You are on page 1of 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan dan Uraian Umum


Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi
kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD
adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit
1,2,3
infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Pada keadaan
yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok
hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome
(DSS). Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan
yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang
tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang
lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue
(SSD). 1,2,3

2.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
oleh virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak
berkaitan dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan
Flavivirus lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan
imunitas seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.
2,3

2.3 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di
seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan
angka kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968
menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD
cenderung menurun hingga 2% tahun 1999. 1,2,3,4,5

Gambar 1. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis


Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena
suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya
infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus
terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun. 2
2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes
aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air
sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk
menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien
akan mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik.
Selama masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat
bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain menggigit
pasien pada masa viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat
mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-
12 hari.

2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. Halstead (1973)
menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien yang
mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik).
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular
menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. 1,2,3

Gambar 2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue


Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah..1,2
Gambar 3. Patogenesis syok pada DBD
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan.2,3
Gambar 4. Patogenesis perdarahan pada DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.2,3
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-
3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag
dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue
pada permukaan sel fogosit mononukleus.

3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus


yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS
ialah jumlah sel yang terinfeksi.

4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated


intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya
mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu.
Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan
aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding
pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

3.4 Diagnosis
Menurut WHO yang dikutip oleh IDAI 2012, kriteria diagnosis DBD
ditegakkan melalui 2 kriteria:
A. Kriteria Klinis
1) Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari
2) Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan:
a) Petekie, ekimosis, atau purpura
b) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
c) Hematemesis dan atau melena
3) Nyeri kepala, mialgia, athralgia, nyeri retroorbital
4) Dijumpai kasus DBD baik dilingkungan sekolah, rumah atau sekitar rumah
5) Pembesaran hati

B. Kriteria Laboratorium
1) Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala:
- peningkatan nilai hematokrit>20% dari pemeriksaan awal atau data
populasi menurut umur
- ditemukan adanya efusi pleura atau ascites
- hipoalbuminemia, hipopreteinemia
2) Trombositopenia <100.000/mm3
Diagnosis DBD = Demam + ≥ 2 manifestasi klinis + bukti perembesan plasma
dan trombositopenia
Syok pada DBD di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan
tekanan nadi (=20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik =80 mmHg)
disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan
kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD, yaitu: 4
• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahanlain.
• Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
• Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Gambar 5. Patogenesis dan spektrum klinis DBD


Berdasarkan kelemahan dari kriteria sebelumnya maka WHO pada tahun
2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat saveritas dari infeksi virus dengue, yaitu
kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue.

Gambar 6. Warning sign pada DBD

3.5 Manifestasi Klinis


WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase :
1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery.
A. Fase I – Fase Demam Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering
disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, mialgia,
atralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat memiliki gejala sakit
tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva. Anorexia, mual, dan
muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam non-dengue
pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian
dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat terlihat. Hati dapat membesar
dan terasa sakit pada beberapa hari sewaktu demam. Penurunan sel darah
putih dapat memberikan tanda sebagai infeksi dengue.1 Tanda dan gejala ini
kurang dapat membedakan antara severe dan non severe dengue sehingga
perlu monitoring lebih untuk berhati - hati dalam menilai fase perkembangan
ke fase kritis.1
B. Fase II – Fase Kritis Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke
3 – 7 namun temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – 38oC atau lebih rendah
dan juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dengan level
hematokrit yang meningkat. Periode kebocoran plasma berlangsung selama
24 – 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan penurunan hitung trombosit
mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada pasien dengan tidak
diikuti peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun pasien yang
memiliki keadaan tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan volume
plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari tingkat
keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto thorax dan USG abdomen
dapt digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang melebihi
batas normal dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan
kebocoran plasma. Syok dapat terjadi jika volume plasma berkurang hingga
titik kritis dan sering didahului oleh warning signs. Syok yang berlangsung
lama, menyebabkan hipoperfusi organ sehingga dapat mengakibatkan
gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC).1
C. Fase III – Fase Penyembuhan/Recovery Pasien yang melewati fase kritis
akan memasuki fase recovery dimana terjadi reabsorpsi cairan extravaskular
dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan membaik, nafsu makan
bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik stabil, dan
diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi pada fase ini.
Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran dari
absorpsi cairan. Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan setelah
suhu tubuh menurun diikuti dengan peningkatan trombosit. Respiratory
distress akibat efusi pleura masif dan ascites dapat terjadi akibat dari terapi
cairan IV yang berlebih sewaktu fase kritis ataupun fase recovery yang dapat
dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.1
Gambar 7. Grafik Perjalanan Infeksi Dengue

