You are on page 1of 10

BI Terapkan Kebijakan Moneter Baru, Apa Dampaknya ke Bunga Kredit?

Ardan Adhi Chandra - detikFinance


Jakarta - Bank Indonesia (BI) sejak awal Februari 2017 telah menerapkan mekanisme
penentuan bunga operasi pasar terbuka. Suku bunga operasi pasar yang tadinya fixed rate
tender (FRT), kini diubah menjadi variable rate tender (VRT) untuk instrument di atas satu
minggu.

Skema ini dinilai lebih mencerminkan kondisi pasar. Lewat skema ini juga besaran bunga
lebih ditentukan oleh para peserta lelang yang ikut melakukan transaksi di BI.

Lalu apakah dengan kebijakan moneter ini bisa mendorong perbankan untuk menurunkan
suku bunga kreditnya?

Menurut Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Dody Zulverdi, dampak


terdekat yang bisa menurunkan tingkat bunga kredit adalah suku bunga pasar uang antar bank
(PUAB) overnight. Dampak ini pertama kali terlihat pada penurunan suku bunga deposito
yang kemudian diikuti penurunan suku bunga kredit.

"Kalau hubungan paling dekat suku bunga kebijakan dengan suku bunga pasar adalah pasar
uang antar bank. Deposito sudah turun kan sudah di atas 100 basis poin udah dekat dengan
150 basis poin," ujar Dody dalam jumpa pers di Gedung Thamrin BI, Jakarta Pusat, Senin
(6/2/2017).

Namun Dody menambahkan, penurunan suku bunga kredit juga harus mempertimbangkan
berbagai hal, mulai dari tingkat kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL),
permintaan kredit, hingga likuiditas bank. Maka dari itu, jika suku bunga deposito sudah
turun, perbankan belum tentu menurunkan suku bunga kreditnya jika NPL belum membaik.

"Kalau dia turunkan suku bunga kredit secepat bunga dana otomatis demand akan banyak.
Kalau dia enggak berani kasih kredit, dia belum turunkan banyak-banyak," tutur Dody.

Meskipun belum terjadi banyak penurunan suku bunga kredit, dirinya mengatakan, bahwa
peluang penurunan suku bunga kredit ke depan masih ada. Tentu saat ini perbankan masih
melakukan restrukturisasi memperkecil rasio NPL seiring memperkuat likuiditas.

"Walaupun Bank Indonesia belum turunkan lagi 7 Day Reverse Repo Rate, tapi Bank
Indonesia tetap memandang ada ruang untuk bisa turun bunga kredit. Tapi memang
timingnya yang belum jelas karena adjustment di perbankannya sendiri memang belum
tuntas," tutup Dody.
BI Terapkan Suku Bunga Operasi Pasar Terbuka

Ardan Adhi Chandra - detikFinance


Jakarta - Bank Indonesia (BI) telah menerapkan mekanisme penentuan bunga operasi pasar
terbuka sejak awal bulan ini. Suku bunga operasi pasar yang tadinya fixed rate tender (FRT),
per 1 Februari diubah menjadi variable rate tender (VRT).

Dengan diterapkannya bunga operasi pasar terbuka VRT, BI menjamin langkah ini bukan
merupakan perubahan kebijakan moneter.

"Sudah kami terapkan sejak 1 Februari. Ini teknis lelang karena tidak ada perubahan stance
kebijakan," jelas Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Dody Zulverdi
dalam jumpa pers di Gedung Thamrin BI, Jakarta Pusat, Senin (6/2/2017).

Penerapan suku bunga operasi pasar terbuka ini dinilai lebih mencerminkan kondisi pasar.
Sehingga besaran bunga ditentukan oleh para peserta lelang yang melakukan transaksi di BI.
Lelang yang dimaksud adalah penjualan semua instrumen yang ada di BI, antara lain Surat
Berharga Negara (SBN) hingga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Dengan demikian, suku bunga instrumen pasar terbuka untuk tenor di atas 7 hari, mulai dari 2
pekan, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Sedangkan untuk 7 hari ke bawah masih akan
ditetapkan skema FRT.

"Kalau likuiditas bank longgar maka (bunga) bisa lebih rendah, kalau mayoritas ketat, maka
rata-rata tertimbang itu akan lebih tinggi. Itu adalah refleksi likuiditas, tapi juga BI
kendalikan," ujar Dody.

Secara teknis besaran bunga ditetapkan pada konsensus pelelangan. Misalnya, BI


menerbitkan SBI dengan target Rp 15 triliun, dari situ kemudian bank yang memiliki
kelebihan likuiditas akan ikut membeli SBI dengan tingkat bunga yang beragam. BI
kemudian melakukan seleksi kepada mereka yang melakukan penawaran sebelum akhirnya
memutuskan penjualan.

