You are on page 1of 35

1

MAKALAH LANSIA

A. Pengertian
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia
yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau
proses penuaan. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan
semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah,
pernafasan, pencernaan, endokrindan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan
seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel,
jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of
daily living (Fatimah, 2010).

B. Batasan Lansia
Ketetapan seseorang dianggap lansia sangat bervariasi karena setiap Negara memiliki
criteria dan standar yang berbeda.Berikut ini pendapat para ahli yang dikutip dari
Nugroho (2000) dalam Ferry dan Makfudli (2009) tentang batasan umur lansia:
1) Di Indonesia, seseorang disebut lansia bila ia telah memasuki atau mencapai usia
60 tahun lebih (menurut Undang-Undang 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Sosial Lanjut Usia dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah
seseorang yang mencapai usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam)
tahun ke atas”
2

2) Menurut World Health Organization (WHO)


a) Usia pertengahan (middle age) : 45 – 59 tahun
b) Lanjut usia (elderly) : 60 – 74 tahun
c) Lanjut usia tua (old) : 75 – 90 tahun
d) Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun
3) Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad
a) Masa bayi : 0 – 1 tahun
b) Masa Prasekolah : 1 – 6 tahun
c) Masa Pubertas : 6 – 10 tahun
d) Masa dewasa : 10 – 20 tahun
e) Masa setengah umur (prasenium) : 20 – 40 tahun
f) Masa lanjut usia (senium) : 65 tahun keatas

C. Proses Menua
Constantinides dalam buku “In General Pathobiology” tahun 1994, menua (menjadi
tua) adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki, mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.4 Selama fase pertumbuhan proses anabolisme lebih besar
daripada katabolisme. Hal ini terjadi sebaliknya saat tubuh telah mencapai tingkat
kematangan fisiologis sehingga mengakibatkan hilangnya sel-sel yang berdampak
pada berbagai bentuk penurunan dan gangguan fungsi organ.1,4

Proses dan pola menua yang terjadi hampir sama antara lansia yang satu
dengan lansia lainnya tetapi laju perubahannya dapat bervariasi. Menurunnya fungsi
tubuh akibat proses menua menyebabkan perubahan-perubahan pada lansia.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi aspek anatomi dan fisiologis, sosial,
lingkungan dan sebagainya. Secara umum perubahan anatomi dan fisiologis tubuh
meliputi:
3
1. Penglihatan
Terjadinya degenerasi struktur jaringan lensa mata, iris, pupil dan retina
menyebabkan kemampuan penglihatan pada lansia menurun dan menimbulkan
berbagai penyakit seperti katarak dan glaukoma. Bentuk bola mata lebih cekung
sedangkan bentuk kelopak mata menjadi cembung disebabkan karena terjadinya
penyusutan lemak periorbital.3

2. Pendengaran
Perubahan fungsi pendengaran bukan hanya menjadi masalah fisiologis tetapi
juga berdampak pada kehidupan sosial lansia. Menurut Bocklehurst-Allen yang
dikutip oleh Fatmah, pada beberapa penelitian di Negara Barat isolasi sosial yang
diakibatkan oleh gangguan pendengaran lebih besar dibandingkan yang
diakibatkan oleh gangguan penglihatan. Dilihat dari segi fisiologis, 65-70%
lansia menunjukkan kemunduran pendengaran secara fungsional (tuli
fungsional) setelah berusia 80 tahun dan 5% dari populasi usia di atas 65 tahun.3

3. Kulit
Jaringan lemak, lapisan epitel, serat kolagen dan kelembapan kulit yang
berkurang saat proses menua menyebabkan kulit menjadi lebih mengerut dan
kaku.

4. Perubahan sistem muskuloskeletal


Lansia yang melakukan olahraga secara teratur tidak mengalami kehilangan
massa otot dan tulang sebanyak lansia yang inaktif. Kekuatan dan ukuran serat
otot yang mengalami pengurangan sebanding dengan penurunan massaotot.
Pertambahanusia menyebabkan proses pembentukan tulang menjadi lambat
karena adanya penurunan aktivitas fisik dan hormon-hormon dalam tubuh. Salah
satu penyakit yang sering menyerang system muskuloskeletal pada lansia adalah
osteoporosis.Suatu kegiatan fisik yang banyak menggunakan tenaga dan otot
dapat meningkatkan kekuatan tulang melalui pembentukan dan perbaikan tulang
sehingga densitas tulang semakin padat dan terhindar dari risiko jatuh bahkan
osteoporosis. Hal ini sangat berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan
tulang yang sehat.3
4
5. Perubahan sistem kardiovaskuler
Proses menua menyebabkan jantung mengecil, katup jantung menjadi kaku dan
menebal dan kekuatan kontraksi otot jantung menurun sehingga kemampuan
memompa darah berkurang. Penurunan tersebut dapat terjadi secara signifikan
jika lansia mengalami stres fisik seperti olahraga berlebihan.3

6. Perubahan sistem pencernaan


Berkurangnya kekuatan otot rahang, penurunan fungsi dan sensitifitas saraf
indera pengecap, gerakan peristaltik esofagus dan asam lambung menyebabkan
lansia mengalami penurunan nafsu makan. Selain itu juga terjadi penurunan
sekresi pankreatik yang biasanya terjadi setelah usia 40 tahun. Konstipasi yang
terjadi pada lansia disebabkan karena melemahnya kemampuan peristaltik usus.3
Apabila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu lama maka akan terjadi
kekurangan gizi pada lansia.

D. Kebutuhan Nutrisi Pada Lansia


1. Kalori
Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa kecepatan metabolisme basal pada
orang-orang berusia lanjut menurun sekitar 15-20%, disebabkan berkurangnya
massa otot dan aktivitas. Kalori (energi) diperoleh dari lemak 9,4 kal,
karbohidrat 4 kal, dan protein 4 kal per gramnya. Bagi lansia komposisi energi
sebaiknya 20-25% berasal dari protein, 20% dari lemak, dan sisanya dari
karbohidrat. Kebutuhan kalori untuk lansia laki-laki sebanyak 1960 kal,
sedangkan untuk lansia wanita 1700 kal. Bila jumlah kalori yang dikonsumsi
berlebihan, maka sebagian energi akan disimpan berupa lemak, sehingga akan
timbul obesitas. Sebaliknya, bila terlalu sedikit, maka cadangan energi tubuh
akan digunakan, sehingga tubuh akan menjadi kurus.

2. Protein
Untuk lebih aman, secara umum kebutuhan protein bagi orang dewasa per hari
adalah 1 gram per kg berat badan. Pada lansia, masa ototnya berkurang. Tetapi
ternyata kebutuhan tubuhnya akan protein tidak berkurang, bahkan harus lebih
tinggi dari orang dewasa, karena pada lansia efisiensi penggunaan senyawa
nitrogen (protein) oleh tubuh telah berkurang (disebabkan pencernaan dan
5
penyerapannya kurang efisien). Beberapa penelitian merekomendasikan, untuk
lansia sebaiknya konsumsi proteinnya ditingkatkan sebesar 12-14% dari porsi
untuk orang dewasa. Sumber protein yang baik diantaranya adalah pangan
hewani dan kacang-kacangan.

3. Lemak
Konsumsi lemak yang dianjurkan adalah 30% atau kurang dari total kalori yang
dibutuhkan. Konsumsi lemak total yang terlalu tinggi (lebih dari 40% dari
konsumsi energi) dapat menimbulkan penyakit atherosclerosis (penyumbatan
pembuluh darah ke jantung). Juga dianjurkan 20% dari konsumsi lemak tersebut
adalah asam lemak tidak jenuh (PUFA = poly unsaturated faty acid). Minyak
nabati merupakan sumber asam lemak tidak jenuh yang baik, sedangkan lemak
hewan banyak mengandung asam lemak jenuh.