3.7. Pemeriksaan Penunjang


Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama
(lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal.
Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah
demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6.
Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya
infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD 3,4,9.
Gambar 8. Grafik Antigen NS1 dan Serologi Anti-Dengue

Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik


virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA,
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke
12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder
dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi
antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue: 3,4,9
 Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
 Pada pasien hasil pemeriksaan IgM dapat negatif. Pasien ini mengaku kalau
keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan, pasien, sementara pada infeksi
primer IgM baru akan positif saat hari kelima. Pada pasien ini NS1 positif
karena NS1 sebagai pemeriksaan untuk deteksi dini akan positif sejak hari
pertama.
 Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
 Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Pemeriksaan Kadar AST dan ALT juga diperlukan karena berhubungan
dengan derajat penyakit DBD. Pada anak dengan infeksi dengue semakin tinggi
kadar AST dan ALT serum, semakin berat derajat penyakit. Kadar AST lebih tinggi
dibandingkan kadar ALT serum dengan rasio 2-3:1. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan leukopenia.
Pemeriksaan radiologi berupa pemeriksaan foto dada dalam posisi right
lateral decubitus dilakukan atas indikasi: 9
 Distres pernafasan/ sesak
 Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
 Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
 Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri,
kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
 Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika
felea, dan dinding buli-buli.
3.8. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada pasien DSS diperlukan perawatan
intensif. Diagnosa dini terhadap tanda – tanda syok merupakan hal yang penting
untuk mengurangi kematian.4 Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejala
tidak sepesifik, sehingga patut diwaspadai gejala/tanda yang terlihat pada anak yang
mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD. Tanda/gejala awal
berupa demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan
lemah, dan anak tampak lesu. Pertama yang harus dilakukan adalah melihat tanda
syok yang merupakan tanda kegawatdaruratan seperti gelisah, nafas cepat, bibir
biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab dan sebagainya. Jika ditemukan kejang,
muntah berulang, kesadaran menurun, hematemesis melena, sebaiknya dilakukan
rawat inap. Apabila tidak dijumpai tanda kegawatdaruratan, lakukan pemeriksaan
uji torniquet diikuti dengan pemeriksaan trombosit. Apabila uji torniquet (-) atau
uji torniquet (+) dengan jumlah trombosit >100.000/ul dapat dilakukan rawat jalan
dengan kontrol tiap hari hingga demam hilang dan pemberian obat antipiretik
berupa parasetamol. Apabila jumlah trombosit <100.000/ul perlu dirawat untuk
observasi. Pada pasien rawat jalan, di beri nasehat kepada orang tua apabila terdapat
tanda-tanda syok maka pasien harus di bawa ke rumah sakit untuk diperiksa lebih
lanjut.4,13.
Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3
fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan suportif.
Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis 10mg/kg/dosis
selang 4 jam apabila suhu >380C. Pemberian aspirin dan ibuprofen merupakan
indikasi kontra. Kompres hangat kadang membantu apabila anak merasa nyaman
dengan pemberian kompres. Pemberian antipiretik tidak mengurangi tingginya
suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam 3,4,8.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit,
larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan
tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila
cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai
rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus diawasi dengan ketatsejak hari sakit
ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan antara DD dengan DBD. Ruam
makulopapular dan mialgia/arthralgia lebih banyak ditemukan pada pasien DD.
Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue akan
masuk dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase kritis 8,12.
Hati yang membesar dan lunak merupakan indikator fase kritis.Pasien harus
diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia <5000 sel/ mm3 dan
limfositosis disertai peningkatan limfosit atipikal mengindikasikan bahwa dalam
waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.
Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan memerlukan
pengawasan ketat di rumah sakit 4,8.
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis.
Kriteria rawat pasien DBD adalah:
1. Adanya warning signs
2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi
postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik,
overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor
memadai.

