You are on page 1of 32

1

MAKALAH CEDERA KEPALA UNTUK MEMENUHI TUGAS


KEPERAWATAN KMB II

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 8

DOSEN PEMBIMBING :

DADI SANTOSO, MKep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN REGULER B

STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG

2018/2019
2

B
A
B

1. Prevalensi dan faktor risiko yang terkait dengan terjadinya cidera


kepala
Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2008,
kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian ke-10 di dunia dengan
jumlah kematian 1,21 juta (2,1%) sedangkan Menurut Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2008 cedera merupakan penyebab kematian utama
keempat (6,5%) untuk semua umur setelah Stroke, TB, dan Hipertensi.
Disorientasi adalah ketidaksanggupan seseorang untuk mengetahui posisi
dirinya dalam hubungannya dengan waktu tempat, atau benda-benda
tertentu di lingkungannya.
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan
cedera serta
hubungannya dengan kekerasaan. Salah satu dari banyak penyebab
kematian ialah cedera kepala, yang dapat menyebabkan trauma pada
kepala baik lapisan luar maupun dalam. Diperkirakan 1,7 juta orang di
Amerika Serikat mengalami cedera kepala setiap tahunnya. Lebih dari
52.000 orang meninggal dunia, 275.000 dirawat di rumah sakit, dan
hampir 80% dirawat dan dirujuk ke instalasi gawat darurat. Jenis kelamin
laki-laki lebih banyak mengalami cedera kepala dibandingkan perempuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran cedera
kepala yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal
RSUP Prof Dr. R. D. Kandou periode Juni 2015 - Juli 2016. Pada
penelitian ini sampel diperoleh dengan metode total sampling. Hasil
penelitian mendapatkan tercatat 4 kasus pada tahun 2015 dan 5 kasus pada
3

tahun 2016. Gambaran cedera kepala yang menyebabkan kematian yaitu


fraktur basis krani, cedera otak difus, hematoma intraserebral, dan
hematoma subdural. Laki-laki memiliki prevalensi yang paling banyak
terhadap kejadian kematian akibat cedera kepala dengan usia terbanyak
20-40tahun.
(https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/14369/1394
1)
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari
ketinggian maupun akibat kekerasan.Trauma kepala didefinisikan
sebagai trauma non degeneratif – non konginetal yang terjadi akibat
ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami
gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen.
Trauma kepala dapat menyebabkan kematian / kelumpuhan pada usia
dini (Osborn, 2003).
Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang
tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama
yang belum benar benar
rujukan yang terlambat (Smeltzer & Bare,
2002).
2. Faktor penyebab dan jenis yang berhubungan cedera kepala
Menurut penelitian nasional Amerika Guerrero et al (2000) di
bagian kegawatdaruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera
kepala karena trauma pada anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab
sekunder adalah terbentur oleh benda keras.Penyebab cedera kepala pada
remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan
terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma
kemudian menurun pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor
dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama,
4

digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.


Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih
kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya.
Hal ini disebabkan karena struktur anatomic dan fisiologik dari isi
ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan
padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan syaraf, pembuluh darah
dan tulang (Retnaningsih, 2008).
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari
ketinggian maupun akibat kekerasan.Trauma kepala didefinisikan
sebagai trauma non degeneratif – non konginetal yang terjadi akibat
ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami
gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen.
Trauma kepala dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada
usia dini (Osborn, 2003).
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa
sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk
menghasilkan prognosa yang tepat, akurat dan sistematis.(Geijertstam,
2004). Dalam suatu
penelitian menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma kepala
berat
dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat
menyelamatkan 60– 70 % pasien. Namun, bila operasi dilakukan lebih
dari 4 jam setelah kejadian, tingkat kematian dapat melebihi angka 90
%.(Knights, 2003).
3. Pathway tanda-tanda dan gejala terkait dengan cidera kepala
a. pathway

