You are on page 1of 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.1. Latar Belakang

Respiratory distress pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat


serius, yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya
perawatan. Faktor resiko utama respiratory distress pada neonatus adalah
prematuritas, bayi berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya
1,2
lebih banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah.
Pada suatu penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat, insidensi
respiratory distress di Amerika adalah 18 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun
insidensinya lebih tinggi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, sepertiga kasus
terjadi pada bayi dengan berat badan normal. Insidensi tertinggi terdapat pada ras
1
kulit hitam dan sangat berhubungan dengan kemiskinan. Di Indonesia, sepertiga dari
kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran dan 80% diantaranya
terjadi pada minggu pertama dengan penyebab utama kematian diantaranya adalah
infeksi pernafasan akut dan komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal
di daerah Cirebon tahun 2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50%
disebabkan oleh gangguan pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir (38%),
3,4
respiratory distress (4%) dan aspirasi (8%). Meskipun angka-angka tersebut masih
tinggi,Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari MDG, yaitu
mengurangi tingkat kematian anak. Dengan pencegahan dan penatalaksanaan yang
tepat, serta sistem rujukan yang baik, kematian neonatus khususnya akibat gangguan
3
pernafasan diharapkan dapat terus berkurang.

Penatalaksanaan utama respiratory distress pada neonatus adalah terapi


suportif dengan ventilasi mekanik dan oksigenasi konsentrasi tinggi. Terapi lainnya
meliputi high-freuency ventilator, terapi surfaktan, inhalasi nitrat oksida dan
etracorporealmembrane oxygenation (ECMO).
Penanganan neonatus yang mengalami respiratory distress memerlukan suatu
unit perawatan intensif dan penatalaksanaan yang optimal tergantung pada sistem
perawatan neonatus yang ada, yaitu ketersediaan tenaga ahli, fasilitas yang memiliki
kemampuan dalam menilai dan memberikan tatalaksana kehamilan resiko tinggi, serta
1,2,5
memiliki kemampuan menerima rujukan dari fasilitas kesehatan dibawahnya.

Dengan lamanya waktu perawatan dan tingginya biaya yang harus


dikeluarkan, diagnosis dan tatalaksana yang tepat kegagalan nafas pada neonatus
merupakan hal yang penting untuk menekan mortalitas dan biaya perawatan yang
akan dikeluarkan.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan respiratory distress.

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
respiratory distress.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Respiratory distress adalah suatu keadaan meningkatkan kerja pernapasan
yang ditandai dengan takipnea, retraksi dinding dada, napas cuping hidung,
merintih atau grunting, sianosis, apnu tau henti napas. Jenis respiratory distress
yang paling sering adalah transient tachypnea of newborn, hyaline membrane
disease dan displasia bronkopulmonar.
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah sekumpulan gejala distres
nafas ditandai dengan adanya takipnea, retraksi dinding dada, sianosis, merintih,
dan nafas cuping hidung. Transient tachypnea of the newborn (TTN) adalah suatu
penyakit ringan pada neonatus kurang bulan atau cukup bulan yang mengalami
gawat napas segera setelah lahir dan hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5
hari. Penyakit membran hialin (PMH) adalah gangguan napas yang terdiri dari
satu atau lebih gejala berikut : pernapasan cepat > 60x menit, retraksi dinding
dada, merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar, yang memburuk
pada 48-96 jam pertama kehidupan.6,7

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi
baru lahir tiap tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kira-kira
50% kelahiran neonates yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami
RDS, dan kurang dari 30% neonatus premature usia kehamilan 30-31 minggu
mengalami keadaan ini.8
Pada satu laporan, angka kejadian RDS sekitar 42% pada infant 501-
1500g, dengan 71% dilaporkan pada berat badan 501-750 gram, 54% yang berat
badan 751-1000g, 36% yang berat badannya 1001-1250g, dan 22% pada 1251-
1500g. RDS lebih jarang ditemukan di negara berkembang dibanding lainnya,
terutama karena kebanyakan infant premature yang kecil untuk masa kehamilan
mengalami stress di dalam rahim karena diinduksi oleh hipertensi. Selain itu juga
dikarenakan pada wilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan didalam rumah,
sehingga pencatatatannya buruk.8