Pada keadaan dehidrasi/kehilangan cairan yang disebabkan demam tinggi,


anoreksia dan muntah, dapat diberikan cairan pengganti berupa minum 50 ml/kg
berat badan dalam 4-6 jam pertama kemudian jika dehidrasi teratasi diberi cairan
rumatan 80 – 100 ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Bila terjadi kejang demam,
diberikan antikonvulsif selain diberi antipiretik. Kemudian dilakukan pemeriksaan
hematokrit berkala untuk monitor hasil pengobatan sebagai gambaran derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena 4.
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml) 10 100xkgBB 10-20
1000+50xkgBB(diatas 10kg) >20 1500+20xkgBB(diatas 20kg)
Indikasi diberikan cairan intravena apabila a. Anak terus menerus muntah,
tidak mau minum, demam tinggi b. Nilai hematokrit meningkat pada pemeriksaan
berkala. Pemberian cairan pengganti volume yang berlebihan setelah perembesan
berhenti dapat mengakibatkan edema paru begitu juga pada masa konvalesens
dimana terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular akan menyebabkan edema paru dan
distress pernafasan apabila cairan tetap diberikan (4). Jenis cairan yang digunakan
larutan kristaloid adalah larutan ringer Laktat (RL), ringer asetat (RA) dan larutan
garam fisiologis (NaCl 0,9%). Kemudian cairan koloid seperti dekstran-40,
albumin 5%, gelatin dsb. Darah, Fresh Frozen Plasma, dan komponen darah lain
diberikan untuk mempertahankan Hb, menaikkan daya angkut oksigen,
memberikan faktor pembekuan untuk mengkoreksi koagulopati. Cairan yang
mengandung glukosa tidak diberikan dalam bentuk bolus karena dapat
menyebabkan hiperglikemia, diuresis osmotik dan memperburuk cedera serebral
iskemik. Pada pasien DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit dilakukan
intervensi. Perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan
dengan perdarahan saluran cerna. Apabila sudah didapati perbaikan klinis dan
laboratoriu m, anak dapat pulang jika memenuhi kriteria 4,9.
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien memasuki
fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat minum
oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda vital, hasil
laboratorium, asupan dan luaran cairan harus dicatat dalam lembar khusus.
Penurunan hematorkrit merupakan tanda-tanda perdarahan. Umumnya pada fase ini
pasien tidak dapat makan dan minum karena anoreksia atau dan muntah.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti bayi,
DBD derajat III dan IV, obesitas, perdarahan berat, penurunan kesadaran, adanya
penyulit lain, seperti kelainan jantung bawaan dll, atau rujukan dari Rumah Sakit
lain (4,8). Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma
yang ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan dan
minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer laktat
dan ringer asetat). Selama fase kritis pasien harus menerima cairan rumatan
ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang. Pada pasien dengan berat badan
lebih dari 40 kg, total cairan intravena setara dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam. Pada
pasien obesitas, perhitungkan cairan intravena berdasarkanberat badan idéal. Pada
kasus non syok, untuk pasien dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian cairan
diawali dengan tetesan 6-7 ml/ kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam, dan
pada anak dengan BB >40 kg, cairan cukup diberikan dengan tetesan 3-4 ml/kg/jam
4,8.

Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase


penyembuhan, yaitu saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD, cairan
intravena harus diberikan dengan seksama sesuai kebutuhan agar sirkulasi
intravaskuler tetap memadai. Apabila cairan yang diberikan berlebihan maka
kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan abdominal yang selanjutnya
menyebabkan distres pernafasan. Tetesan intravena harus disesuaikan berkala
dengan mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis (penampilan umum,
pengisian kapiler), laboratoris (hemoglobin, hematokrit, lekosit, trombosit), serta
luaran urin. Pada fase ini sering dipergunakan antipiretik yang tidak tepat dan
pemberian antibiotik yang tidak perlu. Cairan intravena tidak perlu diberikan
sebelum terjadinya kebocoran plasma. Penderita DD umumnya tidak perlu
diberikan cairan intravena 4,8,11.
Cairan yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang
yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk memberi cairan sesuai
kebutuhan pada fase ini menentukan prognosis. Sebagian pasien sembuh setelah
pemberian cairan intravena, sedangkanpasien dengna kondisi berat atau tidak
mendapat cairan sesuai dengan kebutuhan akan jatuh ke dalam fase syok.
Pemberian cairan intravena sebelum terjadi kebocoran plasma sebaiknya
dihindarkan karena dapat menimbulkan kelebihan cairan. Pemantauan tanda vital
pada fase kritis bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan tatalaksana
pada fase ini biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan
kertelambatan penggunaan koloid selama fase kritis 4,8.
Dengue berat harus dipertimbangkan apabila ditemui bukti adanya
kebocoran plasma, perdarahan bermakna, penurunan kesadaran, perdarahan saluran
cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini pemberian cairan untuk
penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya syok sehingga
menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka berikan cairan
sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15 menit sampai
tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kg/jam.
Berikan oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam pertama setelah
syok, tekanan darah dan nadi merupakan parameter penting untuk menentukan
tetesan cairan, tetapi kemudian perhitungkan semua parameter sebelum mengatur
tetesan Pada pasien syok, pemberian oksigen 2 liter per menit harus dilakukan
dengan menggunakan masker. Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan
manifestasi perdarahan yang nyata. Penurunan hematokrit (dari 50% ke 40%) tanpa
perbaikan klinis walau diberikan cairan menunjukkan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah dilakukan untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah
sedangkan plasma segar dan atau suspensi trombosit untuk pasien dengan DIC. DIC
biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif. DIC dipicu
oleh hiponatremia dan asidosis metabolik sehingga pada keadaan syok berat
sebaiknya dilakukan perbaikan pada asidosis sebelum berkembang menjadi DIC.
4,8,13.