Trauma Kepala

Kulit Kepala Tulang Kepala Jaringan Otak

Fraktur Linear, Fraktur


Tahanan vaskuler
communited, Fraktur
Rangsangan
Cedera
Respons
1. TIKotak
Kerusakan Simatis
sekunder
fisiologis
sel otak
meningkatotak
Tekanan
sistemik
depresses, FrakturHidrostatik
& TDbasis
5

Hematom Pada Komusio,


kulit hematom,edema.
kontusio

Cedera otak

Gangguan
kesadaran,gangguan
TTV,kelainan neurologis
Cidera otak primer

Ringan

Sedang
Hipoksemia Serebral
berat

Kelainan

Gangguan autoregulasi Stress lokalis

Aliran darah ke otak Katekolamin

Sekresi asam lambung

O2 Gangguan Tek pemb.darah


Mual Muntah
metabolisme Pulmonal

Produksi asam 4. Intake Nutrisi tidak


laktat yg meningkat adekuat
6

Kebocoran Cairan
Edema Otak kapiler

2. Gangguan Perfusi
jaringan serebral
Difusi O2 Terhambat

Hipokemia

Edema Paru Hiperkapnea

Curah Jantung menurun

3. Ketidakefektifan
Pola napas

.
b. Manifestasi Klinis / Gejala Cidera Kepala

1. Komosio Serebri
 Muntah tanpa nausea
 Nyeri pada lokasi cidera
 Mudah marah
 Pusing dan mata berkunang-kunang, ingatan sementara
hilang
2. Kontusio Serebri
 Perubahan tingkat kesadaran
 Lemah dan paralisis tungkai
 Kesulitan berbicara
7

 Hilangnya ingatan sebelum dan pada saat trauma, sakit


kepala
 Perubahan dalam penglihatan
 Tidak berespon baik rangsang verbal dan denyut nadi
 Kelumpuhan saraf cranial Glasglow coma scale dibawah
3. Hematoma epidural
 Luka benturan/penetrasi pada lobus temporal, dasar
tengkorak.
 Hilangnya kesadaran dalam waktu singkat mengikuti
beberapa menit sampai beberapa jam periode flasia,
kemudian secara progresif turun kesadarannya
 Gangguan penglihatan
 Perasaan mengantuk, ataksia, leher kaku yang menujukkan
adanya hematoma epidural fossa posterior
 Kontraleral hemiparesis/paralisis
 Kontralateral aktivitas kejang jacksonia
4. Hematoma subdural
 Berubah-ubah hilang kesadaran
 Sakit kepala
 Otot wajah melemah
 Tanda-tanda babinsky positif
 Tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
Kronik
 Gangguan Mental
 Sakit kepala yang hilang timbul
 Perubahan tingkah laku
 Kelemahan yang hilang timbul pada satu tungkai pada sisi
tubuh
 Meningkat gangguan penglihatan
8

 Penurunan tingkat kesadaran yang hilang timbul


 Peningkatan Tekanan Intrakranial

5. CARA PENILAIAN (PENGKAJIAN) UNTUK KASUS CIDERA


KEPAL

a. BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.

b. BLOOD:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah


bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

c. BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
9

pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan


mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis,
maka dapat terjadi :

. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,


konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).

. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,


kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.

. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada


mata.

. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus


vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh


kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

d. BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

e. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
10

f. BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan
dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot
antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara
pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula
terjadi penurunan tonus otot.

Pemeriksaan Diagnostik:
· CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti


pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan


struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan


(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrakranial.

6. Pilihan terapi (baik dalam bentuk modifikasi lingkungan, terapi


perilaku, medikasi, tindakan operasi maupun dengan terapi lain)
cidera kepala.

Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan


untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika
mentosa digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat
oedem pada gambaran profil CT Scan pada pasien .Penurunan
aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada
11

cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan


induksi koma.Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi
profilaksis.

1. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk


mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila
ditemukan peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa
cedera difus, autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat,
pasien bisa diberikan barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah
dengan menekan metabolisme serebral, menurunkan aliran darah ke
otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan
radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.
Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis
efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume
intravaskular volume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3%
75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan
monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai
dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.

