You are on page 1of 61

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sedangkan reproduksi menurut
Koblinsky adalah kemampuan perempuan hidup dari masa adolescence/
perkawinan tergantung mana yang lebih dahulu, sampai dengan kematian,
dengan pilihan reproduktif, harga diri dan proses persalinan yang sukses serta
relatif bebas dari penyakit ginekologis dan risikonya. Menurut WHO, kesehatan
reproduksi adalah kesehatan yang sempurna baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan serta bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam
segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya
(Melyana, 2005).
Menurut WHO, remaja apabila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.
Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja
adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Pada buku-
buku Pediatri, pada umumnya mendefi nisikan remaja remaja adalah bila seorang
anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun
untuk anak laki-laki. Menurut Diknas, anak dianggap remaja bila anak sudah
berumur 18 tahun yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah
(Soetjiningsih, 2004).
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut
sistem, fungsi dan proses reproduksi remaja. Berbagai permasalahan kesehatan
reproduksi remaja antara lain: kehamilan tidak dikehendaki, kehamilan dan
persalinan usia muda, ketergantungan napza meningkatkan resiko penyakit
menular seksual (termasuk infeksi HIV/AIDS), dan resiko terkena penyakit
menular seksual.Permasalahan tersebut disebabkan kurangnya informasi,

1
pemahaman dan kesadaran untuk mencapai keadaan sehat secara reproduksi.
Orang tua yang diharapkan remaja dapat dijadikan tempat bertanya atau dapat
memberikan penjelasan tentang masalah kesehatan reproduksi, ternyata tidak
banyak berperan karena masalah tersebut masih dianggap tabu untuk dibicarakan
dengan anak remajanya. Guru, yang juga diharapkan oleh orang tua dan remaja
dapat memberikan penjelasan yang lebih lengkap kepada siswanya tentang
kesehatan reproduksi, ternyata masih menghadapi banyak kendala dari dalam
dirinya, seperti: tabu, merasa tidak pantas, tidak tahu cara menyampaikannya,
tidak ada waktu, dan lain sebagainya. Solusi yang tepat untuk menyelesaikan
masalah tersebut adalah dengan pemberian pendidikan mengenai kesehatan
reproduksi.
Menurut Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (2009:1)
bahwa jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia terdapat 43 juta atau
19,61% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta. Sekitar 1 juta remaja
pria (5%) dan 200 ribu remaja wanita (1%) menyatakan secara terbuka bahwa
pernah melakukan hubungan seksual.Sebanyak 8% pria umur 15-24 tahun telah
menggunakan obat-obatan terlarang. Sedangkan untuk kasus HIV/AIDS dari
6987 penderita AIDS, 3,02% adalah kelompom usia 15-19tahun dan 54,77%
adalah kelompok usia 20-29 tahun (Departemen Kesehatan RI, September 2006).
Ini terjadi karena pengetahuan merekamengenai kesehatan reproduksimasih
kurang. Sehingga sangat memerlukan perhatian dari semua pihak, karena orang
yang sehat aktivitas belajarnya akan baik. Apabila kasus remaja ini dibiarkan,
sudah tentu akan merusak masa depan remaja khususnya mereka dan masa depan
keluarga dan masa depan bangsa Indonesia.
Indonesia saat ini mulai lebih memperhatikan masalah kesehatan reproduksi
dengan serius. Dengan PIK KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan
Reproduksi Remaja) yang merupakan salah satu program sub BKKBN,
pemerintah mengupayakan agar remaja tidak melewati masa remajanya dengan

2
hal-hal yang tidak berguna. Karena pada masa-masa remajalah kita mengalami
proses pencarian jalan hidup yang seperti apa yang akan kita pilih.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah di antaranya :
1. Apa yang dimaksud kesehatan reproduksi remaja?
2. Bagaimanakah pelayanan komprehensif kesehatan reproduksi remaja?
3. Bagaimanakah hak-hak reproduksi pada remaja?
4. Bagaimana ruang lingkup kesehatan reproduksi pada perempuan?
5. Bagaimana dengan isu sunat perempuan?
6. Bagaimana tentang kekerasan terhadap perempuan?
7. Apa yang dimaksud seksualitas pada remaja?
8. Bagaimana kehamilan pada remaja?
9. Bagaimana menjadi orang tua pada masa remaja?
10. Apa saja prinsip-prinsip etika keperawatan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini, yaitu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan kesehatan reproduksi remaja
2. Mahasiswa mampu memahami pelayanan komprehensif kesehatan
reproduksi remaja
3. Mahasiswa mampu memahami hak-hak reproduksi pada remaja
4. Mahasiswa mampu mengetahui ruang lingkup kesehatan reproduksi pada
perempuan
5. Mahasiswa mampu mengetahui isu sunat perempuan
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kekerasan terhadap perempuan
7. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kehamilan pada remaja
8. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang seksualitas pada remaja
9. Mahasiswa mampu memahami menjadi orang tua pada masa remaja

3
10. Mahasiswa mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip etika keperawatan

D. Manfaat Penulisan
1. Institusi Pelayanan
Sebagai bahan acuan untuk menerapkan praktik maternitas khususnya dalam
kesehatan reproduksi remaja
2. Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan maternitas khususnya dalam kesehatan reproduksi remaja.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu bab I terdiri
dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan,
bab II terdiri dari tinjauan pustaka, bab III penutup terdiri dari kesimpulan dan
saran.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan Reproduksi Remaja


1. Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik,mental,dan
sosial secara utuh tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam suatu yang berkaitan dengan system reproduksi, fungsi dan prosesnya
(WHO).
Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh
mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat,
fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi
bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang
dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan
sesudah menikah (Depkes RI, 2000).
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang
menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja.
Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas
dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Fauzi.,
2008).

2. Konsep Remaja
a. Pengertian remaja
Remaja adalah anak usia 10-24 tahun yang merupakan usia antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa dan sebagai titik awal proses
reproduksi, sehingga perlu disiapkan sejak dini. Secara psikologi masa
remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat

5
dewasa usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang – orang
yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun.
Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.
Menurut BKKBN adalah 10 sampai 19 tahun.

b. Masa transisi remaja


Pubertas Pada Anak Masa pubertas yaitu suatu proses perubahan
tubuh dari tubuh kanak-kanak menjadi tubuh seorang dewasa yang sudah
mampu untuk berkembang biak secara seksual. Hal ini diakibatkan oleh
produksi hormon seksual oleh tubuh yang merangsang beberapa
perubahan fisik pada tubuh. Masa pubertas biasanya terjadi pada usia
kurang lebih 13 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun, dapat lebih cepat
atau lebih lama tergantung baik dari keturunan, lingkungan, serta gizi sang
anak.
Tanda Pubertas Pada Remaja Laki-laki Tanda-tanda perubahan pada
tubuh seorang remaja laki-laki yaitu seperti : Tumbuhnya rambut pada
daerah ketiak, wajah, dan sekitar kelamin, Pembesaran alat kemaluan,
Munculnya jakun (Adam’s apple) pada daerah leher, Perubahan suara
menjadi lebih berat, Dada menjadi lebih bidang, Timbul jerawat, timbul
bau khas, dan sebagainya. Satu tanda khas yang pada remaja laki-laki
yang menunjukan bahwa dirinya telah memasuki masa pubertas adalah
mengalami mimpi basah yang pertama kali.

c. Menstruasi
Haid atau menstruasi adalah perdarahan dari uterus yang keluar
melalui vagina selama 5-7 hari, dan terjadi setiap 22 atau 35 hari. Yang
merangsang menimbulkan haid adalah hormon FSH dan LH, prolaktin
dari daerah otak dan hormon estrogen serta progesteron dari sel telur yang

6
dalam keseimbangannya menyebabkan selaput lendir rahim tumbuh dan
apabila sudah ovulasi terjadi dan sel telur tidak dibuahi hormon estrogen
dan progesteron menurun terjadilah pelepasan selaput ledir dengan
perdarahan terjadilah haid atau menstruasi.

B. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi


a. Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT)
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT), dilaksanakan
secara terpadu (integrative) dan diselenggaran dalam bentuk “one stop
service“ dimana klien dapat menerima semua pelayanan yang dibutuhkan.
Pelayanan PKRT harus diberikan secara terpadu dan berkualitas yang
memenuhi aspek Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan
memperhatikan hak reproduksi individu/perorangan dan pelayanan terpadu
tersebut harus berorientasi pada kebutuhan klien. Dalam memenuhi prinsip
penyelenggarakaan PKRT, untuk memberi pelayanan yang baik maka setiap
kabupaten diharapkan mempunyai minimal 4 (empat) Puskesmas yang
memberikan pelayanan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu.
Pada PKRT prioritas pelayanan diberikan kepada empat komponen
kesehatan reproduksi yang menjadi masalah pokok di Indonesia, yaitu:
Kesehatan Ibu dan Anak meliputi :
a. Pelayanan antenatal, persalinan dan nifas memasukkan unsur
pelayanan pencegahan dan penanggulangan IMS serta melakukan
motivasi klien untuk pelayanan KB dan memberikan pelayanan
KB postpartum. Dalam pertolongan persalinan dan penanganan
bayi baru lahir perlu diperhatikan pencegahan umum terhadap
infeksi.
b. Pelayanan pasca abortus memasukkan unsur pelayanan
pencegahan dan penanggulangan IMS serta konseling KB pasca-
abortus.

7
c. Penggunaan Buku KIA sejak ibu hamil sampai anak umur 5 tahun.
d. Pelaksanaan kunjungan neonatal.
e. Pelayanan kesehatan neonatal esensial yang meliputi perawatan
neonatal dasar dan tatalaksana neonatal sakit.
f. Pendekatan MTBS bagi balita sakit.
g. Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang anak.
PKRT terdiri dari dua macam pelayanan kesehatan reproduksi yaitu
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) dan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Komprehensif (PKRK).

b. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE)


a. Keluarga Berencana

Pelayanan KB memasukkan unsur pelayanan pencegahan dan


penanggulangan IMS, termasuk HIV/AIDS. Pelayanan KB difokuskan
selain kepada sasaran muda usia paritas rendah (mupar) yang lebih
mengarah kepada kepentingan pengendalian populasi, juga diarahkan
untuk sasaran dengan penggarapan “4 terlalu” (terlalu muda, terlalu
banyak, terlalu sering dan terlalu tua untuk hamil).

b. Kesehatan Reproduksi Remaja


Pelayanan kesehatan reproduksi remaja terfokus pada pelayanan
KIE/konseling dengan memasukan materi-materi family life education.
Pelayanan kesehatan reproduksi remaja memperhatikan aspek fisik
agar remaja, khususnya remaja putri, untuk menjadi calon ibu yang
sehat. Pelayanan KRR secara khusus bagi kasus remaja bermasalah
dengan memberikan pelayanan sesuai denga kebutuhan dan
masalahnya.

