Professional Documents
Culture Documents
ENHAR HAKIM
ENHAR HAKIM. Analysis Up Take Content Heavy Metal from Composting the
Sludge Water Treatment Plant by Plants. Supervised by Dr. Satyanto K.
Saptomo, STP, MSi and Allen Kurniawan, ST, MT.
Utilization of sludge processing results are very minimal and less noticed by
many among the industry. This research aims to identify the feasibility of compost
of sludge processing drinking water as a medium for planting, identifying the
presence of heavy metals content in the compost that is absorbed in plants, and
degrades the contents of heavy metals in sludge by means of fitoremediasi. The
method used is the utilization of compost as a medium for planting without WTP
mixed soil. On testing using three kinds of different compost WTP. Compost 1
comes from WTP PT. Krakatau Tirta Industry, Cilegon, West Java. Compost 2
comes from WTP PDAM Tirta Pakuan Bogor, West Java. Compost 3 comes from
WTP PDAM Tirta Kahuripan Cibinong, West Java. On the third having a lush
growth of vegetation and experience the process of degradation the heavy metals.
The results of the three trials heavy metal content in plants after harvest showed
values above the threshold limit of SNI 7387 in 2009 about The Limit of Heavy
Metal Contamination in Food. Composting plant using WTP is not safe for
consumption. Degradation of heavy metals in the form of mud at the WTP to
harvest heavy metals impaired. This demonstrates the feasibility of the utilization
of WTP sludge by composting and application of the growing media. Compost
WTP can fertilize the plants, but not for food crops.
ENHAR HAKIM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
Disetujui oleh,
Diketahui oleh,
Tanggal lulus:
PRAKATA
Enhar Hakim
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction 19
Gambar 2 Alfalfa legum salah satu tumbuhan hyperaccumulator 27
Gambar 3 Diagram alir penelitian 30
Gambar 4 Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil
(kiri) dan kompos 2 (kanan) 44
Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil, B.
kompos 1, dan C. kompos 2 45
Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan
menggunakan lumpur 2 48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kadar air uji ketiga 56
Lampiran 2 Kadar air uji kedua 56
Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam
setiap jenis air limbah industri 57
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Proses pengolahan air minum yang menggunakan air sungai sebagai bahan
baku menghasilkan produk utama berupa air bersih yang siap dikonsumsi. Selain
produk utama tersebut, dihasilkan juga limbah berupa lumpur. Limbah lumpur
dalam proses pengolahan ini merupakan hasil proses pengendapan
(presedimentasi dan sedimentasi) serta penyaringan (filtrasi). Dalam air sungai
biasanya terdapat padatan terlarut dan tersuspensi. Zat terlarut terdiri dari oksigen,
karbohidrat, basa, asam, senyawa mikroorganisme dan berbagai pencemar yang
bergantung pada lokasi, suhu, dan tekanan. Padatan tersuspensi dalam air sungai
diantaranya mengandung lumpur, sisa tanaman, dan limbah industri. Diantara zat-
zat tersebut ada yang dapat menyuburkan tanah atau dapat digunakan untuk
keperluan lain (Mahida 1992 dalam Yeni 2001).
Produksi lumpur per hari menurut Supriyanto (1993) dalam Halim (2003)
pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah. Lumpur akan selalu
diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai
selama proses berlangsung. Karakteristik dari lumpur residu dihasilkan pada
dasarnya merupakan fungsi dari proses pengolahan, penambahan bahan kimia,
dan kuantitas air baku. Pengertian akan kuantitas lumpur, kandungan padatan, dan
sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses
yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Lumpur tersebut kemudian
dibentuk menjadi suatu produk yang disebut wet spray yang mengandung 2%
kadar kering. Dapat pula kandungan air dalam lumpur ditekan dengan alat filter
press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40%
(L’Hermite 1988 dalam Halim 2003).
Sumber Lumpur
Lumpur pengolahan air didefinisikan sebagai akumulasi padatan atau
endapan yang dikeluarkan dari bak sedimentasi (pengendapan) atau clarifier pada
instalasi pengolahan air maupun industri pada umumnya. Sumber utama residu
pengolahan air adalah lumpur koagulasi aluminium atau lumpur besi, lumpur
proses softening, dan pencucian balik filter. Lumpur mengandung konsentrasi
tinggi garam aluminium atau besi dengan campuran bahan organik dan anorganik
dan presipitat. Dahulu pengeringan akan lumpur koagulasi adalah tugas yang
sangat sulit dan pada akhirnya dibuang langsung ke sumber air seperti sungai atau
danau. Namun saat ini lumpur diolah untuk pembuangan akhir dan air backwash
dan clarifier dikembalikan ke fasilitas pengolahan untuk didaur ulang (Qasim et al
2000 dalam Kurniasih 2012).
Lumpur koagulasi diproduksi melalui proses flokulasi dan pengendapan
alami dari kekeruhan. Aluminium dan garam besi bereaksi dengan alkalinitas dan
membentuk endapan aluminium dan ferric hidroksida. Lumpur mengandung
hidroksida tersebut dan kekeruhan yang menyebabkan senyawa organik dan
anorganik. Walaupun nilai BOD dan COD kemungkinan tinggi, namun lumpur ini
tetap stabil dikarenakan tidak terdapat material organik yang mendorong
dekomposisi aktif atau mendukung kondisi anaerob. Hasilnya lumpur dapat
diakumulasikan pada bak sedimentasi selama beberapa hari dan bulan, dan
dibuang secara berkala (Kurniasih 2012).
Kuantitas padatan yang dihasilkan pada koagulasi bergantung pada total
padatan tersuspensi yang terkandung pada air, tipe, dan dosis koagulan, dan
efisiensi bak sedimentasi. Umumnya 60-90% dari padatan total dihilangkan pada
bak sedimentasi. Padatan yang tersisa dihilangkan pada proses filtrasi. Tidak
terdapat korelasi pasti antara kekeruhan dan total padatan tersuspensi. Rasio total
padatan tersuspensi dengan kekeruhan normalnya bervariasi dari 0.5-2. Total
padatan pada fasilitas koagulasi aluminium dapat bervariasi antara 8-210
kg/100m3 dari air baku yang diolah (Kurniasih 2012).
a. pH
pH adalah parameter untuk mengetahui intensitas tingkat keasaman atau
kebasaan dari suatu larutan yang dinyatakan dengan konsentrasi ion hidrogen
terlarut. Pada instalasi pengolahan air buangan secara biologi, pH harus dikontrol
supaya berada dalam rentang yang cocok untuk organisme tertentu yang
digunakan. Baku mutu pH berkisar pada rentang yang cukup besar di sekitar pH
netral, yaitu 6-9. Hal ini bukan berarti bahwa perubahan pH yang terjadi
sepanjang rentang tersebut sama sekali tidak berdampak terhadap mahluk hidup
dan lingkungan sekitar. pH merupakan faktor penting yang menentukan pola
distribusi biota akuatik. Karena itu perubahan pH yang terkecil dapat memberi
dampak besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. Dampak dari sejumlah
polutan dapat bervariasi, mulai dari tidak terdeteksi sampai sangat serius
tergantung pada pH.
e. Phosphat
Semua air permukaan dapat mendukung pertumbuhan organisme akuatik
seperti plankton (zooplankton dan fitoplankton), ganggang, dan cyanobacteria.
Pertumbuhan tanaman dalam air dapat dibatasi oleh beberapa faktor seperti
cahaya dan karakteristik fisik air tersebut. Pada banyak kasus, faktor pembatas
tersebut adalah ketersediaan nutrisi anorganik terutama fosfat. Semakin banyak
nutrisi yang masuk dalam badan air, semakin besar pertumbuhan tanaman,
sehingga karakteristik biologi badan air dapat berubah
Buangan organik dalam air adalah sumber nutrisi yang penting bagi
tanaman karena dekomposisi materi organik akan menghasilkan fosfat, nitrat, dan
nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tanaman. Buangan domestik banyak
mengandung fosfat yang berasal dari bubuk deterjen (air cucian). Akibat
perkembangan deterjen sintesis, kandungan fosfor anorganik dalam deterjen
berkisar antara 2-3 mg/l dan kandungan fosfor organik berkisar antara 0.5-1 mg/l.
