You are on page 1of 3

Awatara

1.Matsya Awatara

Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang menyelamatkan manusia pertama
dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang maha besar. Dalam kitab Matsyapurana
diceritakan, pada suatu hari, saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata
Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu
bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya beliau memelihara ikan tersebut. Ia
menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut
bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya beliau memindahkan ikan
tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai
akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa. Akhirnya melalui
upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Ikan itu sendiri
menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama
tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk
menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk
hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-
obatan, makanan, dan bibit segala macam tumbuhan. Ikan tersebut juga menambahkan bahwa
setelah banjir besar tiba, diharapkan agar Saptaresi (tujuh nabi) dibawa serta dan bahtera
tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan
seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang. Seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat
melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh
macam awan yang dengan hebatnya mencurahkan hujan lebat. Dengan cepat, air yang
dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera
sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya
selamat dari bencana.

2. Kurma Awatara

Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya
terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa
untuk mencari Tirta Amertha (Air suci kehidupan) Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari
kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa. Pemutaran Mandaragiri.
Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak
gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat
membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian
menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan
tersebut terdapat tirta amerta.

Maka dari itu, kerjakanlah!" Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah
para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara
(Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut
dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa
Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut.
Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan
Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya
tidak tenggelam. Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut.
Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah
siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan
Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa
memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta
sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa
membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung
yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung
Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung
Mandara pun makin diperhebat. Relief dari Angkor Wat, Kamboja, menampilkan pemutaran
Mandara Giri: Wisnu di tengah, awatara beliau yang berwujud Kurma di bawah, para asura dan
Dewa di sebelah kiri dan kanan.

Timbulnya racun Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun
tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun
tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha:
tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:

• Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur


• Apsara, kaum bidadari kahyangan
• Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
• Uccaihsrawa, kuda para Dewa
• Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan
• Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
• Airawata, kendaraan Dewa Indra
• Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran

Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah
banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit
pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka.

Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara
dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa. Perebutan tirta amerta
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat
bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang
wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura
dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu.
Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini.
Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi
Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah
perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan
kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu
memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa.
Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta
berada di pihak para Dewa. Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa
Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa
yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia
mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut
diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa,
tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun
kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa
marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada
pertengahan bulan.

3. Waraha Awatara

Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait dunia kembali agar selamat dari bahaya
tenggelam. Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang
raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu.

Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi


(planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua
taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa.

Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh
Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa
Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun
pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang. Setelah Beliau memenangkan pertarungan,
Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat,
dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya.

Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua
taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai
manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat,
masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.

You might also like