You are on page 1of 15

BAHAYA KEAMANAN PADA STRAIN STAPHYLOCOCCUS

BAKTERIOSINOGENIK YANG DIISOLASI DARI SUSU KAMBING DAN DOMBA

Samane Rahmdela, Saeid Hosseinzadeha, Seyed Shahram Shekarforousha, ∗, Sandra Torrianib,


Veronica Gattob, Safoora Pashangeha

Departemen Kebersihan Makanan dan Kesehatan Masyarakat, Sekolah Kedokteran Hewan,


Universitas Shiraz, Shiraz, Iran, Laboratorium Mikrobiologi Makanan, Departemen
Bioteknologi, Universitas Verona, Verona, Italia

ABSTRAK

Dalam penelitian ini, 28 strain Staphylococcus bakteriosinogenik yang diisolasi dari susu
kambing dan domba menjadi sasaran tujuan deteksi PCR dari gen enterotoksin (sea-see),
enterotoksin seperti toksin gen Q (selq), gen toksin sindrom toksik (tst1), dan antibiotik. Gen
resistensi. Mereka juga dievaluasi untuk resistensi fenotip terhadap 10 antibiotik dan aktivitas
hemolitik. Produksi tyramine dan histamine diselidiki menggunakan uji plate agar dan analisis
elektroforetik zona kapiler (CZE). Dua puluh lima isolat memiliki setidaknya satu gen
enterotoxin. Gen sec adalah yang paling sering (89%). Gen tst1 ditemukan di 84% dari isolat
sec-positif. Terjadinya gen resistensi antibiotik adalah dalam urutan blaZ / tetK (100%), mecA /
ermB (86%), ermC (50%), dan tetM (18%). Gen ermA, aac (6 ′) Ie-aph (2 ′ ′) Ia, vanA, dan vanB
tidak ada di semua isolat. Sembilan belas isolat secara fenotip rentan terhadap semua antibiotik.
Satu-satunya isolat dengan resistensi fenotipik terhadap penisilin G dan oksasilin adalah S.
epidermidis 4S93 yang memiliki profil SMaI-PFGE yang berbeda dari strain S. epidermidis
lainnya. Semua isolat S. haemolyticus dan S. pseudintermedius tidak rentan terhadap trimetropik.
Dua puluh lima isolat menunjukkan aktivitas hemolitik lengkap atau parsial. Tak satu pun dari
isolat mampu dekarboksilasi tirosin, sementara analisis CZE mengungkapkan aktivitas
pembentukan histamin di S. haemolyticus 4S12. Terjadinya risiko keamanan di isolat
memperkuat kebutuhan untuk pemantauan teratur hewan penghasil makanan untuk mengurangi
risiko patogen multidrug resistant dan zoonotic. Selain itu, tidak ada satu pun dari isolat yang
memenuhi kriteria keselamatan untuk digunakan sebagai biakan pemula atau biopreservatif.
1. Pendahuluan

Staphilococus tersebar luas di lingkungan, ditemukan terutama pada kulit, kelenjar kulit,
dan selaput lendir hewan berdarah panas dan manusia. Sebagai akibatnya, mereka sering
diisolasi dari makanan yang berasal dari hewan termasuk susu mentah, keju, dan daging yang
difermentasi. Selain kontak langsung dengan ternak, produk ini, oleh karena itu, sumber
potensial untuk transmisi staphilococus ke manusia. Hal ini penting dari awal bahwa sebagian
besar spesies Staphylococcus dianggap sebagai patogen oportunistik yang menyebabkan
berbagai penyakit baik pada manusia maupun hewan mulai dari keracunan makanan yang relatif
jinak sampai dengan sindrom syok toksik yang mengancam jiwa. Patogenitas genus ini diberikan
oleh gen virulensi yang mengkodekan protein ekstraseluler (enterotoxins, toxic shock syndrome
toksin-1 [TSST-1], nukleus, hemolisin, dll.), Resistensi antibiotik, dan produksi biogenik
amina. Peptida antimikroba yang disebut sebagai "bacteriocins" adalah metabolit lain yang
diproduksi oleh beberapa strain Staphylococcus. Agen-agen ini telah menarik perhatian besar
dalam beberapa tahun terakhir karena aplikasi potensial mereka dalam pengobatan dan
pengawetan makanan; lebih lanjut, strain penghasil bakteriosin memiliki potensi untuk
digunakan sebagai kultur starter jika mereka memenuhi persyaratan tertentu seperti tidak
menimbulkan resiko keselamatan bagi konsumen. Namun, perlu dicatat bahwa bakteriosin
adalah, senjata pertama bakteri terhadap mikroorganisme kompetitif dan, karenanya, dapat
meningkatkan potensi virulensi dari strain penghasil. Dari kedua