Kandungan fosfor anorganik dalam limbah domestik saat ini diperkirakan
mencapai 2-3 kali lebih banyak daripada ketika deterjen sintesis belum digunakan
secara luas, kecuali jika pemerintah setempat membatasi penggunaan deterjen
berbahan dasar fosfat.
Organisme yang digunakan dalam proses pengolahan air buangan secara
biologi memerlukan sejumlah fosfor untuk reproduksi dan sintesa sel baru.
Namun limbah domestik mengandung fosfor dalam jumlah yang jauh lebih besar
dari yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut. Hal itu dapat dibuktikan
dengan besarnya kandungan fosfat dalam efluen pengolahan biologi air limbah.
f. Chlorine bebas
Chlorine biasa digunakan sebagai desinfektan pada proses pengolahan air,
baik minum maupun air buangan. Klorinasi bertujuan untuk menghilangkan
kandungan mikroba pathogen dalam air supaya konsumen terhindar dari penyakit
bawaan air. Walaupun mikroba pathogen dalam air telah banyak tersisihkan
selama proses pengolahan sebelumnya, namun masih mungkin tersisa sejumlah
mikroba pathogen terutama virus. Karena itu biasanya desinfeksi merupakan
proses terakhir pengolahan air.
Clorine digunakan dalam bentuk clorine bebas atau hipokrit. Selain bereaksi
dengan mikroba pathogen, clorine juga bereaksi dengan senyawa- senyawa lain
dalam air seperti amonia, besi, mangan, sulfide, dan beberapa senyawa organik.
Karena itu perlu ditambahkan clorine yang tersedia dalam jumlah cukup untuk
membunuh mikroba pathogen. Chlorine bereaksi dengan air hipoklorit dan asam
hipoklorit menurut reaksi berikut :
Cl2 + H₂O HOCl + H+Cl
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desinfeksi antara lain adalah
jumlah dan jenis mikroba pathogen yang ingin dihilangkan, jenis dan konsentrasi
desinfektan yang digunakan, temperatur air, waktu kontak, karakteristik fisik dan
kimia air yang akan diolah, pH, dan pencampuran. Dosis clorine seharusnya
disesuaikan dengan kebutuhan. Pemantauan konsentrasi chlorine di ujung bak
klorinasi perlu dilakukan secara teratur untuk meninjau efektivitas proses
klorinasi. Karakteristik air yang diolah dapat berubah-ubah seiring dengan
perubahan musim dan cuaca. Dari hasil pemantauan tersebut dapat diantisipasi
sumber-sumber kontaminasi.
g. Amonia (NH3N)
Amonia terdapat secara alami dalam berbagai konsentrasi pada air tanah, air
permukaan, dan air buangan. Amonia dapat berasal dari reduksi senyawa organik
yang mengandung nitrogen, deaminasi senyawa amina, hidrolisa urea, dan akibat
penggunaannya untuk deklorinasi dalam instalasi pengolahan air. Jumlah amonia
dalam air tanah relatif sedikit karena diserap oleh tanah. Amonia bersifat sangat
toksik terhadap banyak organisme, terutama ikan dan invertebrata, sedangkan
amonium (NH4) bersifat kurang toksik. Konsentrasi amonia dalam air tergantung
pada pH dan temperatur. Semakin tinggi pH dan temperatur, semakin tinggi juga
konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia juga menentukan tingkat toksisitas
larutan. Nitrifikasi adalah proses oksidasi biologi amonia menjadi nitrat oleh
bakteri autotrof, dengan nitrit sebagai senyawa antara.
Karakteristik kimia air limbah industri terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama yaitu zat organik terdiri dari karbohidrat, minyak lemak, protein, zat
organik yang dapat menimbulkan kanker dan mutasi, surfactant, senyawa organik
volatile, dan lain-lain. Karakteristik kimia untuk lumpur pada umumnya dibagi
menjadi dua bagian. Karakteristik kimia lumpur aluminium terkandung BOD5 30-
300 mg/l, COD 30-5000 mg/l, pH 6-8, dan total padatan 0.1-4%. Karakteristik
kimia lumpur besi terkandung BOD5 30-300 mg/l, COD 30-5000 mg/l , pH 7.4-
8.5 mg/l, dan total padatan 0.25-3.5 % (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).
Pengomposan
Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dan
stabilitas dari bahan organik pada suhu termofili. Sebagain hasil produksi panas
secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk
padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan
menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980 dalam Halim
2003).
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), dalam pengomposan merupakan
biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses
pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu
baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri
pathogen. Selama proses pengomposan, suhu akan mencapai kisaran 50-70ºC,
sehingga bakteri pathogen dari lumpur akan mati.
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), dalam proses
pengomposan terjadi perubahan-perubahan antara lain :
a. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak lilin menjadi CO₂ dan air.
b. Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO₂
dan air.
c. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama
Nitrogen disamping Phospat, Kalium dan lain- lain yang terlepas kembali bila
mikroorganisme itu mati.
d. Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman.
Selama proses ada tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yang
diamati, yaitu mesofilik dan cooling (tahap pendinginan). Pada tahap awal
mesofilik suhu proses akan naik dari suhu lingkungan ke-40ºC dengan adanya
kapang dan bakteri pembentukan asam. Suhu proses akan terus meningkat ke
tahap termofilik antara 40-70ºC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh
bakteri termofilik, actinomycetes dan termofilik kapang. Pada kisaran suhu
termofilik proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal.
Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktifitas dengan bakteri dan
kapang mesofilik. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari mineral yang
telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilitas pH dan
penyempurnaan pembentukan asam humik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
Tabel 12 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos
Jenis Bahan Rasio C/N
Lumpur aktif 6
Lumpur yang belum dicerna 11
Pepolongan 19
Gulma hijau 13
Rumput-rumputan 20
Jerami 30-80
Serbuk gergaji busuk 208
Sumber : Haug 1980 dalam Halim 2003.
b. Suhu Pengomposan
Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas.
Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60ºC. Suhu
di bawah 32ºC proses berlangsung lambat, sedangkan suhu diatas 60ºC
mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung
pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan
yang basah atau lembap, gundukan kompos dapat lebih besar untuk
meminimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak
nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan
pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum
pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65ºC (Richard 1996 dalam Halim
2003). Menurut Indriani (1999) dalam Halim (2003), bila suhu terlalu tinggi
mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme
belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada
proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga
suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan.
e. Nilai pH Pengomposan
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan pH agar
tetap pada kondisi yang optimal perlu dilakukan, karena keasaman yang terlalu
rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikkan konstruksi oksigen yang
mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Menurut CPIS (1992)
dalam Halim (2003), menambahkan pH yang terlalu tinggi juga menyebabkan
unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada
kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya sebagian besar
mikroorganisme. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan
pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, atau pupuk
nitrogen untuk menurunkan pH, sedangkan pemberian kapur dan abu dapur untuk
menaikkan pH.
Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan bakteri pada umumnya adalah
antara 6-7.5 dan 5.5-8 untuk fungi. Selama proses tumpukan, umumnya kondisi
pH bervariasi dan akan terkontrol dengan sendirinya. Kondisi pH awal yang
relatif tinggi, misalnya akibat penggunaan CaO pada lumpur, akan melarutkan
nitrogen dalam kompos dan selanjutnya akan diemisikan sebagai amoniak.
