You are on page 1of 23

PRINSIP PENDIDIKAN KESEJAGATAN (UNESCO) TERKAIT SDGs

DAN ESD SERTA LITERASI SAINS UNTUK SEMUA DALAM


APLIKASINYA DI INDONESIA

MAKALAH

disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Problematika Pendidikan Biologi


yang dibina oleh Bapak Dr. Ibrohim, M.Si disajikan pada hari Senin, 4 Februari
2019

Disusun oleh
Kelmpok 1 Kelas B
Irani Lailatul Badria 180341663067
Miftahul Hasanah 180341863028
Vilda Rima Aulia Zahroh 180341863043

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FEBRUARI 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan
dan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan makalah yang
berjudul “Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) terkait SDGs dan ESD
Serta Literasi Sains Untuk Semua Dalam Aplikasinya di Indonesia” dengan tujuan
untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Problematika Pendidikan Biologi
pada Program Studi Pascasarjana Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang.
Adapun kajian dalam makalah ini adalah untuk menganalisis keterkaitan
antara pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dengan prinsip pendidikan
menurut UNESCO, SDGs dan ESD serta literasi sains. Hal ini merupakan bagian
terpenting yang harus diketahui sebagai calon Dosen/ Guru.
Selanjutnya penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ibrohim,
M.Si, atas arahan dan masukannya selama presentasi makalah ini berlangsung.
Penulis menyadari bahwa resensi yang telah penulis buat ini tidak lepas dari
kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dengan segala kerendahan hati penulis
mengharap kritik, saran, dan masukan dari semua pihak demi perbaikan.
Semoga apa yang penulis sajikan dapat bermanfaat guna menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan.
Malang, Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 5
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 23
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 24

ii
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan roh pembangun bangsa karena menjadi dasar
penentuan mutu suatu bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pribadi (2015)
yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan pondasi utama pembangunan
dan pertumbuhan suatu bangsa, karena memiliki peran penting dalam
meningkatkan sumber daya manusia. Akan tetapi, selama ini Indonesia masih
dalam proses peningkatan mutu Pendidikan. Jika dibandingkan dengan negara
lain, Indonesia masih jauh tertinggal. Hal ini terlihat jelas dari hasil PISA
(Programme for International Student Assessment) yang direlease tahun 2015
dimana Indonesia masih berada pada peringkat 64, namun jika dibandingkan
dengan tahun 2012 Indonesia naik 7 peringkat yaitu dari peringkat ke-71
(Kemdikbud, 2016). Oleh karena itu, Indonesia terus berupaya meningkatkan
mutu pendidikan.
Indonesia berkomitmen mengikuti agenda pembangunan global pada
kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs), yang di dalamnya terdapat 17 target dan salah satunya adalah
Pendidikan Berkualitas (Hamardi, 2016). Poin tersebut berbunyi “Menjamin
kualitas pendidikan inklusif dan adil dan mempromosikan kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua (Antona, 2016). Kecakapan hidup sebagai inti dari
kompetensi dan hasil pendidikan adalah kecakapan yang dimiliki seseorang
untuk berani menghadapi masalah hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa
merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta
menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Permendiknas,
2006).
3

