You are on page 1of 14

TUGAS

HUKUM LINGKUNGAN DAN SUMBER DAYA


ALAM

Dosen : Dr. ASMADI WERI, SH.,MH


Judul Tugas : PRINSIP PEMBANGUNAN berkelanjutan
Nama : Ricky Aprianto
Stambuk : D. 102 18 045
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai awal dari era ini KTT Rio telah meletakan dasar dan prinsip
dalam Deklarasi Rio dan Bab 19 Agenda 21 mengenai hukum pembangunan
berkelanjutan sebagai tujuan dari konferensi ini (FAO). Agenda 21 kemudian
menjadi pedoman dalam pengembangan hukum pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya sebagai barometer perkembangan hukum pembangunan
berkelanjutan adalah hasil-hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 di
Johanesburg, Afrika Selatan. Di era ini prinsip-prinsip yang dikembangkan
lebih menekankan pada prinsip-prinsip hukum yang melindungi lingkungan
hidup di masa mendatang.
Deklarasi Johanesburg dan Rencana Implementasi Johanesburg
merupakan langkah selanjutnya menuju era hukum pembangunan
berkelanjutan. Pengembangan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,
rencana-rencana untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan hingga
implementasi dalam kerangka hukum akan menjadi sangat penting di masa
mendatang. Hukum Pembangunan Berkelanjutan akan menjadi salah satu
ukuran dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Seperti halnya di tingkat internasional dimana perjanjian internasional
merupakan produk hukum tertulis, demikian juga dalam hukum nasional
dimana undang-undang adalah produk hukum tertulis . Selain undang-undang
juga terdapat produk turunan dari undang-undang seperti peraturan
pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Premen), Peraturan daerah, dll.
Kesemuanya ini disebut peraturan perundang-undangan yang dapat
dikategorikan sebagai sumber hukum formal.
B. Identifikasi Masalah
1. Sejauh mana prinsip pembangunan berkelanjutan mampu
melindungi lingkungan di indonesia?
2. Bagaimana peran masyarakat untuk melaksanakan prinsip
pembangunan berkelanjutan?

C. Kerangka Pemikiran
1. Implikasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan sumber daya alam pada pembentukan hukum nasional;
2. Pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan hukum adat yang
ada di Indonesia;
3. Permasalahan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

Prinsip pembangunan berkelanjutan membawa pengaruh pada prinsip


hukum tradisional, yang harus menyesuaikan diri pada perkembangan ilmu dan
teknologi yang membawa dimensi baru pada aspek-aspek hukum dari proses
pembangunan (development concept). Secara harfiah, kata pembangunan
membawa kondisi dan nilai-nilai baru yang akan mempengaruhi nilai-nilai yang
ada, baik secara ekonomi maupun sosial, sehingga diperlukan proses penyesuaian
terhadap kebutuhan baru (new need).
Prinsip yang mengatur pembangunan berkelanjutan disamping prinsip-
prinsip pengelolaan lingkungan juga prinsip yang memberikan refleksi
pendekatan ‘sustainable’ sebagai standar tingkat penggunaan atau eksploitasi
sumberdaya alam tertentu. Sustainable dalam arti ini dapat diartikan sebagai
pemanfaatan secara optimal, seperti dalam hukum laut yang mengatur
pemanfaatan sumberdaya laut, misalnya dengan istilah ‘the optimum level of
whale stocks’, ‘optimum sustainable yields’ dan optimum utilization yang
didasarkan pada standar yang menjamin pelestarian lingkungan.1
Pengembangan prinsip-prinsip Deklarasi Stockholm ke dalam prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan merupakan perkembangan mendasar pada
pembentukan hukum sumberdaya dan lingkungan baik nasional maupun
internasional. Prinsip-prinsip yang telah berkembang sejak Laporan Komisi
Brundtland 1987 dikukuhkan dalam konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup
di Rio de Jenairo pada tahun 1992, baik konvensi Internasional tentang
Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Lingkungan Nasional telah
mengalami perubahan mendasar, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam
terkait dengan pendekatan hukum baru yang mengintegrasikan pembangunan
lingkungan, ekonomi dan sosial sebagai komponen pembangunan berkelanjutan.2

