You are on page 1of 100

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelahiran anak dalam sebuah keluarga merupakan harapan besar orangtua
yang muncul bahkan saat anak masih dalam kandungan. Namun harapan
tersebut akan hilang ketika anak lahir dalam kondisi yang berbeda dengan
anak lainnya atau biasa disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
ABK adalah anak yang memiliki keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik,
mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara
signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain yang seusia dengannya (Winarsih.dkk, 2013). Menurut
Rohman ada beberapa jenis ABK seperti anak lamban belajar, anak yang
mengalami kesulitan belajar, tunagrahita (retardasi mental), cerebral palsy,
tunarungu, tunawicara, tunalaras, tunanetra, tunadaksa, autis, dan Attention
Deficit Disorder with Hyperavtive (ADDH) (Hermin, 2017). Tidak hanya
jenis, jumlah ABK juga terbilang banyak, dan diperkiran terus meningkat
setiap tahun.

Jumlah ABK menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 cukup
besar diperkirakan ada kurang lebih 5,1% atau 95 juta ABK di dunia (WHO,
2018). Jumlah ABK di Indonesia menurut Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan mencapai angka 1,6 juta anak (KEMENDIKBUD, 2018).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, angka anak berkebutuhan
khusus (ABK) di Kabupaten Tegal sebanyak 1.240 jiwa (BPS, 2018). Total
anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB N Slawi ada 243 siswa
yang terdiri dari tunarungu, tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, autis, dan
kelainan ganda. Berdasarkan data diatas, jumlah ABK yang tidak sedikit akan
berdampak pada beberapa aspek.

Dampak yang ditimbulkan dari kondisi ABK dapat memunculkan berbagai


macam reaksi dari orangtua terutama ibu. Reaksi yang ditunjukan orangtua

1
2

dapat berupa reaksi negatif maupun reaksi positif. Reaksi negatif yang muncul
berupa penolakan dan penyangkalan serta berbagai reaksi emosi negatif yang
diwujudkan dengan perilaku pengabaian anak, menyembunyikan anak, dan
menyewa pengasuh (Roihah, 2015). Hasil penelitian Anggraini (2013)
mengenai persepsi orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus menyebutkan
bahwa dari 29 orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, sebanyak 17
orangtua (58,62%) merasa malu dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus.
Kemudian sebanyak 10 orangtua (34,48%) merasa sangat kecewa karena
anaknya tergolong ABK dan tidak memenuhi apa yang diharapkan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah SLB N Slawi contoh
kasus penolakan yang mucul dari orangtua atau wali murid diantaranya
menyembunyikan kondisi anak dari lingkungan, menyewa pengasuh, dan
tidak pernah datang ke sekolah anak. Selain itu ada orangtua yang akhirnya
berpisah dan menitipkan anak yang berkebutuhan khusus tersebut ke saudara
terdekat.

Reaksi positif yang pada akhirnya dapat muncul adalah penerimaan. Hurlock
menyatakan perhatian besar dan kasih sayang pada anak merupakan tanda
adanya penerimaan dari orangtua (Faradina, 2016). Rogers mengungkapkan
penerimaan berarti penghargaan yang hangat untuk seseorang sebagai manusia
dengan nilai harga yang tanpa syarat bagaimanapun kondisinya, perlakuannya,
perasaannya serta penghormatan dan menyukai seseorang sebagai manusia
yang berbeda, keinginan untuk memilih perasaan sendiri dengan caranya
sendiri (Eliyanto, 2013). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa penerimaan adalah aspek yang muncul sebagai reaksi positif terhadap
keadaan ABK.

Hasil penelitian dari Faradina tahun 2016 mengenai penerimaan diri orangtua
yang memiliki anak kebutuhan khusus didapatkan hasil 3 subjek penelitian
menerima anaknya yang tergolong ABK. Pada subjek pertama memiliki
3

penerimaan diri yang positif ditunjukan dengan subjek berusaha untuk ikhlas
dan memahami kondisi anaknya, serta selalu mendukung segala kegiatan anak
termasuk kegiatan di sekolah. Subjek kedua juga memiliki penerimaan positif
yang dapat digambarkan pasrah terhadap keadaan anak namun tetap berusaha
memahami kondisinya, dan tidak malu dengan kekurangan yang dimiliki
anaknya. Subjek ketiga memiliki penerimaan diri negatif karena subjek
merasa malu dan takut ketika orang lain mengetahui kondisi anaknya yang
memiliki gangguan perkembangan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala SLB N Slawi di dapatkan hasil


bahwa penerimaan wali murid terhadap kondisi anak yang berkebutuhan
khusus belum optimal, hal ini di karenakan belum adanya pemahaman dari
orangtua atau wali murid terhadap kondisi anak berkebutuhan khusus.
Penerimaan orangtua dapat dilihat dari anak mulai mendaftar di SLB,
orangtua yang menerima kondisi anak akan merawat anak sebaik-baiknya
sehingga anak berpenampilan rapi, bersih dan wangi. Orangtua yang tidak
menerima kondisi anaknya akan membiarkan anak tidak terawat dan kotor.
Dari beberapa orangtua yang menunjukan reaksi negatif berasal dari tingkat
pendidikan yang berbeda. Di SLB N Slawi dari 10 orangtua siswa yang di
temui pada kamis 22 Maret 2018 didapatkan hasil 3 orangtua menolak untuk
diwawancarai, dan 7 orang yang berhasil di wawancarai didapatkan hasil 2
orang merasa malu dan 5 orangtua tidak malu dengan kondisi anaknya.

Faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua yaitu konsep tentang anak,


dukungan keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang
agama, tingkat pendidikan orangtua, status perkawinan, sikap masyarakat
umum, usia orangtua, dan sarana penunjang (Agustikasari, 2016). Menurut
Hurlock faktor penerimaan orangtua terhadap anak yaitu respon individu
terhadap anaknya, pengalaman masa lalu, dan sikap terhadap jenis kelamin
anak sebelum lahir (Roihah, 2015).
4

Upaya yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Pendidikan untuk


menangani ABK adalah membangun fasilitas pendidikan yang memadai
melalui Sekolah Luar Biasa (SLB). Upaya dari departemen kesehatan yaitu
dengan mengadakan program deteksi dini, stimulasi dini, dan pelayanan
rehabilitasi medik (Moersinowarti dkk, 2010). Pemerintah juga melakukan
upaya untuk meningkatkan penerimaan keluarga terhadap ABK, diantaranya
menerbitkan buku panduan pengasuhan dan mengadakan konseling keluarga
di pusat pelatihan orangtua. Selain itu ada beberapa peneliti yang sudah
melakukan penelitian mengenai pelatihan untuk menunjang penerimaan dan
pengasuhan orangtua diantaranya parent management training, parenting
skill, dan incredible mom namun pelatihan ini tidak terbukti efektif untuk
meningkatkan penerimaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus.

Ada satu metode yang sedang dikembangkan yaitu Positive Parenting


Program (Triple P), adalah metode pelatihan yang terbukti dalam
meningkatkan keterampilan pengasuhan orangtua sehingga mampu
memberikan perubahan pada masalah perilaku anak, memperbaiki hubungan
orangtua anak, serta dapat mereduksi dampak negatif dari disfungsi
pengasuhan seperti stress pengasuhan, kecemasan, hingga depresi (Roihah,
2015). Keterampilan pengasuhan menekankan pada hubungan antara
orangtua dan anak yang mana terdapat intensitas, fokus, dan tanpa
penghakiman, serta komunikasi orangtua-anak harus terjalin pengertian.
Dengan adanya pengertian maka kualitas hubungan tersebut akan baik.
Tercapainya kualitas hubungan yang baik antara orangtua dan anak
merupakan indikator utama aspek penerimaan, dengan begitu dapat dikatakan
bahwa positive parenting program tidak hanya berfokus pada tercapainya
keterampilan pengasuhan, namun juga penerimaan (Mubarok, 2016).

Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori parent
acceptance yang di kembangkan oleh M. Porter, dan penggunaan metode
pelatihan dengan pendekatan Triple P (Positive Parenting Program) yang
5

dikembangkan oleh Sanders. Menjadikan penerimaan orangtua sebagai


sasaran utama diharapkan proses pengasuhan juga dapat berjalan lebih
optimal. Sebagaimana pendapat dari Meadan, Halle, dan Ebata, apabila ibu
sudah dapat menerima anaknya maka proses pembelajaran dan perkembangan
anak akan lebih cepat (Roihah, 2015). Berdasarkan hasil penelitian dari
Mubarok tahun 2016 mengenai program pengasuhan positif untuk
meningkatkan keterampilan mindful parenting orang tua remaja didapatkan
hasil bahwa program pengasuhan positif efektif untuk meningkatkan tiga
aspek keterampilan mindful parenting yaitu mendengarkan dengan penuh
perhatian, kesadaran emosional diri dan anak, dan pengaturan diri dalam
hubungan pengasuhan.

Hasil wawancara dengan 7 orangtua di SLB N Slawi didapatkan bahwa 4


orangtua mengatakan tidak mengetahui penyebab kondisi anaknya yang
sekarang, sedangkan 3 orangtua dapat menjelaskan penyebabnya, 1 orangtua
mengatakan ketika hamil pernah jatuh, 1 orangtua mengatakan sakit TB, dan
1 orangtua lainnya mengatakan anak saat berusia 4 bulan sampai 2 tahun
sering kejang. Selain itu 5 orangtua juga mengatakan belum pernah mengikuti
pelatihan pengasuhan. Di SLB N Slawi sendiri belum ada pelatihan serupa
yang mengajarkan orangtua wali terkait dengan pelatihan pengasuhan.

Berdasarkan latar belakang, peneliti ingin mengetahui “apakah ada pengaruh


pelatihan positive parenting program terhadap penerimaan orangtua anak
berkebutuhan khusus di SLB N Slawi?”.

1.2 Tujuan Penelitian


1.2.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan positive
parenting program terhadap penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan
khusus di SLB N Slawi.
6

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Mengidentifikasi karakteristik usia dan tingkat pendidikan orangtua
1.2.2.2 Mengidentifikasi penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan
khusus di SLB N Slawi sebelum dilakukan pelatihan positive parenting
program
1.2.2.3 Mengidentifikasi penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan
khusus di SLB N Slawi setelah dilakukan pelatihan positive parenting
program
1.2.2.4 Mengidentifikasi perbedaan penerimaan orangtua pada anak
berkebutuhan khusus di SLB N Slawi sebelum dan setelah pelatihan positive
parenting program

1.3 Manfaat Penelitian


1.3.1 Manfaat Keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan metode
pengasuhan pada orangtua anak berkebutuhan khusus.
1.3.2 Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kegiatan rutin yang diselenggarakan
pihak SLB untuk orangtua untuk meningkatkan pola pengasuhan positif
terhadap ABK.
1.3.3 Manfaat Metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi baik secara teori maupun
data bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengembangkan pelatihan
positive parenting program terhadap penerimaan orangtua pada anak
berkebutuhan khusus.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Berkebutuhan Khusus


2.1.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Menurut Purwanti Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang berbeda
dibandingkan anak normal dan mempunyai keunikan dari jenis dan karateristiknya
(Sidik, 2014). ABK adalah anak yang terpengaruh secara signifikan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya karena mengalami keterbatasan atau
keluarbiasaan baik fisik, mental-intelelektual, sosial, dan emosional (Winarsih
dkk, 2013). Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahawa anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang berbeda dari anak normal lainnya dilihat
dari segi fisik, sensorik, dan neuromuscular yang akan berpengaruh pada proses
pertumbuhan dan perkembangan.

2.1.2 Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


2.1.2.1 Faktor anak berkebutuhan khusus yang terjadi pra kelahiran (sebelum
lahir), yaitu masa anak masih berada dalam kandungan telah diketahui mengalami
kelainan dan ketunaaan. Kelainan yang terjadi pada masa prenatal, berdasarkan
periodisasinya dapat terjadi pada periode embrio, periode janin muda, dan periode
aktini (sebuah protein yang penting dalam mempertahankan bentuk sel dan
bertindak bersama-sama dengan mioin untuk menghasilkan gerakan sel)
diantaranya gangguan genetika (kelainan kromosom), infeksi kehamilan, usia ibu
hamil, keracunan saat hamil, pengguguran, dan lahir prematur (Roihah, 2015).
2.1.2.2 Faktor anak berkebutuhan khusus yang terjadi selama proses kelahiran.
Ada beberapa sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara lain proses kelahiran
lama, prematur, kekurangan oksigen, bayi terlalu lama dalam kandungan,
kelahiran dengan alat bantu, pendarahan, kelahiran sungsang, dan tulang ibu yang
tidak proporsional (Desiningrum, 2016).
2.1.2.3 Faktor anak berkebutuhan khusus yang terjadi setelah proses kelahiran
yaitu masa dimana kelainan terjadi setelah bayi dilahirkan atau saat anak dalam

7
8

masa perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan anak setelah dilahirkan


diantaranya penyakit radang selaput otak, kecelakaan, kekurangan gizi atau
vitamin, diabetes melitus, penyakit panas tinggi, kejang, otitis media, dan malaria
Tropicana (Sidik, 2014)

2.1.3 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Menurut Garnida ABK dikelompokkan menjadi sembilan diantaranya
2.1.3.1 Tunanetra
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan berupa kebutaan
yang menyeluruh (total) atau sebagian (low vision) (Winarsih dkk, 2013).
2.1.3.2 Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal.
Anak tunarungu memilki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak mampu
mendengarkan bunyi secara menyeluruh atau sebagian. Meskipun telah diberikan
alat bantu dengar, mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi,
ketunarunguan dibagi ke dalam empat kategori yaitu ketunarunguan ringan (mild
hearing impairment) adalah kondisi seseorang masih dapat mendengar bunyi
dengan intensitas 20-40 dB. Seseorang dengan ketunarunguan ringan sering tidak
menyadari saat sedang diajak berbicara, sehingga mengalami sedikit kesulitan
dalam percakapan.

Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), dalam kondisi ini


seseorang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB dan
mengalami kesulitan dalam percakapan jika tidak memperhatikan wajah
pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat
terbantu dengan alat bantu dengar. Ketunarunguan berat (severe hearing
impairment), yaitu kondisi dimana seseorang hanya dapat mendengar bunyi
dengan intensitas 65-95 dB, sedikit memahami percakapan pembicara meskipun
sudah memperhatikan wajah pembicara dan dengan suara keras, akan tetapi masih
9

dapat terbantu dengan alat bantu dengar. Ketunarunguan berat sekali (profound
hearing impairment), yaitu kondisi dimana seseorang hanya dapat mendengar
bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Tidak memungkinkan untuk
mendengar percakapan normal, sehingga sangat tergantung pada komunikasi
visual (Garnida, 2015).
2.1.3.3 Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak dengan ketidakmampuan adaptasi perilaku yang
muncul dalam masa perkembangan, dan memiliki intelegensi dibawah rata-rata.
Berdasarkan tingkat IQ, tunagrahita diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu
tunagrahita ringan dengan IQ 51-70, tunagrahita sedang IQ 36-51, dan tunagrahita
berat dengan IQ 20-35 (Sidik, 2014)
2.1.3.4 Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak yang bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-
norma yang berlaku, dan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri
(Desiningrum, 2016).
2.1.3.5 Tunadaksa
Tunadaksa adalah anak yang mengalami gangguan atau kelainan dari segi fiisik,
mengalami gangguan pada koordinasi gerak, persepsi, dan kognisi karena adanya
kerusakan syaraf tertentu (Sidik, 2014)
2.1.3.6 Anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi),
kreativitas, dan tanggung jawab diatas anak-anak normal seusianya, sehingga
untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata memerlukan pelayanan
khusus. Anak CIBI dibagi menjadi tiga golongan sesuai dengan tingkat
intelegensi dan kekhasan masing-masing, diantaranya Superior, Gifted (Anak
Berbakat), dan genius (Garnida, 2015).
2.1.3.7 Anak Lamban Belajar (slow learner)
Adalah anak yang belum termasuk tunagrahita (IQ 70-90) namun memiliki
potensi intelektual sedikit dibawah anak normal (Winarsih, 2015).
10

2.1.3.8 Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik


Adalah anak yang mengalami kesulitan memperoleh informasi, dan gangguan
untuk menguasai, menggunakan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca
dan menulis. Anak kesulitan belajar tidak ada kaitan dengan intelegensi (Roihah,
2015)
2.1.3.9 Autisme
Autisme adalah anak yang memiliki gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan
aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan
anak yang termasuk autism infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir, atau dapat
dikatakan sebagai anak yang memiliki gangguan perkembangan yang kompleks.
Penyandang autisme mengalami kendala dalam komunikasi, sosialisasi dan
imajinasi sehingga hal tersebut dapat mengganggu mereka dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran di sekolah, perlu adanya pelayanan khusus untuk anak
autism yang tidak dapat disamakan dengan anak normal lainnya (Garnida, 2015).

2.2 Perubahan Perilaku Orangtua ABK


Menurut Atkinson berubah merupakan kegiatan atau proses yang membuat
sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Skinner berpendapat
bahwa perilaku merupakan basil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
respon. Sedangkan bentuk-bentuk perubahan perilaku berupa perubahan alamiah
(natural change) Perubahan terencana (planned change), dan kesiapan berubah
(readiness to change). Penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan yaitu Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut
menyadari dalam arah mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. Interest yakni
orang mulai tertarik kepada stimulus. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi. Trial, orang telah mulai merubah perilaku baru. Adoption subjek
telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus (Nurhaeni, Wahyuni, Elya, Tamara, dan Tripertiwi, 2015).
11

Perubahan perilaku pada orangtua terjadi karena reaksi terhadap kehadiran ABK
yang dapat mempengaruhi dinamika keluarga, yaitu peran dan fungsi keluarga.
Fungsi keluarga menurut Friedman (2010) dibagi menjadi 5 yaitu fungsi afektif,
fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi pemeliharaan
kesehatan. Perubahan perilaku orangtua fungsi keluarga salah satunya yaitu
fungsi afektif atau fungsi untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan
anggota keluarga dalam berhubungan dengan orang lain, namun fungsi ini
tergangu ketika anak mengalami gangguan. Berdasarkan penelitian Kosasih dan
Virlia tahun 2016 dengan hasil bahwa 3 dari 5 ibu ABK belum dapat menerima
kondisi anak, tidak mampu mengasuh, dan merasa bingung ketika mendapat
tanggapan negatif orang lain terhadap anaknya. 2 ibu lainnya berusaha
mengembangkan potensi walaupun sangat lambat dalam perkembangan
kognitifnya. Menurut penelitian dari Anggarini tahun 2013 mengenai persepsi
orangtua terhadap ABK didapatkan hasil bahwa 62,06% orangtua membimbing
dan mendidik anaknya, 37,93% lainnya tidak membimbing dan mendidik
anaknya.