4. Karbohidrat dan serat makanan


Salah satu masalah yang banyak diderita para lansia adalah sembelit atau
konstipasi (susah BAB) dan terbentuknya benjolan-benjolan pada usus. Serat
makanan telah terbukti dapat menyembuhkan kesulitan tersebut. Sumber serat
yang baik bagi lansia adalah sayuran, buah-buahan segar dan biji-bijian utuh.
Manula tidak dianjurkan mengkonsumsi suplemen serat (yang dijual secara
komersial), karena dikuatirkan konsumsi seratnya terlalu banyak, yang dapat
menyebabkan mineral dan zat gizi lain terserap oleh serat sehingga tidak dapat
diserap tubuh. Lansia dianjurkan untuk mengurangi konsumsi gula-gula
sederhana dan menggantinya dengan karbohidrat kompleks, yang berasal dari
kacang-kacangan dan biji-bijian yang berfungsi sebagai sumber energi dan
sumber serat.

5. Vitamin dan mineral


Hasil penelitian menyimpulkan bahwa umumnya lansia kurang mengkonsumsi
vitamin A, B1, B2, B6, niasin, asam folat, vitamin C, D, dan E umumnya
kekurangan ini terutama disebabkan dibatasinya konsumsi makanan, khususnya
buah-buahan dan sayuran, kekurangan mineral yang paling banyak diderita
lansia adalah kurang mineral kalsium yang menyebabkan kerapuhan tulang dan
kekurangan zat besi menyebabkan anemia. Kebutuhan vitamin dan mineral bagi
6
lansia menjadi penting untuk membantu metabolisme zat-zat gizi yang lain.
Sayuran dan buah hendaknya dikonsumsi secara teratur sebagai sumber vitamin,
mineral dan serat.

6. Air
Cairan dalam bentuk air dalam minuman dan makanan sangat diperlukan tubuh
untuk mengganti yang hilang (dalam bentuk keringat dan urine), membantu
pencernaan makanan dan membersihkan ginjal (membantu fungsi kerja ginjal).
Pada lansia dianjurkan minum lebih dari 6-8 gelas per hari.

E. Makanan Sehat Bagi Lansia


Makanan sehat bagi lansia antara lain mencakupi empat sehat lima sempurna dengan
porsi yang kurang dari orang dewasa kecuali asupan protein dan vitamin serta
mineral, dimana kalsium dan zat besi juga memerankan peranan yang penting untuk
metabolisme tubuh. Berikut ini disajikan beberapa contoh makanan sehat untuk
manula yang telah dikelompokkan:
1. Sumber Karbohidrat: Nasi, jagung, ketan, bihun, biskuit, kentang, mie instan, mie
kering, roti tawar, singkong, talas, ubi jalar, pisang nangka, makaroni
2. Sumber Protein Hewani: Daging ayam, daging sapi, hati (ayam atau sapi), telur
unggas, ikan mas, ikan kembung, ikan sarden, bandeng, baso daging
3. Sumber Protein Nabati: Kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang merah,
kacang tolo, tahu, tempe, oncom
4. Buah-buahan: Pepaya, belimbing, alpukat, apel, jambu biji, jeruk, mangga,
nangka, pisang ambon, sawo, semangka, sirsak, tomat
5. Sayuran: Bayam, buncis, beluntas, daun pepaya, daun singkong, katuk, kapri,
kacang panjang, kecipir, sawi, wortel, selada
6. Kue: Bika ambon, dadar gulung, getuk lindri, apem, kroket, kue pia, kue putu,
risoles
7. Susu: Susu sapi, susu kambing, susu kerbau, susu kedelai, skim
7
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu:
1. Kelompok zat energi.
a) Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung,
gandum, ubi, roti, singkong dll, selain itu dalam bentuk gula seperti gula,
sirup, madu, dll.
b) Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega,
margarine, susu dan hasil olahannya.
2. Kelompok zat pembangun
Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung
protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur,
kacang-kacangan dan olahannya.
3. Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin dan
mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.

F. Menu Harian Untuk Lansia


Para ahli gizi menganjurkan bahwa untuk lansia yang sehat, menu sehari-hari
hendaknya :
1. Tidak berlebihan, tetapi cukup mengandung zat gizi sesuai dengan persyaratan
kebutuhan lansia.
2. Bervariasi jenis makanan dan cara olahnya
3. Membatasi konsumsi lemak yang tidak kelihatan (menempel pada bahan pangan,
terutama pangan hewani)
4. Membatasi konsumsi gula dan minuman yang banyak mengandung gula
5. Menghindari konsumsi garam yang terlalu banyak, merokok dan minuman
beralkohol
6. Cukup banyak mengkonsumsi makanan berserat (buah-buahan, sayuran dan
sereal) untuk menghindari sembelit atau konstipasi
7. Minuman yang cukup.
8
Menu makanan manula dalam sehari dapat disusun berdasarkan konsep “4
sehat 5 sempuna” atau “Konsep gizi seimbang” diantaranya:
1. Kelompok makanan pokok (utama) : nasi (1 porsi= 200 gram)
2. Kelompok lauk pauk : daging (1 potong= 50 gram), tahu (1 potong = 25 gr)
3. Kelompok sayuran : bayam (1 mangkok = 1001 gr)
4. Kelompok buah: pepaya (1 potong = 100 gr) dan susu (1 gelas = 100 gr)

G. Kelompok Makanan dan Jenis Makanan


1. Karbohidrat : nasi, jagung, ketan, bihun, biskuit, kentang, mie, roti, singkong,
talas, ubi-ubian, pisang, nangka, makaroni
2. Protein hewani : daging sapi, daging ayam, hati (ayam atau sapi), telur unggas,
ikan, baso daging
3. Protein nabati : kacang-kacangan, tahu, tempe, oncom
4. Buah-buahan : pepaya, belimbing, alpukat, apel, jambu biji, jeruk, mangga,
nangka, pisang, awo, sirsak, semangka
5. Sayuran : bayam, buncis, beluntas, daun pepaya, daun singkong, katuk, kapri,
kacang panjang, kecipir, sawi, wortel, selada
6. Makanan jajanan : bika ambon, dadar gulung, getuk lindri, apem, kroket, kue
putu, risoles
7. Susu : susu kambing, susu kedelai, skim
H. Menu untuk manula dalam sehari
WAKTU MENU PORSI
Pagi Roti-telur-susu 1 tangkep 1 gelas
Selingan Papais 2 bungkus
Siang Nasi 1 piring
Semur 1 potong
Pepes tahu 1 bungkus
Sayur bayam 1 mangkok
Pisang 1 buah
Selingan Kolak pisang 1 mangkok
Malam Mie baso 1 mangkok
Pepaya 1
9

I. Masalah-Masalah Gizi Pada Lansia

asalah gizi pada lansia merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia
muda yang manifestasinya timbul setelah tua (Depkes RI, 2003). Prevalensi
masalah gizi pada lansia yang meningkat telah diperlihatkan oleh sejumlah
penelitian (Watson, 2003). Masalah terkait gizi yang sering terjadi pada lansia
adalah malnutrisi dan obesitas.