Tidaklah mudah untuk mengatur kondisi pH dalam tumpukan massa kompos
untuk pencapaian pertumbuhan biologis yang optimum. Pengaturan kondisi pH
belum ditemukan kontrol opresional yang efektif (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
f. Kebutuhan oksigen
Persyaratan konsentrasi optimum dari oksigen di dalam massa kompos
antara 5-15% volume. Peningkatan kandungan oksigen melewati 15%, misalnya
akibatnya pengaliran udara yang terlalu cepat atau terlalu sering dibalik akan
menurunkan suhu dari sistem. Pada Tabel 2 menjelaskan Faktor penting dalam
perencanaan proses pengomposan secara aerobik.
Tabel 13 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik
Faktor Keterangan
Jenis Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat
lumpur dikomposkan. Untreated sludge lebih berpotensi menimbulkan
masalah bau, terutama pada aplikasi windrow. Untreated sludge
lebih mempunyai ketersediaan energi, lebih mudah terdegradasi
dan mempunyai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi.
Amendments Beberapa karakteristiknya, seperti kadar air, ukuran partikel, dan
dan bulking karbon tersedia sangat berperan terhadap proses dan kualitas
agents produk akhir. Bahan-bahan tersebut harus mudah didapat dan
murah seperti : serpihan kayu, gergaji, jerami, sekam dan kulit
padi, recycled compost dan lain-lain.
Rasio C/N Rasio C/N awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat. Unsur
karbonnya harus mudah terdegradasi.
Volatile Dari campuran kompos harus >50%
solids
Kandungan Setidaknya masih ada 50% oksigen yang berada dalam
udara kesetimbangan sistem, atau kandungan oksigen antara 5-10% di
semua bagian tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum
Kadar air Dari campuran kompos antara 40-60%. Berkurangnya kadar air
akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat
ditambahkan bersamaan dengan proses pembalikan
Soil Venting
Tanah ventilasi adalah teknologi yang menggunakan udara untuk
mengekstrak kontaminan volatile dari tanah yang terkontaminasi. Tanah ventilasi
(Soil venting) yang mencakup ekstraksi udara dan injeksi merupakan salah satu
metode utama yang digunakan di Amerika Serikat untuk menghilangkan VOC
(Volatile Organik Compounds) dari tak jenuh. Teknologi ini juga dikenal sebagai
tanah uap ekstraksi (Soil vapour extraction). Para Desainer harus memiliki ahli
geologi, hidrogeologi, ilmuwan tanah, ahli kimia untuk merancang suatu sistem
yang optimal. Sebuah pengetahuan dasar kimia juga diperlukan untuk
mengembangkan sampling kualitas dan rencana pemantauan. Teknologi ini tepat
guna dalam menghilangkan kontaminan organik berbahaya dari tanah bawah
permukaan (Soil ... 2012).
Banyak model tanah ventilasi mengasumsikan bahwa lokal partisi dari
kontaminan ke dalam berbagai tahapan yang diatur oleh kendala ekuilibrium
(Johnson et al 1990 dalam Lingineni dan Dhir 1995). Salah satu proses utama
yang mempengaruhi kinerja tanah. Sistem ventilasi adalah perpindahan masa dari
interfase kontaminan fraksi dalam kondisi aliran adveki, diciptakan oleh gradient
tekanan bawah permukaan. Teknologi ini telah diterima oleh banyak kalangan
selama dekade terakhir karena kebutuhan dari suatu in-situ, biaya efektif, metode
untuk mengatasi berbagai kontaminasi masalah yang diciptakan oleh kebocoran
bawah permukaan.
b. Pencemaran properti.
Sifat fisika dan kimia sangat mempengaruhi alur dan transportasi
kontaminan. Properti ini mempengaruhi distribusi kontaminan antara empat fase
pada tanah, seperti fase gas (uap), dilarutkan dalam pori-pori (fase air), teradsorpsi
pada permukaan partikel (fase padat), dan sebagai NAPL.
c. Sifat tanah.
Sifat fisik dan kimia kontaminan seperti media berpori dan karakteristik
cairan sangat mempengaruhi alur dan kontaminan dan transportasi. Berikut alur
kontaminan dan transportasi SVE dapar dilihat pada Gambar 1.
Bioremediasi
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme yang telah dipilih
untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar
polutan tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi
tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.
Sehubungan dengan bioremediasi, Pemerintah Indonesia telah mempunyai payung
hukum yang mengatur standar baku kegiatan bioremediasi dalam mengatasi
permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta
bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) melalui Kementerian
Lingkungan Hidup, Kep Men LH No.128 tahun 2003, tentang tatacara dan
persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi
oleh minyak bumi secara biologis (bioremediasi) yang juga mencantumkan bahwa
bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal (Priadie 2012).
Pada dasarnya, pengolahan secara biologi dalam pengendalian pencemaran
air, termasuk upaya bioremediasi, dengan memanfaatkan bakteri bukan hal baru
namun telah memainkan peran sentral dalam pengolahan limbah konvensional
sejak tahun 1900-an (Mara, Duncan, and Horan 2003 dalam Priadie 2012). Saat
ini, bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang mengandung
senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida (Tortora
2010 dalam Priadie 2012), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat
pada perairan tergenang (Great Lakes Bio systems. Inc. Co 0rb-3.com dalam
Priadie 2012).
Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-
situ. Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar
ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang
volatile. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan
atau air yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan
khusus yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih
aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah
mikroba yang terurai secara alami (Budianto 2008 dalam Charlena 2010).
Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming
dan bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi ex-
situ yang dapat mempersingkat waktu untuk pembersih lahan yang terkontaminasi
dibandingkan dengan cara fisika, kimia, dan biologi. Teknik landfarming ini
membutuhkan penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukan-
tumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk dicampurkan dan diatur
kelembapannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk
meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996 dalam Charlena 2010).
Menurut Garcia et al (2010) dalam Charlena (2010), teknik landfarming
merupakan metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi
hidrokarbon, karena relatif lebih murah, dan berpotensi berhasil. Bioremediasi
dengan teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau
reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry).
Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk
fase cairan dan slurry, namun dapat mendegradasi limbah padat/tanah.
Menurut Banerji (1997) dalam Charlena (2010), fase bioslurry dapat memiliki
tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor.
Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang
terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain
penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai udara atau oksigen untuk
menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Pengadukan dilakukan
secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan
menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara
fase padat dan cair, kontrol lingkungan dapat berlangsung dengan baik, mudah
dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor, dan berpotensi
dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu.
Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi
bioremediasi yang terus berkembang hingga saat ini. Metode landfarming maupun
slurry bioreaktor dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak bumi
karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana polutan
(hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroba menjadi bahan yang tidak berbahaya
seperti CO2 dan H2O. Landfarming atau slurry bioreaktor memiliki keunggulan
dan kelemahan masing-masing. Untuk itu perlu dikaji metode yang lebih efektif
dalam menangani limbah minyak bumi. Seberapa efektif bioremediasi dalam
merombak hidrokarbon dari limbah minyak bumi pada fase slurry dan fase padat,
merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan.
Proses Fitoremediasi
b. Fitostabilitasi
Dalam proses stabilisasi, berbagai senyawa yang dihasilkan oleh tanaman
dapat mengimobilisasi kontaminan, sehingga diubah menjadi senyawa yang stabil.
Tanaman mencegah migrasi polutan, dengan mengurangi runoff, erosi permukaan,
dan aliran air bawah tanah.
c. Fitoakumulasi (fitoekstraksi)
Akar tanaman dapat menyerap kontaminan bersamaan dengan penyerapan
nutrient dan air. Massa Kontaminan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian
trubus dan daun tanaman. Metode ini digunakan terutama untuk menyerap limbah
yang mengandung logam berat.