sudut pandang tersebut, penilaian keamanan strain yang memproduksi bakteriosin dari
makanan adalah sangat penting. Perhatian yang paling penting adalah adanya penanda resistensi
antibiotik yang dapat menular yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada diseminasi
resistensi. Penelitian ini, bertujuan untuk menilai sifat patogen dari 28 isolat Staphylococcus
bakteriosinogenik menggunakan kedua metode fenotipik dan molekuler. Isolat yang diinvestigasi
dalam hal: (1)adanya faktor virulensi, (2) potensi untuk membentuk amina biogenik, dan (3)
fenotipik dan genotip profil resistensi antibiotik.
2. Metode dan Bahan
2.1 Strain bakteria
Pada penelitian sebelumnya, 243 bakteri staphylococcus di isolasi dari 110 sampel susu
mentah kawanan kambing dan domba (n = 50) terletak di Provinsi Fars, Iran. Sampel berasal dari
daerah persukuan (wilayah 1, 2, dan 3) atau pedesaan (wilayah 4). Ternak pada daerah persukuan
merumput dengan baik di padang rumput tahunan atau lahan semak kerdil yang jauh dari
aktivitas manusia. Pada daerah pedesaan, ternak merumput di farm atau padang rumput yang
terkontaminas oleh mannure, limbah yang belum diolah atau hasil pembuangan dari perumahan
sekitar. Isolat diperiksa berdasarkan aktivitas antimikroba menggunakan Agar spot test method.
Keseluruhan, 28 isolat menunjukan aktivitas bertentangan dengan indikator strain, Micrococcus
luteus ATCC 4698, yang mana sangat sensitiv terhadap bacteriocins. Kelemahan dari agent
antimikrobial terhadap enzim proteolitik mengkonfirmasi proteinaceous nature, dan kemudian
diterjemahkan sebagai bacteriocin-like inhibitory substances. Selanjutnya, semua bacteriocin-
producing strain menunjukan imunitas terhadap senyawan anti-microbial mereka, hal ini yang
membedakan bacteriocin dengan antibiotik peptide. 28 isolat yang di identifikasi berdasarkan
level spesies dengan cara sequencing 16S Rna dan/atau RNA polymerase B (rpoB) gen. Mereka
termasuk kedalam spesies S. Chromogenes (n=11), S. Epidermis (n=7), S. haemolyticus (n = 6),
S. pseudintermedius (n = 2), S. aureus (n = 1), dan S. agnetis (n = 1). Selain itu, kekayaan
genetik masing-masing spesies ditentukan oleh Pulse-field gel electrophoresis (PEGE)
0
genotyping. Isolat disimpan pada suhu -80 C pada median brain-heart infusion broth
bersuplemen dengan 30 % glyserol. Masing-masing eksperimen, isolat di aktifkan ulang pada
brain-heart infusion broth pada suhu 37 0C selama 24-48 jam.