Peran keluarga juga mengalami gangguan karena pemahaman orangtua yang


sangat minim mengenai kondisi anak. Selain itu peran keluarga juga dipengaruhi
oleh penerimaan, jika orangtua sudah mampu menerima anaknya yang mengalami
gangguan maka peran dalam keluarga akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Terganggunya fungsi dan peran keluarga tersebut juga dipengaruhi oleh
perubahan perilaku orangtua. Perubahan perilaku erat kaitannya dengan
penerimaan, dimana perubahan perilaku merupakan perwujudan orangtua yang
melewati berbagai fase penerimaan. Penerimaan orangtua seringkali didasarkan
pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri.
(Anggraini, 2013). Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
penerimaan orangtua merupakan perwujudan dari perubahan perilaku pada fase
Evaluation dimana terjadi penilaian pada hal baru dalam perilaku agar tidak
terjadi hambatan dalam proses perubahan.
12

2.3 Penerimaan Orangtua pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


2.3.1 Pengertian Penerimaan pada ABK
Menurut Porter penerimaan adalah perasaan dan perilaku orangtua yang dapat
menerima keberadaan anak tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki
hak untuk mengekspresikan perasaannya, dan kebutuhan anak untuk menjadi
individu yang mandiri. Johnson dan Medinnus mendefinisikan penerimaan
sebagai pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan ibu terhadap anaknya
tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih terhadap anak serta
sikap penuh kebahagiaan mengasuh anak (Eliyanto, 2013). Hurlock berpendapat
bahwa perhatian besar dan kasih sayang merupakan bentuk perwujudan dari
penerimaan orang tua, sikap orangtua merupakan hasil belajar. Penerimaan juga
menerangkan berbagai sikap khas orangtua terhadap anak (Faradina, 2016). Dari
berbagai pengertian yang telah diungkapkan oleh para ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa penerimaan orangtua adalah sikap orangtua terhadap anaknya
ditunjukan dengan perilaku menyayangi anak tanpa syarat, memberikan perhatian
besar, dan sikap penuh kebahagiaan dalam mengasuh anak.

Porter mengungkap aspek-aspek penerimaan orangtua terhadap anak diantaranya


menghargai anak sebagai individu dengan segenap perasaan, mengakui hak-hak
anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan, menilai anaknya
sebagai diri yang unik sehingga orangtua dapat memelihara keunikan anaknya
tanpa batas agar mampu menjadi pribadi yang sehat, mengenal kebutuhan-
kebutuhan anak untuk membedakan dan memisahkan diri dari orangtua, mencintai
individu yang mandiri, dan mencintai anak tanpa syarat (Astutik, 2014). Faktor
yang mempengaruhi penerimaan orangtua dibedakan menjadi 2 faktor yaitu
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep orangtua mengenai
anaknya yang diartikan kondisi anak tersebut sudah sesuai dengan gambaran ideal
orang tuanya atau tidak. Kemampuan dan penyesuaian orangtua terhadap
perkawinannya dapat dikatakan kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan
diri dengan pola kehidupan yang berpusat pada keluarga. Alasan orangtua
memiliki anak, alasan untuk memiliki anak untuk mempertahankan perkawinan
13

yang retak ini tidak berhasil maka sikap orang tua terhadap anak akan berkurang
dibandingkan dengan sikap orang tua yang menginginkan anak untuk memberikan
kepuasan mereka dengan perkawinan mereka. Sedangkan faktor eksternal
meliputi pengalaman dengan teman baik dimasa lalu maupun sekarang, mewarnai
sikap individu. Cara bereaksi anak terhadap orangtua, mempengaruhi sikap orang
tua terhadap anaknya. Media massa yang cenderung mengagung-agungkan
kehidupan keluarga dan peran orang tua. (Sadiyah, 2009)

Menurut Darling faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua yaitu umur


anak, pada orangtua dengan ABK yang usianya lebih muda lebih tertekan dan
menderita daripada orangtua ABK yang usianya lebih tua. Faktor yang kedua
adalah agama, orangtua yang taat agama cenderung bersikap menerima anaknya
yang tergolong ABK. Faktor ketiga adalah penerimaan diri sendiri orangtua,
terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan diri sendiri dan
penerimaan orangtua terhadap anaknya. Keempat adalah alasan orangtua memiliki
anak, orangtua yang mendambakan anak menjadi seseorang yang dicita-citakan
saat anak masih dalam kandungan akan kecewa saat anak lahir dalam kondisi
berkebutuhan khhusus. Faktor kelima adalah satus sosial ekonomi, keluarga dari
kelas bawah lebih dapat menerima dari pada keluarga kelas menengah (Astutik,
2014).

Faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua yaitu konsep tentang anak,


dukungan keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama,
tingkat pendidikan orangtua, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia
orangtua, dan sarana penunjang (Agustikasari, 2016). Menurut Hurlock faktor
penerimaan orangtua terhadap anak yaitu respon individu terhadap anaknya,
pengalaman masa lalu, dan sikap terhadap jenis kelamin anak sebelum lahir
(Roihah, 2015). Sarasvati berpendapat bahwa faktor penerimaan orangtua terdiri
dari dukungan keluarga besar, faktor ekonomi keluarga, tingkat pendidikan
orangtua, usia orangtua, dan latar belakang agama.
14

Adanya dukungan keluarga besar dalam menghadapi masalah yang dialaminya


orang tua tersebut memiliki tempat untuk berbagi, mendapatkan semangat, dan
tidak merasa sendirian. Faktor ekonomi, pada keluarga dengan ekonomi yang
lebih akan memiliki cukup uang untuk tetap mengusahakan pengobatan yang
dibutuhkan oleh ABK. Orangtua yang memiliki tingkat ekonomi dibawah rata –
rata akan merasakan tekanan yang besar mengingat ABK bukanlah penyakit yang
dapat sembuh dalam waktu yang singkat. Selain itu banyak terapi yang perlu
dijalani guna meningkatkan perkembangan ABK untuk dapat lebih mandiri.
Terapi tersebut membutuhkan uang yang tidak sedikit. Tingkat pendidikan
orangtua, pasangan suami istri dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih
mudah mencari informasi mengenai masalah ketunaan yang dialami anak mereka
dan pemahaman terkait kondisi anak jauh lebih tinggi dibandingkan orangtua
dengan tingkat pendidikan rendah. Usia masing-masing orang tua, usia yang
matang dan dewasa pada pasangan suami istri memperbesar kemungkinan
orangtua untuk menerima diagnosa anaknya yang berkebutuhan khusus dengan
relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga
mereka difokuskan mencari jalan keluar (Sakdiyah, 2012)

Menurut Hoffman dan Lippit bahwa penerimaan orangtua dipengaruhi oleh


beberapa faktor yang pertama yaitu kepribadian orangtua, meliputi bagaimana
pengalaman orangtua sebelumnya ketika diasuh oleh orangtuanya. Kedua yaitu
pendidikan orangtua, ketiga keadaan dalam keluarga dimana faktor tempat tinggal
dan budaya dapat mempengaruhi penerimaan, orangtua dengan ABK yang tinggal
di daerah pedesaan lebih sulit mencari informasi dan fasilitas pendukung untuk
anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tinggal di daerah perkotaan, selain
itu budaya masyarakat sekitar juga mempengaruhi penerimaan, masyarakat yang
tinggal dipedesaan cenderung berpikir bahwa ABK adalah suatu hukuman untuk
orangtuanya sehingga harus dijauhkan dari masyarakat, namunmasyarakat
perkotaan lebih berwawasan sehingga lebih dapat menerima ABK di lingkungan.
Keempat pandangan orangtua terhadap anak dalam pelaksanaan pola asuh, dalam
hal ini bagaimana orangtua menerapkan disiplin kepada anak, dan harapan kepada
15

anak, kelima karateristik pribadi anak yang meliputi kepribadian anak, jenis
kelamin anak, konsep diri, tempramen anak dan kondisi fisik dalam hal ini apakah
anak lahir dalam keadaan fisik dan mental normal atau abnormal (Astutik, 2014).

Penerimaan orangtua pada ABK timbul melalui beberapa reaksi emosi yang
muncul berakibat pada perlakuan yang kurang baik terhadap anak. Meskipun
berbeda dari anak normal, ABK tetap memiliki hak yang sama, seperti
memerlukan perhatian besar dari orangtua, teman bermain dan bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya. Mereka juga butuh untuk dicintai, dihargai, serta
diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Akan tetapi pada kenyataannya
orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus seringkali menolak dan
bahkan kecewa. Penerimaan orangtua sangat mempengaruhi perkembangan anak
berkebutuhan khusus dikemudian hari.

Sikap orangtua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya yang
termasuk anak berkebutuhan khusus akan sangat buruk dampaknya, karena hal
tersebut hanya akan membuat anak merasa tidak dimengerti dan tidak diterima
apa adanya serta dapat menimbulkan penolakan dari anak (resentment) dan
termanisfestasi dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan (Roihah, 2015).
Penerimaan tidak berarti bahwa orangtua menerima begitu saja kondisi anaknya
yang berkebutuhan khusus, tapi juga berusaha mengembangkan diri melalui
semua tahapan penerimaan. Orangtua nantinya akan mampu menghadapi kondisi
yang membuatnya tidak nyaman, dan berkepribadian matang yang dapat berfungsi
dengan baik (Faradina, 2016). Orangtua yang mampu menyesuaikan diri dengan
baik akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif
bagi perkembangan anaknya (Sakdiyah, 2012).
16

2.3.2 Tahapan Penerimaan


Tahapan penerimaan menurut Kubbler Ross dibagi menjadi lima tahap antara
lain :
2.3.2.1 Tahap denial (menolak menerima kenyataan), ketidakpercayaan terhadap
diagnosis yang diberikan ahli mengenai kondisi anaknya. Pada tahap ini orangtua
tidak percaya, bingung dengan apa yang harus dilakukan, dan penolakan terhadap
informasi yang ada (Astutik, 2014). Orangtua akan berkonsultasi dengan ahli-ahli
lain untuk memperoleh diagnosa yang lebih tepat, sikap yang menunjukan tidak
mengakui kenyataan. Beberapa dari orangtua bahkan mencari pengobatan
alternatif untuk menyembuhkan anaknya dengan harapan anak akan kembali
normal dalam waktu singkat (Roihah, 2015). Pada beberapa kasus orangtua pada
tahap denial, perlakuan ditunjukan dengan menolak kehadiran anak,
menyembunyikan keadaan dari keluarga dan lingkungan, merasa bersalah, dan
menyalahkan pasangan (Sadiyah, 2009).
2.3.2.2 Tahap anger (marah), tahapan ini mulai muncul reaksi emosi berbentuk
kemarahan yang biasanya dilampiaskan kepada ahli yang mendiagnosis, keluarga,
dan teman (Anggarini, 2011). Kemarahan timbul karena orangtua menjadi peka
dan sensitif terhadap hal-hal kecil (Sakdiyah, 2012). Perlakuan orangtua pada
tahap anger didasarkan pada kemarahan yang berakibat pada kebencian dan
kedengkian pada anak, keluarga, lingkungan, dan diri sendiri. Pada tahap anger
orangtua tidak memerlukan masukan atau saran dari pihak lain karena nasihat
akan berubah menjadi judgment atau pengadilan.
2.3.2.3 Tahap bargaining (menawar) tahap ini orangtua mempertimbangkan
informasi-informasi yang didapat sebagai bentuk negosiasi dengan kehidupan,
biasanya negosiasi melibatkan harapan dan pertukaran gaya hidup (Nadhiro,
2016). Orangtua pada tahap ini menunjukan sikap yang lebih melunak, bukan
karena sudah mampu menerima kenyataan tapi karena ketidakberdayaan. Pada
tahap bargaining, orangtua membutuhkan banyak informasi yang dapat membantu
meluruskan pola piker dalam menghadapi kenyataan. Tahap ini orangtua mulai
mecoba mengenal anak yang bisa ditunjukan dengan mengamati kebiasaan anak
17

dirumah maupun disekolah, dan meminta informasi terkait kondisi anak yang
sesungguhnya (Widyarini, 2015).
2.3.2.4 Tahap depression (depresi), pada tahap ini muncul berbagai respon seperti
kehilangan harapan, putus asa, dan tertekan. Tahap ini juga dapat menimbulkan
rasa bersalah terutama kepada ibu yang menyalahkan dirinya sendiri karena anak
yang dilahirkannya tidak sesuai dengan harapan (Astutik, 2014). Tahap ini
merupakan tahap terendah dalam dinamika emosi yang desebabkan karena rasa
penderitaan yang dialami seseorang. Tidak ada penolakan, tidak ada kemarahan,
dan tidak punya daya untuk menghindari. Orangtua pada tahap ini sangat
memerlukan dukungan dan empati untuk menghadapi kenyataan yang ada.
Kegagalan pada tahap ini dapat berakibat fatal yang memunculkan pikiran untuk
mengakhiri hidup, namun jika tahap ini dapat dilewati dengan baik, maka
orangtua dapat bangkit kembali untuk melanjutkan ke tahap penerimaan
(Widrayani, 2015).
2.3.2.5 Tahap acceptance (pasrah dan menerima kenyataan) pada tahap ini
orangtua mulai menerima kenyataan yang terjadi, dan mulai hadir dengan
kedamaian dan rasa cinta (Nadhiro, 2016). Orangtua pada tahap acceptance
memiliki ambang batas rasa penderitaan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Pada
tahap ini nasihat dan saran diperlukan untuk membantu menemukan kemungkinan
atau alternatif baru dalam berperilaku (Widrayani, 2015).

2.4 Pelatihan Pengasuhan


Pelatihan pengasuhan yaitu salah satu metode yang digunakan untuk memberikan
tambahan pengetahuan kepada orangtua mengenai bagaimana pengasuhan yang
tepat untuk anak dan mengatasi stress orangtua (Hidayati, 2013). Pelatihan
keterampilan pengasuhan didesain untuk mengajarkan lima keterampilan
pengasuhan dasar yang berguna dari anak-anak mulai belajar berbicara hingga ia
dewasa. Orangtua mempengaruhi perilaku anak, dan anak mempengaruhi perilaku
orangtua. Pelatihan ini membantu orangtua mengubah perilaku anak dengan
mengajari orang dewasa tentang bagaimana mengubah perilaku mereka sendiri.
Dengan pelatihan yang diberikan, orangtua akan menemukan cara baru dalam hal
18

mengasuh anak. Disamping itu, orangtua juga akan melihat seberapa besar
manfaat keterampilan yang didapatkan tersebut dalam mengubah keadaan di
rumah (Mustikaningrum, 2014).

2.5 Positive Parenting Program (Triple P)


Positive parenting adalah suatu teknik pengasuhan dengan mengekspresikan pola
pengasuhan tersebut secara positif, misalnya yaitu memberikan semangat kepada
anak dan tidak membebani dengan cara membangkitkan rasa tanggung jawab
(Adhim, 2015). Positive Parenting Program (Triple P) merupakan sistem
pengasuhan yang dikembangkan oleh Sanders, program ini dikembangkan untuk
orangtua yang mempunyai anak dengan usia dibawah tiga tahun, pra-sekolah dan
remaja sampai mencapai 16 tahun. Progam ini ditujukan kepada orangtua dan
anggota keluarga untuk mencegah gangguan emosi, perilaku dan berbagai
masalah yang dialami oleh anak. Orangtua diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan tentang pengasuhan, meningkatkan harga diri. Triple P didasarkan
pada teori belajar sosial bahwa pembentukan perilaku individu bisa dikembangkan
dari modeling atau proses pembelajaran sosial dari lingkungannya (Wijaya, 2015)

Tujuan Triple P menurut Sanders adalah, dengan meningkatkan pengetahuan,


keterampilan, dan kepercayaan diri orangtua maka akan mencegah terjadinya
masalah perkembangan, emosional, dan perilaku pada anak. Penalaran moral anak
merupakan salah satu pengetahuan harus dimiliki oleh orangtua dalam mengasuh
anak, karena hal ini sangat terkait dengan bagaimana orangtua menetapkan aturan
kepada anak yang nantinya berdampak pada pembentukan perilaku anak (Efnita,
2014)

Menurut Sanders (2009) Positive Parenting Program (Triple P) memiliki lima


prinsip untuk menghasilkan anak yang berkembang secara positif dan memiliki
mental yang sehat. Adapun kelima prinsip tersebut yaitu:
2.5.1 Ensuring a safe and engaging environment, anak diberikan lingkungan yang
aman agar dapat menjelajah dengan nyaman, kunci dari prinsip ini adalah
19

pemantauan dan pengawasan orangtua. Pemantauan ini mempromosikan


perkembangan yang sehat dan dapat membantu mencegah cedera (Jones, 2014).
2.5.2 Creating a positive learning environment, orangtua berperan sebagai guru
pertama bagi anak dan harus merespon secara positif dan konstruktif ketika
berinteraksi dengan anak seperti meminta tolong, memberikan informasi,
memberi nasehat dan memberi perhatian, mendorong anak belajar menyelesaikan
masalah mereka sendiri, belajar keterampilan sosial dan komunikasi dengan
bahasa yang baik (Efnita, 2014)
2.5.3 Using assertive discipline, prinsip ketiga adalah disiplin yang tegas,
menyajikan alternatif untuk praktik disiplin yang memaksa dan tidak efektif.
Orangtua tidak disarankan untuk berteriak, mengancam, dan menggunakan
hukuman fisik. Beberapa strategi alternatif adalah membahas aturan,
menggunakan waktu menyendiri, dan mengabaikan rencana, yang semuanya telah
terbukti lebih efektif sebagai strategi pengasuhan dari pada praktik koersif (Jones,
2014)
2.5.4 Having realistic expectations, yaitu pengespolrasian harapan, kepercayaan,
dan asumsi mengenai penyebab perilaku anak, kemudian orangtua akan memilih
tujuan sesuai dengan perkembangan anak secara tepat dan realistis (Efnita, 2014)
2.5.5 Taking care of oneself as a parents, prinsip kelima adalah pengasuhan diri
orangtua. Orangtua akan didorong untuk merawat kesejahteraan diri sendiri agar
menjadi orangtua yang lebih baik. Mereka diajarkan bahwa pengasuhan sebagai
bagian dari konteks yang lebih besar, salah satunya yaitu kesejahteraan diri
mereka sendiri. Kesehatan mental orangtua, pengalaman pribadi mengenai stres,
kecemasan depresi, dan kualitas hubungan romantis, dapat memiliki efek negatif
pada kualitas keterampilan pengasuhan (Jones, 2014).