Sebagai contoh aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
tanamannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 14 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
tanamannya
Aplikasi Media Polutan Jenis Tanaman
1. Fitovolatilisasi Tanah, air Herbisida (atrazine, Pohon
bawah tanah, alachlor); aromatik Phreatophyte
air lindi, dan (BTEX); alifatik (poplar, willow,
tempat berklor (TCE); cottonwood, dan
pengolahan air nutrien; limbah aspen); rumput
limbah amunisi (TNT dan (rye, bermuda,
RDX) sorghum, dan
fescue); legum
(clover, alfalfa, dan
cowpea)
2. Stimulasi Tanah, Organik (pestisida, Penghasil fenolik
mikroba sedimen dan aromatik, dan (mulberry, apel,
tempat polynuclear osage, jeruk);
pengolahan air aromatik/PAH) rumput (rye,
limbah fescue, Bermuda);
tanaman air untuk
sedimen
3. Fitostabilisasi Tanah Logam (Pb, Cd, Zn, Pohon
dan sedimen As, Cu, Cr, Se, U), Phreatophyte
organik hidrofobik dengan transpirasi
(PAH, PCB, DDT, tinggi (kontrol
dieldrin) hidrolis); rumput
pencegah erosi;
sistem perakaran
rapat untuk
menyerap
kontaminan.
4. Fitoekstraksi Tanah, rawa, Logam (Pb, Cd, Zn, Bunga matahari ;
dan sedimen As, Cu, Cr, Se, U) Indian Mustard;
dengan pemberian Rape seed; Barle,
EDTA untuk Pb dan Hops; Crucifera;
Selenium tanaman
Serpentine; Nettle,
dandelion
5. Degradasi Tanah, air Herbisida (atrazine, Pohon
bawah tanah, alachlor); aromatik Phreatophyte
air lindi, (BTEX); alifatik (poplar, willow,
tempat berklor (TCE); cottonwood,aspen);
pengolahan air nutrien; limbah rumput (rye,
limbah amunisi (TNT, RDX) bermuda, sorghum,
fescue); legum
(clover, alfalfa,
cowpea)
Sumber : Zynda 2007.
d. Rizofiltrasi (sistem hidroponik untuk pembersihan air)
Rizofiltrasi prinsipnya sama dengan fitoakumulasi, tetapi tanaman yang
digunakan untuk membersihkan ditumbuhkan dalam media cair (sistem
hidroponik). Sistem ini dapat digunakan untuk mengolah air bawah tanah secara
ex-situ. Air bawah tanah dipompa ke permukaan untuk diolah menggunakan
tanaman. Sistem hidroponik memerlukan media cari buatan yang dikondisikan
seperti dalam tanah, misalnya diberi campuran pasir dan mineral perlit, atau
vermikulit. Setelah tanaman jenuh dengan kontaminan, kemudian dipanen dan
diproses.
e. Fitovolatilisasi
Dalam proses ini, tanaman menyerap air yang mengandung kontaminan
organik melalui akar, diangkut ke bagian daun, dan mengeluarkan kontaminan
yang sudah didetoksifikasi ke udara melalui daun.
f. Fitodegradasi
Kontaminan organik diserap ke dalam tanaman. Dalam proses metabolisme,
tanaman dapat merombak kontaminan yang sudah bersifat toksik.
g. Pengendalian hidrolisis
Tanaman yang berbentuk pohon, secara tidak langsung dapat membersihkan
lingkungan, dengan cara mengendalikan pergerakan air bawah tanah. Pohon
merupakan pompa alami, saat akar yang berada pada lapisan air bawah tanah
menyerap air dalam jumlah besar. Pohon poplar merupakan salah satu contoh
pohon yang dapat menyerap 30 galon air per hari. Pohon Cottonwood dapat
menyerap lebih dari 350 galon per hari.
Mekanisme Proses
Mekanisme kerja fitoremediasi mencakup proses fitoekstraksi, rhizofiltasi,
fitodegradasi, fitostabilitasi dan fitovolatilisasi (Kelly 1999 dalam Moenir 2010).
Fitoekstraksi adalah penyerapan logam berat oleh akar tanaman dan
mengakumulasikan logam berat tersebut ke bagian-bagian tanaman seperti akar,
batang, dan daun. Rhizofiltasi adalah pemanfaaan kemampuan akar tanaman
untuk menyerap, mengendapkan, mengakumulasikan logam berat dari aliran
limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme logam berat di dalam jaringan tanaman
oleh enzim seperti dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilitasi adalah
kemampuan tanaman tanaman dalam mengekskresikan (mengeluarkan) suatu
senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi logam berat di daerah rizosfer
(perakaran), sedangkan Fitovolatilisasi terjadi ketika tanaman menyerap logam
berat dan melepaskannya ke udara lewat daun dan ada kalanya logam berat
mengalami degradasi terlebih dahulu sebelum dilepas lewat daun (Anonim 1999
dalam Moenir 2010).
Secara umum mekanisme penyerapan logam berat oleh tanaman
berlangsung secara aktif (active up take) dan penyerapan secara pasif (passive up
take).
1. Penyerapan logam berat secara aktif (active up take) oleh tanaman, meliputi
tiga proses yaitu:
a. Penyerapan logam berat oleh akar
b. Translokasi logam dari akar ke bagian-bagian tanaman yang lain
c. Lokalisasi/akumulasi logam berat tersebut pada bagian sel tertentu untuk
menjaga agar logam berat tidak menghambat metabolisme tanaman tersebut.
a. Faktor pH
Pada tanaman Thlaspi caerulescens, mobilisasi logam Zn dipacu oleh
terjadinya penurunan pH pada daerah perakaran sebesar 0.2-0.4 unit (MC.Grath
1999 dalam Moenir 2010).
Proses biosorpsi dapat berjalan lebih efektif pada pH tertentu dan kehadiran
ion-ion lainnya di media, dimana logam berat dapat diendapkan sebagai garam
yang tidak terlarut (Suhendrayatma 2001 dalam Onrizal 2005 dalam Moenir
2010).
Media Proses/Tanam
Tanah sebagai media tanam mempunyai kelemahan yaitu sifat fisiknya
cepat memadat karena sedikit bahan organik. Sifat ini berakibat terhadap
terbatasnya perkembangan akar sehingga bobot kering akar tanaman kecil
(Hendromono 1988 dalam Andhika 2003). Media tumbuh tanaman yang
diperdagangkan saat ini terdiri dari campuran bahan-bahan yang dapat
mendukung pertumbuhan tanaman misalnya sekam padi, serbuk gergaji, dan
gambut.
Pembuatan media campuran dilakukan untuk memperbaiki kondisi fisik dan
kimia pada daerah perakaran. Kondisi yang diharapkan dari media campuran
adalah menurunkan laju pemadatan, meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi,
kecukupan aerasi bagi perakaran, daya menahan air, dan KTK yang tinggi dalam
pembuatan media tumbuh, sifat fisik dan kimia harus diperhitungkan agar
tanaman tumbuh optimal. Sifat fisik dan kimia harus diperhitungkan agar tanaman
tumbuh optimal. Sifat fisik yang penting bagi tanaman adalah tekstur, struktur,
dan porositas, sedangkan sifat kimia yang penting adalah pH, daya hantar listrik
(DHL) dan kapasitas tukar kation (KTK). Sifat fisik berperan penting dalam
mempengaruhi infiltrasi, daya menahan air, dan pergerakan air serta aerasi media
tanam (Flegmann dan George 1975 dalam Andhika 2003).
Media tanam yang digunakan untuk pengaplikasian pengujian kompos
lumpur ini adalah tanaman yang tergolong dari hortikultura yang dapat digunakan
atau dikonsumsi masyarakat. Tanaman hortikultura yang dapat dimanfaatkan
daunnya seperti sawi,kangkung,atau bayam. Tanaman yang hortikultura yang
dapat dimanfaatkan buahnya seperti tomat dan cabai. Tanaman yang dapat
dimanfaatkan bagian akarnya seperti kentang, singkong, atau umbi-umbian. Hal
ini tidak lain untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan kandungan logam
terserap oleh tanaman tersebut, sehingga hasil indentifikasi ini dapat bermanfaat
selain untuk bercocok tanam juga bermanfaat untuk pemanfaatan lumpur secara
optimal.
