebih parah atau sering. Pertanyaan terakhir diberi skor ya (1)
atau tidak (0). Skor total SBQ-R telah terbukti bermanfaat dalam membedakan antara
kelompok-kelompok bunuh diri dan non-bunuh diri, dengan skor batas 8 menunjukkan tingkat
keparahan yang signifikan secara klinis (Osman et al., 2001). Untuk mengetahui keparahan ide
bunuh diri baru baru ini, peneliti menambahkan pertanyaan tambahan 2 dan 3 pada BSL-23
yang menilai ide bunuh diri dan perilaku dalam seminggu terakhir pada skala Likert type enam
poin ("Saya mengatakan kepada orang lain bahwa saya akan bunuh diri" dan "Saya mencoba
untuk bunuh diri ”). Variabel kontinu yang dihasilkan berisi semua enam item dengan
kemungkinan skor total 25. Untuk skala ini, Cronbach adalah α = 81.
Deliberate Self-Harm Inventory (DSHI; Gratz, 2001) adalah ukuran laporan diri yang
menilai riwayat, tingkat keparahan, dan jenis perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri. Item
dari kuisioner ini telah sedikit diadaptasi untuk mengungkap frekuensi perilaku melukai diri
sendiri dalam satu tahun terakhir. Variabel dikotomus dibuat untuk menunjukkan ada atau tidak
adanya perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri dan dummy-coded sebagai 0 = Tidak NSSI,
dan 1 = NSSI. jika peserta telah terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri
selama setahun terakhir satu kali atau lebih. Variabel kontinu dibuat untuk mengetahui
frekuensi melukai diri selama setahun terakhir dengan menjumlahkan total skor semua peserta
pada pertanyaan frekuensi untuk masing-masing dari 17 item dijumlahkan untuk membuat
variabel frekuensi total perilaku melukai diri sendiri.
7
Shame-Proneness
Analisis Data
Sebelum dilakukan analisis, data diperiksa akurasinya, nilai yang hilang, dan
normalitas data. Statistik kolinearitas dalam multiple regression menunjukkan toleransi 1 dan
kurang, dan variance inflation factor scores tidak lebih dari dua kali toleransi dan semuanya di
bawah 1,5. Dalam regresi logistik, statistik Levene untuk perilaku melukai diri non bunuh diri
dan perasaan malu adalah F (1,39) = 0,97, p = 0,33 dan untuk perilaku melukai diri non bunuh
diri dan gangguan kepribadian ambang adalah F (1,39) = 1,64, p = 0,21, hasil ini menunjukkan
varian untuk variabel-variabel ini homogen. Tidak ada pelanggaran asumsi normalitas dalam
variabel penelitian ini. Uji t sampel individu dilakukan untuk menentukan perbedaan antar
subyek antara populasi penelitian yang telah terlibat dalam perilaku melukai diri non bunuh
diri pada tahun lalu dan populasi yang tidak. Usia dan ras tidak secara signifikan terkait dengan
perasaan malu, tingkat keparahan gejala gangguan kepribadian ambang, perilaku bunuh diri
atau perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri. Untuk menilai hubungan antara gejala
gangguan kepribadian ambang, perasaan malu, dan ide dan perilaku bunuh diri, dilakukan
regresi hierarkis menggunakan tingkat keparahan gejala ambang (diukur dengan BSL-23) dan
perasaan malu (yang diukur dengan skala perasaan malu dari TOSCA- 3) sebagai prediktor.
Peneliti berhipotesis bahwa shame-proneness meningkatkan ide dan perilaku bunuh diri di atas
dan di luar keparahan gejala gangguan kepribadian ambang. Kedua, secara berurutan untuk
memodelkan hubungan variable variable tersebut dengan perilaku melukai diri non bunuh diri,
peneliti melakukan regresi logistik untuk memprediksi keberadaan perilaku melukai diri
sendiri non bunuh diri pada tahun lalu (menggunakan DSHI dan dummy code ke dalam
8
variabel biner (0 = tanpa perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri, n = 13; 1 = perilaku
melukai diri sendiri non bunuh diri, n = 27)) menggunakan tingkat keparahan shame-proneness
dan gejala gangguan kepribadian ambang sebagai prediktor. Peneliti berhipotesis bahwa
kecenderungan perasaan malu akan meningkatkan perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri
di atas dan di luar keparahan gejala gangguan kepribadian ambang.