3
2.3 Anatomi dan Fisiologi
Menurut Pusdiknakes (2003) perubahan fisiologis pada bayi baru lahir
adalah salah satunya sistem pernafasan. Selama dalam uterus, janin mendapatkan
oksigen dari pertukaran gas melalui plasenta. Setelah lahir, pertukaran gas harus
melalui paru-paru.9
2.3.1 Perkembangan Paru-Paru
Paru berasal dari pengembangan embryonic foregut dimulai dengan
perkembangan bronki utama pada usia 3 minggu kehamilan.pertumbuhan paru
kearah kaudal ke mesenkim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan
dan komponen fibroblas berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epitelium
mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Diluar periode embrionik ini,
ada 4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,
perkembangan saluran pernapasan, pembluh darah dan proses diferensiasi
berlangsung secara bersamaan.7
a. Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkus dan tubulus asiner.
a. Kanalikuler (16-26 minggu)
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkim
Diferensiasi pneumosit alveolar tipe II sekitar 20 minggu
b. Sakuler (24-38 minggu)
Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara
Awal pembentukan septum alveolar
c. Alveolar (36 minggu-lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru

2.3.2 Awal Adanya Nafas


Dua faktor yang berperan pada rangsangan pertama nafas bayi 9 :
 Hipoksia pada akhir persalinan dan rangsangan fisik lingkungan dua rahim
yang merangsang pusat pernafasan otak.
 Tekanan terhadap rongga dada, yang terjadi karena kompresi paru-paru
selama persalinan yang merangsang masuknya udara ke dalam paru-paru
secara mekanis.

4
Interaksi antara sistem pernafasan, kardiovaskuler dan susunan saraf pusat
menimbulkan pernafasan teratur dan berkesinambungan. Jadi sistem-sistem harus
berfungsi secara normal.9

2.3.3 Surfaktan dan Upaya Respirasi untuk Bernafas


Surfaktan dibentuk pada pneumositalveolar tipe II dan disekresi kedalam
rongga udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu.komponen utama surfaktan
ini adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipamitylphosphatidylcholine
(DPPC). Surfaktan disekresikan oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit
alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin tubuler tergantung pada
ion kalisum dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan lapisan tunggal
bersal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC.7
Upaya pernafasan pertama seorang bayi berfungsi untuk mengeluarkan
cairan dalam paru-paru dan mengembangkan alveolus paru-paru untuk pertama
kali. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlahnya akan
meningkat sampai paru-paru matang sekitar 30-40 minggu kehamilan. Surfaktan
ini berfungsi mengurangi tekanan permukaan paru-paru dan membantu
menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernafasan. Tanpa
surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernafasan yang
menyebabkan sulit bernafas.9

2.3.4 Dari Cairan menuju Udara


Bayi cukup bulan mempunyai cairan di dalam paru-parunya. Pada saat
bayi melalui jalan ahir selama persalinan, sekitar 1/3 cairan ini akan diperas keluar
paru-paru. Dengan beberapa kali tarikan nafas pertama, udara memenuhi ruangan
trakea dan bronkus bayi baru lahir. Dengan sisa cairan di dalam paru-paru
dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh pembuluh limfe dan darah.9

2.3.5 Fungsi Pernafasan dalam Kaitannya Fungsi Kardiovaskuler


Oksigenasi sangat penting dalam mempertahankan kecukupan pertukaran
udara. Jika terdapat hipoksia, pembuluh darah paru-paru akan mengalami
vasokontriksi. Pengerutan pembuluh darah ini berarti tidak ada pembuluh darah
yang terbuka, guna menerima oksigen yang berada dalam alveoli, sehingga
penurunan oksigenasi jaringan akan memperburuk hipoksia. Peningkatan aliran

5
darah paru-paru akan memperlancar pertukaran gas dalam alveolus dan
menghilangkan cairan paru-paru akan mendorong terjadinya peningkatan sirkulasi
limfe dan membantu menghilangkan cairan paru-paru dan merangsang perubahan
sirkulasi janin menjadi sirkulasi luar rahim.9