2.2 Ekstrakasi DNA

DNA total di ekstraksi dari BHI broth culture yang telah di diamkan 24 jam. Secara
singkat, sel di panen setelah di sentrifugasi (10.000 x g 5 menit), di cuci dengan air destilasi dan
di suspendensi ulang dengan 600 μL TE buffer. Recovered dari DNA total di hitung
menggunakan Nanodrop Lite Spectrophotometer.
2.3 Profil superantigenik toxin gene
Isolat diperiksa untuk mengetahui adanya gen virulen bacteri Staphylococcus sp.
termasuk gen enterotoxin klasik (sea, seb, sec, sed, see), enterotoxin like toxin Q gen (selq) dan
TSST-1 gen. Primer, kondisi PCR dan ukuran amplicon di list pada tabel 1. Untuk deteksi selq
atau tst1, monoplex PCR assay di konduksi pada 25 μL volume reaksi menggandung Taq DNA
polymerase 2.0 12.5 Μl x Master Mix Red (1.5 mM, amliqon, copenhagen, Denmark), 0,4 μM di
setiap primer dan 50-100 ng DNA template. Gen yang tersisa di co-amplified oleh multiplex
PCR. S. Aureus DSM 19040 (sec, see, and tst1), and S. Aureus DSM 19041 (sea, seb, and sed)
dingunakan sebagai kontrol strain positif.