2. Terapi Nutrisi

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,


kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu.
Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas.
diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari
dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan
enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
12

3. Terapi Prevensi Kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan


TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter
yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah
efek kindling).Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin,
karbamazepin efektif pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang
harus dievaluasi pada terapi prevensi kejang adalah kondisi pasien
yang hipoglikemi, gangguan elektrolit, dan infeksi.

4. Penanganan Cedera Kepala Ringan

Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan


peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2
jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung
atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas
pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor,
penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu
pelan, pola nafas yang abnormal.

5. Penanganan Cedera Kepala Sedang

Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan


Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala
Postrauma Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0
apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada
amnesia.
Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang
13

menjadi :
1.Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan
dizziness
2.Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia
post trauma
3.Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan
muntah.

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat


penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala
terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala,
gangguan konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan utamanya
ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan
modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi
kognitif ,dan psiko edukasi .

7. Penanganan Cedera Kepala Berat


Diagnosis dan penanganan yang cepat
meliputi:
Primary survey : stabilisasi cardio
pulmoner
Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan
mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau
perawatan di ICU.
14

Komplikasi Cedera Kepala

Kejang Pasca Trauma


Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien
merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak
10%, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi
terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah
trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

Demam dan Menggigil


Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome.Sering terjadi akibat kekurangan cairan,
infeksi, efek sentral.Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro
muskular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturat, asetazolamid.

Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan non komunikan.Hidrosefalus komunikan lebih
sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini
terjadi akibat penyumbatan di sistem ventrikel.Gejala klinis
hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil odema,
demensia, ataksia dan gangguan miksi.

Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan.Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak,
nyeri, pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri.
15

Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi


sekunder dengan splinting, casting, dan terapi farmakologi dengan
dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.

Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi
labil.Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan
obat-obat yang berpotensi sentral.Penanganan farmakologi antara
lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik,
buspiron, stimulant, benzodiazepin dan terapi modifikasi lingkungan.

Mood, Tingkah Laku dan Kognitif


Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian
Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat
gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya
ingat pada 74%, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan
kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan
konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk
perbaikan gangguan kognitif.Methyl phenidate sering digunakan pada
pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan
hipoarousal.Dopamine, Amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki
fungsi perhatian dan fungsi luhur.Donepezil dapat memperbaiki daya
ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu.Depresi mayor dan minor
ditemukan 40-50%.Faktor risiko depresi pasca cedera kepala adalah
wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah
laku dapat membaik dengan antidepresan.

Sindroma Post Kontusio


16

Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang


berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama,
30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,
mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif:
perhatian, konsentrasi, memori, Afektif: iritabel, cemas, depresi,
emosi labil.

Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang
dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit
memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki
tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12
memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca
trauma juga perlu diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat,
tidak mampu berkonsentrasi dan irritable.

Pengukuran Outcome
Glasgow Outcome Scale (GOS)
Glasgow Outcome Scale (GOS) terdiri dari 5 kategori, antara lain:
-Meninggal
-Status vegetative
-Kecacatan yang berat
-Kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat
kembali ke sekolah dan pekerjaannya)
-Kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).

Disability Rating Scale (DRS)


Disability Rating Scale (DRS) merupakan skala tunggal untuk melihat
progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya.
17

Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran (GCS),


kecacatan.

Functional Independent Measure (FIM)


Pengukuran outcome dengan menggunakan Functional Independent
Measure (FIM) banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari
18 item skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat
kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.

8. Analisa Keperawatan Dan Intervensi Keperawatan.


Data-data yang mungkin muncul pada cedera kepala meliputi :

1). Aktivitas dan istirahat yaitu merasa lemah, lelah, perubahan


kesadaran, letargi.

2). Sirkulasi yaitu hipertensi, bradikardi, perubahan tekanan


darah.

3). Pola integritas ego yaitu perubahan tingkah laku, cemas,


bingung, mudah tersinggung.

4). Eliminasi yaitu inkontinensia, kandung kemih / usus.