8
c. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK)
PKRK adalah pelayanan yang diberikan sama dengan PKRE namun
ditambah dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.

d. Skrining dan Promosi Kesehatan Reproduksi

Pengertian skrining berdasarkan definisinya usaha untuk


mengidentifikasi penyakit atau kelainan yang secara klinis belum jelas,
dengan menggunakan tes atau prosedur tertentu yang dapat digunakan
secara cepat untuk membedakan orang yang terlihat sehat, atau benar-
benar sehat tapi sesungguhnya menderita kelainan. Adapun tujuan dari
skrining adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dri
penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus – kasus yang
ditentukan.

Test skrining dapat dilakukan dengan pertanyaan atau quesioner,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, X-ray, USG atupun
MRI. Jenis penyakit yang tepat untuk dilakukan skrining adalah
merupakan penyakit yang serius, pengobatan sebelum gejala muncul
harus lebih untuk dibandingkan dengan setelah gejala muncul, dan
prevalensi penyakit preklinik harus tinggi pada populasi yang
diskrining.

C. Hak Reproduksi
1. Definisi Hak Kesehatan Reproduksi
Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan
atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperoleh sesuatu.
Kesadaran tentang hak sebagai manusia dan sebagai perempuan merupakan
kekuatan bagi perempuan untuk melakukan berbagai aktivitas bagi

9
kepentingan diri, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan Reproduksi adalah
menghasilkan kembali atau kemampuan perempuan untuk menghasilkan
keturunan secara berulang.

2. Definisi Hak-Hak Reproduksi secara Spesifik


Hak asasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan
bertanggung jawab mengenai jumlah anak, dan menentukan waktu kelahiran
anak-mereka. Mempunyai informasi dan cara untuk memperoleh anak dan hak
untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksinya, dan
dapat membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas diskriminasi,
paksaan, dan kekerasan. Hak reproduksi perorangan adalah hak yang dimiliki
oleh setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan (tanpa memandang
perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, dll) untuk memutuskan secara bebas
dan bertanggung jawab (kepada diri, keluarga, dan masyarakat) mengenai
jumlah anak, jarak antar anak, serta penentuan waktu kelahiran anak dan akan
melahirkan. Hak reproduksi ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi
manusia yang diakui di dunia internasional

3. Tujuan Hak Kesehatan Reproduksi


Tujuan kesehatan dan hak reproduksi adalah sebagai berikut:

a. Untuk memastikan informasi yang menyeluruh dan faktual serta beragam


tentang pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan reproduksi,
ketersediannya, keterjangkauan, dan dapat diterima serta cocok untuk
semua.
b. Untuk memungkinkan dan mendukung keputusan secara sukarela tetapi
bertanggung jawab dalam hal kehamilan dan penggunaan metode keluarga
berencana pilihan mereka, dan metode lain sesuai pilihan mereka.

10
4. Hak-Hak Reproduksi

Hak reproduksi merupakan bagian dari hak azasi manusia yang melekat
pada manusia sejak lahir dan dilindungi keberadaannya. Sehingga
pengekangan terhadap hak reproduksi berarti pengekangan terhadap hak azasi
manusia. Selain itu orang tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif
berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena ras, jenis kelamin, kondisi
sosial ekonomi, keyakinan/agamanya dan kebangsaannya. Dibawah ini
diuraikan hak-hak Kesehatan Reproduksi.

a. Hak Kesehatan Reproduksi (ICPD CAIRO 1994)


1) Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2) Hak mendapat pelayanan dan kesehatan reproduksi.
3) Hak untuk kebebasan berfikir dan membuat keputusan tentang
kesehatan reproduksinya.
4) Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak.
5) Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian karena kehamilan,
kelahiran karena masalah jender.
6) Hak atas kebebasan dan pelayanan dalam pelayanan kesehatan
reproduksi.
7) Hak untuk bebas dari penganiayan dan perlakuan buruk yang
menyangkut kesehatan reproduksi
8) Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi.
9) Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan dalam
reproduksisnya.
10) Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
11) Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam berpolitik
yang bernuansa kesehatan reproduksi.

11
12) Hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan
reproduksi.

b. Hak– Hak Kesehatan Reproduksi menurut Depkes RI (2002) hak


kesehatan reproduksi dapat dijabarkan secara praktis, antara lain :
1) Setiap orang berhak memperoleh standar pelayanan kesehatan
reproduksi yang terbaik. Ini berarti penyedia pelayanan harus
memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dengan
memperhatikan kebutuhan klien, sehingga menjamin keselamatan dan
keamanan klien.
2) Setiap orang, perempuan, dan laki-laki (sebagai pasangan atau sebagai
individu) berhak memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang
seksualitas, reproduksi dan manfaat serta efek samping obat-obatan,
alat dan tindakan medis yang digunakan untuk pelayanan dan/atau
mengatasi masalah kesehatan reproduksi.
3) Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan KB yang,
efektif, terjangkau, dapat diterima, sesuai dengan pilihan, tanpa
paksaan dan tidak melawan hukum.
4) Setiap perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
dibutuhkannya, yang memungkinkannya sehat dan selamat dalam
menjalani kehamilan dan persalinan, serta memperoleh bayi yang
sehat.
5) Setiap anggota pasangan suami-isteri berhak memilki hubungan yang
didasari penghargaan.
6) Terhadap pasangan masing-masing dan dilakukan dalam situasi dan
kondisi yang diinginkan bersama tanpa unsur pemaksaan, ancaman,
dan kekerasan.

12
7) Setiap remaja, lelaki maupun perempuan, berhak memperoleh
informasi yang tepat dan benar tentang reproduksi, sehingga dapat
berperilaku sehat dalam menjalani kehidupan seksual yang
bertanggung jawab.
8) Tiap laki-laki dan perempuan berhak mendapat informasi dengan
mudah, lengkap, dan akurat mengenai penyakit menular seksual,
termasuk HIV/AIDS.

D. Ruang Lingkup Kespro Perempuan

Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup keseluruhan kehidupan


manusia sejak lahir sampai mati (life cycle approach) agar di peroleh sasaran yang
pasti dan komponen pelayanan yang jelas serta dilaksanakan secara terpadu dan
berkualitas dengan memperhatikan hak reproduksi perorangan dan bertumpu pada
program pelayanan yang tersedia.

a. Konsepsi
Perlakuan sama antara janin laki-laki dan perempuan, Pelayanan ANC,
persalinan, nifasdan BBL yang aman.

b. Bayi dan Anak


Pemberian ASI eksklusif dan penyapihan yang layak, an pemberian makanan
dengan gizi seimbang, Imunisasi, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
dan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM), Pencegahan dan
penanggulangan kekerasan pada anak, Pendidikan dan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan yang sama pada anak laki-laki dan anak perempuan.

c. Remaja
Pemberian Gizi seimbang, Informasi Kesehatan Reproduksi yang adequate,
Pencegahan kekerasan sosial, Mencegah ketergantungan NAPZA, Perkawinan

13
usia yang wajar, Pendidikan dan peningkatan keterampilan, Peningkatan
penghargaan diri,. Peningkatan pertahanan terhadap godaan dan ancaman.

d. Usia Subur
Pemeliharaan Kehamilan dan pertolongan persalinan yang aman,
Pencegahan kecacatan dan kematian pada ibu dan bayi, Menggunakan
kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah kehamilan,
Pencegahan terhadap PMS atau HIV/AIDS, Pelayanan kesehatan reproduksi
yang berkualitas, Pencegahan penanggulangan masalah aborsi, Deteksi dini
kanker payudara dan leher rahim, Pencegahan dan manajemen infertilitas.

e. Usia Lanjut
Perhatian terhadap menopause/andropause, Perhatian terhadap
kemungkinan penyakit utama degeneratif termasuk rabun, gangguan
metabolisme tubuh, gangguan morbilitas dan osteoporosis, Deteksi dini
kanker rahim dan kanker prostat.
Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi secara “lebih luas“, meliputi:
1) Masalah kesehatan reproduksi remaja yaitu pada saat pertama anak
perempuan mengalami haid/menarche yang bisa beresiko timbulnya
anemia, perilaku seksual bila kurang pengetahuan dapat terjadi kehamilan
diluar nikah, abortus tidak aman, tertular penyakit menular seksual
(PMS), termasuk HIV/AIDS.
2) Remaja saat menginjak masa dewasa dan melakukan perkawinan, dan
ternyata belum mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memelihara
kehamilannya maka dapat mengakibatkan terjadinya risiko terhadap
kehamilannya (persalinan sebelum waktunya) yang akhirnya akan
menimbulkan risiko terhadap kesehatan ibu hamil dan janinnya. Dalam
kesehatan reproduksi mengimplikasikan seseorang berhak atas kehidupan
seksual yang memuaskan dan aman. Seseorang berhak terbebas dari

14
kemungkinan tertular penyakit infeksi menular seksual yang bisa
berpengaruh pada fungsi organ reproduksi, dan terbebas dari paksaan.
Hubungan seksual dilakukan dengan saling memahami dan sesuai etika
serta budaya yang berlaku.

E. Isu Sunat Perempuan


1. Pengertian Sunat Perempuan
Banyak konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang sunat
perempuan. Dalam Islam khitan atau sunat berasal dari bahasa arab “Al-khitan”
yang merupakan isim masdar dari kata kerja “Khatana” yang berarti memotong.
Khitan pada perempuan dilakukan dengan cara memotong bagian atas (klentit)
dari kemaluan (faraj) (Jendrius, dkk.2005. Hal 3).
Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau
preputium clitoridis di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain yang sering
digunakan adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu khifad yang
berasal dari kata khafd , istilah ini khusus untuk khitan perempuan (Gani,
2007).
Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah female genital
cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital cutting adalah pemotongan alat
kelamin sedangkan genital mutilation identik dengan perusakan alat kelamin.
FGC merupakan segala prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh bagian
alat kelamin luar perempuan atau perlukaan organ genital perempuan baik
karena didasari oleh alasan kebudayaan atau alasan nonmedis lainnya (Juli,
2006) Aide Medicale Internationale, hal 39.

