Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui tentang mekanisme rujukan pada penyakit bawaan pada bayi
(Atresia duedoni, meningokel ensephalokel).
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa Akbid mampu melakukan penatalaksanaan pada penyakit bawaan pada bayi.
Mahasiswa Akbid mampu melakukan system rujukan jika kondisi bayi tidak memungkinkan
ditolong oleh bidan.
BAB II
PEMBAHASAN
“Atresia duodenum adalah cacat di mana duodenum, bagian pertama dari usus
kecil, belum berkembang dengan benar. Bagian dari duodenum adalah tertutup rapat dan
makanan dan cairan tidak bisa lewat. Kondisi ini sering dikaitkan dengan cacat bawaan
lainnya.Intervensi bedah diperlukan untuk memperbaiki penyumbatan duodenum dan
memungkinkan bayi untuk mencerna makanan normal”.
A. Pengertian
Atresia duodenum diakibatkan kegagalan rekanalisasi setelah tahap “solod cord” dari
pertumbuhan usus proksimal. Ujung yang atresia mungkin terpisah secara lengkap atau
terhubung dengan jaringan fibrus. 40 % dari bayi memiliki bentuk obstruksi diafragmatik
atau “web”.
Sementara yang lain atresia inkomplit merupakan suatu stenosis. Obstruksi terletak distal
dari ampula vateri sebesar 80 % penderita. Annular pancreas selalu dihubungkan dengan
atresia atu stenosis dan secara klinis tak dapar dibedakan dengan kedua keadaan tersebut.
B. Patofisiologi
Muntah menyebabkan hilangnya sekresi lambung dan duodenal, dapat mengakibatkan
terjadinya dehidrasi dan defisiensi sodium, klorida, dan ion hidrogen dan bikarbonat.
C. Gambaran klinis
Gambaran klinis yang dijumpai pada bayi dengan atresia duodeni, antara lain
polihidramnion terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal, muntah terjadi pada masa awal
terjadinya atresia duodenal, biasanya pada hari pertama atau kedua post natal. Distensi
abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian atas. Banyak bayi dengan
atresia duodenal mempunyai abdomen scaphod, sehingga obstruksi intestinal tidak segera
dicurigai. Pengeluaran mekonium tercatat pada 30 % pasien. Jaundice terlihat pada 40 %
pasien, dan diperkirakan karena peningkatan resirkulasi enterohepatik dari bilirubin. Muntah
pada kasus stenosis duodenal terjadi belakangan. Bayi terlihat susah makan, muntah kadang –
kadang, dan ada gangguan pertumbuhan.
Aspirasi pneumonia yang rekurens dapat merupakan penemuan yang pertama. Masalah
yang menyertai bayi dengan atresia duodeni, adalah dehidrasi dan ketidakseimbangan
elektrolit, prematuritas, serta anomaly yang berhubungan: trisomi 21 (33 %), jantung, ginjal,
CNS, dan musculoskeletal.
D. Diagnosis
Diagnosis atresia duodeni dikonfirmasi dengan pemeriksaan x-ray abdomen. Sebuah foto
upright abdomen menunjukan gambaran klasik “double bubble”. Pemeriksaan dengan
kontras tidak diperlukan.
Bila udara terlihat pada usus distal dari duodenum, obstruksinya incomplete,
mengarahkan pada stenosis duodenal atau malrotasi. Malrotasi dengan volvulus harus
dicurigai (dan disingkirkan) bila abdomen tidak berbentuk scaphoid setelah pemasangan
nasogastric tube.
E. Penanganan
Kecuali bila ada kondisi yang mengancam jiwa, operasi diindikasikan untuk semua bayi
yang mengalami kondisi ini, karena malformasi ini dapat diperbaiki dengan sempurna.
Persiapan operasi, meliputi prinsip umum persiapan terapi pada neonatus, koreksi cairan
dan elektrolit, pertimbangan khusus diberikan pada atresia duodenum. Koreksi emergensi
tidak dibutuhkan kecuali diduga ada malrotasi. Pada obstruksi parsial yang lama, malnutrisi
biasanya berat, korekso melalui TPN selama seminggu atau lebih sebelum operasi.
F. Komplikasi
Komplikasi dari atresia duodeni, di antaranya adalah trauma pada ampula vateri sering
terjadi pada setiap operasi jika tidak diidentifikasi dengan baik. Jaundice yang meningkat
pasca operasi merupakan indikasi bagi scanning isotop liver untuk mengevaluasi akskresi
empedu. Operasi ulang dibutuhkan jika terdapat obstruksi. Jika terjadi striktur anastomosis
maka diperlukan reoperasi. Pengosongan duodenum yang lambat bukan merupakan indikasi
untuk reoperasi sebelum 3 minggu dan setelah dibuktikan dengan pemeriksaan radiologis.
G. Prognosis
Sebanyak 90 % penderita atresia duodeni yang dioperasi dapat menjalani hidup dengan baik.
Martolitas banyak tergantung pada kelainan lain yang menyertai.
2.3 Meningokel
A. Pengertian Meningokel
Meningokel adalah satu dari tiga jenis kelainan bawaan spina bifida. Meningokel adalah
meningens yang menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan
berisi cairan di bawah kulit. Spina bifida (sumbing tulang belakang) adalah suatu celah pada
tulang belakang (vertebrae), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal
menutup atau gagal terbentuk secara utuh.
B. Penyebab
Resiko kelahiran anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam
folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.
Penonjulan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada korda
spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian tubuh
yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau dibagian bawahnya.
