You are on page 1of 75

Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan upaya penggalian potensi PAD


ternyata masih banyak daerah yang belum mampu menyusun prakiraan potensi
penerimaan PAD dengan baik. Target penerimaan PAD seringkali disusun
berdasarkan realisasi tahun-tahun sebelumnya, tanpa membedakan jenis, tingkat
kepastian potensi suatu objek penerimaan PAD, atau akurasi target tahun
sebelumnya. Menaikkan target penerimaan sebesar persentase tertentu, merupakan
cara yang lazim dilakukan dalam menyusun anggaran penerimaan PAD. Akibatnya,
realisasi penerimaan PAD cendrung lebih tinggi. Padahal, tingginya realisasi itu
kemungkinan disebabkan penetapan terget penerimaan yang terlalu rendah.
Salah satu tujuan dari perubahan kebijakan pajak daerah yang dituangkan
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
melalui serangkaian strategi antara lain (1) memberikan kepastian mengenai jenis-
jenis pungutan daerah dengan menerapkan closed-list system. (2) meningkatkan
kewenangan daerah dalam perpajakan daerah dengan meningkatkan local taxing
power, (3) meningkatkan efektivitas pengawasan pajak daqerah dengan menerapkan
sistim preventif dan korektif yang diikuti dengan sanksi atas pelanggaran ketentuan
perpajakan daerah, serta (4) memperbaiki pengelolaan pendapatan pajak daerah
sehingga dapat memberikan keadilan dan meningkatkan kualitas penggunaan dana
yang dipungut dari masyarakat
Di samping adanya ada pembatasan pemungutan Pajak Daerah selain yang
ditetapkan dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
juga terdapat perbedaan dalam sistem pemungutan pajak dibandingkan dengan
perundangan-undangan sebelumnya. Hal ini jelas merupakan tantangan tersendiri
bagi daerah. Pembatasan pemungutan Pajak Daerah tersebut berarti menutup
kemungkinan melakukan ekstensifikasi objek pajak/objek retribusi daerah
sebagaimana yang banyak dilakukan pada tahun sebelum pemberlakuan undang-
undang UU No 28 tahun 2009 tersebut. Oleh sebab itu, intensifikasi pajak
daerah/retribusi daerah merupakan satu-satunya pilihan yang harus dilakukan dalam
rangka meningkatkan PAD. Akan tetapi intensifikasi intensifikasi pajak
daerah/retribusi daerah tentunya juga harus mempertimbangkan kemampuan bayar
dari wajib pajak/wajib retribusi di daerah agar tidak menimbulkan beban ekonomi
bagi masyarakat daerah.

3
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Sebelum diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah. pemungutan pajak daerah dilakukan dengan sistem Official
Assessment. Sekalipun wajib pajak melaporkan data aktifitas yang menjadi objek
pajak, maka tetap saja penetapan besaran pajak terutang dilakukan oleh pemerintah
daerah. Namun UU Nomor 28 Tahun 2009 mengamanatkan pemungutan berdasarkan
Self Assessment. Self assessment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak
dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib
pajak terletak pada pihak wajib pajak yang bersangkutan. Dalam sistem ini wajib
pajak bertanggungjawab untuk menghitung, menyetor serta melaporkan pajaknya
sendiri kepada penyelenggaran pelayanan pajak daerah, sedangkan fiskus hanya
memberi pelyaanan, penjelasan, atau sebagai pengawas pajak.
Salah satu dampak dari perubahan sistem pemungutan pajak daerah seperti ini
adalah terhadap sistem adminsistrasi penyelengaraan pelayanan pajak daerah.
Karena, ada kemungkinan wajab pajak daerah berlaku tidak jujur dalam menghitung
dan membayar kewajibannya, maka fiskus daerah harus memiliki unit yang bertugas
secara khusus untuk melakukan analisis kepastian atau kebenaran jumlah yang telah
dibayarkan wajab pajak tersebut.
Data realisasi pendapatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2017 menunjukkan
bahwa jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berjumlah Rp2.134,01 Miliar. Hal ini
berarti kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat
berjumlah 35,18%. Dengan demikian, ketergantungan Provinsi Sumatera Barat
terhadap Pemerintah Pusat relatif sedang.
Analisis lebih rinci berdasarkan data PAD 5 tahun terakhir menunjukkan
bahwa rata-rata PAD yang dihasilkan berjumlah Rp1.814,06 Miliar. Dari 4 sumber
penerimaan PAD, Pajak Daerah memberikan kontribusi sebesar 77,55%, Retribusi
Daerah sebesar 1,24%, Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan sebesar 5,05%, dan Lain-lain PAD yang Sah 1,16%.
Dengan demikian, pajak daerah memberikan kontribusi yang terbesar dan utama
dibandingkan sumber PAD lainnya. Tabel 1.1 berikut memperlihatkan
perkembangan PAD 5 tahun terakhir, rata-rata PAD, dan kontribusi elemen sumber
PAD terhadap total PAD.

4
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 1.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah, Rata-Rata (Rp Juta)
dan Kontribusi Elemen PAD (%)

Jenis Pendapatan Asli Daerah Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017 Rata-Rata Kontribusi
1. Pajak Daerah 1.085,16 1.354,54 1.445,61 1.522,12 1.626,92 1.406,87 77,55
2. Retribusi Daerah 34,60 15,53 20,37 19,36 22,91 22,55 1,24
3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan
Pengelolaan Kekayaan Daerah 93,87 94,21 85,12 89,99 94,61 91,56 5,05
yang Dipisahkan
4. Lain-lain PAD yang Sah 152,55 264,94 325,62 332,68 389,57 293,07 16,16
Jumlah 1.366,18 1.729,22 1.876,73 1.964,15 2.134,01 1.814,06 100,00

5
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Salah satu cara untuk intensifikasi pajak daerah adalah dengan melakukan
penelitian tentang potensi pajak daerah dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahannya. Karena, keterbatasan OPD dalam menghitung potensi penerimaan
yang sebenarnya masih menjadi kendala utama di banyak daerah. Disamping itu masih
banyak terdapat permasalahan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan penerimaan
pajak daerah. seperti keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan manajerial,
peraturan terkait, serta keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki. Dalam upaya
meningkatkan penerimaan pajak daerah serta memecahkan permasalahan yang ada,
dirasa perlu dilakukan kegiatan penelitian potensi pajak daerah.

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian perumusan masalah sebagai berikut :
1. Seberapa besar potensi penerimaan Pajak Daerah di Provinsi Sumatera Barat, dan
bagaimana prospek penerimaannya dimasa mendatang.
2. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat
untuk meningkatkan penerimaan Pajak Daerah, dan langkah-langkah penting apa
yang harus dilakukan pada masa datang.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari kajian potensi ini adalah :
1. Untuk menghitung dan menganalisis potensi penerimaan Pajak Provinsi Sumatera
Barat; Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Rokok, dan Pajak Air Permukaan.
2. Untuk merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak
daerah sehingga terwujud kemandirian daerah Provinsi Sumatera Barat dalam
menggali dan mengelola sumber-sumber Pajak Daerah.

6
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

1.4. Dasar Hukum


Peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan terutama yang
berkaitan dengan pajak daerah yang menjadi landasan penyusunan kajian potensi pajak
adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4389);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

7
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Restribusi Daerah


(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 130)
9. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 85)
10. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran
Negara Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4575);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4578);
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
13. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak
Daerah
14. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak
Daerah.
15. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
16. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2011
Tentang Pajak Daerah
17. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

8
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Kajian potensi pajak dilaksanakan di wilayah Provinsi Sumatera Barat yang mencakup 5
jenis pajak daerah yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Di
samping kajian dan penghitungan potensi pajak juga menyusun proyeksi penerimaan
pajak 5 tahun mendatang.

1.6. Metode Penelitian


Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis
deskriptif digunakan untuk melakukan perhitungan terhadap potensi penerimaan PAD.
Untuk melihat dan menganalisis besarnya potensi PAD dilakukan dengan menganalisis
potensi masing-masing pajak berdasarkan trend data 5 tahun terakhir.
Untuk menghitung Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan
Bermotor dan Pajak Kendaraan Bermotor akan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Mendapatkan data tentang Jumlah Pajak Kendaraan Bermotor dan Jumlah
Kendaraan berdasarkan kelompok kendaraan selama 5 tahun terakhir.
2. Menghitung dasar pengenaan pajak berdasarkan pembagian jumlah Pajak Kendaraan
Bermotor untuk setiap kelompok kendaraan dengan jumlah kendaraan.

Untuk menghitung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Rokok, dan
Pajak Air Permukaan juga akan dilakukan dengan menggunakan metode trend dengan
mempertimbangkan klasifikasi objek masing-masingnya.

9
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

BAB II
TINJAUAN LITERATUR
DAN METODE PERHITUNGAN POTENSI

Dalam era otonomi daerah, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk
lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat
untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat
melaksanakan otonomi daerah, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan,
diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pemungutan PAD, khususnya
dibidang pajak. diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah untuk untuk
mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah.

2.1 Pajak Daerah


2.1.1 Pengertian Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbesar.
pajak daerah merupakan iuran wajib yang dibayarkan oleh orang perorangan atau badan
kepada Pemerintah Daerah tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjukkan. Ada
beberapa defenisi pajak daerah sebagai berikut;
1. Menurut PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah Pasal 1 ayat 1, pengertian
dari Pajak Daerah adalah: “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

10
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan


Pembangunan Daerah”.
2. Sedangkan menurut K. J. Davey (1988: 39), pajak daerah adalah:
a. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam mengatur daerahnya
sendiri.
b. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi tarifnya
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
c. Pajak diatur atau dipungut oleh Pemerintah Daerah. Pajak dipungut dan
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat tetapi hasil pemungutan diberikan pada,
didistribusikan oleh atau dibebankan dengan pemungutan lebih oleh
Pemerintah Daerah.
3. Sementara menurut Marihot PS. (2005: 10), memberikan defenisi sebagai
berikut: “Pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
dengan Peraturan Daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan
oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pajak daerah adalah pungutan
yang dilakukan oleh daerah berdasarkan Undang-Undang/ Peraturan Daerah dan
pemungutannya dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan jasa, dan hasilnya
digunakan untuk membiayai pelaksanaan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan
Daerah.

2.1.2 Kebijakan Pungutan Daerah Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun2009


Pajak daerah merupakan komponen utama PAD. Sebagai sumber utama PAD,
pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah. Salah satu
upaya pemerintah untuk mendorong penerimaan pajak daerah tersebut adalah melalui

11
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai dengan


perkembangan lingkungan.
Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang lebih ideal, kebijakan
perpajakan diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, pengutan local taxing
power, peningkatan efektivitas pengawasan, dan perbaikan pengelolaan pendapatan
pajak daerah. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1
Januari 2010.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang merupakan pengganti dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Berdasarkan undang- undang
tersebut, pajak daerah dapat dipungut oleh daerah provinsi dan dearah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan menerbitkan peraturan daerah
(Perda).
Beberapa kebijakan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah antara lain:
1. Pemungutan pajak daerah diubah dari open-list system menjadi closed-list system.
Salah satu pertimbangan penerapan closed-list system adalah untuk memberikan
kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang
wajib dibayar serta meningkatkan pemungutan pajak daerah. Dengan closed-list
system, pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis pajak yang tercantum
dalam undang-undang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat 16 jenis pajak


daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Selain pajak
daerah, juga terdapat 30 jenis retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah,

12
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

yang terdiri dari 14 jenis retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa usaha, dan 5
jenis perizinan tertentu.
2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan
(penguatan local taxing power). Penguatan local taxing power dilakukan melalui
beberapa kebijakan, yaitu:
a. Memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, seperti perluasan basis Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Retibusi Izin Gangguan;
b. Menambah jenis pajak daerah. seperti Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung
Walet, Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-PP), Retribusi Pelayanan
Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan;
c. Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan; dan;
d. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada provinsi kecuali Pajak
Rokok. Daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran
tarif pajak daerah yang diberlakukan di daerahnya (ditetapkan dalam Perda)
sepanjang tidak melampaui tarif minimum dan maksimum yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Kewenangan yang lebih luas di bidang perpajakan daerah diharapkan dapat


meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat mengkompensasi hilangnya
berbagai jenis pungutan daerah sebagai akibat perubahan open-list system menjadi
closed-list system. Dalam hal ini, daerah didorong untuk mengoptimalkan
pemungutan jenis pajak daerah yang memiliki landasan hukum yang kuat dan tidak

13
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

menciptakan jenis pungutan baru yang potensinya relatif kecil dan tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah melalui kebijakan bagi hasil pajak
provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih ideal dan kebijakan earmarking untuk
jenis pajak daerah tertentu. Setiap jenis pajak provinsi dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota sesuai komposisi yang ditetapkan dalam Undang-undang.
Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggungjawab pemerintah
provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya yang diperlukan oleh
kabupaten/kota dalam pelaksanaan fungsinya memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Sementara itu, dengan adanya kebijakan earmarking, sebagian hasil
pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang
dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar pajak tersebut. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pembayar
pajak. Sebagai contoh kebijakan earmarking adalah sebagian pendapatan pajak
penerangan jalan harus dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan umum,
10% dari pendapatan pajak kendaraan bermotor harus dialokasikan untuk
pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum, dan 50% dari pendapatan pajak rokok harus dialokasikan untuk
membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah
mekanisme pengawasan dari sistim represif (berdasarkan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000) menjadi sistem preventif dan korektif. Setiap rancangan peraturan
daerah (Raperda) tentang pajak daerah sebelum ditetapkan menjadi Perda harus
dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Perda yang sudah ditetapkan dapat
dibatalkan oleh Pemeritnah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan/atau kepentingan umum. Selain itu, terhadap daerah yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang pajak

14
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana


alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

2.1.3 Sumber Pendapatan Asli Daerah


Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat harus senantiasa
mampu menyelenggarakan pelaksanaan pemerintah dan pembangunan di daerah
sehingga akan memacu perkembangan dan pemerataan pembangunan di seluruh tanah
air. Dalam mewujudkan sistem desentralisasi, maka dikeluarkanlah Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi dari Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang undang Nomor 23 Tahun 2014, prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Lebih lanjut undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi terdiri atas pendapatan asli daerah. PAD merupakan semua penerimaan
yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. PAD memegang peranan penting demi keberhasilan pelaksanaan Otonomi
Daerah, karena melalui PAD ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat
membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah.
Peningkatan PAD merupakan suatu keharusan bagi pemerintah daerah agar
mampu untuk membiayai kebutuhannya sendiri, sehingga ketergantungan Pemerintah
Daerah kepada Pemerintah Pusat semakin berkurang dan pada akhirnya daerah dapat
mandiri. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa pendapatan asli
daerah bersumber dari:

15
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

1. Pajak Daerah
Menurut UU No 28 tahun 2009 Pajak Daerah, pajak daerah adalah kontribusi wajib
pajak kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jenis Pajak Daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 dapat dilihat pada
Tabel berikut ini:
Tabel 2.1
Jenis Pajak Daerah

Sumber: UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Jenis pajak daerah bersifat limitatif (close-list) yang berarti bahwa Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dapat memungut pajak selain yang telah
ditetapkan dalam UU. Penetapan jenis pajak tersebut sebagai pajak daerah provinsi
atau pajak daerah kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan, antara lain adalah
mobilitas objek pajak yang bersangkutan.
Salah satu perbedaan mendasar antara UU No. 28 tahun 2009 dengan undang-
undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah yaitu adanya larangan untuk

16
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

memungut pajak daerah selain yang disebutkan di atas. Suatu jenis pajak tertentu
dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan
dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Penentuan objek pajak daerah saat ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah
No. 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah, yang merupakan penentuan objek pajak secara
umum, dimana yang menjadi objek pajak daerah harus dilihat apa yang ditetapkan
peraturan daerah. Sedangkan subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat
dikenakan pajak daerah. UU No. 28 tahun 2009 telah menentukan secara tegas orang
atau dan badan yang menjadi wajib pajak secara tegas sesuai dengan jenis pajak daerah.