2. Tipe-tipe Sunat Perempuan


WHO mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu :

15
a. Tipe I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris,
dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan
istilah “hoodectomy”.

b. Tipe II : Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora.
Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur,
Mesir, Sudan, dan Peninsula.

c. Tipe III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan ala Firaun, yaitu eksisi


sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk
menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya
menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan
urine tetap bisa keluar.

d. Tipe IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarum
baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan
atau labia; meregangkan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi
klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina
(angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda
korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis,
dan menyempit.
e. Tipe I dan III adalah tipe yang paling sering dilakukan di berbagai negara.
Di Indonesia, berdasarkan penelitian Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM di Madura dan Yogyakarta 2002, prosedur yang paling
sering dilakukan adalah tipe II dan tindakan yang sering dilakukan oleh
tenaga medis adalah tipe IV (Juli, 2006) Aide Medicale Internationale, hal
39.
Prosedur penyunatan yang umum dilakukan dalam praktek sunat perempuan
di antaranya:
a. Memotong sedikit puncak klitoris

16
b. Mencongkel atau melukai klitoris

c. Mengorek lender atau selaput kulit klitoris

d. Menusuk dengan jarum atau ujung pisau untuk mengeluarkan setetes


darah (Jendrius, 2005).

3. Pelaksanaan Sunat Perempuan


Pelaksaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dilakukan oleh tenaga
medis (perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi dan dukun/tukang sunat
dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti pisau, sembilu, bambu, kaca
dan kuku, hingga alat modern seperti gunting dan skapula, pelaksanaannya
dengan atau tanpa anastesi.
Usia pelaksanaannya juga bervariasi mulai dari neonatus, anak usia 6-10
tahun, remaja, hingga dewasa. Masyarakat di Indonesia melakukan sunat
perempuan pada usia anak 0- 18 tahun, tergantung budaya setempat. Namun
pada umumnya sunat perempuan dilakukan pada bayi setelah dilahirkan. Di
Jawa dan Madura, sunat perempuan 70% dilaksanakan pada anak usia kurang
dari satu tahun (Juliansyah, 2009).

4. Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan


Sunat perempuan merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang timbul
sejak dahulu dari berbagai nilai, khususnya nilai agama dan nilai budaya.
Alasan- alasan yang menyebabkan terpelihara dan tetap berlangsungnya sunat
perempuan yaitu agama, adat, mengurangi hasrat seksual, kesehatan, keindahan
dan kesuburan. Secara umum perempuan yang masih memelihara praktek sunat
pada perempuan adalah perempuan yang hidup dalam masyarakat tradisional di
wilayah pedalaman (Coomaraswamy, 2000).
WHO (Dalam Juliansyah, 2009) membedakan alasan pelaksanan sunat
perempuan menjadi lima kelompok, yaitu:

17
a. Psikoseksual
Pemotongan klitoris diharapkan akan mengurangi libido pada perempuan,
mengurangi atau menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan
keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan
kepuasan seksual bagi laki- laki.
b. Sosiologi
Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan dan kesialan bawaan, sama
peralihan pubertas atau wanita dewasa, dan lebih terhormat.
c. Hygiene
Organ genitalia eksterna dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, sunat
dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan.
d. Mitos
Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak
e. Agama
Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadahnya lebih diterima.

5. Resiko Sunat Perempuan


Menurut Koblinsky (1997) Resiko yang timbul akibat sirkumsisi pada
wanita dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan oleh alat yang
digunakan tidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat dilakukan tindakan tanpa
anastesi.
Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan dapat
membahayakan, karena menyangkut menghilangkan alat vital pada perempuan.
Dari tindakan sunat perempuan dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat
jangka panjang pada perempuan seperti: Kesulitan menstruasi, infeksi saluran
kemih kronis, kemandulan, disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan
persalinan, dan meningkatkan resiko tertular HIV. Selain berdampak secara
medis, sunat perempuan juga dapat menimbulkan dampak yang bersifat
psikoseksual, psikologis, dan sosial (Gani, 2007).

18
Ditinjau dari segi medis dan kesehatan, sunat perempuan tidak ada manfaat
dan kegunaan. Berbeda dengan dengan sunat yang dilakukan pada laki- laki
yaitu berguna untuk menjaga kebersihan dari alat kelamin luar (Juli, 2006) Aide
Medicale Internationale, hal 39.
Sehubungan dengan masalah tersebut, sebaiknya dilakukan program
edukasi tentang sunat pada anak perempuan di masyarakat. Namun, tentu harus
mempertimbangkan faktor budaya dari masyarakat setempat ( Taufiq, 2010).

6. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Sunat Perempuan


a. Psikoseksual
Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah,
psikologik dan kebudayaan yang berhubungan langsung dengan seks dan
hubungan seks manusia (Rosidi dkk, 2008).
Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti ujung zakar. Organ
ini juga bisa ereksi, mampu meningkatkan libido dan nafsu birahi. Khitan
yang dilakukan pada perempuan diyakini dapat mengendalikan gejolak
nafsu seksual, terutama pada masa pubertas yang merupakan fase usia
paling berbahaya dalam kehidupan anak gadis (Hindi, 2008).
Sunat pada perempuan berawal dari keinginan laki- laki untuk
mengendalikan seksual wanita. Dalam tradisi masyarakat, laki- laki tidak
akan menikahi wanita yang belum disunat dan menganggap wanita tersebut
akan gemar bersetubuh dengan siapa saja, tidak bersih dan tidak layak
dipercaya secara seksual (Koblinsky, 1997).
Female Genital Mutilation (FGM) dipercaya dapat mengurangi hasrat
sksual seorang peempuan sehingga dapat mengurangi terjadinya praktek
seksual diluar nikah. Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat
perempuan, seorang perempuan yang tidak disunat tidak akan mendapatkan
jodoh dan kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat diragukan oleh
masyarakat (Ana, 2009).

19
Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat
khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif
dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan
seksualitas perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum
menikah, kesetiaaan di dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan
seksual laki- laki. Namun, manfaat tersebut tidak didasari fakta ilmiah (
Gani, 2007).
Perilaku seksualitas yang normal ialah yang dapat menyesuaikan diri
bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi dengan kebutuhan individu
mengenai kebahagiaan dan pertumbuhan yaitu perwujudan diri sendiri atau
peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadian
menjadi lebih baik (Rosidi dkk, 2008).
Menurut Ilyas (2009) dorongan seksual seorang perempuan tidak
ditentukan oleh sunat atau tidaknya seorang perempuan, tetapi karena
faktor- faktor psikologis dan hormonal.

b. Sosiologi
Allan Jahnson (Herlinawati, 2010) mengatakan Sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari kehidupan dan perilaku,terutama dalam kaitannya
dengan suatu sistem sosial dan bagai mana sisten tersebut mempengaruhi
individu dan bagai mana pula orang yang terlibat didalamnya
mempengaruhi sistem tersebut.
Secara sosiologis khitan pada perempuan merupakan bagian dari
identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan memasuki masa
kedewasaan, integrasi sosial dan memeliharaan kohesi sosial (Gani, 2007
hal.4).
Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya sunat
perempuan. Sunat menentukan siapa saja yang dapat dianggap sebagai
bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi

20
perempuan untuk memasuki tahap dewasa. Dalam masyarakat yang
mempraktekkan sunat perempuan tindakan sunat dianggap sebagai hal
yang biasa dan seorang perempuan tidak akan dianggap dewasa sebelum
melakukan sunat (Heitman, 2003).
Saadawi (2001) berpendapat Seorang gadis yang tidak disunat akan
menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat, mendapat anggapan negative
sebagai perempuan yang memiliki tingkah laku buruk, dan akan mengejar
laki- laki. Bila datang saatnya menikah, tidak ada laki- laki yang datang
untuk meminang
Saat ini khitan perempuan sebagai suatu kegitan yang menjadi tradisi
di masyarakat tentunya harus memiliki dasar yang kuat, bukan sekedar
tradisi masa lalu. Sebagian masyarakat sejak jaman Nabi Ibrahim hingga
saat ini masih melakukan tradisi sunat perempuan dengan berlandaskan
keagamaan dan taqwa kepada sang khaliq ( Gani, 2007).

c. Hygiene
Menurut kamus keperawatan hygiene merupakan ilmu pengetahuan
mengenai cara-cara mempertahankan dan melestarikan kesehatan,
khususnya melalui upaya menggalakkan kebersihan (Hinchuff, 1999).
Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan dalih
pembenaran yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan sunat
perempuan. Pemotongan klitoris dikaitkan dengan tindakan penyucian dan
pembersihan oleh masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan.
Seorang perempuan yang tidak disunat dianggap tidak bersih dan tidak
diperkenankan menyentuh makanan atau air ( Lubis, 2006. Hal 499).
Dalam beberapa budaya menganggap alat kelamin perempuan yang
tidak disunat di pandang jelek dan najis. Sunat diyakini sebagai prosedur
membersihkan alat kelamin perempuan dan meningkatkan kondisi

21
estetikanya. Sunat perempuan juga menjadi alasan kesehatan, kebersihan,
dan keindahan alat kelamin perempuan.
Sunat perempuan melahirkan kebersihan dan kesucian. Kebersihan dan
kesucian di balik sunat, mencegah menumpuknya cairan lemak yang
menjadi penyebab peradangan pada daerah sensitive, uretra dan pada
sistem reproduksi, juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit- penyakit
mematikan (Hindi, 2008).

d. Mitos
Masalah lain dalam sunat perempuan yang perlu mendapat perhatian
adalah mitos- mitos yang mendasari pelaksaan sunat perempuan.
Masyarakat menyakini bahwa bila anak perempuan yang tidak disunat kan
menjadi nakal dan genit. Mitos lain yang berkembang dimasyrakat yaitu
sunat perempuan akan menjadikan perempuan lebihfeminin, mengontrol
kegiatan seksual perempuan dan menjadikan perempuan selalu tunduk
kepada laki-laki (Aida, 2009).
Terdapat pula beberapa mitos yang menguatkan keberadaan sunat
perempuan. Mitos tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk
nomor dua yang yang tidak pantas mengapresiasikan kebutuhan
seksualnya, perempuan hanya sebagai pelengkap kepuasan seksual laki-
laki. Untuk alsan tersebut praktek sunat perempuan yang memotong organ
seks yang paling sensitive pada perempuan dibenarkan ( Prafitri, 2008 hal.
78).
Tindakan Famale Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan
dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan perempuan serta anak yang
dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang disunat akan lebih subur
dan mudah melahirkan. Pendapat ini merupakan mitos yang dipercaya
masyarakat dan tidak memiliki bukti medis (Ana, 2009).