2.4 Aktivitas Hemolitik


Aktivitas hemolitik sudah dites pada blood agar yang menggandung 5% darah domba,
setelah 48 jam inkubasi pada suhu 37 oC. Aktivitas hemolisis dikategorikan sebagai beta
hemolisis (zona jernih di sekitar koloni), alfa hemolisis ( zona kehijauan di sekitar koloni), dan
gamma hemolisis (tidak terjadi hemolisis).
2.5 Produksi biogenic amine (tyramie dan histamine)
Kemampuan produksi biogenic amine telah di evaluasi pada decarboxylase agar medium
yang mengandung tyrosine atau histidne sebagai precursors. Enterococcus faecalis E37 sudah
dingunakan sebagai kontrol positif produksi tyramine.
Produksi lebih lanjut di perikasi oleh capillary zone electrophoretic analysis (CZE).
Secara singkat, pellet sel yang berasal dari overnight kultur dari masing-masing isolat yang telah
dicuci dengan phosphate buffer (0,1 M, Ph 6.0) dan di inokulasi pada tryptic soy broth (TSB)
dilengkapi dengan histidine 0,05 mM . diikuti dengan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC,
supernatan telah dikoleksi dan kemudian di saring dengan 0,45 μM filter. Proses yang sama telah
dilakukan untuk histidine-supplemented medium tanpa kultur bacteria sebagai kontrol negatif.
S.epidermidis TYH1 telah dingunakan sebagai strain kontrol positif.
Persiapan sampel untuk analisis CZE menurut pada metode yang digambarkan oleh
Numanoğlu et al, dengan beberapa modifikasi. Secara detail, 1 ml dari supernatant yang
disiapkan sudah di transfer pada tabung sentrifuse yang menggandung 0,1 M HCL 2 ml. Di ikuti
pencampuran vortex selama 2 menit, mixtura telah di sentrihuse paa 10000 x g selama 5 menit.
Kemudian supernatant di saring mengguakan kertas filter whatman No. 1. Prosedur di ulang
pada sentrifugasi sedimen. Supernatant telah di kombinasikan, membuat 4 ml dengan
penambahan 0,1 M HCL, dan akhirnya di saring dengan filter 0,45 Μm, merupakan modifikasi
metode dari Numanoğlu et al, telah di aplikasikan untuk pengukuran histamin dari mixtura.
Analisa telah dilakukan menggunakan Prince autosampler model 1-LIFT. Injeksi sampel telah
dibuat hydrodynamically pada 50 mbar selam 3 detik. Pemisahan telah dikonduksi dengan 50
mM phospate buffer (Ph 2.5), dengan 52 cm × 75 μm fused silica capillary, pada tegangan 20
kV dan suhu 25 °C. Deteksi UV sudah dilaksanakan pada 210 nm. Analisa signal telah dilakukan
menggunakan dax software v5. Kurva kalibrasi telah ditentukan menggunakan HCL Solution of
Histmanie (6.25–200 μg mL−1; Y = 0.000004X; R2 = 0.9999).
2.6 Profil resistansi antibiotik
2.6.1 Fenotip resistan antibiotik
Kemampuan antibiotik sudah di evaluasi oleh metode disk diffusion, menurut the
guidelines of Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Pada penelitian ini antibiotik
yang dingunakan ialah penicillin G (10 U), gentamycin (10 μg), kanamycin (30 μg),
erythromycin (15 μg), tetracycline (30 μg), trimethoprim (5 μg), chloramphenicol (30 μg), dan
rifampin (5 μg). Kemudian, strain di klasifikasikan sebagai susceptible, intermediate resistant
atau resistant berdasarkan breakpoint values yang di ajukan oleh CLSI. MIC dari oxacilin
(0.156–10.0 μg mL−1) dan vancomycin (1–64 μg mL−1) telah di tentukan menggunakan metode
broth crodilution. Hasil MIC di interpretasikan menurut CLSI document M100-25. S. aureus
ATCC 29213 dan ATCC 25923 telah dingunakan kontrol kualitas strain.
2.6.2 Deteksi PCR dari Gen Resisten Antibiotik terseleksi
Rangkaian dari PCR assay telah dilakukan untuk mendeteksi encoding gen resisten
terhadap aminoglicosides (aac(6′)Ie-aph(2″)Ia), β-lactams (blaZ, mecA), glycopeptides (vanA,
vanB), macrolide-lincosamide-streptogramins (ermA, ermB, ermC), dan tetracyclines (tetK,
tetM). Sebelumnya telah di jelaskan prihal primer dan kondisi PCR serta kontrol strain postif.
Untuk mengkonfirmasi hasil PCR, dua amplicon dari masing-masing gen telah di sequence
(GATC Biotech, Konstanz, Germany) dan selaras dengan GenBank database.
3. Diskusi dan hasil
3.1 Profil superantigenic toxin gen
Reprentasi analisa PCR dari superantigenic toxin gen bakter Staphylococcus telah di
sajikan pada fig. 1. Pada tabel 2, 25 isolat (89%) menggandung setidaknya satu gen enterotoxin.
Gen sec merupakan gen yang banyak ditemukan (25 isolat), yang mana menurut laporan dari
wilayah geografi. Bagaimanapun, pada beberapa studi, gen seb dan sed di laporkan mempunyai
frekuensi yang tinggi pada isolat kambing. Pada studi terkahir, gen ini ditemukan pada 4 dan
isolat secara berurutan. Sekitar 29% isolat dinyatakan positif menggandung gen sea atau see.
Gen selq tidak ditemukan pada isolat. Tidak ada data terbaru perihal prevalensi dari gen selq
bakteri Staphylococcus yang berasal dari sampel domba dan kambing untuk perbandingan.
Fragmen A447 bp sesuai dengan gen tst1 yag sudah dijelaskan pada semua isolat gen sec positif.
Kemuculan tertinggi dari gen sec dan tst sudah diobservasi pada studi sebelumnya di tujukan
pada S. Aureus isolat yang berasal dari susu kambing dan domba. Pada bovine dan ovine isolat
bakteri S. Aureus gen sec, sel dan tst telah dilaporkan untuk menjadi co-clustered pada
pathogenicity island SaPIbov1. Walaupun, tidak bisa mendeteksi pathogenicity islands SaPI2,
SaPIMW2, dan SaPIbov1 pada ovine negatif-koagulase staphylococci. Kemungkinan penularan
horozontal dari transferable elemen diantara spesies staphylococci yang berbeda tidak bisa di
kesampingkan berdasarkan ajuan dari Maiques et al. Bahkan, pathogenicity island yang smaa
dengan SaPIbov1 yang menggandung gen sec dan sel telah digambarkan pada S. Epidermidis,
struktur SaPI-like telah di deteksi pada sequence genom dari S. Heamolyticus. Asosiasi dari gen
superantigen Staphylococci dengan mobile genetic elements, seperti pathogenicity island,
prophages dan plasmid bisa mempertahankan perbedaan profil gen toxin dari isola dengan
pulsotype yang sama. Pola PFGE identik atau random amplification of polymorphic DNA
(RAPD) dengan perbedaan pola toxigenis telah dilaporkan sebelumnya. Studi ini menunjukan
tinggi prevalensi dari gen toxin diantar bacteriocinogenic staphylococci, bagaimanapun deteksi
gen tidak berarti ekspresi dan produksi racun. Penilaian genotip yang kemudia dipertimbangkan
sebagai perlatan screening untuk konfirmasi evalusi fenotip yang mana diperlukan. Di sisi lain,
ketidakadanya transferable gen virulence merupakan kriteria utama untuk seleksi strain sebagai
potential starter culture atau bioreservative tidak disediakan oleh mayoritas isolat.
3.3 Produksi biogenic amine (tyramine dan histamine)