2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan. Berlakunya UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dari satu sisi memberikan keuntungan daerah dengan
adanya sumber-sumber pendapatan baru, namun disisi lain ada beberapa sumber
pendapatan asli daerah yang harus dihapus karena tidak boleh lagi dipungut oleh daerah,
terutama berasal dari retribusi daerah. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 secara
keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang
dikelompokkan ke dalam 3 golongan jenis retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Jasa Umum yaitu pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau badan.
b. Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa usaha
yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.

17
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

c. Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan daerah sebagai pembayarann atas


pemberian izin tertentu yang khusus diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.

3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan


Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan
daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Undang-undang
nomor 33 tahun 2004 mengklasifikasikan jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dirinci menurut menurut objek pendapatan yang mencakup bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan
modal pada perusahaan milik negara/BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal
pada perusahaan milik swasta maupun kelompok masyarakat.

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa lain-lain PAD yang Sah
disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis
pajak, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan ini
juga merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah.
Sumber penerimaan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah meliputi:
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b. Jasa giro
c. Pendapatan Bungan
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

18
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

2.2. Sistem Pemungutan Pajak Daerah


Sistem perpajakan suatu negara terdiri dari tiga unsur, yaitu Tax Policy, Tax Law dan
Tax Administration. Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara
bagaimana mengelola jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke
kas negara. Sistem pemungutan pajak menurut Waluyo dan Ilyas (1999) yakni:

1. Sistem Official Assessment


Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan kepada fiskus dalam
menentukan jumlah hutang pajak sebagai kewajiban Wajib Pajak. Ciri-ciri dari sistem
ini adalah sebagai berikut:
 Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
 Wajib Pajak bersifat pasif
 Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus

2. Sistem Self Assessment


Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan kepada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri jumlah hutang pajaknya. Ciri-ciri dari sistem ini adalah:
 Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak
sendiri
 Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang
 Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi

3. Sistem With Holding


Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan kepada pihak ketiga
untuk menentukan, memungut/ memotong hutang pajak. Pemerintah daerah dalam
menentukan kebijakan di bidang perpajakan, tentunya dalam kerangka meningkatkan

19
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

pemasukan pajak ke kas daerah dan menunjang peningkatan pertumbuhan


perekonomian.

Dalam hal kebijakan (peraturan perundang-undangan perpajakan) semestinya akan


mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan
perekonomian saat ini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu pemerintah dalam
menjalankan fungsi pajak, salah satunya tentu membutuhkan sistem penetapan pajak
yang efisien, fleksibel, realistis dan integrated dengan sistem /subsistem secara internal
dan sistem yang lain secara ekternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang
kebijakan pendapatan daerah.
Dalam sistem perpajakan secara integral-menyeluruh (integreted-komprehensif),
administrasi pajak harus efisien dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu tidak menyulitkan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan
pajak bagi WP terdapat kemudahan dalam melakukan kewajibannya. Kemudahan
tersebut dikemukakan oleh Fritz Neumark seperti dikutip oleh safri Narmantu, yaitu
ease of administration and compliance yang di bagi menjadi empat persyaratan sebagai
berikut:
a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan
,antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek , tarif, kapan harus
dibayar, diman harus dibayar, hak-hak WP, Sanksi hukum bagi WP maupun bagi
pejabat pajak.

20
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

b. The requirenment of Continuty, yaitu menyangkut perlunnya kesinambungan


kebijakan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan berubah-ubah dan
bervariasi tetapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan
c. The requirenment of of economy yaitu menghendaki agar oragnisasi dan administrasi
pajak dilaksanakan seefesien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan
untuk pemungutan pajak harus seimbang, dalam hal efesiensi itu bukan hanya dari
segi fiskus tetepai juga bagi WP
d. The requirenment of convience, menghendaki supaya dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan WP merasa senang , maksudnya tidak merasa tertekan.

2.3. Kebijakan Perpajakan


Musgrave dan Musgrave (1989: 6) menyatakan bahwa kebijakan pajak merupakan
instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah untuk melakukan fungsi alokasi,
distribusi, regulasi dan stabilitasi. Oleh karena itu pajak merupakan kewenangan publik
yang ditetapkan pemerintah.
White dalam Nasucha (2004: 49) menyatakan menyebutkan bahwa
“Kewenangan dalam pengambilan suatu kebijakan terkait dengan peran pemerintah
sebagai agen pembuat kebijakan sosial dan sekaligus berperan sebagai agen hubungan
antarmasyarakat”. Sebagai agen pembuat kebijakan, pemerintah mempunyai
kewenangan untuk membuat suatu kebijakan yang dituangkan dalam perangkat
peraturan hukum. Peran pemerintah sebagai penghubung pada masyarakat adalah
menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan pengambilan
suatu kebijakan agar terdapat tata hubungan sosial yang harmonis. Hal ini selaras dengan
pendapat Berthrand dalam Nasucha (2004: 49) bahwa fungsi pemerintah meliputi (1)
pembuat hukum (2) menegakkan hukum (3) pelayanan publik (4) pendorong hubungan
sosial.
Sebagai suatu kebijakan publik, kebijakan daerah mengikat seluruh penduduk
wilayah daerah yang bersangkutan. Dalam peraturan perpajakan daerah ditentukan

21
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

kewajiban perpajakan bagi yang telah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak menurut
peraturan daerah tentang pajak daerah. Orang pribadi atau badan yang sudah memenuhi
kriteria menurut peraturan daerah akan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan.
Kebijakan pengelolaan pajak daerah dilakukan melalui dikeluarkannya
peraturan-peraturan oleh Pemerintah Daerah sendiri maupun yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
berbentuk Peraturan Daerah dan Undang-undang Daerah. Sementara peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat berbentuk Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan juga Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat biasanya berlaku
seragam untuk seluruh wilyah setiap Pemerintah Daerah di Indonesia. Meskipun ada
beberapa peratutan dari Pemerintah Pusat yang berlaku khusus bagi daerah tertentu
karena berbagai pertimbangan. Sebagai contoh yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 43 tahun 1999 tentang sistem dan prosedur administrasi pajak daerah, retribusi
daerah, dan penerimaan pendapatan lain-lain. Kepmendagri ini berlaku seragam di setiap
daerah Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
Administrasi pengelolaan pajak daerah dilakukan dalam tahapan-tahapan
kegiatan yang dilakukan oleh petugas pajak daerah/ fiskus dari Dinas Pendapatan
Daerah (Dispenda) dalam memungut pajak guna menjamin masuknya pajak ke kas
daerah. Kebijakan pengelolaan pajak daerah kabupaten dan kota diatur melalui suatu
keputusan menteri dalam negeri tentang sistem dan prosedur pengelolaan pajak daerah
dan pedoman organisasi dan tata kerja dinas pendapatan daerah kabupaten dan kota,
yang berlaku seragam di seluruh Indonesia.
Sebelum diberlakukannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun
1999 tentang sistem dan prosedur administrasi pajak daerah, retribusi daerah dan
penerimaan pendapatan lain-lain, di Indonesia pernah diberlakukan Sistem Manual
Pendapatan Daerah (Mapatda) dan Sistem Manual Penerimaan Daerah (Mapenda).

22
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Prosedur pengelolaan pajak yang diatur di dalam Kepmendagri Nomor 43 tahun


1999 masih menggunakan pendekatan fungsional, sebagaimana yang diatur didalam
Mapatda. Dengan mengacu kepada prosedur pengelolaan pajak daerah, maka pada
Dispenda Kabupaten dan Kota terdapat seksi-seksi berdasarkan fungsinya, yang minimal
terdiri atas; seksi pendaftaran dan pendataan, penetapan, pembukuan dan pelaporan, dan
penagihan.
Sistem dan prosedur administrasi pajak daerah menurut Kepmendagri Nomor 43
tahun 1999 terdiri dari:
a. Pendaftaran dan Pendataan
b. Penetapan
c. Penyetoran
d. Angsuran dan Permohonan Penundaan Pembayaran
e. Pembukuan dan Pelaporan
f. Keberatan dan Banding
g. Penagihan
h. Pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan
sanksi administrasi, dan
i. Pengembalian kelebihan pembayaran.

2.4. Administrasi Perpajakan


Administrasi pajak adalah bagian dari pelaksanaan hukum formal di bidang perpajakan
dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan, pengawasan dan pembinaan, karena
administrasi pajak melalui pelaksanaan tata usaha perpajakan dan sarananya timbul
bukan karena hasil imaginasi ataupun rekaan dari para penyelenggara, akan tetapi
disusun sebagai kehendak ketentuan formal perpajakan untuk melaksanakan misi
menjadikan ketentuan material perpajakan suatu kenyataan yang baik dan benar.
Dari uraian tersebut dimuka maka dapat disimpulkan bahwa pengertian administrasi
pajak adalah segala urusan administrasi perpajakan sebagai salah satu instrumen

23
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

pelaksanaan di bidang perpajakan dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan


masyarakat, pengawasan masyarakat dalam rangka pelaksanaan kewajiban perpajakan, dan
pembinaan dari pelaksanaan pengawasan di maksud. Jadi disini tata usaha perpajakan pada
dasarnya merupakan rangkaian tugastugas yang dimulai dari bagaimana penciptaan atau
pembuatan formulir, penentuan buku-buku regester yang diperlukan, pencatatan yang
harus dilaksanakan sampai dengan penanganan arus dokumen serta pelaksanaan
kearsipan sedemikian rupa dalam suatu sistem yang baik dan terkendali sebagai tindak
lanjut dari amanah ketentuan hukum yang menghendaki. Sebenarnya administrasi pajak
bukan hanya merupakan kepentingan dari negara sebagai penyelenggara pemerintahan
(pemungut pajak), akan tetapi lebih dari itu yaitu juga merupakan kepentingan dan hak
dari para pembayar pajak (Wajib Pajak) agar segala pelaksanaan kewajiban dan hak-hak
perpajakannya ditatausahakan dengan baik dan benar. Oleh karena itu penyimpangan tata
usaha perpajakan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada bukan mustahil
akan menimbulkan persengketaan dengan masyarakat dan khususnya masyarakat Wajib
Pajak.
Melalui pelaksanaan sistem perpajakan yang baru, diharapkan bahwa
administrasi perpajakan bisa diterapkan dengan lebih terarah dan teratur, sederhana dan
mudah dimengerti baik oleh fiskus maupun wajib pajak. Keberhasilan dalam Pajak
Penghasilan didukung oleh pelaksanaan administrasi perpajakan yang baik dan efektif,
karena inilah yang menjadi kunci sukses peraturan perpajakan.

Pada dasarnya, produktivitas administrasi perpajakan dipengaruhi oleh faktor-faktor


berikut ini (Barata dan Ardian, 1990):
a. Subjek peraturan perpajakan
b. Otoritas perpajakan dan perlengkapan aparatur perpajakan
c. Kompetensi, kejujuran dan pengabdian aparatur perpajakan
d. Pemahaman dan kesadaran wajib pajak tentang undang-undang dan peraturan
perpajakan yang berlaku

24
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

e. Perilaku dan kondisi sosial-politik daerah

Tanzi dan Pallechio (1995) dalam Ott (2001:3) menyatakan bahwa tugas utama
administrasi perpajakan melibatkan: (a) informasi dan instruksi kepada wajib pajak; (b)
pendaftaran, pengorganisasian dan pemrosesan surat pemberitahuan (memasukkan data,
pemrosesan deklarasi dan pembayaran); (c) tahap pemungutan (lebih menyerupai dan
berhubungan dengan pendaftaran, penghitungan, dan pemrosesan surat pemberitahuan);
(d) mengontrol dan menyupervisi (menemukan ketidaklengkapan surat pemberitahuan
dan kontrol terhadap data dalam kantor administrasi pajak atau aktivitas bisnis dan data
dari wajib pajak, sementara penelitian yang rutin telah dilakukan dalam tahap
pendaftaran, penghitungan dan pemrosesan surat pemberitahuan); (e) pelayanan hukum
dan ketidakpuasan wajib pajak (keberatan, banding dan pengurangan).
Mikesell (1995: 392-397) menyatakan bahwa administrasi perpajakan meliputi
enam langkah umum, yaitu (a) persiapan inventarisasi; (b) dasar penilaian; (c)
perhitungan dan pengumpulan pajak; (d) audit; (e) keberatan-permohonan; (f)
penegakan hukum. Setiap aktivitas khusus di dalam langkah-langkah tersebut bervariasi
mengikuti sifat pajak yang ada. Adapun enam langkah tersebut yang dipertimbangkan
sebagai berikut:
a. Persiapan inventarisasi tax eligibles. Sebagai contoh, di dalam proses inventarisasi
Pajak Penghasilan akan melibatkan pengembangan administrasi daftar Surat
Pemberitahuan Pajak yang dikirim oleh wajib pajak. Surat Pemberitahuan akan
berfungsi sebagai master file yang digunakan sebagai pembanding pihak-pihak yang
telah membayar pajak dan pihak yang diharapkan akan membayar pajak. Surat
Pemeritahuan tersebut merupakan data yang sangat bermanfaat dalam rangka
membangun sistem kontrol.
b. Dasar penilaian. Kepemilikan individual yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak harus dinilai untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Untuk beberapa
jenis pajak, khususnya pajak pendapatan orang pribadi dan pajak penjualan, dasar

25
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

penilaian memerlukan data transaksi (seperti penjualan dan pembelian barang,


pelayanan/jasa, dan lain-lain) atas periode tertentu, khususnya berkenaan dengan
pengumpulan data akuntansi.
c. Perhitungan dan pengumpulan pajak. Hal ini merupakan langkah ketiga dari
administrasi perpajakn. Dalam hal ini wajib pajak harus mengaplikasi tarif yang
sesuai terhadap dasar pengenaan pajak yang telah dinilai sebelumnya, kemudian
menyampaikan Surat Pemberitahuan (tax return), termasuk besarnya pajak yang
harus dibayar kepada pihak-pihak yang ditunjuk sebagai penerima setoran pajak.
Surat Pemberitahuan diperlukan pada periode tertentu antara bulanan sampai tahunan
tergantung pada jenis pajak dan besarnya pembayaran yang dikenakan. Pada
umumnya, semakin besar wajib pajak akan semakin sering Surat Pemberitahuan
diperlukan dibanding dengan wajib pajak kecil. Pengisian Surat Pemberitahuan dan
pembayaran secara elektronik akan lebih menguntungkan pemerintah, khususnya dari
segi kecepatan dan penerimaan dana.
d. Audit. Tahap ini untuk menyakinkan bahwa wajib pajak patuh terhadap undang-
undang dan peraturan perpajakan dalam sebuah sistem kepatuhan yang sukarela.
Audit untuk melindungi kejujuran wajib pajak yang secara sukarela sudah mematuhi
undang-undang perpajakan.
e. Keberatan wajib pajak. Beberapa peraturan dan ketentuan perpajakan ada yang berisi
ketidakpastian (grey area), yang disebabkan adanya kesalahan dalam pembuatan
peraturan tersebut. Sebagian lagi disebabkan oleh pembuat peraturan yang merasa
yakin bahwa pelaksanaan administrasi perpajakan dapat mendefinisikan ketentuan
tertentu dengan lebih baik. Berkaitan dengan adanya ketidakpastian tersebut,
keberatan dan protes memainkan peranan yang penting dalam proses pembuatan
peraturan perundang-undangan.
f. Tahap akhir dari administrasi perpajakan adalah penegakan hukum. Tahap ini
dilakukan apabila cara awal yang ditempuh agar wajib pajak memenuhi kewajiban
perpajakannya belum berhasil. Kebanyakan wajib pajak tidak ingin mencapai tahap

26
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

ini. Penegakan hukum adalah usaha terakhir dari sistem kepatuhan sukarela.
Penegakan hukum ini antara lain melibatkan kegiatan seperti penyitaan dan penjualan
kekayaan wajib pajak.