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab terbanyak dari ditres respirasi dapat dibagi atas 6,10
1. Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyakit membran hialin merupakan gangguan pernapasan yang
disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan , terutama pada neonatus usia
gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram.
2. Transient Tachypnea of Neonatus (TTN)
Disebut juga sebagai wet lung yang terutama terjadi pada bayi cukup
bulan, dan biasanya ringan serta dapat sembuh sendiri.
3. Pneumonia neonatal
Pneumonia disebabkan infeksi intrauterin atau selama persalinan dan
umumnya infeksi bakterialis dapat didukung dengan faktor seperti prematuritas,
ketuban pecah dini dan persalinan lama.
4. Aspirasi mekonium
Aspirasi mekonium merupakan penyebab terbanyak distres pernapasan
pada bayi cukup atau lebih bulan. Mekonium yang masuk ke dalam saluran napas
menyebabkan terjadinya obstruksi bronkial, air-trapping (akibat partikel
mekonium menyumbat bronkus kecil di perifer), dan pneumonitis kimiawi. Dapat
terjadi komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum, hipertensi pulmonal,
pirau kanan ke kiri serta kerusakan otak akibat anoksia.
Faktor risiko terjadinya distres respirasi 7,11 :
1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara
biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi
rongga alveoli.
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,
aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan
hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah
keluar dari paru.

6
3. Bayi dari ibu diabetes melitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi
keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi.
4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,
berapa pun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi
cairan paru (transient tachypnea of newborn).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat
terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami


aspirasi mekonium.

2.5 Patofisiologi
2.5.1 Penyakit Membran Hialin (PMH)
Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada PMH menyebabkan
kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu, hal ini
mengakibatkan terganggunya fungsi paru bayi setelah lahir. Pada keadaan
defisiensi ini paru bayi akan gagal mempertahankan kestabilan alveolus pada
akhir ekspirasi, sehingga pada saat inspirasi berikutnya dibutuhkan tekanan yang
lebih besar untuk mengembangkan alveolus yang mengalami kolaps dan pada
setiap ekspirasi terjadinya atelektasis menjadi bertambah. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi dan
asidosis. Hipoksia akan menimbulkan oksigeniasi jaringan menurun, sehingga
akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam
organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi.
Selanjutnya akan terjadi kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris
yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya
fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin yang menghambat
terjadinya difusi dan pada akhirnya akan memperparah gangguan napas pada
neonatus.10,12

2.5.2 Transient Tachypnea of Neonatus (TTN)


TTN adalah akibat adanya keterlambatan dalam pembersihan cairan paru
janin. Masalah pernapasan dianggap masalah kekurangan surfaktan tetapi

7
sekarang dicirikan oleh beban udara-cairan sekunder dan ketidakmampuan untuk
menyerap cairan paru janin tersebut. 10,12
Percobaan in vivo telah menunjukkan bahwa epitel paru-paru
mengeluarkan Cl- dan cairan selama kehamilan tetapi kemampuan untuk
menyerap kembali secara aktif Na+ hanya selama akhir kehamilan. Saat lahir,
paru-paru matur mengaktifkan sekresi Cl- (cairan) menjadi penyerapan aktif Na+
(cairan) akibat respon terhadap beredarnya katekolamin. Penelitian menunjukkan
bahwa glukokortikoid berperan dalam pengaktifan ini. Perubahan dalam tegangan
oksigen menambah kapasitas transpor epitel terhadap Na+ dan meningkatkan
ekspresi gen untuk epitel Na+ channel (ENaC). Paru-paru janin imatur tidak
mampu untuk beralih dari sekresi cairan menjadi penyerapan cairan, yang diatur
oleh glukokortikoid. Glukokortikoid mempengaruhi reabsorpsi Na+ paru-paru
kemungkinan besar melalui saluran EnaC pada akhir usia kehamilan janin. 10,12
Bayi matur yang memiliki transisi normal dari janin ke kehidupan
postnatal memiliki surfaktan dan sistem epitel yang matur. TTN terjadi pada bayi
baru lahir matur dengan jalur surfaktan matur dan kurang berkembangnya epitel
pernapasan transportasi Na+, sedangkan sindrom gawat nafas neonatus terjadi
pada bayi dengan kedua jalur surfaktan dini dan Na+ transportasi immatur. 10,12
Bayi lahir dengan kelahiran sesar berisiko memiliki cairan paru yang
berlebihan sebagai akibat tidak mengalami semua tahapan persalinan normal dan
kurangnya lonjakan katekolamin yang tepat, yang menyebabkan pelepasan yang
rendah dari pengaturan hormon pada saat persalinan. Hal ini membuat cairan
tertahan di alveoli yang akan menghambat terjadinya pertukaran gas. 10,12