Triple P memiliki lima level intervensi, yaitu level 1 memberikan informasi


kepada orangtua tentang strategi pengasuhan secara umum. Level 2 memberi
panduan kepada orangtua tentang pengasuhan anak yang memiliki kesulitan
perilaku ringan, seperti kesulitan dalam mengatur jam tidur dan toilet training.
Intervensi dilakukan selama satu sampai dua sesi. Level 3 disediakan untuk
20

orangtua yang membutuhkan konsultasi atau pelatihan untuk menangani anak


yang memiliki kesulitan perilaku taraf sedang, seperti tantrum, rengekan,
perkelahian antara saudara kandung, dan kemandirian. Intervensi dilakukan
selama empat sesi. Level 4 merupakan pelatihan intensif positif parenting bagi
orangtua yang memiliki anak dengan masalah perilaku yang sulit, seperti agresif,
oppositional defiant disorder, perilaku membangkang dan kesulitan belajar, Level
5 dikhususkan bagi orangtua dengan masalah perilaku anak, bersamaan dengan
disfungsional keluarga, seperti konflik perkawinan, depresi orangtua atau tingkat
stres yang tinggi pada orangtua (Efnita, 2014).

Penelitian dari Roihah tahun 2015 mengenai efektifitas pelatihan incredible mom
terhadap sikap penerimaan orangtua dengan kondisi anak berkebutuhan khusus
yang menggunakan pendekatan dengan metode positive parenting program
merancang pelatihan dilakukan dalam 2 kali pertemuan, dengan rentang
pertemuan pertama dan pertemuan kedua sekitar 1 minggu. Satu pertemuan
berlangsung selama 180 menit atau 2 jam. Pertemuan pertama membahas
mengenai pemahaman terkait kondisi ABK, dimana didalamnya terdapat definisi
ABK, penyebab, karakteristik, pola perkembangan, dan bakat alami yang mereka
miliki. Selain itu pemateri juga membahas mengenai cara pengasuhan. Pertemuan
kedua peneliti memberikan pemahaman terkait bakat dan potensi dalam diri anak
serta pentingnya sabar dan syukur sebagai upaya agar dapat menerima kondisi
anak dan mempertahankan cinta pada anak.

Menurut penelitian dari Wijaya tahun 2015 yang meneliti mengenai positive
parenting program (Triple P) sebagai usaha untuk menurunkan pengasuhan
disfungsional pada orangtua yang mempunyai ABK (dengan diagnosa autis dan
ADHD) merancang penelitian dilakukan dalam 2 kali pertemuan. Pertemuan
pertama materi yang disampaikan adalah psikoedukasi tentang positive parenting
program kepada peserta yaitu orangtua yang anaknya didiagnosa oleh Psikolog
sebagai Autis dan ADHD. Dimana saat pertemuan dilakukan kontrak pelatihan,
penjelasan tentang proses selama pelatihan, dan diskusi bersama orangtua
21

mengenai harapan yang akan dicapai dalam pelatihan, dan masalah yang dialami
oleh anaknya. Pertemuan kedua melihat bagaimana progres di rumah setelah
diberikan psikoedukasi hari pertama. Materi yang diberikan pada pertemuan
kedua diantaranya peran parenting untuk meningkatkan keterampilan sosial dan
regulasi emosi pada orangtua.

2.6 Pelatihan Pengasuhan Terhadap Penerimaan Orangtua Anak


Berkebutuhan Khusus
Orangtua sebaiknya mampu mewujudkan penerimaan terhadap kondisi anak,
dimana orangtua harus memiliki pemahaman dan pandangan yang posiitif
terhadap diri sendiri, memiliki kepercayaan yang baik dan tidak menyerah
merawat anaknya dengan baik dan benar (Wirdhana, 2017). Orangtua yang
menerapkan pola asuh acceptance adalah orangtua yang memperlakukan anaknya
dengan memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak, anak
ditempatkan dalam posisi yang penting dalam keluarga, memberikan hubungan
yang hangat kepada anaknya, bersikap peduli kepada anak, mendorong anak
menyatakan pendapatnya, berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan
orangtua mau mendengarkan masalahnya (Marcelina, 2013).

Pelatihan pengasuhan yang dirancang dengan pendekatan pada teori Triple P dari
Sanders telah dibuktikan oleh beberapa peneliti mampu meningkatkan
keterampilan pengasuhan orangtua terhadap anak, keterampilan pengasuhan
menekankan pada hubungan antara orangtua dan anak yang mana terdapat
intensitas, fokus, dan tanpa penghakiman, serta komunikasi orangtua-anak harus
terjalin pengertian. Dengan adanya pengertian maka kualitas hubungan tersebut
akan baik. Tercapainya kualitas hubungan yang baik antara orangtua dan anak
merupakan indikator utama aspek penerimaan, dengan begitu dapat dikatakan
bahwa positive parenting program tidak hanya berfokus pada tercapainya
keterampilan pengasuhan, namun juga penerimaan (Mubarok, 2016). Triple P
juga efektif mengurangi masalah perilaku anak yang kerap kali mengganggu
hubungan orangtua-anak, efektif dalam mengurangi masalah perilaku anak,
22

disfungsional pengasuhan, depresi, kecemasan, stres, dan mengurangi tingkat


kesulitan dalam pengasuhan yang dirasakan orangtua, serta mampu meningkatkan
rasa percaya diri orangtua dalam pengasuhan antara keluarga, selain itu pelatihan
pengasuhan juga memberikan efek positif terhadap perubahan perilaku anak
dan pengasuhan orangtua dalam skala sedang hingga besar (Roihah, 2015).

Pelaksanaan pelatihan positive parenting program (Triple P) yang terdiri dari 5


level disesuaikan dengan tahap penerimaan orangtua. Pada positive parenting
program level 1 bertujuan untu menormalkan proses mencari bantuan
pengasuhan, mendorong orang tua untuk berpartisipasi dalam intervensi
pengasuhan yang positif, meningkatkan visibilitas dan jangkauan intervensi
orangtua yang positif membantu orang tua menjadi lebih percaya diri dan mandiri
dalam pengasuhan mereka (Triple P International Corporation, 2018). Tahap
penerimaan yang cocok di berikan Triple P level 1 berdasarkan tujuan tersebut
adalah orangtua yang berada pada tahap denial, bargaining, depression, dan
acceptance. Level 2 Triple P berbentuk intervesi sederhana yang memberikan
bantuan satu kali secara singkat kepada orangtua yang umumnya mengatasi
dengan baik tetapi memiliki satu atau dua kekhawatiran dengan perilaku atau
perkembangan anak mereka. Tersedia untuk orang tua anak-anak dari lahir hingga
12 tahun dan untuk orang tua remaja. Level ini dapat dilakukan pada tahap
penerimaan bargaining dan acceptance. (Ralph, 2018).

Triple P level 3 cocok dilaksanakan pada orangtua dengan tahapan penerimaan


acceptance, karena pada level ini target konseling untuk orangtua anak usia 12-16
Tahun dengan kesulitan perilaku ringan sampai sedang. Intervensi berbentuk
konseling mandiri atau kelompok untuk membahas permasalah tertentu. Ada 4
permasalah utama yang dibahas meliputi mengatasi emosi remaja, mengurangi
konflik keluarga, kerjasama remaja dalam keluarga, dan membangun
keterampilan bertahan hidup remaja). Level 4 Triple P untuk orang tua dari anak-
anak dengan kesulitan tingkah laku yang berat, dirancang dalam kelompok kecil
berisi 12 orangtua dengan jumlah pertemuan 5 kali, dan konsultasi mingguan 15-
23

30 menit. Level 4 ini dilaksanakan pada orangtua dengan tahap depression dan
acceptance (Triple P International Corporation dan University Of Queensland,
2018).

Triple P level 5 mengajarkan dukungan intensif untuk keluarga dengan masalah


kompleks, orangtua harus menyelesaikan program Level 4 terlebih dahulu.
Diperuntukan bagi orangtua yang situasi keluarganya rumit dengan masalah
seperti konflik mitra, stres atau masalah kesehatan mental keluarga. Level ini juga
untuk orangtua yang berisiko penganiayaan anak. Pelatihan meliputi manajemen
kemarahan dan strategi perilaku lainnya untuk meningkatkan kemampuan orang
tua untuk mengatasi membesarkan anak-anak. Memfokuskan pada hubungan dan
komunikasi pasangan, strategi koping pribadi untuk situasi stres yang tinggi dan
praktik mengasuh anak yang positif lainnya. Cocok diterapkan pada orangtua
dengan tahap anger, dan depression (Triple P International Corporation, 2018).
24

2.7 Kerangka Teori

Faktor Internal Faktor Eksternal


Pelatihan positive
1. Konsep orangtua parenting program 1. Pengalaman orangtua
tentang anaknya (Triple P ) sebelumnya
2. Usia 2. Karakteristik pribadi
3. Pendidikan anak
4. Kepribadian orangtua 3. Cara bereaksi anak
5. Gaya pengasuhan terhadap orangtua
PENERIMAAN
ORANGTUA
TERHADAP ABK

Faktor Keluarga Faktor Lingkungan Sosial


1. Latar belakang agama 1. Sikap masyarakat
2. Status ekonomi umum
3. Dukungan keluarga 2. Tempat tinggal dan
budaya

1. 5 tahap penerimaan dilalui dengan sempurna


2. Mekanisme koping orangtua meningkat
3. Perhatian terhadap ABK optimal
4. ABK berkembang melalui bakat yang disadari
orangtua
5. Perkembangan psikososial dan perilaku ABK
yang stabil
6. Peningkatan keterampilan pengasuhan

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : (Agustikasari, 2016) (Astutik, 2014), (Faradina, 2016), (Mubarok, 2016)
(Roihah, 2015), (Yusuf, 2011), (Sadiyah, 2009), (Sakdiyah, 2012).
25

2.8 Kerangka Konsep


VARIABEL BEBAS VARIABEL TERIKAT

Pelatihan Positive Penerimaan


Parenting Program Orangtua Pada
(Triple P) ABK

Gambar 2.2 Kerangka konsep

2.9 Hipotesis
Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Jenis
hipotesis dalam statistik yaitu :
2.9.1 Hipotesis Alternatif
Hipotesis alternatif (Ha) yaitu hipotesis yang menyatakan adanya pengaruh
antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok
(Arikunto, 2010). Ha dalam penelitian ini = Ada pengaruh pelatihan positive
parenting program terhadap penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan khusus
2.9.2 Hipotesis Nol
Hipotesis nol (H0) merupakan suatu hipotesis yang menyatakan tidak
adanya pengaruh, perbedaan antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh
variabel X dan Y (Arikunto, 2010). Ho dalam penelitian ini = Tidak ada pengaruh
pelatihan positive parenting program terhadap penerimaan orangtua pada anak
berkebutuhan khusus
.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, adalah suatu metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, teknik
pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara acak, dan pengumpulan
data menggunakan intrumen penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Eksperimen dengan jenis Quasi Eskperimen, adalah eksperimen yang memiliki
perlakuan, pengukuran dampak, dan tidak menggunakan penugasan acak untuk
perbandingan dalam menyimpulkan perubahan yang disebabkan perlakuan
(Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini Quasi Eskperimen digunakan untuk
mengetahui pengaruh dari variabel bebas yaitu pelatihan positive parenting
program terhadap variabel terikat yaitu penerimaan orangtua pada anak
berkebutuhan khusus. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan one grup only pre post test design karena dalam penelitian ini
menggunakan 1 kelompok eksperimen yang dikur sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi.

3.2 Alat Penelitian Dan Cara Pengumpulan Data


3.2.1 Alat Pengumpulan Data
3.2.1.1 Kusioner Penerimaan Orangtua
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dengan skala
sikap yang dibuat oleh Porter tahun 1954 yaitu Porter Parental Acceptance Scale
(PPAS) yang ditranslasi dan dimodifikasi oleh Eliyanto tahun 2013, kuisioner ini
digunakan untuk mengukur penerimaan orangtua terhadap ABK. Kuisioner terdiri
dari 4 domain yaitu mencintai tanpa syarat, menilai anak sebagai diri yang unik,
mengenal kebutuhan anak, dan menghargai anak. 16 pernyataan semuanya
merupakan favorable atau pernyataan positif, skala ukur menggunakan skala
Likert yang dimodifikasi.

26
27

Pertanyaan no 1-6 dengan pilihan jawaban tingkat perasaan sayang dari nilai 1–5,
dengan skor 1 untuk tingkat perasaan sayang sangat sedikit, skor 2 untuk tingkat
perasaan sayang sedkit, skor 3 tingkat perasaan sayang biasa saja, skor 4 tingkat
perasaan sayang banyak, skor 5 tingkat perasaan sayang sangat banyak.
Pertanyaan no 7-9 dengan pilihan jawaban merasa kecewa skor, membiarkan
sikap anak skor 2, berharap anak bertingkah seperti anak lainnya skor 3, mencari
tahu mengenai perasaan anak skor 4, membantu anak menemukan alternatif atau
cara bersikap skor 5. Pertanyaan no 10–11 dengan pilihan jawaban membiarkan
anak skor 1, membuat keputusan untuk anak skor 2, menyarankan anak untuk
tidak melakukanya skor 3, menyadari bahwa anak saya sedang tumbuh skor 4,
membantu anak mengenal kebutuhan skor 5. Pertanyaan no 12–16 dengan pilihan
jawaban menghukum anak skor 1, menyuruh anak berhenti skor 2, mencoba
memahami kondisi anak skor 3, merasa ingin tahu alasan kenapa anak
melakukanya skor 4, merasa senang jika anak melewati tahap ini skor 5,

Pembagian hasil ukur menjadi 3 tingkatan yaitu rendah, sedang, tinggi didasarkan
pada penelitian sebelumnya dari Eliyanto (2013) yang menggunakan Cut Off
Point dalam pengkategorian hasil ukur. Cut off point adalah metode yang
digunakan untuk memilah pemakaian atau penggunaan kriteria untuk
pertimbangan pada masalah pengambilan keputusan. Penilaian akhir
dikategorikan penerimaan rendah jika skor ≤ 39–52, kategori sedang jika skor 53-
66, dan kategori tinggi jika skor 67–80.

Tabel 3.1 Domain Kusioner Penerimaan Orangtua


No. Domain Nomor soal Jumlah
1. Mencintai anak tanpa syarat 1, 2, 3, 4, 5, 6 6
2. Menilai anak sebagai individu yang
7, 8, 9 3
unik
3. Mengenal kebutuhan anak 10, 11 2
4. Menghargai anak 12, 13, 14, 15, 16 5
TOTAL 16
28

3.2.2 Cara Pengumpulan Data


Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan 2 tahap, yaitu tahap
persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan dilakukan peneliti dengan
menyusun proposal dan melakukan sidang proposal. Setelah proposal disetujui,
peneliti mendapat surat ijin untuk melakukan penelitian dari Ketua Prodi Sarjana
Keperawatan dan Ners STIKes Bhamada Slawi. Surat ijin tersebut digunakan
peneliti untuk melakukan penelitian di SLB N Slawi Kabupaten Tegal. Pada tahap
pelaksanaan, peneliti menyebarkan surat undangan terlebih dahulu melalui pihak
SLB kepada wali murid atau orangtua siswa yang menjadi responden berjumlah
26 orang, dipilh dengan ketentuan usia antara 26 – 45 tahun, dan memiliki anak
yang duduk di Bangku SDLB kelas 1, 2, dan 3. Setelah responden terkumpul
peneliti memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan penelitian, menyampaikan
manfaat penelitian, dan meminta persetujuan untuk menjadi responden penelitian
dibuktikan dengan menandatangi lembar persetujuan yang disediakan oleh
peneliti. Pelatihan positive parenting program diadakan dalam 1 kali pertemuan.

Pada pertemuan pertama peneliti membagi kuisioner mengenai penerimaan


orangtua terhadap ABK sebelum dilakukan pelatihan positive parenting program.
Setelah pengisian kuisioner selesai, peneliti mengecek terlebih dahulu jawaban
responden dikuisioner. Langkah selanjutnya peneliti memulai pelatihan positive
parenting program yang dilakukan oleh trainer yaitu psikolog sekaligus terapis
khusus ABK yang dibagi menjadi sesi materi dan sesi diskusi. Pada sesi materi
trainer memberikan materi mengenai pengasuhan positif, kiat pengasuhan ABK,
tips trik untuk orangtua ABK, bakat dan cara mengenalinya. Sesi diskusi trainer
mengajak orangtua untuk bersama-sama mengidentifikasi bakat, selain itu trainer
juga berdiskusi mengenai masalah-masalah orangtua yang muncul saat mengasuh
ABK memberikan, serta motivasi kepada orangtua dengan menayangkan video
orangtua yang mengasuh ABK dan kisah ABK berprestasi.

Selesai pelatihan positive parenting program, peneliti melakukan kontrak waktu


dengan responden untuk bertemu kembali 2 hari kemudian di SLB N Slawi untuk
29

mengisi lembar kuisioner, setelah selesai mengisi kuisioner, peneliti memastikan


kembali jawaban semua responden. Setelah data lengkap sudah didapatkan,
peneliti pamit kepada responden dan pihak SLB. Dalam penelitian ini, peneliti
dibantu 2 orang enumerator untuk membantu mendokumentasikan dan membantu
membagikan lembar kuisioner.