Tujuan administrasi perpajakan adalah untuk mendorong kepatuhan wajib pajak


secara sukarela. Pemberian denda terhadap pelanggar pajak bukan merupakan sasaran
administrasi perpajakan. Kepatuhan sukarela dapat ditingkatkan apabila administrasi
berhasil menetapkan bahwa ketidakpatuhan dapat terdeteksi dan denda dapat diterapkan
secara efektif (Bird dan Jantscher, 1992: 274).
Administrasi perpajakan bisa menjadi efisien bila biaya pengumpulan pajaknya
sangat rendah dan pada saat yang sama bisa menjadi tidak efektif bila tidak mampu
memperkuat kepatuhan. Efektivitas administrasi pajak bukan merupakan satu-satunya
faktor kepatuhan pajak. Kendati demikian, di negara-negara dengan derajat
ketidakpatuhan sangat tinggi, kemampuan administrasi pajak untuk memungut denda
efektif mungkin merupakan kunci bagi pembentukan perilaku pembayar pajak.
Apabila kepatuhan ingin ditingkatkan, administrasi perpajakan harus dapat
mengambil tindakan yang efektif guna mengatasi kendala-kendala ini. Pemungutan
pajak biasanya memerlukan usaha-usaha dari wajib pajak (biaya kepatuhan) dan
pemerintah (biaya administrasi). Kepatuhan sukarela yang dilakukan wajib pajak akan
menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pemungutan penegakan hukum
yang langsung dilakukan oleh pemerintah (Mikesell, 1995:411).
Hampir tidak bisa dihindari bahwa persoalan pokok perpajakan adalah
administrasinya yang buruk. Hal ini menyebabkan timbulnya beberapa masalah seperti
berikut ini:
a. Prosedur yang digunakan sudah kuno dan pegawainya dibayar rendah dengan
kemampuan yang tidak memadai.
b. Sistem perpajakan yang rumit, sistem administrasi perpajakan yang tidak efisien dan
sumber daya yang sederhana, khususnya di Departemen Perpajakan Pemerintah Pusat

27
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

c. Pemerintah tidak ingin menegakkan sistem yang ada. Pendekatan yang dilakukan di
sini adalah menunggu krisis sehingga pemerintah dipaksa untuk melakukan perbaikan
sistem perpajakan atau menunggu bantuan dari luar untuk menggunakan paksaan
(menutup celah pinjaman) atau insentif (membuka celah pinjaman) atau membantu
prosesnya.

Untuk menghindari masalah-masalah di atas, maka diperlukan kondisi-kondisi


(a) Menciptakan iklim perpajakan yang baik (b) Mengelola organisasi perpajakan yang
baik. Iklim perpajakan adalah kondisi yang abstrak, yaitu kondisi yang terletak antara
ketidakmauan dan kesadaran atau kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Kondisi ini harus diciptakan oleh administrator perpajakan
untuk memotivasi seluruh aparatur agar lebih aktif dalam memberikan pelayanan kepada
wajib pajak. Dengan menciptakan diharapkan agar semua wajib pajak dapat
menggunakan haknya dan melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Andic (1994) dalam Ott (2001:3) menyatakan beberapa fungsi organisasi
administrasi perpajakan yang baik, yaitu sebagai berikut:
a. Kenaikan produktivitas; berkenaan dengan spesialisasi khusus seperti penilaian,
pemungutan, supervisi dan kontrol.
b. Kemungkinan untuk melakukan pengecekan dan kontrol yang lebih baik. Jika
petugas pajak yang sama tidak bertugas/bertanggung jawab dalam semua proses
administrasi atas satu wajib pajak, kesalahan di dalam salah satu fungsi administrasi
(misalnya penentuan pajak) akan lebih mungkin untuk ditemukan dalam proses yang
lainnya (misalnya dalam proses kontrol).
c. Efektivitas kenaikan kegiatan. Jika wajib pajak, sebagai contoh, tidak mematuhi lebih
dari satu jenis pajak, semua jenis pajak akan dipungut oleh seorang pegawai pajak
dan tidak lebih dari mereka.

28
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

2.5. Kedudukan Adminstrasi Pajak Dalam Mekanisme Hukum Pajak


Di dalam mekanisme hukum dan khususnya hukum pajak dikenal hukum material,
yaitu hukum yang mengatur tentang taatbestand yang ditandai dengan adanya suatu
keadaan, peristiwa atau perbuatan yang menimbulkan pajak terutang atau hukum yang
mengatur tentang subyek pajak, obyek pajak, tarif pajak dan tata cara menghitung pajak.
Di lain pihak juga dikenal hukum formal yaitu hukum yang membawa ketentuan material
tersebut menjadi suatu kenyataan yang baik dan benar. Di dalam sistem perpajakan yang
menganut self assessment maka ketentuan formal sebagai hukum acara perpajakan
menduduki posisi yang sangat penting karena sistem hukum meletakkan pelaksanaan
kewajiban perpajakan sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan kepada Wajib Pajak.
Oleh karena itu pelaksanaan ketentuan formal oleh aparatur pajak dapat pula
dikatakan bahwa aparatur tersebut sedang beracara dengan Wajib Pajak. Pengertian yang
demikian ini sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan official assessment
system dimana di sana dikatakan bahwa tidak ada pajak yang terutang tanpa adanya
Surat Ketetapan Pajak. Di dalam self assessment system fungsi pemerintah hanyalah
sebagai pengendali atau steering, sedangkan Wajib Pajak sebagai pelaksana kegiatan
kewajiban perpajakan atau rowing, didalam official assessment system fungsi pemerintah
selain sebagai pengendali atau steering sekaligus merangkap sebagai pelaksana kewajiban
perpajakan atau rowing.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai ketentuan formal
perpajakan dalam pelaksanaan hukum dengan sendirinya tidak dapat
dilakukan begitu saja namun memerlukan suatu alat atau instrumen
pelaksanaan yang berupa:
a. Tata Usaha Perpajakan, yaitu sebagai pelaksanaan hukum acara di bidang
administrasi pajak;
b. Pemeriksaan Pajak yaitu sebagai pelaksanaan hukum acara di bidang pemeriksaan
pajak;
c. Penagihan Pajak, yaitu hukum acara penagihan pajak; dan

29
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

d. Peradilan Pajak, yaitu hukum acara peradilan pajak.


Untuk Penagihan Pajak dan Peradilan Pajak telah tersusun dalam bentuk
undang-undang yaitu berupa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang telah
mengalami perubahan dan tambahan terakhir dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun
2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP) dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 yang telah mengalami perubahan dan tambahan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP). W ajar apabila
timbul suatu pertanyaan yaitu apakah perlu administrasi pajak juga disusun dalam bentuk
undangundang? Terhadap pertanyaan tersebut penulis berpendapat sangat perlu, sebab
administrasi pajak adalah menyangkut pelaksanaan kewajiban dan hak dari Wajib Pajak
yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kewajiban perpajakan yang diberikan kepadanya.
Dengan disusun dalam bentuk undang-undang maka administrasi pajak akan mengatur
lebih jelas akan kewajiban dan hak-hak Wajib Pajak, demikian pula dengan kewajiban dan
tugas aparatur pajak serta ketentuan pidana terhadap kelalaian jabatan yang kemungkinan
timbul merugikan salah satu pihak.
Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya diatur melalui suatu tata usaha
negara. Tata usaha perpajakan pada dasarnya adalah bagian dari tata usaha negara
yang mengatur hubungan antara pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak/DPPKD
dengan masyarakat (Wajib Pajak) dengan tujuan agar meningkatkan tanggung jawab pada
masing-masing pihak, tata usaha perpajakan adalah memiliki paradigma khusus yaitu
sebagai bentuk manifestasi hukum acara perpajakan yang berfungsi sebagai
pelayanan, pengawasan, dan pembinaan. Paradigma ini hanya akan terwujud manakala:
a. Perilaku organisasi mendukung pelaksanaan kerja, yaitu perilaku orang dalam
organisasi dan juga perilaku manajemen dari organisasi dimaksud;
b. Penerapan teknologi manajemen yang akurat sebagaimana kemauan undang-
undang yang melandasinya; dan
c. Pelayanan, pengawasan, dan pembinaan yang menitikberatkan pada kepentingan
umum masyarakat pembayar pajak.

30
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Dengan persyaratan dasar tersebut dimuka maka akan di dapat suatu bentuk
pelayanan yang prima yaitu pemerintah sebagai pengendali atau steering dan masyarakat
Wajib Pajak sebagai pelaksana kewajiban perpajakan atau rowing, di sini pemerintah
dan masyarakat saling mengisi dengan asas kem itraan, saling percaya dan saling
menghormati sebagai filosopi dasar perpajakan yang menganut self assessment, karena
aparatur pajak bertindak sebagai abdi masyarakat dan sekaligus sebagai abdi negara disatu
pihak, dan kewajiban perpajakan adalah merupakan kewajiban kenegaraan dari setiap
Wajib Pajak.

2.6. Metode Perhitungan Potensi


Perhitungan potensi pendapatan dari suatu pajak pada dasarnya adalah merupakan
estimasi (proyeksi), karena tidak ada potensi yang pasti. Sementara itu, estimasi
(proyeksi) pada dasarnya adalah seni dan ilmu untuk memprakirakan masa depan.
Estimasi adalah tahap awal, dan hasilnya merupakan basis bagi seluruh tahapan pada
perencanaan.
Untuk melakukan estimasi secara umum dapat digunakan metode kualitatif
ataupun kuantitatif. Estimasi dengan metode kualitatif didasarkan kepada data kualitatif
dan mesti dilakukan oleh ahli/pakar dalam bidangnya dan berpengalaman. Sedangkan
estimasi dengan metode kuantitatif dapat dikelompokkan kepada 2 model, yaitu:
a. Metode Kausalitas (Cause Effect Methods atau metode sebab akibat) dengan alat
utamanya korelasi dan regresi.
b. Metode Runtut Waktu (Time Series Analysis), metode ini mencoba mengamati suatu
variabel dikaitkan dengan unsur waktu. Alat utama Trend dan indeks musim.

Kedua pendekatan ini saling melengkapi dan dimaksudkan untuk jenis


penggunaan yang berbeda. Pendekatan kausalitas (ekspalanatoris) mengasumsikan
adanya hubungan sebab akibat di antara input dengan output dari suatu system.
Meskipun demikian metode kuantitatif baru dapat digunakan jika tersedia informasi

31
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

tentang masa lalu dan informasi tersebut harus dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data
numerik.
Estimasi (proyeksi) didasarkan kepada asumsi bahwa beberapa aspek pola masa
lalu akan terus berlanjut di masa mendatang. Diantara pola-pola masa lalu tersebut
adalah:
 Pola horisontal (H) terjadi bilamana data berfluktuasi disekitar nilai rata-rata yg
konstan. Suatu produk yg penjualannya tidak meningkat atau menurun selama waktu
tertentu termasuk jenis ini. Pola khas dari data horizontal atau stasioner seperti ini
dapat dilihat dalam Gambar 1.1.
 Pola musiman (S) terjadi bilamana suatu deret dipengaruhi oleh faktor musiman
(misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada minggu tertentu).
Penjualan dari produk seperti minuman ringan, es krim, dan bahan bakar pemanas
ruang semuanya menunjukkan jenis pola ini. Untuk pola musiman kuartalan dapat
dilihat Gambar 1.2.
 Pola siklis (C) terjadi bilamana datanya dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka
panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis. Contoh: Penjualan produk
seperti mobil, baja, dan peralatan utama lainnya. Jenis pola ini dapat dilihat pada
Gambar 1.3.
 Pola trend (T) terjadi bilamana terdapat kenaikan atau penurunan sekuler jangka
panjang dalam data. Contoh: Penjualan banyak perusahaan, GNP dan berbagai
indikator bisnis atau ekonomi lainnya. Jenis pola ini dapat dilihat pada Gambar 1.4.

32
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Dalam statistik, metode estimasi yang terkenal adalah observasi ke depan dari
suatu rangkaian waktu (time series). Jenis lain dari metode penaksiran adalah
ekstrapolasi yang merupakan suatu perluasan dari trend saat ini ke masa depan. Cara ini
memungkinkan untuk menghasilkan penaksiran yang valid. Prakiraan harus
mempertimbangkan ketidakpastian di masa depan dan pembahasan bagaimana kejadian-
kejadian yang mungkin terjadi di masa depan dapat mempengaruhi suatu rangkaian
waktu (Matre & Gilbreath, 1987). Dalam prakteknya, suatu prakiraan mungkin
menjelaskan deskripsi trend, pendapat ahli, dan pertimbangan manejerial. Proses
subjektif ini mungkin menghasilkan suatu rangkaian nilai, ketimbang nilai tunggal,

33
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

sebagai suatu prakiraan. Prakiraan berdasarkan ekstrapolasi dibatasi pada jangka waktu
tidak lebih dari tiga sampai lima tahun dari sebagian besar rangkaian waktu.
Prakiraan statistik berkonsentrasi pada pemanfaatan masa lalu untuk
memprediksi masa depan dengan mengidentifikasi trend, pola dan penggerak bisnis
dalam suau data untuk mengembangkan prakiraan. Prakiraan ini disebut sebagai
prakiraan statistik karena menggunakan rumus matematika untuk mengidentifikasi pola
dan trend, sedangkan Pembahasan hasil untuk kejelasan dan kepercayaan dilakukan
secara matematika. Berikut ini adalah contoh-contoh dari berbagai macam metode
Prakiraan statistik1:

- Analisis Regresi Berganda digunakan ketika terdapat dua atau lebih variabel
independen. Metode ini digunakan secara luas untuk prakiraan jangka menengah.
Metode ini juga digunakan untuk menguji faktor mana perlu dimasukkan dan mana
yang perlu dikeluarkan. Metode ini juga digunakan untuk mengembangkan model
alternatif untuk faktor-faktor yang berbeda. Metode ini diterapkan untuk hubungan
non linear antara variabel dan seringkali digunakan ketika waktu adalah variabel
independen. Salah satu metode yang paling effektif sebagai bagian dari regresi adalah
Analisis Trend yang menggunakan analisis regresi linear dan non linear dengan
waktu sebagai variabel penjelas;

- Analisis Dekomposisi digunakan untuk mengidentifikasi beberapa pola yang muncul


secara simultan dalam suatu rangkaian pemakaian waktu setiap periode. Bentuk ini
juga digunakan untuk menghilangkan musiman dalam suatu rangkaian waktu;

- Rata-Rata Bergerak (Moving Average). Ada berbagai macam analisis rata-rata


bergerak. Yang pertama adalah Rata-Rata Bergerak Sederhana yang menghitung

1
Bisa ditemukan pada http://www.statisticalforecasting.com/ diakses bulan Juli 2010.

34
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

nilai-nilai masa depan berdasarkan rata-rata nilai di masa lalu. Cara ini mudah di-
update. Yang kedua adalah Rata-Rata Bergerak Terbobot yang sangat ampuh dan
ekonomis. Rata-rata bergerak ini secara luas digunakan ketika prakiraan berulang
membutuhkan dan menggunakan metode seperti jumlah digit dan metode trend
penyesuaian. Yang terakhir adalah penyaringan adaptif, suatu jenis rata-rata bergerak
yang termasuk metode pembelajaran dari error masa lalu. Rata-rata bergerak ini
dapat merespon perubahan-perubahan penting trend yang relatif, musiman, dan faktor
random;

- Rata-rata Eksponensial (Exponential Smoothing). Metode ini merupakan rata-rata


bergerak dari rangkaian waktu yang efisien untuk digunakan pada pola musiman.
Metode ini cukup mudah untuk menyesuaikan kesalahan masa lalu dan mudahkan
untuk mempersiapkan prediksi berikutnya. Metode ini ideal untuk situasi dimana
banyak perhitungan yang harus dipersiapkan. Beberapa bentuk berbeda digunakan
tergantung pada keberadaan trend atau variasi siklus. Rata-rata bergerak dan rata-rata
eksponen merupakan dua teknik rata utama (smoothing techniques). Rata-rata
bergerak merupakan nilai rata-rata dari suatu rangkaian waktu yang dihasilkan dari
rata-rata nilai rangkaian dibagi interval waktu. Rata-rata eksponen merupakan suatu
pendekatan yang populer untuk perhitungan jangka pendek. Rata-rata eksponen
menetapkan nilai rata-rata dari suatu rangkaian waktu dengan menghitung suatu rata-
rata bobot semua nilai rangkaian terbaru dan sebelumnya secara eksponen. Sistim
bobot digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan yang diinginkan dari nilai
terbaru dan sebelumnya. Nilai terbaru biasanya ditetapkan berbobot lebih besar
daripada nilai sebelumnya.