2.5.3 Pneumonia Neonatal


Pada bayi baru lahir sering disebabkan oleh ketuban pecah dini. Pada saat
ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina berperan dalam infeksi
janin. Pada keadaan ini kuman dari vagina naik ke kavum uteri, melekat pada
desidua (menimbulkan desidualitis), lalu terjadi penyebaran infeksi keselaput
khorion dan amnion (menimbulkan khorioamnionitis) dan berkembang menjadi
khoriovaskulitis (infeksi pada pembuluh darah fetal) serta amnionitis. Bila cairan
amnion yang septik teraspirasi oleh janin maka akan menyebabkan pneumonia
kongenital, otitis, konjungtivis sampai bakteremia dan sepsis. Keadaan infeksi

8
pada bayi baru lahir akan meningkatkan kebutuhan metabolisme anaerob,
sehingga ada kemungkinan tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta.
Hal ini menimbulkan aliran nutrisi dan O2 tidak cukup sehingg amenyebabkan
metabolisme janin menuju metabolisme anaerob dan terjadi penimbunan asam
laktat dan piruvat. Keadaan ini akan menimbulkan kegawatan janin (fetal distress)
intrauterin yang akan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.
Cairan amnion berfungsi sebagai sawar proteksi terhadap infeksi asenden vagina,
memungkinkan pergerakan bebas janin, tempat mengapungnya tali pusat sehingga
tidak terjadi kompresitali pusat yang menyebabkan terhambatnya aliran darah
yang mengandung O2 dari ibu ke janin.12.13

Gambar 1. Hubungan ketuban pecah dan pneumonia

9
2.5.4 Aspirasi Mekonium
Pada aspirasi mekonium, terhisapnya cairan mekonium saat intrauterine
ataupun persalinan yang nantinya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas
sehingga terjadi gangguan napas pada bayi.12,13 Alur patofisiologi dapat di lihat
pada gambar berikut

Gambar 2. Patofisologi aspirasi mekonium

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang timbul yaitu 7 :
1. Sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai
dengan takipnea (> 60 x/menit).
2. Retraksi : vekungan atau tarikan antara iga (intercostal) dan atau
dibawah sternum (substernal) selama inspirasi.
3. Napas cuping hidung : kembang kempis lubang hidung selama
inspirasi.
4. Merintih atau grunting terdengar merintih atau menangis saat inspirasi.

10
5. Sianosis sentral : warna kebiruan pada bibir (berbeda dengan biru
lebam atau warna membran mukosa)
6. Apnea atau henti napas
7. Dalam jam pertama sesudah lahir, empat gejala distres respirasi (takipnea,
retraksi, napas cuping hidung dan grunting) kadang juga dijumpai pada
BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan karena
perubahan fisiologis akibat reabsorbsi cairan dalam paru bayi dan masa
transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, napas cuping hidung dang grunting menetap pada
beberapa jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas
atau distress respirassi yang harus dilakukan indakan segera.

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor


Downes. Skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan
dapat digunakan pada semua usia kehamilan.
Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Keterangan:
0-4: Distress nafas ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox
4-7: Distress nafas sedang; membutuhkan nasal CPAP
>7 : Distress nafas berat; ancaman gagal nafas; membutuhkan intubasi.

11
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prental dan intrapartum
sangat diperlukan antara lain 7 :
 Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi : pneumonia, displasia pulmonal, trauma persalinan sungsang,
kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf
pusat, paralisis nerfus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin,
depresi neonatal, tali pusat menumbung, bayi lebih bulan, demam atau
suhu yang tidak stabil (pada peumonia).
 Gangguan SSP : tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,
miastenia.
 Kelainan kongenital : arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain ;
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia difragmatika,
paralisis erb (paralisis nervus frenikus, atresia koana, kongesti nasal
obstruksi,meningkatnya diameter anterior posterior paru, hipoplasia
paru,trakeoesofageal fistula).
 Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat
yang berlebihan.

2.7.2 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan
napas, berupa beberapa tanda dibawah ini 7 :
 Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan,merupakan
gejala yang menonjol
 Sianosis
 Retraksi
 Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung : atresia koana, ditandai
dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.