Jika terjadi kelebihan permintaan, maka BI akan memilih bank yang meminta tingkat bunga
yang serendah mungkin. Kelebihan permintaan juga menggambarkan likuditas uang di bank
masih cukup tinggi.

Sedangkan jika permintaan terhadap instrumen yang diterbitkan BI tidak terlalu memuaskan,
hal tersebut menandakan likuiditas perbankan terbilang ketat yang umumnya terjadi di
sejumlah kesempatan.

Besaran bunga VTR yang bergerak dinamis umumnya begerak di kisaran 5-25 basis poin
(bps) dari suku bunga masing-masing tenor. Saat ini, suku bunga yang mengikuti skema VRT
mulai dari 2 minggu berada di level 4,92%, 1 bulan 5,17%, 3 bulan 5,57%, 6 bulan 5,77%, 9
bulan 5,9%, dan 12 bulan 6%.

Besaran tersebut yang kemudian mengalami perubahan, baik mengalami kenaikan maupun
penurunan yang biasanya bergerak di kisaran 5-25 bps. Saya tidak bisa pastikan, mungkin
kisaran 5-25 basis poin. Intinya BI juga bisa mengetahui kondisi likuiditas," ujar Dody.

Dirinya menambahkan, penetapan VRT sudah direncanakan sejak Agustus lalu, yaitu sejak
BI mengubah suku bunga acuannya dari BI Rate menjadi BI 7 Days Reverse Repo Rate. Di 6
bulan pertama penerapan BI 7 Days Reverse Repo Rate, BI masih menerapkan FRT dan pada
awal bulan ini untuk instrument di atas 7 hari ditetapkan menggunakan VRT.

"Sesuai dengan rencana, 6 bulan sesudah pemberlakuan BI 7 Days Reverse Repo Rate itu
sejak Januari akhir kemarin masih menggunakan FRT," tutup Dody.

BI Terapkan Kebijakan Moneter Ketat pada 2019

Petugas mengecek uang di Kantor Bank Indonesia, Jakarta. (Liputan6.com/ Immanuel


Antonius)

Liputan6.com, Jakarta Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara
mengatakan, arah kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2019 tetap hawkish atau ketat.
Upaya ini dilakukan untuk mengimbangi langkah Bank Sentral Amerika Serikat atau The
Federal Reserve (The Fed).

"Policy masih harus hawkish di tahun 2019," ujar Mirza saat memberikan paparan dalam
rapat kerja dengan DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Mirza mengatakan, tahun ini masih akan terjadi kenaikan suku bunga sebanyak dua kali.
Kenaikan tersebut diprediksi terjadi pada September dan Desember. Sedangkan pada 2019
akan terjadi penyesuaian suku bunga sebanyak 2 sampai 3 kali.

"Sehingga di dalam proyeksi BI bahwa suku bunga AS 2019 akan naik dari 2 persen sampai
ke 3,25 persen. Jadi masih ada 1,25 persen lagi suku bunga AS meningkat," jelasnya.

Tekanan ini, kata Mirza, membuat bank sentral melanjutkan arah kebijakan moneter yang
ketat. Pihaknya akan konsisten menerapkan kebijakan yang bersifat lebih mendahului atau
ahead of the curve. "Sehingga BI sesuai, bahwa kami harus a head of the curve, kebijakan
kami masih harus hawkish (ketat)," jelasnya.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara memprediksi bank
sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga
acuan sampai 3,25 persen hingga 2019. Untuk diketahui, suku bunga The Fed saat ini berada
pada angka 2 persen.

"Di dalam proyeksi kami di Bank Indonesia, kami perkirakan bahwa suku bunga Amerika
Serikat 2019 akan naik sampai 3,25 persen. Jadi 2,0 persen sekarang masih akan naik sampai
3,25 persen," ujarnya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (13/9).

Mirza menjelaskan, pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat sebenarnya sudah


direncanakan sejak 2013.

Pada 2013 Amerika Serikat memberikan aba-aba bahwa akan mulai melakukan pengetatat
dan mulai 2013 pasar keuangan terutama emerging market mengalami volatility yang cukup
tinggi.

"Suku bunga Amerika Serikat mulai naik di 2015 akhir. Sedangkan, pengetatan likuiditasnya
dimulai 2014, jadi ada dua hal terjadi sekaligus dari Federal Reserve likuiditasnya berkurang
dan suku bunganya naik," jelasnya.