Tanaman berikut merupakan bagian dari tanaman vegetatif (akar, batang,
dan daun). Hal ini diperuntukan untuk dapat mengetahui kemungkinan kandungan
logam yang terserap tanaman secara lebih cepat. Analisis kandungan logam pada
tanaman serta kandungan unsur hara pada tanah juga harus diteliti lebih lanjut,
guna mengetahui adanya kandungan logam.
Beberapa jenis tanaman mempunyai kemampuan menyerap dan
mengkonsentrasikan logam berat dalam biomassanya dalam kadar yang tinggi
tanpa membahayakan kehidupan tanaman tersebut dan tanaman itu disebut
Hyperaccumulator. Hyperaccumulator adalah tanaman yang mempunyai
kemampuan untuk menyerap dan kemudian mengkonsentrasikan logam didalam
biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi namun tidak mengganggu
kehidupannya. Menurut Baker (1999) dalam Eddy (2008), tanaman
hyperaccumulator dapat mengakumulasikan logam berat sampai 11% berat
kering, dan batas kadar logam yang terdapat dalam jaringan biomassa berbeda-
beda tergantung pada jenis tanamannya. Untuk logam Cd kadar tertinggi 0.01%
(100 mg/kg berat kering), logam Co, Cu, dan Pb kadar tertinggi adalah 0.1%
(1,000 mg/kg berat kering) dan untuk Zn dan Mn adalah 1% (10,000 mg/kg berat
kering).
Beberapa jenis tumbuhan mampu bekerja sebagai agen fitoremediasi, seperti
azolla, kiambang (Salvinia molesta), eceng gondok (Eichhornia crassipes),
kangkung air (Ipomea aquatic) serta beberapa jenis tumbuhan mangrove. Jenis-
jenis ini merupakan tumbuhan air yang banyak dijumpai di sungai, pantai, rawa
atau danau. Selain itu juga beberapa tumbuhan yang tumbuh di tanah juga mampu
berperan dalam fitoremediasi. Tumbuhan-tumbuhan ini memiliki kemampuan
yang disebut dengan hyperaccumulator, yaitu relatif tahan terhadap berbagai
macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam jaringan
dengan jumlah yang cukup besar. Untuk itulah maka tumbuhan-tumbuhan ini
banyak dipilih sebagai objek penelitian fitoremediasi untuk lingkungan tercemar
logam berat seperti Pb (Eddy 2008).
Mekanisme biologi dari hyperaccumulator unsur logam pada dasarnya
meliputi proses-proses:
a. Interaksi rizosferik.
Dalam hal ini tumbuhan hiperaccumulator memiliki kemampuan untuk
melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan fraksi tanah
yang tidak mobile sekalipun sehingga menjadikan penyerapan logam pada
hyperaccumulator melebihi tumbuhan normal (McGrath et al 1997 dalam
Hidayati dan Saefudin 2003).
c. Sistem translokasi
Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada hyperaccumulator lebih
efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio tajuk/akar
konsentrasi logam hyperaccumulator yang nilainya lebih dari satu (Gabbrielli et al
1991 dalam Hidayati dan Saefudin 2003).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk alat
bercocok tanam dalam pot seperti sendok sekop, pot, polybag, timbangan, alat
pengering (oven), dan peralatan laboratorium yang diperlukan untuk menganalisis
kandungan logam pada kompos dan tanaman.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumpur yang
dihasilkan oleh WTP industri air minum, pupuk kompos komersil, pupuk kompos
dari lumpur WTP, bibit tanaman cabe dan kangkung. Lumpur yang digunakan
berasal dari tiga lokasi. Lokasi pertama, lumpur berasal dari WTP PT. Krakatau
Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Lokasi kedua, lumpur berasal dari PDAM
Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Lokasi ketiga lumpur berasal dari PDAM Tirta
Kahuripan, Cibinong, Jawa Barat.
Metode Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga kali pengujian proses fitoremediasi dan
analisis kandungan logam berat sebelum dan sesudah pemanenan
a. Analisis kandungan media tanam
Sebelum kompos dan lumpur siap dipakai, terlebih dahulu diteliti pada
laboratorium kandungan logam berat yang ada. Kandungan yang ada pada
kompos yang digunakan memenuhi kebutuhan tanaman seperti unsur C/N, N, P,
K, dan lain-lain.
b. Persiapan Media
Bahan campuran yang telah siap digunakan untuk media tanam berupa tanah
dan kompos hasil penelitian. Kemudian bahan-bahan tersebut dicampur sesuai
perlakuan dan diaduk hingga merata, lalu dimasukkan dalam polybag berukuran
15 x 20 cm.
c. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan bibit yang telah disiap pakai. Dengan
pencampuran tanah serta kompos yang siap pakai maka bibit-bibit tersebut
ditanam pada masing-masing polybag yang telah tersedia. Tanaman yang tumbuh
kembang dengan baik dalam polybag, setelah 14 hari masa tanaman kemudian
dipindahkan ke dalam pot.
d. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyiraman, penyulaman,
penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penyiraman dilakukan
setiap hari atau sesuai kebutuhan.
e. Pengamatan
Peubah yang diamati meliputi :
1. Tinggi tanaman, diukur menggunakan alat ukur dari permukaan media sampai
titik tumbuh tanaman. Pengukuran dilakukan setiap minggu dari umur 1 MST
(Minggu Setelah Tanam ) hingga 8 MST pada tanaman contoh
2. Jumlah cabang pertanaman. Pengamatan jumlah cabang dilakukan seminggu
sekali dan dilakukan pada cabang yang berwarna hijau, kuat dan sehat.
Pembibitan Pembibitan
Pembibitan Kangkung dan Cabe Kangkung
Kangkung
Pemeliharaan Lumpur 2
Pemeliharaan Kangkung dan Cabe
Kangkung
Pemeliharaan
Perawatan Kangkung dan
Perawatan Gajah Mini
Pemanenan
Pemanenan Perawatan
Karakteristik Lumpur
Proses Pengomposan
Limbah lumpur sedimentasi dari WTP merupakan limbah padatan hasil
pengolahan air bersih yang mengandung logam-logam sisa koagulan seperti silika
dan alumina (tawas) yang digunakan saat proses koagulasi berlangsung.
Komposisi dasar lumpur salah satunya adalah mikroorganisme. Menurut Metcalf
dan Eddy (1991) dalam Wicaksono (2012), menyatakan bahwa komposisi dasar
sel yaitu 90% materi organik dan 10% material anorganik. Adanya kandungan
organik yang tinggi sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai kompos.
Proses pengomposan dimulai dengan melakukan pencampuran antara
lumpur, jerami, dan kotoran kandang pada suatu kotak berbahan balok dengan
dikondisikan terciptanya proses aerasi atau masuknya oksigen yang diperlukan
dalam proses aerob selama pengomposan berlangsung. Perbandingan jerami,
kotoran kambing, dan lumpur dengan perbandingan masing masing sebesar 1:1:1.
Pengomposan dilakukan dengan mencampur dan menumpuk ketiga bahan
tersebut ke dalam kotak kompos selama 60 hari. Setelah semua bahan tersebut
tercampur dan tertumpuk di dalam kotak tersebut, tumpukan bahan-bahan ini akan
mengalami proses dekomposisi secara aerob.
