You are on page 1of 2

PMII Jakarta-Timur : Antara Kaderisasi dan Narasi Publik

Oleh : Fachri Ahmad Difinubun

Tidak dapat dipungkiri bahwa kaderisasi merupakan tonggak kemanjuan organisasi. Dengan kata
lain, kaderisasi juga menjadi tolak ukur kemajuan dan/atau kemunduran suatu organisasi. Oleh
sebab itu menjadi sangat penting dalam sistem organisasi, kaderisasi dijadikan sebagai tolok ukur
utama dalam menjalankan setiap stage program kerja yang di canangkan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tanpa sistem kaderisasi yang matang, organisasi tersebut akan jauh dari harapan-
harapan kemajuan.z

PMII sendiri, khususnya PMII Jakarta-Timur sekiranya memiliki empat kepengurusan Rayon dari
dua Komisariat yang berbeda, serta sekurang-kurangnya memiliki delapan Komisariat definitif
dan satu Komisariat persiapan. Untuk ukuran DKI Jakarta (kecuali Ciputat), bisa pastikan bahwa
PMII Jakarta-Timur mengantongi lebih banyak Kader dan Anggota di bandingkan dengan cabang-
cabang lainnya. Tetapi apakah ukuran kuantitas tersebut juga sepadan secara kualitatif? Barangkali
iya, barangkali juga tidak. Sebab, penilaian ini sejak lama di anggap sebagai suatu hal yang privasi
dan subjektif.

Munandar Nugraha dalam bukunya yang berjudul “Cuma Catatan Kaderisasi” memberikan
perhatian penuh terhadap keberlangsungan kaderisasi di PMII. Mantan Ketua Kaderisasi Nasional
PB PMII tersebut menyatakan secara literatur dalam bukunya itu bahwa, “kaderisasi yang bersifat
substantif merupakan hal yang sangat penting untuk di wujudkan”. Artinya, dalam Frasa
“substantif” tersebut di muka, nyata-nyata mengarahkan sistem kaderisasi ke arah yang lebih
mementingkan kualitas daripada kuantitas kader, pun itulah yang perlu untuk di wujudkan lewat
orientasi kaderisasi yang lebih terarah (directed) dan implementatif

Akan tetapi, rumus yang bisa kita tempuh dalam menilai unsur kualitatif adalah dengan menilik
kembali seberapa produktif kader-kader PMII Jakarta-Timur dalam mengkongkritkan setiap
program kerjanya. Seberapa konsisten dan konsekuennya kader-kader PMII Jakarta-Timur dalam
mempertahankan paradigma bahwa kaderisasi menjadi corong utama (main road) dalam setiap
jejak-langkah organisasi (Pramoedya Ananta Toer, 1985).

Secara kontekstual, tanpa mempertimbangkan macam-macam pandangan subjekfit dari siapapun.


PMII Jakarta-Timur saat ini bisa di katakan berada pada “titik ke-emas-an kaderisasi”. Pernyataan
tersebut di tandai dengan reorientasi sistem atau pola gerakan yang di inisiasi oleh kepengurusan
cabang dewasa ini (per-2018-2019). Tepatnya, semua tahapan kaderisasi, mulai dari kaderisasi
formal hingga in-formal dilakukan secara murni, sekalipun kemudian di anggap lebih konservatif.
Artinya, tidak terelaborasi dengan wacana politik praktis yang tengah berkecamuk dalam
pergumulan publik. Semacam gerakan pemurnian atas sistem kaderisasi yang ada.

Akan tetapi, menurut saya, kaderisasi hanyalah merupakan perangkat untuk mengelolah sistem
yang ada. Kaderisasi tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya satu narasi, baik yang sudah di
patenkan, maupun yang dinamis. Semacam isu-isu politik dan kebangsaan. Contoh kongkritnya :
bagaimana mungkin rumusan paradigma PMII di bentuk tanpa akibat dari situasi politik
kebangsaan, Salah satunya adalah paradigma arus balik yang merespon sistem politik yang di
usung oleh Orde Baru (ORBA) , pun PMII di dirikan sebagai bentuk responsif atas situasi politik
Nasional.

Lantas, bagaimana dengan sebagian besar kader PMII Jakarta-Timur yang agaknya relatif jauh,
lebih tepatnya menjauh dari pengetahuan atas narasi atau opini yang berkembang di publik. Kira-
kira (untuk kader PMII Jakarta-Timur) seberapa sering kita berkutat dalam ruang-ruang
dialektika? Seberapa baik doktrin terkait persoalan kebangsaan yang di angkat dalam tema-tema
pembahasan dalam organisasi sehari-hari? Pertanyaan yang lebih sederhana saja, seberapa banyak
kader-kader PMII Jakarta-Timur mengangkat narasi politik dan kebangsaan di beranda sosial
medianya? Pertanyaan yang cukup milenial barangkali, berapa jumlah kader PMII Jakarta-Timur
yang tahu dan memahami konsep revolusi industri 4.0 (four point zero)? Terakhir, yang lebih
mutakhir adalah seberapa peduli kader-kader PMII dalam mengupas visi-misi calon Presiden-
Wakil Presiden 2019-2024? Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa di kembalikan kepada masing-
masing pembaca. Utamanya kader-kader PMII Jakarta-Timur sendiri.
Dengan begitu, dapat di pastikan bahwa sistem kaderisasi kita juga mesti untuk di kompromikan
dengan perkembangan zaman. Sebab, telos dari itu semua adalah perpusat pada upaya
pendistribusian kader ke depan, dalam segala lini, baik pemerintahan maupun non-pemerintahan,
yang itu menuntut kemelekan terhadap perkembangan situasi mutakhir.

Senada dengan pernyataan terakhir di atas. Kemudian muncul pertanyaan, apakah cukup efektif
dan relevan apabila kaderisasi PMII, khususnya PMII Jakarta-Timur terbebas dari wacana politik
praktis dewasa ini? Tentu, pembaca semua memiliki pandangan masing-masing terkait hal ini.
Tentu dengan mempertimbangkan pernyataan saya di muka.Akan tetapi, lazim yang kita temukan
bahwa apabila gerakan kaderisasi di sangkutpautkan dengan narasi politik praktis. Seluruhnya
akan mengarah pada agenda formalisme semata.

Akhirnya, ujung dari semua ini, ada harapan besar terhadap seluruh kader PMII Jakarta-Timur
agar membuka sedikit ruang narasi yang lebih holistik, di samping kaderisasi yang juga tetap
berjalan sesuai tuntuan legal standing organisasi.

You might also like