Di samping metode-metode yang dijelaskan di atas, dalam praktek juga sering


digunakan analisis tingkat pertumbuhan rata-rata perperiode tertentu baik tahunan,
bulanan, atau mingguan. Metode ini mengasumsikan bahwa perkembangan data urut

35
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

waktu tertentu mempunyai pola pertumbuhan yang sama/rata setiap periode. Oleh sebab
itu, apabila data urut waktu menunjukkan trend yang tidak/kurang berfluktuasi dari
waktu ke waktu maka dapat digunakan analisis tingkat pertumbuhan rata-rata per
periode.
Setiap metode statistik memiliki kelebihan dan kelemahan dalam
memprediksikan masa depan. Metode yang paling sering digunakan untuk perkiraan
yaitu analisis trend. Tetapi analisis trend sederhana bisa diperbaiki dengan metode rata-
rata (smoothing method). Metode ini mencoba untuk menghilangkan efek tidak umum
atau variasi acak dari nilai pada satu rangkaian waktu. Proses perataan dari variasi non
regular memberikan indikasi yang lebih jelas dari pergerakan dasar dalam suatu
rangkaian. Semua model perhitungan prakiraan memilki struktur kesalahan implisit dan
eksplisit, dimana kesalahan didefinisikan sebagai perbedaan antara prediksi model dan
nilai sebenarnya.
Penerapan metode proyeksi tertentu untuk prakiraan ke depan pajak daerah
membutuhkan analisis awal, khususnya deskripsi trend. Kemudian metode ini harus
disesuaikan dengan peraturan dan juga penilaian ahli. Oleh karena itu, setiap penaksiran
haruslah merupakan suatu kombinasi antara pendekatan berdasarkan peraturan, analisis,
dan metode perhitungan statistik yang relevan. Sebagai contoh prakiraan ke depan untuk
pajak daerah, perlu dimulai dengan suatu asumsi pertumbuhan ekonomi daerah,
pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, dan lain-lain.

Menghitung Rata-rata Bergerak Sederhana (Simple Moving Average)


Metode simple moving average (SMA) adalah metode peramalan rata-rata bergerak
yang paling dasar. Formula SMA adalah menghitung rata-rata dari data x peride
terakhir. Lihat contoh SMA berikut. Jumlah data lima periode terakhir adalah:

28.93+28.48+28.44+28.91+28.48 = 143.24

36
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Untuk menghitung rata-rata SMA, kita bagi jumlah dari ke lima data dengan jumlah
periodenya (lima)

5-periode SMA = 143.24/5 = 28.65. Angka ini menjadi angka proyeksi untuk periode
mendatang

Metode ini dapat digunakan bila datanya:


- tidak memiliki trend
- tidak dipengaruhi faktor musim
- Digunakan untuk Proyeksi dengan perioda waktu spesifik.

Menghitung Perataan Eksponensial Tunggal (Single Exponential Smoothing/SES)


Skema perataan ini mulai dengan menetapkan S2 menjadi y1, dimana Si symbol untuk
observasi perataan atau disebut Rata-rata Bergerak Eksponensial Tertimbang (EWMA:
Exponential Weighted Moving Average), dan y merupakan symbol untuk observasi ril.
Indeks menunjukkan periode waktu, 1, 2,…, n. Untuk periode ke tiga,
S3 = y2 + (1- ) S2; dan seterusnya. Tidak ada S1; karena rangkaian rerata mulai dengan
versi perataan dari observasi ke dua. Untuk setiap periode t, nilai perataan St ditentukan
dengan formula:

Persamaan ini adalah persamaan dasar dari metode perataan eksponensial dan konstanta
atau parameter disebut konstanta perataan (smoothing constant).

Catatan: Ada alternatif pendekatan perataan eksponensial yang mengganti yt-1 di dalam
persamaan dasar dengan with yt, sebagai observasi saat ini.

37
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Menentukan EWMA yang pertama adalah pendekatan yang sangat populer untuk
menghasilkan sebuah rangkaian waktu perataan. Jika Rata-rata Bergerak Sederhana
(Single Moving Averages) observasi masa lalu diberi bobot yang sama, Perataan
Eksponensial ditandai dengan penurunan bobot untuk observasi yang semakin lama.
Dengan kata lain, observasi terbaru diberi bobot yang relatif besar dibandingkan dengan
observasi yang lebih tua. Dalam kasus rata-rata bergerak. Bobot untuk semua observasi
yang digunakan adalah sama dengan 1/N. Bagaimanapun juga dalam perataan
eksponensial, ada satu atau lebih parameter perataan yang harus ditentukan (diestimasi)
dan pilihan ini menentukan bobot bagi observasi.

Menghitung Trend Linier


Model ini menggunakan data yang secara random berfluktuasi membentuk garis lurus.
Rumus untuk metoda linier:

d 't  a  bt t  1, 2, 3, .....

a
 t  d   t  td
2
t t

n t   t 
2 2

n td t   t  dt
b
n t 2   t 
2

Dimana:
d’t = Proyeksi untuk saat t
a = konstanta (intercept)
b = kemiringan garis
t = time (independent variable)
dt = demand pada saat t
n = jumlah data

38
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

BAB III
GAMBARAN UMUM
PROVINSI SUMATERA BARAT

3.1. Karakteristik Umum Daerah


Provinsi Sumatera Barat terletak antara 00 54’ Lintang Utara (LU), sampai dengan 30 30’
Lintang Selatan (LS), dan 980 36’ sampai 1010 53’ Bujur Timur (BT), mempunyai luas
daerah daratan ± 42.297,21 km² atau setara dengan 42.229.721 Ha dan luas perairan
(laut) ± 52.882,42 km² dengan panjang pantai wilayah daratan ± 375 km ditambah
panjang garis pantai kepulauan mentawai ± 1.003 km, sehingga total garis pantai
keseluruhan ± 1.378 km. Perairan laut ini memiliki 185 pulau-pulau besar dan kecil.
Secara administratif, wilayah Sumatera Barat berbatasan sebelah utara dengan Provinsi
Sumatera Utara, sebelah selatan dengan Provinsi Bengkulu, sebelah Barat dengan
Samudera Hindia dan sebelah Timur dengan Provinsi Riau dan Jambi. Peta administrasi
Provinsi Sumatera Barat seperti Gambar 3.1.
Gambar 3.1
Peta Administrasi Provinsi Sumatera Barat

39
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Sumatera Barat berdasarkan letak geografisnya tepat dilalui garis khatulistiwa


(garis lintang nol derajat) tepatnya di Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman. Karena itu
umatera Barat mempunyai iklim tropis dengan rata-rata suhu udara 25,78˚C dan rata-
rata kelembaban yang tinggi yaitu 86,67% dengan tekanan udara rata-rata berkisar
994,69 mb. Pengaruh letak ini, maka menurut ketinggiannya, wilayah di Provinsi
Sumatera Barat sangat bervariasi mulai dari dataran rendah di pantai dengan ketinggian
0 m hingga dataran tinggi (pegunungan) dengan ketinggian > 3000 m di atas permukaan
laut (dpl). Luas areal yang mempunyai ketinggian 0 sampai 100 m dpl meliputi
1.286.793 ha (30.41%), daerah dengan ketinggian 100 – 500 m dpl mencapai 643.552 ha
(15,21%), antara 500 – 1.000 m dpl seluas 1.357.045 ha (32,07%), antara 1.000 – 1.500
m dpl terdapat 767.117 ha (18,13%), daerah dengan ketinggian 1.500 – 2.000 m dpl
tercatat 113.116,6 Ha (2,67%), dan sisanya daerah dengan ketinggian di atas 2.500 m
dpl.
Gambaran karakteristik daerah Kabupaten/Kota se Sumatrera Barat dapat
dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1
Karakteristik Kabupaten/Kota se Sumatera Barat
NAMA LUAS JUMLAH NAGARI/ JUMLAH
NO KAB/ (KM 2 ) KONDISI/KAWASAN KECA- DESA/ GEOGRAFIS PENDUDU
KOTA MATAN KELURAHAN K 2015
Kabupaten Kep. Mentaw ai adalah daerah
tertinggal yang terletak 82 mil laut di sebelah Barat
Provinsi Sumatera Barat yang merupakan 000 55’ – 030 21’ LS
Kep.
1 6.011,35 gugusan pulau-pulau besar dan kecil dengan 10 43 980 35’ – 1000 32’ 85.300
Mentaw ai jumlah pulau 98, 4 buah pulau besar (Sibeurt, BT
Sipora, Pagai Utara & Pagai Selatan) dan 2 buah
pulau terluar (sibaru-baru dan
sinyaunyau)

40
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.1 (Lanjutan..)


NAMA LUAS JUMLAH NAGARI/ JUMLAH
NO KAB/ (KM 2 ) KONDISI/KAWASAN KECA- DESA/ GEOGRAFIS PENDUDU
KOTA MATAN KELURAHAN K 2015

Kabupaten Pesisir selatan terletak di Selatan Barat


Prov. Sumatera Barat yang dilalui oleh jalur
Padang Prov. Sumbar dengan Kota bengkulu, 00 59’ – 20 28’ LS
Pesisir
2 5.794,95 topografi memiliki kemiringan lereng antara 0% - 12 76 1090 19’ – 1010 18’ 450.200
Selatan >40% dengan pergunungan setinggi 2.000 meter, BT
juga memiliki Garis Pantai sepanjang sekitar 234
Km yang memiliki 74 pulau-pulau kecil
Kabupaten Solok dibagian dengan Prov. Sumatera
Barat yang dilalui oleh jalur utama Padang Prov.
Sumbar dengan Provinsi Jambi (lintas tengah
010 20’ 27” – 010
Sumatera) yang mempunyai topografi yang
21’39” LS
bervariasi berlembah2 dan berbukit2 dengan
3 Solok 7.084,02 14 74 1000 25’ 00” – 1000 363.700
ketinggian antara 329 mtr dpl sampai dengan
33’
1.458 m dpl, Kabupaten Solok juga memilki 1 buah
43” BT
Gunung Berapi yaitu Gunung talang , serta memiliki
beberapa danau ( D. Singkarak, D. Diatas, D.
Dibaw ah, D. Talang)
Kabupaten Sijunjung terletak di bagian timur 00 18’ 43” LS – 10 41’
provinsi sumatera barat dilalui oleh jalur utama 46” LS
4 Sijunjung 3.130,80 antara Prov. Riau dengan Prov. Jambi, topografi 8 54 1000 46’ 50” – 1010 222.500
Kabupaten sijunjung daerah yang berbukit-bukit 53’
pada ketinggian antara 100 - 1.250 m dpl 50” BT
Kabupaten Tanah Datar terletak Bagian tengah
arah ke timur Prov. Sumbar yang dilalui oleh jalur
Padang Prov. Sumbar dengan Pekan Baru Prov.
Riau serta jalur2 yang menghubungkan beberapa
000 17” – 000 39” LS
Tanah kabupaten, dengan topografi yang datar,
5 1.336,00 14 1000 19” – 1000 51” 344.800
Datar bergelombang, berbukit, dengan ketinggian antara
BT
200 m dpl sampai dengan 1.000 mtr dpl, memiliki 3
buah gunung yaitu g. Merapi, G. Singalang, G.
Sago, Tanah Datar memiliki Danau yaitu Danau
Singkarak.
Kabupaten Padang Pariaman Yang terletak di
Bagian Barat tengah Provinsi Sumatera Barat
yang dilalui oleh 2 jalur utama yaitu Jalur yang
menghubungkan antara Pekan Baru Provinsi Riau
dengan Padang Provinsi Sumbar dan jalur yang 00 11’ 5” – 30 30’ LS
Padang
6 1.328,79 menghubungkan Madina Prov. Sumatera Utara 17 46 980 36’ – 1000 40’ 406.100
Pariaman
dengan Padang Sumatera Barat, Padang Pariaman BT
memiliki 2 buah gunung (gunung tandikek dan
Gunung Sago) dengan panjang garis pantai 60,0
km dan memiliki 2 buah Pulau (Pulau Pieh dan Pulau
Bando)
Kabupaten Agam pada bagian tengah Sumatera 000 01'34" - 000 28'
Barat dilalui jalur lintas tengah Sumatera dan jalur 43” LS
lintas barat, Agam juga memiliki dua buah gugung 990 46 '39" – 1000 32'
7 Agam 2.232,30 (gunung merapi=2.891 mtr) dan (gunung 16 82,00 476.900
50" BT
singgalang=2.877 mtr), panjang garis pantai 43 mtr
dan 2 buah pulau
Kabupaten Lima Puluh Kota terletak di timur bagian
utara Provinsi Simatera Barat yang dilalui jalur 000 25’ 28,71” LU –
yang menghubungkan antara Provinsi Riau 000
Lima Puluh 22’ 14,52” LS
8 3.354,30 dengan Provinsi Sumatera Barat dengan 13 79 369.000
Kota kelerengan antara 0% /1 m - 40% >300 m dan 1000 15’ 44,10” –
memiliki 3 buah gunung ( Gunung Sago = 2.261, 1000
Gunung Bungsu=1.253, Gunung Sanggul = 1.495,) 50’ 47,80” BT

41
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.1 (Lanjutan..)


NAMA LUAS JUMLAH NAGARI/ JUMLAH
NO KAB/ (KM 2 ) KONDISI/KAWASAN KECA- DESA/ GEOGRAFIS PENDUDU
KOTA MATAN KELURAHAN K 2015
Kabupaten Pasaman terletak Paling Utara
Sumatera Barat yang dilalui oleh jalur lintas Medan-
Prov. Sumut dengan Padang Prov. Sumbar dengan 00 55’ LU – 0006’ LS
9 Pasaman 3.947,63 topografi ketinggian antara 50 m sampai dengan 12 32 090 45’BT – 1000 21’ 269.900
2.240 meter yang memiliki 5 buah pegunungan (G. BT
Ambun, G, Sigapuak, G. Kalabu, G. Malenggang,
G.Tambian)
Kabupaten Solok Selatan di bagian tengah paling
selatan provinsi Sumatera Barat yang dilalui oleh
jalur Padang Prov. Sumbar dengan Kerinci Prov.
Jambi, Kabupaten ini termasuk daerah tertinggal 010 17’ 13” – 010 46’
provinsi Sumatera Barat, yang memiliki topografi 45” LS
Solok
10 3.346,20 dengan ketinggian 350 - 430 meter d pl, dengan 7 34 1000 53’ 24” – 1010 159.800
Selatan
yang 60 % dari w ilayah Solok Selatan berada 26’
pada kemiringan di atas 40 % yang tergolong 27” BT
sangat curam dan raw an terhadap bahaya
longsor. Kabupaten Solok Selatan masih
merupakan daerah tertinggal.
Kabupaten Dharmasraya terletak di timur 000 47’ 07” – 000 41’
Sumatera Barat yang berjarak sekitar 196 km dari 56” LS
Ibukota Provinsi dan dilalui oleh jalur lintas 1010 09’ 21” – 1010
Dharmasr 54’
11 2.961,13 Sumatera yang menghubungkan langsung Prov. 11 52 223.100
aya Jambi- Prov. Sumbar Dharmasraya mempunyai 27” BT
topografi yang sebegian besar landai antara 0%-
40%.
Kabupaten Pasaman Barat terletak di Utara Prov.
Sumatera Barat yang berbatasan langsung
dengan Madina Prov. Sumut yang dilalui oleh Jalur 00 33’ LU – 00 11’
Pasaman yang menghubungkan Antara Madina Prov. Sumut LS
12 3.877,77 11 19 410.300
Barat dengan Padang prov. Sumbar, topografi Pasaman 990 10’ – 1000 04’
dengan ketinggian antara 0-2.912 m (G. Malintang, BT
G. Talamau). Kabupaten Pasaman Barat masih
merupakan daerah tertinggal.
Kota Padang adalah Ibukota Provinsi Sumatera
Barat yang terletak di Bagian Barat Prov.
Sumatera Barat yang memiki 3 jalur utama arah 000 44’ 00” – 010 08’
Selatan ke Bengkulu, Arah Utara Medan dan 35” LS
Kota
13 694,96 Pekan Baru, Arah timur menuju Lintas Sumatera 11 193 1000 05’ 05” – 1000 902.400
Padang
bagian tengah, topografi Kota Padang dengan 34’
kelerengan 0-40% dengan ketinggian 0 m dpl 09” BT
sampai dengan >1000 m dpl, dengan garis pantai
+ 84 Km dan mempunyai 19 pulau-pulau kecil.
Kota Solok mempunyai posisi yang strategis 00 74’ – 00 81’ LS
karena terletak pada lintasan regional antara Kota 1000 54’ – 1000 68’
14 Kota Solok 57,64 Padang dan Provinsi Jambi, serta dari Jakarta 2 7 BT 66.100
menuju Bukittinggi. Ketinggian Kota Solok berada
pada 390 m dpl dengan kelerengan 0 - > 45%.
Kota Saw ahlunto yang merupakan Kota Tambang
dengan cadangan batubara sebanyak 73 juta ton
Kota dan terletak di tengah Provinsi Sumatera Barat 00 34’ – 00 46’ LS
15 Saw ahlunt 273,45 yang dilalui jalur antar kabupaten – kota di 4 37 1000 41’ – 1000 49’ 60.200
o Sumatera Barat. Ketinggian Kota Saw ahlunto BT
berada pada 250 – 650 M dpl, kemiringan 0 - >
40%.