Setelah resusitasi awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Apabila tetesan tidak
dapat dikurangi menjadi <10ml/kg/jam karena tanda vital tidak stabil (tekanan nadi
sempit, cepat dan lemah), ulangi pemeriksaan Ht. Dalam keadaan seperti ini, dapat
dipertimbangkan pemberian koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau
syok berkepanjangan). Apabila ada kenaikan Ht, ganti cairan dengan koloid yang
sesuai, dengan tetesan 10ml/kg/jam. Siapkan darah dan nilai kembali pasien untuk
kemungkinan pemberian transfusi apabila diperlukan. Apabila nilai awal Ht rendah,
pikirkan kemungkinan perdarahan internal dan pantau nilai Ht lebih sering. Berikan
transfusi darah sesuai kebutuhan bila perlu. Hentikan perdarahan dengan tindakan
yang tepat. Indikasi transfusi darah adalah bila terdapat kehilangan darah bermakna,
misalnya >10% volume darah total. (T\total volume darah= 80 ml/kg). Berikan
darah sesuai kebutuhan. Setelah 6 jam, apabila Ht menurun, meski telah diberikan
sejumlah besar cairan pengganti dan tetesan tidak dapat diturunkan sampai <10
ml/kg/ jam, pertimbangkan untuk pemberian transfusi darah segera 4,8,14.
Apabila syok masih berkepanjangan meski telah diberikan cairan memadai
dan didapatkan penurunan Ht, maka mungkin terdapat perdarahan bermakna yang
memerlukan transfusi darah. Pasien dengan perdarahan tersembunyi dicurigai
apabila ada penurunan Ht dan tanda vital yang tidak stabil meski telah diberi cairan
pengganti dengan volume cukup banyak. Pada keadaan demikian, berikan packed
red cell (PRC) 5 ml/kg/kali. Apabila tidaktersedia, dapat diberikan sediaan darah
segar 10 ml/kg/kali. Transfusi trombosit hanya diberikan pada perdarahan masif
untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Dosis transfusi trombosit adalah 0,2
U/kg/dosis. Pemberian trombosit sebagai upaya pencegahan perdarahan atau untuk
menaikkan jumlah trombosit tidak dianjurkan. Perdarahan massif dengue
disebabkan terutama oleh syok berkepanjangan atau syok berulang. Meski jumlah
trombosit rendah, dengan pemberian cairan pengganti yang seksama dalam fase
kritis, perdarahan masif sangat jarang terjadi 4,8,15.
Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia,
hiponatremia, hipokalsemia and asidosis harus diperhatikan. Penggantian volume
cairan harus dipantau dengan ketat bergantung beratnya derajat kebocoran plasma
yang dapat dilihat dari nilai Ht, tanda vital, dan luaran urin, untuk menghindari
kelebihan cairan (kebocoran lebih cepat pada 6-12 jam pertama). Apabila pasien
mengalami syok berkepanjangan atau syok berulang maka peluang untuk terjadinya
perdarahan semakin besar. Hindari tindakan prosedur yang tidak perlu, seperti
pemasangan pipa nasogastrik pada perdarahan saluran cerna..Upayakan lama
pemberi cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera hentikan pemberian cairan
apabila pasien sudah masuk fase penyembuhan untuk menghindari terjadinya
kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan bendungan/edema paru karena
reabsorpsi ekstravasasi plasma 4,8.16.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan, tanda
vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup. Pada fase
penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) atau sinus
bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan pengobatan.
Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini. Apabila nafsu
makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa
penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena
sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau larutan oralit
dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan elektrolit 3,4,8.13
Penderita dapai dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak
terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik, nilai
Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea, dan
junlah trombosit >50.000/mm3. Kegagalan tata laksana umumnya disebabkan oleh
kegagalan untuk memantau tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis.
Pemberian cairan yang berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran plasma,
kegagalan mengenal perdarahan internal/tersembunyi, pemberian transfusi
trombosit yang tidak perlu, serta kegagalan memantau pasien berobat jalan, dan
penggunaan pipa lambung (nasogastric tube) untuk menentukan adanya perdarahan
seringkali menjadi penyebab tata laksana yang tidak tepat 4,8.11
Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS
Dalam tata laksana sindrom syok dengue, perlu difikirkan keadaan yang
seringkali terjadi bersamaan dengan syok. Keadaan yang perlu dan penting
diperhatikan dirumuskan dalam singkatan A-B-C-S yang berarti A= acidosis,
B=bleeding, C= calcium, dan S= sugar. Artinya, apabila kita menghadapi pasien
infeksi dengue yang disertai syok maka A-B-C-S harus segera diatasi dengan segera
untuk memperbaiki prognosis. 18