22
e. Agama
Dalam Islam khitan perempuan lazim menggunakan bahasa khitan
yang diambil dari kata khatana yang berarti memotong, maksudnya adalah
memotong kulit yang menutup bagian ujung kemaluan dengan tujuan
bersih dari najis atau disebut dengan thahur yang artinya membersihkan (
Umar, 2010. Hal. 51).
Masyarakat mengganggap bahwa sunat pada repempuan adalah bagian
dari ajaran Islam, sama seperti laki- laki. Dalam Al-Quran tidak ada
ketegasan hukum mengenai sunat perempuan, tetapi terdapat dalam hadits.
Beberapa kitab hadits dan fiqih memuat hadits- hadits yang berkaitan
dengan sunat perempuan, diantara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin
Hanbal: “Khitan itu dianjurkan untuk laki- laki (sunnah), dan kehormatan
bagi perempuan(makromah)”. Hadits lain yaitu dari Abu Daud
meriwayatkan: “Potong sedikit kulit atas dan jangan potong terlalu dalam
agar wajahnya lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya. Namun
hadits- hadits tersebut sanadnya tidak ada yang mencapai derajat shahih
(Gani, 2007)
Dalam analisis dalil tidak ada hadits yang shahih sebagai dasar hukum
sunat pada perempuan. Ulama- ulama mazhab berisikeras menyatakan
bahwa sunat pada perempuan adalah perbuatan mulia untuk tidak
mengatakan wajib ( YPKP, 2004).
Beberapa ulama lain berpendapat, bahwa khitan perempuan sebagai
kehormatan. Artinya, sebagai perbuatan mulia yang sangat baik untuk
dikerjakan dan meninggalkannya sama dengan mengundang penyakit dan
keburukan. Mengikuti ajaran Islam dalam perkara keci maupun besar
adalah satu- satunya jalan untuk mendapat keselamatan dari kehinaan dunia
dan azab akhirat (Hindi, 2010).
Landasan agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi khitan pada
perempuan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat,

23
di antaranya adalah adanya kewajiban dalam Islam walaupun sejarah
menemukan sunat perempuan sudah ada sebelum adanya Islam dan sebagai
bagian dari proses mengislamkan, jika tidak dikhitan tidak diperkenankan
membaca Al-Quran dan melakukan shalat lima waktu (Gani, 2007. Hal 4).
Atas nama agama dan kemashalatan, sunat pada perempuan
seharusnya tidak lagi dilanjutkan. Karena tidak memiliki dasar hadist yang
shahih, alasan medis yang kuat dan tidak sesuai dengan rasionalitis
kesetaraan relasi laki- laki dan perempuan. Sunat perempuan hanya
diperbolehkan jika mendatangkan kemashalatan, bila tidak sama saja
dengan melukai anggota tubuh perempuan (YPKP, 2004. Hal. 26).

F. Kekerasan terhadap Perempuan


1. Kekerasan yang umum terjadi

Kekerasan (Violence) berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis”


yang berarti daya, kekuatan dan “latus” yang berasal dari ferre (membawa)
yang kemudian berarti membawa kekuatan.

Kekerasan (Violence) pada dasarnya merupakan konsep yang makna


dan isinya sangat bergantung kepada masyarakat sendiri. Menurut Johan
Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa,
sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya. Dengan kata lain bila yang potensial lebih tinggi dari yang
aktual, maka ada kekerasan. Kekerasan disini diartikan sebagai perbedaan
dari yang potensial dengan yang aktual.

Maksudnya adalah jika seorang individu mengalami tindak kekerasan,


maka realitas jasmani dan mental psikologis daya aktualitasnya tidak
mampu merespons lingkungan.

24
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan
berbasis gender yang mengakibatkan kerugian fisik, seksual atau psikologis
atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk tindakan yang berupa
ancaman, pemaksaan atau perampasan kebebasan, apakah itu terjadi di
publik ataupun dalam kehidupan pribadi.

Kekerasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya relasi yang tidak


seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terjadi karena masyarakat
beranggapan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan kedudukan perempuan, sehingga laki-laki merasa lebih
berkuasa atas perempuan. Ini disebut juga dengan budaya patriarkhi, yang
menempatkan laki-laki sebagai warga kelas satu, dominan, superior dan
lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini diperkuat dengan pemahaman
agama yang menitik beratkan pada tekstual semata dan kurang
mempertimbangkan konteks realitas masyarakat.

Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa pelanggaran-pelanggaran


sebagai berikut; hak atas kehidupan, hak atas persamaan, hak atas
kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang sama di
muka umum, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun
mental yang sebaik-baiknya, hak atas pekerjaan yang laya dan kondisi kerja
yang baik, hak untuk pendidikan lanjut, hak untuk tidak mengalami
penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara
tidak manusiawi dan sewenang-wenang.

Kekerasan perempuan dapat terjadi dalam bentuk :

a. Tindakan kekerasan fisik ;


Tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang
lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya.

25
b. Tindakan kekerasan non fisik;
Adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau
kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata
maupun melalui perbuatan yang tidak disukai/dikehendaki
korbannya.

c. Tindak kekerasan psikologis atau jiwa;


Adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan
emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani
mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu
bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal (termasuk
keuangan). Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam
keadaan tertekan atau bahkan takut.

2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan dalam


rumah tangga (KDRT). Dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bab I, pasal 1, ayat 1 dikatakan bahwa
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah, setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga (PKDRT) melarang tindakan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau
penelantaran dalam rumah tangga.terhadap orang-orang dalam lingkup
rumah tangga. Dalam pasal 2 UU No.23 tahun 2004 disebutkan, orang

26
yang termasuk dalam lingkup rumah tangga antara lain, suami, istri, anak,
serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam
rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam
rumah tangga tersebut

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kekerasan yang terjadi


dalam lingkungan rumah tangga. Pada umumnya, pelaku Kekerasan
Dalam Rumah Tangga adalah suami, dan korbannya adalah istri dan/atau
anak-anaknya. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat terjadi dalam
bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan
kekerasan ekonomi.

Bentuk kekerasan secara fisik meliputi; menampar, memukul,


menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai
dengan senjata, dan sebagainya yang mengakibatkan luka pada fisik atau
yang mengakibatkan rasa sakit.

Kekerasan secara seksual meliputi, kekerasan yang terjadi dalam


bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual, dan yang tergolong
kekerasan secara psikologis antara lain, penghinaan terhadap perempuan,
komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi
saudara maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke
rumah orang tuanya, dan segala bentuk perbuatan yang menjadikan
perempuan tertekan secara mental.

Kekerasan secara ekonomi dapat terjadi jika tidak memberi nafkah


pada istri, perawatan atau pemeliharaan yang sesuai dengan hukum
melarang istri bekerja atau mengeksploitasi istri yaitu membiarkan istri
bekerja dengan tujuan untuk kepentingan pribadi. Selain itu membatasi
dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah

27
sehingga korban dibawah kendali orang tersebut atau
pasangannya.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nirupama
Parakash Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah salah satu kejahatan
terhadap perempuan, yang berkaitan dengan posisi mereka yang tidak
menguntungkan di masyarakat. (Nirupama Parakash: 2011)

Centre of Diseases Control (CDC) Atlanta dan Komite Nasional


Pencegahan Trauma AS menggolongkan kasus kekerasan dalam rumah
tangga dalam kekerasan oleh mitra dekat. Kekerasan oleh mitra dekat
adalah ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap mitra dekat yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kematian, trauma dan hal-
hal yang berbahaya. (Fery Efendy & Makfudli, 2009:193)

Menurut CDC kekerasan terjadi karena beberapa faktor antara lain


faktor masyarakat, faktor keluarga dan faktor individu. Kekerasan
terhadap perempuan yang dipengaruhi oleh masyarakat antara lain;
kemiskian, urbanisasi yang terjadi disertai kesenjangan pendapatan di
antara penduduk kota, masyarakat kelompok ketergantungan obat, dan
lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas yang tinggi.

Kekerasan dapat juga terjadi karena faktor keluarga antara lain; ada
anggota keluarga yang sakit dan butuh bantuan terus menerus, kehidupan
keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan tidak menghargai peran
perempuan, kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada
keluarga.

Kekerasan yang terjadi akibat faktor individu antara lain;


ketergantuangan obat atau alkohol atau memiliki riwayat ketergantungan
kedua zat tersebut, sedang hamil, dan mempunyai partner yang cemburu
berlebihan.

28
G. Seksualitas pada Remaja
1. Pengertian
a. Dimensi biologi
Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi
dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan
memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual.
Dimensi biologi seksualitas bersifat luas. Faktor biologi mengontrol
perkembangan seksual dari konsepsi sampai kelahiran dan kemampuan
bereproduksi setelah pubertas. Sisi biologi seksualitas juga
mempengaruhi dorongan seksual, fungsi seksual, dan kepuasan seksual.
Bahkan kekuatan biologi juga mempengaruhi diferensiasi seks tertentu
dalam hal perilaku, misalnya kecenderungan pria untuk bertindak lebih
agresif daripada wanita. Reaksi seksual menghasilkan peristiwa biologi
yang spesifik, misalnya meningkatnya nadi, reaksi pada organ kelamin,
dan sensasi yang dirasakan pada seluruh tubuh.

b. Dimensi psikososial
Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan
psikososial adolesens. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang
dekat atau tetap terisolasi secara sosial. Erikson memandang bingung
identitas (atau peran) sebagai bahaya utama pada tahap ini dan
menyarankan pengelompokkan dan intoleransi perbedaan yang terlihat
pada perilaku adolesens di pertahankan terhadap bingung identitas (
erikson, 1968 ).
Adolesens bekerja mandiri secara emosional dari orang tua, sambil
mempertahankan ikatan keluarga. Selain itu, mereka perlu
mengembangkan system etsnya sendiri berdasarkan nilai-nilai personal.
Pilihan tentang pekerjaan, pendidikan masa depan, dan gaya hidup harus

29
dibuat. Beragam komponen identitas total disusun dari tugas-tugas ini dan
terdiri dari identitas personal dewasa yang unik bagi individu.
Perilaku yang menunjukkan resolusi negatif pada tugas
perkembangan pada usia ini adalah kebimbingan dan ketidakmampuan
menentukan pilihan bekerja.
Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana
menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis,
serta bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis (kognisi, emosi,
motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri.
Dimensi psikososial meliputi faktor psikik yaitu emosi, pandangan
dan kepribadian, yang bergabung dengan faktor sosial, yaitu bagaimana
manusia berinteraksi. Dimensi psikososial seksualitas penting karena
tidak hanya muncul pada banyak masalah seksual tetapi juga karena
berpengaruh terhadap perkembangan menjadi manusia yang seksual. Dari
masa anak-anak, identitas jender seseorang terutama dibentuk oleh
kekuatan psikososial. Pandangan seksual awal kita yang sering kali
terbawa sampai dewasa terutama didasarkan kepada orangtua, teman
sebaya, dan guru yang menceriterakan arti dan tujuan seks. Seksualitas
juga diatur oleh masyarakat melalui hukum, tabu, dan keluarga serta
teman sebaya yang mengarahkan untuk mengikuti arah tertentu tentang
perilaku seksual.

c. Dimensi sosial
Dari dimensi sosial, seksualitas dilihat pada bagaimana seksualitas
muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan
dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya
membentuk perilaku seksual.