Makanan cairan yaitu mual, muntah dan mengalami perubahan


selera.

5). Neurosensori yaitu kehilangan kesadaran sementara, amnesia


seputar kejadian, perubahan penglihatan seperti ketajaman.,
perubahan kesadaran, perubahan status mental, perubahan pupil,
kehilangan penginderaan.
18

6). Nyeri / kenyamanan yaitu sakit kepala dengan intensitas dan


lokasi yang berbeda, wajah menyeringai, respon menarik pada
ransangan nyeri, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.

7). Pernapasan yaitu perubahan pola napas ( apnea diselingi


hiperventi lasi ), stridor, ronki.

8). Keamanan yaitu trauma baru, fraktur / dislokasi, gangguan


penglihatan, gangguan kognitif. Interaksi sosial yaitu afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang
(Doenges, M.E, 2000 : 270 - 272 ).

Fokus Intervensi

Intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan yang


mungkin muncul pada pasien dengan cedera kepala adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
hemoragi, hematoma atau edema serebral.
Dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
perubahan respon motorik / sensorik, perubahan tanda vital.
Kriteria hasilnya adalah mempertahankan tingkat kesadaran biasa /
perbaikan, kognisi dan fungsi motorik / sensori,
mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil, tak ada peningkatan
tekanan intrakranial.
Intervensinya adalah pantau / catat status neurologis, bandingkan
dengan nilai skala koma glasgow normal, pantau tekanan darah,
evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan, reaksi, kaji perubahan
pada penglihatan, catat ada / tidaknya refleks-refleks tertentu
( menelan, batuk ), pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai
indikasi, pantau pemasukan dan pengeluaran, pertahankan kepala /
leher posisi tengah, netral, berikan waktu istirahat diantara aktivitas
keperawatan, Kolaborasi tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat
19

sesuai indikasi, batasi pemberian cairan sesuai indikasi, berikan


oksigen tambahan sesuai indikasi, berikan obat ( diuretik, manitol,
steroid, analgesik ) sesuai indikasi ( Doenges, M.E, 2000 : 273 ).

2. Resiko tinggi terhadap pola napas tak efektif berhubungan dengan


kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak),
obstruksi trakeobronkinal.
Kriteria hasilnya adalah mempertahankan pola pernapasan normal
(efektif, bebas sianosis, analisa gas darah normal ).
Intevensinya adalah pantau frekuensi, irama, kedalaman
pernapasan, angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi
miring sesuai indikasi, anjurkan pasien untuk untuk melakukan
napas dalam yang efektif jika pasien sadar, lakukan penghisapan
dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10 – 15 detik, catat
karakter, warna dan kekeruhan sekret, auskultasi suara napas,
perhatikan daerah hipoventilasi, pantau penggunan dari obat-obat
depresan pernapasan. Serta kolaborasi dapat dipantau GDA,
lakukan ronsen toraks ulang, berikan oksigen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi,


penurunan kekuatan.
Datanya adalah ketidakmampuan bergerak, dalam lingkungan fisik,
mobilitas di tempat tidur, pemindahan, ambulasi, kerusakan
koordinasi, keterbatasan rentang garak, penurunan kekuatan otot.
Kriteria hasilnya adalah melakukan kembali / mempertahankan
posisi fungsi optimal, mempertahankan/ meningkatkan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh yang sakit, mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang memungkinkan di lakukannya kembali
aktifitas, mempertahankan intregitas kulit, kandung kemih, dan
fungsi usus.
20

Intervensinya adalah kaji derajat imobilisasi (skala 0-4),


ubah posisi pasien secara teratur, pertahankan kesejajaran posisi
tubuh secara fungsional, berikan/ bantu untuk melakukan latihan
rentang gerak, tingkatkan aktifitas dan partisipasi dalam merawat
diri sendiri sesuai dengan kemampuan, berikan perawatan kulit
dengan cermat, masase dengan pelembab dan ganti linen tersebut
dengan bersih, pantau pola eleminasi.