Hasil
Analisis bivariat
Rerata, standar deviasi, dan korelasi biner antara variabel-variabel penelitian ini
dilaporkan dalam Tabel 1. Secara keseluruhan, ada korelasi positif yang kuat antara
kecenderungan-perasaan malu, ide dan perilaku bunuh diri, dan keparahan gejala gangguan
kepribadian ambang dalam total sampel. Untuk menguji perbedaan dalam variabel-variabel ini,
peneliti melakukan uji t sampel independen untuk memeriksa perbedaan dalam keparahan
gejala gangguan kepribadian ambang, perasaan malu, serta ide dan perilaku bunuh diri di antara
individu dengan riwayat perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri dalam setahun terakhir
dan individu yang tidak. Seperti yang diharapkan, individu dengan riwayat perilaku melukai
diri sendiri non bunuh diri memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada keseluruhan
keparahan gejala gangguan kepribadian ambang (M = 53,74, standar deviasi (SD) = 21,63, t =
-2,08, p <0,05) dibandingkan dengan mereka tanpa NSSI 1 tahun terakhir (M = 39,18, SD =
18,62) (Cohen d = 0,84). Ukuran efek ini berada di antara ukuran efek minimum yang
disarankan yang mewakili efek “praktis” untuk data ilmu sosial sebesar 0,41 dan ukuran efek
sedang 1,15 yang disarankan oleh Ferguson (2009). Pola yang sama ditemukan untuk shame-
proneness dimana individu dengan riwayat perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri
memiliki skor signifikan lebih tinggi pada shame-proneness di TOSCA (M = 60,07, SD =
13,59, t = -1,91, p <0,05) dibandingkan dengan mereka tanpa riwayat perilaku melukai diri
sendiri non bunuh diri dalam setahun terakhir (M = 50,36, SD = 14,45) (Cohen d = 0,41, hanya
mencapai ukuran efek minimum yang disarankan oleh Ferguson, 2009). Individu dengan
perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri pada 1 tahun terakhir juga memiliki skor yang
lebih tinggi secara signifikan pada SBQ (M = 12,44, SD = 2,89, t = -6,39, p <0,01)
dibandingkan dengan individu tanpa perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri (M = 7,54,
SD = 1,75). Cohen d = 1,98 untuk perbedaan ini, menunjukkan ukuran efek yang lebih besar
(Ferguson, 2009). Hasil ini konsisten dengan hipotesis penelti dan literatur yang ada yang
menghubungkan ide dan perilaku bunuh diri, perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri,
9
perasaan malu, dan keparahan gejala gangguan kepribadian ambang. Tabel 2 menunjukkan
korelasi bivariat, rata-rata, dan standar deviasi antara variabel yang menarik bagi 27 peserta
yang terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri.
Analisis Multivariat
10
Regresi logistik dilakukan untuk menguji kecenderungan keparahan perasaan malu dan
gejala gangguan kepribadian ambang sebagai prediktor untuk perilaku melukai diri sendiri non
bunuh diri. Model ini menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik atas model
hanya-konstan, X2 (2,40) = 14,68, p = .06. Nagelkerke R2 menunjukkan bahwa model
menyumbang 47,2% dari total varian. Tabel 4 merupakan tabel klasifikasi untuk prediksi
perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri dalam model ini. Keberhasilan prediksi adalah
80%, dengan tingkat prediksi (sensitivitas) sebesar 92,6% dan 53,8% (spesifisitas). Nilai
prediktif positif untuk model ini adalah 80,65%, dan nilai prediktif negatif adalah 77,78%.
Tabel 5 menyajikan koefisien regresi (B), statistik Wald, tingkat signifikansi, rasio odds (Exp
(B)), dan interval kepercayaan 95% untuk rasio odds untuk setiap prediktor. Prediktor terkuat
adalah tingkat shame-proneness meningkatkan kemungkinan terlibat dalam perilaku melukai
diri sendiri non bunuh diri sebesar 1,8.