1. Obesitas

Obesitas pada lansia biasanya disebabkan karena pola konsumsi yang


berlebihan, banyak mengandung lemak, protein dan karbohidrat yang tidak
sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, proses metabolisme yang menurun pada
lansia dapat menyebabkan kalori yang berlebih akan diubah menjadi lemak
sehingga mengakibatkan kegemukan jika tidak diimbangi dengan
peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah makanan (Depkes RI,
2003). Obesitas merupakan suatu kondisi kelebihan berat badan yang
menempatkan lansia dalam peningkatan risiko mengalami kondisi kronis,
seperti hipertensi, penyakit arteri koroner, diabetes dan stroke. Kondisi ini
menyebabkan kelemahan sendi dan pembatasan mobilisasi dan kemandirian
pada lansia (Stanley, Blair& Beare, 2005).

2. Malnutrisi

Malnutrisi dapat terjadi baik pada lansia dengan berat badan lebih maupun
lansia dengan berat badan kurang. Malnutrisi dihubungkan dengan kurangnya
vitamin dan mineral, dalam beberapa kasus terjadi pula kekurangan protein
kalori. Malnutrisi protein kalori didefinisikan sebagai hilang dan rendahnya
tingkat albumin, sehingga lansia disarankan untuk diberikan intake protein
yang adekuat (Stanley, Blair& Beare, 2005). Malnutrisi pada lansia jika
dalam kondisi lama akan berdampak pada kelemahan otot dan kelelahan
karena energi yang menurun. Oleh karena itu, lansia akan berisiko tinggi
untuk terjatuh atau mengalami ketidakmampuan dalam mobilisasi yang
menyebabkan cedera atau luka tekan (Watson, 2003).
10
Pada kondisi lain, malnutrisi juga dapat dimanifestasikan dengan
kurangnya energi kronis. Kurang energi kronik pada lansia ini biasanya
disebabkan oleh makan tidak enak karena berkurangnya fungsi alat perasa
dan penciuman, banyak gigi yang tanggal sehingga terasa sakit jika untuk
makan dan nafsu makan yang berkurang karena kurang aktivitas, kesepian,
depresi, penyakit kronis serta efek samping obat (Depkes RI, 2003). Selain
itu, kehilangan selera makan yang berkepanjangan pada lansia dapat
menyebabkan penurunan berat badan yang drastis, sehingga kondisi ini dapat
menyebabkan lansia mengalami kekurangan gizi yang dimanifestasikan
dengan pemeriksaan secara klinis lansia terlihat kurus (Depkes RI, 2003).

J. Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan keseimbangan antara asupan nutrisi dan yang
dibutuhkan oleh tubuh, status gizi ini memiliki dampak yang signifikan pada
kesehatan dan penyakit (Dudek, 1997). Status gizi dibagi menjadi 3 kategori,
yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005 dalam
Khairina 2008). Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara
makanan yang masuk ke dalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi
tersebut (Supariasa, 2001). Oleh karena itu, status gizi sangat dipengaruhi oleh
asupan gizi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi setiap hari dan
penggunaan zat gizi tersebut.

Status gizi seseorang dapat ditentukan oleh beberapa pemeriksaan gizi.


Pemeriksaan gizi yang memberikan data paling meyakinkan tentang keadaan
aktual gizi seseorang terdiri dari empat langkah, yaitu pengukuran antropometri,
pemeriksaan laboratorium, pengkajian fisik atau secara klinis dan riwayat
kebiasaan makan (Moore, 2009). The Mini Nutritional Assessment (MNA)
adalah alat penilaian gizi lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
risiko malnutrisi pada lansia (Ebersole, 2009).

Pemeriksaan status gizi dapat memberikan informasi tentang keadaan


gizi seseorang saat itu dan kebutuhan nutrisi yang harus dipenuhi.
11
The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)
dalam Meiner, 2006 mengidentifikasi tujuan dari pengkajian status gizi adalah
untuk mendirikan parameter gizi secara subjektif dan objektif, mengidentifikasi
kekurangan nutrisi dan menentukan faktor risiko dari masalah gizi seseorang.
Selain itu pengkajian status gizi juga dapat menentukan kebutuhan gizi seseorang
dan mengidentifikasi faktor psikososial dan medis yang dapat mempengaruhi
dukungan status gizi seseorang.

Fatmah (2010) menjelaskan penentuan status gizi pada lansia


berdasarkan WHO (1999) dapat dikategorikan menjadi gizi kurang
(underweight), normal, gizi lebih dan obesitas, sedangkan menurut Depkes RI,
2005 status gizi lansia dikategorikan menjadi gizi kurang, gizi normal dan gizi
lebih. Status gizi normal adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan antara
asupan gizi dan energi yang dikeluarkan oleh seseorang, status gizi kurang
adalah keadaan dimana asupan gizi yang dikonsumsi seseorang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan energy yang dikeluarkan sedangkan status gizi lebih
adalah keadaan terbalik dari status gizi kurang dimana asupan gizi yang
dikonsumsi lebih banyak dan energy yang dikeluarkan sedikit.

K. Pengukuran Status Gizi Lansia

Pengukuran status gizi digunakan untuk menentukan status gizi,


mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis
diet atau menu makanan yang harus diberikan pada seseorang. Untuk mengukur
status gizi lansia sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga
hasil kajian lebih akurat (Depkes RI, 2003). Pengukuran status gizi dapat melalui
penilaian diatetik, pemeriksaan fisik, pengukuran antropometri dan pemeriksaan
biokimia. Alat pengkajian lain yang dapat digunakan untuk menentukan status
gizi adalah MNA (The Mini Nutritional Assessment).

1. Penilaian Diatetik

Penilaian diatetik merupakan pengukuran status gizi yang dilakukan dengan


mengumpulkan informasi tentang kebiasaan makan, jenis makanan dan
faktor-
12

faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Meiner


(2006) menjelaskan bahwa informasi yang dibutuhkan dalam
penilaian diatetik mencakup jumlah dari makanan dan snack per
hari, kesulitan mengunyah dan menelan, masalah atau gejala
gastrointestinal yang mempengaruhi proses makan, kesehatan
mulut, penggunaan gigi palsu, riwayat atau penyakit bedah, tingkat
aktivitas, penggunaan obat-obatan, selera makan, membutuhkan
asisten untuk menyiapkan makanan, pilihan makanan dan riwayat
alergi. Selain itu, Biro et al (2002) dalam Fatmah (2010)
mendefinisikan penilaian diatetik sebagai penilaian yang
menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan
lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan.

Penilaian diatetik terdiri dari beberapa metode untuk


mengumpulkan informasi riwayat makan (fod recall) yang
dibutuhkan. Metode tersebut terdiri dari 24 hours food recall dan
dietary record untuk metode jangka pendek sementara dietary
history dan food frequency questionnaire untuk metode jangka
panjang (Fatmah, 2010). Untuk keakuratan dan relevansi Food
recall atau riwayat makan sebaiknya mencakup informasi spesifik
tentang jenis makanan yang dicerna, metode persiapan dan
perkiraan yang akurat dari jumlah makanan. Tujuan dari food recall
adalah untuk memperkirakan rata-rata jumlah kalori dan protein
yang dicerna sehari-hari dan untuk mendeteksi pola asupan
makanan (Meiner, 2006).
Pengkajian diatetik pada lansia dilakukan melalui
pengukuran asupan makanan secara retrospektif sehinggga
memerlukan konfirmasi. Hal ini sesungguhnya kurang tepat
dilakukan karena tidak satu pun metode pengkajian diatetik
menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada
13

lansia karena pada lansia terjadi defisit memori atau gangguan


kognitif lainnya (Fatmah, 2010).