Hasil produksi amina biogenik disajikan pada Tabel 3. Dalam konteks makanan, potensi
produksi amina biogenik sangat memprihatinkan. Dalam metode berbasis-agar, degradasi tirosin
terungkap oleh zona yang jelas di sekitar koloni (Gambar 2). Dengan pengecualian 'positive
control', tidak ada satupun dari isolat yang mampu mendeparboksilasi tirosin. Akan tetapi, uji
kadar 'agar' tampaknya kurang sensitif dalam mendeteksi pembentukan histamin yang dapat
diindikasikan oleh perubahan warna agar dari kuning ke ungu. Menurut metode ini, semua
'strain' yang diuji memberi hasil positif untuk produksi histamin, sementara mengikuti analisis
CZE, hanya satu isolat (S. haemolyticus 4S12) yang menunjukkan aktivitas pembentukan
histamin. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa produksi
amina biogenik tidak meluas pada makanan-makanan yang mengandung staphylococci (food-
associated staphylococci), dan dengan demikian memiliki signifikansi risiko sedang. Namun,
kemampuan pembentukan amina biogenik oleh mikroorganisme tidak boleh diabaikan dalam
pemilihan 'strain' awal [2,7,13,35]. Satu-satunya penelitian dengan hasil yang berlawanan adalah
bahwa dari Drosinos et al. [36], di mana 62% dari isolat Staphylococcus ditemukan memiliki
aktivitas dekarboksilase terhadap lisin, tyrosin, ornithine atau histidin, dengan menggunakan uji
pelat 'agar' dengan hasil yang tidak cukup akurat untuk membedakan ‘strain’ yang memproduksi
amina biogenik(biogenic amine-producer strains).

3.4. Profil resistensi antibiotik

Profil resistensi antibiotik fenotipik dan genotipik dari isolat dirangkum dalam Tabel 4.
Sembilan belas isolat (68%) secara fenotip rentan terhadap semua antibiotik yang diuji. Dalam
penelitian sebelumnya, prevalensi resistensi antibiotik diantara staphylococcus koagulase-negatif
bacteriocinogenic dan isolat penghasil bakteriosin dari S. aureus telah dilaporkan menjadi 58%
dan 91%, masing-masing [8,37]. Tingkat resistensi antibiotik yang tinggi tersebut tidak
mengherankan, mengingat fakta bahwa isolat ini telah pulih dari kasus mastitis bovine di mana
penggunaan antibiotik adalah praktik yang umum. Namun, dalam penelitian ini, sampel susu
dikumpulkan dari ternak kambing dan domba pedesaan (rural and tribal) dengan paparan yang
relatif rendah terhadap antibiotik. Meskipun tinjauan/ulasan dari laporan sebelumnya
menunjukkan bahwa isolat Staphylococcus dari ruminansia kecil memiliki resistensi yang setara
atau lebih rendah dibandingkan dengan isolat bovine, itu bukan penilaian keseluruhan
[1,2,26,38-47], karena temuan yang berlawanan telah dijelaskan oleh beberapa peneliti [48-50].