3.2.3 Uji Instrumen Penelitian


3.2.3.1 Uji Validitas
Uji validitas dalam penelitian ini tidak dilakukan karena peneliti menggunakan
kuisioner baku dari Porter dan sudah diuji validitas oleh Eliyanto (2013) dengan
uji backtranslate.

3.2.3.2 Uji Reliabilitas


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuisioner PPAS yang sudah baku dan
diuji reliabilitas oleh peneliti sebelumnya yaitu Eliyanto (2013) dengan nilai
reliabilitas 0,825 dan dapat dikatakan reliabel, sehingga tidak dilakukan uji
reliabilitas.

3.3 Populasi Dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah orangtua dari siswa di SLB N Slawi Tingkat
SD Kelas 1, 2, dan 3 yang berjumlah 104 orang, yang terdiri dari 11 orangtua dari
siswa tunarungu, 54 orangtua dari siswa tunagrahita ringan, 38 orangtua dari
siswa tunagrahita sedang, dan 1 orangtua dari siswa autis. Data tersebut diperoleh
dari laporan rombongan belajar siswa di SLB N Slawi.
3.3.2 Sampel
Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan metode probability sampling
dengan jenis proportionate stratified random sampling. Jenis ini digunakan
karena sampel yang akan diambil dalam penelitian ini dipilih dengan
mempertimbangkan karakterisitik usia dan tingkat pendidikan orangtua. Besar
30

sampel yang akan diambil dihitung menggunakan rumus analitik kategorik


berpasangan (Dahlan, 2010).
(Zα +Zβ )2 𝜋
𝑛1 = 𝑛2 = (P1 − P2 )2

Keterangan :
𝑍𝛼 = deviat baku alfa
𝑍𝛽 = deviat baku beta
P1 – P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
π = besarnya diskordan (ketidaksesuaian)

Besar sampel dalam penelitian ini yang diambil berdasarkan rumus tersebut
dengan tingkat kesalahan pertama 5%, kesalahan kedua 20%, proporsi penerimaan
orangtua pada ABK menurut penelitian Astutik (2015) yaitu 65%, dan
ketidaksesuaian 30% menurut pustaka, maka :

𝑍𝛼 = 1,96 (nilai dalam tabel 𝑍𝛼 jika tingkat kesalahan 1 sebesar 5%)


𝑍𝛽 = 0,84 (nilai dalam tabel 𝑍𝛽 jika tingkat kesalahan 2 sebesar 20%)
P1 – P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan 0,3
π = besarnya diskordan (ketidaksesuaian) ditetapkan 0,3
(Zα +Zβ )2 𝜋 (1,96 +0,84)2 0,3 2,35
𝑛1 = 𝑛2 = = = = 26, 1 dibulatkan menjadi 26
(P1 − P2 )2 (0,3)2 0,09

Hasil perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel untuk penelitian sebanyak 26


orang. Berikut penentuan proporsi sampel dari masing-masing populasi anggota
kelompok dihitung dengan rumus :

Jumlah anggota strata dalam populasi


Jumlah sampel tiap strata = Jumlah total anggota populasi
𝑥 Jumlah sampel

3.3.2.1 Orangtua siswa kelas tunarungu


11
x 26 = 2,75 dibulatkan 3
104
31

3.3.2.2 Orangtua siswa kelas tunagrahita ringan


54
x 26 = 13,5 dibulatkan 13
104

3.3.2.3 Orangtua siswa kelas tunagrahita sedang


38
x 26 = 9,5 dibulatkan 9
104

3.3.2.4 Orangtua siswa kelas autis


1
x 26 = 0,25 dibulatkan 1
104

Dari perhitungan tersebut didapatkan hasil dari 26 sampel yang diambil terdiri
dari 3 orangtua dari siswa kelas tunarungu,13 orangtua dari siswa kelas
tunagrahita ringan, 9 orangtua dari siswa kelas tunagrahita sedang, dan 1 orangtua
dari siswa kelas autis.

3.3.3 Kriteria Inklusi


3.3.3.1 Ibu kandung dari siswa SLB N Slawi tingkat SD kelas 1,2, dan 3
3.3.3.2 Ibu kandung dari siswa SLB N Slawi dengan usia >24, dan < 41
3.3.3.3 Ibu kandung ABK dengan tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA
3.3.3.4 Ibu kandung dengan ABK yang dinyatakan abnormal sejak lahir atau anak
dalam masa perkembangan.

3.3.4 Kriteria Ekslusi


3.3.4.1 Ibu Kandung dari siswa SLB N Slawi yang tidak bersedia menjadi
responden
3.3.4.2 Ibu kandung dari siswa SLB N Slawi yang tidak bisa baca tulis.

3.4 Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di SLB N Slawi pada 8 Juni 2018 – 12 Juni 2018.
32

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian Dan Skala Pengukuran


Tabel 3.2 Variabel, Definisi Operasional, Alat Ukur, Hasil Ukur, dan Skala
Hasil
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Ukur
Usia lamanya tahun yang dilalui Kuisioner 26 – 35 Nominal
responden dari mulai lahir Tahun
sampai dengan dilakukannya (Dewasa
penelitian yang awal)
dikelompokan dalam
beberapa rentang 36 – 45
Tahun
(Dewasa
Akhir)
Tingkat Jenjang pendidikan formal Kuisioner SD Ordinal
pendidikan dasar terakhir yang diikuti SMP
oleh responden SMA
Pelatihan Kegiatan pembelajaran yang - - -
positive parenting mengajarkan hal-hal positif
program tentang penerimaan dan
motivasi, serta diskusi
masalah yang muncul dalam
pengasuhan yang dapat
meningkatkan penerimaan
orangtua terhadap ABK.
Penerimaan Perasaan dan perilaku Kuisioner Rendah Ordinal
orangtua terhadap orangtua yang dapat (≤ 39 –
ABK mencintai anak tanpa syarat, 52)
menilai anak sebagai individu Sedang
yang unik, mengenal (53 – 66)
kebutuhan anak, dan Tinggi
menghargai anak yang (67 – 80)
dicerminkan dengan jawaban
dalam kuisioner yang terdiri
dari beberapa indikator
penerimaan tersebut,

3.6 Teknik Pengolahan Data Dan Pengumpulan Data


3.6.1 Teknik Pengolahan Data
Data yang terkumpul diolah dengan cara editing, coding, processing/entry, dan
cleaning. Pada tahap editing, peneliti mulai dengan memeriksa kelengkapan dan
kejelasan pada kuesioner yang diisi oleh responden. Kedua yaitu coding, pada
33

penelitian ini kode yang diberikan penulis untuk kuisioner penerimaan orangtua
mencakup pengkodean pada identitas responden meliputi usia, dan tingkat
pendidikan. Selanjutnya pengkodean untuk jawaban responden, yaitu kode 1
untuk jawaban yang sangat tidak sesuai, kode 2 untuk jawaban tidak sesuai, kode
3 untuk jawaban relatif sesuai, kode 4 untuk jawaban sesuai, dan kode 5 untuk
jawaban sangat sesuai. Setelah coding selesai dilakukan mengklasifikasikan
jawaban-jawaban dari responden dalam kategori tertentu.

Processing / entry, peneliti memasukkan data yang telah didapat kedalam tabel
aplikasi SPSS pada komputer. Tahap terakhir dalam pengolahan data yaitu
cleaning, peneliti mengecek apabila ada kesalahan penulisan kode pada komputer
dan menghapus data-data yang tidak sesuai dengan kebutuhan penelitian.

3.6.2 Analisa Data


Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial dengan
menggunakan program SPSS, analisis dilakukan dengan 2 cara yaitu analisis
univariat dan analisis bivariat.
3.6.2.1 Analisis Univariat
Data yang dilakukan analisis dalam penelitian ini adalah kelompok data kategorik,
yang termasuk data kategorik dalam penelitian ini yaitu usia, tingkat pendidikan,
penerimaan orangtua terhadap ABK sebelum diberikan pelatihan positive
parenting program, dan penerimaan orangtua terhadap ABK setelah diberikan
pelatihan positive parenting program menggunakan distribusi frekuensi dengan
tampilan data berupa persentase dan frekuensi.
3.6.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan 2 variabel menggunakan
tabel silang. Menguji ada tidaknya pengaruh antara variabel pelatihan positive
parenting program dengan variabel penerimaan orangtua menggunakan analisis
komparatif dengan uji Wilcoxon Match Pair Test, yaitu uji yang digunakan untuk
mengetahui dua sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal.
34

Rumus Wilcoxon Match Pair Test


𝑛 (𝑛+1)
T−𝜇T T−
4
𝑧= =
σT 𝑛 (𝑛+1) (2𝑛+1 )

24

Hasil dari perhitungan menggunakan rumus tersebut dinamakan nilai z hitung


yang kemudian di bandingkan dengan nilai z tabel. Jika nilai z hitung > nilai z
tabel, maka Ha diterima dan Ho ditolak.

3.7 Etika Penelitian


3.7.1 Menghormati Martabat Manusia
Dalam penelitian ini untuk menghormati harkat dan martabat manusia peneliti
meminta persetujuan untuk dijadikan responden penelitian dibuktikan dengan
informed consent, dan memberikan surat undangan serta melakukan kontrak
waktu sebelum dilaksanakan pertemuan dengan responden.
3.7.2 Kemanfaatan
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna
mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi responden penelitian.
3.7.3 Keadilan
Peneliti memberi perlakuan yang adil kepada responden penelitian dengan
menghitung proporsi dari masing-masing strata dalam pengambilan besar sampel,
dan memberikan penjelasan secara khusus kepada populasi yang tidak dijadikan
responden penelitian mengenai kriteria yang dipilih untuk menjadi responden
penelitian, dan memberikan booklet mengenai orangtua dengan anak yang
berkebutuhan khusus.
3.7.4 Kerahasiaan
Peneliti menjaga kerahasiaan subjek penelitian dengan tidak mempublikasi
dokumen terkait hasil penelitian, dan tidak menampilkan informasi mengenai
identitas baik nama maupun alamat responden dalam kuisioner atau alat ukur.
Peneliti menggunakan kode sebagai pengganti identitas responden.
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Karakteristik Orangtua Berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan di
SLB N Slawi tahun 2018
Karakteristik orangtua di SLB N Slawi berdasarkan usia dan tingkat
pendidikan tahun 2018 dijelaskan pada tabel 4.1.1

Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Usia dan Tingkat Pendidikan


Orangtua Siswa SLB N Slawi tahun 2018
Karakteristik Frekuensi Prosentase
Usia
25 – 35 Tahun (Dewasa Awal) 3 11,5%
36 – 40 Tahun (Dewasa Akhir) 23 88,5%
Total 26 100%
Tingkat Pendidikan
SD 10 38,5%
SMP 12 46,2%
SMA 4 15,4%
Total 26 100%

Berdasarkan Tabel 4.1.1 menunjukan bahwa mayoritas usia orangtua di SLB


N Slawi yaitu dewasa awal, dan sebagian besar orangtua menempuh
pendidikan SMP.

4.1.2 Penerimaan Orangtua pada Anak Berkebutuhan Khusus di SLB N


Slawi Sebelum Dilakukan Pelatihan Positive Parenting Program tahun 2018
Penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan khusus di SLB N Slawi
sebelum dilakukan pelatihan positive parenting program tahun 2018
dijelaskan pada tabel 4.1.2

35
36

Tabel 4.1.2 Distribusi Frekuensi Penerimaan Orangtua Sebelum Dilakukan


Pelatihan Positive Parenting Program tahun 2018
Penerimaan Orangtua Frekuensi Prosentase
Rendah 5 19,2%
Sedang 20 76,9%
Tinggi 1 3,8%
Total 26 100%

Tabel 4.1.2 menunjukan mayoritas penerimaan orangtua pada anak


berkebutuhan khusus di SLB N Slawi sebelum dilakukan pelatihan positive
parenting program pada tingkat sedang (53 – 66). Perolehan nilai orangtua
terendah 35 dan tertinggi 68. Nilai terendah dalam kuisioner muncul karena
mayoritas orangtua memilih jawaban dengan skor rendah (3) untuk pernyataan
pada domain mecintai anak tanpa syarat mengenai tingkat perasaan sayang
orangtua ketika anak marah kepada orangtua, dan domain menghargai anak
dengan pernyataan megenai sikap orangtua menghargai anaknya yang ABK
ketika anak bertindak konyol.

4.1.3 Penerimaan Orangtua pada Anak Berkebutuhan Khusus di SLB N Slawi


Setelah Dilakukan Pelatihan Positive Parenting Program
Penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan khusus di SLB N Slawi setelah
dilakukan pelatihan positive parenting program dijelaskan pada tabel 4.1.3

Tabel 4.1.3 Distribusi Frekuensi Penerimaan Orangtua Setelah Dilakukan


Pelatihan Positive Parenting Program
Penerimaan orangtua Frekuensi Prosentase
Rendah 0 0%
Sedang 6 23,1%
Tinggi 20 76,9%
Total 26 100%

Tabel 4.1.3 menunjukan bahwa setelah dilakukan pelatihan positive parenting


program, penerimaan orangtua mayoritas pada tingkat tinggi (67 – 80) dengan
nilai terendah 58 dan tertinggi 77. Setelah dilakukan pelatihan positive
parenting program yang mendapat nilai terendah yaitu pada domain mencintai
37

anak tanpa syarat dengan pernyataan tingkat perasaan sayang ketika anak jauh
orangtua, dan domain mengenal kebutuhan anak dengan pernyataan sikap
orangtua dalam mengenal kebutuhan anak ketika anak melakukan sesuatu yang
akan membuatnya kecewa.

4.1.4 Perbedaan Penerimaan Orangtua Sebelum dan Setelah Dilakukan


Pelatihan Positive Parenting Program
Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh pelatihan positive parenting program terhadap penerimaan
orangtua menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test yang dijelaskan pada
tabel 4.1.4.
Tabel 4.1.4 Hasil Uji Wilcoxon Match Pair Test
Penerimaan PRE TEST POST TEST
Z P Value
Orangtua n % n %
Baik 5 19,6% 0 0% -4.347 .001
Cukup 20 76,9% 6 23,1%
Kurang 1 3,8% 20 76,9%
Total 26 100% 26 100%

Tabel 4.1.4 menunjukan hasil analisis bivariat, setelah dilakukan pelatihan


positive parenting program didapatkah hasil terdapat 20 orangtua dengan
penerimaan meningkat, dan 5 orangtua dengan penerimaan tetap. Sebelum
dilakukan pelatihan positive parenting program nilai minimum yang diperoleh
orangtua yaitu 35 dan nilai maksimum 58. Setelah dilakukan pelatihan positive
parenting program, nilai minimum yang diperoleh orangtua yaitu 58 dan nilai
maksimum 77.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik Orangtua Berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan di SLB
N Slawi Tahun 2018
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 11,5% (3 orangtua)
berusia 25 – 35 tahun, sebanyak 88,5% (23 orangtua) berusia 36 – 40 tahun.
38

Tingkat pendidikan orangtua pada jenjang SD sebesar 38,5% (10 orangtua), SMP
sebesar 46,2% (12 orangtua), dan SMA sebesar 15,4% (4 orangtua). Hasil
penelitian sebelum dilakukan pelatihan positive parenting program (Triple P)
menunjukan bahwa dari 10 orangtua dengan tingkat pendidikan rendah (SD)
memiliki penerimaan yang rendah terhadap ABK ada 5 orangtua, penerimaan
cukup 4 orangtua, dan penerimaan tinggi 1 orangtua. Orangtua dengan tingkat
pendidikan menengah (SMP) sebanyak 12 orangtua yang memiliki penerimaan
cukup ada 11 orangtua, sedangkan 1 orangtua lainnya memiliki penerimaan
rendah. Tingkat pendidikan SMA sebanyak 4 orang semuanaya memiliki
penerimaan pada tingkat sedang.

Hasil ini sejalan dengan penelitian dari Rupu tahun 2015 mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi penerimaan orangtua anak Retardasi Mental di SLB N
Pohuwato yang menunjukan karakteristik orangtua berdasarkan usia dan tingkat
pendidikan bahwa mayoritas orangtua (84,3%) berada pada usia dewasa akhir (36-
59 tahun). Mayoritas tingkat pendidikan orangtua didapatkan hasil sebesar 68,6%
memiliki pendidikan yang rendah yatu SD dan SMP. Rupu menjelaskan orangtua
dengan usia dewasa akhir (36-59 tahun) dapat menerima kondisi anaknya, pada
usia dewasa akhir orangtua sudah mengalami kematangan fisik dan psikologis.
Orangtua sudah melewati banyak hal yang terjadi dalam hidupnya termasuk
masalah – masalah yang dihadapi, dan akan mencari jalan keluar untuk masalah
tersebut.

Hasil penelitian sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sarasvati dalam
Sakdiyah (2012) yang menyatakan bahwa salah satu faktor penerimaan terdiri dari
dan usia tingkat pendidikan orangtua. Semakin matang dan dewasa usia orangtua
memperbesar kemungkinan orangtua untuk menerima diagnosa anaknya yang
berkebutuhan khusus dengan tenang dan lebih memfokuskan diri pada untuk
mencari jalan keluar. Orangtua dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki
pemahaman yang jauh lebih tinggi dan lebih mudah mencari informasi mengenai
39

masalah yang dialami oleh anaknya dibandingkan dengan orangtua dengan tingkat
pendidikan rendah.