Mekanisme proses pengomposan secara umum berawal dari miroorganisme
yang mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan
organik ini akan dikonversi menjadi produk seperti CO2, H2O, sebagian humus
dan energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan dan dibebaskan
menjadi panas. Kondisi tersebut mengakibatkan tumpukan bahan kompos
melewati tiga tahapan yang berkaitan dengan suhu pengamatan, yaitu tahap
penghangatan (mesophilic), suhu puncak (thermofilic), dan pendinginan (cooling)
(Dalzell et al 1987 dalam Wicaksono 2012)
Tiga tahapan dalam proses pengomposan sangat penting dalam menjaga
mutu kompos yang akan dihasilkan. Tahapan mesofilik merupakan fase awal yang
kaya akan energi, melimpah, dan mudah terdegradasi oleh jamur dan bakteri yang
umumnya disebut dekomposer (Insam et al 2009 dalam Kurniasih 2012). Pada
awalnya bakteri mesofilik dan jamur mendegradasi senyawa yang mudah larut
dan terdegradasi, seperti monosakarida, pati, dan lipid. Bakteri ini dapat
memproduksi asam organik, dan pH menurun hingga 5-5.5. Suhu mulai
meningkat secara spontan sebagai panas yang dilepaskan dari reaksi degradasi
eksotermis. Degradasi protein mengarah pada pelepasan ammonia dan pH
meningkat drastis 8-9. Fase ini berlangsung selama beberapa jam dan beberapa
hari (Rudnik 2008 dalam Kurniasih 2012). Fase mesofilik berlangsung pada suhu
25-40°C.
Tahapan termofilik berlangsung pada suhu 40-65°C. Suhu tinggi
memberikan keuntungan kompetitif untuk mikroorganisme termofilik untuk
mengalahkan mikroba mesofilik. Organisme mesofilik tidak aktif pada suhu tinggi
dan bersamaan dengan substrat yang mudah terdegradasi. Dekomposisi terus
berlangsung dengan cepat dan berakselerasi mencapai suhu sekitar 62°C. Pada
suhu 60°C, lebih dari 40% padatan terdegradasi dalam minggu pertama dan
hampir semuanya oleh bakteri (Insam et al 2009 dalam Kurniasih 2012).
Tahapan terakhir merupakan tahap pendinginan. Ketika aktivitas organisme
termofilik berhenti karena kehabisan substrat dan sumber karbon yang mudah
terdegradasi dikonsumsi, suhu mulai menurun. Setelah mendingin, kompos
menjadi stabil. Bakteri mesofilik dan fungi muncul kembali, serta diikuti dengan
fase pematangan. Namun sebagian besar spesiesnya berbeda dengan spesies pada
fase mesofilik awal. Proses biologi sekarang menjadi lambat, tetapi kompos
menjadi lebih humus dan lebih matang. Durasi fase ini tergantung pada komposisi
material organik dan efisiensi proses yang dapat ditentukan dari konsumsi oksigen
(Rudnik 2008 dalam Kurniasih 2012).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain rasio
C/N, susunan bahan dan ukuran partikel, aerasi dan kelembapan, suhu, serta nilai
pH. Rasio C/N merupakan salah satu faktor penting karena dalam proses
pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan
karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel. Menurut Metcalf dan Eddy
(1991) dalam Andhika (2003), unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan
sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian
karbon (C) dan 1 bagian nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan
berat. Rasio C/N yang ideal adalah antara 25-35 sebagai perbandingan yang
paling ideal.
Unsur C/N dalam rasio tersebut dipandang sebagai biodegradable carbon.
Rasio C/N yang rendah atau kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan
emisi nitrogen sebagai amoniak. Rasio C/N yang tinggi atau kandungan unsur N
yang relatif kurang akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih
lambat dan nitrogen menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor).
Tidak ada unsur makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor
penghambat pada proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
Menurut Indriani (1999) dalam (Andhika 2003), kompos mempunyai sifat
yang menguntungkan antara lain :
a. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan.
b. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai.
c. Menambah daya ikat air pada tanah.
d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah.
e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara.
f. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit.
g. Membantu proses pelapukan bahan mineral.
h. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba.
i. Menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan.
Keseluruhan reaksi :
Aktifitas mikroorganisme
AktifitasAktifitas
mikroorganisme
mikroorganisme
Bahan organik CO2 + H2O nutrisi + humus + energi
Proses anaerobik adalah proses yang tidak memerlukan oksigen dan dapat
dilakukan dalam jangka waktu yang relatif cepat. Menurut CPIS (1992) dalam
Andhika (2003), proses tersebut dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah
tumpukan. Proses anaerobik terjadi pada bagian tumpukan yang tidak berongga
sementara proses aerobik aktif di bagian tumpukan yang memiliki oksigen yang
cukup.
Kekurangan proses anaerobik adalah timbulnya bau dari kompos karena
terbentuknya senyawa indol, skatol, merkaptan dan H2S, melalui reaksi sebagai
berikut :
Bakteri penghasil asam
(CH2O)x xCH3COOH
methamonus
xCH3COOH CH4 + CO2
N-organik NH3
cahaya
2H2 + xCO2 (CH2O)x + S + H2O
2. Suhu proses
Berdasarkan perbedaan suhu proses, pengomposan diklasifikasikan menjadi
proses mesofilik dan termofilik. Pengomposan mesofilik dilakukan pada suhu 20-
30°C, sedangkan pengomposan termofilik dilakukan dengan menggunakan
kisaran suhu antara 45-65°C (LPPM-IPB 1994 dalam Andhika 2003).
3. Cara pembuatan
Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya, diperlihatkan
pada Tabel 17.
4. Kelangsungan proses
Berdasarkan kelangsungan proses, pengomposan dibedakan menjadi batch
dan berkelanjutan. Proses batch dilakukan dengan cara menumpuk bahan dan
dibiarkan menjadi kompos, sedangkan proses berkelanjutan dilakukan dengan
pemberian bahan secara terus-menerus untuk dikomposkan. Proses berkelanjutan
lebih rumit dan memerlukan teknologi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
proses batch (LPPM-IPB 1994 dalam Andhika 2003). Pada penelitian ini, kompos
yang digunakan menerapkan proses batch.
Pada kompos WTP yang digunakan pada penelitian ini, menggunakan
pengomposan WTP dengan cara sistem terbuka static pile. Pipa pada tumpukan
kompos ini berfungsi untuk mengalirkan udara. Pengomposan WTP kompos 1
menggunakan kotak yang berbahan hebel dengan dimensi 150cm x 150cm x 70cm
(panjang x lebar x tinggi). Hebel yang digunakan berukuran 66.25cm x 7.5cm x
7cm (panjang x lebar x tinggi). Pengomposan WTP kompos 2 dan 3 menggunakan
dimensi 60cm x 20 x 7.5cm (panjang x lebar x tinggi).
Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum
strategi untuk mempercepat proses pengomposan dengan memanipulasi kondisi
pengomposan dan menggunakan aktivator pengomposan. Memanipulasi kondisi
pengomposan dengan cara ukuran bahan dicacah sehingga memiliki ukuran yang
cukup kecil, bahan yang terlalu kering diberi tambahan air agar lembap, dan
bahan yang terlalu basah untuk dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Hal ini
bertujuan mendapatkan rasio C/N yang optimal. Menggunakan aktivator
pengomposan dengan cara memanfaatkan organisme seperti cacing tanah, bakteri,
cendawan, dan lain-lain.
Beberapa kondisi yang optimal untuk dapat mempercepat proses
pengomposan padat terlihat dalam Tabel 7.
Karakteristik Pengomposan
Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos
dari Sampah Organik Domestik digunakan sebagai acuan dasar penelitian ini.
Kompos komersil yang ada dipasaran diasumsikan menjadi kompos dengan syarat
SNI. Kompos komersil akan menjadi perbandingan bagi kompos WTP lainnya.
Tanaman akan dianalisis serapan logam berat dari kompos WTP. Berikut
kandungan kompos WTP dibandingkan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi
Kompos dari Sampah Organik Domestik dapat dilihat pada Tabel 8.