30
d. Dimensi kultural dan moral
Dimensi kultural menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari
budaya yang ada di masyarakat. Topik seksual seringkali menimbulkan
kontroversi dan mengandung nilai-nilai. Tetapi kontroversi sering bersifat
relatif terhadap waktu, tempat, dan lingkungan. Apa yang disebut “moral”
atau “hak” berbeda dari satu budaya ke budaya lain, dari masa ke masa.
Banyak isu moral mengenai seks berhubungan dengan tradisi keagamaan,
tetapi agama tidak mempunyai monopoli atas moralitas. Tidak ada sistem
nilai seksual yang baik bagi setiap orang dan tidak ada satupun kode
moral yang tidak dapat diperdebatkan dan dapat digunakan secara
universal. Perubahan perilaku seksual yang terjadi di mana-mana,
termasuk di Indonesia, tidak terlepas dari dimensi kultural. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan perubahan itu :
1) Perubahan peran jender. Secara tradisional, wanita diperlakukan
sebagai mahluk yang pasif dan tidak responsif secara seksual, sedang
pria dianggap sebagai agresor seksual. Sesuai dengan pandangan ini,
pria diharapkan menjadi pengambil inisiatif dan pintar dalam urusan
seksual, dan wanita yang agresif atau sangat menikmati seks
dianggap aneh. Pandangan ini kini telah diganti oleh suatu konsep
partisipasi dan kepuasan bersama.
2) Semakin terbukanya segala sesuatu tentang seksualitas. Semua
bentuk media, dari media cetak, televisi sampai bioskop merupakan
refleksi perubahan ini, dan akibatnya seks semakin tidak dianggap
sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu dan misterius.
3) Semakin diterimanya hubungan seksual untuk tujuan rekreasi dan
relasi, sebagai lawan dari reproduksi. Perubahan ini terutama
disebabkan oleh beredarnya kontrasepsi.

31
2. Ruang Lingkup Seksualitas
a. Identitas seksual
Pencapaian identitas seksual ditingkatkan dengan adanya perubahan
fisik pubertas. Dalam pandangan Freud, perubahan fisiologis pubertas ini
mereaktifkan libido, sumber energy yang mengisi arah seks. Hal ini
ditandai dengan minat remaja pada hubungan heteroseksual dengan
pasangan diluar keluarga dan melakukan mastrubasi. Tanda fisik maturitas
mendorong perkembangan perilaku maskulin dan feminin. Jika perubahan
fisik ini mencakup deviasi, orang ini mengalami lebih banyak kesulitan
mengembangkan identitas seksual yang nyaman. Adolesens bergantung
pada tanda fisik ini karena mereka ingin kepastian kelaki-lakian atau
kewanitaan dan karena mereka tidak mau berbeda dari sebayanya. Tanpa
karekteristik fisik ini, mencapai identitas seksual sangat sulit. Pengaruh lain
adalah perilaku cultural dan harapan perilaku peran seks dan adanya model
peran. Perilaku maskulin dan feminin yang dilihat remaja pengaruhi cara
mereka mengekspresikan seksualitas. Adolesens memiliki seksualitas
sesuai usia setelah merasa nyaman dengan perilaku sksual, pilihan, dan
hubungannya.

b. Identitas gender
Identitas gender merupakan suatu konsep diri individu tentang keadaan
dirinya sebagai laki-laki atau perempuan atau bukan keduanya yang
dirasakan dan diyakini secara pribadai oleh individu.
Identitas gender adalah adanya keyakinan diri (secara fisik, sosial dan
budaya) sebagai laki-laki atau perempuan.
Identitas gender yang sehat adalah identitas gender yang konsisten
dengan identitas biologisnya. Identitas gender yang sehat membuat
seseorang dapat menyakini dirinya sebagai laki-laki atau perempuan sesuai

32
pembawaan fisiknya dan dapat berperan atau bertingkah laku sebagaimana
seharusnya sebagai laki-laki atau perempuan.

c. Perilaku seksual
Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan
seksual atau kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual
melalui berbagai perilaku. Perilaku seksual tersebut sangat luas sifatnya,
mulai dari berdandan, mejeng, ngerling, merayu, menggoda hingga
aktifitas dan hubungan seksual.
Perilaku seksual merupakan hasil interaksi antara kepribadian dengan
lingkungan di sekitarnya. Berikut beberapa faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi perilaku seksual:
a) Perspektif Biologis, perubahan biologis yang terjadi pada masa
pubertas dan pengaktifan hormon dapat menimbulkan perilaku seksual.
b) Pengaruh Orang Tua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara
orang tua dengan remaja dalam masalah seputar seksual dapat
memperkuat munculnya penimpangan perilaku seksual
c) Pengaruh Teman Sebaya, pada masa remaja, pengaruh teman sebaya
sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual
dikaitkan dengan norma kelompok sebaya
d) Perspektif Akademik, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi
yang rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual
dibandingkan remaja dengan prestasi yang baik di sekolahnya
e) Perspektif Sosial Kognitif, kemampuan sosial kognitif diasosiasikan
dengan pengambilan keputusan yang menyediakan pemahaman
perilaku seksual di kalangan remaja. Remaja yang mampu mengambil
keputusan secara tepat berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya dapat
lebih menampilkan perilaku seksual yang lebih sehat.

33
3. Tujuan seksualitas
a. Tujuan umum
Tujuan seksualitas secara umum adalah meningkatkan kesejahteraan
kehidupan manusia.
b. Tujuan khusus
1) Prokreasi (menciptakan atau meneruskan keturunan)
2) Rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/seksual)
Kedua fungsi ini harus berjalan seiring. Berdasarkan pendekatan religius,
Tuhan menggariskan kedua tujuan ini sebagai bentuk keseimbangan hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam suatu ikatan
pernikahan yang sah secara hukum negara dan agama.

4. Dimensi pribadi yang terkait dengan seksualitas


Ada tiga elemen dimensi pribadi terkait dengan seksualitas, yaitu :
a. Harga diri
Adalah konsep individu tentang dirinya yang menggambarkan
pemaknaan tentang diri serta seberapa jauh kepuasan yang didapatkan
dari gambaran tentang diri tersebut. Hal ini akan sangat mempengaruhi
tingkah laku seseorang.
b. Kemampuan berkomunikasi
Yaitu cara remaja mengekspresikan keinginan pendapatnya tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan seksualitasnya. Bila remaja
mampu mengkomunikasikannya dengan baik maka akan mempermudah
penanggulangan masalah seksualitas yang dialaminya.
c. Kemampuan mengambil keputusan
Sepanjang kehidupan banyak keputusan mengenai seksualitas yang
harus diambil, misalnya perilaku seksual yang dipilih, memilih pasangan
hidup, perencanaan kehamilan, dan lain-lain.

34
5. Sikap positif terhadap seksualitas
Berkaitan dengan banyaknya anggapan masyarakat yang salah tentang
seks itu tabu, jorok, seks untuk mendapatkan fasilitas/materi, dan sebagainya
maka penting diluruskan kembali sikap masyarakat terhadap seks. Anggapan
yang salah dapat berpengaruh terhadap perilaku, misalnya penyelewengan
pemanfaatan seks dalam kehidupan serta gangguan fungsi seksual pada masa
mendatang.
Oleh karena itu, sikap positif terhadap seks menjadi hal yang sangat penting.
Berikut tingkah laku yang menunjukkan sikap positif terhadap seksualitas :
a. Menempatkan seks sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
b. Tidak menganggap seks itu jijik, tabu atau jorok.
c. Tidak menjadikan candaan, bahan obrolan “murahan”.
d. Membicarakan dalam konteks ilmiah atau belajar untuk memahami diri
dari orang lain serta pemanfaatan secara baik dan benar sesuai dengan
fungsi dan tujuan seksualnya.

6. Tugas perkembangan seksualitas remaja


a. Orientasi seksual
Orientasi seksual adalah ketertarikan secara emosional dan seksual
kepada jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual secara garis besar dapat
dibedakan menjadi:
1) Heteroseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual
terhadap lawan jenisnya.
2) Homoseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual
terhadap sesama jenisnya. Gay adalah istilah untuk homoseksual
laki-laki, dan lesbian adalah istilah untuk homoseksual perempuan.
Pada perkembangannya, ada banyak istilah yang digunakan pada
waktu dan budaya yang berbeda.

35
3) Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual
terhadap lawan dan sesama jenisnya
Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari tahu
faktor-faktor penyebab mengapa seseorang memiliki orientasi seksual
yang berbeda dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori
yang dapat menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori
psikologis.
Teori biologi mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh
faktor genetik atau faktor hormonal. Penelitian terakhir mengenai faktor
biologis dalam pembentukan orientasi seksual dilakukan oleh Simon
LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf dalam
hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih besar
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan
perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan
pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang
menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya,
kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil?
Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam
merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada
faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu
homoseksualitas maupun perbedaan ukuran syaraf.
Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba
menerangkan faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek
fisiologis. Namun, lagi-lagi sebuah penelitian yang melibatkan 686 laki-
laki homoseksual, 293 perempuan homoseksual, 337 laki-laki
heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual, tidak dapat menemukan
pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori belajar sosial,
atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat kesimpulan
bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis.