42
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.1 (Lanjutan..)


NAMA LUAS JUMLAH NAGARI/ JUMLAH
NO KAB/ (KM 2 ) KONDISI/KAWASAN KECA- DESA/ GEOGRAFIS PENDUDU
KOTA MATAN KELURAHAN K 2015
Kota Padang Panjang terletak di tengah- tengah
Provinsi Sumatera Barat yang dilalui oleh jalur
utama menuju Padang – Pekanbaru dan jalur
Kota 00 27’ – 00 30’ LS
lainnya yang menghubungkan antar
16 Padang 23,00 2 8 1000 20’ – 1000 27’ 50.900
kabupaten/kota di Sumatera Barat. Topografi Kota
Panjang BT
Padang Panjang memiliki kemiringan lereng 0 –
40% dengan ketinggian berkisar antara 550 m dpl
– 900 m dpl.
Kota Bukittinggi terletak dibagian tengah Prov.
Sumatera Barat yang dilalui oleh beberapa jalur
strategis diantaranya Padang ke Medan, Padang 000 16’ – 000 20’ LS
Kota
17 25,239 Pekan Baru, serta persimpangan antar kabupaten, 3 24 1000 20’ – 1000 25’ 122.600
Bukittinggi
Kota Bukittinggi mempunyai kemiringan lereng BT
antara 0% sampai dengan 8% dengan ketinggian
756 - 960 m dpl.
Kota Payakumbuh berada pada bagian timur
Provinsi Sumatera Barat yang merupakan daerah
Kota strategis jalur utama Padang (Provinsi Sumbar) – 000 10’ – 00 17’ LS
18 Payakumb 80,43 Pekanbaru (Prov. Riau). Letak Kota Payakumbuh 1000 35’ – 1000 48’ 127.800
uh berada di utara gunung api podam (G. Malintang) BT
pada ketinggian 500m dpl, dengan kemiringan 0 -
> 40%.
Kota Pariaman terletak di bagian barat Provinsi 00 33’ 00” – 00 40’ 43”
Sumatera Barat yang dilalui oleh beberapa jalur LS
Kota strategis antara Padang – Madina Sumut, dengan 1000 10’ 33” – 1000
19 73,54 kemiringan antar 0 – 40% dan ketinggian 2 – 35 m 4 71 10’ 84.700
Pariaman
dpl. Kota Pariaman memiliki 6 buah pulau- pulau 55” BT
kecil dengan panjang garis pantai 12,7 Km.

Dengan kondisi topografi tersebut di atas, potensi sumberdaya alam yang


terdapat di Sumatera Barat memiliki berbagai variasi intensitas dan penggunaannya.
Pada dataran rendah intensitas penggunaan lahan dapat lebih maksimal, sementara itu
pada dataran tinggi intensitas penggunaan lahannya akan dihadapkan pada faktor
pembatas lahan. Untuk pemanfaatan lahan secara optimal, harus terlebih dahulu secara
seksama memperhatikan kondisi lahan dan lingkungan. Sehingga tidak terjadi kerusakan
berdampak negatif untuk masa kini dan yang akan datang. Dataran tinggi di wilayah
Sumatera Barat sebagian besar merupakan jajaran perbukitan dan pegunungan termasuk
rantai Pegunungan Bukit Barisan yang membentang dari Utara hingga Selatan Pulau
Sumatera. Lahan yang ada pada kawasan perbukitan dan pegunungan tersebut dengan
kelerengan di atas 40% tercatat 1.017.000 Ha.

43
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Provinsi Sumatera Barat menjadi gerbang masuk wilayah barat Indonesia yang
didukung oleh prasarana transportasi darat, laut dan udara yang memadai, seperti jalan
nasional Trans Sumatera, Bandara Internasional Minangkabau, dan pelabuhan laut
internasional Teluk Bayur. Selain itu secara geologis Provinsi Sumatera Barat
merupakan daerah rawan gempa bumi, terutama di jalur gunung berapi. Hal ini
terkait dengan kondisi fisik Pulau Sumatera sebagai Great Sumatra Fault di sepanjang
pesisir barat Sumatera dan Mentawai Fault di kepulauan Mentawai yang saling
mendesak sehingga terjadi gerakan di lempeng besar dan micro plate. Kondisi tersebut
menjadikan Provinsi Sumatera Barat rentan terhadap bencana alam seperti tanah
longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang berpotensi terjadinya gelombang
tinggi dan/atau tsunami.
Lahan daratan Provinsi Sumatera Barat yang luas termasuk pulau-pulau kecil
menjadi modal pembangunan yang sangat potensial dimanfaatkan, tidak saja untuk
kegiatan pertanian dan kehutanan, tetapi juga pada beberapa bagian wilayahnya dapat
dikembangkan untuk permukiman maupun industri. Secara umum pemanfaatan lahan di
provinsi ini cukup intensif untuk pengembangan perekonomian, sementara daratan
kepulauan seperti Kepulauan Mentawai pemanfaatannya masih terbatas.
Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang
memiliki tatanan geologi kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang berbeda pada
daerah tumbukan dua lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia di bagian
selatan dan lempeng Euroasia di bagian utara yang ditandai dengan terdapatnya
pusat-pusat gerakan tektonik di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya. Akibat tumbukan
kedua lempeng besar ini selanjutnya muncul gejala tektonik lainnya yaitu busur
magmatik yang ditandai dengan munculnya rangkaian pegunungan Bukit Barisan beserta
gunung apinya dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan
zona tumbukan kedua lempeng yaitu utara-selatan.
Pada sisi lain, tatanan geologi ini berdampak positif bagi Provinsi Sumatera
Barat. Dampak positif tersebut berupa munculnya mineral-mineral berharga seperti

44
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

emas, perak, bijih besi, mangan, timah hitam, obsidian dan lain-lain; tanah yang subur
dan banyak sumber air bersih maupun air panas yang berasal dari kawasan geomorfologi
struktural namun dekat dengan sumber panas bumi yang berasal dari magma dangkal.
Dengan demikian Sumatera Barat merupakan provinsi yang mempunyai potensi sumber
daya alam yang memadai untuk dieksploitasi bagi pembangunan.
Struktur geologi yang berkembang adalah struktur perlipatan (antiklinorium)
dan struktur sesar dengan arah umum barat laut – tenggara, yang mengikuti struktur
regional Pulau Sumatera. Struktur yang terdapat berupa Great Sumatera Fault di
sepanjang pesisir barat Pulau Sumatera dan Mentawai Fault di Kepulauan Mentawai
yang saling mendesak sehingga terjadi gerakan di lempeng besar dan micro plate.
Selain geologi dasar laut, di daratan terdapat patahan semangka yang membujur dari
Solok Selatan sampai Pasaman. Kondisi ini menjadikan Provinsi Sumatera Barat
memiliki kerawanan bencana gempa bumi yang tinggi.
Kondisi hidrologi Provinsi Sumatera Barat memiliki sumberdaya air yang cukup
besar jika dilihat dari jumlah sungai dan danau. Jumlah sungai di Provinsi Sumatera
Barat mencapai 606 sungai yang sebahagian bermuara ke Samudera Hindia di Pantai
Barat dan sebahagian lagi ke arah Pantai Timur Pulau Sumatera. Wilayah Sumatera
Barat yang dialiri sungai ini dapat dibagi atas 9 Satuan Wilayah Sungai (SWS) yaitu
SWS Akuaman, Pulau Siberut, Natal-Batahan, Kampar, Batang Hari, Silaut, Rokan,
Indragiri dan Masang. Sumber air sungai tersebut berasal dari pegunungan dan danau
(Danau Diatas, Danau Dibawah, Danau Maninjau dan Danau Singkarak). Danau
Singkarak yang terletak di Kabupaten Solok dan Tanah Datar mempunyai luas 13.011
2 2
km , Danau Maninjau terdapat di Kabupaten Agam mempunyai luas 9.950 km ,
2 2
sedangkan Danau Diatas (3.150 km ), Danau Dibawah (1.400 km ), dan Danau Talang
2
(1,02 km ) terdapat di Kabupaten Solok.
Kondisi iklim Sumatera Barat secara umum dapat digambarkan dari curah hujan
dan suhu wilayahnya. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.980 sampai lebih dari
5.000 mm/tahun dengan kecenderungan daerah bagian barat lebih basah bila

45
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

dibandingkan dengan bagian timur. Keadaan yang lebih basah dibagian barat ini
berkaitan dengan dibawanya uap air oleh tiupan angin laut yang membentur bukit dan
gunung sehingga hujan lebih banyak dan sering turun di belahan barat Bukit
Barisan. Tingginya curah hujan tersebut menyediakan air yang cukup banyak di bagian
barat provinsi ini sehingga sangat menunjang untuk budidaya pertanian antara lain untuk
tanaman pangan dan hortikultura.
Karakteristik iklim Provinsi Sumatera Barat termasuk iklim tropika basah.
Klasifikasi iklim berdasarkan sistem Schmidt-Fergusson daerah ini dapat dibagi menjadi
3 tipe iklim yaitu tipe A, B dan C. Daerah sepanjang pantai barat tergolong kepada tipe
A dengan luas wilayah cakupannya mencapai 2.672.000 Ha. Daerah lereng timur Bukit
Barisan yang merupakan daerah bayangan hujan menerima curah hujan lebih kecil
tergolong kepada tipe B dengan 265.700 Ha dan tipe C dengan luas wilayah
cakupannya 100.800 Ha terdapat di lereng Timur Gunung Merapi yaitu sekitar Danau
Singkarak di Kabupaten Tanah Datar dan di selatan Gunung Talang meliputi di
Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok.
0 0
Suhu di Sumatera Barat tercatat antara 18 – 34 C dengan suhu rata-rata lebih
0 0 0
kurang 25,5 C. Perbedaan antara temperatur siang dan malam antara 5 – 7 C. Suhu
terendah biasanya terjadi antara bulan Oktober sampai dengan Desember dan suhu
tertinggi terjadi antara bulan Juli dan Agustus. Pada umumnya daerah dataran tinggi
0 60
mempunyai suhu 4 – C lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah pesisir barat.
Lebih rendahnya suhu di daerah pegunungan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan
sentra hortikultura dan dapat dikembangkan sebagai daerah agrowisata potensial
terutama dipegunungan yang terdapat di wilayah Agam, Tanah Datar, Bukittinggi dan
Padang Panjang serta pada kawasan Kayu Aro sampai ke Pantai Cermin di Kabupaten
Solok. Kelembaban udara antara 79 % – 87 % dengan kecepatan angin antara 1,25 –
7,72 knot. Daerah dengan kelembaban yang tinggi terjadi di daerah pesisir dan
Kepulauan Mentawai.

46
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Penggunaan lahan merupakan manifestasi dari kegiatan sosial-budaya dan sosial-


ekonomi dalam upaya pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada. Penggunaan
lahan di Provinsi Sumatera Barat secara umum meliputi kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Kawasan lindung dibedakan menjadi kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan bawahannya, dan kawasan perlindungan setempat, sedang
kawasan budidaya diantaranya berupa kawasan permukiman, kawasan pertanian
tanaman pangan, kawasan perkebunan, kawasan peternakan, kawasan industri, kawasan
pertambangan, kawasan perikanan dan kelautan, dan kawasan hutan.
Kawasan permukiman merupakan kawasan di luar kawasan lindung yang
digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian masyarakat yang
berada di wilayah perkotaan dan perdesaan Provinsi Sumatera Barat, dengan
mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan diupayakan tidak melakukan peralihan
fungsi terhadap lahan pertanian teknis. Secara keseluruhan luas lahan terbangun di
Provinsi Sumatera Barat direncanakan seluas 70.328 Ha, sebagian besar kawasan
terbangun berupa permukiman, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok yakni
permukiman perkotaan, dan permukiman perdesaan (termasuk pesisir).
Sedangkan untuk kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor
35/Kpts-II/2013, luas kawasan hutan Provinsi Sumatera Barat 2.342.893,24 Ha dengan
rincian: Hutan Suaka Alam (termasuk TNKS) seluas ± 769.774,66 Ha, Hutan
Lindung (HL) ± 791.671,00 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ± 233.210,58
Ha, Hutan Produksi (HP) seluas ± 360.608,00 Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK)
seluas 187.629,00 Ha, seperti pada Tabel 3.2.
Selanjutnya untuk kawasan pertanian, potensi sumberdaya lahan tanaman pangan
dan hortikultura meliputi lahan sawah dan lahan bukan sawah yang terdiri dari
pekarangan, ladang, dan tegalan/kebun. Potensi luas lahan pertanian bukan sawah pada
tahun 2015 seluas 2.830.235 Ha. Dari potensi tersebut 70,34% dimanfaatkan dan
sisanya 29,66% belum dimanfaaatkan. Hal ini menunjukkan bahwa masih tersedia lahan

47
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

yang cukup luas untuk pengembangan usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura
yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota, Provinsi Sumatera Barat.
Kawasan perkebunan di Provinsi Sumatera Barat dikembangkan berdasarkan
fungsi kawasan dan potensi yang ada pada daerah masing-masing dan memiliki prospek
ekonomi cepat tumbuh. Pengembangan kawasan perkebunan diarahkan dengan
pemanfaatan potensi lahan yang memiliki kesesuaian untuk perkebunan, berada pada
kawasan budidaya, dan menghindarkan timbulnya konflik pemanfaatan lahan dengan
kawasan lindung, kawasan hutan produksi tetap dan produksi terbatas, kawasan industri,
dan kawasan permukiman.