Gambar 7. Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil (kiri)
dan kompos 2 (kanan)
Tabel 22 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe
No Contoh uji Logam berat tanaman Logam berat kompos sebelum
setelah panen (mg/kg) panen (%)
Al Mn Fe Pb Al Mn Fe Pb
1 Kangkung 0.53 3.9 0.75 1.28 6.71 0.16 1.57 ttd
2-1
2 Kangkung 0.56 3.87 0.89 1,31 6.71 0.16 1.57 ttd
2-2
3 Kangkung 0.56 3.09 2.31 ttd < 2.2 < 0.1 < 2 < 0.015
komersil 1
4 Kangkung 0.59 3.21 2.52 ttd < 2.2 < 0.1 < 2 < 0.015
komersil 2
5 Kangkung 0.63 4.63 2.42 ttd 4.59 0.05 1.26 ttd
1-1
6 Kangkung 0.58 4.52 2.34 ttd 4.59 0.05 1.26 ttd
1-2
7 CABE 2-1 0.04 0.59 0.5 1.17 6,71 0.16 1.57 ttd
8 CABE 2-2 0.06 0.53 0.61 1.13 6,71 0.16 1.57 ttd
Keterangan ttd : tidak terdeteksi.
Nilai Mn pada Tabel 11, memiliki nilai sebesar 0.16 mg/kg dibandingkan
nilai Mn pada saat dalam bentuk kompos 2 (Tabel 8) memiliki nilai sebesar
0.16%. Nilai Mn pada kompos 2 melebih ambang batas Mn pada kompos SNI 19-
7030-2004 yaitu dengan nilai sebesar 0.1%, sehingga perlu adanya penambahan
zat fosfor dan kapur menurunkan nilai Mn yang melebihi baku mutu pada kompos
WTP tersebut. Hal ini juga dapat berdampak pada pertumbuhan yang lambat,
adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun
mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam), dan
disertai pertumbuhan yang lambat. Hal ini terbukti pada Gambar 5, tanaman
mengalami pertumbuhan yang lambat diakibatkan nilai Mn yang melebihi baku
mutu kompos SNI 19-7030-2004.
Berdasarkan kandungan logam berat pada Tabel 11, terlihat beberapa nilai
logam Al, Mn, Fe, dan Pb tidak semua diserap tanaman. Pada Tabel 11 diatas,
dilakukan pengulangan pengujian laboratorium sebanyak dua kali. Kangkung 2-1
pada Tabel 11, memiliki arti tanaman kangkung dengan menggunakan kompos 2
(PDAM Bogor) dengan ulangan pertama pada uji laboratorium. Logam berat
tersebut telah mengalami proses degrasi pada proses media tanam, sehingga kadar
logam berat tersebut sebagian diserap pada tanaman dan didistribusikan ke
seluruh bagian tanaman, seperti akar, batang, maupun daun. Namun dibandingkan
dari batas logam berat pada makanan kategori sayuran menurut peraturan SNI
7387 tahun 2009, nilai Pb tidak boleh melebihi < 0.5 mg/kg. Pada pada Tabel 11
dengan Pb paling besar 1.31 mg/kg. Hal ini menunjukkan kadar tersebut masih
tinggi dan tidak layak untuk dikonsumsi. Unsur Mn pada kompos 2 pada uji kedua
ini, memiliki nilai 0.16% (dapat dilihat pada Tabel 8), dibandingkan nilai
maksimum Mn menurut SNI 19-7030-2004 memiliki nilai sebesar 0.1%.
A B C
Unsur Mn kompos 2 pada Tabel 11 melebihi batas mutu kompos SNI 19-
7030-2004 dan melebihi batas logam berat pada makanan kategori sayuran
menurut peraturan SNI 7387 tahun 2009. Penanggulangan kelebihan unsur Mn
dapat diatasi dengan penambahan zat kapur atau kapur. Penambahan zat kapur
atau fosfor dapat dilakukan pada saat proses pengomposan atau pada saat proses
pengaplikasian kompos WTP pada media tanam.
Tabel 23. Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah
No Contoh uji logam berat setelah panen
(mg/kg)
Al Cd Fe Pb
1 Kangkung lumpur 2-1 0.01 ttd 473 0.11
2 Kangkung lumpur 2-2 0.02 ttd 399 0.09
3 Rumput gajah lumpur 2-1 ttd ttd 1782 0.25
4 Rumput gajah lumpur 2-2 ttd ttd 1526 0.27
5 Lumpur kangkung 2-1 0.34 0.001 2318 1.15
6 Lumpur kangkung 2-2 0.36 0.001 2152 1.2
7 Lumpur gajah mini 2-1 0.13 0.001 2251 0.97
8 Lumpur gajah mini 2-2 0.11 0.001 2194 0.87
Keterangan ttd: tidak terdeteksi
Berdasarkan analisis ketiga pada Tabel 12, tanaman kangkung dan rumput
gajah mini hanya menggunakan lumpur WTP 2 sebagai media tanam. Uji ketiga
dilakukan dengan proses fitoremediasi. Kandungan unsur Pb tertinggi pada
kangkung memiliki nilai sebesar 0.11 mg/kg dibandingkan dengan rumput gajah
mini memiliki nilai Pb tertinggi sebesar 0.27 mg/kg. Unsur Pb pada uji ketiga
memiliki nilai lebih rendah dibandingkan SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Berat dalam pangan yang memiliki nilai < 0.5
mg/kg. Nilai Pb pada uji ketiga lebih rendah dibandingkan pada uji kedua dan
ketiga dengan menggunakan Lumpur yang telah dilakukan proses pengomposan.
Nilai Pb dalam bentuk lumpur sebelum pengujian ketiga memiliki nilai sebesar
1.52 ppm atau setara dengan 1.52 mg/kg (dapat dilihat pada Tabel 4), sedangkan
nilai Pb kompos 2 yang digunakan pada uji pertama dan kedua memiliki nilai
tidak terdeteksi (dapat dilihat pada Tabel 8) . Nilai Pb pada kompos 2 tidak
terdeteksi memiliki arti bahwa nilai tersebut melebih batas deteksi Pb. Nilai Pb
mengalami peningkatan setelah melakukan proses pengomposan. Meningkatnya
unsur Pb dipengaruhi faktor kandungan bahan pengomposan telah terkontaminasi
oleh unsur Pb seperti jerami atau kotoran kambing, sehingga melebih batas SNI
19-7030-2004.
Kandungan unsur Pb tertinggi pada lumpur kangkung memiliki nilai sebesar
1.2 mg/kg, dibandingkan dengan lumpur gajah mini Pb tertinggi memiliki nilai
sebesar 0.97 mg/kg. Pada Tabel 12, dilakukan pengulangan pengujian
laboratorium sebanyak dua kali. Kangkung lumpur 2-1 memiliki arti tanaman
kangkungan dengan menggunakan lumpur 2 (PDAM Bogor) dengan uji
laboratorium ulangan pertama. Logam berat Pb pada lumpur awal pengujian
memiliki nilai 1.52 mg/kg (dapat dilihat pada Tabel 4). Hal ini menunjukkan pada
uji ketiga dengan cara fitoremediasi dapat menurunkan unsur logam berat Pb.
Proses fitoremediasi pada uji ketiga dengan nilai terbesar Pb pada lumpur
1.52 mg/kg, serta kandungan logam berat dengan nilai terbesar pada kangkung 1.2
mg/kg memiliki daya serap logam berat pada tanaman ± 0.19 mg/kg. Penyerapan
logam berat secara pasif (passive up take) atau biosorpsi dapat terjadi di dalam
metobolisme tumbuhan. Logam berat mengikat dinding sel dan proses pengikatan
salah satunya dengan cara pertukaran ion monovalent dan divalent pada dinding
sel diganti dengan ion logam berat yang ada pada kompos WTP (Suhendrayatma
2001 dalam Onrizal 2005 dalam Moenir 2010).