36
Kesimpulan lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara
pasti faktor-faktor yang menyebabkan homoseksualitas (Rice, 2002).

b. Peran seks
1) Peran Seks Tradisional
Stereotip yang mendasari peran seks pria dan wanita tradisional
merupakan perwujudan prinsip dasar bahwa ada perbedaan antara
kedua jenis kelamin. Kedua jenis itu tidak saja berbeda, tetapi mereka
juga berbeda dalam bidang yang penting bagi kesejahteraan Jan
kemajuan kelompok sosial, tempat melekat mengidentifikasi diri.
Tambahan pula perbedaan ini mengunggulkan jenis kelamin pria.
Karena dianggap lebih superior, telah menjadi keyakinan umum
bahwa pria dapat dan harus memberi sumbangan berbeda kepada
kelompok sosial daripada wanita dan bahwa sumbangan pria lebih
superior dari sumbangan wanita. Untuk mampu memberi sumbangan
sesuai dengan kemampuan, ke dua jenis harus belajar memainkan
peran yang diberikan sebaik mungkin, tanpa mempedulikan minat
dan kemampuan pribadi
2) Peran Seks Yang Sederajat
Stereotip dari peran seks yang sederajat di-dasarkan atas prinsip
dasar bahwa perbedaan antara jenis kelamin jauh lebih sedikit dan
pada yang dikira sebelumnya dan bahwa perbedaan yang ada tidak
penting dalam masyarakat di mana teknologi telah menggantikan
peran yang sebelumnya dipegang tenaga fisik.
Karena pola kehidupan telah menjadi lebih kompleks dari
sebelumnya, kelompok, budaya membutuhkan sumbangan yang lebih
beragam dari yang diperlukan pada saat pola kehidupan masih
sederhana.Akibatnya, kedua jenis dapat memberi sumbangan pada
kesejahteraan dan kemajuan kelompok.

37
Secara umum, peran seks sederajat (egalitarian) menghapuskan
penekanan pada perbedaan ekstrem antara jenis kelamin. Penekanan
ini khas bagi stereotip peran seks tradisional. Peran tradisional
dimodifikasi sedemikian rupa hingga peran wanita condong ke arah
peran pria dan sebaliknya peran pria condong ke arah peran wanita.
Akibatnya peran-peran ini bertemu di tengah dengan lebih banyak
unsur persamaan daripada perbedaan.

7. Perilaku seksualitas remaja


a. Cara yang biasa dilakukan orang untuk menyalurkan dorongan seksual
1) Masturbasi
Masturbasi merupakan tindakan yang bertujuan untuk memenuhi
hasrat seksual seseorang dengan merangsang alat kelamin sendiri
dengan tangan atau alat. Ada perbedaan presentasi antara laki-laki dan
perempuan dalam melakukan tindakan masturbasi. Hampir 82% dari
laki-laki usia 15 tahun melakukan masturbasi, sedangkan hanya 20%
dari perempuan usia 15 tahun yang melakukan masturbasi. Perilaku
masturbasi ini sendiri secara psikologis menimbulkan kontroversi
parasaan antara perasaan “bersalah” dan “puas”.
2) Oral-genital Seks
Tipe ini sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk menghindari
terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual ini merupakan alternatif
aktivitas seksual yang dianggap aman oleh remaja.
3) Seksual Intercourse
Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja pertama kali
melakukan seksual intercourse. Pertama, muncul perasaan nikmat,
menyenangkan, indah, intim, dan puas. Pada sisi lain muncul perasaan
cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa, dan perasaan bersalah. Dari
hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-laki yang paling terbuka

38
untuk menceritakan pengalaman intercoursenya dibanding dengan
remaja perempuan.
4) Petting
Petting adalah upaya untuk membangkitkan dorongan seksual
antara jenis kelamin dengan tanpa melakukan intercourse. Usia 15
tahun ditemukan bahwa 39% remaja perempuan
melakukan petting,sedangkan 57% remaja laki-laki
melakukan petting (Ratna Eliyawati 1999).

b. Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja


Perilaku seksual merupakan hasil interaksi antara kepribadian dengan
lingkungan di sekitarnya. Berikut beberapa faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi perilaku seksual:
1) Perspektif Biologis, perubahan biologis yang terjadi pada masa
pubertas dan pengaktifan hormon dapat menimbulkan perilaku seksual.
2) Pengaruh Orang Tua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara
orang tua dengan remaja dalam masalah seputar seksual dapat
memperkuat munculnya penimpangan perilaku seksual
3) Pengaruh Teman Sebaya, pada masa remaja, pengaruh teman sebaya
sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku seksual
dikaitkan dengan norma kelompok sebaya
4) Perspektif Akademik, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi
yang rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual
dibandingkan remaja dengan prestasi yang baik di sekolahnya
5) Perspektif Sosial Kognitif, kemampuan sosial kognitif diasosiasikan
dengan pengambilan keputusan yang menyediakan pemahaman
perilaku seksual di kalangan remaja. Remaja yang mampu mengambil
keputusan secara tepat berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya dapat
lebih menampilkan perilaku seksual yang lebih sehat.

39
H. Kehamilan pada Remaja
1. Pengertian

Menurut Soetjiningsih (2004) masa remaja merupakan masa peralihan


antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual
yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa
menjelang dewasa muda.

Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada wanita usia


antara 14- 19 tahun baik melalui proses pra nikah atau nikah (Manuaba,
2007). Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi sebelum usia 19
tahun. Kehamilan ini biasanya tidak direncanakan dan di luar nikah.
Kehamilan remaja masih dipandang sebagai hambatan secara sosial,
ekonomi, psikologis dan pendidikan bagi ibu. 7% dari semua kelahiran
terjadi pada remaja. (Muscari, 2005)

Kehamilan usia dini memuat risiko yang tidak kalah berat. Pasalnya,
emosional ibu belum stabil dan ibu mudah tegang. Sementara kecacatan
kelahiran bisa muncul akibat ketegangan saat dalam kandungan, adanya rasa
penolakan secara emosional ketika si ibu mengandung bayinya.

2. Angka Kejadian

Menurut Survei Kesehatan Remaja Republik Indonesia (2007)


remaja usia 15-24 tahun yang tahu tentang masa subur sebesar 65%, remaja
perempuan yang tidak mengetahui sama sekali perubahan yang terjadi pada
remaja laki-laki sebanyak 21%, hanya 10% remaja pria yang tahu masa
subur wanita dan baru 63% remaja yang mengetahui jika melakukan
hubungan seksual sekali beresiko kehamilan. Sedangkan remaja yang
memiliki teman untuk melakukan hubungan seks pranikah mencapai 82%

40
dan remaja mempunyai teman seks dan hamil sebelum menikah mencapai
66%.

Berdasarkan survei Riskesdas (2013) angka kehamilan penduduk


perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur
kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur
remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen.

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)


pada tahun 2012 membuktikan bahwa angka fertilitas remaja (AFR) pada
kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1.000 kehamilan (Fanaurora,
2013)

3. Etiologi

a. Faktor medis

Adapun faktor medis yang mempengaruhi kehamilan resiko tinggi yaitu


penyakit ibu dan janin, belum matangnya organ reproduksi, kelainan
obstetrik, gangguan plasenta, gangguan tali pusat, komplikasi janin,
penyakit neonatus, dan kelainan genetic.

b. Faktor non medis

1) Faktor agama dan iman

Kurangnya penanaman nilai-nilai agama berdampak pada pergaulan


bebas dan berakibat remaja dengan gampang melakukan hubungan
suami isteri di luar nikah sehingga terjadi kehamilan, pada kondisi
ketidaksiapan berumah tangga dan untuk bertanggung jawab.

41
2) Faktor lingkungan

a) Orang tua

Kurangnya perhatian khususnya dari orang tua remaja untuk


dapat memberikan pendidikan seks yang baik dan benar.
Dimana dalam hal ini orang tua bersikap tidak terbuka
terhadap anak bahkan cenderung membuat jarak dengan anak
dalam masalah seksual.

b) Teman, tetangga dan media.

Pergaulan yang salah serta penyampaian dan


penyalahgunaan dari media elektronik yang salah. Dapat
membuat para remaja berpikiran bahwa seks bukanlah hal yang
tabu lagi tapi merupakan sesuatu yang lazim.

c) Pengetahuan yang minim ditambah rasa ingin tahu yang


berlebihan

Pengetahuan seksual yang setengah-setengah mendorong


gairah seksual sehingga tidak bisa dikendalikan. Hal ini akan
meningkatkan resiko dampak negatif seksual. Dalam keadaan
orang tua yang tidak terbuka mengenai masalah seksual, remaja
akan mencari informasi tersebut dari sumber yang lain, teman-
teman sebaya, buku, majalah, internet, video atau blue film.
Mereka sendiri belum dapat memilih mana yang baik dan perlu
dilihat atau mana yang harus dihindari.

d) Perubahan zaman

Pada zaman modern sekarang ini, remaja sedang dihadapkan


pada kondisi sistem-sistem nilai, dan kemudian sistem nilai

42
tersebut terkikis oleh sistem yang lain yang bertentangan
dengan nilai moral dan agama, seperti fashion dan film yang
begitu intensif sehingga remaja dihadapkan ke dalam gaya
pergaulan hidup bebas, termasuk masalah hubungan seks di
luar nikah.

e) Perubahan kadar hormon

Perubahan kadar hormon pada remaja meningkatkan libido


atau dorongan seksual yang membutuhkan penyaluran melalui
aktivitas seksual.

f) Semakin cepatnya usia pubertas

Semakin cepatnya usia pubertas (berkaitan dengan tumbuh


kembang remaja), sedangkan pernikahan semakin tertunda
akibat tuntutan kehidupan saat ini menyebabkan “masa- masa
tunda hubungan seksual” menjadi semakin panjang. Jika tidak
diberikan pengarahan yang tepat maka penyaluran seksual yang
dipilih beresiko tinggi.

g) Adanya trend baru dalam berpacaran dikalangan remaja.

Dimana kalau dulu melakukan hubungan seksual di luar


nikah meskipun dengan rela sendiri sudah dianggap bebas.
Namun sekarang sudah pula bergeser nilainya, yang dianggap
seks bebas adalah jika melakukan hubungan seksual dengan
banyak orang.

4. Patofisiologi

Menurut (Bobak, 2004) secara medis kehamilan remaja membawa


dampak buruk. Dampak buruk itu kemungkinan terjadinya “kemacetan

43
persalinan” akibat tidak seimbangnya antara panggul ibu dan janinnya. Itu
bisa dimengerti, karena pada wanita yang usianya muda, panggulnya belum
berkembang sempurna.

a. Pada ibu, perdarahan pada kehamilan maupun pasca persalinan, hipertensi


selama kehamilan, solusio plasenta, dan resiko tinggi meninggal akibat
perdarahan.

b. Pada bayi, kehamilan belum waktunya (prematur), pertumbuhan janin


terhambat, lahir cacat dan berpenyakitan, dan BBLR.