Berdasarkan hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan orangtua di


SLB N Slawi dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan, namun dalam
penelitian ini selain 2 faktor tersebut ada faktor lain yang berpengaruh terhadap
penerimaan orangtua pada ABK di SLB N yang ditunjukan oleh orangtua dengan
usia orangtua dewasa awal dan pendidikan rendah tetapi penerimaan pada tingkat
cukup, adapula orangtua dengan tingkat pendidikan rendah penerimaan tinggi.
Saat pelatihan berlangsung sebagian besar orangtua berpartisipasi aktif dalam
semua sesi terutama sesi tanya jawab, diskusi masalah pengasuhan, serta cara
mengembangkan bakat anaknya yang ABK. Melalui sesi tanya jawab dan diskusi
dapat diketahui bahwa orangtua mempunyai pengalaman merawat anggota
keluarga yang termasuk ABK, selain itu banyaknya pertanyaan yang disampaikan
pada sesi diskusi menunjukan bahwa orangua mengalami kendala dalam
mengasuh ABK dan membutuhkan solusi untuk mengatasinya. Berdasarkan
penjelasan, peneliti berasumsi pengalaman pengasuhan masa lalu dan kemauan
orangtua untuk mencari tahu kondisi anaknya juga merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi penerimaan orangtua terhadap ABK.

4.2.2 Penerimaan Orangtua pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di


SLB N Slawi Sebelum Dilakukan Pelatihan Positive Parenting Program.
Hasil penelitian menunjukan sebelum dilakukan pelatihan positive parenting
program penerimaan orangtua pada tingkat rendah sebesar 19,2% (5 orangtua),
tingkat sedang sebesar 76,9% (20 orangtua), dan tingkat tinggi sebesar 3,8% (1
orangtua).

Hasil ini juga didukung oleh penelitian Eliyanto tahun 2013 yang meneliti
mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan penerimaan ibu terhadap anak
kandung yang mengalami cerebral palsy dengan hasil penelitian mayotitas
orangtua (51,61%) memiliki penerimaan sedang. Penelitian lain yang mendukung
40

adalah penelitian dari Sinungan tahun 2012 mengenai gambaran penerimaan


orangtua yang memiliki anak ADHD di Jakarta Barat dengan hasil 86,6% (26
orangtua) memiliki penerimaan sedang. Penelitian dari Kosasih dan Virlia tahun
2016 mengenai gambaran penerimaan orangtua dengan anak Retardasi mental di
SLB “DG” dan SLB “SJ” dengan hasil mayoritas penerimaan orangtua rendah
(48%) atau 30 orangtua.

Penelitian Kosasih dan Virlia tahun 2016 menjelaskan bahwa adanya penerimaan
rendah disebabkan orangtua cenderung melihat ABK adalah anak yang penuh
dengan keterbatasan, seperti kurang mampu berkomunikasi, memiliki perilaku
yang tidak menyenangkan seperti buang air di celana, dan emosi yang meledak-
ledak. Selain itu orangtua masih melihat adanya reaksi negatif dari masyarakat
terhadap ABK. Hal ini sejalan dengan pendapat Sadiyah (2009) mengenai faktor
yang mempengaruhi penerimaan salah satunya yaitu konsep orangtua terhadap
anaknya, selain itu faktor lain yang dijelaskan oleh Agustikasari (2016) yaitu
sikap masyarakat umum. Teori Hurlock dalam Faradina (2016) menjelaskan
bahwa respon orangtua terhadap anggota keluarga yang mengalami psikopatologis
akan mempengaruhi sikap orangtua terhadap anggota keluarga tersebut.

Hasil analisa kuisioner menunjukan sebelum dilakukan pelatihan positive


parenting program pernyataan yang mendaptkan skor rendah berada pada domain
menintai anak tanpa syarat dan domain menghargai anak. Pernyataan berupa
tingkat perasaan sayang orangtua ketika anak menunjukan kemarahan terhadap
orangtua, dan pernyataan mengenai sikap orangtua menghargai anaknya yang
ABK ketika anak melakukan hal-hal konyol. Pada 2 pernyataan ini mayoritas
orangtua memilih jawaban dengan skor rendah (3). Pernyataan yang mendapat
nilai tertinggi ada 2, sebagian besar orangtua meilih jawaban dengan skor tinggi
(5) yaitu pada domain mencintai anak tanpa syarat dengan pernyataan mengenai
tingkat perasaan sayang orangtua kepada anak ketika anak patuh, dan juga
pernyataan tingkat perasaan sayang orangtua ketika sedang melakukan sesuatu
bersama anak.
41

Dari penjelasan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa faktor yang


mempengaruhi penerimaan sebelum dilaksanakan pelatihan positive parenting
program yaitu cara bereaksi orangtua terhadap anak dan pandangan orangtua
dalam pelaksanaan pola asuh. Hasil rendah yang diperoleh orangtua di SLB N
Slawi pada domain mencintai anak tanpa syarat dan dan menghargai anak yang
berisi pernyataan mengenai cara beraksi orangtua terhadap sikap anak disebabkan
orangtua di SLB N Slawi belum mengetahui cara bereaksi yang benar terhadap
sikap negatif ABK yang muncul, hal ini dapat diatasi dengan melaksanakan
pelatihan yang memberi pengetahuan baru mengenai pola pengasuhan yang baik
terhadap ABK dan diskusi pemecahan masalah yang muncul dalam pengasuhan.

4.2.3 Penerimaan Orangtua pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di


SLB N Slawi Setelah Dilakukan Pelatihan Positive Parenting Program
Setelah pelatihan positive parenting program didapatkan hasil penelitian,
orangtua dengan penerimaan rendah sebesar 0% , penerimaan sedang 23,1% (6
orangtua), dan penerimaan tinggi sebesar 76,9% (20 orangtua).

Hasi penelitian ini didukung oleh penelitian dari Transiana tahun 2015 mengenai
hubungan antara mahabbah dengan penerimaan orangtua anak tuna grahita di SLB
- C Pelita Ilmu Bulu Lor Semarang dengan hasil 82,7% (24 orangtua) memiliki
penerimaan tinggi. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian dari Astutik
tahun 2014 yang meneliti mengenai penerimaan orangtua terhadap anak
berkebutuhan khusus dengan hasil sebesar 65% (26 orangtua) memiliki
penerimaan sangat tinggi. Penelitian dari Sadiyah (2009) mengenai pengaruh
penerimaan orangtua tentang kondisi anak terhadap aktualisasi diri anak
penyandang cacat di SLB D YPAC Cabang Semarang mendapatkan hasil sebesar
81% (13 orangtua) memiliki penerimaan tinggi.

Menurut Faradina (2016) perbedaan penerimaan pada orangtua terjadi karena


tahapan dan aspek penerimaan yang dilalui oleh masing-masing orangtua berbeda.
Ross dalam Sadiyah (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa tahap yang harus
42

dilalui orangtua agar mncapai penerimaan dimulai dari tahap denial (penolakan),
anger (marah), bargaining (tawar – menawar), depression, dan acceptance
(penerimaan). Faradina (2016) menjelaskan bahwa penerimaan berarti orangtua
berusaha mengembangkan diri melalui semua tahap penerimaan, dan tidak begitu
saja menerima kondisi anaknya yang ABK.

Setelah dilakukan pelatihan positive parenting program hasil kuisioner


menunjukan peningkatan secara signifikan. Sebagian besar orangtua mendapat
nilai rendah pada domain mencintai anak tanpa syarat dan mengenal kebutuhan
anak, dengan bentuk pernyataan mengenai tingkat perasaan sayang ketika anak
jauh orangtua, sikap orangtua dalam mengenal kebutuhan anak ketika anak
melakukan sesuatu yang akan membuatnya kecewa. Pada pernyataan yang
memperoleh nilai terendah dari 16 pernyataan mengalami kenaikan 19 angka dari
sebelum dilakukan pelatihan. Pernyataan yang memperoleh nilai tertinggi yaitu
pada domain mencintai anak tanpa syarat yang sebelum pelatihan dilakukan 2
pernyataan ini juga mendapatkan nilai tertinggi.

Untuk pernyataan sebelum dilakukan pelatihan positive parenting program


mendapatkan nilai terendah, 2 pernyataan tersebut yang termasuk kedalam
domain mencintai anak tanpa syarat dan menghargai anak atau sebagai wujud dari
respon orangtua terhadap sikap negatif yang ditunjukan anak memperoleh
kenaikan hasil setelah pelatihan dilakukan. Perubahan pada metodologi pelatihan
dan jenis ketunaan anak tidak berakibat terhadap hasil penerimaan, dibuktikan
dengan tidak adanya orangtua yang memperoleh penurunan hasil dari sebelum
dilakukan pelatihan positive parenting program, dan hasil analisis homogenitas
yang menunjukan bahwa data diambil dari kelompok yang homogen.

Berdasarkan hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa materi dalam pelatihan


meliputi konsep ABK, kiat pengasuhan, bakat dan cara mengenalinya serta
diskusi masalah yang muncul dalam pengasuhan dapat merubah penyebab nilai
rendah yang didapatkan sebelum pelatihan yaitu cara bereaksi orangtua terhadap
43

anak dan pandangan orangtua dalam pelaksanaan pola asuh yang juga merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan orangtua terhadap ABK.

4.2.4 Perbedaan Penerimaan Orangtua pada Anak Berkebutuhan Khusus


(ABK) di SLB N Slawi Sebelum dan Setelah Dilakukan Pelatihan Positive
Parenting Program

Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan hasil yang didapatkan yaitu tidak ada
orangtua dengan penerimaan turun, orangtua penerimaan meningkat sebanyak 21
dan penerimaan tetap 5 orangtua. Hasil penerimaan orangtua pada tingkat rendah,
penerimaan pada tingkat sedang berkurang dari 20 orangtua menjadi 6, dan
penerimaan pada tingkat tinggi naik dari 1 orangtua menjadi 20. Hasil uji
Wilcoxon Match Pair Test menunjukan nilai p 0,001 < 0,005 dapat disimpulkan
Ho ditolak dan Ha diterima bahwa ada pengaruh pelatihan positive parenting
program terhadap penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan khusus di SLB N
Slawi.

Sejalan dengan penelitian dari Mubarok tahun 2016 mengenai program


pengasuhan positif untuk meningkatkan keterampilan mindful parenting orangtua
remaja dengan hasil bahwa program tersebut efektif untuk meningkatkan
kemampuan mindful parenting orangtua remaja. Mubarok menjelaskan aspek
dalam mindful parenting yaitu mendengarkan dengan penuh pengertian, kesadaran
emosional diri dan anak, pengaturan diri dalam pengasuhan, tiga aspek tersebut
mengalami peningkatan yang signifikan. Aspek mendengarkan dengan penuh
perhatian dan pengaturan diri dalam mindful parenting juga merupakan aspek
penting dalam penerimaan, pengaturan diri dalam pengasuhan berarti orangtua
mampu mentoleransi dan bereaksi secara positif terhadadap anaknya atau dapat
dikatakan orangtua mengetahui cara bereaksi terhadap anak. Cara bereaksi
terhadap anak merupakan salah satu faktor dalam penerimaan.
44

Berbanding tebalik dengan hasil penelitian, penelitian dari Wijaya tahun 2015
mengenai positive pareting program (Triple P) sebagai usaha untuk menurunkan
pengasuhan disfungsional pada orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan
khusus dengan diagnosa autis dan ADHD menyatakan tidak terjadi perubahan
antara sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan positive parenting program.
Wijaya menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan tidak berhasilnya positive
parenting program yaitu karena kondisi tempat penelitian yang kurang nyaman,
waktu penelitian yang relatif singkat, dan kondisi peserta yang kurang kooperatif.

Dari hasil analisa kuisioner peneliti mendapatkan hasil bahwa terdapat perubahan
nilai untuk pernyataan yang sebelum dilakukan pelatihan positive parenting
program mendapatkan nilai terendah, ini dapat diartikan bahwa aspek mecintai
anak tanpa syarat dan menghargai anak mengalami kenaikan, selain itu tidak ada
domain yang mengalami penurunan nilai. Perubahan ini terjadi karena materi
dalam pelatihan positive parenting program dapat memberikan pengetahuan,
pemahaman, keterampilan bagi orangtua mengenai konsep dasar ABK, tips
pengasuhan, cara bereaksi terhadap anak, dan pemecahan masalah dalam
pengasuhan. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman orangtua terhadap ABK
meningkatkan keterampilan pengasuhan.

Keterampilan pengasuhan menekankan pada intensitas, fokus, tanpa


penghakiman, dan terjalinnya komunikasi yang pengertian. Dengan adanya
pengertian maka akan tercapai kualitas hubungan yang baik antara orangtua dan
anak, ini menandakan tercapainya indikator utama penerimaan. Selain itu dengan
adanya peningkatan keterampilan pengasuhan menandakan bahwa beberapa aspek
dan faktor dalam penerimaan mengalami peningkatan meliputi mencintai anak
tanpa syarat, menghargai anak, mengenal kebutuhan anak, dan menilai anak
sebagai individu yang unik

Peneliti menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan penerimaan yang signifikan


sebelum dan setelah dilaksanakan pelatihan positive parenting program di
45

sebabkan karena saat pelatihan berlangsung, orangtua aktif berpartisipasi mencari


tahu mengenai permasalahan anaknya yang ABK, cara mengasuh, serta
mengembangkan bakat yang dimiliki, ditandai dengan banyaknya orangtua yang
bertanya serta keterbukaan orangtua dalam setiap sesi pelatihan. Dengan adanya
pertanyaan yang muncul menandakan bahwa orangtua sedang dalam proses
mencari informasi mengenai anaknya yang ABK dari mulai konsep ABK, cara
pengasuhan, cara mengembangkan bakat hingga motivasi terhadap diri sendiri.
Selain itu pelathan ini juga memperbaiki cara bereaksi orangtua terhadap anaknya
yang ABK. Dalam penelitian ini pelatihan positive parenting program mampu
menambah dan memperbaiki wawasan orangtua yang mempengaruhi diri
orangtua untuk bersikap sesuai dengan kondisi anak dan memperbaiki konsep
orangtua mengenai anaknya yang berkebutuhan khusus sehingga orangtua akan
mampu bersikap dan berperilaku sesuai dengan kondisi anak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pelatihan ini dapat mempengaruhi terhadap penerimaan
orangtua.

4.3 Keterbatasan Peneltian


4.3.1 Waktu Pelatihan
Pelatihan positive parenting program direncanakan dilakukan 2 kali perteman
dengan masing- masing pertemuan 120 menit dan 80 menit, tetapi dikarenakan
jadwal SLB N Slawi yang akan libur kenaikan kelas maka pertemuan hanya
dilakukan 1 kali dengan waktu 150 menit.
4.3.2 Tempat Penelitian
Tempat pelatihan yang digunakan tidak sesuai dengan yang direncanakan yaitu di
aula SLB N Slawi, karena dipakai untuk keperluan SLB maka tempat pelatihan
dipindahkan ke Mushola SLB N Slawi, pencahayaan terlalu terang karena di
mushola tidak terdapat tirai penutup jendela sehingga membuat orangtua tidak
fokus terhadap materi yang disampaikan. Selain itu ruangan yang terlalu sempit
membuat orangtua kurang nyaman saat pelatihan berlangsung.
46

4.3.3 Iklim Pelatihan


Saat pelatihan berlangsung situasi kurang kondusif dikarenakan anak-anak masuk
dan menganggu proses pelatihan yang sedang berlangsung. Selain itu materi yang
seharusnya diberikan selama 2 kali pertemuan digabung dan dijadikan 1 kali
pertemuan.
4.3.4 Kuisioner
Pernyataan dan pilihan jawaban dalam kuisioner PPAS yang membuat bingung
terutama pada pernyataan dengan pilihan jawaban tingkat perasaan kasih sayang
sehingga responden bertanya ulang kepada peneliti meskipun sudah dijelaskan
maksud pernyataan dan cara pengisian.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
5.1.1 Usia orangtua siswa di SLB N Slawi tahun 2018 mayoritas pada kategori
usia dewasa akhir (36 – 40 Tahun), dan sebagian besar tingkat pendidikan
yaitu SMP.
5.1.2 Penerimaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) di SLB
N Slawi sebelum dilakukan pelatihan positive parenting program
mayoritas penerimaan pada tingkat sedang.
5.1.3 Penerimaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) di SLB
N Slawi setelah dilakukan pelatihan positive parenting program mayoritas
penerimaan tinggi.
5.1.4 Perbedaan penerimaan orang tua sebelum dilakukan pelatihan positive
parenting program terdapat penerimaan rendah, sedangkan setelah
dilakukan pelatihan tidak terdapat penerimaan rendah, dan yang
penerimaan tinggi meningkat dari 1 orangtua menjadi 20 orangtua.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Pendidikan Keperawatan
Bagi pendidikan keperawatan hendaknya menggunakan hasil penelitian mengenai
positive parenting program sebagai referensi dalam penyusunan intervensi dan
impelementasi dalam keperawatan keluarga dan komunitas.
5.2.2 Bagi Kepala Sekolah Luar Biasa
Bagi kepala sekolah luar biasa hendaknya menetapkan aturan untuk menerapkan
pelatihan positive parenting program sebagai kegiatan rutin saat pertemuan
orangtua agar meningkatkan penerimaan terhadap ABK, menurunkan stress
pengasuhan, dan terlaksananya pengasuhan posiitif terhadap ABK .

47
48

5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti pengaruh positive parenting
program terhadap penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan khusus
hendaknya menggunakan hasil penelitian ini sebagai sumber data atau referensi.
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian mengenai
pelatihan positive parenting program dengan menyempurnakan metodelogi
pelatihan, dan memperbanyak subjek penelitian,
DAFTAR PUSTAKA

Adhim, M.F. (2015). Positive Parenting. Bandung: Mizan Pustaka.

Agustiawati, I. (2014). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Prestasi


Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Akuntansi Kelas XI IPS Di SMA
Negeri 26 Bandung. SKRIPSI, Tidak dipublikasikan. Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung.

Agustikasari, D. (2016). Penerimaan Orangtua Kandung Pada Anaknya Yang


Penyandang Autis. SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas
Muhamadiyah. Surakarta.

Anggraini, R.R. (2013). Persepsi Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal


Ilmiah Pendidikan Khusus. Volume 1, Januari 2013, 258-264.

Anggarini, D.S.dkk. (2011). Studi Fenomenologis Tentang Penerimaan Orangtua


Terhadap Anak Autis Di SLB Negeri Semarang. Jurnal Keperawatan.
Volume 4, Maret 2011, 91-105.

Arikunto. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Astutik, S. (2014). Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.


SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Surabaya.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tegal. (2018). Sensus Kependudukan Tahun


2010. Diaskses pada 23 Maret 2018 melalui http://www.tegalkab.
bps.go.id//

Dahlan, S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam


Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Desiningrum, D.R. (2016). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


Psikosain.