12
 Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat
 Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Penyakit membran hialin
- Gambaran foto thoraks : retikulogranular uniform dengan air
bronchogram.
- Laboratorium darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak
menunjukan tanda infeksi, kultur streptokokus (-), dan analisis gas
darah didapatkan hipoksemia dan asidemia.
b. Transient Tachypnea of Neonatus (TTN)
 Laboratorium :
- Analisis gas darah biasanya akan memperlihatkan hipoksia ringan-
sedang dengan asidosis respiratorik yang menghilang dalam 8-24 jam.
Hipokarbia biasanya didapatkan. Jika ada, hipokarbia biasanya ringan
(PCO2 >55 mm Hg). Extreme hypercarbia sangat jarang, namun jika
terjadi, merupakan indikasi untuk mencari penyebab lain.
- Differential count adalah normal pada TTN, tapi sebaiknya dilakukan
untuk menentukan apakah terdapat proses infeksi. Nilai hematokrit
akan menyingkirkan polisitemia.
 Foto toraks :
- Hiperekspansi paru, khas pada TTN.
- Garis prominen di perihiler.
- Pembesaran jantung ringan hingga sedang.
- Diafragma datar, dapat dilihat dari lateral.
- Gambaran opak di fisura interlobaris karena terapat cairan dan perlahan
akan terdapat di ruang pleura.
- Prominent pulmonary vascular markings.
c. Pneumonia neonatal
- Laboratorium : darah kultur (+)
- Foto toraks : tampak densitas homogen dan difus ataupun infiltrat luas

13
d. Aspirasi mekonium
- Darah : analisis gas darah diapatkan asidosis metabolik, asidosis
respiratorik, hipokesmia dan hiperkapnia
- Foto toraks : hiperinflasi, atelektasis, dll

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Tindakan Umum
Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai
tindakan penunjang pada penderita berat. Tindakan umum yang perlu dikerjakan
ialah 12,13 :
a. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5  C-37 C) dengan
meletakan bayi dalam inkubator.
b. Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan
intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun
pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup,
menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan
pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan
asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang
diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100
ml/KgBB/hari.

2.8.2 Tindakan Khusus


a. Pemberian O2
Setiap penderita hampir selalu membutuhkan O2 tambahan. Pemberian O2
sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur.
Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan
PaO2 antara 80-100 mgHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial
tidak ada,O2 dapat diberikan sampai gejala sianosis hilang. Untuk mencapai
tekanan, O2 ini kadang-kadang diperlukan konsentrasi O2 sampai 100 %.
Konsentrasi demikian biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan

14
sungkup dan tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter
hidung biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang diperlukan
ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator. Tindakan ini dilakukan
apabila bayi yang telah mendapatkan O 2 dengan konsentrasi 100% masih
memperlihatkan PaO2 kurang dari 40 mmHg, PCO2> 70 mmHg, PH darah < 7,2
atau masih adanya serangan apneu berulang. Dasar ventilasi mekanis adalah
mengusahakan agar O2 yang diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh.
Beberapa cara pemberian ventilasi mekanis ini adalah 12 :
 Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan (Constant positive
airway pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan memberikan tekanan
positif terhadap udara yang masuk atau mengadakan tekanan negatif yang
konstans terhadap dinding toraks. Pemberian secara ini akan mengurangi
terjadinya atelektasis alveolus disertai perbaikan PaO2 darah.
 Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten (Intermittent
Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara ini keseimbangan
pertukaran gas tubuh dapat diatur.
 Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan
bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbarik, intermittent
negative pressure ventilation, dan lain-lain.

b. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah
terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit. Antibiotik
diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai gejala gangguan nafas
tidak ditemukan lagi. Sebaiknya antibiotik yang dipilih adalah yang mempunyai
spektrum luas. Antibiotik yang biasa diberikan adalah penisilin (50.000 U-
100.000 U/KgBB/hr) atau ampicillin sulbactam (50 mg/KgBB/hr) dengan
gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr). Bila pemeriksaan kultur tidak memungkinkan,
antibiotik dapat diberikan 5-7 hari.7

c. Pemberian Surfaktan Buatan


Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoil fosfatidilkolin dan
fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita

15
dengan PMH . Bayi diberi surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal
dengan menyemprotkan ke dalam trakea penderita.7

2.9. Prognosis
Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas.
Prognosis baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan
hipoksemia lama.7