5. Komplikasi

Dampak dari kehamilan resiko tinggi pada usia muda, antara lain
(Manuaba, 2007):

a. Keguguran.

b. Persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan


bawaan.

c. Mudah terjadi infeksi.

d. Anemia kehamilan atau kekurangan zat besi.

e. Keracunan kehamilan (gestosis).

f. Kematian ibu yang tinggi.

g. Persalinan yang lama

h. Disproporsi fetopelvis

Kehamilan pada remaja biasanya menghadapi banyak krisis psikologis


selama kehamilan (Muscari : 2005) :

44
a. Menyadari kehamilannya dan menginformasikannya kepada pasangan serta
orang tua

b. Keputusan untuk mengandung janin sampai lahir atau melakukan aborsi

c. Menyiapkan kebutuhan keuangan, medis dan nutrisi

d. Menghadapi hubungan interpersonal di rumah dan di sekolah

e. Keputusan untuk membesarkan sendiri bayinya atau untuk adopsi

f. Koping terhadap perubahan gambaran tubuh

g. Koping terhadap masalah keterikatan dan menjadi orang tua.

6. Manifestasi klinis

Pada ibu yang memiliki risiko tinggi dalam kehamilan memiliki tanda bahaya
sebagai berikut :

a. Muntah terus menerus, tidak bisa makan

b. Perdarahan

c. Pucat pada konjungtiva, muka, telapak tangan menunjukkan anemia


(kekurangan darah)

d. Demam tinggi, biasanya karena infeksi

e. Keluar air ketuban sebelum waktunya

f. Bayi dalam kandungan gerakannya berkurang atau tidak bergerak.

45
7. Pemeriksaan Penunjang

a. Ultrasonografi : mengkaji usia gestasi janin dan adanya gestasi multipel,


mendeteksi abnormalitas, melokalisasi plasenta dan kantung cairan amnion
pada amniosintesis.

b. Amniosintesis terhadap perbandingan lesitin terhadap sfingomielin (L/S) :


mendeteksi adanya fosfatidilgliserol (fg), mengukur densitas optikal cairan
untuk mendeteksi hemolisis dari ketidaksesuaian Rh atau infeksi pada cairan.

c. Tes toleransi glukosa: memeriksa diabetes melitus gestasional (DMG).

d. Jumlah trombosit: penurunan mungkin berhubungan dengan HAK dan


sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hepar atau jumlah trombosit
rendah).

e. Golongan darah, kelompok Rh, dan pemeriksaan untuk antobodi pada klien
Rh-negatif/Du-negatif: mengidentifikasi risiko ketidaksesuaian.

f. Pemeriksaan koagulasi (masa tromboplastin parsial teraktivasi (APPT), masa


tromboplastin parsial (PTT), masa protrombin (PT), produk degradasi
lembaran fibrin (FSP atau FDP) : mengidentifikasi kelainan pembekuan bila
ada perdarahan.

g. Bilirubin, pemeriksaan fungsi hepar (AST, ALT, dan kadar LDH): mengkaji
masalah hepar hipersensitif.

h. Urinalisis, kultur atau sensitifitas: mendeteksi bakteuria, Dipstick:


menentukan kadar glukosa atau protein.

i. Pemeriksaan serologi, VDRL: memeriksa hepatitis, HIV AIDS, sifilis.

j. Profil kriteria biofisika (BPP): mengkaji kesejahteraan janin.

46
8. Penatalaksanaan

a. Melakukan skrining atau deteksi dini resiko tinggi ibu hamil atau dengan
macam faktor resiko

b. Menentukan ibu resti dengan pengertian kemungkinan terjadinya resiko


kehamilan atau kesakitan pada ibu dan bayi

c. Memantau kondisi ibu dan janin selama kehamilan

d. Mencatat dan melapor keadaan kehamilan

e. Memberi pedoman penyuluhan untuk persalinan aman berencana

f. Rujukan dini berencana atau rujukan in utera.

I. Menjadi Orang Tua pada Masa Remaja


1. Pengertian

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005: 802) pengertian orang tua
adalah ayah ibu kandung; orang yang dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Soelaeman (1994:179) menganggap
bahwa“...istilah orang tua hendaknya tidak pertama-tama diartikan sebagai
orang yang tua, melainkan sebagai orang yang dituakan, karenanya diberi
tanggung jawab untuk merawat dan mendidik anaknya menjadi manusia
dewasa”.

Remaja atau adolescere yang berarti tumbuh kearah kematangan.


Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi
juga kematangan sosial dan psikologis (Yani Widyastuti,2009)

Remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik, yaitu masa alat-
alat kelamin manusia mencapai kemantangannya. Secara anatomis berarti

47
alat-alat kelamin khususnya dan keadan tubuh pada umumnya memperoleh
bentuknya yang sempurna dan alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi
secara sempurna pula.pada akhir dari peran perkembangan fisik ini aknan
terjadi seorang pria yang berotot dan berkumis /berjanggut yang mampu
menghasilkan beberapa ratus juta sel mani (spermatozoa) setiap kali
berejakulasi (memancarkan air mani), atau seorang wanita yang berpayudara
dan berpinggul besar yang setiap bulannya mengeluarkan sebuah sel telur dari
indung telurnya (Sarlito W. Sarwono, 2010)

2. Faktor faktor yang menyebabkan menjadi orang tua pada masa remaja

Selama ini perkawinan di bawah umur terjadi dari dua aspek:

1. Sebab dari Anak.

a. Faktor Pendidikan.

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang


besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah,
kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut
sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk
menghidupi diri sendiri. Hal yang sama juga jika anak yang putus
sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa
pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak
produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan
jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.

b. Faktor telah melakukan hubungan biologis.

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-


anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri.
Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung

48
segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis
ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua,


saya menganggap ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian
hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak kita sudah melakukan
suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut,
tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan
terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan
anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.

c. Hamil sebelum menikah

Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka
orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada
beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak
setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si
gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis
tersebut.

Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak
mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan
sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin. Ini
semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis,
orang tua bahkan hakim yang menyidangkan.

Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang


akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana
yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di
hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak.
Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja

49
kemungkinan di kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan
tersebut didasarkan keterpaksaan

2. Sebab dari Luar Anak

a. Faktor Pemahaman Agama.

Saya menyebutkan ini sebagai pemahaman agama, karena ini


bukanlah sebagai doktrin. Ada sebagian dari masyarakat kita yang
memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis,
telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib
melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak
tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika
anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu:
“perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal
tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelishakim menanyakan
anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada
dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang
tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh
bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak
yang saling sms dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan
sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap
berzina.

b. Faktor ekonomi

Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit


hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua

50
yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak gadis
tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si
piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-
hutang yang melilit orang tua si anak.

Kasus ini baru-baru ini mencuat terjadi di Maros (Sulawesi


Selatan). Dimana seorang kakek erusia 60 tahun menikah dengan anak
berusia 12 tahun. Orang tua anak tersebut sudah cuup senang, karena
selain hutang-hutangnya bisa terbayarkan juga karena anaknya
tersebut telah diberikan HP. Sebuah kisah yang sangat ironis.

c. Faktor adat dan budaya

Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa


pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah
dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah
anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-
anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat
dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di
bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.

Dari kedua penyebab pernikahan dini, maka pernikahan dini yang


terjadi bukan karena anak, yang menjadi korban adalah anak-anak
perempuan. Budaya ini harus kita kikis, demi terwujudnya kesaaan hak
antara anak laki-laki dan anambangan Remaja dk perempuan. Dan wajib
kita syukuri juga, budaya ini terjadi di daerah, bukan di daerah yang
sudah maju.

Perkembangan Remaja dan Tugasnya sesuai dengan tumbuh dan


berkembangnya suatu individu , dari masa anak-anak sampai dewasa ,
individu memiliki tugas masing-masing pada setiap tahap

51
perkembangannya . Yang dimaksud tugas pada setiap tahap
perkembangan adalah bahwa setiap tahapan usia , individu tersebut
mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian.

J. Dampak yang muncul menjadi orang tua pada masa remaja


1. Rusaknya Organ Reproduksi
Banyak pihak medis mengatakan bahwa organ reproduksi terutama organ
reproduksi anak gadis remaja belum siap untuk melakukan hubungan intim
dan juga belum siap untuk mengandung. Jika hal itu terjadi, medis
mengatakan kemungkinan buruknya adalah bisa terjadi keguguran secara
berulang-ulang karena kondisi rahim yang belum siap. Tidak hanya itu saja,
keguguran yang berulang bisa menyebabkan rusaknya organ reproduksi
wanita sehingga kemungkinan untuk bisa menggandung kembali sangat nihil.
2. Keguguran
Hal nyata yang bisa dialami oleh wanita yang hamil di usia muda adalah
akan mengalami keguguran. Penyebab keguguran hamil muda adalah rahim
wanita yang masih muda belum siap dan belum matang untuk menerima
kehamilan. Akibatnya adalah keguguran akan dialami oleh wanita tersebut.
3. Cacat Fisik
Salah satu hal yang menjadi bahaya hamil di usia muda adalah bayi yang
dilahirkannya akan mengalami cacat fisik. Alasannya adalah sel telur wanita
muda di usia bawah 20 tahun belum terbentuk dengan sempurna sehingga
ketika sel telur dibuahi akan menimbulkan kecacatan terutama cacat fisik bagi
janinnya kelak.
4. Kanker Serviks
Salah satu bahaya akibat hamil muda adalah bisa terkena kanker serviks.
Hal itu dikarenakan berhubungan seksual saat masih muda bisa menyebabkan

52
leher rahim terkena virus. Virus tersebut bisa berubah menjadi kanker serviks
terutama virus yang tidak segera diobati.
5. Mudah Terkena Infeksi
Organ reproduksi yang masih belum siap untuk melakukan hubungan
seksual bisa menyebabkan organ reproduksi tersebut mudah terkena infeksi.
Terlebih lagi ditunjang dengan faktor rendahnya ekonomi, stress dan
perawatan organ reproduksi yang belum banyak dipahami bisa menyebabkan
wanita mudah terkena infeksi apalagi saat wanita tersebut terkena nifas.
Banyak bakteri bisa masuk ke dalam organ reproduksinya dan menimbulkan
infeksi.
6. Kurangnya Perawatan Kehamilan
Tingkat pendidikan yang rendah bisa menyebabkan gadis muda yang
sedang hamil kurang dalam merawat kehamilannya. Tidak hanya itu saja,
masyarakat terpencil juga belum tahu bagaimana caranya merawat kehamilan
dengan benar, hal itu semakin memperparah kondisi ibu muda yang sedang
hamil. Kehamilan pun menjadi rawan terutama di saat awal-awal
kehamilannya.
7. Hipertensi
Wanita muda yang hamil akan memiliki terkena hipertensi dalam
kehamilan lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang hamil di usia cukup.
Kondisi itu dalam dunia medis dikenal dengan pregnancy induced
hypertension. Tekanan darah tinggi adalah pemicu timbulnya pre eklamsia,
sehingga remaja muda yang hamil sangat rentan untuk bisa terkena pre
eklamsia. Pre eklamsia bisa disebut kombinasi dari penyakit darah
tinggi,darah tinggi juga bisa menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan.
Misalnya saja ibu muda mengalami gangguan jantung, kolesterol dan masih
banyak lagi penyakit lainnya.