Gejalanya tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan terjadi
dipunggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sacral, karena penutupan vertebrae
dibagian ini terjadi paling akhir. Kelainan bawaan lainnya yang juga ditemukan pada
penderita spinabifida :
Hidrosefalus, siringomielia, serta dislokasi pinggul.
C. Gejala
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar
saraf yang terkena. Beberpa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan yang
lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun
akar saraf yang terkena.
Gejala dari spina bifida, umuny berupa penonjolan seperti kantung dipunggung tengah
sampai bawah pada bayi baru lahir, jika disinari, kantung tersebut tidak tebus ahaya,
kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki, penurunan sensasi, inkontinensia uri
(beser) maupun inkontinensia tinja, korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi
(meningitis). Gejala pada spina bifida okulta, adalah seberkas rumput pada daerah sacral
(panggul bagian belakang) lekukan pada daerah sacrum.
D. Diagnosa
Diagnosis spina bifida, termasuk meningokel ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan fisik. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang
disebut triple screen. Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma down
dan kelainan bawaan lainnya.
Sebanyak 85 % wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida, akan memiliki kadar
serum alfa fetoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena
itu jika hasilnyaposotif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis.
Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina bifida. Kadang – kadang
dilakukan amniosintesis (analisa ciran ketuban).
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan rontgen tulng belakang untuk menentukan luas dan
lokasi kelainan, pemeriksaan USG tulang belakang bias menunjukkan adanya kelainan pada
korda spinalis maupun vertebra, serta pemeriksaan CT-scan atau MRI tulang belakang
kadang – kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya kelainan.
E. Pengobatan
Tujuan dari pengobatan awal spina bifida, termasuk meningokel, adalah mengurangi
kerusakan saraf akibt spina bifida, meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi), serta
membantu keluarga dalam menghadapi kelainan ini. Pembedahan dilakukan untuk menutup
lubang yang terbentuk dan untuk mengobati hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih
serta kelainan bentuk fisik yang sering menyertai spina bifida.
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot.
Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksilainnya,
diberikan antibiotic. Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan
penekanan lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat kadang harus dilakukan
pemasangan kateter. Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu
memperbaiki fungsi saluran pencernaan.
Untuk mengatasi gejala muskuluskeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur tangan dari
ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan
jenis luasnya gangguan fungsi yang terjadi. Kadang – kadang pembedahan shunting untuk
memperbaiki hidrosefalus akan menyebabkan berkurangnya mielomeningokel secara
spontan.
F. Pencegahan
Risiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam folat. Kekurangan
asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi sebelum wanita tersebut hamil, karena
kelainan ini terjadi sangat dini.
Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat pada
wanita hamil adalah 1 mg/hari.
2.4 Ensefalokel
A. Pengertian Ensefalokel
Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya penonjolan
meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada
tulang tengkorak. Ensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf folat pada
wanita hamil adalah 1 mg/hari.
B. Gejala
Gejala dari ensefalokel, antara lain berupa hidrosefalus, kelumpuhan keempat anggota gerak
(kuadriplegia spastic), gangguan perkembangan, mikrosefalus, gangguan penglihatan,
keterbelakangan mental dan pertumbuhan, ataksia serta kejang. Beberapa anak memili
kecerdasan yang normal. Ensefalokel seringkali disertai dengan kelainan kraniofasial atau
kelainan otak lainnya.
C. Penanganan
Biasanya dilakukan pembedahan untuk mengembalikan jaringan otak yang menonjol
kedalam tulang tengkorak, membuang kantung dan memperbaiki kelainan kraniofasial yang
terjadi. Untuk hidrosefalus mungkin perlu dibuat suatu shunt. Pengobatan lainnya bersifat
simtomatis dan suportif.
D. Prognosis
Prognosisnya tergantung kepada jaringan otak yang terkena, lokasi kantung dan kelainan otak
yang menyertainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelainan bawaan (kelainan congenital) adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi
maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Sekitar 3-4 %
bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang benar.
Beberapa factor yang dapat menyebabkan meningkatnya risiko kelainan bawaan, antara
lain teratogenik, factor gizi, factor fisik, dan factor genetic dan kromosom.
Salah satu penyakit kelainan bawaan :
1. Atresia duodeni : Atresia duodenum diakibatkan kegagalan rekanalisasi setelah tahap
“solod cord” dari pertumbuhan usus proksimal. Ujung yang atresia mungkin terpisah secara
lengkap atau terhubung dengan jaringan fibrus. 40 % dari bayi memiliki bentuk obstruksi
diafragmatik atau “web”. Sementara yang lain atresia inkomplit merupakan suatu stenosis.
Obstruksi terletak distal dari ampula vateri sebesar 80 % penderita.
2. Meningokel : Meningokel adalah satu dari tiga jenis kelainan bawaan spina bifida.
Meningokel adalah meningens yang menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba
sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit. Spina bifida (sumbing tulang belakang)
adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebrae), yang terjadi karena bagian dari satu atau
beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh.
3. Ensefalokel : Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan
adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui
suatu lubang pada tulang tengkorak.
DAFTAR PUSTAKA
Nur Muslihatun, Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita . penerbit Fitramaya,
Yogyakarta.
Disadur dari tulisan : dr. B Gebyar TB, SpA
Rukiyah,Yeyeh dkk. 2010. Asuhan neonatus bayi dan anak balita. Jakarta: CV Trans Info
Media
Lia Dewi, Vivian Nanny. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika
Nur Muslihatun, Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya
Rukiyah, Yeyeh Ai dan Lia Yulianti.2010.Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta :
Trans Info Media