Dharma, K.K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan


Melaksanakan dan Menerpkan Hasil Penelitian. Jakarta: CV Trans Info
Media.

49
50

Efnita, S. (2014). Program Pengasuhan Positif untuk Meningkatkan Kualitas


Pengasuhan Ibu. TESIS, Tidak Dipublikasikan. Universitas Gajahmada.
Yogyakarta.

Elyanto, H. (2013). Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Penerimaan Ibu


Terhadap Anak Kandung Yang Mengalami Cerebral Palsy. SKRIPSI,
Tidak dipublikasikan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Faradina, N. (2016). Penerimaan Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Kebutuhan
Khusus. Jurnal Psikologi. Volume 4, April 2016, 386-396.

Garnida, D. (2015). Pengantar pendidikan inklusif. Bandung: PT Refika Aditama.

Ginanjar, A.S. (2008. Menjadi Orangtua Istimewa : Panduan Praktis Mendidik


Anak Autis. Jakarta : Dian Rakyat.

Hermin. (2017). Hubungan Peran Orang Tua Dengan Kemampuan Bahasa Pada
Anak Retardasi Mental Di TKLB Manunggal Slawi Kabupaten Tegal.
SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan, STIKes Bhamada Slawi. Tegal.

Hidayati, N.I. (2014). Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi Dan
Kemandirian Anak SD, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol 3, Januari 2014,
1-8.

Jones, J.B. (2014). Group Triple P- Positive Parenting Program: Pre Post
Examination of Parent and Child Out comes, Externalizing Behaviour as a
Moderator, and Characteristics of Program Drop Outs. Tesis, Tidak
Dipublikasikan. Universitas Windsor. Ontario.

Kemendikbud. (2017). Sekolah Inklusi Dan Pembanguan SLB Dukung


Pendidikan. Diakses pada 23 Maret 2018 melalui http://www.
Kemdikbud.go.id//

Marcelina, D.W. (2013). Model Pola Asuh Orang Tua Yang Melakukan
Perkawinan Usia Muda Terhadap Anak Dalam Keluarga. SKRIPSI,
Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Maliki. Malang

Mubarok, P.P. (2016). Program Pengasuhan Positif Untuk Meningkatkan


Keterampilan Mindful Parenting Orangtua Remaja. Jurnal Ilmiah Psiklogi.
Volume 3, Juni 2016, 35-50.
51

Mustikaningrum, W.M. (2014). Peran Kegiatan Parenting Dalam Pola Asuh


Orangtua Di Paud Cinta Kasih Amelia Di Desa Wunut Kecamatan
Ngombol Kabupaten Purworejo. SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan.
Universitas Negeri Semarang.

Moersinowarti, B. dkk. (2010). Buku Ajar II Tumbuh Kembang Anak Dan


Remaja. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Nadhiro, C. (2016). Penerimaan Anak Terhadap Ayah Tiri. SKRIPSI, Tidak


Dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya.

Nurhaeni, Wahyuni., N. Elya, R., Tamara, S.R., Tripertiwi, S. (2015). Makalah


Mata Kuliah Humaniora Tentang Teori Perubahan Perilaku. Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalimantan Timur

Rahayu, E.W. (2013). Hubungan Kematangan Emosi dan Dukungan dengan


Penerimaan pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB Negeri Semarang.
SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret. Semarang.

Ralph, A. (2018). Triple- P Positive Parenting Program. Dokumen Tidak


Dipublikasikan. UDG Healthcare. Dublin Irlandia.

Ramadhani, A. (2011). Parrent Effectiveness Training Untung Meningkatkan


Penerimaan Orangtua Terhadap Anak Tunakdaksa. SKRIPSI, Tidak
Dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah. Malang.

Roihah, A.I.H. (2015). Efektifitas Pelatihan Incredible Mom Terhadap


Peningkatan Sikap Penerimaan Orangtua Dengan Kondisi Anak
Berkebutuhan khusus. SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Rupu, N.Y. (2015). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orangtua


Anak Retardasi Mental Di Slb Negeri Pohuwato. SKRIPSI, Tidak
Dipublikasikan. Universitas Negeri Gorontalo.

Sadiyah, S.I. (2009). Pengaruh Penerimaan Otangtua Tentang Kondisi Anak


Terhadap Aktualisasi Diri Anak Penyandang Cacat Fisik Di SLB D
YPAC Cabang Semarang tahun 2009. SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan.
Universitas Negeri Semarang.

Sakdiyah, H. (2012). Penerimaan Orangtua Yang Memiliki Anak Penyandang


Cerebral Palsy. SKRPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel. Surabaya.
52

Saepudin, M. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan Masyarakat. Jakarta: CV


Trans Info Media.

Sidik, J. (2014). Gambaran Dukungan Keluarga Yang Memiliki Anak


Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Khusus Kota Tanggerang. SKRIPSI,
Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.

Sinungan, M.M. (2012). Gambaran Penerimaan Orangtua Yang Memiliki Anak


ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) Di Jakarta Barat.
SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas Bina Nusantara. Jakarta.

Soendari, T. (2014). Pelatihan Managemen Bagi Orang Tua Anak Berkebutuhan


Khusus (Parent Management Training). Dokumen, Tidak Dipublikasikan.
Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Sugiyono. (2012).Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif Dan


Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. (2015). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Supardi, S. Surahman. (2014). Metodologi Penelitian Untuk Mahasiswa Farmasi.


Jakarta : Trans Info Media.

Transiana, E. (2015). Hubungan Antara Mahabbah Dengan Penerimaan Orangtua


Anak Tunagrahita di SLB-C Pelita Ilmu Bulu Lor Semarang. SKRIPSI,
Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Walisongo. Semarang.

Triple P International Corporation. (2018). The System Explained. Triple P


International Corporation. Diakses pada 4 April 2018 melalui http://www.
triplep.net/glo-en/the-triple-p-system-at-work-/the-system explained//

Triple P International Corporation dan University Of Queensland. (2018). The


System Explained. Triple P International Corporation dan University Of
Queensland. Diakses pada 4 April 2018 melalui http://www.
triplep.net/glo-en/corporate/triple-p-international-and-the-university-of
queensland//

Widyarini. (2015). Perjalanan Emosi Untuk Move-On. Badan Pendidikan


Pelatihan Keuangan Kementirian Keuangan. Diakses pada 5 April 2018
melalui http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/418-artikelsoft-
competency/20585-perjalanan-emosi-untuk-move-on//

Wijaya, Y.D. (2015). Positive Parenting Program (Triple P) Sebagai Usaha Untuk
Menurunkan Pengasuhan Disfungsional Pada Orangtua Yang Mempunyai
53

Anak Yang Berkebutuhan Khusus (Dengan Diagnosa Autis Dan ADHD).


Jurnal Psikologi. Volume 13, Juni 2015, 21-26.

Winarsih, S. dkk. (2013) Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus


Bagi Pendamping (Orangtua, Keluarga, & Masyarakat). Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Republik
Indonesia.

Winata, C. (2017). Modul Pembelajaran Metodologi penelitian. Universitas


Mercu Buana. Diakses pada 1 April 2014 melalui http:///www.mercu
buana. ac.id //

Wirdhana, S. A. (2017). Proses Penerimaan Dan Pengasuhan Orangtua Untuk


Mempertahankan Afeksi Sayang Pada Anak Hydrocephalus. SKRIPSI,
Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegero. Semarang.

World Health Organization. (2017). World Report On Disability. Diakses pada 23


Maret 2018 melalui http://www.who.int/disabilities/world_report.org.id//

Yusuf, Syamsu. (2011). Psikologi Perkembangan Dan Remaja. Bandung: Remaja


Rosdakarya.
54

LAMPIRAN 1

STIKES BHAMADA SLAWI


SURAT IJIN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
PENELITIAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS
55

LAMPIRAN 2

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR BUKTI
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
PENELITIAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS
56

LAMPIRAN 3

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR INFORMASI
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
PENELITIAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

LEMBAR INFORMASI PENELITIAN

Saya Anik Tyas Ifkarina mahasiswi S1 Ilmu Keperawatan angkatan 2014, yang
akan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pelatihan Positive
Parenting Program Terhadap Penerimaan Orangtua Pada Anak
Berkebutuhan Khusus Di SLB N Slawi” Saya meminta dengan hormat kepada
ibu sebagai responden dalam penelitian ini. Sebelumnya, saya ucapkan terima
kasih atas kesediaan ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian yang akan saya
lakukan. Saya akan menjelaskan beberapa tahap dari penelitian ini:

1. Tujuan Penelitian dan Manfaat


Tujuan Penelitian ini adalah untuk megetahui pengaruh pelatihan positive
parenting program terhadap penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan
khusus di SLB N Slawi. Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah untuk
mengembangkan metode pengasuhan pada orangtua dan mengetahui
pentingnya penerimaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus di SLB N
Slawi.
2. Pengisian Kuesioner
Ibu yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini akan diminta untuk
mengisi kuesioner penelitian yang terdiri dari beberapa pertanyaan mengenai
penerimaan orangtua pada anak berkebutuhan khusus. Dalam pengisian
kuesioner ibu wajib jujur dan tidak boleh berdiskusi dengan teman anda
tentang kuesioner penelitian.
3. Etika Penelitian
a. Penelitian ini tidak ada biaya apapun yang dibebankan kepada ibu.
57

b. Seluruh informasi tentang ibu pada penelitian ini adalah rahasia, informasi
mengenai identitas dalam bentuk inisial
c. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko kerusakan fisik, karena
dalam penelitian hanya menggunakan kuesioner.

Jika ada pertanyaan atau saran tentang penelitian ini, anda dapat menghubungi
saya melalui e-mail : aniktyasifkarina@gmail.com atau HP : 085290079050. Jika
anda setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, mohon untuk mengisi
lembar persetujuan yang telah disediakan. Atas perhatian dan kerjasamanya saya
ucapkan terima kasih.

Peneliti

Anik Tyas Ifkarina


58

LAMPIRAN 4

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
PERSETUJUAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Alamat :
No.HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti mengenai tujuan, manfaat, resiko dan
prosedur penelitian ini, saya menyatakan bersedia ikut dalam penelitian tentang
“Pengaruh Pelatihan Positive Parenting Program Terhadap Penerimaan
Orangtua Pada Anak Berkebutuhan Khusus Di SLB N Slawi” Apabila
sewaktu-waktu saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak
dituntut apapun. Demikianlah lembar persetujuan bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini saya buat untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Slawi, Juni 2018


Responden

(....................................)
59

LAMPIRAN 5

STIKES BHAMADA SLAWI


PRODI SARJANA KEPERAWATAN MODUL PELATIHAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

ANIK TYAS IFKARINA


Program Studi Sarjana Keperawatan
Dan Ners Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Bhakti Mandala Husada
2018

MODUL PELATIHAN Positive


Parenting Program (Tiple P) Untuk
Meingkatkan Penerimaan Orangtua
Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK)
60

A. LATAR BELAKANG
ABK adalah anak yang memiliki keterbatasan atau keluarbiasaan, baik
fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh
secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya
(Winarsih.dkk, 2013). Dampak yang ditimbulkan dari kondisi ABK dapat
memunculkan berbagai macam reaksi dari orangtua terutama ibu. Reaksi
yang ditunjukan orangtua dapat berupa reaksi negatif maupun reaksi
positif. Reaksi negatif yang muncul berupa penolakan dan penyangkalan
serta berbagai reaksi emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku
pengabaian anak, menyembunyikan anak, dan menyewa pengasuh
(Roihah, 2015). Reaksi positif yang pada akhirnya dapat muncul adalah
penerimaan. Hurlock menyatakan perhatian besar dan kasih sayang pada
anak merupakan tanda adanya penerimaan dari orangtua (Faradina, 2016).

Faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua yaitu konsep tentang


anak, dukungan keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar
belakang agama, tingkat pendidikan orangtua, status perkawinan, sikap
masyarakat umum, usia orangtua, dan sarana penunjang (Agustikasari,
2016). Menjadikan penerimaan orangtua sebagai sasaran utama
diharapkan proses pengasuhan juga dapat berjalan lebih optimal.
Sebagaimana pendapat dari Meadan, Halle, dan Ebata, apabila ibu sudah
dapat menerima anaknya maka proses pembelajaran dan perkembangan
anak akan lebih cepat (Roihah, 2015). Berdasarkan latar belakang,
diperlukan suatu pelatihan yang mengajarkan orangtua mengenai
pengasuhan positif, kiat pengasuhan, bakat yang dimiliki, dan motivasi
orangtua ABK.
61

B. TUJUAN PELATIHAN
1. Tujuan umum
Setelah di berikan pelatihan selama 1x 120 menit dan 1X 80 menit,
peserta pelatihan dapat meningkatkan penerimaan orangtua terhadap
ABK.
2. Tujuan khusus
Setelah mengikuti kegiatan pelatihan peserta dapat :
a. Menjelaskan pengertian pengasuhan positif
b. Menjelaskan kiat pengasuhan ABK
c. Menjelaskan bakat yang dimilik ABK
d. Menunjukan motivasi yang tinggi terhadap kondisi ABK

C. MATERI PELATIHAN
Pelatihan positive parenting program (Triple P) disusun dalam bentuk
modul pelatihan yang terdiri dari 1 modul.

D. PESERTA PELATIHAN
Peserta dalam pelatihan ini adalah ibu kandung dari siswa SLB N Slawi
tingkat SD kelas 1, 2, dan 3, yang berasal dari kelas tunarungu, tunagrahita
ringan, tunagrahita sedang, dan autis berjumlah 26 orang.

E. METODE PELATIHAN
Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah ceramah dan diskusi.

F. PELATIH
Pelatihan ini menggunakan 1 pelatih yang yang memiliki kompetensi
dalam bidang konseling keluarga dan terapis untuk ABK. Bagi pelatih
disediakan bahan bacaan untuk materi pelatihan.
62

G. ALOKASI WAKTU
Pelatihan dilakukan 1 kali pertemuan dengan waktu 150 menit.

H. WAKTU PELATIHAN
a. Hari, Tanggal : Jumat, 8 Juni 2018
b. Waktu : Jam 09.00 – 11.30 WIB
c. Tempat : SLB N SLawi
d. Fasilitas pelatihan :
1) Booklet ABK
2) Bolpoint

I. JADWAL PELATIHAN

No. Topik Kegiatan Waktu


Pertemuan 1 Pengasuhan Positif dan Kiat Pengasuhan Mei 2018
1. Pembukaan a. Sambutan dari pelatih 10 09.00 –
b. Sambutan dari perwakilan SLB Menit 09.10 WIB
N Slawi
c. Pembukaan kegiatan
d. Menjelaskan tujuan dan
prosedur pelatihan

2. Pretest a. Mengisi lembar persetujuan 20 09.10 –


penelitian Menit 09.30 WIB
b. Menjelaskan prosedur
pengisian kuisioner
c. Mengisi kuisioner PPAS
3. Sesi 1 Materi a. Pengasuhan Positif 45 09. 30 –
b. Kiat Pengasuhan ABK Menit 10.15 WIB
c. Tips Trik Untuk Orangtua
ABK
d. Materi pengantar Bakat dan
cara mengenalinya.

4. Sesi 2 Diskusi a. Mengidentifikasi bakat yang 60 10.15 –


dimiliki ABK menit 11.15 WIB
63

b. Motivasi orangtua dengan


menampilkan berbagai kisah
ABK yang berprestasi
c. Video Motivasi mengenai
Orangtua yang mengasuh
ABK
d. Mengidentifikasi masalah yang
dihadapi orangtua saat
pengasuhan ABK
e. Diskusi bersama mengenai
pemecahan dari masalah yang
muncul

5. Evaluasi Menanyakan kembali pemahaman 10 11.15 –


orangtua mengenai materi yang Menit 11.25 WIB
disampaikan meliputi :
a. Pengasuhan positif
b. Kiat pengasuhan ABK
c. Cara mengenali bakat
6. Penutup a. Kontrak waktu 5 11.25 -
b. Mengucapkan terimakasih Menit 11.30 WIB
c. Berpamitan
64

MODUL

1. Tujuan :
a. Mengetahui pengertian pengasuhan positif
b. Mengetahui kiat pengasuhan ABK
c. Mengetahui Tips Bagi Orangtua ABK
d. Mengetahui bakat ABK
e. Meningkatkan motivasi orangtua ABK
f. Mengetahui permasalahan orangtua yang mucul dalam pengasuhan ABK
g. Mengetahui pemecahan dari pemasalahan yang muncul

2. Waktu dan Tempat :


a. Hari, Tanggal : Jumat, 8 Juni 2018
b. Waktu : 150 Menit
c. Tempat : Mushola SLB N Slawi

3. Metode
a. Ceramah
b. Tanya jawab
c. Diskusi

4. Media
a. Laptop
b. LCD Proyektor
c. Booklet
d. Video orangtua yang mengasuh ABK

5. Prosedur
a. Membuka acara dengan sambutan dari peneliti.
b. Memperkenalkan tim pelatihan.
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelatihan.
65

d. Mengisi daftar hadir bagi orangtua yang setuju untuk menjadi peserta
pelatihan.
e. Peneliti memberikan kuisioner yang diisi sebelum pemaparan materi.
f. Pelatih memberikan materi meliputi pengertian pengasuhan positif, kiat
pengasuhan ABK, tips bagi orangtua, bakat dan cara mengenalinya.
g. Pelatih meminta peserta mengidentifikasi masalah yang dihadapi orangtua
saat pengasuhan ABK.
h. Diskusi bersama mengenai pemecahan dari masalah yang muncul.
i. Pelatih memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya.
j. Pelatih juga memutar video motivasi mengenai orangtua yang mengasuh
ABK.
k. Pelatih mengevaluasi pemahaman peserta terkait materi yang telah
dipaparkan .
l. Peneliti melakukan kontrak waktu dengan peserta pelatihan untuk
pertemuan selanjutnya.
m. Peneliti mengucapkan terimakasih atas partipasi peserta.
n. Peneliti berpamitan.