Kecakapan hidup terdiri dari kecakapan hidup yang bersifat umum


(General live skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific live
skills). Menurut Mahjuro (2007), kecakapan hidup yang bersifat umum terdiri
dari kecakapan personal dan sosial, sedangkan kecakapan hidup yang bersifat
spesifik terdiri dari kecakapan akademik dan vokasional. Kecakapan hidup
tersebut sesuai dengan pilar pendidikan yang direkomendasikan oleh
UNESCO. Melalui jalur pendidikan UNESCO menetapkan prinsip pendidikan
abad 21 adalah life long education-life long learning (Simanjuntak, 2008).
Hasil riset tiga tahunan yang dilakukan PISA mengungkapkan adanya
variasi perolehan prestasi literasi sains berdasarkan tiga aspek. Pertama, aspek
peranan sekolah terbukti berpengaruh terhadap capaian nilai sains siswa,
tercatat para siswa yang mendapat nilai tinggi untuk literasi sains karena
adanya peranan kepala sekolah, yaitu menunaikan tanggungjawabnya atas tata
kelola sekolah yang baik, murid-muridnya tercatat mencapai nilai yang lebih
tinggi dalam hal sains. Jika proporsi kepala sekolah yang memonitor prestasi
murid-murid dan melaporkannya secara terbuka lebih tinggi, maka angka
pencapaian PISA mereka terbukti lebih tinggi. Di sisi lain, proporsi kepala
sekolah yang mengeluhkan kekurangan materi pelajaran lebih tinggi dari
negara-negara lain, yaitu sebesar 33% di Indonesia, 17% di Thailand dan 6% di
negara-negara OECD lainnya (Kemdikbud, 2016).
Pendidikan sebagai kunci utama dalam pembangunan suatu bangsa
hendaknya menjadi fokus utama dalam rancangan pembangunan suatu bangsa.
Penting diketahui oleh seluruh komponen masyarakat demi terciptanya
sinergisme untuk mencapai tujuan internasional yaitu menuju era millenium.
Oleh karena itu disusunlah makalah ini dengan tujuan saling berbagi informasi
mengenai prinsip pendidikan berdasarkan UNESCO, SDGs dan ESD serta
Literasi sains dalam Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini ialah.
1. Bagaimana prinsip pendidikan di Indonesia berdasarkan UNESCO?
2. Bagaimana prinsip pendidikan di Indonesia berdasarkan SDG's dan kaitannya
dengan ESD?
4

3. Bagaimana prinsip literasi sains untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia?

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini ialah.
1. Untuk mengetahui prinsip pendidikan di Indonesia berdasarkan UNESCO
2. Untuk mengetahui prinsip pendidikan di Indonesia berdasarkan SDG's dan
kaitannya dengan ESD.
3. Untuk mengetahui prinsip literasi sains untuk meningkatkan pendidikan di
Indonesia.

D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai referensi bagi akademisi untuk mengembangkan pendidikan di
Indonesia
2. Sebagai sumber bacaan dan kajian bagi mahasiswa mengenai problematika
pendidikan di Indonesia.
5

BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO)


UNESCO sebagai salah satu badan internasional yang berada di bawah
PBB merumuskan pendidikan abad ke 21 sebagai bentuk implementasi SDGs.
1. Life long education-life long learning (belajar sepanjang hayat).
Hukum yang mengatur kebijakan pendidikan di Indonesia adalah
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal-pasal yang menjelaskan secara langsung istilah pendidikan
sepanjang hayat tercantum dalam Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan, Pasal 4, Ayat (3) yang menyebutkan bahwa ”Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”. Bagian lain yang
membahas tentang ini adalah Bab IV, Bagian Kesatu tentang Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Pasal 5, Ayat (5) yang menjelaskan bahwa
”Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat”. Jadi, pendidikan sepanjang hayat adalah
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat.
Program belajar sepanjang hayat lebih sering diposisikan dalam
kerangka berfikir jalur pendidikan nonformal sesuai ruang lingkup dan
pembatasan penelitian.Pendidikan nonformal merupakan salah satu jalur
pendidikan, disamping pendidikan formal dan informal dalam kerangka
sistem pendidikan nasional (Pasal 13, Ayat 1).Secara pedagogis
pendidikan sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang belajar terus
menerus dan berkesinambungan (continuing-learning) dari buaian sampai
akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembanganyang terjadi dalam diri
individu. Dalam UNESCO (2004), dijelaskan bahwa pendidikan sepanjang
hayat dikembangkan atas prinsip-prinsip pendidikan sebagai berikut.
1) Pendidikan hanya berakhir apabila manusia telah meninggalkan dunia
fana ini.
6

2) Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi


anggota keluarga untuk merencanakan dan melakukan kegiatan
belajar secara terorganisasi dan sistimatis.
3) Kegiatan belajar ditujukan untuk memperoleh, memperbaharui,
dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampila yang
telah dimiliki dan yang mau atau tidak mau, harus dimiliki anggota
keluarga berhubung dengan perubahan yang terus menerus
sepanjang kehidupan.
4) Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi
kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap
insan yang melakukan kegiatan belajar.
5) Perolehan pendidikan merupakan parsyaratan bagi perkembangan
kehidupan manusia, baik untuk memotivasi diri maupun untuk
meningkatkan kemampannya, agar manusia selalu melakukakan
kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya
2. Lima Pilar Pendidikan
1) Learning to know (belajar mengetahui);
Learning to know adalah suatu proses pembelajaran yang
memungkinkanpeserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan
dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang
memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikapingin tahu dan
selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk selalu mencari jawab atas
masalah yang dihadapi secara ilmiah. Sasaran terakhir dari penerapan
pilar “learning to know” adalah lahirnya suatu generasi yang mampu
mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK sebagai
bahan dari kebudayaannya.
2) Learning to do (belajar berbuat);
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda
yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan IPTEK. Proses
pembelajaran yang sifatnya “learning to do” memerlukan suasana atau
situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi
7

masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara


teori telah dipelajari (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
3) Learning to live together (belajar hidup bersama);
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh
Komisi diatas menuntut pendidikan ttidak hanya membekali generasi muda
untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan
masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain
yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka.
Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan
setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran
bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut
terdapat persamaan. Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan
persamaan atar sesame manusia dan terdapat saling ketergantungan satu
sama lain, tidak dapat ditempuh dengan pendidikan pendekatan tradisional
melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif
lama (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
4) Learning to be (belajar menjadi seseorang yang mempunyai jati diri)
Tiga pilar yaitu “learning to know”, “learning to do”, dan “learning to
livetogether” ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu
mencari informasiatau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu
melaksanakan tugas dan memecahkan masalah secara cerdas dan mampu
bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa
percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil akhirnya adalah
manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahsa UU No.2 Th. 1989
adalah manusia yang berkripadian mantap dan mandiri. Learning to be
mengarahkan seseorang yang memiliki “Emotional Intellegance” yaitu
manusia yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang
mengenal dirinya, yang dapat menegndalikan dirinya, yang konsisten
dan yang memiliki rasa empati (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-
UPI, 2007).
8

5) Learning To Transform One Self And Society.


Anak-anak dapat membantu membangun masa depan yang lebih baik
bagi semua orang, tetapi kita harus menghormati hak-hak mereka untuk
mengekspresikan diri dan kita perlu mendengarkan mereka. Suara anak
kecil harus didengar. Ketika mereka tumbuh dan berkembang, anak-anak
harus didorong dan didukung untuk terlibat dalam keputusan yang
memengaruhi mereka. Kita perlu membantu mereka memanfaatkan
energi dan kreativitas mereka sebaik-baiknya dan untuk mendapatkan
pengetahuan serta belajar keterampilan untuk menghadapi tuntutan
hidup. Yang dibutuhkan anak-anak adalah kemampuan untuk mengatasi
lingkungan yang cepat berubah, dan mencapai pemahaman orang
lain(Combes, 2001).
Anak-anak kecil belajar tentang dunia dengan secara aktif
mengeksplorasi, bereksperimen,menemukan dan menciptakan. Mereka
membutuhkan kemungkinan untuk membuat pilihan dan keputusan
sendiri, mereka perlu diberdayakan dan merasa menjadi bagian dari
masyarakat yang demokratis. Demokrasi dalam pendidikan
menghasilkan rasa pemberdayaan oleh anak-anak. Itukebebasan untuk
membuat pilihan yang bermakna mengenai kehidupan sehari-hari dan
masa depan mereka membantu meningkatkan harga diri anak-anak
dengan secara alami menumbuhkan perasaan kompetensi dan
kemandirian (Erwin, 1994). Selain belajar tentang diri mereka sendiri
melalui pendekatan demokratis, anak-anak belajar langsung tentang
dinamika sosial dan kelompok. Anak usia dini perlu dipandang sebagai
kebutuhan yang benar dan nyata untuk masa depan generasi mendatang
yang layak. Memang, banyak harapan dunia untuk mengatasi konflik,
degradasi lingkungan, buta huruf, kemiskinan, pengucilan dan
ketidaksetaraan bisa tetap sia-sia kecuali kita berinvestasi secara
memadai dalam program-program untuk pengembangan awal anak-anak,
dalam intervensi holistik untuk semua anak dan keluarga, dan secara
aktif melibatkan dan mendorong anak-anak kecil untuk berpartisipasi
(Combes, 2001).
9

Pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan untuk mengubah sikap dan gaya


hidup
 bekerja ke arah netral, masyarakat non-diskriminatif jender
 mengembangkan kemampuan dan kemauan untuk mengintegrasikan gaya
hidup berkelanjutan untuk diri kita sendiri dan orang lain
 mempromosikan perilaku dan praktek yang meminimalkan jejak ekologi
kita pada dunia di sekitar kita
 menghormati bumi dan kehidupan dalam segala keragamannya.
 bertindak untuk mencapai solidaritas social
 mengintegrasikan nilai-nilai yang melekat dalam pembangunan
berkelanjutan ke dalam semua aspek pembelajaran
 mendorong perubahan perilaku untuk menciptakan masyarakat yang lebih
layak dan lebih adil bagi semua orang
 mengajarkan orang untuk merefleksikan secara kritis masyarakat mereka
sendiri
 memberdayakan masyarakat untuk memikul tanggung jawab untuk
menciptakan dan menikmati masa depan yang berkelanjutan
Lima pilar belajar yang disarankan oleh Komisi Internasional
untuk Pendidikan Abad ke-21 UNESCO untuk menjadi proses pendidikan
dapat mengembangkan karakter dan kecerdasan mengahadapi abad ke-21.
Agar penyelenggaraan pendidikan nasional mampu mewujudkan
terjadinya proses pendidikan yang menerapkan empat pilar berlajar tesebut
perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang meliputi:
1) Kurikulum;
2) Evaluasi dan promosi;
3) Pendidikan dan pembinaan guru;
4) Pembiayaan pendidikan
5) Model pengelolaan pendidikan secara nasional yang dirancang
secara sistematis dan dilaksanakan secara sinergik sehingga dapat
memungkinkan terjadinya proses pembelajaran sebagai proses
10

pembudayaan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,


2007).
Integrasi SDGs dalam konsep pendidikan UNESCO dikenal
dengan ESD (Education for Sustainable Development 2005-2014)
memiliki ruang lingkup sebagai berikut.
1) Menyangkut semua tingkat pendidikan dan semua konteks sosial
(keluarga, sekolah, tempat kerja, masyarakat)
2) Memungkinkan peserta didikuntuk memperoleh keterampilan,
kapasitas, nilai dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memastikan pembangunan berkelanjutan dan toleran terhadap
perbedaan.
3) Mendorong warga yang bertanggung jawab dan mempromosikan
demokrasi dengan membiarkan individu dan masyarakat
menikmati hak mereka dan memenuhi tanggung jawab mereka
4) Menyediakan alat dan konten pembelajaran yang penting untuk
memungkinkan individu bertahan, berkembang dengan kapasitas
penuh, untuk hidup danbekerjadengan bermartabat, untuk
berpartisipasi sepenuhnya dalam pengembangan,
untukmeningkatkan kualitas hidup mereka, untuk membuat
keputusan yang tepat, dan belajar secara bersama-sama
(Oladottir).

B. Sustainable Development Goals (SDGs)


1. Pengertian
Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu sebuah dokumen yang akan
menjadi sebuah acuan dalam kerangka pembangunan dan perundingan negara-
negara di dunia. Post-2015 juga dikenal sebagai Sustainabale Development
Goals (SDGs) didefinisikan sebagai kerangka kerja untuk 15 tahun ke depan
hingga tahun 2030. Berbeda dengan Millennium Development Goals (MDGs)
yang lebih bersifat birokratis dan teknokratis, penyusunan butir SDGs lebih
inklusif melibatkan banyak pihak termasuk organisasi masyarakat sipil atau
Civil Society Organization (CSO). Penyusunan SDGs sendiri memiliki
11