2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis secara umum terdiri dari dua bagian, yaitu


riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Riwayat medis yaitu catatan
mengenai perkembangan penyakit individu. Sedangkan pemeriksaan
fisik yaitu melihat dan mengamati gejala dan tanda gangguan gizi
(Supariasa, 2001). Data seperti berat dan tinggi badan, tanda- tanda
vital, kondisi lidah, bibir, gusi, turgor kulit, kelembaban kulit, warna
kulit, kondisi rambut dan penampilan secara keseluruhan dapat
menunjukkan tanda- tanda klinis seseorang tentang status gizinya
(Ebersole, 2009).

Tanda-tanda klinis malnutrisi atau ketidakseimabangan gizi


tidak spesifik karena ada beberapa penyakit yang memiliki gejala
yang sama, tetapi penyebabnya berbeda. Oleh karena itu
pemeriksaan klinis ini harus dipadukan dengan pemeriksaan lain
seperti antropometri, pemeriksaan biokimia, dan peneilaian diatettik
sehingga keseimpulan dalam penilaian status gizi dapat lebih tepat
dan lebih baik (Supariasa, 2001). Cara ini relatif murah dan tidak
memerlukan peralatan canggih namun hasilnya sangat subjektif dan
memerlukan tenaga terlatih (Fatmah, 2010). Oleh karena itu,
pemeriksaan ini jarang dilakukan untuk menilai status gizi pada
lansia keculai dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih.

3. Antropometri

Antropometri merupakan salah satu metode pengukuran status gizi


yang dilakukan dengan cara mengukur kerangka tubuh manusia.
Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh, seperti tinggi
badan, berat badan, skinfold, dan berbagai pengukuran tubuh
lainnya yang dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan dan
14

perkembangan pada anak-anak serta untuk menilai protein dan kalori


pada orang dewasa (Dudek, 1997).

Pengukuran antropometri ini mudah dilakukan karena memiliki


banyak keuntungan. Pengukuran antropometri merupakan
pengukuran prosedur pengukuran yang sederhana, yang dapat
dilakukan dalam waktu kurang dari 5 menit. (Ebersole, 2009).
Pengukuran ini memiliki keuntungan berupa jenis pengukuran
objektif, noninvasive dan relatif cepat, mudah dan tidak
membutuhkan biaya besar untuk melakukannya (Dudek, 1997).

Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada pria dan wanita


yang bervariasi sesuai tahapan penuaan, dapat mempengaruhi
antropometri. Akibatnya, nilai standar antropometri dari populasi
dewasa tidak dapat diterapkan pada kelompok lansia. Seleksi
variabel-variabel antropometri untuk menentukan status gizi lansia
harus berdasarkan validitas, ketersediaan standarisasi teknik-teknik
pengukuran, data rujukan serta kepraktisan (Fatmah, 2010).
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran
tubuh, yaitu Tinggi Badan (TB), Berat Badan (BB), Lingkar Lengan
Atas (LLA), dan ketebalan kulit trisep/ skinfold.
a) Berat Badan

Berat badan adalah pengukuran kasar terhadap berat


jaringan tubuh dan cairan tubuh. Berat badan adalah
variabel antropometri yang sering digunakan dan hasilnya
cukup akurat. Berat badan juga merupakan komposit
pengukuran ukuran total tubuh. Alat yang digunakan untuk
mengukur berat badan adalah timbangan injak digital
(Seca). Pengukuran berat badan sangat menentukan dalam
menilai status gizi seseorang. Meningkatnya berat badan
dapat menunjukkan bertambahnya lemak tubuh atau
adanya edema, dan penurunan berta badan dapat
15

menunjukkan adanya perkembangan penyakit maupun


asupan nutrisi yang kurang (Fatmah, 2010).

b) Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan


yang telah lalu dan keadaan saat ini, serta menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal,
tinggi badan tumbuh bersama dengan pertambahan usia.
Namun, pada lansia akan mengalami penurunan tinggi
badan akibat terjadinya pemendekan columna vertebralis
dan berkurangnya massa tulang (12% pada pria dan 25%
pada wanita), osteoporosis dan kifosis. Pengukuran tinggi
badan dilakukan dengan menggunakan alat microtoise
dengan ketlitian 0,1 cm (Fatmah, 2010). Pada lansia yang
mengalami kelainan tulang dan tidak dapat berdiri, tidak
dapat dilakukan pengukuran tinggi badan secara tepat
(Fatmah, 2010). Meiner (2006) juga menjelaskan bahwa
tinggi badan lansia yang tidak dapat berdiri tanpa
bantuan dapat diperkirakan dengan mengukur tinggi lutut.
Hasil dari pengukuran tinggi lutut lalu di hitung berdasarkan
formula yang sudah ada.

Sementara itu Schlenker (1993) dalam Fatmah (2010)


menyebutkan bahwa ada metode lain yang dapat dipakai
untuk memprediksi tingi badan, yaitu dengan pengukuran
tinggi lutut, tinggi duduk dan panjang depa. Proses penuaan
tidak mempengaruhi panjang tulang di tangan (panjang
depa), kaki (tinggi lutut) dan tinggi tulang vertebra.

(1) Panjang Depa

Panjang depa direkomendasikan sebagai prediktor


paling akurat dalam mengembangkan model tinggi
badan prediksi untuk lansia. Hal ini dikarenakan pada
kelompok lansia, terlihat adanya penurunan nilai
16

panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan


peurunan tinggi badan, sehingga disimpulkan bahwa
panjang depa cenderung tidak banyak berubah seiring
dengan pertambahan usia. Fatmah (2010)
menggambakan Nomogram atau konversi tinggi badan
dari panjang depa adalah 23,47 + 0,826 x panjang depa
untuk prediksi tinggi badan pria dan untuk prediksi tinggi
badan wanita adalah 28,312 + 0,784 x panjang depa.

(2) Tinggi Lutut

Tinggi lutut berkorelasi dengan tinggi badan lansia.


Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1999) untuk
digunakan sebagai prediktor dari tinggi badan seseorang
yang berusia ± 60 tahun (lansia). Proses bertambahnya
usia tidak berpengaruh terhadap tulang yang panjang
seperti lengan dan tungkai, tetapi sangat berpengaruh
terhadap tulang belakang. Nomogram atau konversi
tinggi badan dari tinggi lutut untuk prediksi tinggi badan
pria adalah 56,343 + 2,102 x tinggi lutut sedangkan
untuk prediksi tinggi badan wanita adalah 62, 682 +
1,889 x tinggi lutut (Fatmah, 2010).
(3) Tinggi Duduk

Pengukuran tinggi duduk dilakukan bila lansia tidak


dapat berdiri dan atau merentangkan kedua tangannya
sepanjang mungkin dalam posisi lurus atau jika salah
satu atau kedua buah pergelangan tangan tidak dapat
diluruskan karena sakit atau sebab lainnya. Penuruanan
tinggi badan dapat dipengaruhi oleh berkurangnya
tinggi duduk ketika potongan tulang rawan antara
tulang belakang mengami kemunduran seiring
peningkatan usia. Tulang-tulang panjang menunjukkan
sedikit perubahan seiring dengan bertambahnya usia.
17

Nomogram atau konversi tinggi badan dari tinggi duduk


adalah 58,047 + 1,210 x tinggi duduk untuk prediksi
tinggi badan pria dan untuk prediksi tinggi wanita
adalah 46,551 + 1,309 x tinggi duduk (Fatmah, 2010).

c) Lingkar Lengan Atas (LLA)

Pengukuran lingkar lengan atas adalah pengukuran massa


otot yang dilakukan dengan cara mengukur lingkar lengan
bagian atas lalu dibandingkan hasilnya dengan nilai standar.
Pengukuran lingkar lengan atas (LLA) bertujuan untuk
mengukur massa otot (Rospond, 2008). Pengukuran LLA
adalah suatu cara untuk mengetahui risiko kekurangan
energi protein (Supariasa, 2001).

Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk memantau


perubahan status gizi dalam jangka pendek. Pengukuran LLA
dilakukan untuk menilai apakah seseorang mengalami
kekurangan energi kronik atau tidak. Ambang batas LLA
dengan risiko kekurangan energi kronik di Indonesia adalah
23,5 cm. Apabila ukuran LLA kurang dari 23,5 cm artinya orang
tersebut berisiko mengalami kekurangan energi kronik
(Supariasa, 2001).

d) Tebal Lipatan Kulit/ Pengukuran Skinfold

Pengukuran ketebalan lipatan kulit trisep/skinfold bertujuan


untuk memperkirakan jumlah lemak tubuh karena sekitar
50% dari lemak tubuh biasanya terletak di daerah subkutan
(Heimburger, 2006). Pengukuran ini memberikan perkiraan
cadangan lemak tubuh. Lipatan kulit yang dapat diukur
untuk pengkajian mutrisi meliputi bisep, trisep, lipatan
subkapsular dan suprailiak kemudian diakses cenderung
membuat Triceps Skinfold (TSF) menjadi metode yang
18

paling umum digunakan dalam menentukan lemak subkutan


(Rospond, 2008).

4. Pemeriksaan Biokimia

Pemeriksaan biokimia atau laboratorium adalah pemeriksaan


yang digunakan untuk mengukur kadar darah dan urin dari
nutrisi atau untuk mengevaluasi fungsi biokimia tertentu
berdasarkan asupan yang cukup dari nutrisi serta secara objektif
dapat mendeteksi masalah gizi dibandingkan dengan
pengukuran dan pemeriksaan lain (Dudek, 1997).

Pemeriksaan biokimia yang sering digunakan adalah teknik


pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia
lain dalam urin. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan
dengan standar yang telah ditetapkan. Pemeriksaan ini dapat
memberikan gambaran tentang kadar gizi dalam darah, urin dan
organ lain, perubahan metabolik tubuh akibat kurangnya
konsumsi zat gizi tertentu dalam waktu lama serta cadangan zat
gizi salam tubuh (Supariasa, 2001).

L. Penentuan Status Gizi

Status gizi seseorang dapat ditentukan dengan membandingkan hasil


yang di dapat dari pemeriksaan dengan nilai standar yang ada. Selain
itu untuk penentuan status gizi dapat juga menggunakan hasil
perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Khusus untuk lansia dalam
menentukan status malnutrisi dapat ditentukan dengan form skrining
yang disebut dengan The Mini Nutritional Assessment (MNA).2

1. Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index merupakan salah
satu alat untuk memantau status gizi orang dewasa, khusus yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. IMT dapat
19

menentukan apakah berat badan seseorang dinyatakan


2
normal,
kurus atau gemuk (Napitupulu, 2002). IMT merupakan cara
alternatif untuk menentukan kesesuaian rasio berat tinggi seorang
individu. IMT dapat dikalkulasikan dengan membagi berat badan
individu (kg) dengan tinggi individu tersebut (m2) (Rospond, 2008).
Moore (2009) menggambarkan rumus perhitungan IMT adalah:

IMT= BB(Kg)
Tinggi Badan(m2)

Fatmah (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa kategori


status gizi lansia dapat berdasarkan WHO tahun 1999 atau
berdasarkan Departemen Kesehatan RI tahun 2005.

Tabel 2.1 Kategori status gizi lansia berdasarkan indeks massa


tubuh menurut WHO Tahun 1999

IMT Status Gizi


<20 kg/m2 Gizi kurang
(underweight) Normal
20-25 kg/m2
25-30 kg/m2 Gizi lebih
(overweight)
>30 kg/m2 Obesitas

Sumber: Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta:


Penerbit Erlangga.

Tabel 2.2. Kategori status gizi lansia berdasarkan indeks massa tubuh
menurut Depkes RI tahun 2005
20

IMT Status Gizi


<18,5 kg/m2 Gizi Kurang
18,5-25 kg/m2 Gizi Normal
>25 kg/m2 Gizi Lebih
Sumber: Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Di Indonesia penentuan status gizi lansia menggunakan ketetapan yang


dibuat oleh Departemen Kesehatan RI. Hal ini dikarenakan telah
disesuaikan dengan kondisi orang yang ada di Indonesia.

2. The Mini Nutritional Assessment (MNA)

The Mini Nutritional Assessment (MNA) adalah alat pengkajian skrining


nutrisi yang paling cocok untuk lansia karena dapat cepat dan mudah
untuk digunakan dan secara efektif dapat merefleksikan keadaan status
gizi pada lansia. MNA secara luas digunakan dalam berbagai pengaturan
sebagai alat penilaian yang dapat dipercaya dan divalidasi untuk
mengidentifikasi kekurangan gizi atau berisiko gizi buruk pada lansia
(Miller, 2004). MNA bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang
berada pada kondisi risiko malnutrisi atau tidak sehingga dapat
ditentukan intervensi gizi sejak dini tanpa membutuhkan penilaian oleh
tim khusus gizi (Vellas, 1999).
MNA merupakan alat skrining yang telah di validasi secara khusus
untuk lansia, memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik, dapat diandalkan,
secara luas dapat digunakan sebagai metode skrining dan telah
direkomendasikan oleh organisasi ilmiah dan klinis baik nasional
maupun internasional. MNA juga mudah dan cepat untuk digunakan,
tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaan yang ada,
tidak membutuhkan pelatihan khusus, tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium (MNA, Mini Nutritional Assessment, 2011).

MNA telah dikembangkan hampir 20 tahun lalu, sejak tahun 1990an.


MNA telah divalidasi pada lansia dengan populasi lebih dari 600 orang
21

lansia dengan rentang usia 65-90 atau lebih, mulai dari lansia yang
sangat lemah kondisinya sampai pada lansia yang sangat aktif dalam
3 studi berturut-turut. Studi pertama dilakukan oleh Toulouse (1991)
untuk pengaturan tes pada 155 lansia dengan kondisi lansia yang sangat
sehat sampai lansia yang mengalami malnutrisi, studi kedua oleh
Toulouse pada tahun 1991 untuk memvalidasi tes dari potensial
diskriminasi MNA dalam 120 lansia dengan kondisi lansia yang lemah
sampai lansia yang sehat, studi terakhir untuk melengkapi validasi
dalam budaya yang berbeda pada lansia non institusi (Vellas, 1999).

MNA memiliki dua bentuk yaitu full MNA dan short form
MNA. Full MNA mencakup 18 item yang dikelompokkan ke dalam 4
bagian, yaitu pengkajian antropometri (IMT yang dihitung dari berat
badan dan tinggi badan, kehilangan berat badan, lingkar lengan atas
dan lingkar betis), pengkajian umum (gaya hidup, obat-obatan,
mobilisasi dan adanya tanda dari depresi atau demensia), pengkajian
pola makan/diet (jumlah makanan, asupan makanan dan cairan serta
kemandirian dalam makan) dan pengkajian subjekif ( persepsi
individu dari kesehatan dan status gizinya) (Guigoz, 1996; Guigoz
2006). Full MNA ini dapat dilengkapai dalam watu kurang dari 15
menit dan masing-masing jawaban memiliki nilai yang akan
mempengaruhi nilai akhir, dimana nilai maksimum akhir adalah 30.
Batas nilai ambang dari full MNA ini adalah nilai ≥ 24
mengindikasikan nutrisi baik, nilai 17-23,5 mengindikasikan risiko
malnutrisi dan <17 mengindikasikan malnutrisi (Guigoz, 1996;
Guigoz 2006).