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan .dengan trauma


jaringan, prosedur invasi.
Kriteria hasilnya adalah bebas tanda infeksi, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu bila ada. Intervensinya adalah
berikan perawatan aseptik dan antiseptik, observasi daerah kulit
yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasif,
pantau suhu tubuh secara teratur, anjurkan untuk melakukan napas
dalam. Kolaborasinya dengan cara berikan antibiotik sesuai
indikasi.

5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan
untuk mencerna nutrien, kelemahan otot untuk mengunyah,
menelan.
Kriteria hasilnya yaitu kemajuan peningkatan berat badan sesuai
tujuan, tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi.
Intervensinya adalah kaji kemampuan pasien untuk mengunyah,
menelan, batuk dan mengatasi sekresi, auskultasi bising usus,
timbang berat badan sesuai indikasi, jaga keamanan saat
memberikan makan pada pasien, tinggikan kepala tempat tidur,
berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering
dengan teratur. Kolaborasinya yaitu konsultasi dengan ahli gizi,
21

pantau pemeriksaan laboraturium, berikan makan dengan cara yang


sesuai ( Doenges, M.E, 2000 : 286 ).

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang


informasi.
Kriteria hasilnya adalah berpatisipasi dalam proses belajar,
mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan,
melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intevensinya adalah evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk
belajar dari pasien dan juga keluarganya, berikan kembali
informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh
sesudahnya, diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri, berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal
mengenai aktivitas, obat dan faktor penting, identifikasi sumber-
sumber yang berada di masyarakat.
7. Kurangnya perawatan diri higiene berhubungan
dengan kelemahan otot.
Kriteria hasilnya adalah untuk dapat melakukan perawatan diri
mandiri.
Intervensinya adalah kaji kemampuan pasien, ikut sertakan pasien
dalam rencana kegiatan, dorong perawatan diri bekerjasama
dengan kemampuan yang sekarang, Bantu dalam perawatan diri.
8. Gangguan rasa nyaman nyeri lokal berhubungan dengan
adanya edema serebral dan hipoksia.
Kriteria hasilnya adalah pasien tidak mengeluh nyeri, hematoma
dan pembengkakan hilang atau berkurang, pasien dapat beristirahat
dengan tenang.
Intervensinya adalah kaji tipe, lokasi dan durasi nyeri, jelaskan
patologis terjadinya nyeri akibat daripada cedera, batasi daerah
yang cedera, kaji perubahan intensitas nyeri, observasi tanda-tanda
vital, ajarkan teknik relaksasi, observasi perubahan perilaku
22

terhadap perasaan tidak nyaman, kolaborasi pemberian analgetik


( Wahidi, K. R. & Aryati, Y, !996 : 54 ).
23
24
25
26
27
28
.

41
42
44

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2007) Head injury.National Institute for Health & Clinical Excelence.
London. Diakses 22 Mei 2012, dari http://www.nice.org.uk

Arikunto, S. (2006).Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.Jakarta: Rineke


Cipta.

Baheram, L. (2007). Cedera kepala pada pejalan kaki dalam kecelakaan lalu
lintas yang fatal.Majalah Kedokteran Bandung. 26(2): 52-54.

Borczuk P. Predictors of intracranial injury in patients with mild head trauma.


Ann Emerg Med 1995.

Nursalam, (2003). Konsep penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan:


Pedoman skripsi, tesis dan instrument penelitian keperawatan. Salemba
Medika, Jakarta.

Retnaningsih (2008).Cedera Kepala Traumatik. Diakses pada 22 Mei 2012 dari


http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080427234109

Sastroasmoro,Sudigdo,&Ismael,Sofyan.2002.Dasar-Dasar Metodologi Penelitian


nd
Klinis (2 ed.).Jakarta:CV Sagung Seto.

th
Smeltzer, S., &Bare , B. (2002). Keperawatan medical bedah (8 ed); alih bahasa,
Kuncara H., Hartono A., Ester M., & Asih Y.; editor bahasa Indonesia,
Pakaryaningsih E. & Ester M. Jakarta: EGC.
45

You might also like