beberapa tantangan karena masih terdapat beberapa butir-butir target MDGs


yang belum bisa dicapai dan harus diteruskan di dalam SDGs. Seluruh tujuan,
target dan indikator dalam dokumen SDGs juga perlu mempertimbangkan
perubahan situasi global saat ini. (Yohanna, 2015)
SDGs merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada
Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan Pembangunan Millenium
adalah sebuah paradigma pembangunan global, dideklarasikan Konferensi
Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000 dan berakhir di tahun
2015. Adapun target MDGs adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan
pembangunan masyarakat pada 2015 yang merupakan tantangan utama dalam
pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium.
Deklarasi ini diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala
pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut (Wahyuningsih,
2017).
Secara formal, SDGs didiskusikan pertama kali pada United Nations
Conference on Sustainable Development yang diadakan di Rio de Janeiro
bulan Juni 2012.Dokumen SDGs disahkan pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT). Pembangunan berkelanjutan PBB yang berlangsung di New York
tanggal 25-27 September 2015. Dalam KTT tersebut ditetapkan bahwa SDGs
akan mulai diberlakukan pasca tahun 2015 sampai tahun 2030. SDGs tidak
hanya berlaku untuk negara berkembang, tapi juga untuk negara maju.
SDGs memiliki 5 pondasi yaitu manusia, planet, kesejahteraan,
perdamaian, dan kemitraan yang ingin mencapai tiga tujuan mulia di tahun
2030 berupa mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan dan mengatasi
perubahan iklim (Rahman, 2012). Untuk mencapai tiga tujuan mulia
tersebut, disusunlah 17 Tujuan Global berikut untuk 2016- 2030
(Tristananda, 2018):
1. Tanpa Kemiskinan (No Poverty), pengentasan segala bentuk kemiskinan di
semua tempat.
12

2. Tanpa Kelaparan (Zero Hunger), mengakhiri kelaparan, mencapai


ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakkan pertanian
yang berkelanjutan.
3. Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan (Good Helath and Well Being),
menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua
usia.
4. Pendidikan Berkualitas (Quality Education), memastikan pendidikan
berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua orang
5. Kesetaraan Gender (Gender Equality), mencapai kesetaraan gender dan
memberdayakan kaum ibu dan perempuan.
6. Air Bersih dan Sanitasi (Clean Water and Sanitation), menjamin
ketersediaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.
7. Energi Bersih dan Terjangkau (Affordable and Clean Energy),
menjamin akses terhadap sumber energi yang
terjangkau, terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk semua orang.
8. Pekerjaan yang layak dan Pertumbuhan Ekonomi (Decent Work and
Economic Growth), mendukung perkembangan ekonomi yang
berkelanjutan, lapangan kerja yang produktif serta pekerjaan yang layak
untuk semua orang
9. Industri, Inovasi dan Infrastruktur (Industry, Innovation and
Infrastructure), membangun infrastruktur yang berkualitas, mendorong
peningkatan industri yang berkelanjutan serta mendorong inovasi.
10. Mengurangi Kesejangan (Reduces Inequalities),
mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di
antara kenegara di dunia.
11. Keberlanjutan Kota dan Komunitas (Sustainable Cities
and Communities), membangun kotakota serta pemukiman
yang berkualitas, aman dan bekelanjutan.
12. Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab (Responsible Consumption
and Production), menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola produksi.
13

13. Aksi terhadap Iklim (Climate Action), bertindak cepat untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya.
14. Kehidupan Bawah Laut (Life Below Water), melestarikan dan menjaga
keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk
perkembangan yang berkelanjutan.
15. Kehidupan di Darat (Life on Land), melindungi, mengembalikan, dan
meningkatkan keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola
hutan secara berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling
tanah.
16. Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian (Peace, Justice and Strong
Institutions): meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat
untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan
bagi semua orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk
seluruh kalangan.
17. Kemitraan untuk mencapai tujuan (Partnerships for the Goals),
memperkuat implementasi dan menghidupkan kembali kemitraan global
untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Jika digambarkan, Sustainable Development Goals(SDGs) dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 1 : Tujuh belas capaian dalam Sustainable Development Goals


14

2. Peran Education Sustainable Development terhadap Sustainable


Development Goals (SDGs)
Education Sustainable Development (ESD) sebagai salah satu sarana
penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (Chung & Park, 2016).
Peran ESD terhadap SDGs sendiri saling tumpang tindih sehingga membentuk
keterkaitan yang saling mempengaruhi seperti dilihat pada diagram berikut.