16
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : By. PP
MR : 01027545
Umur/tanggal lahir: 13 hari / 17 September 2018
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ayah/ Ibu : RY /PP
Anak ke :3
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Belimbing, Padang
Tanggal Masuk : 17September 2018
Tanggal Pemeriksaan: 30 September 2018

Keluarga
Ibu Ayah
Umur 33 th 36 th
Pendidikan S1 S1
Pekerjaan Karyawati PNS
Perkawinan ke 1 1
Penghasilan Rp. 6.000.000 Rp. 6.000.000

Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak lahir.
Riwayat Penyakit Sekarang:
- NBBLC 2400 gram, panjang badan 51 cm, lahir spontan ditolong dokter,
ketuban hijau kental, Apgar Score5/6 (partus luar)
- Sesak nafas sejak lahir, kebiruan ada, menghilang setelah pemberian oksigen
- Tidak ada demam, tidak ada kejang
- Mekonium sudah keluar
- BAK sudah keluar, jumlah biasa, warna kekuningan
- Injeksi vitamin K telah diberikan

17
- Riwayat ibu demam selama kehamilan dan menjelang persalinan tidak ada
- Riwayat ibu nyeri BAK selama kehamilan dan menjelang persalinan tidak
ada
- Riwayat ibu keputihan selama kehamilan dan menjelang persalinan tidak ada
- Pasien merupakan rujukan Semen Padang Hospital dengan diagnosis NBBLC
3400 gram + respiratory distress ec suspek aspirasi mekonium. Pasien
dipasang CPAP PEEP 7, FiO2 40%, IVFD D10% 10 tpm mikro, picyn 2x150
mg IV, gentamicin 1x15 mg IV
Riwayat Kehamilan Sekarang : G4P2A1H2
HPHT : Tidak ingat
Taksiran Persalinan : Tidak bisa ditentukan
Penyakit Selama Hamil : Tidak ada
Komplikasi Kehamilan : Tidak ada
Kebiasaan Ibu Waktu Hamil
Kualitas dan kuantitas makan cukup, tidak ada minum alkohol, merokok dan
narkoba.
Riwayat Persalinan
Ditolong oleh dokter di Semen Padang Hospital (17-9-2018), lahir pervaginam,
ketuban berwarna hijau kental,Saat lahir anak sesak nafas, berat badan 3400 gram,
panjang badan 51 cm.
Apgar Score : 5/6 (partus luar)

18
Kondisi Bayi Saat Lahir:
Lahir tanggal : 17September 2018
Jenis kelamin : Laki-laki
Kondisi saat lahir : Hidup

Pemeriksaan Fisik:
Kesan Umum
Keadaan : Tampak sakit berat
Berat badan : 3400 gram
Panjang badan : 51 cm
Frekuensi jantung : 135 kali per menit
Frekuensi nafas : 40 kali per menit
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Suhu : 36,70 C
Kulit : teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada
kutis marmorata
Kepaladan leher: bulat, simetris, normocephal, ubun-ubun besar 1,5x1,5 cm,
ubun-ubun kecil 0,5x0,5 cm, tidak cekung, lingkar kepala 32 cm,
jejas persalinan tidak ada
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tulang rawan telinga cukup lunak, cuping telinga cepat kembali
Hidung : nafas cuping hidung ada, terpasang CPAP dengan PEEP 7 FiO2
40%.
Mulut : sianosis sirkum oral tidak ada, mukosa dan bibir bawah
Thoraks : normochest
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi epigastrium ada
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskustasi : suara nafas bronkovesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada

19
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar teraba 1/4 -1/4 permukaan licin dan rata, pinggir
tajam, lien tidak teraba.
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus positif normal
Tali pusat : segar
Umbilikal : tidak hiperemis
Punggung : tidak ada kelainan
Alat kelamin: tampak penis, desensus testis bilateral
Anus : anus ada
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik
Refleks : Moro : tidak dilakukan, pasien dalam inkubator Isap : ada
Rooting : ada Pegang : ada
New Ballard Score : pasien partus luar