48
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.2
Luas Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Barat
KABUPATEN/ Fungsi Hutan
No JUMLAH
KOTA KPA/KSA HL HPT HP HPK APL
Kabupaten
1 Kep. Mentawai 183,396,94 7.712,06 0.00 247.186,38 54.956,37 107.883,25 601.135,00
2 Pesisir Selatan 285.420,14 23.905,73 46.274,19 4.563,14 30.974,06 188.357,73 579.495,00
3 Solok 48.245,45 117.542,85 12.799,27 5.645,18 9.808,67 179.758,58 373.800,00
4 Sijunjung 40.048,87 78.663,69 29.923,48 21.916,46 15.601,80 126,925,70 313.080,00
5 Tanah Datar 20.125,40 19.682,90 0.00 9.317,98 96,53 84.337,19 133.600,00
6 Padang 16.118,20 15.624.54 0.00 0.00 0.00 101.136,25 132.879,00
7 Agam 26.513,66 22.679,11 7.696,34 3.133,52 8.449,83 154.757,54 223.230,00
8 Lima Puluh Kota 20.598,48 124.040,96 19.504,94 5.287,18 11.371,04 154.627,39 335.430,00
9 Pasaman 32.732,17 200.539,68 26.801,27 0.00 8.614,86 176.075,02 444.763,00
10 Solok Selatan 65.836,33 83.794,72 53.684,20 13.049,50 19.753,96 98.501,28 334.620,00
11 Dharmasraya 5.967,08 11.935,30 31.100,58 26.591,73 16.795,40 203.722,91 296.113,00
12 Pasaman Barat 59,46 72.070,74 5.041,84 18.838,68 6.986,93 235.779,35 338.777,00
Kota
13 Padang 23.938,32 12.066,08 245,36 0.00 0.00 33.246,24 69.496,00
14 Solok 770,01 342,99 0.00 0.00 0.00 4.651,00 5.764,00
15 Padang Panjang 4,14 601,77 0.00 0.00 0.00 1.694,09 2.300,00
16 Sawahlunto 0.00 120,60 139,11 5.078,25 4.219,54 17.787,51 27.345,00
17 Bukittinggi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.524,00 2.524,00
18 Payakumbuh 0.00 347,28 0.00 0.00 0.00 7.695,72 8.043,00
19 Pariaman 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.336,00 7.336,00
JUMLAH 769.774,66 791.671,00 233.210,58 360.608,00 187.629,00 1.886.836,76 4.229.730,00
Sumber: Dinas Kehutanan, Tahun 2015

Catatan:
KPA/KSA : Kawasan Pelestarian Alam/Kawasan Suaka Alam/Nature
. Conservation Area/Nature SanctuaryArea
HL : Hutan Lindung
HPT : Hutan Produksi Terbatas
HP : Hutan Produksi Tetap
HPK : Hutan Produksi yang dapat dikonversi
APL : Areal Penggunaan Lain

Sedangkan untuk pembangunan peternakan di Provinsi Sumatera Barat


merupakan usaha untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak dalam upaya

49
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

menyediakan protein hewani baik untuk konsumsi sendiri, pemasokan ke wilayah


provinsi lain maupun ekspor. Usaha pengembangan peternakan di provinsi ini ditunjang
dengan ketersediaan pakan ternak dan prasarana penunjang peternakan. Pakan ternak
untuk ternak besar dan kecil tersedia cukup banyak, yang terdiri dari rumput alam
maupun rumput unggul, sisa pertanian (daun jagung dan jerami), dan limbah industri.
Prasarana penunjang yang lain meliputi Rumah Potong Hewan sebanyak 7 unit,
pasar ternak 29 unit, TPH 32 unit, poskeswan 41 unit, pos Inseminasi Buatan (IB) 110
unit, dan Balai Inseminasi Buatan (BIB) 1 unit.
Pengembangan usaha perternakan dilakukan dengan pendekatan agribisnis
melalui pengembangan kawasan sentra komoditi unggulan ternak. Kawasan
peternakan di Sumatera Barat antara lain Kawasan Sentra Produksi Sapi, Kerbau dan
Unggas dan Kawasan Terintegrasi Ternak Sapi dan Tanaman Perkebunan yang tersebar
di Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman Barat,
Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Dharmasraya,
Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Sijunjung.
Selanjutnya untuk kawasan industri membutuhkan areal cukup luas, dan
berpengaruh terhadap perubahan lingkungan, baik bentang alam, maupun kondisi sosial
ekonomi dan lingkungannya. Kawasan industri diharapkan mampu menjadi stimulus
percepatan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar dan wilayah
lebih luas, dengan tetap memperhatikan upaya mencegah pencemaran fungsi lingkungan.
Disamping itu ditetapkan juga untuk pengembangan industri dengan pendekatan sentra
yang tersebar pada hampir semua kabupaten kota. Seperti sentra industri industri
makanan di Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh dan industri kerajinan di
Kabupaten Tanah datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota
Sawahlunto.
Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah yang juga kaya akan hasil
pertambangan, terutama batubara dan berbagai pertambangan mineral lainnya. Dalam
mengelola usaha pertambangan, pemerintah menetapkan Wilayah Pertambangan (WP),

50
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

yang terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Wilayah usaha pertambangan (WUP), adalah bagian dari wilayah
pertambangan (WP) yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi
geologi. WUP ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui koordinasi dengan pemerintah
provinsi. Wilayah yang telah mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang
selanjutnya disebut WIUP di Provinsi Sumatera Barat terdapat di seluruh kabupaten
kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai, dan 2 (dua) kota, yaitu Kota Padang dan Kota
Sawahlunto, yang meliputi usaha pertambangan batubara dan pertambangan mineral.
Wilayah pertambangan rakyat (WPR), adalah bagian dari wilayah pertambangan
(WP) tempat dilakukannya usaha pertambangan rakyat. WPR ditetapkan oleh
bupati/walikota, sesuai pasal 21, Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan. Kegiatan pertambangan tanpa izin yang dilakukan rakyat di Provinsi
Sumatera Barat cukup banyak dan tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota. Lokasi ini
belum ditetapkan sebagai wilayah pertambangan rakyat (WPR). Selanjutnya sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
pengelolaan pertambangan beralih menjadi kewenangan provinsi. Oleh sebab itu
penetapan prioritas WPR akan menjadi kewenangan provinsi.
Wilayah pencadangan negara (WPN), adalah bagian dari wilayah
pertambangan (WP) yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Penetapan
wilayah pencadangan negara (WPN) dilakukan oleh pemerintah pusat dengan tetap
memperhatikan aspirasi daerah sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas
tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan
lingkungan. WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu dapat diusahakan sebagian
luasnya, sedangkan WPN yang ditetapkan untuk konservasi ditentukan batasan
waktunya. WPN yang diusakan sebagaian luasnya statusnya berubah menjadi wilayah
usaha pertambangan khusus (WUPK).

51
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Hampir semua wilayah administrasi merupakan rencana usaha pertambangan,


karena 17 dari 19 wilayah administrasi kabupaten/kota mempunyai bahan pertambangan
yang berpotensi untuk dieksploitasi. Untuk pengembangan potensi minyak, gas bumi
dan geothermal pengembangan menjadi : (1) Blok North Kuantan; (2) Blok Bukit
Barisan Barat Daya; (3) Wilayah kerja geothermal Solok, dan (4) Wilayah kerja
geothermal Solok Selatan
Sementara untuk pengembangan kawasan perikanan di Sumatera Barat terdiri
dari perikanan tangkap, perikanan budidaya dan perikanan perairan umum. Untuk
kawasan perikanan tangkap dikembangkan di 2 kota dan 5 Kabupaten yang mempunyai
wilayah pesisir dan laut. Masing-masing daerah tersebut adalah Kota Padang, Kota
Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat,
Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Pesisir Selatan. Zona perikanan tangkap
komersil (pelagis) terdapat di perairan Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai
yang mengarah ke lautan Hindia dan perairan Kabupaten Pesisir Selatan.
Seluruh kawasan pesisir kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat
disamping dimanfaatkan untuk budidaya ikan laut juga untuk pertambakan, keramba dan
budidaya rumput laut, serta kerang-kerangan. Selain itu, juga dialokasikan untuk
membangun konstruksi infrastruktur di lahan pantai guna kepentingan penyimpanan
(gudang), pengolahan hasil dan transportasi sarana/input produksi budidaya laut.

3.2. Demografi
Berdasarkan data Sumatera Barat Dalam Angka (2018) total penduduk Provinsi
Sumatera Barat tahun 2013 berjumlah 5.066.476 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-
laki 2.515.942 jiwa dan perempuan 2.550.534 jiwa. Hasil proyeksi penduduk Sumatera
Barat tahun 2017 berjumlah 5.321.489 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
2.649.599 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 2.671.890 jiwa. Sebaran
penduduk Sumatera Barat menurut Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Tabel 3.3 dan
Tabel 3.4.

52
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Sumatera Barat Menurut Kabupaten/Kota
Tahun 2013 – 2017
No Kabupaten/Kota Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017
Kabupaten :
1 Kep.Mentawai 81.840 83.603 85.295 86.981 88.692
2 Pesisir Selatan 442.681 446.479 450.186 453.822 457.285
3 Solok 358.383 361.095 363.684 366.213 368.691
4 Sijunjung 214.560 218.588 222.512 226.300 230.104
5 Tanah Datar 342.864 343.875 344.828 345.706 346.578
6, Padang Pariaman 400.890 403.530 406.076 408.612 411.003
7 Agam 468.970 472.995 476.881 480.722 484.288
8 Lima Puluh Kota 361.645 365.389 368.985 372.568 376.072
9 Pasaman 263.838 266.888 269.883 272.804 275.728
10 Solok Selatan 153.943 156.901 159.796 162.724 165.603
11 Dharmasraya 210.686 216.928 223.112 229.313 235.476
12 Pasaman Barat 392.907 401.624 410.307 418.785 427.295

Kota :
13 Padang 876.670 889.561 902.413 914.968 927.011
14 Solok 63.541 64.819 66.106 67.307 68.602
15 Sawahlunto 58.972 59.608 60.186 60.778 61.398
16 Padang Panjang 49.536 50.208 50.883 51.712 52.422
17 Bukittinggi 118.260 120.491 122.621 124.715 126.804
18 Payakumbuh 123.654 125.690 127.826 129.807 131.819
19 Pariaman 82.636 83.610 84.709 85.691 86.618
SUMBAR 5.066.476 5.131.882 5.196.289 5.259.528 5.321.489
Sumber : BPS Provisi Sumatera Barat Dalam Angkat 2018 (diolah)

Pertumbuhan jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat terus mengalami


penurunan setiap tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 2013 sebesar 1,33%
menjadi 1,18 pada tahun 2017 seperti terlihat pada Tabel 3.4.

53
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.4
Struktur Penduduk Provinsi Sumatera Barat Menurut Jenis Kelamin (jiwa)

No Uraian Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017
1 Jumlah penduduk 5.066.476 5.131.882 5.196.289 5.259.528 5.321.489
Laki-laki 2.515.942 2.550.392 2.584.192 2.617.273 2.649.599
Perempuan 2.550.534 2.581.490 2.612.097 2.642.255 2.671.890
Laju Pertumbuhan
2 1,33 1,30 1,26 1,22 1,18
Penduduk (%)

Sumber : BPS Provisi Sumatera Barat Dalam Angkat 2018 (diolah)

3.3. Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan salah satu indikator yang cukup penting dalam
menentukan tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi
yang bersumber dan berbasis pada aktivitas ekonomi rakyat ditingkat lokal secara
berkelanjutan diharapkan dapat menurunkan tingkat ketergantungan daerah terhadap
pihak luar. Perkembangan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan akan
menimbulkan kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya secara
mandiri terutama dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakatnya
(publik).
PDRB Sumatera Barat pada tahun 2010-2017 masih didominasi oleh
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, dimana pada tahun
2010 menghasilkan nilai tambah sebesar Rp6.637.182 Milar dan meningkat menjadi
Rp8.659.075 Milar pada tahun 2017. Jasa Pendidikan memberikan kontribusi terbesar
kedua, dengan perkembangan dari Rp3.366.240 pada tahun 2010 menjadi Rp5.954.627
Milar pda tahun 2017. Sedangkan yang menduduki ranking ketiga terbesar dalam
pembentukan PDRB provinsi Sumatra Barat adalah Jasa Keuangan dan Asuransi, di
mana pada tahun 2010 menghasilkan nilai tambah Rp3.034.507 Milar dan meningkat
menjadi Rp4.619.805 Milar.
Apabila dilihat dari segi pertumbuhan rata-rata pertahun, Informasi dan
Komunikasi menduduki ranking pertumbuhan terbesar, yaitu 9,39%. Sedangkan ranking

54
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

kedua dan ketiga adalah Jasa Pendidikan, serta Transportasi dan Pergudangan dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 8,49% dan 8,00%. Perbedaan tingkat
pertumbuhan dan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh masing-masing sektor secara
tidak langsung mengambarkan terjadinya pergeseran kontribusi dari masing-masing
sektor ekonomi yang membentuk PDRB. Tabel 3.5 memperlihatkan nilai tambah yang
dihasilkan masing-masing Lapangan Usaha dan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun.

55
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.5
PDRB Sumatera Barat Periode 2010-2017 atas Dasar Harga Konstan (RpMilar)
c
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha (Milar Rupiah)
Pertum-
Lapangan Usaha Harga Konstan 2010 buhan (%)
Thn 2010 Thn 2011 Thn 2012 Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017
A. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 27.277,72 28.535,02 29.284,90 30.372,99 32.151,49 33.546,76 34.222,56 35.387,63 3,79
1. Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa
22.274,88 23.334,18 23.868,22 24.582,36 25.984,16 26.871,15 27.322,33 28.305,76 3,48
Pertanian
a. Tanaman Pangan 7.693,82 8.002,57 8.359,61 8.598,11 9.143,50 9.482,45 9.468,38 9.791,99 3,50
b. Tanaman Hortikultura 4.588,45 4.976,59 4.659,55 4.739,59 5.030,68 5.167,77 5.249,13 5.426,10 2,42
c. Tanaman Perkebunan 7.578,29 7.851,21 8.240,19 8.564,09 9.064,92 9.389,70 9.721,35 10.077,51 4,16
d. Peternakan 1.824,14 1.897,21 1.974,02 2.020,91 2.063,43 2.103,86 2.140,75 2.238,97 2,97
e. Jasa Pertanian dan Perburuan 590,18 606,60 634,86 659,65 681,62 727,37 742,71 771,19 3,90
2. Kehutanan dan Penebangan Kayu 1.613,11 1.652,25 1.690,93 1.804,44 1.841,31 1.969,17 2.020,03 1.949,71 2,74
3. Perikanan 3.389,74 3.548,59 3.725,75 3.986,20 4.326,03 4.706,44 4.880,21 5.132,17 6,10
B. Pertambangan dan Penggalian 4.782,07 5.028,19 5.321,01 5.722,82 5.923,57 6.144,58 6.267,61 6.338,27 4,11
1. Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi - - - - - - - - -
2. Pertambangan Batubara dan Lignit 664,62 776,57 759,56 801,32 807,01 790,65 636,55 548,77 (2,70)
3. Pertambangan Bijih Logam 0,20 0,21 0,19 0,17 0,19 0,17 0,17 0,17 (2,06)
4. Pertambangan dan Penggalian Lainnya 4.117,26 4.251,41 4.561,26 4.921,32 5.116,36 5.353,76 5.630,89 5.789,33 4,99

Sumber : BPS Provisi Sumatera Barat Dalam Angkat 2018

56
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.5 (Lanjutan…)


Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha (Milar Rupiah) Pertum-
Lapangan Usaha Harga Konstan 2010 buhan (%)
Thn 2010 Thn 2011 Thn 2012 Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017
C. Industri Pengolahan 12.277,03 12.859,18 13.690,47 14.388,52 15.140,07 15.418,54 16.174,10 16.540,00 4,35
1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas 0,76 0,78 0,77 0,80 0,81 0,80 0,68 0,65 (2,15)
2. Industri Makanan dan Minuman 5.467,76 5.814,95 6.281,92 6.594,35 6.947,09 7.032,80 7.612,90 7.644,71 4,90
3. Industri Pengolahan Tembakau - - - - - - - - -
4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 2.436,73 2.604,70 2.759,81 2.976,72 3.170,53 3.139,17 3.215,82 3.364,40 4,72
5. Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 5,27 5,44 5,66 6,20 6,84 6,93 6,63 7,71 5,59
6. Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus
dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan 6,85 6,97 6,95 7,27 6,99 6,83 6,97 6,65 (0,42)
Sejenisnya
7. Industri Kertas dan Barang dari Kertas;
5,83 5,95 6,12 6,28 5,77 5,95 5,91 5,69 (0,35)
Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
8. Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 26,14 26,23 25,58 26,68 26,44 27,17 25,48 25,57 (0,32)
9. Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 1.825,95 1.829,69 1.872,86 1.901,21 1.938,63 2.049,32 2.201,06 2.341,47 3,62
10. Industri Barang Galian bukan Logam 2.367,97 2.425,97 2.586,90 2.719,67 2.885,01 2.991,46 2.936,34 2.981,01 3,34
11. Industri Logam Dasar - - - - - - - - -
12. Industri Barang Logam; Komputer, Barang
84,21 88,22 91,81 96,36 96,38 101,50 105,25 105,03 3,21
Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik
13. Industri Mesin dan Perlengkapan - - - - - - - - -
14. Industri Alat Angkutan 4,19 4,23 4,32 4,48 4,67 4,80 4,75 4,99 2,53
15. Industri Furnitur 18,50 18,75 19,41 19,99 20,60 20,89 20,98 19,71 0,91
16. Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi
26,87 27,31 28,35 28,54 30,31 30,92 31,33 32,42 2,72
dan Pemasangan Mesin dan Peralatan