Gambar 2: Hubungan ESD dan SDG (Chung & Park, 2016).


Telah diketahui bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya
difokuskan hanya pada isu lingkungan seperti perubahan iklim dan penipisan
sumber daya alam. Namun juga membutuhkan perubahan komprehensif dalam
ekonomi (produksi massal dan konsumsi), norma sosial dan perilaku untuk
kehidupan yang berkelanjutan di bumi. Pembangunan berkelanjutan
membutuhkan pendidikan. Bagaimana pendidikan dapat berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan diproklamirkan secara komprehensif dalam
Deklarasi Bonn (UNESCO, 2009). ESD mencerminkan kompleksitas dengan
mengadopsi berbagai perspektif untuk pendidikan dan mencapai kesejahteraan
(UNESCO, 2012a).

C. Literasi Sains
1. Definisi Literasi Sains
Literasi berasal dari kata “literacy” (bahasa Inggris) yang berarti melek
huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf. Kata sains berasal dari kata
“science” (bahasa Inggris) yang berarti ilmu pengetahuan(Echols & Shadily,
15

1990).Literasi sains menyediakan kerangka kerja terpadu berdasarkan sifat ilmu


pengetahuan modern, model konstruktivis pembelajaran, dan pedagogi kelas
praktis yang dapat menyebabkan kinerja siswa ditingkatkan dan instruksi lebih
efektif oleh guru generalis dan spesialis ilmu pengetahuan. PISA (Programme for
International Student Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai
kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi
permasalahan yang terkait dengan alam dan menarik kesimpulan berdasarkan
bukti-bukti dalam rangka mengerti serta membuat keputusan tentang fenomena
alam dan perubahan yang terjadi pada alam sebagai akibat dari ulah tangan
manusia. PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian
literasi sains, yaitu:
1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang memuat hubungan dua
variable atau lebih sehingga dapat diselidiki secara ilmiah
2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah, yaitu
proses ini melibatkan identifikasi bukti yang diperlukan untuk menjawab
pertanyaan, termasuk bagaimana prosedur, alat dan bahan dirancang dalam
melakukan proses ilmiah.
3. Menarik kesimpulan, yaitu proses ini melibatkan kemampuan
menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang telah dikumpulkan melalui
proses ilmiah teori yang mendasari dalam pengambilan kesimpulan.
4. Mengkomunikasikan kesimpulan, yakni mengungkapkan secara tepat
kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia dan
mengkomunikasikannya dalam bahasa lisan maupun tertulis
5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni
kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari
apa yang telah dipelajarinya.
2. Literasi sains dalam kurikulum 2013
Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran
yang didalamnya terdapat literasi sains, literasi sains berarti dalam kurikulum
dituntut untuk siswa dan siswi melek terhadap sains atau ilmu pengetahuan namun
sesuai dengan prinsip dalam kerja ilmiah. Konsep kurikulum 2013 yang telah
dicanangkan oleh pemerintah telah cukup baik untuk mengemas suatu
16

pembelajaran sains yang lebih interaktif, inovatif dan kreatif bagi siswa dan siswi.
Hal ini yang membuat siswa dan siswi lebih mampu memahami materi namun
dengan kemasan pembelajaran yang berbeda. Dalam penerapannya literasi sains
tidak terlepas dari pendekatan saintifik (scientific approach)(Miller, 1998).
Pendekatan saintifik merupakan suatu titik tolak atau cara pandang yang
dilakukan oleh guru dalam rangka meniru ilmuwan, karena pendekatan ini meniru
langkah-langkah metode ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan dalam menemukan
ilmu pengetahuan. Pendekatan ini dapat melatih siswa untuk menjadi ilmuwan
dalam menemukan konsep yang dipelajari (Wieman, 2007).
Pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan saintifik bersifat
kontekstual sehingga langsung bersentuhan dengan kehidupan dan pengalaman
nyata siswa, karena pada fase pengamatan siswa seyogyanya diberikan fenomena
yang sesuai dengan konteks siswa untuk memberi kesempatan kepada siswa
menghubungkan konsep materi di sekolah dengan kehidupannya (Smith, 2010).
Pendekatan saintifik dalam pembelajaran sains sangat cocok dengan teori
konstruktivis sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Mengajarkan IPA
dengan pendekatan saintifik juga berarti melatihkan keterampilan proses sains
yang memfasilitasi siswa untuk memahami sains sebagaimana sains ditemukan
dan mendorong siswa untuk menciptakan informasi ilmiah melalui penelitian
ilmiahnya (Karar & Yenice, 2012).
Pembelajaran IPA selayaknya dilakukan melalui proses pengamatan,
selanjutnya dilakukan percobaan untuk menjelaskan atau membuktikan kebenaran
suatu konsep sehingga siswa mempunyai pengalaman belajar tentang konsep
secara kontekstual (Orion, 2007). Kurikulum 2013 menekankan penerapan
pendekatan saintifik yang mempunyai langkah-langkah, yaitu mengamati,
menanya, mencoba, mengasosiasikan/menalar, dan mengkomunikasikan.
Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan
proses antara lain seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur. Keterampilan
proses sains merupakan keterampilan yang digunakan para ilmuwan dalam
melakukan penyelidikan ilmiah. Indikator keterampilan yang dilatihkan dalam
pendekatan saintifik mempunyai kemiripan dengan keterampilan proses sains
(Rustaman, 2007).
17