11
Diskusi
Studi ini menambah literatur tentang perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri, ide
dan perilaku bunuh diri pada individu dengan gangguan kepribadian ambang dengan
memeriksa shame-proneness pada populasi ini. Dalam literatur sebelumnya, shame-proneness
telah diidentifikasi sebagai prediktor perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri dan perilaku
bunuh diri, dan memeriksanya pada individu dengan gangguan kepribadian ambang adalah
penting karena sejumlah alasan. Pertama, bagi mereka yang menderita gangguan kepribadian
ambang yang cenderung mengalami reaksi emosional yang intens, pengalaman perasaan malu
dapat berujung dengan perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri atau ide bunuh diri dalam
upaya untuk mengatasi permasalahan ini. Temuan peneliti menunjukkan shame-proneness
merupakan predictor untuk perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri serta ide dan perilaku
bunuh diri di atas dan di luar keparahan gejala gangguan kepribadian ambang. Kedua, shame-
proneness mungkin menjadi target pengobatan yang penting. Temuan ini konsisten dengan
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perasaan malu memainkan peran penting
dalam kesehatan mental, terutama bagi mereka yang didiagnosis dengan gangguan kepribadian
ambang. Crowe (2004) mengemukakan bahwa gangguan kepribadian ambang dapat
dikonseptualisasikan sebagai respon perasaan malu yang kronis, sebagai akibat dari penurunan
regulasi emosi dan keterampilan interpersonal yang diperlukan untuk mengintegrasikan dan
merespons perasaan malu secara efektif. Sifat memalukan yang disadari oleh diri sendiri, dan
perasaan mendasar tentang "kelainan" yang diciptakannya memfasilitasi pikiran tentang diri
sendiri rusak, pada dasarnya buruk, dan perasaan bahwa "keburukan" ini diungkapkan oleh
dunia untuk dilihat. Secara logis ketika individu dengan gangguan kepribadian ambang,
ditandai dengan gangguan identitas, ketidakstabilan afektif, dan mengalami perasaan malu,
mereka cenderung berusaha mengurangi perasaan malu dengan melukai "diri sendiri yang
buruk" yakni mereka akan mencoba menciderai diri atau bunuh diri.
12
Ada sejumlah keterbatasan pada penelitian ini, seperti ukuran sampel yang relatif kecil
dan sampel hanya perempuan, sehingga membatasi generalisasi penelitian ini. Penelitian di
bidang ini akan mendapat manfaat dari penilaian ekologis untuk menilai dampak perasaan malu
pada ide dan perilaku bunuh diri pada individu dengan perilaku melukai diri. Selain itu,
memperluas penelitian ini untuk memasukkan pria yang terlibat dalam perilaku melukai diri
sendiri non bunuh diri dan sampel klinis yang lebih luas, seperti yang ada dalam kategori
diagnostik lainnya termasuk PTSD atau MDD, akan bermanfaat. Keterbatasan potensial
lainnya adalah persentase varians yang relatif tinggi yang diperhitungkan oleh model, sehingga
variable variable ini mungkin terlalu erat terkait untuk dianggap sebagai prediktor tersendiri;
oleh karena itu, signifikansi shame-proneness sebagai prediktor dapat meningkat. Mengingat
karya Crowe (2004), ada kemungkinan bahwa keparahan gejala gangguan kepribadian ambang
dan shame-proneness adalah konstruksi yang sangat terkait. Sangat mungkin bahwa untuk
individu dengan gangguan kepribadian ambang, perilaku melukai diri sendiri non bunuh diri
dan shame-proneness mewakili dua konstruksi penting yang terkait dengan ide bunuh diri dan
perilaku yang memberikan dasar bagi keinginan dan kemampuan untuk melakukan bunuh diri.
Akan berguna untuk mencoba mereplikasi temuan ini untuk menentukan apakah varians yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah perkiraan yang sebenarnya.
13
Daftar Pustaka
14
Lampiran
15
Deliberate Self-Harm Inventory
16