Bentuk ke dua dari The Mini Nutritional Assessment adalah


short form MNA. Short form MNA telah dikembangkan dan
divalidasi untuk memungkinkan 2nproses skrining pada populasi
berisiko rendah yang mempertahankan validitas dan akurasi full MNA
(Guigoz, 2006). Short form MNA dikembangkan pada tahun 2001
22

oleh Rubenstein, dkk untuk menghemat waktu dalam skrining. Short


form MNA dapat mengidentifikasi seseorang dengan malnutrisi
dalam dua tahap proses, saat seseorang diidentifikasi berisiko
mengunakan Short form MNA, maka diberikan pengkajian lebih lanjut
untuk mengkonfirmasi diagnosis dan penetapan rencana intervensi
selanjutnya (Rubenstein, 2001).
Short form MNA terdiri dari 6 pertanyaan berupa skrining
dimana masing-masing pertanyaan memiliki nilai yang berbeda-beda
untuk setiap jawabannya. Setelah mendapatkan nilai dari setiap
pertanyaan maka nilai tersebut dijumlahkan. Nilai maksimal dari short
form MNA adalah 14. Jika total nilai yang di dapat ≥12 menunjukkan
bahwa status gizi orang tersebut normal atau tidak berisiko dan tidak
membutuhkan pengkajian lebih lanjut. Namun, jika nilai yang
diperoleh ≤11 menunjukkan bahwa kondisi orang tersebut mungkin
malnutrisi sehingga membutuhkan pengkajian lebih lanjut dengan
melengkapi full form MNA (Guigoz, 2006).
Bentuk kuisioner dari The Mini Nutritional Assessment ini
terdiri dari 2 bagian, yaitu skrining dan pengkajian. Enam pertanyaan
di awal merupakan skrining atau yang disebut dengan short form MNA
terdiri dari: apakah lansia mengalami penurunan asupan makanan
selama tiga bulan terkhir dikarenakan hilangnya selera makan,
masalah pencernaan, kesulitan mengunyah atau menelan? jika lansia
menjawab mengalami penurunan asupan makan yang parah maka
diberi nilai 0, jika sedang diberi nilai 1 dan jika tidak mengalami
penurunan asupan makanan maka diberi nilai 2; selanjutnya
ditanyakan tentang kehilangan berat badan selama tiga bulan terakhir,
jika lansia mengalami kehilangan berat badan lebih dari 3 kg maka
diberi nilai 0, jika tidak tahu diberi nilai 1, jika hanya kehilangan berat
badan antara 1-3 kg diberi nilai 2 dan jika tidak mengalami kehilangan
berat badan diberi nilai 3; kemudian ditanyakan tentang mobilisasi
pada lansia, jika hanya di tempat tidur atau kursi roda maka dberi
nilai 0, jika dapat turun dari tempat tidur namun tidak mampu untuk
23

beraktifitas lainnya diberi nilai 1 dan jika lansia masih mampu untuk
pergi keluar atau beraktivitas diberi nilai 2.
Pertanyaan selanjutnya terdiri dari: apakah lansia menderita
stress psikologi atau penyakit akut selama 3 bulan terakhir, jika iya
maka diberi nilai 0 dan jika tidak diberi nilai 2; apakah lansia
mengalami masalah neuropsikologi, jika lansia mengalami demensia
atau depresi yang parah diberi nilai 0, jika demensia ringan diberi nilai
1 dan jika tidak mengalami masalah neuropsikologi diberi nilai 2.
Setelah semua pertanyaan dijawab maka pertanyaan yang harus diisi
terakhir adalah hasil dari perhitungan IMT lansia. JIka hasil IMT
kurang dari 19 diberi nilai 0, jika 19-21 diberi nilai 1, jika 21-23 diberi
nilai 2 sementara jika 23 atau lebih diberi nilai 3.

Jika tidak ada hasil BMI maka dapat ditentukan dengan


mengukur lingkar betis, jika hasilnya kurang dari 31 diberi nilai 0
namun jika 31 atau lebih diberi nilai 3 (MNA Mini Nutritional
Assessment, 2011).
Setelah mendapatkan hasil skrining maka total nilai
dijumlahkan, jika lansia diidentifikasi memungkinkan malnutrisi
maka pengkajian kepada lansia dilanjutkan dengan menanyakan 12
pertanyaan pengkajian kepada lansia. Pertanyaan pengkajian ini terdiri
dari: apakah lansia hidup secara mandiri (tidak dirumah perawatan,
panti atau rumah sakit), jika tidak diberi nilai 0 dan jika iya diberi nilai
1; apakah lansia mengkonsumsi obat lebih dari 3 jenis obat perhari,
jika iya maka diberi nilai 0 dan jika tidak diberi nilai 1; apakah lansia
memiliki luka tekan/ulserasi kulit, jika iya maka diberi nilai 0 dan
jika tidak diberi nilai 1. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa kali
lansia makan dalam sehari, jika lansia makan 1 kali dalam sehari maka
diberi nilai 0, jika 2 kali sehari diberi nilai 1 dan jika 3 kali sehari
diberi nilai 2. Kemudian ditanyakan tentang asupan protein yang biasa
lansia konsumsi. Pada pertanyaan ini ada 3 jenis pilihan, pilihan
pertama yaitu protein yang dikonsumsi setidaknya salah satu produk
24

dari susu (susu, keju, yoghurt perhari), pilihan kedua adalah dua porsi
atau lebih kacang-kacangan/telur perminggu dan pilihan ketiga adalah
daging, ikan, unggas setiap hari. Dari pilihan ini jika lansia tidak ada
atau hanya 1 jawaban diatas maka diberi nilai 0, jika terdapat 2
jawaban dari pilihan tersebut diberi nilai 1 dan jika semua pilihan
dijawab iya maka diberi nilai 2. Selanjutnya diatanyakan apakah lansia
mengkonsumsi sayur atau buah 2 porsi atau lebih setiap hari, jika
tidak maka diberi nilai 0 dan jika iya diberi nilai 1.
Asupan cairan yang lansia minum per hari seperti air putih, jus,
kopi, teh, susu dsb juga ditanyakan kepada lansia, jika lansia minum
kurang dari 3 gelas maka diberi nilai 0, jika 3-5 maka diberi nilai 1 dan
jika lebih dari 5 gelas diberi nilai 2. Selanjutnya ditanyakan tentang
bagaimana cara lansia makan, jika lansia tidak dapat makan tanpa
dibantu maka diberi nilai 0, jika dapat makan sendiri namun
mengalami kesulitan diberi nilai 1 dan jika dapat makan sendiri tanpa
ada masalah diberi nilai 2.
Lansia juga ditanyakan tentang persepsinya tentang status gizi
lansia, jika lansia melihat ada masalah gizi pada dirinya maka diberi
nilai 0, jika lansia ragu/tidak tahu terhadap masalah gizinya diberi
nilai 1 dan jika lansia melihat tidak ada masalah terhadap status gizi
lansia diberi nilai 2. Selain persepsi tentang status gizi dirinya, lansia
juga diminta untuk membandingkan status kesehatan lansia dengan
orang lain, jika lansia memandang tidak lebih baik dari orang lain
diberi nilai 0, jika lansia tidak tahu diberi nilai 1, jika lansia
memandang dirinya sama baiknya dengan orang lain maka diberi nilai
2 dan jika lansia memandang dirinya lebih baik dari orang lain maka
diberi nilai 3.
Pertanyaan selanjutnya yaitu pengukuran Lingkar Lengan Atas
(LLA) dan pengukuran lingka betis. Jika hasil LLA kurang dari 21 cm
diberi nilai 0, jika hasil LLA antara 21-22 cm diberi nilai 0,5 dan jika
hasilnya lebih dari 22 cm diberi nilai 1. Kemudian jika hasil lingkar
betis kurang dari 31 cm diberi nilai 0 dan jika hasilnya lebih dari
25

31cm diberi nilai 1. Selanjutnya menjumlahkan nilai hasil pangkajian


dan di total dengan nilai skrining. Hal terakhir yang dilakukan dari
pemeriksaan ini adalah menentukan status gizi lansia, apakah lansia
berada dalam kondisi nutrisi baik, dalam risiko malnutrsi atau
mengalami malnutrsi (Guigoz, 2006).

