You are on page 1of 23

DAFTAR ISI

Halaman Depan

Daftar isi ...................................................................................................... 2

BAB 1 : PENDAHULUAN ........................................................................ 3

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 4

1.2. Tujuan Penulisan ........................................................................... 4

1.3. Batasan Masalah ........................................................................... 4

1.4. Metode Penulisan .......................................................................... 4

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5

2.1. Definisi .......................................................................................... 5

2.2. Epidemiologi ................................................................................. 5

2.3. EtiologidanFaktor risiko................................................................ 6

2.4. Patoogenesis .................................................................................. 8

2.5. Manifestasi klinis .......................................................................... 11

2.6. Diagnosis ...................................................................................... 11

2.7. Diagnosis banding.......................................................................... 13

2.8. Penatalaksanaan............................................................................. 14

2.9. Komplikasi..................................................................................... 20

2.10. Pencegahan.................................................................................... 21

2.11. Prognosis........................................................................................ 21
BAB 3 : KESIMPULAN ............................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan

metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama

disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. 1 KAD dan Hiperosmolar

Hyperglycemia State (HHS) adalah 2 komplikasi akut metabolik diabetes mellitus

yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi

pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2, meskipun KAD lebih sering dijumpai

pada DM tipe 1.2 KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1 atau

mungkin merupakan akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe 1

pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya.3

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang

dirawat per tahun di Amerika Serikat. Kekerapan KAD berkisar 4-8 kasus pada

seiap 1000 pengidap diabetes dan masih menjadi problem pada rumah sakit yang

fasilitas minimal.Insiden KAD di Indonesia sebagian besar pengidap diabetes tipe

2, dan hal itu sering menjadi penyebab kematian. Di Negara Barat banyak yang

menderita diabetes tipe 1, edema serebri adalah penyebab kematian

2
terbanyaknya.1

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada

banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%, 2 – 10%, atau 9 –

10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka

kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada

beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard

akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia

dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda

umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan

rasional sesuai dengan patofisiologinya.

Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu

oleh faktor penyakit dasarnya.1 Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan

tepat untuk menghindari kematian pada pasien KAD usia muda, maka selanjutnya

akan dibicarakan tentang penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat

penatalaksanaannya.

1.1. Tujuan Penulisan

Penulisan clinical science session ini bertujuan untuk memahami dan

menambah pengetahuan tentang Ketoasidosis Diabetikum

1.2. Batasan Masalah

Clinical science session ini akan membahas mengenai defenisi,

epidemiologi, klasifikasi, etiologi, faktor resiko, manifestasi klinis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis

Ketoasidosis Diabetikum

3
1.3. Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa tinjauan

kepustakaan yang mengacu pada berbagai literature, termasuk buku teks dan

artikel ilmiah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic

yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan

oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan

komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan

pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami

dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.1

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai

dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai

tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma

meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap. KAD terjadi bila

terdapat defisiensi insulin yang berat sehingga tidak saja menimbulkan

hiperglikemia dan dehidrasi berat, tapi juga mengakibatkan peningkatan produksi

keton dan asidosis.4

4
2.2. Epidemiologi

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden

KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur,

sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien

DM per tahun.1 Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000

pasien DM per tahun.5,6

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang

dirawat per tahun di Amerika Serikat.7 Walaupun data komunitas di Indonesia

belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,

mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia

umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.1

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada

banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-

10%.1 Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka

kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada

beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard

akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia

dan kadar keasaman darah yang rendah.

Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan

diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan

patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih

sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.1

Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan tepat untuk menghindari

kematian pada pasien KAD usia muda, maka tulisan ini akan membicarakan

5
tentang penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat

penatalaksanaannya. Sebagai pendahuluan akan dijelaskan secara ringkas tentang

faktor pencetus dan kriteria diagnosis KAD.

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko

Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk

pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%

dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui

faktor pencetusnya.1,7

Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai

pencetus lebih dari 50% kasus KAD. 7,8,9 Pada infeksi akan terjadi peningkatan

sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang

bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,

pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang

baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.1,2,9

Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor

komorbid penderita.6 Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD

adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang

diketahui paling sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan

pneumonia.6,7 Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi

oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan

sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari

asidosis metabolik.2 Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion

atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme

6
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik

(seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang

diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan

fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang

disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang.

Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien

muda diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan

kontrol metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit

kronik.6,7,8Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan dan

ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak

mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.10,11

2.4. Patogenesis

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan

peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis

merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi

bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,

kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan

produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda

keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal

(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada

jaringan perifer.1

Untuk terjadinya KAD, terdapat defisiensi insulin dan peningkatan tajam

glukagon. Penurunan rasio insulin terhadap glukagon meningkatkan

7
glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan badan keton di hepar. Kondisi

tersebut juga disertai dengan peningkatan pengiriman substrat (asam lemak bebas

dan asam amino) dari jaringan lemak dan otot menuju hepar.12

Ketosis dihasilkan dari peningkatan asam lemak bebas yang lepaskan dari

sel adiposit sehingga menyebabkan pergerseran menuju dominan pembentukan

badan keton di hepar. Penurunan kadar insulin dengan kombinasi peningkatan

katekolamin dan hormon pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan pelepasan

asam lemak bebas. Dalam kondisi normal, asam lemak bebas ini akan dirubah

menjadi trigliserid atau VLDL di liver. Namun demikian, pada kondisi KAD,

hiperglukagonemia merubah metabolisme hepatik menjadi lebih kearah

pembentukan badan keton melalui aktivasi enzim carnitine palmitoyl transferase I

(CPT1).13

Enzim CPT1 ini penting dalam meregulasi transpor asam lemak menuju

mitokondria sel hepar untuk dioksidasi. Hasil oksidasi asam lemak di

mitokondria sel hepar adalah asetil-KoA. Karena insulin mengalami defisiensi,

asetil-KoA akan mengalami konsdensasi menjadi asam asetoasetat. Asam

asetoasetat ini selanjutnya akan memasuki sirkulasi dan dapat digunaakn oleh sel-

sel perifer (kecuali otak) untuk bahan metabolism dengan cara mengubahnya

kembali menjadi asetil-KoA.13 Namun disaat yang sama, terjadi efek paradoks

yakni penurunan insulin akan menyebabkan penurunan penggunaan asam

aseoasetat oleh sel-sel perifer. Akibatnya kadarnya dalam darah meningkat tajam

(Gambar 1).

8
Gambar 1. Peningkatan tajam asam asetoasetat dalam darah setelah pengambilan

pankreas (tubuh tidak memproduksi insulin)14

Asam asetoasetat yang terlalu banyak dalam darah sebagian akan dikonversi

menjadi betahidroksibutirat dan aseton. Ketiganya ini disebut dengan badan

keton. Keton dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif sel-sel yang tidak

memiliki mitokondria maupun sel otak15, namun sekali lagi dalam keadaan

defisiensi insulin, penggunaan keton oleh jaringan perifer menurun sementara

pembentukan meningkat. Ketidakseimbangan ini menyebabkan ketosis.

Ketosis akan menyebabkan asidosis metabolik karena kadar asam keton

yang terlalu banyak melampui kapatias bikarbonat dalam darah. Pada tahap

ketosis ini, asam beta-hidroksibutirat dan asetoasetat dieliminasi tubuh melalui

ginjal bersama dengan natrium dan kalium serta meninggalkan hidrogen tetap

dalam sirkulasi sehingga konsentrasinya meningkat dan terjadi asidosis.15

9
Gambar 2. Mekanisme ketoasidosis secara skematis15

2.5. Manifestasi Klinik

Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui

menderita DM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai

pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam

(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir

kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Keluhan poliuria dan

polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti

menyuntik insulin, demam, atau infeksi.1

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak,

sering dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut

yang menonjol dan hal ini dapat berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi

lambung. Derajat kesadaran pasien bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai

koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan

kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol). Bau aseton dari

hawa napas tidak selalu mudah tercium.

2.6. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis tentu selalu dilakukan dengan anamnesis yang

detail, pemeriksaan fisik yang teliti, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang

10
yang diperlukan. Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat seorang pengidap

diabetes atau bukan dengan keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah dan keram otot,

mual muntah, dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan

penurunan kesadaran sampai koma.16

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas

Kussmaul jika asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing,

penurunanberat badan, dan tentunya adalah tanda dari masing-masing penyakit

penyerta.16

Trias biokimiawi KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan atau ketonuria,

serta asidosis metabolik dengan beragam derajat. Pada awal evaluasi, kebutuhan

pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan keadaan klinis, umumnya dibutuhkan

pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisa gas darah, ketondarah dan urin,

osmolalitas serum, darah perifer lengkap dengan hitung jenis, anion gap, EKG,

dan foto polos dada.16

Kunci diagnosis pada KAD adalah adanya peningkatan total benda keton, di

sirkulasi. Metode lama untuk mendeteksi adanya benda keton di darah dan urin

adalah dengan menggunakan reaksi nitropruside yang mengestimasi kadar

asetoasetat dan aseton secara semikuantitatif. Walupun sensitif tetapi metode

tersebut tidak dapat mengukur keberadaan beta hidroksi butirat, benda keton

utama sebagai produk ketogenesis. Peningkatan benda-benda keton tersebut akan

mengakibatkan peningkatan anion gap.16

Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis utama

KAD, walupun ada istilah KAD euglikemik, dengan demikian setiap pengidap

diabetes yang gula darahnya lebih dari 250 mg/dl harus dipikirkan kemungkinan

11
ketosis atau KAD jika disertai dengan keadaan klinis yang sesuai. Derajat

keasaman darah yang kurang dari 7.35 dianggap sebagai ambang adanya asidosis,

hanya saja pada keadaan yang terkompensasi seringkali ph menunjukan angka

normal. pada keadaan seperti itu jika angka HCO3 kurang dari 18 mEq/L

ditambah dengan keadaan klinis lain yang sesuai, maka sudah cukupuntuk

menegakkan KAD.16

Pada saat masuk rumah sakit seringkali terdapat leukositosis pada pasien

KAD karena stress metabolik dan dehidrasi, sehingga jangan terburu-buru

memberikan antibiotik jika jumlah leukosit antara 10.000-15.000 m3 .

Tabel 1. Kriteria diagnosis KAD dan SHH.17

2.7. Diagnosis banding

Ketoasidosis harus dibedakan dengan Hiperglikemi Hiperosmolar Non

Ketotik (HHNK). Walupun pengelolaannya hampir sama tetapi prognosisnya

berbeda. Pada HHNK hiperglikemi biasanya lebih berat, dehidrasi berat, selalu

disertai gangguan kesadaran tanpa ketoasidosis yang berat.16

12
HHNK merupakan komplikasi akut pada DM tipe 2 berupa peningkatan

kadar gula darah yang sangat tinggi (> 600mg/dl-1200mg/dl) dan ditemukan

tanda-tanda dehidrasi tanpa disertai gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi pada

orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta dengan asupan

makanan yang kurang. Faktor pencetus serangan antara lain: infeksi,

ketidakpatuhan dalam pengobatan, DM tidak terdiagnosis, dan penyakit penyerta

lainnya.18

Beberapa keadaan ketoasidosis karena sebab lain juga harus dipikirkan saat

berhadapan dengan pasien yang dicurigai KAD. Ketoasidosis alkoholik dan

ketosis starvasi dapat disingkirkan dengan anamnesis yang baik dan hasil gula

darah yang rendah sampai meningkat ringan saja. Biasanya hasil HCO3 jarang

dibawah 18 mEq/L. Asidosis metabolik anion gap tinggi karena sebab lain harus

disingkirkan seperti karena obat-obatan (salisilat, ethylene glycol, dan

paraldehyde), asidosis laktat, dan juga asidosis metabolik pada gagal ginjal akut

atau kronik.16

2.8. Tatalaksana

Sasaran pengobatan KAD adalah :

1. Memperbaiki volume sirkulasi dan perfusi jaringan.

2. Menurunkan kadar glukosa darah.

3. Memperbaiki asam keto di serum dan urin ke keadaan normal.

4. Mengoreksi gangguan elektrolit.

Untuk mencapai sasaran di atas, hal yang perlu diperhatikan dalam

penatalaksanaan penderita KAD adalah perawatan umum, rehidrasi cairan,

pemberian insulin dan koreksi elektrolit serta kormobiditas.16,19

13
A. Tindakan umum16,19

 Penderita dikelola dengan tirah baring. Bila kesadaran menurun penderita

dipuasakan.

 Untuk membantu pernapasan dipasang oksigen nasal (bila PO2 < 80

mgHg).

 Pemasangan NGT diperlukan untuk mengosongkan lambung, supaya

aspirasi isi lambung dapat dicegah bila pasien muntah.

 Kateter urin diperlukan untuk mempermudah balans cairan, tanpa

mengabaikan resiko infeksi.

 Untuk keperluan rehidrasi, drip insulin, dan koreksi kalium dipasang

infus 2 jalur.