6. Materi
a. Pengasuhan Positif
Adalah pengasuhan yang berdasarkan kasih sayang, saling menghargai,
membangun hubungan yang hangat antara anak dan orangtua, serta
menstimulasi tumbuh kembang anak. Pengasuhan positif menggunakan
pendekatan dengan mengedepankan penghargaan, pemenuhan, perlindungan
hak anak, dan mengedepankan kepentingan terbaik anak. Prinsip utama
dalam pengasuhan positif adalah anak harus diperlakukan dengan penuh
penghargaan, bebas dari tindakan kekerasan, cinta kasih sayang,
menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, dan ramah bagi tumbuh
kembang (Sukirman, 2016)
66

b. Kiat Mengasuh ABK


Menurut Rinaldi, Jalsyurahman (2012) Anak berkebutuhan khusus (special
needs) penanganan dan perlakuannya membutuhkan sesuatu yang khusus
dan istimewa agar kelak bisa menjalani kehidupan dengan mulus. Jika hal
tersebut terjadi, maka ada beberapa hal yang perlu kita renungkan :
1. Tidak perlu mengaitkan apa yang dialami oleh anak dengan masa lalu
kita terlebih menyalahkan diri sendiri ataupun pasangan. Sikap tersebut
justru membuat kita makin lemah dan tidak menyelesaikan
masalah.Penerimaan yang tulus akan kondisi sang anak, tanpa
menyalahkan siapapun membuat kita bisa berpikir jernih untuk
merencanakan masa depan bagi si buah hati.
2. Saling memahami dan menguatkan antar pasutri (pasangan suami istri)
untuk menerima kondisi yang terjadi, seraya menguatkan tekad untuk
menanggung amanah secara bersama-sama. Selain itu, tidak membiarkan
salah satu pihak tergerus emosinya sendiri dalam menghadapi kondisi
saat anak diketahui memiliki kebutuhan khusus.
3. Memahami dengan benar kondisi anak terkait dengan apa yang diderita
secara lebih mendalam. Hal ini agar kita bisa melakukan penanganan
secara mandiri tanpa ketergantungan secara total terhadap pihak luar
sekaligus memberikan stimulasi yang tepat dengan apa yang diderita oleh
anak.
4. Sebisa mungkin tidak menyerahkan pengasuhan kepada pihak lain, meski
kondisi kita teramat sulit. Sebab setiap anak berkebutuhan khusus tetap
memiliki perasaan dan emosi yang merekam perlakuan orangtua terhadap
dirinya. Kesungguhan orangtua dalam mengasuhnya meskipun tidak
mampu mereka ekspresikan, akan tetapi dirasakan sebagai sebuah bentuk
kasih sayang tanpa batas. Hal ini diyakini para ahli sangat membantu
proses menumbuhkan percaya diri bagi anak.
67

c. Tips Untuk Orangtua ABK


Tips untuk orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus menurut
Rahmitha (2011) sebagai berikut :
1) Segera bawa anak ke petugas kesehatan untuk diperiksa.
Ketika ibu dan ayah menemukan kondisi bahwa anaknya termasuk anak
yang berisiko sebagai anak berkebutuhan khusus, segera bawa anak ke
petugas kesehatan setempat (pegawai Puskesmas) atau dokter untuk
diperiksa dan dilakukan rujukan sesuai kondisi anak. Namun, ibu dan
ayah tidak perlu cepat-cepat memberikan label / cap kebutuhan khusus
pada anaknya, seperti anak yang tidak bisa bicara dan tidak mau
bermain dengan teman sebaya langsung dicap autis, anak usia batita
yang bergerak terus dilabelkan hiperaktif, dan lain-lain. Penentuan
gangguan yang dialami anak harus dilakukan oleh ahlinya.
2) Orangtua harus mendidik dirinya sendiri
Pertama-tama tentunya ibu dan ayah harus tahu tentang pola
perkembangan anak. Selanjutnya dengan dibantu oleh guru dan
pegawai kesehatan, orangtua memantau perkembangan anak melalui
kartu KMS atau kartu DDTK. Dengan begitu ibu dan ayah akan tahu
apakah perkembangan anaknya sudah sesuai atau belum. Jika sudah
diketahui bahwa anak didiagnosis dengan kebutuhan khusus tertentu,
maka perbanyak pengetahuan dan informasi tentang gangguan atau
penyakit yang diderita oleh anak. Dengan demikian ibu dan ayah bisa
memperlakukan anak secara lebih tepat, karena orangtua adalah orang
yang paling mengetahui karakteristik dan kondisi anak. Juga perbanyak
diskusi dengan ahlinya tentang pengetahuan dan informasi yang
didapatkan orangtua untuk kepentingan si anak secara proporsional
(seimbang).
3) Penanganan lebih lanjut oleh tim ahli.
Anak berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan lanjut yang
disesuaikan dengan kebutuhannya. Sebagai langkah pertama, ibu dan
68

ayah membawa anak yang dicurigai ada gangguan atau keterlambatan


perkembangan ke pospaud untuk dinilai oleh guru dan petugas
kesehatan. Apabila dinilai ada keterlambatan perkembangan atau
gangguan perkembangan akan dirujuk ke Puskesmas. Di Puskesmas
sudah ada petugas kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan yang
siap membantu. Apabila memang anak tersebut berisiko termasuk anak
berkebutuhan khusus, biasanya memerlukan penanganan lebih lanjut di
rumah sakit Kabupaten, berupa pemeriksaan oleh dokter ahli, psikolog,
dan kemudian menjalani terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Sedangkan untuk pendidikannya memerlukan pendidikan khusus
seperti SLB (Sekolah Luar Biasa), disesuaikan dengan diagnosis anak.

Ketika memilih terapis, coba perhatikan, selain pengalaman dan


kemampuannya yang mumpuni, juga banyak direkomendasikan
(disarankan) oleh orangtua lainnya. Carilah tenaga professional yang
memiliki sikap optimis (penuh harapan) akan kondisi anak dan
memiliki antusiasme (minat yang besar) dalam menolong anak kita.
Terapis yang baik adalah terapis yang mampu bekerja sama dengan
orangtua dan anak, serta tahu betul dan bisa memberikan terapi yang
benar-benar sesuai dengan kondisi anak secara individu. Terapis seperti
ini akan memberikan peluang yang besar agar anak bisa berkembang
dengan lebih baik.

4) Carilah kelompok pendukung untuk diri kita.


Hidup dengan anak berkebutuhan khusus sangat penuh tuntutan,
sehingga ibu dan ayah harus tinggal dalam lingkungan yang
menunjukkan kesediaan untuk menolong. Harus ada pembantu atau
pengasuh yang juga belajar tentang dasar-dasar terapi dan perlakuan
yang harus diberikan kepada si anak, agar ibu dan ayah bisa secara
bergantian dengan pembantu atau pengasuh melakukan terapi dan
perlakuan tertentu di rumah. Ketika pembantu atau pengasuh
69

menggantikan peran orangtua, maka orangtua dapat memanfaatkan


waktunya untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga kembali,
sehingga orangtua bisa terhindar dari kelelahan yang amat sangat.
Ikutlah bergabung dengan kelompok pendukung orangtua anak
berkebutuhan khusus yang sama, terlibat di dalam kelompok itu akan
memberikan penguatan secara fisik maupun mental. Ibu dan ayah dapat
berbagi pengalaman dan memetik pengalaman dari orangtua lain yang
sudah lebih berpengalaman.

Penguatan dari kelompok yang sama akan memberikan makna yang


sangat berarti. Seperti kegiatan yang dilakukan di klinik secara regular
(teratur) melakukan pertemuan untuk orangtua dari anak dengan
sindroma down. Di dalam pertemuan itu dilakukan berbagai macam
kegiatan, dari penambahan pengetahuan tentang sindroma down,
pengembangan keterampilan di dalam melatih anak dengan sindroma
down untuk latihan BAB dan BAK maupun kegiatan sehari-sehari, juga
kesempatan bagi ibu dan ayah yang baru memiliki anak dengan
sindroma down untuk berbagi kisah dengan orangtua yang telah lama
memiliki anak sindroma down, serta mendapatkan dukungan moral dan
cara-cara mengatasinya

5) Mengubah harapan tentang apa-apa yang bisa dicapai oleh anak


berkebutuhan khusus
Jangan pernah mencoba membanding-bandingkan dengan anak lain,
setiap anak memiliki cara dan kecepatan untuk berkembang yang
berbeda dan sangat khas. Apalagi jika anak itu adalah anak yang
memiliki kebutuhan khusus. Lebih baik pusatkan perhatian pada hal-hal
yang bisa anak lakukan, cara ini akan mengurangi tingkat stress ibu dan
ayah dalam menghadapi anak. Ketika anak baru mampu mengaduk gula
di dalam segelas air teh, jangan memaksa ia untuk bisa membuat teh
manis dengan takaran yang pas secara mandiri. Jika anak berkebutuhan
70

khusus kita memiliki keterbatasan kemampuan intelektualnya,


janganlah ibu dan ayah mempunyai harapan tinggi pada anaknya untuk
memiliki kemampuan di sekolah yang kurang lebih sama dengan anak
seusianya.

Lebih baik ibu dan ayah mencoba mencari aspek-aspek lain dalam diri
anak yang mungkin masih bisa dikembangkan. Jika anak terlihat ada
kemampuan dibidang olahraga atau seni atau keterampilan lainnya,
coba berikan wadah agar anak dapat mengembangkan kemampuan itu.
Mengutip kisah tentang anaknya yang berkebutuhan khusus namun
memiliki kecerdasan gerak yang menonjol, ia berikan kesempatan dan
siapkan pelatih renang yang baik. Hasilnya, saat ini anak tersebut sudah
mampu melakukan empat macam gerakan renang, suatu kemampuan
yang mungkin tidak semua anak normal bisa mencapainya. Banyak
anak autisme memiliki kecerdasan gambar yang tinggi, sehingga
orangtua dapat mengarahkan dengan memasukkan anak ke sanggar
lukis.

6) Bersikap proaktif (lebih aktif) atas perlakuan yang diberikan kepada


anak
Jika ibu dan ayah memiliki pertanyaan atas pengobatan atau perlakuan
yang diberikan kepada anaknya, maka ibu dan ayah wajib
mempertanyakannya, tidak perlu ragu karena itu merupakan hak
orangtua. Ibu dan ayah adalah orang yang paling mengenal anaknya,
sehingga jika ada perlakuan yang kurang tepat, ibu dan ayah dapat
menyampaikannya. Menjadi proaktif adalah cara untuk memastikan
bahwa anak kita memperoleh perlakuan yang tepat dan sesuai bagi
dirinya dan kita telah berbuat segala sesuatu yang mungkin kita lakukan
bagi anak kita.
71

d. Bakat dan Cara Mengenalinya


Bakat merupakan potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, dimana potensi
tsb tidak dengan mudah dapat diketahui oleh setiap individu. Bakat yang
terdapat dalam diri manusia dapat diketahui dengan usaha dan kerja keras
individu tersebut untuk dapat memunculkan dan mengembangkan bakat
yang ada. Menurut Sobur mendefinisikan bakat adalah kemampuan alamiah
untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan, yang relative bersifat
umum atau khusus. Cara mengenali bakat menurut Ma’mur adalah melihat
perilaku dan kecenderungannya dalam melakukan kegiatan (Nofiani, 2015).

Namun ada cara lain untuk mengenali bakat anak. Cara pertama dengan
mengamati reaksi, seseorang yang memiliki minat terhadap suatu hal yang
menjadi bakatnya akan memberikan reaksi yang sangat spontan dan
mendalam pada hal baru yang mengarah pada bakatnya. Orang tersebut
mampu memberikan reaksi yang lebih seksama pada hal yang diminati.
Cara kedua melihat besarnya niat, bakat yang dimiliki terlihat dari awal
seseorang yang memiliki keinginan dan juga niat yang besar dalam
melakukan sebuah kegiatan atau hal yang berhubungan dengan bakatnya.
Keinginan tersebut seringkali ditandai dengan keinginan untuk melakukan
kembali kegiatan yang berhubungan dengan bakat yang dimiliki. Cara
keempat dengan melihat kecepatan penguasaan, bakat yang terdapat dalam
diri setiap individu kerap kali muncul dengan ditandai dengan kecepatan
seseorang tersebut dalam menekuni atau mendalami pemahaman terkait
bakatnya.

Berbeda dengan orang lain, individu yang senantiasa mendalami kegiatan


atau hal yang sesuai dengan bakatnya akan dengan cepat menguasai
dibandingkan dengan orang lain. Cara kelima dengan melihat perasaan,
bakat yang ditekuni atau dikembangkan akan menciptakan perasaan yang
senang dari diri individu tersebut. Bahkan individu tersebut akan merasa
puas dan merasa keasikan tersendiri ketika melakukan kegiatan yang
72

berhubungan dengan bakatnya. Cara keenam yaiu menikmati, berbeda


dengan kegiatan yang bukan menjadi sebuah bakat seseorang, apabila
seseorang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bakatnya maka
orang tersebut akan nyaman dengan apa yang dilakukan (Nofiani, 2015).

e. Kisah ABK yang Berbakat dan Berpestasi


Berikut ini beberapa ABK yang berprestasi menurut Khairoatun (2012)
antara lain:
1. Habibie Afsyah
Berikut adalah kisah para penyandang cacat fisik yang sukses dan bagi
mereka keterbatasan bukan penghambat untuk berprestasi, seperti yang
dialami oleh Habibie Afsyah yang berusia 20 tahun. Dia telah mengalami
motoric neuron atau kerusakan permanen pada otak kecil sejak usia 1
tahun sehingga sampai kini harus menggunakan kursi roda. Habibie
gemar bermain video game, komputer dan internet. Sang bunda
membantunya untuk mencari mencari pengetahuan tentang internet
marketing melalui seminar. Awalnya Habibie kesulitan dalam bahasa
inggris dan pengetahuan yang diberikan, tapi dengan tak kenal lelah dia
menjadi terbiasa dan bisa. Perjuangannya tak sia-sia, Habibie sekarang
berprofesi sebagai internet markerter dengan penghasilan pertama kali
dengan cek senilai 120 dolar dari kemudian meningkat menjadi 5-10 juta
rupiah per bulan, selain itu dia mendirikan Yayasan Habibie Afsyah yang
bertujuan untuk memotivasi anak anak sepertinya bisa menjadi manusia-
manusia mandiri dan menjadi motivator di berbagai seminar.

2. Stephen Hawking
Selanjutnya, yang dialami oleh Stephen Hawking seorang ilmuwan dan
pakar kosmologi yang menggeluti berbagai penelitian. Hawking pada
usia 21 tahun terdeteksi sebagai penderita amyotrophic lateral scerosis
(ALS) atau lebih dikenal penyakit Lou Gehrig, yakni sebuah penyakit
degeneratif progresif pada saraf di tulang belakang dan otak. Sel-sel ini
73

yang mengendalikan otot dan saat penyakit ini berkembang, otot-otot


tubuh mengecil sehingga penderita tak bisa bergerak bahkan untuk
berbicara. Tubuh menjadi berada dalam keadaan vegetatif. Beruntung
otak tetap jelas, jernih dan berfungsi sepenuhnya. Penyakit ini membawa
kematian penderitanya beberapa tahun kemudian. Berkat Jane, istri yang
selalu memotivasi nya untuk beranjak dan kembali ke bangku kuliah
dengan semangat tinggi. Hasilnya diusia 37 tahun, Hawking terpilih
sebagai Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge. Jabatan
prestisius yang sebelumnya dipegang oleh Isaac Newton. Ia juga
memperoleh penghargaan Man of the Yeardari Royal Association for
Disability and Rehabilitation atas kampanye bagi orang-orang cacat.
Penghargaan yang diperolehnya itu 15 tahun semenjak Hawking di vonis
hanya hidup sampai 2 tahun. Apa yang diraih Hawking adalah suatu
prestasi luar biasa. Dalam keterbatasan yang sangat parah, ia mampu
merumuskan dan menciptakan teori-teori kosmologi yang sensasional.

3. David Michael Yacob


Fenomena berikutnya adalah prestasi olahraga event ASEAN Para
Games (APG) yang diraih oleh para difabel. APG ini adalah acara multi
olahraga dua tahunan untuk atlet dengan cacat fisik yang diselenggarakan
segera setelah perhelatan SEA Gamesdan berada dibawah pengaturan
ASEAN Para Sport Federation (APSF). Pertandingan ini
diselenggarakan oleh negara yang menjadi tuan rumah SEA Games.
Sama halnya dengan SEA Games, event APG ini masih menyisakan
kebanggaan bagi atlet Indonesia karena diperhelatan dahulu Indonesia
biasanya hanya berada diposisi keempat, dan sekarang Indonesia
menempati peringkat kedua setelah Thailand, dalam ASEAN Para Games
yang berlangsung di Solo, Jawa Tengah tanggal 12-22 Desember 2011.
Indonesia meraih 113 medali emas, 108 perak, dan 89 perunggu.
Perhelatan olahraga bagi penyandang difabel se-ASEAN ini
74

mempertandingkan 11 cabang olahraga dan memperebutkan 422 medali.


Sedangkan Thailand meraih 123 medali emas.

Diantara para atlet tersebut, terdapat beberapa atlet yang berhasil meraih
beberapa medali emas, seperti atlet tenis meja bernama David Michael
Yacob yang berhasil meraih 7 medali emas. David berasal dari Ambon,
dan dia seorang difabel karena tangan kanannya lebih kecil dari tangan
kirinya, kecacatan ini sudah terjadi sejak lahir ketika divakum ada syaraf
yang tertarik yang mengakibatkan tangan kanannya lebih kecil. David
baru pertama kali mengikuti ajang APG dan hal ini menjadi kebanggaan
tersendiri baginya. Namun David tidak langsung merasa puas dengan apa
yang diraihnya sekarang. Ia berharap dapat terus meningkatkan
prestasinya hingga ke ajang dunia bukan hanya ASEAN
75

DAFTAR PUSTAKA

Agustikasari, D. (2016). Penerimaan Orangtua Kandung Pada Anaknya Yang


Penyandang Autis. SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas
Muhamadiyah. Surakarta.

Faradina, N. (2016). Penerimaan Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak


Kebutuhan Khusus. Jurnal Psikologi. Volume 4, April 2016, 386-396.