Sumber : BPS Provisi Sumatera Barat Dalam Angkat 2018

57
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.5 (Lanjutan…)


c
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha (Milar Rupiah) Pertum-
Lapangan Usaha Harga Konstan 2010 buhan (%)
Thn 2010 Thn 2011 Thn 2012 Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017
D. Pengadaan Listrik dan Gas 103,00 108,05 116,85 120,84 140,01 145,69 161,63 168,20 7,26
1. Ketenagalistrikan 102,31 107,34 116,10 120,04 139,17 144,81 160,71 167,21 7,27
2. Pengadaan Gas dan Produksi Es 0,70 0,71 0,74 0,80 0,84 0,87 0,92 0,98 5,00
E. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
113,50 118,29 122,65 128,69 133,70 141,71 150,77 156,74 4,72
Limbah dan Daur Ulang
F. Konstruksi 8.279,10 8.925,03 9.814,01 10.825,24 11.523,58 12.315,04 13.126,84 14.075,90 7,88
G. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
15.895,59 16.837,27 18.288,09 19.442,02 20.523,15 21.626,61 22.796,93 24.279,26 6,24
Mobil dan Sepeda Motor
1. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan
2.296,55 2.385,92 2.568,21 2.687,98 2.775,30 2.828,86 2.771,80 2.755,79 2,64
Reparasinya
2. Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil
13.599,04 14.451,35 15.719,87 16.754,04 17.747,85 18.797,75 20.025,13 21.523,47 6,78
dan Sepeda Motor
H. Transportasi dan Pergudangan 10.938,53 11.872,03 12.794,03 13.877,72 14.929,95 16.259,29 17.506,91 18.749,70 8,00
1. Angkutan Rel 18,65 18,84 19,06 19,44 20,95 22,40 24,12 26,01 4,87
2. Angkutan Darat 7.891,75 8.538,54 9.210,21 10.090,15 10.973,91 12.066,22 13.105,32 14.031,49 8,57
3. Angkutan Laut 495,40 528,43 576,43 610,86 652,04 635,43 563,87 566,66 1,94
4. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 308,43 323,79 327,90 334,37 359,62 367,93 377,62 410,28 4,16
5. Angkutan Udara 1.314,81 1.472,12 1.587,07 1.646,43 1.669,25 1.863,25 2.030,27 2.203,24 7,65
6. Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan;
909,49 990,32 1.073,35 1.176,47 1.254,17 1.304,06 1.405,71 1.512,02 7,53
Pos dan Kurir
I. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1.069,17 1.120,07 1.179,36 1.248,92 1.329,40 1.420,41 1.557,10 1.693,49 6,79
1. Penyediaan Akomodasi 252,10 268,86 291,31 315,72 334,89 352,36 377,61 399,86 6,81
2. Penyediaan Makan Minum 817,06 851,21 888,05 933,20 994,50 1.068,05 1.179,49 1.293,63 6,78

Sumber : BPS Provisi Sumatera Barat Dalam Angkat 2018

58
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.5 (Lanjutan…)


c
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha (Milar Rupiah)
Pertum-
Lapangan Usaha Harga Konstan 2010 buhan (%)
Thn 2010 Thn 2011 Thn 2012 Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017
J. Informasi dan Komunikasi 5.763,36 6.295,71 7.035,42 7.676,47 8.322,87 9.080,56 9.934,33 10.802,64 9,39
K. Jasa Keuangan dan Asuransi 3.034.506,81 3.316.572,02 3.641.341,82 3.856.679,93 4.041.345,16 4.188.231,47 4.524.388,29 4.619.805,20 6,19
1. Jasa Perantara Keuangan 1.787.642,78 2.007.561,49 2.255.319,52 2.428.343,22 2.540.773,03 2.616.338,62 2.901.036,98 2.942.157,89 7,38
2. Asuransi dan Dana Pensiun 112.076,57 113.605,25 118.773,16 123.874,60 130.801,02 136.239,32 144.791,17 151.242,06 4,37
3. Jasa Keuangan Lainnya 1.105.110,95 1.164.640,50 1.235.552,96 1.271.721,72 1.334.883,37 1.398.994,02 1.440.294,21 1.486.109,30 4,32
4. Jasa Penunjang Keuangan 29.676,51 30.764,78 31.696,17 32.740,40 34.887,74 36.659,52 38.265,94 40.295,94 4,47
L. Real Estate 2.153.120,43 2.240.336,58 2.343.383,26 2.472.327,36 2.609.894,33 2.748.095,83 2.895.556,33 3.025.615,61 4,98
M,N Jasa Perusahaan 459.170,05 481.784,27 510.495,60 547.781,96 585.985,89 620.607,06 651.284,00 685.063,40 5,88
O. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
6.637.181,54 7.224.736,54 7.236.016,10 7.362.767,63 7.511.115,63 7.895.347,42 8.286.949,05 8.659.075,43 3,87
dan Jaminan Sosial Wajib
P. Jasa Pendidikan 3.366.240,42 3.650.530,39 4.020.437,76 4.357.636,21 4.657.618,64 5.022.030,69 5.416.448,83 5.954.627,35 8,49
Q. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1.258.505,74 1.360.529,93 1.504.009,20 1.620.725,60 1.749.926,04 1.881.299,00 1.984.293,52 2.154.588,55 7,98
R,S,T,U Jasa Lainnya 1.609.922,72 1.706.160,74 1.821.952,73 1.918.497,74 2.067.170,04 2.264.684,32 2.476.536,98 2.673.386,50 7,51
Produk Domestik Regional Bruto 105.017.739,46 111.679.492,97 118.724.424,67 125.940.634,27 133.340.836,44 140.719.474,19 148.134.243,89 155.963.985,42 5,81

Sumber : BPS Provisi Sumatera Barat Dalam Angkat 2018

59
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

3.4.Sumber Penerimaan Pendapatan Asli Daerah


Pendapatan daerah Provinsi Sumatera Barat antara tahun 2013 – 2017 mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 15,43%. Pertumbuhan sebesar ini terutama
didorong oleh pertumbuhan sumber pendapatan yang berasal dari dana perimbangan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan asli daerah. Pada tahun
2013 jumlah pendapatan asli daerah yang diperoleh adalah Rp 1.366,18 juta dan
meningkat menjadi Rp2.134,01 juta pada tahun 2017. Berarti dalam kurun waktu 5
tahun tersebut terjadi pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 11,79%. Sedangkan
pendapatan daerah yang berasal dari Dana Perimbangan mengalami pertumbuhan rata-
rata per tahun sebesar 26,48%, yaitu meningkat dari Rp 1.510,88 Juta pada tahun 2013
menjadi Rp3.866,66 Juta pada tahun 2017.
Akibat dari pertumbuhan sumber Dana Perimbangan lebih tinggi dari Pendapatan
Asli Daerah, maka komposisi pendapatan daerah Provinsi Sumatera Barat pun
mengalami perubahan yang cukup mendasar, dimana pada tahun 2013 komposisi
pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli 39,75% dan dari Dana
Perimbangan sebesar 44,21%. Sebaliknya, pada tahun 2017, komposisinya sumber
pendapatan daerah yang berasal dari dana perimbangan jauh lebih besar daripada
pendapatan asli daerah, yaitu 63,73% berbanding 35,18%. Hal ini berarti, bahwa pada
tahun 2017 ketergantungan Provinsi Sumatera Barat terhadap sumber dana dari
Pemerintah Pusat semakin tinggi.
Sumber pendapatan asli daerah Provinsi Sumatera Barat yang paling besar
berasal dari pajak daerah, yang dalam kurun waktu 2013 – 2017 mengalami
pertumbuhan sebesar 10,65%. Namun demikian, penerimaan PAD yang berasal dari
retribusi daerah mengalami penurunan, yaitu dari Rp 34,60 Juta pada tahun 2013
menjadi Rp22,91 Juta pada tahun 2017. Namun ke depan, pemerintah daerah Provinsi
Sumatera Barat harus lebih mengupayakan meningkatkan pendapatan yang berasal dari
pajak daerah, yang didukung pula dengan adanya perubahan tentang undang-undang

60
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu dari UU No. 34 tahun 2000
menjadi UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Perkembangan realisasi pendapatan daerah dan pertumbuhan rata-rata per tahun
dapat lihat pada tabel 3.6 dan pada tabel 3.7 dapat dilihat perkembangan kontribusi
masing-masing pendapatan daerah:

61
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.6
Jumlah dan Pertumbuhan Realisasi Pendapatan Daerah
Provinsi Sumatera Barat, tahun 2013 - tahun 2017 (Rp Juta)
Jenis Pendapatan Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017 Pertumbuhan
1. Pendapatan Asli Daerah 1.366,18 1.729,22 1.876,73 1.964,15 2.134,01 11,79
1.1 Pajak Daerah 1.085,16 1.354,54 1.445,61 1.522,12 1.626,92 10,65
1.2 Retribusi Daerah 34,60 15,53 20,37 19,36 22,91 (9,80)
1.3 Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Pengelolaan
93,87 94,21 85,12 89,99 94,61 0,20
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
1.4 Lain-lain PAD yang Sah 152,55 264,94 325,62 332,68 389,57 26,41
2. Dana Perimbangan 1.510,88 1.333,06 1.390,88 2.576,75 3.866,66 26,48
2.1 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak n.a 149,06 107,02 134,50 152,44 0,75
2.1.1 Bagi Hasil Pajak 131,40 132,68 94,45 130,15 139,09 1,43
2.1.2 Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam 5,61 16,39 12,57 4,35 13,34 24,18
2.2 Dana Alokasi Umum 1.309,92 1.129,89 1.221,13 1.261,92 2.014,65 11,36
2.3 Dana Alokasi Khusus 63,94 54,11 62,73 1.180,34 1.699,58 127,06
3. Lain-lain Pendapatan yang Sah 540,78 573,56 784,64 83,77 66,15 (40,86)
3.1 Pendapatan Hibah 8,93 11,61 31,60 5,53 15,80 15,34
3.2 Dana Darurat
3.3 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah
Daerah Lainnya
3.4 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 531,85 561,95 753,04 41,85 50,35 (44,53)
3.5 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah
12,50
Daerah Lainnya
3.6 Lainnya 23,88
Jumlah/Total 3.417,84 3.635,84 4.052,25 4.624,67 6.066,83 15,43

Sumber: BPS Provisi Sumatera Barat

62
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 3.7
Kontribusi Pendapatan Daerah
Provinsi Sumatera Barat, tahun 2013 - tahun 2017 (Rp Juta)
Jenis Pendapatan Thn 2013 Thn 2014 Thn 2015 Thn 2016 Thn 2017 Pertumbuhan
1. Pendapatan Asli Daerah 39,97 47,56 46,31 42,47 35,18 (3,15)
1.1 Pajak Daerah 31,75 37,26 35,67 32,91 26,82 (4,13)
1.2 Retribusi Daerah 1,01 0,43 0,50 0,42 0,38 (21,85)
1.3 Hasil Perusahaan Milik Daerah dan
2,75 2,59 2,10 1,95 1,56 (13,19)
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
1.4 Lain-lain PAD yang Sah 4,46 7,29 8,04 7,19 6,42 9,52
2. Dana Perimbangan 44,21 36,66 34,32 55,72 63,73 9,58
2.1 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak n.a 4,10 2,64 2,91 2,51 (15,06)
2.1.1 Bagi Hasil Pajak 3,84 3,65 2,33 2,81 2,29 (12,12)
2.1.2 Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam 0,16 0,45 0,31 0,09 0,22 7,59
2.2 Dana Alokasi Umum 38,33 31,08 30,13 27,29 33,21 (3,52)
2.3 Dana Alokasi Khusus 1,87 1,49 1,55 25,52 28,01 96,72
3. Lain-lain Pendapatan yang Sah 15,82 15,78 19,36 1,81 1,09 (48,76)
3.1 Pendapatan Hibah 0,26 0,32 0,78 0,12 0,26 (0,07)
3.2 Dana Darurat
3.3 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan
Pemerintah Daerah Lainnya
3.4 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 15,56 15,46 18,58 0,90 0,83 (51,94)
3.5 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau
- - - 0,27 -
Pemerintah Daerah Lainnya
3.6 Lainnya - - - 0,52 -
Jumlah/Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS Provisi Sumatera Barat

63
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

BAB IV
ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH

Pembahasan pada bagian ini dibagi atas empat bagian, yaitu tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bemotor, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok,
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Total Proyeksi Pajak.

4.1. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor


4.1.1. Konsep
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) adalah pajak atas penyerahan hak milik
kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau
keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke
dalam badan usaha. Objek dari BBNKB penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor
adalah (1) kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di
semua jenis jalan darat dan (2) kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan
ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross
Tonnage). Dikecualikan sebagai objek BBNKB adalah
a. Kereta api;
b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara;
c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
d. Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Definisi penyerahan kendaraan bermotor dibatasi oleh udang-undang, yaitu:

64
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 4.5
Proyeksi BBNKB Berdasarkan Metode
Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun

Jenis Kendaraan Tahun Jumlah (Rp juta) Unit Rp/Unit


2019 268.210,01 29.802 8.999.600
2020 278.283,99 30.273 9.192.543
Roda 4 atau lebih 2021 288.746,50 30.060 9.605.513
2022 299.612,97 30.006 9.984.979
2023 310.899,46 30.036 10.351.058
2019 142.608,11 115.438 1.235.368
2020 144.847,30 116.395 1.244.447
Sepeda Motor 2021 147.121,65 117.018 1.257.255
2022 149.431,71 116.970 1.277.517
2023 151.778,04 116.455 1.303.315
2019 410.818,12 145.240 2.828.543
2020 423.131,29 146.668 2.884.965
Jumlah 2021 435.868,15 147.079 2.963.503
2022 449.044,67 146.977 3.055.207
2023 462.677,50 146.491 3.158.405

4.2. Pajak Kendaraan Bermotor


4.2.1. Konsep
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
Kendaraan Bermotor yang terdaftar di daerah. Objek dari Objek PKB adalah
kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor, termasuk kendaraan bermotor
beroda beserta gandengannya, yang diopersikan disemua jenis jalan darat dan kendaraan

76
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage)
sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage). Dikecualikan sebagai objek PKB adalah
a. kereta api;
b. kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara;
c. kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah;
d. kendaraan bermotor dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan
dan telah dilaporkan terlebih dahului pada dinas;
e. kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir yang
semata-mata untuk dipamerkan atau dijual;
f. kendaraan bermotor yang karena sesuatu dan lain hal dikuasai/disita oleh Negara;

Subjek PKB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai
kendaraan bermotor. Sementara itu Wajib PKB adalah orang pribadi atau badan yang
memiliki kendaraan bermotor, sehingga yang bertanggung jawab atas pembayaran PKB
adalah :
a. untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan, kuasanya dan/atau ahli
warisnya.
b. untuk badan adalah pengurus atau kuasanya.
c. untuk instansi pemerintah adalah pejabat pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran

Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (Dua)
unsur pokok, yaitu Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan Bobot yang mencerminkan
secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan
kendaraan bermotor tersebut. Penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan

77
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

bermotor dinyatakan dalam suatu daftar yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Khusus untuk kendaraan bermotor yang digunakan diluar jalan umum, termasuk
alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan PKB
adalah Nilai Jual kendaraan bermotor.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah menetapkan Tarif Pajak Kendaraan
Bermotor melalui Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2003, dan pada tahun 2011 telah
direvisi sesuai dengan UU No. 28 tahun 2009. Berdasarkan perda tersebut, terhadap
kendaraan bermotor dikenakan tarif PKB sebagai berikut:
a. 1,5% (satu koma lima persen) untuk kepemilikan pertama kendaraan bermotor
pribadi;
b. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor angkutan umum;
c. 0,5 % (nol koma lima persen) untuk kendaraan ambulans, pemadam
kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah
atau TNI atau Polri dan Pemerintah Daerah;dan
d. 0,2% (nol koma dua persen) untuk kendaraan bermotor alat -alat berat dan
alat-alat besar.

Melalui Perda No. 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, Provinsi Sumatera Barat juga telah
melakukan perubahan tariff PKB. Khususnya, pasal 7 Perda Pajak Daerah Provinsi
Sumatera Barat diganti menjadi:
1. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut :
a. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama sebesar 1,65 % (satu koma enam
puluh lima persen);
b. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya ditetapkan secara
progresif yaitu :
 kendaraan kepemilikan kedua sebesar 2,5 % (dua koma lima persen),
 kendaraan kepemilikan ketiga sebesar 3 % (tiga persen),

78
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

 kendaraan kepemilikan keempat sebesar 3,5% (tiga koma lima persen),


 kendaraan kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar 4% (empat persen).
c. kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang
sama.
2. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor umum, ambulans, pemadam kebakaran, lembaga
sosial keagamaan, pemerintah/ pemerintah daerah, TNI, POLRI ditetapkan sebagai
berikut :
a. kendaraan bermotor umum sebesar 1% (satu persen);
b. kendaraan bermotor ambulans, kendaraan bermotor pemadam kebakaran,
kendaraan bermotor lembaga sosial keagamaan dan kendaraan bermotor
pemerintah /daerah, TNI, POLRI sebesar 0,5 % (nol koma lima persen).
3. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan sebesar
0,2 % (nol koma dua persen).