53
8. Terkena PMS
Hamil dengan usia yang masih sangat muda bisa menyebabkan ibu dan
bayinya terkena PMS. Penyakit yang akan mengintai remaja adalah penyakit
kelamin yang disebabkan oleh bakteri klamidia dan juga HIV. PMS ini bisa
menular melalui mulut rahim setelah virus itu sampai ke dalam rahim, bakteri
atau virus tersebut akan menganggu pertumbuhan dan juga kesehatan bayi
yang ada di dalam rahim.
9. Depresi
Remaja yang belum siap mental dan belum siap fisik untuk hamil bisa
mengalami depresi. Depresi itu bisa menyerang remaja sehabis melahirkan
bayinya. Depresi itu ditandai dengan perasaan rendah diri, sedih dan juga
tidak mau mengurus bayinya setelah dilahirkan. Depresi tersebut bisa berubah
menjadi sindrom baby blues. Jika sudah terkena baby blues maka diperlukan
perawatan khusus dari pihak medis terutama untuk mengobati psikologis
remaja tersebut.
10. Tekanan Psikologis
Remaja yang hamil muda dan melahirkan di usia yang sangat muda akan
mendapatkan tekanan psikologis dari masyarakat. Remaja tersebut
mendapatkan tekanan psikologis berupa rasa sendirian dan juga rasa
dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Dari pihak keluarga sendiri, khusus
kasus MBA remaja tersebut merasa terkucilkan di lingkungan keluarga.
Merasa malu karena tidak bisa menjaga diri dan masih banyak lagi lainnya.
11. Anemia
Remaja yang mengalami hamil di usia muda bisa menyebabkan dirinya
terkena anemia atau kekurangan darah. Kurangnya pengetahuan remaja dan
keluarga akan kebutuhan zat besi / gizi saat kehamilan bisa menyebabkan
remaja tersebut terkena anemia. Anemia sangat berbahaya bagi ibu hamil
karena bisa menyebabkan pendarahan saat kehamilan.

54
Penanganan yang dilakukan untuk mengadapi dampak menjadi orang tua
pada usia remaja

1. Memberikan penyuluhan atau bimbingan kepada remaja mengenai berbagai


permasalahan sosial terutama tentang risiko pernikahan di usia muda melalui
pendidikan seks dini, konseling kesehatan reproduksi juga memberikan
kesadaran kepada para remaja untuk menghindari seks pranikah yang bisa
mengakibatkan kehamilan.

2. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan pada dan pengembangan potensi


dan skill yang lebih baik.

3. Keluarga harus mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai yang baik sejak dini
kepada remaja, serta memberikan bimbingan, perlindungan, dan pengawasan
agar remaja tidak terjerumus dalam pergaulan bebas yang dapat mengarah
pada menjadi orang tua pada masa remaja.

4. Pemerintah maupun kalangan masyarakat harus terus mengembangkan


pendidikan dan membuka lapangan kerja agar perempuan dan laki-laki
mempunyai alternatif kegiatan lain sehingga menikah muda bukan satu-
satunya pilihan hidup. Misalnya mengembangkan program pemberdayaan
orang muda agar meneruskan sekolah, dan bagi yang terpaksa putus sekolah
diberikan pendidikan keterampikan agar tidak segera memasuki jenjang
pernikahan.

5. Mengupayakan sosialisasi kepada keluarga untuk menyekolahkan anak-anak


mereka hingga tamat SMA /SMK.

55
K. Peran Perawat dalam menghadapi bahaya pasien yang menjadi orang tua
pada masa remaja

1. Conselor

Membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau


masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik antar
keluarga.Sehingga pasien mempunyai panadangan yang lebih baik dari
sebelumnya dan dapat menerima peran sebagai orang tua diusia remaja.

2. Client Advocate (Pembela Klien).

a. Membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari


berbagai pemberi pelayanan kesehatan

b. Pembelaan termasuk didalamnya peningkatan apa yang terbaik untuk


klien, memastikan kebutuhan klien terpenuhi dan melindungi hak-hak
klien.

3. Care Giver

Memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien mengenai hal-hal


yang dibutuhkan pasien dan juga memberikan dorongan semangat untuk
menjalani peran sebagai orang tua diusia remaja.

Perawat memberikan eduksi tentang dampak menjadi orang tua diusi


remaja, sehingga klien dapat mempunyai wawasan tentang bahanya menjadi
orang tua diusia remaja misalnya tentang belum matangnya sistem
reproduksi.

56
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut

sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian

sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari

kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Fauzi., 2008).

2. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi terdiri dari : Kesehatan

Reproduksi Terpadu (PKRT) dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial

(PKRE)

3. Hak Reproduksi

Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau

tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperoleh sesuatu. Kesadaran

tentang hak sebagai manusia dan sebagai perempuan merupakan kekuatan

bagi perempuan untuk melakukan berbagai aktivitas bagi kepentingan diri,

keluarga, dan masyarakat. Sedangkan Reproduksi adalah menghasilkan

kembali atau kemampuan perempuan untuk menghasilkan keturunan secara

berulang.

4. Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup keseluruhan kehidupan

manusia sejak lahir sampai mati (life cycle approach) agar di peroleh sasaran

57
yang pasti dan komponen pelayanan yang jelas serta dilaksanakan secara

terpadu dan berkualitas dengan memperhatikan hak reproduksi perorangan

dan bertumpu pada program pelayanan yang tersedia.

5. Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau preputium

clitoridis di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain yang sering digunakan

adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu khifad yang berasal

dari kata khafd , istilah ini khusus untuk khitan perempuan (Gani, 2007).

6. Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah female genital

cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital cutting adalah pemotongan alat

kelamin sedangkan genital mutilation identik dengan perusakan alat kelamin.

FGC merupakan segala prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh bagian

alat kelamin luar perempuan atau perlukaan organ genital perempuan baik

karena didasari oleh alasan kebudayaan atau alasan nonmedis lainnya (Juli,

2006) Aide Medicale Internationale, hal 39.

7. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berbasis

gender yang mengakibatkan kerugian fisik, seksual atau psikologis atau

penderitaan terhadap perempuan, termasuk tindakan yang berupa ancaman,

pemaksaan atau perampasan kebebasan, apakah itu terjadi di publik ataupun

dalam kehidupan pribadi.

8. Seksualitas pada remaja terdiri dari : Dimensi biologi, Dimensi psikososial,

Dimensi social dan Dimensi kultural dan moral.

58
9. Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada wanita usia antara 14-

19 tahun baik melalui proses pra nikah atau nikah (Manuaba, 2007).

Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi sebelum usia 19 tahun.

Kehamilan ini biasanya tidak direncanakan dan di luar nikah. Kehamilan

remaja masih dipandang sebagai hambatan secara sosial, ekonomi, psikologis

dan pendidikan bagi ibu. 7% dari semua kelahiran terjadi pada remaja.

(Muscari, 2005)

10. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005: 802) pengertian orang tua

adalah ayah ibu kandung; orang yang dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Soelaeman (1994:179) menganggap

bahwa“...istilah orang tua hendaknya tidak pertama-tama diartikan sebagai

orang yang tua, melainkan sebagai orang yang dituakan, karenanya diberi

tanggung jawab untuk merawat dan mendidik anaknya menjadi manusia

dewasa”. Remaja atau adolescere yang berarti tumbuh kearah kematangan.

Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi

juga kematangan sosial dan psikologis (Yani Widyastuti,2009)

11. Peran Perawat dalam menghadapi remaja menjadi orang tua : Conselor, Client

Advocate (Pembela Klien) dan Care Giver.

B. Saran

Saran yang ingin kami sampaikan adalah bahwa hal yang paling penting bagi

remaja yaitu memelihara kesehatan organ reproduksi remaja mengingat

59
pentingnya kesehatan. Di samping itu perlunya mengingat pergaulan remaja saat

ini yang tidak terbatas sehingga pengetahuan tentang alat reproduksi remaja

sangat bermanfaat untuk mencegah dan menghindari terjadi hal-hal yang

merugikan remaja, sehingga mahasiswa diharapkan dapat melaksanakan program

yang mengajarkan perilaku sehat kepada para remaja.

60
DAFTAR PUSTAKA

Kusmiran, Eni.2011. Kesehatan Reproduksi Remaja Wanita. Jakarta : Salemba

Medika

Suseno,Tutu A.dkk.2011. Kamus Kebidanan.Yogyakarta : Citra Pustaka

Holmes,Debbie.2012.Buku Ajar Ilmu Kebidanan.Jakarta : EGC

Aizid, Rizem.2012. Mengatasi Infertilitas (Kemandulan) Sejak Dini. Yogyakarta :

2012

Wulandari, Diah.2009. Komunikasi dan Konseling dalam Praktik Kebidanan.

Yogyakarta : Nuha Medika

Priyanto, Agus.2009. Komunikasi dan Konseling Aplikasi dalam Sarana Pelayanan

Kesehatan Untuk Perawat dan Bidan. Jakarta : Salemba Medika

Widyastuti, Yani.2010. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya

Lubis, Namora Lumongga.2013. Psikologi Reproduksi Wanita & Perkembangan

Reproduksinya ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologi.Jakarta : Kencana

Prenada Media Group

Saifuddin,Abdul Bari.2009.Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial.Jakarta :

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Tresnawati, Frisca. 2013. Asuhan Kebidanan Panduan Lengkap Menjadi Bidan

Profesional.Jakarta : Prestasi Pelajar Publisher

61

You might also like