1
Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, 1995
2
Johannesburg Summit 2002, Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan
KTT Johannesburg, yang dikenal luas sebagai World Summit on Sustainable
Development membawa perkembangan baru yang memperkuat dalil saling
ketergantungan dan saling memperluas antar komponen pembangunan
berkelanjutan, yaitu (1) pembangunan ekonomi, (2) pembangunan sosial, dan (3)
perlindungan daya dukung ekosistem. Pada tahap ini pendekatan bottom-up as a
new Von Savigny theory of law in scientific perspective dapat memberikan peluang
baru bagi teori hukum Van Savigny dilihat dari perspektif ilmu sosial melalui
model-model paparan yang memiliki ‘descriptive power’ bagi analis hukumnya.3
Perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan mempengaruhi pula
gagasan pembentukan hukum pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sejak
tahun 2000, pemikiran dan diskusi di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
Berdasarkan pradigma baru telah mendorong terbentuknya kebijakan makro
pemerintah dalam bentuk TAP MPR No: IX/2002 tentang pembaharuan dan
pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan
sumberdaya alam yang terbentuk dalam keputusan Majelis ini, merupakan salah
satu bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumberdaya alam Indonesia di
bawah konsep pembangunan berkelanjutan.
Beberapa undang-undang yang menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan diantaranya :
a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
b. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
kawasan Pesisir;
c. Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Berkaitan dengan hukum adat, umumnya negara-negara berkembang yang baru
berdiri sejak tahun 40-an, mengalami suatu masalah dibidang hukum terkait
hubungan antara hukum adat dengan hukum barat. Sejak era kolonial, sistem
hukum adat di Indonesia telah berhadapan dengan sistem hukum barat, yang hal

3
Posner ,economic Analysis of Law,descriptive power, 1992
ini kadang-kadang hukum barat sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
masyarakat setempat. Hukum yang harus dikembangkan sebaiknya tidak boleh
meninggalkan hukum adat karena hukum adat tidak dapat dipisahkan dari sistem
nilai yang dianut masyarakat. Berkaitan dengan ini Kusumaatmadja (1976)
menyatakan :
“…masyarakat negara berkembang dengan suatu sistem yang pluralistik
dimana sistem dan lembaga-lembaga hukum adat berlaku berdampingan
dengan sistem dan lembaga-lembaga hukum Barat atau mungkin dengan
sistem dan lembaga-lembaga hukum asing lainnya menghadapi suatu
masalah yang khusus. Oleh karena hukum itu tidak dapat dipisahkan dari
sistem nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat.”