Krisis Moneter 1997/1998

Pada Agustus 1997, mata uang rupiah mulai bergerak di luar pakem normal. Rupiah tidak
saja bergeliat negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah bergerak sempoyongan. Kemudian
September 1997, Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia) bersujud di titik
terendahnya. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih
tinggi untuk membayar utang.

Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar
masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak pada Januari 1998, dolar menguat
menyentuh level Rp 11.000. Kemudian pada Juli 1998, rupiah terus merosot , US$1 setara
dengan Rp 14.150. Pada 31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu
meningkat hingga Rp 8.000 untuk US$1.

Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih jauh dari krisis. Karena
beberapa pandangan ketika itu menyatakan bahwa Indonesia berbeda dengan Thailand.
Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari US$900 juta,
cadangan devisa cukup besar, lebih dari US$20 miliar, dan sektor perbankan masih baik-baik
saja. Walaupun sebenarnya di tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia
yang meminjam dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa rupiah
menguat atas dolar Amerika. Jadi, pinjaman dalam bentuk dolar dianggap jauh lebih murah.

Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya kepercayaan pasar
dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soeharto saat memasuki tahun 1998
yang kian memburuk sehingga melahirnya ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan
nasional. Yang tak kalah penting adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh
tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La
Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 miliar dolar AS,
sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana
sekitar 20 miliar dolar AS akan jatuh tempo pada 1998. Sementara pada saat itu cadangan
devisa tinggal sekitar 14,44 miliar dolar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat
rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS pada 1997, meluncur dengan cepat ke level
sekitar Rp 17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen
sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.

Risikonya, rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dolar untuk
membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang
diumumkan 6 Januari 1998. RAPBN dinilai tak realistis. Krisis yang menandakan kerapuhan
fundamental ekonomi tersebut dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah
secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional
mendadak terlilit kesulitan besar. Peringkat internasional bank-bank besar tersebut
memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut lengser ke level di bawah
"junk" atau menjadi sampah.

Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal mendadak
berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah
sektor yang terpukul cukup parah. Sehingga risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang
besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah
terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan
kerja.

Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai sekitar 50 persen dari
total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dolar/kapita pada 1996 dan
1.088 dolar/kapita pada 1997 menciut menjadi 610 dollar/kapita pada 1998. Dua dari tiga
penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada
dalam kondisi yang sangat miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat
pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah menjadi nol persen kuartal
terakhir 1997. Angkanya terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada
kuartal I/1998, kontraksi 16,5 persen kuartal II/1998, dan terus terkontraksi 17,9 persen
kuartal III/1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah mencapai 54,54
persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata
sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah. Karena
dunia bisnis sudah tercekik akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor,
kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global. Selama periode Januari-Juni
1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara
ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

KRISIS EKONOMI GLOBAL 2008 SERTA DAMPAKNYA BAGI


PEREKONOMIAN INDONESIA

Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 sebenarnya bermula pada krisis ekonomi
Amerika Serikat yang lalu menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Krisis ekonomi Amerika diawali karena adanya dorongan untuk konsumsi
(propincity to Consume). Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas
kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam hutang, belanja dengan kartu
kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut
bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor
perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan
–perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya
yang mengalami jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan
finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-
perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis
tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia. Krisis keuangan di
Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya
daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar
atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu
menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-
negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh
industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar,
maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi
serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.

Dari sumber yang penulis dapatkan, terdapat enam penyebab terjadinya krisis ekonomi
Amerika Serikat, yaitu penumpukkan hutang yang sangat besar, adanya program
pengurangan pajak korporasi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan Negara,
besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan, lembaga
pengawas keuangan CFTC (Commodity Futures Trading Commision) tidak mengawasi
mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas
perdagangan berjangka, kerugian surat berharga property, dan yang terakhir adalah keputusan
suku bunga murah yang mengakibatkan timbulnya spekulasi yang berlebihan. Penurunan
suku bunga yang dilakukan oleh The Federal Reserve of The United States atau bank sentral
Amerika yang kala itu dipimpin oleh master ekonom dunia Alan Greenspan membuat gejolak
baru di pasar amerika.

Krisis ekonomi Amerika tersebut yang semakin lama semakin merambat menjadi krisis
ekonomi global karena sebenarnya perekonomian di dunia ini saling terhubung satu sama
lainnya, peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan berpengaruh di tempat lainnya. Dan tidak
jarang dampak yang terjadi jauh lebih besar daripada yang terjadi di tempat asalnya. Oleh
karena itu Indonesia juga turut merasakan krisis ekonomi global ini. Indonesia merupakan
Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya
krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia.
Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran dana asing yang tadinya akan
digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan
hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah
yang harus menanggung hutang perbankan dan perusahaan swasta.

Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global tahun
2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi
penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia
sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari
krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa ‘selamat’nya
Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat
minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan
PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang
rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri
‘terselamatkan’ dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29%

Dampak lainnya adalah karena krisis global, kini semakin banyak perusahaan yang
mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Diperkirakan 200 ribu jiwa akan menjadi pengangguran
pada tahun 2009. Dengan bertambahnya angka pengangguran maka pendapatan per kapita
juga akan berkurang dan angka kemiskinan juga akan ikut bertambah pula. Karena krisis
yang terjadi adalah krisis global, maka tenaga kerja kita yang ada di luar negeri juga
merasakan imbasnya. Malaysia merencanakan untuk memulangkan sekitar 1,2 juta tki yang
mayoritas berasal dari Indonesia karena akan memprioritaskan pekerja lokal. Itu baru dari
satu Negara, belum lagi dari Negara-negara lainnya. Hal tersebut tentu saja sangat
mempengaruhi roda perekonomian Negara kita. Jika pemerintah tidak dapat menyediakan
lapangan kerja yang cukup, maka krisis ini akan menjadi krisis yang sangat besar.

Langkah antisipasi untuk mengatasi dampak krisis ini nampaknya sudah dipikirkan oleh
pakar ekonomi negera ini. Pakar-pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi yang tergabung
dalam organisasi KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada) merekomendasikan
beberapa langkah untuk mengatasi krisisi gobal yang kini melanda bangsa Indonesia.
Meskipun mereka mengakui pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan yang
berkaitan dengan antisipasi krisis keuangan global tersebut, tetapi kebijakan tersebut menurut
mereka perlu dikaji kembali secara menyeluruh tentang segala aspek kehidupan dan bersifat
antisipatif jauh ke depan. Dua puluh enam pakar ekonomi yang diketuai oleh ekonom
terkemuka Prof. Dr. Sjafrie Sairin, MA ini menghasilkan beberapa langkah rumusan untuk
mengatasi dampak krisis global, antara lain
1. Melakukan penyesuaian APBN 2009 dengan prioritas untuk pembangunan
infrastruktur dalam bentuk program padat karya disamping melakukan penataan bagi
sektor informal di kota-kota dengan kebijakan anti penggusuran.
2. Di bidang pertanian, diambil langkah untuk mengarahkan petani miskin dan
penganggur untuk mendapatkan lahan produktif sebagai modal untuk meningkatkan
taraf hidup serta membatalkan rencana pemberlakuan pajak terhadap produk-produk
pertanian.
3. Untuk bidang ekonomi makro, mendesak diturunkan suku bunga dan melonggarkan
likuiditas untuk menggerakkan sektor riil serta memberikan insentif pajak bagi
industri yang mempunyai basis penyerapan tenaga kerja yang besar.
4. Pemerintah disarankan secara serius mengelola resiko ekonomi dan fiskal disamping
melakukan penguatan pada sektor UMKM dan kewirausahaan.
5. Pemerintah harus lebih fokus pada pembangunan ekonomi domestik untuk lebih
mandiri dan melakukan revitalisasi industri dengan prioritas pada sumberdaya industri
dan pembanganun infrastruktur.
6. Indonesia perlu membangun perekonomian yang memiliki daya tahan dan kelenturan
yang tinggi agar dapat tetap berkembang dan bertahan dalam kondisi yang semakin
dinamis dan kompetitif
7. Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga-tenaga sarjana yang
terkena imbas PHK sebagai tenaga pendampingan di sektor pertanian, kesehatan dan
kependudukan dan terakhir, melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan pembangunan
yang mendorong ke arah kemandirian bangsa.

Inti dari solusi tersebut adalah penguatan sektor mikro yang relatif tidak terpengaruh oleh
faktor-faktor eksternal seperti nilai tukar, kebutuhan negara lain, keadaan ekonomi politik
negara lain, dan perjanjian dalam forum perdagangan seperti WTO. Sudah saatnya ekonomi
Indonesia berbasis SDM serta SDA asli Indonesia diberi peluang lebih untuk membangun
fondasi perekonomian Indonesia berbasis usaha mikro yang terbukti lebih tahan terhadap
goncangan serta dapat lebih memberdayakan tenaga kerja negara ini agar tingkat
pengangguran semakin berkurang.