Asidosis
Hampir semua pasien demam berdarah dengue (DBD) mengalami asidosis dari
derajat ringan sampai berat seiring dengan derajat penyakit. Oleh karena itu, pada
sindrom syok dengue selalu disertai asidosis metabolik. Pada SSD kompensata,
asidosis dapat diatasi dengan pemberian larutan ringer laktat atau ringer asetat
dengan kecepatan 10 ml/kgBB/jam. Namun pada syok yang berkepanjangan
diperlukan pemberian larutan bikarbonat.17
Perdarahan
Perdarahan yang berbahaya dan dapat mengancam jiwa pada DBD pada umumnya
terjadi setelah syok berkepanjangan. Dengan pemberian cairan dan oksigen yang
adekuat, syok hipovolemik pada SSD akan dapat diatasi sekitar 30 sampai 45 menit.
Hipoksia yang terjadi akan merangsang terjadinya KID pasca syok berkepanjangan.
Perdarahan yang terjadi seringkali tidak tampak secara klinis (occult bleeding),
maka perlu dicurigai apabila pada syok yang telah dilakukan resusitasi cairan secara
adekuat (pemberian larutan kristaloid dan atau koloid) namun tidak berhasil.17
Kalsium
Kalsium memegang peran dalam pengaturan endothel-junction. Maka pada
peningkatan permeabilitas kapiler, perlu pemantauan kadar kalsium serum. Di
samping itu, kalsium diperlukan guna memperkuat miokard. Dosis Ca-glukonas
yang dianjurkan 1mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan secara intravena perlahan
lahan, maksimal 10 ml (dapat diulang setiap 6 jam).17
Gula darah
Kadar gula darah perlu dipantau pada DBD sejak awal. Nafsu makan yang sangat
menurun disertai muntah berulang menyebabkan terjadinya hipoglikemia, terutama
pada DBD berat. Koreksi hipoglikemia akan memperbaiki prognosis DBD. Di lain
pihak, kelainan fungsi hati dilaporkan merupakan penyebab hipoglikemia pada
DBD, namun pada beberapa kasus dapat terjadi hiperglikemia.17
Tatalaksana syok perlu dilakukan secara agresif dan simultan mulai dari
ABC hingga resusitasi cairan untuk meningkatkan preload yang diberikan secara
cepat dan kurang dari sepuluh menit. Resusitasi cairan paling baik dilakukan pada
tahap syok hipovolemik kompensasi, sehingga mencegah terjadinya syok
dekompensasi dan ireversibel. Cairan kristaloid diberikan 10-30ml/kgBB/6-10
menit kemudian lihat tekanan darah apabila tekanan darah masih rendah (hipotensi)
ulangi pemberian cairan kristaloid apabila normotensi diberikan tetesan rumatan
kemudian dilakukan pemeriksaan urin apabila didapati >1ml/kgBB/jam maka
diberikan tetesan rumatan, apabila 10mmHg berarti terdapat disfungsi miokard atau
penurunan kontraktilitas ventrikel kanan, peningkatan resistensi vaskular paru
(afterload ventrikel kanan) atau syok kardiogenik sehingga diperlukan pemberian
obat-obatan resusitasi seperti epinefrin, sodium bikarbonat, dopamin, glukosa,
kalsium klorida, atropin, atau dobutamin.
Adapun kriteria memulangkan pasien adalah pasien dapat dipulangkan
apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik,
tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi,
jumlah trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai distres
pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis). Pemberian cairan intravena
dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah urin
12ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.
Sedatif dapat diberikan untuk menenangkan pasien tapi keadaan gelisah akan hilang
dengan sendiri nya apabila pemberian cairan sudah adekuat dan perfusi jaringan
membaik 4.
3.9. Komplikasi

Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak


berbahaya. Komplikasi pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa
kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam.
Pada usia 1 – 4 tahun wajib diwaspadai ensefalopati dengue karena
merupakan golongan usia tersering terjadinya kejang demam (4).
Kegagalan dalam melakukan tatalaksana komplikasi ini, dapat
memberikan jalan menuju DSS (Dengue Shock Syndome) dengan tanda
kegagalan sirkulasi, hipotensi dan syok.
1. Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan tetapi dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. Didapatkan
kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapat disertai kejang.
Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan
metabolic, dan disfungsi hati. Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9
%:D5=1:3 untuk mengurangi alkalosis, dexametason o,5 mg/kgBB/x tiap 8 jam
untuk mengurangi edema otak (kontraindikasi bila ada perdarahan sal.cerna),
vitamin K iv 3-10 mg selama 3 hari bila ada disfungsi hati, GDS diusahakan >
60 mg, bila perlu berikan diuretik untuk mengurangi jumlah cairan, neomisin
dan laktulosa untuk mengurangi produksi amoniak.
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang
penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Dieresis diusahakan > 1 ml/kg BB/jam.
3. Edema Paru
Adalah komplikasi akibat pemberian cairan yang berlebih
3.10. Prognosis
Prognosis demam dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau
infeksi awal dengan virus yang menyebabkan terjadinya DBD. Keparahan terlihat
dari usia, dan infeksi awal terhadap serotipe dengue virus yang lain sehingga dapat
mengakibatkan komplikasi hemorhagik yang parah. Prognosis di tentukan juga oleh
lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada sindroma syok dengue (SSD).
Prognosis baik jika diatasi maksimal 90 menit. Prognosis akan terlihat buruk jika
melebihi 90 menit.

3.11 Pencegahan
1. Upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan masal sebelum
musim penularan penyakit di desa/ kelurahan endemis DBD, yang
merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya/ foging
fokus.
2. Melakukan “fogging” dengan malation atau fenitrotion dalam dosis 438
gram/ha; dilakukan dalam rumah dan di sekitar rumah dengan
menggunakan larutan 4% dalam solar atau minyak tanah.
3. Menggalakkan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
4. Melaksanakan penanggulangan fokus di rumah pasien dan di sekitar
tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB).
5. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media,
mengenai gejala DBD, cara mencegahnya melalui 3 M (menguras bak
mandi, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang bekas),
juga abatisasi selektif. Abatisasi bertujuan membunuh larva dengan butir-
butir abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan
dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram per 100 liter air.
BAB 4
PEMBAHASAN
Anamnesis
Teori Kasus
Kriteria klinis diagnosis DBD  Demam sejak 5 hari SMRS,
demam muncul mendadak dan
1) Demam tinggi mendadak dan terus
dirasakan naik turun. Pasien
menerus selama 2 – 7 hari.
meminum obat penurun panas.
2) Didapati uji tourniquet positif dengan salah
satu bentuk perdarahan:  Badan nya semakin bertambah
lemas.
 Petekie, ekimosis, atau purpura .
 Mual.
 Perdarahan mukosa (tersering epistaksis
atau perdarahan gusi), atau perdarahan  Nyeri perit dialami 1 hari SMRS.
dari tempat lain.  Tidak ada sesak napas, tidak ada
 Hematemesis dan atau melena. mimisan, tidak ada gusi berdarah
3) Nyeri kepala, mialgia, athralgia, nyeri dan tidak ada BAB hitam, tidak
retroorbital. terdapat bintik-bintik merah pada
4) Dijumpai kasus DBD baik dilingkungan badan pasien.
sekolah, rumah atau sekitar rumah.
5) Pembesaran hati.