Dalam Perda No. 4 tahun 2018 ini juga dikukan perubahan mengenai sanksi
administrasi, khususnya pasal 11 dengan bunyi sebagai berikut:
1. Pajak terutang pada saat diterbitkan SKPD.
2. SKPD diterbitkan setelah melalui tahapan pendaftaran.
3. Setiap Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar Pajak Kendaraan Bermotor
dikenakan sanksi administratif sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari pokok
pajak.
4. Setiap kendaraan bermotor yang mengalami perubahan bentuk dan/atau penggantian
mesin dalam masa pajak, wajib melaporkan kepada Badan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak perubahan bentuk dan/atau penggantian mesin.

4.2.2. Perkembangan Penerimaan PKB


Perkembangan jumlah kendaraan di Sumatera Barat menunjukkan peningkatan volume
kendaraan yang tinggi. Peningkatan tersebut cendrung mengakibatkan timbulnya

79
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

kemacetan pada waktu-waktu tertentu. Data penerimaan PKB menunjukkan bahwa


dalam 5 tahun terakhir, terjadi pertumbuhan jumlah semua jenis kendaraan rata-rata per
tahun sebesar 0,34%, yaitu dari 979.260 unit pada tahun 2013 menjadi 992.784 unit pada
tahun 2017. Namun demikian, pola pertumbuhan jumlah kendaraan ini tidak sama setiap
tahun. Jika antara tahun 2014 dengan tahun 2013 terjadi peningkatan sebesar 26.847 unit
(2,74%), namun pada antara tahun 2015 dengan tahun 2014 terjadi penurunan sebesar
15.647 unit (-1,56%), dan antara tahun 2016 dengan tahun 2015 kembali menunjukkan
peningkatan sebesar 20.247 unit atau 2,04%. Di samping perkembangan ekonomi,
perkembangan yang relatif lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, peningkatan
seperti ini juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan jalan raya dan kebijakan-kebijakan
yang dilakukan oleh Pemerintah provinsi Sumatera Barat.
Jumlah kendaraan yang membayar PKB terbesar terjadi untuk kendaraan jenis
Sepeda Motor, yang pada tahun 2013 berjumlah 766.756 unit pada tahun 2013 menjadi
744.185 pada tahun 2017. Jumlah kendaraan yang membayar PKB terbesar kedua terjadi
untuk kendaraan jenis S.W/Mini Bus, yang pada tahun 2013 berjumlah 112.721 unit
pada tahun 2013 menjadi 149.078 pada tahun 2017. Jumlah kendaraan yang membayar
PKB terbesar ketigaterjadi untuk kendaraan jenis Pickup, yang pada tahun 2013
berjumlah 38.364 unit pada tahun 2013 menjadi 41.225 pada tahun 2017.
Analisis berdasarkan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun menunjukkan
bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan tertinggi adalah jenis Alat Berat, yaitu sebesar
14,28%. Pertumbuhan tertinggi kedua adalah untuk S.W/Mini Bus dengan pertumbuhan
rata-rata 7,24%, dan pertumbuhan jumlah kendaraan tertinggi ketiga adalah Jeep dengan
pertumbuhan rata-rata 3,38%. Namun karena jumlah obsulut kendaraan ini relatif kecil
maka pertumbuhan yang tinggi tersebut tidak mampu menghasilkan peningkatan jumlah
kendaraan yang lebih besar dibandingkan jumlah Sepeda Motor atau S.W/Mini Bus
sebagaimana dijelaskan di atas.
Karena perbedaaan besarnya tarif PKB maka analisis berdasarkan kepemilikan;
pribadi atau umum, perlu dilakukan. Secara umum, semua jenis kendaraan plat hitam

80
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

menunjukkan perkembangan yang relatif stabil; sepeda motor maupun kendaraan roda 4
atau lebih. Namun demikian, jumlah kendaraan plat kuning, dari tahun ke tahun
menunjukkan penurunan kecuali untuk kendaraan jenis pick up, light truck, dan truck.
Lebih khusus, di Sumatera Barat terjadi penurunan kendaraan penumpang umum, tetapi
kendaraan barang umum masih mengalami peningkatan. Penurunan jumlah kendaraan
penumpang umum antara lain disebabkan kurang baiknya pelayanan kendaraan umum
tersebut dan murahnya cara dan harga kendaraan (terutama sepeda motor) sehingga
banyak masyarakat yang beralih menggunakan kendaraan pribadi.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya pada bagian pembahasan BBNKB
bahwa jumlah setiap tahun jumlah sepeda motor mengalami penambahan yang lebih
banyak dibandingkan dengan kendaraan roda 4 atau lebih. Secara komulatif penambahan
per tahun yang lebih tinggi tersebut mengakibatkan porsi sepeda motor semakin besar
dan pada tahun 2017 porsinya mencapai 74,96% dari jumlah subjek PKB, atau hanya
25,04% adalah pemilik kendaraan roda 4 atau lebih. Dari semua subjek PKB tersebut,
lebih kurang sebanyak 97% adalah kendaraan pribadi (plat hitam) dan hanya sekitar 3%
yang merupakan kendaraan penumbang & barang umum (plat kuning). Rincian
perkembangan jumlah kendaraan menurut jenisnya dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut.

81
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 4.6
Perkembangan Jumlah Kendaraan PKB (unit)
Dan Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun (%)
Jenis Kendaraan Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Pertumbuhan
Sedan 17.718 17.475 16.637 16.559 15.545 (3,22)
Jeep 12.373 12.865 12.830 13.738 14.133 3,38
S.W/Mini Bus 112.721 123.285 130.506 141.483 149.078 7,24
Mic. Bus 2.125 2.180 2.112 2.248 2.327 2,30
Bus 203 202 184 199 188 (1,90)
Pickup 38.364 40.416 41.115 41.443 41.225 1,81
Light Truck 19.843 19.547 18.413 18.185 17.758 (2,74)
Truck 9.055 8.864 8.433 8.155 8.171 (2,54)
Sepeda Motor 766.756 781.139 760.071 768.518 744.185 (0,74)
Alat Berat 102 134 159 179 174 14,28
Jumlah 979.260 1.006.107 990.460 1.010.707 992.784 0,34

Data jumlah kendaraan yang membayar PKB menunjukkan beberapa kelemahan,


antara lain penambahan kendaraan yang membayar BBNKB akan dicerminkan oleh
peningkatan pembayaran PKB. Namun kondisi seperti ini tidak dapat tercermin dalam
perkembanngan jumlah kendaraan yang membayar PKB. Misalkan, penambahan jumlah
unit Sepeda Motor lebih dari 100.000 unit setiap tahun tidak diikuti dengan peningkatan
jumlah pembayaran PKB. Bahkan pada tahun 2015 dan tahun 2017 terjadi penurunan
pembayaran PKB. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan berbagai kebijakan bagaimana
potensi PKB tersebut setiap tahun dapat ditingkatkan sejalan dengan penambahan
jumlah kendaraan yang membayar BBNKB.
Di samping jumlah unit kendaraan, penerimaan PKB dipengaruhi oleh harga
kendaraan dan daya rusak dari setiap jenis kendaraan tersebut, atau disebut juga dasar
pengenaan pajak. Analisis data tahun 2013 sampai tahun 2017 menunjukkan bahwa
dasar pengenaan pajak mengalami pertumbuhan yang relatif rendah; dibawah dua digit.
Tingkat pertumbuhan dasar pengenaan pajak tertinggi adalah jenis kendaraan Jeep dan
yang terendah adalah kendaraan Pickup. Khusus untuk alat berat, terjadi penurunan

82
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

dasar pengenaan pajak sehingga pertumbuhannya minus. Tabel 4.7. menyajikan


perkembangan dasar pengenaan PKB dan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun.

Tabel 4.7
Perkembangan Dasar Perhitungan/Pengenaan PKB (Rp)
Dan Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun (%)
Jenis Kendaraan Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Pertumbuhan
Sedan 875.152 931.045 996.744 1.099.361 1.198.292 8,78
Jeep 1.660.246 1.859.059 1.998.835 2.282.308 2.589.389 11,75
S.W/Mini Bus 1.259.217 1.347.706 1.422.896 1.521.685 1.644.047 6,89
Mic. Bus 699.531 778.320 824.061 839.139 986.981 8,99
Bus 1.050.971 1.220.931 1.230.867 1.211.014 1.435.133 8,10
Pickup 1.287.985 1.410.288 1.442.305 1.481.679 1.304.488 0,32
Light Truck 1.828.337 1.931.707 2.102.549 2.234.073 2.313.028 6,06
Truck 2.578.617 2.742.221 2.989.981 3.079.761 3.536.382 8,22
Sepeda Motor 164.379 171.718 176.770 187.198 183.801 2,83
Alat Berat 1.833.251 1.682.801 1.658.306 1.580.060 1.626.100 (2,95)
Jumlah 13.237.685 14.075.796 14.843.314 15.516.277 16.817.642 6,17

Sekalipun dari segi jumlah unit kendaraan, sepeda motor lebih


mendominasi (75%) jumlah kendaraan yang melunasi PKB di Sumatera Barat.
Namun dari segi jumlah rupiah penerimaan, kontribusi penerimaan PKB Sepeda
Motor hanya berkisar 27,59% dari total penerimaan PKB. Perbedaan perbedaan
kontribusi dari segi unit dan rupiah ini disebabkan karena harga jual Sepeda
Motor sebagai faktor utama penentu dasar pengenaan PKB jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kendaraan roda 4 atau lebih. .
Secara total perkembangan penerimaan PKB dalam periode tahun 2013-
tahun 2017 menunjukkan pertumbuhan rata-rata sebesar 7,95% pertahun.
Pertumbuhan terbesar dicapai dari jenis kendaraan Jeep yaitu sebesar 15,53%,
kemudian dari S.W/Mini Bus sebesar 14,63%, Mic. Bus sebesar 11,49%, dan Alat
Berat sebesar 10,91%. Sedangkan pertumbuhan penerimaan PKB terrendah adalah
kendaraan jenis Sepeda Motor yaitu sebesar 2,07%. Akan tetapi karena proporsi Sepeda

83
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Motor dan S.W/Mini Bus jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kendaraan lainnya, maka
kedua sumber PKB lebih mendominasi penerimaan PKB provinsi Sumatera Barat, yaitu
sebesar 65,38% dari penerimaan total PKB. Table 4.8 berikut memperlihatkan
perkembangan penerimaan PKB provinsi Sumatera barat dari tahun 2013 – tahun 2017.

84
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Tabel 4.8
Perkembangan Penerimaan PKB (Rp juta)
Dan Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun (%)

85
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

4.2.3. Analisis Potensi Penerimaan PKB


Penerimaan pajak kendaraan bermotor akan ditentukan tarif dan dasar pengenaan pajak.
Tarif PKB yang berlaku di provinsi Sumtera Barat diklasifikasikan atas kendaraan
pribadi, umum, dan milik pemerintah. Sedangkan dasar pengenaan pajak antara lain
akan ditentukan oleh harga jual kendaraan. Sedangkan harga jual kendaraan tersebut
akan ditentukan oleh jenis kendaraan.. Oleh sebab itu, dalam memproyeksi potensi PKB
dilakukan dengan mengklasifikasikan penerimaan berdasarkan kelompok pemilikkan
kendaraan; pribadi, umum, dan milik pemerintah, dan juga berdasarkan jenis kendaraan;
sedan, jeep, dan lain-lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.7 tentang Dasar Pengenaan PKB di
mana terdapat pola perubahan yang stabil dari dasar pengenaan pajak untuk semua jenis
kendaraan. Hal yang sama juga diperlihatkan apabila analisis dilakukan berdasarkan
kelompok pemilikkan kendaraan, yaitu kendaraan pribadi, umum dan merah. Oleh sebab
itu, dalam memproyeksikan penerimaan PKB akan lebih baik digunakan tingkat
pertumbuhan rata-rata pertahun dibandingkan dengan metode lainnya. Perubahan tariff
terakhir menunjukkan bahwa tarif PKB kendaraan milik pemerintah adalah 0,50% dari
dasar pengenaan pajak, sedangkan kendaraan pribadi adalah 1,65% dari dasar pengenaan
pajak. Oleh sebab itu, dasar pengenaan PKB kendaraan milik pemerintah ditentukan
sebesar 30,30% dari dasar pengenaan PKB kendaraan milik pribadi.
Pola perkembangan jumlah unit kendaraan PKB secara total sebagaimana terlihat
pada Tabel 4.6 relatif stabil. Namun apabila dilihat berdasarkan kelompok pemilikkan
kendaraan dan jenis kendaraan, pola perubahannya tidak menentu. Oleh sebab itu, untuk
memproyeksikan jumlah unit kendaraan secara total berdasarkan jenis kendaraan dan
kepemilikan kendaraan akan dilakukan berdasarkan metode tingkat pertumbuhan.

86
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

Analisis proyeksi yang lebih rinci, yaitu jenis kendaraan, dan berdasarkan kelompok
pemilikkan, akan dilakukan berdasarkan metode trend dan metode moving average.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka proyeksi PKB akan dilakukan berdasarkan
jenis kendaraan, untuk kendaraan (a) plat hitam, (b) kuning, dan (c) merah, Hasil
proyeksi potensi PKB tahun 2019 – 2021 secara total dapat dilihat pada Lampiran 2,
Lampiran 3, dan Lampiran 4. Ringkasan Hasil proyeksi berdasarkan Total dan Rincian
dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9
Proyeksi Potensi PKB
Berdasarkan Metode Trend Tahun 2019-2021

Jenis Kendaraan Tahun Jumlah (Rp Juta) Unit Rp/Unit


2019 431.654,17 239.428 1.802.853
2020 446.490,34 241.688 1.847.382
Roda 4 atau lebih 2021 460.539,29 241.563 1.906.498
2022 468.283,81 239.804 1.952.778
2023 477.464,03 240.621 1.984.301
2019 150.675,79 759.063 198.502
2020 154.747,82 758.811 203.935
Sepeda Motor 2021 157.027,69 756.384 207.603
2022 161.407,66 759.434 212.537
2023 167.436,79 758.423 220.770
2019 582.329,95 998.491 583.210
2020 601.238,15 1.000.499 600.938
Jumlah 2021 617.566,97 997.947 618.837
2022 629.691,47 999.238 630.172
2023 644.900,82 999.044 645.518

Selain dengan menggunakan metode trend, metode lain yang dapat digunakan
untuk memproyeksikan potensi PKB Provinsi Sumatera Barat adalah berdasarkan
tingkat pertumbuhan rata-rata yang dihasilkan dalam 5 tahun terakhir tetapi dengan

87
Perhitungan Potensi Pajak Daerah

melakukan penyesuan dengan dasar pertumbuhan maksmal adlah 5%. Hasil proyeksi
PKB tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 4.10
Proyeksi PKB Berdasarkan Metode
Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun (Rp Juta)

Jenis Kendaraan Tahun Jumlah (Rp Juta) Unit Rp/Unit


2019 445.495,28 239.428 1.860.662
2020 464.930,21 241.688 1.923.678
Roda 4 atau lebih 2021 485.257,04 241.563 2.008.823
2022 47.536,29 239.804 198.230
2023 49.571,48 240.621 206.015
2019 139.607,86 759.063 183.921
2020 142.492,15 758.811 187.783
Sepeda Motor 2021 145.436,01 756.384 192.278
2022 607.422,35 759.434 799.835
2023 630.693,06 758.423 831.585
2019 585.103,15 998.491 585.987
2020 607.422,35 1.000.499 607.119
Jumlah 2021 630.693,06 997.947 631.990
2022 654.958,64 999.238 655.458
2023 680.264,54 999.044 680.916

4.3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor


4.3.1. Konsep
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar
cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Objek Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau
dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan
untuk kendaraan di air.

88

You might also like