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 12, tanaman kangkung memiliki
nilai logam Pb lebih rendah dibandingkan dengan rumput gajah mini. Namun
pada nilai logam Pb pada lumpur kangkung lebih besar dibandingkan dengan
lumpur kangkung gajah mini. Hal ini menujukkan bahwa rumput gajah mini dapat
menyerap logam berat lebih besar dibandingkan tanaman kangkung. Terbukti dari
sisa logam Pb pada lumpur gajah mini memiliki nilai lebih rendah daripada sisa
logam Pb pada lumpur kangkung. Hal ini menujukkan tanaman
Hyperaccumulator dapat menyerap logam berat lebih besar daripada tanaman.
Pada uji ketiga menggunakan rumput gajah mini sebagai salah satu tanaman
hyperaccumulator menunjukkan penyerapan logam oleh akar lebih cepat
dibandingkan dengan tanaman kangkung, sistem translokasi unsur dari akar ke
tajuk lebih efisien, dan kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada lumpur
melebih tanaman kangkung (Lasat 1996 dalam Hidayati dan Saefudin 2003). Hal
ini terbukti dari adanya konsentrasi logam Pb yang tinggi pada rumput gajah mini.
Menurut Eddy (2008), kangkung air (Ipomea aquatic) merupakan salah satu
tanaman hyperaccumulator. Tanaman ini memiliki kemampuan bertahan terhadap
berbagai macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam
jaringan dengan jumlah yang cukup besar. Hal ini dapat terlihat pada uji kedua
dan ketiga, bahwa tanaman kangkung dapat tumbuh dengan subur dengan media
tanam berupa kompos maupun lumpur WTP. Kompos dan Lumpur WTP tersebut
masih mengandung logam berat yang melebih ambang batas SNI.
Tanaman hyperaccumulator mempunyai kemampuan menyerap, kemudian
mengkonsentrasikan logam berat pada kadar yang luar biasa tinggi namun tidak
mengganggu kehidupannya. Menurut Baker (1999) dalam Eddy (2008), tanaman
hyperaccumulator dapat mengakumulasi logam berat sampai 11% berat kering,
dan batas kadar logam yang terdapat dalam jaringan biomassa berbeda-beda
tergantung pada jenis tanamannya. Untuk logam Pb kadar tertinggi adalah 0.1%
(1,000 mg/kg berat kering). Pada penelitian ini terdapat beberapa satuan yang
digunakan untuk menghitung kadar logam berat seperti persen (%), mg/kg, dan
ppm. Pada dasarnya hasil analisa suatu uji dinyatakan sebagai mg/kg atau part per
million (ppm), dengan anggapan bahwa 1 liter air setara dengan 1 kilogram (kg),
maka ppm dapat dinyatakan sebagai berikut :
1 ppm = 1 mg/kg
= 1 mg/lt = 1 gr/ton = 0.0001%
Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan
menggunakan lumpur 2
Saran
Uji kelayakan lumpur WTP pada media tanam perlu dilakukan analisis
kandungan lumpur. Hal ini perlu dilakukan karena lumpur yang dihasilkan oleh
tiap industri memiliki kandungan logam berat yang berbeda-beda. Kandungan
logam berat pada lumpur WTP yang memiliki nilai tinggi membutuhkan jenis
tanaman pendegradasi yang lebih peka.
Pada pengujian kelayakan lumpur WTP diharapkan tidak menggunakan
campuran tanah. Apabila terdapat campuran tanah, maka akan membantu
penyerapan logam berat dan unsur hara pada kompos WTP. Hal ini akan
berpengaruh terhadap kadar penyerapan logam berat pada tanaman. Penelitian
selanjutnya diharapkan dapat menggunakan beberapa jenis tanaman yang berbeda,
serta menggunakan rancangan percobaan pada setiap pengulangannya. Pada
pengembangan penelitian selanjutnya diharapkan pula melakukan uji kandungan
logam berat pada kompos WTP dan tanaman setelah masa panen. Pengembangan
penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang lebih jauh dapat dilakukan
dengan pengukuran penyerapan logam berat pada setiap fase pertumbuhan
tanaman seperti pada saat masa pembibitan tanaman, fase tanaman masih berusia
setengah masa panen, pada saat tanaman telah memasuki masa panen, dan pada
saat tanaman memasuki batas jenuh pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Andhika NR. 2003. Pengomposan limbah Sludge Industri Kertas dengan Metode
Cina dan Pemanfaatannya sebagai Komponen Media Tanam Kacang
Panjang. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Dewi KSP, Saeni MS. 2010. Tingkat Pencemaran Logam Berat (Hg, Pb, dan Cd)
di dalam Sayuran, Air Minum dan Rambut di Denpasar, Gianyar dan
Tabanan. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Institut Pertanian Bogor.
Hakim L, Sismanto, dan Siti F. 2005. Remediasi tanah terkontaminasi logam berat
krom (Cr) dengan teknik remediasi. Jurnal Logika 2 (2) : 18-30.
Nurlaela. 2007. Distribusi dan Akumulasi Aluminium pada Akar Padi dalam
Kondisi Cekaman Aluminium pada Larutan Hara. [skripsi]. Bogor (ID):
Jurusan Biologi, Institut Pertanian Bogor.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Standar Nasional Indonesia No. 19-
7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik.
Badan Standarisasi Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Standar Nasional Indonesia 7387 : 2009
tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. Badan
Standarisasi Nasional.
Taryana AT. 1995. Akumulasi Logam Berat (Cu, Mn, dan Zn) pada Jenis
Rhizophora stylosa Griff, di Hutan Tanaman Mangrove Cilacap BKPH
Rawa Timur, KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah.
Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Wicaksono AB. 2012. Pemanfaatan Limbah Lumpur Water Treatment Plant PT.
Krakatau Tirta Industri sebagai Bahan Baku Kompos. [skripsi]. Bogor (ID):
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Yeni WP. 2001. Pemanfaatan Sludge Limbah Pengolahan Air Minum (SPAM)
sebagai Media Tanaman. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Kimia anorganik
Kimia organik
Pengalengan
Kendaraan
Minuman
Minyak
Dagang
Tekstil
Plastik
Harian
Kertas
Pupuk
Baja
Besi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1
0 1 2 3 4
BOD5 x x x x x x x x x x x
COD x x x x x x x x x x x
TOC x x x x x
TOD x
pH x x x x x x x x x x x x
Total solids x x
Suspended solids x x x x x x x x x x x x x x
Settleable solids x x
Total dissolved x x x x x x x x x x
solids
Volatile suspended x
solids
Minyak dan lemak x x x x x x x x x x x x
Logam berat x x x x
Kromium x x x x x x
Timbal (copper) x
Nikel x
Besi x x x x x
Zeng x x x x x
Arsen x
Air raksa x x
Timbal x x x
Tin x x
Kadmium x
Kalsium x
Flourida x x
Sianida x x x x x x
Klorida x x x x x x x
Sulfat x x x x x x
Amoniak x x x x x x x x
Sodium x
Silikat x
Sulfit x
Nitrat x x x x x x x
Fosfor x x x x x x x x x
Urea Anorganik x
Warna x x x x x x x
Jumlah coli x x x
Coli faeces x x
Bahan beracun x x x x x x x
Temperatur x x x x x x x x
Kekeruhan x x x x x
Buih x
Bau x
Fenol x x x x x x x x
Klorinated benezoids x x
dan Polinuklear
aromaties
Mercaptan/sulfida x x x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rao-rao, Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 29
November 1990. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari bapak
Yulhendri dan ibu Helniwati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di
SD Negeri I Bangselok pada tahun 2002, sekolah melanjutkan pendidikan tingkat
pertama di SLTP Negeri I Sumenep, Madura pada tahun 2005, sekolah menengah
atas di SMA Negeri I Sumenep, Madura pada tahun 2008. Pada tahun yang sama,
penulis diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Rokan Hilir
dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen teknik Sipil dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai organisasi. Pada
Tahun 2010 penulis menjadi Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Kelurga
Mahasiswa IPB serta pada tahun 2011 menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Teknik Sipil dan Lingkungan IPB.
D