Gen resistensi antibiotik yang umum di kalangan staphylococci penghasil bakteriosin; PCR
yang mewakili amplifikasi gen disajikan pada Gambar. 3. Semua isolat memendam lebih dari 2
gen resistensi. Gen tetK dan blaZ, merumuskan/menyandi (encoding) resistensi terhadap
tetrasiklin, antibiotik β-laktam, ampisilin, dan penisilin, ditemukan pada semua strain yang
diperiksa. Gen kedua yang paling sering adalah mecA dan ermB (86%). 50% dan 18% dari isolat
masing-masing positif untuk ermC dan tetM. Sebagian besar gen resistensi ini sering terletak
pada unsur genetik bergerak (plasmid dan transposon), yang dapat memberikan penjelasan untuk
distribusi mereka yang luas. Analisis BLAST produk PCR dari gen blaZ, mecA, dan tetK
menunjukkan tingkat identitas yang tinggi (99-100%) ke gen yang sesuai dari spesies
Staphylococcus yang berbeda. Hasil pengurutan ermB menunjukkan 98-99% homologi pada
urutan yang dipublikasikan.

Hasil squenzing ermB yang dipublikasikan menunjukkan homologi sebesar 98-99%dalam kasus
ermC dan tetM , kekuatan pita DNA terlalu lemah, dan data squenzing yang dihasilkan memiliki
kualitas yang buruk. Semua isolate kekurangan gen ermA, aac(6′)Ie-aph(2″)Ia, vanA, and
vanB.suatu kejadian yang jarang dari gen aac(6′)Ie-aph(2″)Ia (juga dikenal dengan gen aacA-
aphD) memberikan resistensi terhadap Getamisin. Kanamisin,to-Bramisin,dan Amikasin juga
telah dijelaskan pada penelitian lain terhadap Staphylococcus yang berasal dari hewan domestik
(38, 47, 51, 52). Staphylococcus tidak rentan terhadap vancomisin, antibiotic pilihan yang
terakhir,dan jarang dilaporkan pada isolate makanan yang berasal dari hewan dan produk
makanan hewan (2,23,53) meskipun prevalensi gen resisten antibiotic yang tinggi terhadap
bacteriocinogenic staphylococci, hanya Sembilan isolat (32%) yang menunjukan resistensi
fenotip terhadap satu atau dua antibiotik. Perbedaan antara temuan fenotip gan genotif sering
dikutip oleh peneliti, yang mana bias disebabkan oleh presentase kegagalan silent gen
mengekspresikan in vitro, atau dapat juga disebabkan oleh mutase genetic pada daerah coding
atau daerah promotor dari gen. Bagaimanapun juga,focus penelitian PCR pada deteksi gen
tunggal dalam resistensi antibiotik dapat mengabaikan ketidak adaan gen lain yang terlibat dalam
ekspresi fenotipik [7,32,42]. Dalam penelitian ini, hanya satu strain (S. epidermidis 4S93)
dengan gen blaZ dan mecA menunjukkan resistensi terhadap penicillin G dan oxacillin (MIC>
10 µg mL − 1); semua isolat lainnya memiliki nilai MIC oxacillin kurang dari 0,156 μg mL − 1.
Dari catatan, intensitas fragmen yang berhubungan dengan gen resistensi antibiotik jauh lebih
lemah daripada strain kontrol positif di semua isotop, dengan pengecualian ampis mecA dari
strain 4S93. Data terbatas yang tersedia pada terjadinya resistensi methicillin di antara
Staphylococcus yang diisolasi dari ruminansia kecil domestik, yang sebagian besar berfokus
pada S. aureus [1,3,5,19,21,23,24,28, 44–46,53,54]. S. epidermidis yang tahan metisilin
(MRSE) jarang diisolasi dari kasus mastitis domba [40] dan kambing dengan mastitis subklinis
[45]. S. epidermidis 4S93 berasal dari sampel susu kambing yang diambil dari kawanan (wilayah
4). Dibandingkan dengan desa tribal, daerah pedesaan lebih dipengaruhi oleh aktivitas manusia,
yang mendukung perkembangan strain resisten antibiotik. MRSE dianggap sebagai patogen
zoonosis [42], dan mungkinankan transmisi S. epidermidis dari manusia ke sapi perah telah
diumumkan oleh beberapa peneliti [40,42,55]. Meskipun kurangnya informasi tentang kolonisasi
MRSE pada petani menyulitkan untuk mengidentifikasi rute transmisi, kemungkinan bahwa
MRSE 4S93 berasal dari manusia. Hipotesis didukung oleh fakta bahwa isolat 4S93
menunjukkan profil SMaI-PFGE yang sangat berbeda dari strain S. epidermidis yang
lain(Gambar 4). Sayangnya, tidak ada akses ke pola yang sebanding dengan PFGE dalam isolat
S. epidermidis asal manusia mencegah kita untuk membuat kesimpulan tertentu tentang asal-
usul strain 4S93. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hipotesis. Semua
isolat S. haemolyticus adalah trimethoprim resisten. Trimethoprim resistance sebelumnya telah
dilaporkan pada S. warneri, S. saprophyticus, dan S. aureus yang diisolasi dari susu kambing
dan domba. Isolat S. pseudintermedius menunjukkan tingkat resistensi yang berbeda terhadap
trimetoprim, meskipun mereka berasal daripulsotype yang sama. Hal ini sangat umum, dan tidak
terduga, untuk menemukan pola resistensi antibiotik yang berbeda di antara isolat yang termasuk
pulsotype yang sama [24,35,38]. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa perolehan atau
hilangnya gen resistensi mungkin tidak terdeteksi dalam analisis PFGE karena ukuran yang
terbatas dari unsur-unsur yang dapat dipindahkan pada gen ini [35].
4. Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan rendahnya resistensi antibiotik fenotipik pada staphylococci