3. Literasi Sains di Indonesia


Berdasarkan hasil studi literasi sains yang diadakan oleh PISA
(Programme for International Student Assessment), tergambar bahwa kemampuan
siswa Indonesia dalam bersaing di tingkat Internasional masih harus lebih
ditingkatkan. Dalam beberapa periode tahun terakhir ini Indonesia menempati
peringkat bawah di antara negara-negara peserta studi literasi lainnya.
The World’s Most Literate Nations (WMLN) merilis daftar peringkat
negara-negara dengan tingkat literasi paling tinggi di dunia. Berikut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut
State University, New Britain.

Tabel 1 Daftar peringkat literasi sains di dunia


Pembelajaran di sekolah melalui pelajaran IPA diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan siswa menghadapi kemajuan IPTEK dengan literasi
sains, berawal dari kurikulum di sekolah. Perubahan kurikulum di Indonesia
terjadi karena konsekuensi logis perubahan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Dapat dikatakan
bahwa kurikulum merefleksikan dan merupakan produk pada suatu zaman. Hal ini
18

bisa terlihat ketika mulai terdengar istilah literasi sains untuk menghadapi
permasalahan global, maka beberapa negara kemudian menjadikan literasi sains
sebagai tujuan kurikulum saat itu dan sampai saat ini.
Sains secara garis besar atau pada hakikatnya IPA memiliki tiga
komponen, yaitu proses ilmiah, produk ilmiah, dan sikap ilmiah. Proses ilmiah
adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilaksanakan dalam rangka menemukan produk
ilmiah. Proses ilmiah meliputi mengamati, mengklasifikasi, memprediksi,
merancang, dan melaksanakan eksperimen. Produk ilmiah meliputi prinsip,
konsep, hukum, dan teori. Produk ilmiah berupa pengetahuan-pengetahuan alam
yang telah ditemukan dan diuji secara ilmiah. Sikap ilmiah merupakan keyakinan
akan nilai yang harus dipertahankan ketika mencari atau mengembangkan
pengetahuan baru. Sikap ilmiah meliputi ingin tahu, hati-hati, obyektif, dan jujur
(Bundu, 2006).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Prinsip lima pilar UNESCO diantaranya iala learning to know, to do, to be,
to live together, to transform one self and society.
2. Prinsip SDGs kaitannya dengan ESD ialah ESD mencerminkan
kompleksitas dengan mengadopsi berbagai perspektif untuk pendidikan dan
kesejahteraan.
3. Prinsip literasi sains bagi pendidikan di Indonesia ialah menjadikan
pembelajaran bersifat kontekstual karena menggunakan pendekatan ilmiah
sehingga langsung bersentuhan dengan kehidupan dan pengalaman nyata siswa

B. Saran
Saran penulis bagi calon pendidik yang membaca makalah ini ialah
sebelum merencanakan pembelajaran diharapkan mampu untuk mengetahui
makna dan tujuan pendidikan. Agar proses pembelajaran yang berlangsung sesuai
dengan kebutuhan serta perkembangan zaman.