Dengan adanya kasus tersebut, para ekonom Indonesia sudah seharusnya mengambil hikmah
dari krisis 1998 dan 2008 agar jika krisis-krisis yang sama terulang di tahun-tahun ke depan,
Indonesia sudah memiliki fondasi yang kuat serta antisipasi yang matang untuk
menghadapinya.

Senin Hitam (1987)

Dalam keuangan, Senin Hitam mengacu pada Senin, 19 Oktober 1987, ketika pasar saham di
seluruh dunia hancur, merontokkan nilai yang sangat besar dalam waktu yang sangat singkat.
Kehancuran bermula di Hong Kong dan menyebar ke barat ke Eropa, menghantam Amerika
Serikat setelah pasar lain telah mengalami penurunan dengan margin yang signifikan. Dow
Jones Industrial Average (DJIA) anjlok persis 508 poin ke 1.738,74 (22,61%).[1] Di Australia
dan Selandia Baru, kehancuran tahun 1987 juga disebut sebagai "Selasa Hitam" karena
perbedaan zona waktu.

Istilah Senin Hitam dan Selasa Hitam juga digunakan masing-masing untuk 28 Oktober dan
29 Oktober 1929, yang terjadi setelah Kamis Hitam pada 24 Oktober, yang menjadi awal
Kehancuran Pasar Saham 1929.

Garis waktu

Akhir tahun 1985 dan awal 1986, ekonomi Amerika Serikat mulai berubah dari pemulihan
yang tumbuh pesat sejak resesi awal 1980-an menjadi ekspansi yang semakin lambat, yang
menghasilkan suatu periode "pendaratan lunak" karena ekonomi melambat dan inflasi turun.
Pasar saham menguat secara signifikan, dengan Dow mencapai puncaknya pada Agustus
1987 di 2.722 poin, atau 44% di atas penutupan tahun sebelumnya pada posisi 1.895 poin.
Ketidakpastian keuangan lebih lanjut mungkin disebabkan oleh kegagalan OPEC pada awal
1986, yang menyebabkan harga minyak mentah turun lebih dari 50% pada pertengahan
1986.[2]

Pada 14 Oktober, DJIA turun 95,46 poin (3,8%) (sebuah rekor saat itu) menjadi 2.412,70, dan
anjlok 58 poin lagi (2,4%) keesokan harinya, turun lebih dari 12% dari 25 Agustus tertinggi
sepanjang masa.

Pada hari Kamis, 15 Oktober 1987, Iran menghantam kapal supertanker milik Amerika
Serikat (dan berbendera Liberia), Sungari, dengan rudal Silkworm dari lepas pelabuhan
minyak utama Kuwait, Mina Al Ahmadi. Keesokan paginya, Iran menghantam kapal lainnya,
MV ''Sea Isle City'' berbendera AS, dengan rudal Silkworm lainnya.

Pada hari Jumat, 16 Oktober, ketika semua pasar di London ditutup secara tidak terduga
karena Badai Besar 1987, DJIA anjlok 108,35 poin (4,6%) ditutup pada 2.246,74 pada
volume rekor. Menteri Keuangan saat itu, James Baker menyatakan kekhawatiran terhadap
turunnya harga.

Kehancuran bermula di pasar Timur Jauh pada pagi hari 19 Oktober, namun menghebat pada
waktu London—terutama karena London telah tutup lebih awal pada 16 Oktober karena
badai—hingga pukul 09.30 FTSE100 London telah anjlok lebih dari 136 poin. Kemudian
pagi itu, dua kapal perang AS menembaki sebuah platform minyak Iran di Teluk Persia
sebagai balasan atas serangan rudal Silkworm Iran terhadap Sea Isle City.

Efek pasar

Pada akhir Oktober, pasar saham di Hong Kong, Australia, Spanyol, Britania Raya, Amerika
Serikat, dan Kanada masing-masing turun 45,5%, 41,8%, 31%, 26,45%, 22,68%, dan 22,5%.
Pasar Selandia Baru terpukul sangat parah, anjlok sekitar 60% dari puncaknya pada 1987,
dan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk pulih. Kerusakan ekonomi Selandia Baru
diperparah oleh nilai tukar yang tinggi dan penolakan Reserve Bank of New Zealand untuk
melonggarkan kebijakan moneter dalam menanggapi krisis, berbeda dengan negara-negara
seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat, yang bank-banknya meningkatkan likuiditas
jangka pendek untuk mencegah resesi dan mengalami pertumbuhan ekonomi dalam 2-3 tahun
ke depan.

You might also like