bakteriosinogenik, terlepas dariprevalensi tinggi dari gen yang relevan. Gen resistensi mungkin
hadir sebagai pseudogen, tetapi, kemungkinan juga bahwa mereka gagal menunjukkan fenotipe
dalam kondisi eksperimental. Oleh karena itu, gen yang membawa isolat tidak dapat
diklasifikasikan sebagai gen yang sensitive. Untuk mengatasi ketidaksesuaian tersebut,
tampaknya disarankan untuk mengevaluasi ekspresi gen bahkan pada tingkat protein. Isolasi
pada MRSE dari sampel susu, meskipun prevalensi rendah, menimbulkan kekhawatiran tentang
potensi risiko untuk kesehatan masyarakat melalui paparan langsung ke ternak dan atau produk
susu rantai makanan. Meskipun deteksi gen-gen toksin di sebagian besar isolat, kurangnya data
fenotipik membuat mustahil untuk dapat mengetahui apakah yang sebenarnya diekspresikan
oleg gen. Produksi amina biogenik tidak tersebar luas di antara isolat dan, oleh karena itu,
berisiko sedang, sementara sejumlah besar dari mereka menunjukkan aktivitas hemolitik.
Namun,terlepas dari tingkat prevalensi, semua tes skrining ini seharusnya dipertimbangkan
dalam karakterisasi patogenisitas dari strain. Hasilnya menekankan perlunya pemantauan berkala
terhadap hewan yang menghasilkan makanan untuk mengendalikan dan mengurangi risiko
resistan multi-obat dan zoonotic patogen. Selanjutnya, pengangkutan faktor virulensi dan
antibiotic gen resistensi oleh isolat dikaitkan dengan risiko horizontal penyebaran faktor penentu
tersebut. Akibatnya, tidak ada isolat bakteriosinogenik yang dapat memenuhi kriteria
keselamatan untuk digunakan dalam produksi pangan atau biopreservasi. Gugus gen bakteriosin
bagaimanapun bisa , dimasukkan ke dalam staphylococci food-grade nonpathogenic, seperti
S.xylosus dan S. carnosus, yang memiliki potensi untuk digunakan dalam starter budaya. Studi
masa depan juga harus membahas potensi bioteknologi aplikasi dari bakteriosin murni.
Ucapan terima kasih

Pekerjaan ini didukung oleh Shiraz University. Para penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Castiglioni (Institut Biologi Pertanian dan Bioteknologi, Milan, Italia) dengan berbaik hati
memberikan kami DNA dari S. aureus strain DSM 19040 dan DSM 19041, serta Dr. Fabio
Fracchetti (Microbion, spin-off dari Universitas Verona, Verona, Italia) untuknya bantuan teknis

You might also like