 Pada keadaan tertentu diperlukan pemasangan CVP yaitu bila ada

kecurigaan penyakit jantung atau pada pasien usia lanjut. EKG perlu

direkam secepatnya, antara lain untuk pemantauan kadar K plasma.

 Heparin diberikan bila ada DIC atau bila hiperosmolar berat (>380

mOsm/L).

 Antibiotik diberikan sesuai hasil kultur dengan hasil pembiakan kuman

dari urin, usap tenggorok, atau dari bahan lain.

B. Rehidrasi Cairan

Dehidrasi dan hiperosmolaritas (bila ada) perlu diobati secepatnya dengan

cairan. Pilihan antara NaCl 0,9% atau NaCl 0,45% tergantung dari ada

tidaknya hipotensi dan tinggi rendahnya kadar natrium. Pada umumnya

dibutuhkan 1-2 liter dalam jam pertama. Kemungkinan diperlukan juga

pemasangan CVP. Rehidrasi tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan,

14
sehingga jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 liter. Pedoman

untuk menilai hidrasi adalah turgor jaringan, tekanan darah, keluaran urin dan

pemantauan keseimbangan cairan.20

C. Pemberian Insulin

Insulin baru diberikan pada jam kedua. 180 mU/kgBB diberikan sebagai

bolus intravena, disusul dengan drip insulin 90 mU/jam/kgBB dalam NaCl

0,9%. Bila kadar glukosa darah turun hingga kurang dari 200 mg% kecepatan

drip insulin dikurangi hingga 45 mU/jam/kgBB. Bila glukosa darah stabil

sekitar 200-300 mg% selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 U per jam di

samping dilakukan sliding scale setiap 6 jam. Setelah sliding scale tiap 6 jam

dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari bila penderita sudah makan,

yaitu 3 kali sehari sebelum makan secara subkutan.

Alur pemberian insulin pada pasien dengan ketoasidosis diabetik dan

sindroma hyperosmolar hiperglikemik juga dijelaskan dalam konsensus

PERKENI (2015) dengan bagan sebagai berikut :

15
Tabel 2. Skema penatalaksanaan ketoasidosis diabetic dan sindroma hyperosmolar

hiperglikemik4

Bila GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jamdan pasien dapat makan, dapat

dimulai pemberian insulin IV kontinyu 1-2 U/jam disertai dengan insulin

koreksional.4

Tabel 3. Regimen terapi dosis insulin koreksional pada pasien rawat inap.4

Insulin IV kontinyu dihentikan setelah hasil keton darah negatif. Kemudian

dilanjutkan dengan pemberian insulin fixed dose basal bolus, disesuaikan dengan

kebutuhan sebelumnya.4

Tabel 4. Contoh perhitungan perubahan dosis insulin dari pemberian infus

intravena ke subkutan.4

16
D. Koreksi Elektrolit17

Kalium

Karena kalium serum menurun segera setelah insulin mulai bekerja,

pemberian kalium harus dimulai bila diketahui kalium serum dibawah 6 mEq/l.

Ini tidak boleh terlambat lebih dari 1-2 jam. Sebagai tahap awal diberikan

kalium 50 mEq/l dalam 6 jam (dalam infus). Selanjutnya setelah 6 jam kalium

diberikan sesuai ketentuan berikut :

 kalium < 3 mEq/l, koreksi dengan 75 mEq/6 jam


 kalium 3-4,5 mEq/l, koreksi dengan 50 mEq/6 jam
 kalium 4,5-6 mEq/l, koreksi dengan 25 mEq/6 jam
 kalium > 6 mEq/l, koreksi dihentikan

Kemudian bila sudah sadar beri kalium oral selama seminggu.

Bikarbonat

Bikarbonat baru diperlukan bila pH < 7,0 dan besarnya disesuaikan dengan

pH. Bila pH meningkat maka kalium akan turun, oleh karena itu pemberian

bikarbonat disertai dengan pemberian kalium.

Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak

direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9.

Hanya saja pada keadaan dengan ganguan fungsi ginjal yang signifikan

seringkali sulit membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena

gagal ginjalnya. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya

adalah meningkatnya risiko hypokalemia, menurunnya asupan oksigen

jaringan, edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.17

17
Gambar 3.Protokol manajemen KAD.1,17

Hal-hal yang harus dipantau selama pengobatan adalah :

 Kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer.

 Kadar elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya tergantung

keadaan.

18
 Analisa gas darah; bila pH < 7 waktu masuk, periksa setiap 6 jam sampai

pH > 7,1, selanjutnya setiap hari sampai stabil.

 Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan

temperatur setiap jam.

 Keadaan hidrasi, balans cairan.

 Waspada terhadap kemungkinan DIC

2.9. Komplikasi

Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia, dan hiperglikemi

berulang. Hiperkloremia juga sering didapatkan hanya saja biasanya sementara

dan tidak membutuhkan terapi khusus. Agar jangan terjadi komplikasi tersebut

maka diperlukan monitoring yang ketat dan penggunaan insulin dosis rendah.

Harus menjadi catatan bahwa pasien KAD yang mengalami hipoglikemia

seringkali tidak menunjukan gejala hiperadrenergik.16

Komplikasi lain yang juga harus menjadi perhatian adalah kelebihan cairan,

termasuk edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan

gagal jantung, pemberian cairan dimodifikasi sesuai dengan risiko terjadinya

kelebihan cairan.

Hal lain yang jarang mendapatkan perhatian adalah komplikasi edema

serebri, walaupun jarang didapatkan pada usia dewasa. Keadaan ini tetap harus

menjadi perhatian jika kita mendapatkan pasien KAD yang kesadarannya tidak

membaik dengan terapi standar atau bahkan memburuk. Pada kasus seperti ini

evaluasi neurologis mutlak diperlukan karena membutuhkan pengelolaan

tambahan.16

19
2.10. Pencegahan1

Strategi pencegahan KAD :

- Edukasi paripurna tentang diabetes untuk pasien dan keluarga

- Monitoring guladarah secara terstruktur

- Manajemen hari-hari sakit

- Memantau keton dan beta-hidroksibutirat

- Suplementasi insulin kerjasingkat saat dibutuhkan

- Diet makanan cair mudah cerna saat sakit

- Pedoman saat pasien butuh perhatian medis

- Pemantauan ketat pada pasien risiko tinggi

2.11. Prognosis

Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar

lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD

karena penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian meningkat

seiring dengan meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.16

BAB III

20
KESIMPULAN

KAD adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai

oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang merupakan salah satu

komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam

nyawa. Walaupun angka insidennya di Indonesia tidak begitu tinggi dibandingkan

negara barat, kematian akibat KAD masih sering dijumpai, dimana kematian pada

pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat,

pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya.

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi

komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.

Penatalaksanaan KAD meliputi terapi cairan yang adekuat, pemberian insulin

yang memadai, terapi kalium, bikarbonat, fosfat, magnesium, terapi terhadap

keadaan hiperkloremik serta pemberian antibiotika sesuai dengan indikasi. Faktor

yang sangat penting pula untuk diperhatikan adalah pengenalan terhadap

komplikasi akibat terapi sehingga terapi yang diberikan tidak justru memperburuk

kondisi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Tarigan TJE. KetoasidosisDiabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
6th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2014. p.2375-85.
2. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA
FamPrac 2008;50:39-49.
3. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA,
editors. Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New
York: Lange; 2010. p.1111-5.
4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan pencegahan
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB. PERKENI; 2015.
5. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Canadian Medical Association
Journal 2003;168(7): p.859-66.
6. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic
Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
7. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum
2002;15(1):28-35.
8. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1):94- 102.
9. Alberti KG. Diabetic Acidosis, Hyperosmolar Coma, and Lactic Acidosis.
In: Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and
metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
p.1438-49.
10. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors.
Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2000. p.336-46.
11. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and
Management of Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
12. Dan Longo, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 18.
USA : McGraw-Hill Company; 2011.
13. Mumme L. Diabetic Ketoacidosis: Pathophysiology and Treatment. The
Kabod 2015: 2(1):3.
14. Hall JE, Guyton AC. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisike 11. Jakarta:
EGC; 2011.

22
15. Harvey R.A. & Ferrier, D.R. Intermediary Metabolism.
Dalam:Lippincott’s Illustrated Reviews Biochemistry . USA: Lippincott
Wiliams&Wilkans: 2011. p. 83–137.
16. Tarigan TJ. Ketoasidosis metabolik. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2375-80.
17. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises
in adult patients with diabetes. Diabetes Care. 2009;32:1335-43
18. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer; 2014. p. 538-40.
19. Priantono D, Sulistianingsih DP. Ketoasidosis Diabetikum. In: Tanto C,
Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editors. Kapita Selekta jilid II. 4th ed.
Jakarta: Media Aesculapius. p. 796-8.
20. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

23

You might also like