Dalam sistem hukum adat, umumnya hanya ditemukan hukum yang tidak tertulis.
Namun beberapa praktek-praktek hukum adat, ternyata telah menerapkan hukum
pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh Hukum adat sasi yang dikenal di
Maluku menerapkan suatu larangan untuk menangkap ikan pada waktu-waktu
tertentu. Hal ini ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada alam dalam
mengembangbiakan secara alami demi keberlanjutan persediaannya. Agar sasi
dapat ditegakan seperti halnya dalam konsep hukum maka ”Korps Kewang”
(semacam polisi) yang diangkat oleh Dewan Adat mengawasi pelaksanaan dan
menegakkan aturan ini demi kepentingan keutuhan sumberdaya hayati perikanan.
Dengan demikian keberlanjutan dari kegiatan sasi dengan sistem penegakan
hukumnya telah menggambarkan salah satu contoh aplikasi dari hukum
pembangunan berkelanjutan.
Pendekatan hukum yang bersifat holistik yang telah berkembang baik
melalui hukum lingkungan, menuntut perubahan secara mendasar dari ketentuan
hukum lama yang bersifat sektoral, seperti antara lain bidang kehutanan,
pertambangan, perikanan, pengairan, pertanahan, dan pertanian.
Selain terjadinya perubahan cara pandang baru pembentukan hukum dari
yang semula berpusat pada budaya manusia saja (anthropo-centric) ke dalam
paradigma baru yang berpusat pada budaya ekosistem (eco-centric), juga
meletakkan dasar konsep hukum lingkungan baru. Perkembangan hukum baru ini
disebut oleh Maurice Strong, Sekertaris Jenderal Konferensi PBB tentang
lingkungan hidup sebagai ‘a first step in development international environmental
law’. Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm telah menjadi model
pembentukan undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup
(UUPLH) nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Persoalan selanjutnya, bertalian dengan makin menguatnya posisi daerah
dalam pengelolaan sumbedaya alam ialah pengembangan kapasitas lembaga di
daerah. Agar pengaruh yang makin kuat ini, berjalan efektif, maka perlu
pengembangan institusi yang mempunyai:
a. kemampuan untuk melakukan koordinasi lintas sektor;
b. unit lembaga yang mempunyai peran koordinasi yang efektif;
c. kewenangan mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem
pemberian izin kegiatan;
d. kemampuan menginternalisasikan budaya partisipasi dan kinerja
yang baik;
e. kepemimpinan yang tidak berpihak dan memahami konsep
pembangunan berkelanjutan’ dan
f. kemampuan menumbuhkan pembentukan dana lingkungan.
Pengembangan institusi yang mampu mendorong perubahan konsep
budaya partisipasi masyarakat yang konstruktif, koodinasi lintas sektor yang
produktif, desentralisasi keputusan yang acceptable dan efektif, pendekatan
hukum lintas sumberdaya yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan
terbuka pada pertimbangan ilmu dan teknologi secara positif.
Pembentukan peraturan daerah dalam pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang berorientasi pada peranan pemangku
kepentingan di daerah akan membawa pengaruh pada bentuk-bentuk peran serta
berdasarkan konsep baru mekanisme konsultasi publik. Gerakan efisiensi dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat mengharuskan peran
serta masyarakat mengembangkan bentuk konsultasi publik yang memadukan
pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan secara serasi dan efisien.
Ketidak-pastian dan beragamnya cara pandang perumusan hukum baru
dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah, sebagai akibat aspirasi masyarakat
yang dilatarbelakangi sejarah pembentukannya, nilai-nilai yang hidup di tengah
masyarakat yang beragam pula sifatnya dan timbulnya masalah baru bertalian
dengan pengembangan hukum sumberdaya alam dan lingkungan hidup di daerah
(hutan, tambang, perikanan, dan pertanahan) akan menjadi bagian dari
pengembangan hukum berkelanjutan yang berbasis pembangunan sosial dan
ekonomi.
Uraian di atas menunjukkan kita bahwa secara umum kita sudah
mempunyai landasan formal yang cukup untuk melaksanakan prinsip
pembangunan yang berkelanjutan dalam pelakanaan pembangunan nasional di
negeri kita. Kemudian secara sektoral baik yang berkenaan dengan sumber daya
alam pada umumnya walaupun untuk sektor yang bersifat khusus seperti sektor
kehutanan dan lain-lain.4
Namun apakah dalam realitanya memang sudah seperti apa yang
digariskan dalam ketentuan dimaksud?. Dalam gambaran tentang kondisi umum
mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Tap
IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 menentukan : konsep
pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam
pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu
pelestarian alam. Ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga
tertinggi negara kita tentang masih belum terlaksananya pembangunan yang
berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam” Hal senada dapat juga dilihat
dalam konsideran Tap IX/MPR/2001 yang menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan strukutur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.
Kemudian disebutkan pula bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam saling tumpang
tindih dan bertentangan. Persoalan ini bukan hanya dihadapi di Indonesia akan
tetapi juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya
4
Abdurrahman, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia,
dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 2003, hlm. 27.
yang memperlemah pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, seperti yang
dikatakan oleh Martin Khor bahwa dalam penjelasanya, proses globalisasi telah
semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin
menenggelamkan agenda pembangunan yang berkelanjutan.5
Dalam tulisannya, Sonny Keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan
penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah
satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah,
paradigma tersebut kurang dipahami sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang
menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak
dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan itu sendiri. Pada
akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik paradigma tersebut tidak
tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang seharusnya menuntut
pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rancang dan mengimplementasikan
pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan
berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah
komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma
pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan
lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan tentang
pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai
pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya
dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut
tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di
dalamnya tidak akan terwujud.6
Alasan kedua, menurut Sonny Keraf mengapa paradigma itu tidak jalan,
khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut
kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT
Bumi di Rio de Janeiro sepuluh tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi
mengusulkan kembali pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan
5
Khor, Martin , Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras, Yogyakarta. 2002,
hlm 56
6
Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta, 2002, hlm.176.
ekonomi. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan
yang dialami semua negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan
ekonominya yang tetap saja sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya
alam dengan segala dampak negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan
sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup.7
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah,
menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai
suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan
munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin
akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan
munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan di
negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih sadar akan hak-
hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini
termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO. World Summit On
Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan
Berkelanjutan) memberikan kesempatan yang bagus untuk memusatkan kembali
perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata
mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-
paradigma.8
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di
Indonesia patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A
Measure of Sustainable Development” (Ecodecision, 1993 : 65) sebagaimana
dikutip oleh Soerjani,. Dua penulis ini menilai pembangunan Indonesia dinilai
masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa depresiasi sumber daya
alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan invesmennya hanya
15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan sumber
daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita
konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk invesment

7
Ibid, hlm. 167-168
8
Khor, Martin , Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras, Yogyakarta. 2002,
hlm 6
senilai 17% atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya
manusia untuk memberi “nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan
melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah
pembangunan yang dilaksanakan itu “sustainable” berkelanjutan,
berkesinambungan atau tidak.9
Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang
dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan
Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru berupa das solen dan melalui
perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun
keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat
yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang
menjadi pelaksanaanya.10