23
DAFTAR RUJUKAN
Bundu, P. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah
dalamPembelajaran Sains. Jakarta : Depdiknas.

Chung, B.G & Park, I. A Review of the Differences between ESD and GCED in
SDGs: Focusing on the Concepts of Global Citizenship Education. Journal
of International Cooperation in Education, Vol.18 No.2 (2016) pp.17 ~
35

Combes, B. P. Y. 2001. The Early Years Revolution-Learning To Know, To Do,


To Be, To Live Together And To Transform Society Begins At Birth.
Congreso Europeo. Paris.

Echols, J. M. dan Hassan, S. 2005. Kamus Inggris Indonesia : An English –


Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia.

Hamardi, S. H. B. 2016. Sustainable Development Goals (SDGs)-Tujuan


Pembangunan Berkelanjutan.Kompas diterbitkan 20 Mei 2016. (Online)
(http://blhd.bantenprov.go.id/upload/005_SUSTAINABLE%20DEVELOP
MENT%20GOALS%202015-2030.pdf).

Karar EE & Yenice N. 2012. The investigation of scientific process skill level of
elementary education 8 th grade students in view of demographic features
Procedia. Social and Behavioral Sciences.

Kemendikbud. 2016. Peringkat dan Capaian PISA Indonesia Mengalami


Peningkatan,(Online),(https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/12/p
er ingkat-dan-capaian-pisa-indonesia-mengalami-peningkatan)

Mahjuro, K. 2007. Pilar-Pilar Pendidikan Rekomendasi UNESCO Dalam


Perspektif Islam.Semarang: Fakultas Tarbiyah

Oladottir , H. UNESCO : Education for Sustainable Development 2005-2014.


Online. https://menntuntilsjalfbaerni.weebly.com/uploads/6/2/6/2/6262718
/unesco_5_pillars_for_esd.pdf.

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD-PISA). 2005.


Assessment of scientific literacy in the OECD Pisa project.
(Online). http://www.pisa.oecd.org/. (Diakses 2 Februari 2019).

Orion, N. 2007. A Holistic Approach for Science Education For All.Eurasia


Journal of Mathematics.

Permendiknas No 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. 2006. Jakarta: Depdiknas.

Pribadi, B.A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran Jakarta: PT Dian Rakyat.
Pribadi, R. E. 2015. Implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) dalam
Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Papua. E-Journal Ilmu Hubungan
Internasional 5 (3): 917-932. (Online) (http://ejournal.hi.fisip-
unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2017/08/eJournal%20Roy%20Eka%2
0 Pribadi%20(08-11-17-01-04-46).pdf)

Rahman, A.B. 2012. Mdg Ver 2.0: Menuju Sustainable Development Goals
(SDGs) Di Indonesia. Jakarta: Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
Jl. Wahidin No.1.

Rustaman, N. 2007. Keterampilan Proses Sains. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana


UPI (online). http://www.keterampilan_proses_sains.upi.com. (Diakses 2
Februari 2019).

Simanjuntak, C & Boangmanalu, J. 2008.Pendidik, Misionaris, dan Motivator.


Jakarta: Gunung Mulia

Smith, BP. 2010. Instructional Strategies in Family and Consumer Sciences:


Implementing the Contextual Teaching and Learning Pedagogical Model.
Journal of Family & Consumer Sciences Education. 28(1).

Tristananda, P.W. 2018. Membumikan Education For Sustainable


Development (ESD) di Indonesia Dalam Menghadapi Isu – Isu Global.
Jurnal Purwadita Vol 2 No. 2 hal. 42-49. ISSN 2549-7928

Wahyuningsih. 2017. Millenium Develompent Goals (Mdgs) Dan Sustainable


Development Goals (Sdgs) Dalam Kesejahteraan Sosial. Jurnal Bisnis dan
Manajemen. Vol. 11, No. 3

Wieman, C. 2007. Scientific Approach to Science Education. Colorado:


University of British Columbia.

Yohanna, S.2015. Transformasi Millenium Development Goals (MDGs) Menjadi


Post 2015 Guna Menjawab Tantangan Pembangunan Global Baru.

You might also like