Fase I – Fase Demam Demam akut yang


berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai
muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh
badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala.
Beberapa pasien dapat memiliki gejala sakit
tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi
konjungtiva. Anorexia, mual, dan muntah
sering terjadi dan dapat sulit dibedakan
dengan demam non-dengue pada fase awal.
Fase II – Fase Kritis Pada tahap ini, demam
masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun
temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – 38oC
atau lebih rendah dan peningkatan
permeabilitas kapiler dengan level
hematokrit yang meningkat. Leukopenia
parah diikuti dengan penurunan hitung
trombosit mengindikasikan terjadinya
kebocoran plasma. Efusi pleura (dengan
klinis sesak) dan ascites dapat terdeteksi
tergantung dari tingkat keparahan kebocoran
plasma tersebut.

Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
 Didapati uji tourniquet positif dengan Kesadaran: Composmentis
salah satu bentuk perdarahan: Tekanan Darah 100/70 mmHg
a) Petekie, ekimosis, atau purpura Nadi 105x/menit, regular, lemah
b) Perdarahan mukosa (tersering Pernafasan 24x/menit
epistaksis atau perdarahan gusi), atau Temperatur 38,7o C
perdarahan dari tempat lain.
c) Hematemesis dan atau melena Berat Badan: 22 kg
 Pembesaran hati Tinggi Badan: 123 cm
Status Gizi: Gizi Kurang
Fase II – Fase Kritis Pada tahap ini, demam
masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun Manifestasi perdarahan Kutis
temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – anserina (+)
38oC atau lebih rendah dan peningkatan
permeabilitas kapiler dengan level Thorax: Paru Vesikuler (+/+), rho (-
hematokrit yang meningkat. Efusi pleura /-), wheezing(-/-)
(dengan klinis sesak, suara paru ↓) dan
ascites. Abdomen Hepatomegali (+) 2 cm
dibawah arcus costa.
Derajat DBD
• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak Ekstremitas Kutis anserina pada
khas dan satu-satunya manifestasi antebraci dan cruris.
perdarahan adalah uji torniquet.
• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai
perdarahan spontan di kulit dan
perdarahanlain.

Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Trombosit mulai mengalami
perbaikan pada panas hari ke 7
menunjukkan pasien berada pada fase
penyembuhan.
150000 T R O M B O S I T S E R I A L A N .
M R (ul)
Trombosit
100000
50000
0

Hematokrit mulai mengalami


penurunan setelah pemberian cairan.
 Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke- HAEMATOKRIT SERIAL
1 setelah demam dan akan menurun 45 AN. MR
sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit 30
15 Haematokrit (%)
ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat
0
digunakan untuk diagnosis awal
menentukan adanya infeksi dengue,
namun tidak dapat membedakan penyakit
DD/DBD Pemeriksaan Hasil
 Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi NS1 Tidak diperiksa
pada hari sakit ke-5 sakit. Ig G Dengue (+) positif
 Antibodi IgG anti dengue pada infeksi Ig M Dengue (+) positif
primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-
14. dan menghilang setelah 6 bulan
sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi
pada hari sakit ke-2.

Penatalaksanaan

Teori Kasus
Cairan intravena diberikan apabila terlihat - IVFD RL 1540 cc/hari
adanya kebocoran plasma yang ditandai - Dehaf 3x1 sachet
dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien - Ranitidin 2x40 mg
tidak mau makan dan minum melalui oral. - Antasida 3x1/2 cth
Cairan yang dipilih adalah golongan
kristaloid (ringer laktat dan ringer asetat).
Selama fase kritis pasien harus menerima
cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau
setara dehidrasi sedang. Pada pasien dengan
berat badan lebih dari 40 kg, total cairan
intravena setara dewasa, yaitu 3000 ml/24
jam. Pada pasien obesitas, perhitungkan
cairan intravena berdasarkanberat badan
idéal. Pada kasus non syok, untuk pasien
dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian
cairan diawali dengan tetesan 6-7 ml/
kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam,
dan pada anak dengan BB >40 kg, cairan
cukup diberikan dengan tetesan 3-4
ml/kg/jam

You might also like