9
Mohamad Soerjani,Pembangunan dan Lingkungan : Meniti gagasan dan pelaksanaan
suistainable development,Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm. 66-67.
10
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (Termasuk
Perlindungan Sumber Daya Alam yang Berbasi Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 2003, hlm. 18-23.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Pembangunan berkelanjutan harus merombak habis paradigma
pembangunan konvensional yang saat ini berlaku. Kepentingan
pembangunan dalam jangka pendek harus lebih diseimbangkan dengan
kepentingan jangka panjang. Kepentingan sosial dan lingkungan harus
ditempatkan pada posisi yang setara dengan kepentingan ekonomi.
Kepentingan sosial masyarakat harus lebih diselaraskan dengan
kepentingan individu. Kegagalan pasar harus dikoreksi, dan biaya sosial
dan lingkungan harus diinternalisasi dalam bentuk biaya ekonomi.
Kegagalan pemerintah harus diatasi lewat kemitraan segitiga yang setara
antara pemerintah, korporasi dan masyarakat sipil. Kelompok sipil dan
masyarakat pada umumnya harus memegang peranan penting dalam
proses pengambilan keputusan pada pembangunan berkelanjutan.
Pergeseran paradigma ini membutuhkan perubahan nilai dan
orientasi. Diperlukan pengembangan terus-menerus nilai-nilai
pembangunan berkelanjutan yang sama sekali baru dan berbeda dengan
yang ada pada pembangunan konvensional. Pendidikan dan
pengembangan sumber daya manusia dapat mendorong terciptanya nilai-
nilai baru tersebut. Sumber daya manusia tidak hanya harus dilengkapi
dengan keterampilan untuk mencapai tujuan ekonomi, tetapi juga
keterampilan untuk mencapai tujuan sosial dan lingkungan. Untuk itu,
dibutuhkan integrasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat secara
holistik mengelola kepentingan pembangunan ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Paradigma pembangunan berkelanjutan harus memanfaatkan
insentif berupa manfaat ekonomi, penghargaan bergengsi dan pengakuan.
Diperlukan keteladanan, tata perilaku yang sesuai, berbagai peraturan, dan
berbagai standar yang diakui secara internasional, seperti ISO 9000 untuk
standar ekonomi, ISO 14000 untuk standar lingkungan, dan ISO 26000
untuk standar sosial. Kombinasi ketiga ISO tersebut diperlukan agar
didapat standar komprehensif yang mencakup nilai-nilai ekonomi, sosial
dan lingkungan secara bersamaan.
Paradigma pembangunan berkelanjutan sebaiknya juga
menggunakan disintensif untuk menghindari arah pembangunan yang
tidak berkelanjutan dengan menerapkan instrumen fiskal, kebijakan harga,
dan pembebanan ongkos kepada perilaku yang tidak berkelanjutan. Perlu
peraturan, ketentuan hukum dengan penalti dan denda, yang mendorong
orang untuk bergerak ke arah perilaku pembangunan berkelanjutan. Juga
dibutuhkan penggunaan persuasi moral lewat ajaran agama, kepercayaan
spiritual, adat dan budaya. Istilah “orang tidak hidup dengan roti semata”
(one does not live by bread alone) memberikan landasan bagi
pengembangan gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan tidak bergantung
kepada materi saja.
Tekanan sosial dan kelompok juga perlu diciptakan dan
dimobilisasi untuk merangsang kelompok-kelompok sosial ikut
berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. Jejaring harus dibentuk
guna menarik kelompok yang lebih luas, dan upaya bersama digelar, agar
orang lain tertarik untuk ikut serta; inilah yang disebut efek demonstrasi
(demonstration effect) yang menciptakan keinginan untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. “Efek malu” juga perlu
diciptakan, misalnya dengan pemberian “penghargaan yang memalukan”
bagi orang-orang yang telah gagal untuk memenuhi kriteria pembangunan
berkelanjutan. Sebagai contoh, “Penghargaan Kota Terkotor” yang di
Indonesia diberikan setiap tahun untuk para walikota yang gagal
memenuhi standar minimum kota bersih, telah terbukti efektif mendorong
para walikota untuk aktif mengupayakan kebersihan kota.
Seperti dalam bisnis, pejabat tinggi di pemerintahan perlu
mempromosikan strategi pemasaran sosial yang cerdik untuk “menjual”
paradigma pembangunan berkelanjutan. Ini akan sangat efektif jika
digabungkan dengan usaha pemasaran sosial dari tokoh berpengaruh di
kalangan masyarakat sipil yang dapat menciptakan kemauan politik yang
kuat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan di dalam
organisasinya masing-masing. Kondisi ini dapat menciptakan efek “bola
salju” yang mendorong perubahan penting dalam pelakasanaan strategi
nasional untuk pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang.

You might also like