Khairatun, A.L. (2012). Hubungan Antara Konsep Diiri Dengan Motivasi


Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh. SKRIPSI, Tidak
Dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Nofiyani, E. (2015). Pembimaan Minat Dan Bakat Anak Berkebutuhan


Khusus (ABK) (Studi Deskriptif Di Sekolah Dasar Inklusi). SKRIPSI,
Tidak Dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah. Purwokerto.

Rahmita. (2011). Orangtua Dengan Anak yang Berkebutuhan Khusus.


Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.

Rinaldi, I. Jaisyurrahman, B. (2012). Orangtua Bintang Anak Bintang.


Jakarta: PT. Mitra Adiperkasa TBK.

Roihah, A.I.H. (2015). Efektifitas Pelatihan Incredible Mom Terhadap


Peningkatan Sikap Penerimaan Orangtua Dengan Kondisi Anak
Berkebutuhan khusus. SKRIPSI, Tidak Dipublikasikan. Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Sukirman. (2016). Seri Pendidikan Orangtua Pengasuhan Positif. Jakarta:


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Winarsih, S. dkk. (2013) Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan


Khusus Bagi Pendamping (Orangtua, Keluarga, & Masyarakat).
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak
Republik Indonesia.
76

LAMPIRAN 6

STIKES BHAMADA SLAWI


PRINT OUT PPT
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
MATERI PELATIHAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS
77
78
79
80
81

LAMPIRAN 7

STIKES BHAMADA SLAWI


PRODI SARJANA KEPERAWATAN BIODATA TRAINER
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

1. Nama : Hj. A’yun Haifani, M.Psi


2. Tempat, Tanggal lahir : Sleman, 4 Agustus 1976
3. Alamat : Jln. Raya Pagongan Desa Pepedan RT
01 RW 05 Dukuhturi Kabupaten Tegal
4. Riwayat Pendidikan :
a. SD N Medjing 2 Yogyakarta
b. SMP N 8 Yogyakarta
c. SMA N 3 Yogyakarta
d. S1 Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta
e. S2 Magister Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta

5. Riwayat pekerjaan
a. Psikolog RSI Harapan Anda Tegal (2001 - 2002)
b. Tutor UT (2014 - 2016)
c. Direktur PLP Quantum (2005 – sekarang)
82

LAMPIRAN 8

STIKES BHAMADA SLAWI


PRODI SARJANA KEPERAWATAN LEMBAR KUISIONER
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

KUISIONER
PENERIMAAN ORANGTUA PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Identitas Responden
Kode Responden :
Umur : a. 25 – 35 Tahun
b. 36 – 40 Tahun
Pendidikan Terakhir : a. SD
b. SMP
c. SMA

B. Pertanyaan
Petunjuk pengisian No 1-6
Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan perasaan yang anda rasakan,
bukan apa yang anda pikirkan atau lakukan. Tidak ada jawaban salah pada
pertanyaan ini. Jawablah dengan memberikan tanda ceklis (√) pada kolom
yang telah disediakan.
Keterangan :
Tingkat perasaan sayang di bagi menjadi 5 pilihan
1 = jika perasaan sayang anda terhadap anak sangat sedikit
2 = jika perasaan sayang anda terhadap anak sedikit
3 = jika perasaan sayang anda terhadap anak biasa saja
4 = jika perasaan sayang anda terhadap anak banyak
5 = jika perasaan sayang anda terhadap anak sangat banyak

DOMAIN MENCINTAI ANAK TANPA SYARAT

No. Pertanyaan Tingkat perasaan sayang


5 4 3 2 1
1. Ketika anak saya patuh
2. Ketika anak jauh dari saya
83

Tingkat perasaan sayang


No. Pertanyaan
5 4 3 2 1
3. Ketika anak bertingkah sesuai harapan saya
4. Ketika anak saya menunjukkan kemarahan
dan kebencian kepada saya
5. Ketika anak melakukan hal-hal yang saya
ingin tidak dilakukannya
6. Ketika anda dan anak anda melakukan
sesuatu bersama.

Petunjuk Pengisian No 7–16


Di bawah ini ada beberapa pernyataan yang menggambarkan hal-hal yang anak
anda katakan atau lakukan, dan terdapat 5 pilihan jawaban yang sesuai dengan
perasaan dan tindakan yang akan anda pilih.
Ada kemungkinan anda menemukan pernyataan yang mungkin belum pernah
anda alami dengan anak anda, untuk itu pilihlah jawaban yang paling mendekati
dengan perasaan ataupun tindakan yang akan anda lakukan ketika menghadapi
situasi tersebut.

DOMAIN MENILAI ANAK SEBAGAI INDIVIDU YANG UNIK

Membantu Mencari Berharap Membiarkan Merasa


anak tahu anak sikap anak Kecewa
menemukan mengenai bertingkah
No. Pertanyaan alternatif perasaan seperti
atau cara anak anak
bersikap lainnya
7. Ketika anak saya
bertingkah disaat anak
lainnya berperilaku
baik, maka saya:
8. Ketika anak saya
tidak tertarik pada
beberapa kegiatan
yang biasa
dilakukan diusianya,
maka saya :
84

Membantu Mencari Berharap Membiarkan Merasa


anak tahu anak sikap anak Kecewa
menemukan mengenai bertingkah
No. Pertanyaan alternatif perasaan seperti
atau cara anak anak
bersikap lainnya
9. Ketika anak saya
tidak mampu
melakukan sesuatu
yang menurut saya
penting baginya,
maka saya:

DOMAIN MENGENAL KEBUTUHAN ANAK

Membantu Menyadari Menyaran Membuat Membi


anak bahwa kan anak keputusan arkan
mengenal anak saya untuk untuk anak anak
No. Pertanyaan kebutuhan sedang tidak
tumbuh melakuka
nya
Ketika anak saya
dihadapkan dengan dua
10. atau lebih pilihan dan
harus memilih satu, maka
saya:
Ketika anak saya ingin
melakukan sesuatu yang
11. saya yakin akan
menyebabkan kekecewaan
baginya, maka saya:
85

DOMAIN MENGHARGAI ANAK

Merasa senang Merasa ingin Mencoba Menyuruh Mengh


jika anak tahu alasan memahami anak ukum
No. Pertanyaan melewati tahap kenapa anak kondisi berhenti anak
ini melakukanya anak
Ketika anak saya
memukuli barang
12.
miliknya, maka
saya:
Ketika anak saya
13. bertindak konyol
maka saya:
Ketika anak saya
tampak lebih
menyukai orang
14.
lain dibanding
dengan saya, maka
saya:
Ketika anak saya
tidak setuju dengan
saya tentang
15.
sesuatu yang saya
pikir penting, maka
saya:
Ketika anak saya
membuat
keputusan tanpa
16.
berkonsultasi
kepada saya, maka
saya:
86

LAMPIRAN 9

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR TRANSLASI
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
KUISIONER PPAS
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

No. Item Pernyataan Backtranslate


When my child is Ketika anak saya patuh When my child is
1.
Obedient obedient
When my child is away Ketika anak saya jauh When my child away
2.
from me dari saya from me
When my child behaves Ketika anak saya When my child was
3. according to my highest bertingkah seperti acting like my
expectations harapan saya expectations.
When my child Ketika anak saya When my child
expresses angry and menunjukkan showed anger and
4.
hateful things to me kemarahan dan hatred to me
kebencian kepada saya
When my child does Ketika anak melakukan When my child was
things I have hoped my hal-hal yang saya ingin doing things that I
5.
child would not do tidak dilakukannya hope my son will not
do
When we are doing Ketika kita melakukan When we do things
6.
things together hal- hal bersama - sama together
When my child Ketika anak saya When my child was
misbehaves while others bertingkah sementara acting up while
7. in the group are yang lain dalam others in the group
kelompok berperilaku were well behaved
baik, saya :
When my child is not Ketika anak saya tidak When my child was
interested in some of the tertarik pada beberapa not interested in
8. usual activities of his/her kegiatan yang biasa some of the activities
age group, I: dilakukan diusianya, used to do at his age,
saya: I:
When my child unable to Ketika anak saya tidak When my child was
do something which I mampu melakukan not able to do
9. think is important for sesuatu yang saya something I think is
him/her, I: anggap itu penting important to him, I
baginya, saya am:
When my child is faced Ketika anak saya When my child was
with two or more dihadapkan dengan dua faced with two or
10.
choices and has to atau lebih pilihan dan more options and
choose only one, I: harus memilih satu, saya have to choose one, I
87

No. Item Pernyataan Backtranslate


When my child wants to Ketika anak saya ingin When my child
do something which I melakukan sesuatu yang wanted to do
am sure will lead to saya yakin akan something that I'm
11.
disappointment for menyebabkan sure will cause
him/her, I: kekecewaan baginya, disappointment to
saya him, I am:
When my child kicks, Ketika anak saya When my child
hit, or knocks his/her menendang, memukul kicking, hitting or
12.
things about, I: atau mengetuk barang knocking her
miliknya, saya belongings, I:
When my child acts silly Ketika anak saya When my child was
13. and giggly, I bertindak konyol dan acting silly and
cekikikan, saya: giggly, I :
When my child seems to Ketika anak saya When my child looks
be more fond of tampak lebih menyukai more like other
someone else (teacher, orang lain people (teachers,
14.
friend, relative) than me, (guru, teman, kerabat) friends, relatives)
I: dibanding dengn saya, compared with me, I
saya: am
When my child Ketika anak saya tidak When my child did
disagrees with me about setuju dengan saya not agree with me
15. something which I think tentang sesuatu yang about something I
is important, I saya anggap penting, think is important, I:
saya
When my child makes Ketika anak saya When my child made
decisions without membuat keputusan the decision without
16.
consulting me, I: tanpa berkonsultasi consulting me, me:
kepada saya, saya
88

LAMPIRAN 10

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR SPSS
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
PENELITIAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid 25 - 35 Tahun (Dewasa
3 11.5 11.5 11.5
Awal)
36 - 40 Tahun (Dewasa
23 88.5 88.5 100.0
Akhir)
Total 26 100.0 100.0

Tingkat Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid SD 10 38.5 38.5 38.5
SMP 12 46.2 46.2 84.6
SMA 4 15.4 15.4 100.0
Total 26 100.0 100.0

PRETEST
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Rendah 5 19.2 19.2 19.2
Sedang 20 76.9 76.9 96.2
Tinggi 1 3.8 3.8 100.0
Total 26 100.0 100.0

POSTEST
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Sedang 6 23.1 23.1 23.1
Tinggi 20 76.9 76.9 100.0
Total 26 100.0 100.0
89

NPar Test

Descriptive Statistics
Std.
N Range Minimum Maximum Sum Mean Variance
Deviation
PRETEST 26 33 35 68 1458 56.08 7.884 62.154
POSTTEST 26 19 58 77 1819 69.96 5.181 26.838
Valid N 26
(listwise)

Wilcoxon Signed Ranks Test


Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
POSTTEST - PRETEST Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 21b 11.00 231.00
Ties 5c
Total 26
a. POSTTEST < PRETEST
b. POSTTEST > PRETEST
c. POSTTEST = PRETEST

Test Statisticsb

POSTTEST –
PRETEST

Z -4.347a
Asymp. Sig. (2-tailed) .001

a. Based on negative ranks.


b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Test of Homogeneity of Variances


PRETEST

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.354 1 24 .256
90

LAMPIRAN 11

STIKES BHAMADA SLAWI


REKAPITULASI HASIL
PRODI SARJANA KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN
PENELITIAN
PROFESI NERS

Tingkat JAWABAN RESPONDEN PRETEST


Responden Usia TOTAL
pendidikan Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16
1 2 3 2 2 3 3 2 3 4 3 5 5 3 3 4 4 4 4 54
2 2 2 5 2 4 2 2 4 5 4 5 2 4 2 1 4 4 3 53
3 2 1 5 5 5 5 4 5 5 4 5 5 3 4 2 3 4 4 68
4 2 3 5 3 2 3 2 1 1 3 2 2 1 2 3 4 2 2 38
5 1 2 3 4 2 1 3 4 2 5 4 5 4 5 4 4 5 3 58
6 2 2 3 4 4 4 3 4 4 3 5 5 4 4 4 3 2 3 59
7 1 2 4 3 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 3 5 4 4 60
8 2 2 3 2 3 4 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3 4 4 54
9 1 1 4 3 1 3 2 4 1 2 1 2 1 2 3 3 2 1 35
10 2 2 4 3 3 4 4 4 4 5 4 4 5 4 5 4 5 4 66
11 2 2 3 1 4 2 4 5 4 4 5 4 3 4 3 4 3 4 57
12 2 2 5 5 5 2 3 5 5 3 2 5 3 3 2 3 2 2 55
91

13 2 1 4 2 5 1 2 3 5 4 3 5 1 3 2 1 3 3 47
14 2 3 5 4 4 3 3 5 5 4 5 3 3 4 2 5 3 5 63
15 2 1 5 2 3 3 4 5 4 3 2 4 5 2 3 4 4 4 57
16 2 3 4 5 5 3 1 5 3 3 3 5 3 2 3 4 3 4 56
17 2 1 3 5 2 3 3 2 4 5 5 3 5 2 3 5 5 5 60
18 2 1 5 4 5 3 4 5 3 4 5 5 3 4 2 3 5 5 65
19 2 1 3 3 3 2 2 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 48
20 2 2 3 4 5 2 2 4 3 5 4 5 4 3 2 4 5 2 57
21 2 1 5 5 4 4 4 5 5 5 5 3 4 4 3 4 3 3 66
22 2 2 1 2 3 1 5 5 5 4 5 5 3 3 2 2 3 1 50
23 2 2 5 4 5 1 5 5 5 2 5 5 4 2 1 4 3 3 59
24 2 1 5 4 5 3 3 3 4 3 4 5 3 3 2 4 3 3 57
25 2 2 5 3 5 3 5 5 5 4 5 5 4 2 1 4 3 4 63
26 2 1 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 5 4 3 2 4 4 53
Total 102 87 96 72 81 105 99 95 103 106 89 82 70 93 91 87 1458

Tingkat JAWABAN RESPONDEN POSTTEST


Responden Usia TOTAL
Pendidikan Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16
1 2 3 5 4 4 5 5 5 4 4 4 5 4 5 4 4 5 4 72
2 2 2 5 5 4 4 4 5 4 4 5 5 4 4 4 5 4 4 70
3 2 1 5 5 4 4 5 5 5 4 5 4 4 4 4 5 5 4 72
4 2 3 4 5 5 5 4 4 5 5 5 5 4 5 4 5 5 4 74
5 1 2 5 5 4 5 5 5 4 5 5 4 5 4 4 5 4 5 74
92

6 2 2 5 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 4 5 5 4 5 73
7 1 2 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 5 76
8 2 2 5 4 5 5 4 5 5 4 3 4 3 4 4 5 4 4 68
9 1 1 4 3 5 5 4 5 4 4 5 5 5 5 5 5 4 5 73
10 2 2 5 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 77
11 2 2 5 4 4 5 5 5 5 4 4 4 4 5 5 4 4 4 71
12 2 2 5 4 5 5 5 4 5 5 4 4 4 5 5 5 5 4 74
13 2 1 4 5 4 4 5 4 4 4 5 4 5 4 4 5 4 5 70
14 2 3 5 4 4 5 5 4 5 5 5 5 4 5 4 5 5 5 75
15 2 1 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 5 4 5 76
16 2 3 5 5 5 4 4 5 4 5 4 5 4 4 5 5 5 4 73
17 2 1 5 4 5 5 4 5 5 4 3 4 3 5 4 3 4 4 67
18 2 1 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 5 5 4 5 5 74
19 2 1 5 3 3 3 2 4 5 5 4 4 5 4 4 4 4 4 63
20 2 2 5 4 5 4 5 5 4 5 5 5 4 3 3 3 3 3 66
21 2 1 4 5 4 3 3 4 4 5 4 4 5 4 4 4 5 4 62
22 2 2 3 1 4 1 5 4 4 5 4 4 4 4 3 4 3 5 58
23 2 2 3 1 5 4 1 5 4 4 5 4 4 4 3 4 4 4 59
24 2 1 4 4 4 5 5 5 3 4 4 4 4 4 5 4 5 5 69
25 2 2 5 4 4 4 3 3 5 5 5 5 4 4 3 5 4 5 68
26 2 1 5 5 5 5 5 5 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3 66
Total 119 106 116 113 111 118 117 118 117 116 109 113 108 116 112 114 1820
93

LAMPIRAN 12

STIKES BHAMADA SLAWI LEMBAR


PRODI SARJANA KEPERAWATAN DOKUMENTASI
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS PENELITIAN
94
95
96

LAMPIRAN 13

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR JADWAL
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
PENELITIAN
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

Maret April Mei Juni Juli Agustus

No. Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

1. Penentuan Judul

Bimbingan Proposal

2. BAB 1 Pendahuluan

3. BAB 2 Tinjaun Teori


BAB 3 Metodologi
4.
Penelitian
5. Sidang Proposal

6. Revisi Proposal

7. Penelitian
Penulisan Laporan
8.
Penelitian
Bimbingan Skripsi
BAB 4 Hasil dan
9.
Pembahasan
BAB 5 Simpulan dan
10.
Saran
11. Sidang Skripsi

12. Revisi Skripsi

13. Pengumpulan Skripsi


97

LAMPIRAN 14

STIKES BHAMADA SLAWI


LEMBAR
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
KONSULTASI
DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS
98
99
100

CURRICULUM VITAE

Nama : Anik Tyas Ifkarina


Tempat dan tanggal lahir : Tegal, 12 September 1996
Jenis kelamin : Perempan
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Desa Yamansari Dk. Tegalkubur RT 5 RW 8
No.38 Kec. Lebaksiu Kab. Tegal
Nama Orang Tua : Untung Jarwono
Pekerjaan Orang Tua : Wiraswasta
Riwayat Pendidikan : 1. TK Pertiwi Pelita Jaya (Tahun 2001-2002)
2. SD Negeri 01 Yamansari (Tahun 2002-2003)
3. SD Negeri 03 Yamansari (Tahun 2003-2008)
4. SMP Negeri 1 Lebaksiu (Tahun 2008-2011)
5. SMA Negeri 3 Slawi (Tahun 2011-2014)

You might also like