M. Masalah Kesehatan pada Lansia


1. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikroarsitektur
jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan
meningkatnya kerapuhan tulang serta risiko terjadinya patah tulang
(Marjan 2013). Semakin tua umur seseorang, resiko terkena
osteoporosis menjadi semakin besar. Osteoporosis merupakan
kejadian alami yang terjadi pada tulang manusia sejalan dengan
meningkatnya usia. Proses densitas (kepadatan) tulang hanya
berlangsung sampai seseorang berusia 25 tahun. Selanjutnya,
kondisi tulang akan tetap (konstan) hingga usia 40 tahun. Setelah
usia 40 tahun, densitas tulang mulai berkurang secara perlahan.
Oleh karenanya, massa tulang akan berkurang seiring dengan
proses penuaan. Berkurangnya massa tulang ini akan berlangsung
terus sepanjang sisa hidup.
Dengan demikian, osteoporosis pada lansia terjadi akibat
berkurangnya massa tulang. Pada lansia, kemampuan tulang dalam
menghindari keretakan akan semakin menurun. Kondisi ini juga
diperparah dengan kecenderungan rendahnya konsumsi kalsium
dan kemampuan penyerapannya. Pada lansia wanita akan terjadi
menopause. Pada masa menopause, terjadi kehilangan kalsium dari
jaringan tulang. Osteoporosis pada menopause terjadi akibat kadar
estrogen yang diproduksi ovarium menurun. Hormone estrogen
diproduksi wanita dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Pada
26

masa menopause, hanya bagian tubuh seperti kelenjar adrenalin dan


sel-sel lemak yang memproduksi estrogen, itupun dalam jumlah
yang sangat kecil. Hormone tersebut diperlukan untuk
pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang.
Rendahnya hormon estrogen dalam tubuh akan membuat tulang
menjadi keropos dan mudah patah.

2. Inkontinensia Urin
Masalah yang sering dijumpai pada lanjut usia adalah
inkontinensia urin, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan otot
diantaranya otot dasar panggul. Otot dasar panggul berfungsi
menjaga stabilitas organ panggul secara aktif, berkontraksi
mengencangkan dan mengendorkan organ genital, serta
mengendalikan dan mengontrol defekasi dan berkemih.
Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali
dalam waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya yang akan menyebabkan masalah sosial
dan higienis penderitanya. Yang cukup serius seperti infeksi
saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial
seperti depresi, mudah marah dan terisolasi. Variasi dari
inkontinensia urin meliputi dari kadang-kadang keluar hanya
beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan
disertai juga inkontinensia alvi.
Lansia yang mengalami inkontinensia urin mempunyai
kecenderungan untuk mengurangi minum. Hal ini selain
mengganggu kesimbangan cairan yang sudah cenderung negatif
pada lansia, dapat juga mengakibatkan kapasitas kandung kemih
menurun dan selanjutnya akan memperberat keluhan
inkontinensianya. (Ananingsih 2013)
27

3. Konstipasi
Pada lansia terjadi Penurunan fungsi alat pencernaan khususnya
pada usus dapat menyebabkan konstipasi. Konstipasi dapat
diartikan sebagai kesulitan buang air besar, yang disebabkan karena
berkurangnya fungsi pergerakan usus dan kesulitan pergerakan
feses. Konstipasi pada lansia selain menurunnya fungsi
gastrointestinal juga dipengaruhi oleh asupan makanan. Makanan
yang dapat mempengaruhi terjadinya proses konstipasi adalah
makanan yang mengandung kalsium, tinggi lemak dan makanan
yang tinggi gula.
Selain itu juga dipengaruhi oleh tidak ada zat gizi tertentu yang
mendukung penyerapan kalsium sehingga dapat menyebabkan
konstipasi. Kadar kalsium yang tinggi dalam tubuh menurunkan
kontraktilitas otot, dengan demikian mengurangi reabsorpsi air
(Endyarni dkk, 2004). Konsumsi kalsium yang tinggi dapat
menyebabkan lamanya transit feses dalam usus besar disebakan
karena menurunnya gerak peristaltik usus serta mengalami
penurunan absorbsi elektrolit (William,2008). (Amri 2015).

4. DM Tipe 2
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang sering
dijumpai pada usia lanjut. Hampir 50% pasien diabetes tipe 2
berusia 65 tahun ke atas. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa
(GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap
sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa
setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2
mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13
mg%/tahun pada 2 jam setelah makan.
b) Kadar Gula Darah Normal Menurut WHO :
(1) Ketika puasa: 4 - 7 mmol/l atau 72 - 126 mg/dl
(2) 90 menit setelah makan: 10 mmol/l atau 180 mg/dl
28

(3) Malam hari: 8 mmol/l atau 144 mg/dl


c) Gula Darah Sewaktu Normal :
(1) GDS normal 2 jam setelah makan berkisar antara 80-180 mg/dl.
(2) Kondisi idealnya adalah 80-144 mg/dl,
(3) Kondisi cukup adalah 145-179 mg/dl.
(4) Pas angka 180 mg/dl sewaktu normal buruk (masih kategori
aman)
Diabetes mellitus pada lansia salah satunya karena resistensi
insulin, resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor
perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak
lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan
jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan
pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya
jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like
growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma)
sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya
sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM
karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang
batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui
urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena
mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun
tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi
hiperosmolar akibat hiperglikemia berat
DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada
gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi,
perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan
fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah
jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM
pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia
seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.
29

5. Anemia
Penyebab anemia pada lansia adalah kekurangan Fe, asam folat,
vit.B12, dan protein. Faktor lainnya seperti kemunduran proses
metabolism sel darah merah (hemoglobin) juga terjadi. Gejala yang
tampak seperti cepat lelah, lesu, otot lemah, letih, pucat, berdebar-
debar, sesak napas waktu kerja, kesemutan, mengeluh sering pusing,
mata berkunang-kunang dan mengantuk kelopak mata, bibir, telapak
tangan menjadi pucat, Hb<8gram/dl, serta kemampuan konsentrasi
menurun. (Maryam dkk, 2008).