Diagnosis Kerja
NBBLC 3400 gram
Respiratory distress e.c susp. Aspirasi mekonium

Diagnosis Banding
Respiratory distress e.c susp.Transien tachypneu of newborn

Tatalaksana

20
NCPAP FiO2 40% PEEP 6, FIP 18, FiO2 45% RR 40x/menit

IVFD PG 1 272 cc/hari = 11,3 cc/jam

Ampicilin Sulbactam 2x170 mg IV

Gentamisin 1x16 mg IV

Rencana

Rontgen thoraks

Cek DPL, AGD

Hasil Pemeriksaan

Hb : 12 gr/dL Trombosit : 251.000uL

Eritrosit : 9.400.000/mm3 Diff. count : 0/0/5/59/30/6

Leukosit : 11.820/mm3

21
Follow Up
BAB 4
DISKUSI

Telah dirawat seorang anak laki-laki usia 13 hari di bangsal perinatologi


RSUP DR M Djamil pada tanggal 23September 2018 dengan keluhan utama sesak
nafas sejak lahir. Pasien didiagnosis kerja dengan respiratory distress et causa
suspek aspirasi pneumonia + NBBLC 3400 gram. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada kasus ini kehamilan ibu, berkisar antara 39-40 minggu, berdasarkan
hasil penilaian new ballard score tidak dapat ditentukan karena pasien partus luar
dan tidak dinilai oleh penulis, sehingga patokan usia gestasi hanya berdasarkan
keterangan ibu pasien.
Anamnesis bahwa pasien mengalami sesak nafas sejak lahir, nafas cuping
hidung ada, retraksi epigastrium ada dan hasil Downes score yaitu 6 yang
menunjukan respiratory distress derajat berat. Pemeriksaan fisik menunjukan
pernafasan 40 x menit, terdapat nafas cuping hidung, pada pemeriksaan thoraks
didapatkan retraksi epigastrium.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan usia kehamilan
menunjukan bahwa adanya gangguan pernafasan dapat terjadi pada bayi yang usia
kehamilan cukup bulan yaitu 36-40 minggu, ini sesuai dengan usia kehamilan
pada kasus ini adalah 39-40 minggu dan lahir dengan partus pervaginam.Untuk
menegakkan diagnosis tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
rontgen thoraks.
Terapi pada pasien ini diberikan atas indikasi adanya RDS antara lain
mempertahankan suhu bayi 36,5-37,5oC, menjaga patensi jalan nafas,
mempertahankan oksigenasi adekuat PaO240-80 mmHg yang dicapai dengan
menggunakan CPAP. Terapi cairan yang diberikan adalah IVFD D10%
80cc/kgBB/hari ditambah dengan pemberian ampicilin 2x130 mg IV dan
gentamisin 1x13 mg IV.
DAFTAR PUSTAKA

1. Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. Epidemiology of


neonatal respiratory failure in the united states. Am J Respir Crit Care Med
2001;164:1154-60.
2. Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, dkk. Neonatal respiratory
failure: a 12-month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in China.
Pediatrics. 2008;121:1115-24.
3. UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23
November 2010); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.
4. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan
kesehatan: Peran penelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 23 November 2010);
Tersedia dari: http://www.depkes.go.id.
5. Hagedorn M, Gardner S, Abman S. Common systemic diseases of the
neonate: Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S, penyunting.
Handbook of neonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis: Mosby; 2002. h. 485-
575.
6. Behrman, Kliegman, Jenson. Nelson’s Textbook of Pediatrics 17th ed.
Saunders. Philadelphia, Pennsylvania; 2004.
7. Cunnigham, F. G., Eastman N. J., Hellman L. M. Williams Obstetrics. 22nd
ed. United States: Mc Graw Hill. Philadelphia; 2004
8. Donald, Mhairi G., Martha D. Mullett, Mary M. K. Seshia. Avery’s
Neonatology Pathophysiology & Management of the Newborn. 6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, United States; 2005.
9. James, David K. MA, MD., Philip J. Steer. BSc, MD., Carl P. Weiner. MD.,
Bernard Gonik MD. High Risk Pregnancy Management and Options. 2nd ed.
W. London: B. Saunders; 2001.
10. Herry Garna, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak edisi 3.
Fakultas Kedokteran UNPAD, RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung:
2005
11. Waldo E Nelson, MD et al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi
15. Jakarta: EGC.
12. Abdul L et al. 2003. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke-2.
Jakarta : CV Sagung Seto.
13. Tricia Lacy Gomella, MD et al. 2004. Neonatology:
Management, Procedures, On-call Problems, Disease, and
Drugs. 5th Edition. USA: Lange Medical Books/McGraw-Hill

You might also like