6. Demensia
Istilah demensia itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali
dipakai oleh Pinel (1745 - 1826). Pikun sebagaimana orang awam
mengatakan merupakan gejala lupa yang terjadi pada orang lanjut usia.
Pikun ini termasuk gangguan otak yang kronis. Biasanya (tetapi tidak
selalu) berkembang secara perlahan-lahan, dimulai dengan gejala
depresi yang ringan atau kecemasan yang kadangkadang disertai
dengan gejala kebingungan, kemudian menjadi parah diiringi dengan
hilangnya kemampuan intelektual yang umum atau demensia. Jadi
istilah pikun yang dipakai oleh kebanyakan orang, terminologI
ilmiahnya adalah demensia. (Schaei & Willis, 1991). Jabaran demensia
sekarang adalah "kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian
berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan" (Kusumoputro,
2006).
Orang yang mengalami demensia selain mengalami kelemahan
kognisi secara bertahap, juga akan mengalami kemunduran aktivitas
hidup seharihari (activity of daily living/ADL) Ini pun terjadi secara
bertahap dan dapat diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup
seharihari ini berujud sebagai ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas hidup yang kompleks (complex activity of daily living) seperti
tidak mampu mengatur keuangan, melakukan korespondensi, bepergian
30

dengan kendaraan umum, melakukan hobi, memasak, menata boga,


mengatur obat-obatan, menggunakan telepon, dan sebagainya. Lambat
laun penyandang tersebut tidak mampu melakukan aktivitas hidup
sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living) berupa
ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting, makan,
dan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic ADL).

7. Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanansistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya
diatas 90 mmHg (Smith Tom,1995). Menurut WHO, penyakit
hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau
sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih
besar 95 mmHg (Kodim Nasrin, 2003).

Klasifikasi Tekanan Sistolik Diastolik


Darah (mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre-Hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stage I 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage II 160 atau 100
Hipertensi Sistolik 140 <90
Terisolasi (ISH)

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan


menjadi 2 golongan besar yaitu :( Lany Gunawan, 2001 )
a) Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya
b) Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh
penyakit lain.Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90 %
penderita hipertensi, sedangkan 10 % sisanya disebabkan oleh
hipertensi sekunder. Meskipun hipertensi primer belum diketahui
31

dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan


beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi.

Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai


penyebab yang spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon
peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer.
Namun ada faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:

a. Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi


atau transport Na.
b. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang
mengakibatkan tekanan darah meningkat.
c. Stress Lingkungan.
d. Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang
tua serta pelabaran pembuluh darah.
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia
adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :
1. Elastisitas dinding aorta menurun
2. Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
3. Kemampuan jantung memompa darah menurun
4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena
kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi. Kadar kolesterol dalam darah juga dapat
mempengaruhi laju aliran darah menuju jantung. Hal ini
karena plak yang disebabkan oleh kolesterol akan menutup
aliran darah sehingga jantung akan kekurangan oksigen.
5. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
32

Berikut kadar kolesterol normal menurut WHO:


Kolesterol Kolesterol Baik Kategori Kategori Bahaya
Perbatasan
K. Total <200 200-239 >240
K. LDL <130 130-159 >160
<100 (bila ada DM) 100-159
K. HDL >60 40-59 <40
a. < 200 mg/dL normal. Artinya jumlah kadar kolesterol LDL, HDL, serta
Trigliselida masih kurang dari angka 200 mg/dL. Jika hal itu terjadi maka
resiko terkena penyakit jangtung akan semakin tipis atau sedikit.
b. 239 mg/dL, ukuran ini masih tergolong kolesterol cukup
c. > 240 mg/dL tinggi, hal ini dapat memicu penyakit jantung korener.

Asam Urat Normal Menurut WHO

Pria : 3,5-7 mg/dl Wanita : 2,6 – 6 mg/dl

laki-laki dewasa : 2 – 7,5 mg/dL wanita dewasa adalah : 2 – 6,5 mg/dL.

Laki-laki usia diatas 40th : 2 – 8,5 Wanita usia diatas 40th : 2 – 8 mg/dL
mg/dL

Laki2 Anak 10 – 18 tahun : 3,6 – Wanita 10-18 tahun : 3,6 – 4 mg/dL.


5,5 mg/dL,

,
33

8. Gangguan Penglihatan
a. Penurunan kemampuan penglihatan
Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya adalah progesifitas
dan pupil kekunningan pada lensa mata, menurunnya vitous humor, perubahan
ini dapat mengakibatkan berbagai masalah pada usia lanjut seperti : mata kabur,
hubungan aktifitas sosial, dan penampialan ADL, pada lansia yang berusia lebih
dari 60 tahun lensa mata akan semakin keruh, beberapa orang tidak mengalami
atau jarang mengalami penurunan penglihatan seirinng dengan bertambahnya
usia.
b. Glaukoma
Glaukoma dapat terjadi pada semua usia tapi resiko tinggi pada lansia usia 60
tahun keatas, kerusakan akibat glaukoma sering tidak bisa diobati namun dengan
medikasi dan pembedahan mampu mengurangi kerusakan pada mata akibat
glaukoma. Glaukoma terjadi apabila ada peningkatan tekanan intra okuler (IOP)
pada kebanyakan orang disebabkan oleh oleh peningkatan tekanan sebagai
akibat adanya hambatan sirkulasi atau pengaliran cairan bola mata (cairan jernih
berisi O2, gula dan nutrisi), selain itu disebabkan kurang aliran darah kedaerah
vital jaringan nervous optikus, adanya kelemahan srtuktur dari syaraf.
Populasi yang berbeda cenderung untuk menderita tipe glaukoma yang berbeda
pula pada suhu Afrika dan Asia lebih tinggi resikonnya di bandinng orang kulit
putih, glaukoma merupakan penyebab pertama kebutuhan di Asia.
Tipe glaukoma ada 3 yaitu :
1. Primary open angle Gloueoma (glaukoma sudut terbuka)
2. Normal tenion glukoma (glaucoma bertekanan normal)
3. Angel clousure gloukoma (Glaukoma sudut tertutup)
c. Katarak
Katarak adalah tertutupnya lensamata sehingga pencahayaan di fokusing
terganggu (retina) katarak terjadi pada semua umur namun yang sering terjadi
pada usia > 55 tahun. Tanda dan gejalanya berupa : Bertanbahnya gangguan
penglihatan, pada saat membaca / beraktifitas memerlukan pencahayaan yang
lebih, kelemahan melihat dimalam hari, penglihatan ganda. Penanganannya
34

yang tepat adalah pembedahan untuk memperbaiki lensa mata yang rusak
pembedahan dilakukan bila katarak sudah mengganggu aktifitas namun bila
tidak mengganngu tidak perlu dilakukan pembedahan.

9. Gangguan Pendengaran
1. Gangguan Pendengaran Tipe Konduktif
Gangguan bersifat mekanik, sebagai akibat dari kerusakan kanalis
auditorius, membrana timpani atau tulang-tulang pendengaran. Salah satu
penyebab gangguan pendengaran tipe konduktif yang terjadi pada usia
lanjut adalah adanya serumen obturans, yang justru sering dilupakan pada
pemeriksaan. Hanya dengan membersihkan lobang telinga dari serumen ini
pendengaran bisa menjadi lebih baik.

2. Gangguan Pendengaran Tipe Sensori-Neural


Penyebab utama dari kelainan ini adalah kerusakan neuron akibat bising,
prebiakusis, obat yang oto-toksik, hereditas, reaksi pasca radang dan
komplikasi aterosklerosis.

3. Prebiakusis
Hilangnya pendengaran terhadap nada murni berfrekwensi tinggi, yang
merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan lanjutnya usia.
Bersifat simetris, dengan perjalanan yang progresif lambat.

Terdapat beberapa tipe presbiakusis, yaitu :

1) Presbiakusis Sensorik
2) Presbiakusis neural
3) Prebiakusis Strial ( metabolic )
4) Prebiakusis Konduktif Kohlear ( mekanik )
4. Tinitus
Suatu bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah,
bisa terus menerus atau intermiten. Biasanya terdengar lebih keras di waktu
malam atau ditempat yang sunyi. Apabila bising itu begitu keras hingga bisa
didengar oleh dokter saat auskkkultasi disebut sebagai tinnitus obyektif.
35

You might also like